Anda di halaman 1dari 7

Ekstraksi Pengalaman Melaksanakan

Kebijakan PPRG di Daerah


Oktober 14, 2014

I. PENGANTAR

Dalam beberapa tahun terakhir, penerapan kebijakan perencanaan dan penganggaran


responsif gender (PPRG) telah menguatkan implementasi strategi pengarusutamaan gender
(PUG) dalam pembangunan di daerah. Terdapat variasi kemajuan antardaerah dalam
melaksanakan kebijakan PPRG untuk mendukung keadilan dan kesetaraan gender.

Pengalaman implementasi kebijakan PPRG di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah


Istimewa Yogyakarta, Provinsi Sulawesi Barat dan daerah lainnya diekstraksikan dalam
Policy Brief Seri-2 ini. Ekstraksi Pengalaman Melaksanakan Kebijakan PPRG di Daerah ini
menjadi data sekunder dan penguat argumentasi untuk pengajuan opsi perubahan kebijakan
PPRG di daerah seperti tertuang dalam Policy Brief Seri-1: Opsi Kebijakan Mengakselerasi
Pelaksanaan PPRG di Daerah.

II. TAHAPAN KEBIJAKAN PPRG DI DAERAH

Proses implementasi kebijakan PPRG di daerah secara umum terbagi dalam tiga tahap kunci,
yaitu:

1. Tahap Fondasi. Tahap ini menyediakan referensi dan regulasi untuk melaksanakan
kebijakan PPRG di daerah, seperti Inpres No. 9 Tahun 2000, Permendagri No. 15 Tahun
2008, dan PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Melalui regulasi di tingkat nasional ini,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) dimandatkan
melakukan fungsi untuk meningkatkan kapasitas para pelaksana kebijakan PPRG di tingkat
provinsi. Ketersediaan panduan dan pedoman yang sifatnya generik adalah salah satu modal
untuk melakukan peningkatan kapasitas. Fasilitasi atau pelatihan yang dilakukan KPP&PA di
provinsi dengan melibatkan multi-stakeholders adalah awal yang baik untuk menata
pelaksanaan kebijakan PPRG. Sebagian dari peserta –meski jumlahnya terbatas– telah
mampu menjadi fasilitator dan melakukan advokasi bersama dengan driver kebijakan PPRG
di tingkat daerah, baik yang berasal dari Pokja PUG maupun focal point per SKPD. Dari
proses peningkatan kapasitas di tingkat provinsi inilah, lahir individu-individu dari kelompok
birokrat yang paham nilai gender untuk akuntabilitas pembangunan dan mereka cenderung
reformis, terbuka serta memiliki daya juang tinggi. Ini adalah modal untuk melakukan
advokasi kebijakan PPRG selanjutnya. Pelaksanaan kebijakan PPRG akan berhasil jika
Badan/Biro Pemberdayaan Perempuan juga memiliki daya juang yang tinggi dan paham
tupoksinya sebagai fasilitator dan advokator. Mereka perlu melakukan inisiasi dengan modal-
modal yang dimiliki seperti di atas untuk membangun tatanan pelaksanaan PPRG.

2. Tahap Konsolidasi. Setelah meletakkan fondasi, pelaksanaan kebijakan


PPRG memasuki proses konsolidasi pada tatanan yang sudah berjalan dan beradaptasi
dengan kebutuhan spesifik/kontekstual daerah masing-masing. Modal di tahap ini
berupa peluang yang menjadi komitmen di level nasional dan daerah mengenai sistem
perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja yang biasanya menjadi prioritas pimpinan
daerah dan ditetapkan menjadi regulasi. Setelah meningkatkan kapasitas multi-stakeholders,
driver PPRG di daerah kemudian menyusun rencana peningkatan kapasitas mitra-mitranya
sesuai kebutuhan. Kata kunci sesuai kebutuhan ini harus diperhatikan karena kebutuhan di
tiap daerah berbeda. Di tahap ini, masyarakat sipil yang sebelumnya memiliki jalur di luar
proses teknokratik perencanaan dan penganggaran daerah, mulai terlibat bersama pemerintah
yang pada waktu bersamaan menyediakan ruang-ruang pengayaan pelaksanaan kebijakan
PPRG. Non Government Organization (NGO) berperan mengisi ruang-ruang kosong
terkait persoalan mendasar, seperti ketersediaan data terpilah, analisis persoalan sektoral
yang responsif gender, dan pendampingan ke sektor. Sebelumnya, peran fasilitator hanya
dilakukan pemerintah antara lain oleh Pokja PUG, focal point atau Tim Teknis
PPRG. Bappeda dan SKPD yang membidangi tugas Pemberdayaan Perempuan
adalah penggerak utama kebijakan PPRG di daerah. Mereka perlu bersama-sama
memperbaiki pengembangan kelembagaan terkait fungsi PPRG sesuai siklus pembangunan.
Dalam hal ini melibatkan Inspektorat, Biro Keuangan, Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD), dan masyarakat sipil. Pengembangan kelembagaan ini termasuk bagian dari fungsi
driver untuk fasilitasi dan advokasi kebijakan PPRG. Misalnya memfasilitasi kebutuhan
sektor untuk analisis gender sesuai sektornya dan melakukan pendampingan atas hal itu.
Selain itu, memperkuat prasyarat yang belum terpenuhi untuk pengembangan data pembuka
wawasan gender, bahan ajar, dan pengembangan sistem pemantauan dan evaluasi kebijakan
PPRG.

3. Tahap Keberlanjutan dan Replikasi. Proses keberlanjutan adalah hal yang penting
dalam pelaksanaan kebijakan PPRG di daerah. Menjaga keberlanjutan keberlanjutan
kebijakan PPRG adalah dengan mengintegrasikannya dalam sistem manajemen
pembangunan daerah, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan
pengawasan, serta evaluasi. Replikasi adalah salah satu indikator keberlanjutan pelaksanaan
kebijakan PPRG. Setelah proses pelaksanaan kebijakan PPRG berjalan di tingkat provinsi,
kemudian penggerak PPRG melakukan advokasi ke kabupaten/kota. Mereka melakukan
fasilitasi proses yang sama sesuai tahapan yang sebelumnya tersedia. Dokumentasi atas kerja-
kerja yang sudah dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan PPRG di daerah menjadi hal
penting untuk mamantau pelaksanaannya dan sekaligus mendorong upaya replikasi.
Dokumentasi ini bisa menjadi referensi dalam upaya pelaksanaan kebijakan PPRG.

Tiga tahap kunci implementasi kebijakan PPRG di daerah tergambar dalam skema berikut:
III. FAKTOR KUNCI MENGAKSELERASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN
PPRG DI DAERAH

Dalam melaksanakan kebijakan PPRG di daerah, dapat diidentifikasi tiga faktor kunci
untuk mengakselerasinya, yaitu:

1. Mensinergikan Komitmen Politik, Kapasitas Teknokratis di Birokrasi, dan Peran


Masyarakat Sipil

Komitmen politik menjadi variabel yang sangat mempengaruhi dalam mengakselerasi


pelaksanaan kebijakan PPRG karena mengkonsolidasikan sumber daya, dukungan politik
dan finansial. Pengalaman Provinsi Jawa Tengah menunjukkan kuatnya peran komitmen
politik dalam percepatan pelaksanaan kebijakan PPRG berupa regulasi dan dukungan
kelembagaan bagi percepatan kebijakan PPRG. Komitmen politik memerlukan dukungan
kapasitas teknokratis di tingkat birokrasi dan peran masyarakat sipil. Komitmen politik
saja akan berhenti di atas kertas seperti pengalaman di Provinsi Sulawesi Selatan dalam
pelaksanaan Kebijakan PPRG. Kapasitas dan dukungan birokrasi diperlukan untuk
memunculkan perspektif gender di dokumen perencanaan dan penganggaran yang
operasional dan teknis, yaitu di dokumen Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja
Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD). Masyarakat sipil berperan dalam
mengakselerasi kebijakan PPRG dengan memantau kinerja pemerintahan dan menjadi mitra
kritis bagi pemerintah. Peran masyarakat sipil sebagai kontrol menuntut pemerintah bekerja
dengan baik dan akuntabel. Sementara itu, peran mitra kritis melengkapi kapasitas internal
pemerintah yang memadai untuk menjawab tuntutan publik.

Kotak 1
Peran Organisasi Masyarakat Sipil

Menguatnya gagasan PPRG hadir dalam pergeseran konsep negara


yang bukan menjadi aktor tunggal penentu kebijakan publik. Konsep
good governance mengasumsikan negara perlu berbagi ruang dengan
elemen masyarakat sipil. Dengan demikian terbuka saluran informasi
perencanaan dan penganggaran kepada masyarakat. Konsep ini juga
mengandung makna bahwa elemen non negara seperti masyarakat
sipil merupakan bagian penting dan memiliki kontribusi dalam
pengelolaan kebijakan publik.

Di beberapa daerah, masyarakat sipil berperan mengadvokasi


pembentukan kelembagaan kebijakan PPRG, seperti Pokja PUG, dan
focal point PUG. Masyarakat sipil juga melakukan pendampingan
kepada para perencana di SKPD dan mengembangkan perangkat
pendukung berupa alat analisis dan data pilah. Secara historis,
keterlibatan dan peran masyarakat sipil bersifat dinamis. Awalnya
berperan melakukan pendekatan politik dengan melakukan kontrol
terhadap kebijakan anggaran dan gencar mempromosikan
transparansi dan realokasi anggaran. Saat ini perannya sudah lebih
beragam. Sebagian meredefinisi peran menjadi critical engagement
atau menguatkan kapasitas institusi pemerintah.

Dalam konteks seperti tadi, keberadaan institusi masyarakat sipil


berperan memperkuat kelembagaan untuk mempromosikan kebijakan
PPRG di daerah. Masyarakat sipil menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari percepatan pelaksanaan kebijakan PPRG di daerah.

2. Kapasitas yang Kuat dari SKPD yang Membidangi Tugas Pemberdayaan


Perempuan dan Kelembagaan PPRG di Daerah

Pengalaman daerah menunjukkan keberhasilan pelaksanaan kebijakan PPRG dipengaruhi


penggalangan dukungan politik dan sosial oleh SKPD yang membidangi tugas Pemberdayaan
Perempuan. Oleh karenanya, SKPD yang membidangi ini, harus memiliki otoritas yang jelas,
memiliki kapasitas SDM dan finansial yang memadai dalam menyebarluaskan gagasan
kebijakan PPRG ke SKPD dan institusi pemerintah yang lain, serta memastikan adanya
kelembagaan PPRG yang bekerja efektif di daerah.

Kotak 2

Penggerak PPRG di Daerah

Menarik untuk melihat pengalaman daerah dalam upaya mendorong


kebijakan PPRG. Pengalaman Provinsi Jawa Tengah merupakan
contoh baik penerapan kebijakan PPRG
yang menunjukkan bekerjanya driver PPRG yang efektif di
daerah. Hal ini tidak lepas dari keberadaan dan peran aktif Bappeda
dan SKPD Keuangan yang merupakan lembaga strategis dalam proses
perencanaan dan penganggaran di daerah. Pengalaman Jawa Tengah
menunjukkan bagaimana peran penting Bappeda sebagai aktor kunci
proses perencanaan dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) –
khususnya SKPD Keuangan karena lembaga ini merupakan aktor
kunci dalam proses penganggaran. Secara umum, advokasi
implementasi kebijakan PPRG tidak hanya dilakukan oleh Badan
Pemberdayaan Perempuan.

Percepatan penerapan kebijakan PPRG juga tidak lepas dari upaya


TAPD yang mengadvokasi gubernur untuk memasukan substansi
kebijakan PPRG sebagai nilai acuan regulasi daerah terkait pedoman
penyusunan RKA SKPD tiap tahun yang berupa Surat Edaran
Gubernur. Perkembangan baik ini muncul pada 2010.

Selain itu, Bappeda, SKPD Keuangan, dan Badan Pemberdayaan


Perempuan melalui Pokja PUG menginisiasi terbentuknya Tim Teknis
Anggaran Responsif Gender (ARG) untuk pendampingan penyusunan
kebijakan PPRG pada tiap SKPD. Keberadaan Tim Teknis ini,
sebagaimana dimandatkan Permendagri No. 15 Tahun 2008, menjadi
pilar penting untuk penguatan aspek teknokratis. Tim Teknis
melakukan pendampingan dan juga review atas
usulan anggaran yang diajukan oleh SKPD.

Hal yang juga penting adalah implementasi kebijakan PPRG bukan


hanya berhenti pada proses penyusunan, namun juga perlu memastikan
pelaksanaan anggaran berkontribusi untuk pengurangan kesenjangan
gender di berbagai sektor. Jawa Tengah dalam hal ini,
melakukan terobosan dengan menjadikan inspektorat sebagai bagian
dari driver PPRG.

Di beberapa daerah, kapasitas dan peran SKPD yang membidangi tugas Pemberdayaan
Perempuan belum kuat. Hal ini menyebabkan pelaksanaan kebijakan PPRG tidak berjalan
karena tidak menjadi kesadaran dan gerakan lintas sektor. Dalam konteks seperti ini, akan
strategis jika penggerak PPRG nasional menguatkan kapasitas SKPD yang membidangi
Pemberdayaan Perempuan sekaligus lembaga driver lainnya (Bappeda, Biro Keuangan dan
Inspektorat). Penguatan ini juga perlu memperhitungkan tingkat pemerintahan dengan
mempertimbangkan dualisme posisi provinsi –sebagai wakil pusat di daerah dan sebagai
otoritas otonom. Faktor lainnya yang perlu diperhitungkan adalah posisi serta kompleksitas
tata kelola di tingkat kabupaten/kota. Keberhasilan menggalang dukungan oleh driver
PPRG menjelaskan kemajuan pelaksanaan kebijakan PPRG di beberapa daerah.

3. Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja Mengakselerasi Pelaksanaan


Kebijakan PPRG

Pelaksanaan sistem manajemen berbasis kinerja dalam pembangunan di daerah menjadi


momentum penting pelaksanaan kebijakan PPRG. Dibandingkan dengan sistem anggaran
tradisional, penerapan manajemen berbasis kinerja memberi peluang karena memungkinkan
untuk memasukkan isu gender dalam target pembangunan dan perumusan indikator kinerja
kunci. Peluang ini juga mencakup di semua siklus manajemen mulai dari perencanaan
hingga evaluasi. Perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja memungkinkan untuk
mengevaluasi bagaimanakah program pembangunan berkorelasi untuk
pengurangan kesenjangan gender di berbagai sektor dan perbaikan pelayanan publik yang
adil bagi laki-laki dan perempuan.

Kotak 3

Pendampingan dan Penguatan Kapasitas PPRG

Momentum penerapan anggaran berbasis kinerja yang memberi


peluang besar untuk mengintegrasikan gender dalam perencanaan dan
penganggaran tidak secara otomatis menjadikan kebijakan PPRG bisa
berjalan. Di tingkat birokrasi, problem utamanya adalah ketiadaan
kapasitas teknokratis untuk mengintegrasikan gender dalam sistem
perencanaan dan penganggaran daerah.

Di sini, strategi pendampingan menemukan bentuknya. Di beberapa


daerah yang telah melaksanakan kebijakan PPRG dengan cukup baik,
proses pendampingan merangsang dan menindaklanjuti komitmen
politik yang ada, dan menjadi tindak-lanjut dari pembentukan focal
point gender di setiap SKPD. Focal point sendiri terdiri dari aparatur
di tiap SKPD yang telah memahami konsep gender dan PUG. Daerah-
daerah itu adalah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Kabupaten Bone, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten
Polewali Mandar. Namun demikian, untuk menintegrasikan gender
ke dalam kebijakan program dan kegiatan di SKPD-nya perlu
pendampingan teknokratis yang intensif. Tim ARG yang telah
dibentuk oleh ketua Pokja PUG melakukan pendampingan
sebagaimana dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY.

Pendampingan antara lain berupa technical assisstance analisis gender


dan penyusunan Gender Budget Statement (GBS). Selain itu,
dilakukan penguatan skema koordinasi yang intensif untuk
memperkuat perspektif dan kemampuan focal point dalam
menganalisis isu gender pada tataran makro (indikator–indikator
outcome dalam kebijakan dan program) maupun isu gender pada
tataran mikro dalam tupoksi SKPD-nya (indikator–indikator output
pada program dan kegiatan). Inilah ruang yang terbuka bersamaan
dengan penerapan anggaran berbasis kinerja yang berfokus pada
pencapaian hasil dari belanja anggaran.

Secara umum, pemahaman dan kemampuan teknokratis yang semakin


meningkat memudahkan SKPD untuk melakukan penyebarluasan
gagasan ARG terhadap orang lain terutama aparat dalam satu SKPD
yang sama. Proses pendampingan menjadi jalan efektif untuk
membangun kapasitas ini.
IV. SIMPULAN

Keberhasilan percepatan pelaksanaan kebijakan PPRG di daerah sangat ditentukan tiga


faktor kunci, yaitu :

1. Mensinergikan Komitmen Politik, Kapasitas Teknokratis di Birokrasi, dan Peran


Masyarakat Sipil
2. Kapasitas yang Kuat dari SKPD yang Membidangi Tugas Pemberdayaan Perempuan
dan Kelembagaan PPRG di Daerah
3. Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja Mengakselerasi
Pelaksanaan Kebijakan PPRG.

Anda mungkin juga menyukai