Anda di halaman 1dari 5

Notulensi Symposium Pediatric Asthma Control

4 Februari 2018
Hotel Novotel Semarang, Merapi Ballroom

I. Judul : Masalah pada Asma Anak


Pembicara : Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
Patogenesis/Patofisiologi asma bersifat heterogen, terjadi inflamasi kronik, dan
remodeling saluran napas. Penegakan diagnosis pada asma mencakup aspek diagnosis
banding dan mendiagnosis asma pada balita. Keberhasilan tata laksana asma dipengaruhi
oleh ketersediaan obat dan concordance.
Asma pada anak usia <5 tahun sebanyak 50-80% kasus. Anak dengan dermatitis atopi
dan parental asma 90% akan menjadi asma di kemudian hari. Demikian juga pada anak yang
mengalami hipereosinofilia dan rhinitis berulang juga memiliki risiko menjadi asma.
Faktor resiko terjadinya persistent wheezing antara lain frequent wheezing, obesitas,
pubertas dini, jenis kelamin wanita, rinosinusitis akut, uji kulit positif. Dicurigai asma
apabila terdapat batuk dan atau mengi yang sifatnya episodik, nocturnal, dan reversibel.
Cough varian asma adalah batuk kronik berulang tanpa disertai wheezing/sesak napas.
Cough varian asma 30% akan menjadi asma di kemudian hari.
Serangan asma ada 2 jenis yaitu serangan asma ringan-sedang (tidak perlu dirawat inap)
dan serangan asma berat (perlu dirawat inap). Sedangkan berdasarkan kekerapan gejalanya,
asma dibedakan menjadi 4 yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten
sedang, dan asma persisten berat.
Tatalaksana asma bertujuan untuk mengatasi gejala asma dan mencegah terjadinya
serangan. Tatalaksana asma ini tidak bisa menghentikan proses inflamasi kronik dan
remodeling saluran napas yang sudah terjadi. Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 macam
yaitu nonmedikamentosa (menghindari factor pencetus) dan medikamentosa. Terapi
medikamentosa meliputi reliever dan controller. Asma intermiten tidak memerlukan
controller sedangkan asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat
memerlukan controller. Keberhasilan tata laksana asma dipengaruhi oleh penyakit (derajat
berat ringannya asma, comorbid, dan terapi jangka panjang) serta dipengaruhi oleh obat
(efikasi dan efektifitas, ketersediaan obat, concordance).
Take home message : masih banyak misteri pada asma anak, perlu diseminasi tentang
asma, perlu pendekatan patient centred approach.

II. Judul : Current Practice and Unmet Needs in Managing Asthma in Children
Pembicara : Prof. dr. M. Sidhartani Zain, M.Sc, Sp.A(K)
Epidemiologi asma terjadi pada anak-anak (usia 1-10 tahun) dan dewasa (>40 tahun).
Triggers/faktor pemicunya antara lain asap rokok, polusi, infeksi, makanan tertentu,
penggunaan obat-obatan, binatang piaraan, dsb.
Tata laksana asma pada balita meliputi penilaian, pengaturan terapi, dan evaluasi terapi.
Penilaiannya antara lain diagnosis, pengendalian gejala, faktor risiko/pencetus, penggunaan
inhaler (tekhnik pemakaian), kepatuhan, dan preferensi orang tua. Pengaturan terapi
meliputi obat, strategi nonfarmakologis, dan penanganan fisioterapi yang bias dimodifikasi.
Algoritma diagnosis asma pada balita menggunakan alur pada PNAA (Pedoman Nasional
Asma Anak).
Longterm treatment goals pada pasien asma adalah dapat melaksanakan kegiatan sehari-
hari dengan normal, tidak ada gejala asma baik pada saat siang ataupun malam hari,
minimum kebutuhan obat-obatan dan tidak terjadi serangan, serta mencegah efek samping
obat pada terapi asma. Harapannya, anak dapat mencapai tumbuh dan kembang yang
optimal.
Pengobatan asma meliputi menghindari faktor pencetus dan terapi farmakologis (reliever
dan controller). Reliever (pereda) berfungsi untuk mengatasi serangan asma sedangkan
controller (pengendali) merupakan terapi jangka panjang untuk mengendalikan inflamasi.
Terapi controller perlu dievaluasi secara regular dan perlu penyesuaian dosis (maintain,
increase, decrease).
Tatalaksana asma mengacu pada PNAA Guidance 2015. LTRA (antileukotrien)
merupakan salah satu pilihan terapi jangka panjang pada asma karena LTRA ini memiliki
beberapa kelebihan yaitu aman pada penggunaan jangka panjang, ada sediaan oral, memiliki
efek antiinflamasi, dan efek samping minimal. Sediaan oral LTRA tentunya lebih
memudahkan orang tua dibandingkan terapi controller dengan kortikosteroid inhalasi (ICS).
Sudah ada penelitian yang membandingkan efektivitas pemakaian LTRA (montelukast)
dibandingkan dengan ICS pada asma persisten ringan.
Take home messages : Guideline PNAA terbaru adalah acuan terapi asma pada anak,
Mengindari faktor pencetus adalah faktor yang lebih utama dibandingkan terapi
farmakologis, LTRA adalah controller jangka panjang yang aman, dapat diberikan secara
oral, mampu mengendalikan proses inflamasi dengan efek samping minimal.

III. Judul : Peranan Montelukast pada Asma Anak


Pembicara : Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
Terapi pada asma serangan ringan/sedang antara lain β2 agonis ± ipratropium bromide
dan steroid oral (3-5 hari, setelah itu dihentikan tanpa tapering off). Terapi pada serangan
berat antara lain : O2, β2 agonis + ipratropium bromide, IVFD, steroid sistemik, dan
aminofilin IV. Obat-obatan yang dipakai saat serangan asma antara lain salbutamol,
procaterol, antikolinergik, teofilin, steroid sistemik.
Obat-obatan lain yang dapat digunakan pada saat serangan asma antara lain steroid
inhalasi (harus dosis tinggi 1000-2400 mikrogram), LABA (formoterol), atau MgSO4
(bukan pilihan rutin  dosis 2 gr).
Terapi jangka panjang asma sesuai dengan guidance PNAA 2015, LTRA
(antileukotriens) merupakan salah satu obat pilihan. LTRA dapat digunakan sebagai
pengganti ICS pada terapi asma persisten ringan atau add on pada asma persisten sedang dan
berat. LTRA ada beberapa jenis yaitu montelukast dan zafirlukast (zafirlukast tidak boleh
digunakan pada anak usia <12 tahun).
LTRA memiliki efek eosinophil recruitmen, mengurangi edema, mengurangi sekresi
mucus, mengurangi proses bronkokonstriksi. Namun LTRA ini bukan bronkodilator
sehingga tidak dapat digunakan pada saat serangan asma.

IV. Judul : Update Management of Diphteria


Pembicara : dr. MMDEAH Hapsari, Sp.A(K)
Difteri merupakan penyakit yang sangat menular, disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphteriae. Penularan melalui droplet saat batuk/bersin  droplet akan
terinhalasi  kolonisasi nasofaring dan produksi toksin  nekrosis local dan akumulasi
debris (pseudomembran)  absorpsi toksin ke pembuluh darah dan limfe lalu menyebar ke
seluruh tubuh  manifestasi sistemik (missal miokarditis, neuritis).
Masa inkubasi difteri 2-5 hari. Gejala awal demam tidak tinggi (sub febril), lesu, tampak
pseudomembran selaput keabuan di faring. 2-3 hari kemudian akan timbul gejala akut
meliputi selaput keabuan menebal membentuk membrane menutupi faring, selaput mudah
berdarah bila diangkat, pembesaran kelenjar leher lunak dalam perabaan, udem sekitar
faring dan jaringan lunak (bullneck), nadi cepat.
Diagnosis difteri diawali berdasarkan presentasi klinik (dimulai dengan presumptive
secara cepat), isolasi kuman (diawali dengan pengecatan Neisser kemudian dikonfirm
dengan kultur atau PCR), Elek’s test, dan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan
penyebab lain.
Bercak mungkin difteri memenuhi kriteria sebagai berikut : putih abu-abu kotor
kecoklatan, jika dilepas dari dasarnya akan berdarah, lokasi menyatu terutama di tonsil-
faribg, ditunjang dengan status imunisasi yang kurang baik. Ada bercak tapi mungkin bukan
difteri : putih bersih, lokasi tersebar, ukuran kecil-kecil, dilepas tidak berdarah, di tonsil
namun hanya terbatas di 1 tonsil.
Klasifikasi difteri : suspected difteri, probable difteri, confirmed difteri, carrier difteri.
Gejala klinis (Jackson) : Jackson 1 (keadaan baik, sesak nafas, stridor inspirasi, retraksi
suprasternal), Jackson 2 (gelisah, sesak nafas, retraksi epigastrial), Jackson 3 (retraksi
intercostal, air hunger). Pada saat Jackson 2 sudah diperlukan tindakan tracheostomy.
Berdasarkan lokasinya ada beberapa jenis difteri : tonsilar dan pharyngeal difteri, difteri
laring, difteri nasal, difteri kulit. Komplikasi difteri : obstruksi jalan nafas, miokarditis, dan
peripheral neuritis.
Tatalaksana utama difteri dengan pemberian ADS dan antibiotic. Pengobatan ditujukan
kepada penderita, kontak, dan juga karier. Penanggulangan KLB salah satunya dengan ORI.

V. Q&A
1. dr. Lusi Sp.A
Q : Berapa lamakah pemberian ICS pada terapi controller asma jangka panjang?
A : Pemberian tergantung kondisi pasien case by case. Akan tetapi, ICS dapat kita
berikan selama 2 bulan (2x sehari) kemudian kita evaluasi efektivitasnya. Pada kasus
asma persisten ringan, jika setelah 2 bulan pemberian ICS kondisi pasien membaik tanpa
ada serangan asma, ICS dapat dihentikan. Namun jika serangan meningkat (menjadi
asma persisten sedang/ berat) ICS dikombinasikan dengan LTRA  evaluasi 2 bulan.
Jika membaik bisa kita turunkan ICS 1xsehari+ LTRA  evaluasi 2 bulan, jika membaik
bias kita stop salah satu obatnya.
Q : Bagaimana kaitan pola pengasuhan dengan terjadinya serangan asma?
A : Pola pengasuhan erat kaitannya dengan edukasi untuk menghindari faktor pencetus.
Hal ini perlu diutamakan sebelum pemakaian obat-obatan.
2. dr. Bimosekti Sp.A
Q : Bagaimana tatalaksana cough varian asma jika kita melihat guideline PNAA?
A : Cough varian asma ditandai dengan batuk berulang terus menerus dan dapat timbul di
malam hari, terjadi akibat hiperreaktivitas bronkus. Pembedanya dengan asma hanyalah
pada cough varian asma tidak ditemukan wheezing/sesak nafas namun jika kita terapi
sebagai asma (diberikan bronkodilator) memberikan respon yang baik pula. Pada cough
varian asma ditemukan hasil rontgen paru normal, uji fungsi paru normal, uji provokasi
bronkus (+). Cough varian asma ini jika dalam perkembangannya di kemudian hari
disertai dengan wheezing  asma.
Q : Apakah cough varian asma boleh diterapi dengan montelukast?
A : Boleh.
Q : Apakah pewarnaan Neisser tidak lagi direkomendasikan IDAI untuk menegakkan
diagnosis difteri?
A : Pewarnaan Neisser tetap digunakan sebagai dasar diagnosis, kemudian dikonfirmasi
dengan hasil kultur.
3. dr. Rivai Sp.A
Q : Kapan usia paling dini kita boleh memberikan montelukast pada anak-anak?
A : anak usia 6-24 bulan yang disertai dengan atopi. Perlu ditekankan bahwa terapi pada
asma hanya menghentikan serangan/gejala klinis saja namun tidak akan menghentikan
proses inflamasi dan remodeling.
4. dr. Kurniawan Sp.A
Q : Apakah masih perlu uji provokasi dan eliminasi makanan untuk anak usia di atas 3-4
tahun yang menderita asma?
A : tidak direkomendasikan karena faktor pencetus asma dari makanan sangat sedikit.
Pemicu inhalasi (asap rokok, debu, polutan) lebih sering memicu asma dibanding
makanan.
Q : Apakah hasil skin prick test digunakan sebagai dasar untuk menghindari pencetus
asma?
A : Tidak. Pada divisi respirologi anak, skin prick test (+)  prediksi menjadi asma. Skin
prick test tidak digunakan sebagai dasar untuk mencegah terjadinya asma.
5. dr. Nugroho, Sp.A
Q : Bagaimana penanganan kasus difteri dengan klinis yang tidak spesifik (tidak terdapat
pseudomembran) tetapi hasil pengecatan (+) difteria?
A : Pedoman diagnosis difteri tetap dari klinis  terapi berdasarkan temuan klinisnya.
Jika sudah jelas klinis tidak sesuai dengan difteri  tidak perlu diberikan ADS. Jika
klinis meragukan  diterapi seperti difteri sampai terbukti bukan difteri.

Anda mungkin juga menyukai