SITI AZLINDA
NIM 16010136
1.1 Pengertian
Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir
50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya.
Namun, masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini
tidak diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi
HIV serta terjadinya Multiple Drug Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap tahun
diperkirakan ada satujuta kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB di
dunia.(Amin & Asril, 2006)
Hepatitis karena obat adalah peradangan/inflamasi pada hati yang disebabkan
oleh reaksi obat Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap
terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat. Banyak
diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh
ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati akan melakukan
biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentuk metabolit yang lebih mudah
larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu. Dengan faal
sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati mempunyai kemungkinan yang cukup
besar pula untuk dirusak oleh obat. Hepatitis karena obat pada umumnya tidak
menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung lama
dan fatal. (Robins et al., 2011).
Menurut American Thoracic Society dan International DILI expert working
group, TB DIH adalah kerusakan hepar akibat obat antituberkulosis (Martha, 2018).
1.2 Etiologi
Pada pasien TB yang mengkonsumsi OAT, hal yang tidak dapat dihindarkan
adalah efek samping OAT. Efek samping OAT biasanya ringan, dan efek samping
yang berat adalah hepatotoksik. OAT yang dapat menyebabkan hepatotoksik adalah
pirazinamid, isoniazid, dan rifampisin. Rifampisin sebagai obat utama TB
mempunyai efek hepatotoksik yang paling rendah bila dibandingkan dengan
pirazinamid dan isoniazid. Gejala hepatotoksik biasanya menyerupai gejala hepatitis
lainnya. Penanda dini dari hepatotoksik adalah peningkatan enzim-enzim
transaminase dalam serum yang terdiri dari Aspartate Aminotransferase/Glutamate
Oxaloacetate Transaminase (AST/GOT) yang disekresikan secara pararel dengan
Alanine Aminotransferase/Glutamate Pyruvate Transaminase (ALT/GPT) yang
merupakan penanda yang lebih spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar
(Bayupurnama, 2009).
1.4 Patofisiologi
Hepatitis imbas OAT dapat diakibatkan langsung dari senyawa utama, hasil
metabolit, atau dapat disebabkan oleh respon imunologis yang dapat mempengaruhi
hepatosit, sel-sel epitel empedu dan atau pembuluh darah hati. Pada beberapa
penelitian uji klinis dengan hewan coba yang di uji dengan dosis tertentu, memiliki
tingkat serangan yang lebih tinggi dan cenderung terjadi cepat. Tetapi perlu
diketahui beberapa penelitian lain menunjukkan hepatitis imbas OAT dapat juga
merupakan reaksi idiosinkronisasi yang tidak berhubungan dengan farmakologi
obat. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki lokus minoris tersendiri
dimana setiap individu memiliki kerentanan tersendiri terhadap efek hepatitis ketika
mengkonsumsi obat. Beberapa orang mengalami hepatitis pada dosis tertentu
sedangkan beberapa orang lainnya tidak terjadi pada dosis berapapun.
Idiosinkronisasi dapat mengenai berbagai sistem organ. Hipersensitivitas terhadap
OAT dapat terjadi pada beberapa OAT imbas hepatotoksisitas, apalagi ketika pasien
datang dengan ruam kulit, atrhalgia, dan eosinophilia (Ramdhani Meivina P, 2011).
Pada suatu penelitian disebutkan bahwa beberapa regimen OAT yakni isoniazid
dan rifampisin terbukti meningkatkan lipid peroksidase, hal ini menunjukkan bahwa
isoniazid dan rifampisin menimbulkan hepatotoksisitas melalui kerusakan oksidasi.
Salah satu mekanisme yang sinergis untuk menimbulkan efek hepatotoksisitas dari
isoniazid dan rifampisin adalah melalui enzim hati yang menginduksi sistem
hidrolase sehingga meningkatkan toksisitas dari zat metabolit obat (J. Jussi, 2010).
1.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana hepatitis imbas obat pada pengobatan tuberkulosis bergantung pada:
a. Fase pengobatan TB (tahap awal / lanjutan)
b. Beratnya gangguan pada hepar
c. Beratnya penyakit TB
d. Kemampuan/kapasitas pelayanan kesehatan dalam tatalaksana efek samping
akibat OAT
e. Penatalaksanaan
1) Bila klinis (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) → OAT Stop
2) Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT ≥ 3 kali → OAT Stop
3) Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan:
a) Bilirubin > 2 → OAT stop
b) SGOT, SGPT ≥ 5 kali → OAT stop
c) SGOT, SGPT ≥ 3 kali → teruskan pengobatan, dengan pengawasan
Apabila hepatitis imbas obat telah teratasi maka OAT dapat dicoba satu persatu.
Pemberian obat sebaiknya dimulai dengan rifampisin yang jarang menyebabkan
hepatotoksik dibandingkan isoniazid atau pirazinamid. Setelah 3-7 hari baru
isoniazid diberikan. Pasien dengan riwayat jaundice tetapi dapat menerima
rifampisin dan isoniazid, sebaiknya tidak lagi mendapatkan pirazinamid.
Jika terjadi hepatitis pada fase lanjutan dan hepatitis sudah teratasi maka OAT
dapat diberikan kembali (isoniazid dan rifampisin) untuk menyelesaikan fase
lanjutan selama 4 bulan (PDPI, 2011).
1.6 Diagnosis
Berdasarkan International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas
imbas obat berdasarkan:
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai onset reaksi nyata
adalah “sugestif” (5-90 hari dari awal minum obat) atau “compatible” (<5 hari
atau >90 hari sejak mulai minum obat dan tidak >15 hari dari penghentian obat
untuk reaksi hepatoselular dan tidak >30 hari dari penghentian obat untuk reaksi
kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah “sangat sugestif” (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari kadar di atas batas atas normal dalam 8 hari)
atau “sugestif” (penurunan kadar enzim hati paling tidak 50% dalam 30 hari
untuk reaksi hepatoselular dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan yang teliti,
termasuk biopsi hati pada tiap kasus.
4. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama (paling
tidak kenaikkan 2 kali lipat enzim hati). Dikatakan reaksi “drug-related” jika
semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua dari tiga kriteria pertama
terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang obat (Bayupurnama,
2009).
Amin, Zulkifli dan Asril Bahar (2006). Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI.
Jakarta.
Martha, K. (2018). Lapsus TB DIH. Retrieved July 30, 2019, from Academia:
https://www.academia.edu
Soedarsono, S. M. (2018). Faktor Resiko Untuk Obat Terinduksi Hepatitis Pada Pasien
Dengan Tuberkulosis Paru Di Rumah Sakit Dr. Soetomo. Indonesian Journal of
Tropical and Infectious Disease, 73-79.
Robins, Stanley L, dkk (2011) .Buku Ajar Ilmu Patologi. Jakarta: EGC