Anda di halaman 1dari 56

Jun

12

Filariasis
FILARIASIS

I. PENDAHULUAN

Filariasis adalah penyakit yang mengenai kelenjar dan saluran limfe yang disebabkan oleh
parasit golongan nematoda yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang
ditularkan melalui nyamuk.1-5 Filariasis penting dalam dermatologi karena kulit merupakan
salah satu organ yang sering terkena. Filariasis menyebabkan kulit menjadi sangat gatal, timbul
papul dan scratch marks , hingga menyebabkan seluruh kulit menjadi kering dan tebal. Dapat
timbul nodus dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Filariasis menyebabkan limfedema
ekstremitas, vulva, skrotum, lengan dan payudara. Pada ekstremitas bawah biasanya tampak
gambaran verukosa dengan lipatan dan kulit yang pecah-pecah.5

Diperkirakan 120 juta penduduk dunia terinfeksi filariasis.1,3-7 Lebih dari 90% kasus filariasis
disebabkan oleh Wuchereria bancrofti 1,3,7-8 dan penderita terbanyak terdapat di Sub Saharan
Africa, Southeast Asia, dan Western Pacific.1,5,9 Program pencegahan sudah dilakukan di India,
Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan beberapa negara pasifik seperti Fiji dan Tahiti.1,9-10

Filariasis tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan di beberapa daerah tingkat
endemisitas cukup tinggi. Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran
rendah, terutama pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa, dan hutan. Secara umum
filariasis bancrofti tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan
Papua. Daerah endemis Wuchereria bancrofti dibedakan menjadi tipe pedesaan dan tipe
perkotaan berdasarkan vektor yang menularkan. Wuchereria tipe pedesaan ditemukan terutama
di Papua dan Nusa Tenggara dengan vektor Anopheles,Culex dan Aides sedangkan tipe
perkotaan ditemukan di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan Lebak pada
daerah yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor dengan vektor Culex
quinquefasciatus. Brugia malayi tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau
di Maluku, sedangkan Brugia timore tersebar di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba.
Berdasarkan hasil survey cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak
6233 orang tersebar di 1553 desa, di 231 kabupaten, 26 propinsi. Berdasarkan survey jari tahun
1999, tingkat endemisitas filariasis di Indonesia masih tinggi dengan microfilarial rate 3.1%.6
Daerah endemis filariasis adalah daerah dengan microfilarial rate ≥ 1%.11

Data statistik divisi Dermatologi umum Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUI/RSCM terdapat 1 pasien limfedema akibat filariasis sepanjang tahun 2003-2005.

Filariasis selain menyebabkan dampak sosial dan psikologik, juga ditetapkan oleh WHO sebagai
penyebab kecacatan permanen nomor dua.3 Pada makalah ini akan dibahas mengenai
etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis serta penatalaksanaan filariasis.

II. ETIOPATOGENESIS

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi dan Brugia timori.6 Filaria mempunyai siklus hidup bifasik dimana
perkembangan larva terjadi pada nyamuk (intermediate host) dan perkembangan larva dan
cacing dewasa pada manusia (definive host). 1,2,10

Pada tubuh penderita


Infeksi diawali pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari
probosisnya kemudian masuk melalui bekas luka gigitan nyamuk menembus dermis dan
bergerak menuju sistem limfe.1,2,6,10,12 Larva L3 akan berubah menjadi larva L4 pada hari 9-
14 setelah infeksi dan akan mengalami perkembangan menjadi cacing dewasa dalam 6-12 bulan,
setelah inseminasi, zigot berkembang menjadi mikrofilaria.2 Cacing betina dewasa akan
melepaskan ribuan mikrofilaria yang yang mempunyai selubung ke dalam sirkulasi limfe lalu
masuk ke sirkulasi darah perifer. Cacing betina dewasa aktif bereproduksi selama lebih kurang 5
tahun. Cacing dewasa berdiam di pembuluh limfe dan menyebabkan pembuluh berdilatasi,
sehingga memperlambat aliran cairan limfe. Sejumlah besar cacing dewasa ditemukan pada
saluran limfe ekstremitas bawah, ekstremitas atas dan genitalia pria..1,2

Pada nyamuk
Nyamuk menghisap mikrofilaria bersamaan saat menghisap darah.1,2,4,10 Dalam beberapa jam
mikrofilaria menembus dinding lambung, melepaskan selubung/sarungnya dan bersarang
diantara otot-otot toraks.1,6,10 Mula –mula parasit ini memendek menyerupai sosis dan disebut
larva stadium 1 (L1). Dalam kurang dari 1 minggu berubah menjadi larva stadium 2 (L2), dan
antara hari ke-11 dan 13 L2 berubah menjadi L3 atau larva infektif.1,2,10 Bentuk ini sangat
aktif, awalnya bermigrasi ke rongga abdomen kemudian ke kepala dan alat tusuk
nyamuk.1,2,6,12

Hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus di Indonesia yaitu Mansonia,
Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis.6

Gambar 1. Siklus hidup Wuchereria bancrofti *

Patogenesis filariasis sudah diperdebatkan sejak lama, terdapat beberapa hal yang menyebabkan
penelitian terhadap terjadinya penyakit ini terhambat. 1,3,13-15 Diduga 4 faktor berperan pada
patogenesis filariasis: cacing dewasa hidup, respon inflamasi akibat matinya cacing dewasa,
infeksi sekunder akibat bakteri, dan mikrofilaria.15 Cacing dewasa hidup akan menyebabkan
limfangiektasia.13-15 Karena pelebaran saluran limfe yang difus dan tidak terbatas pada tempat
dimana cacing dewasa hidup ada, diduga cacing dewasa tersebut mengeluarkan substansi yang
secara langsung atau tidak menyebabkan limfangiektasia. Pelebaran tersebut juga menyebabkan
terjadinya disfungsi limfatik dan terjadinya manifestasi klinis termasuk limfedema dan hidrokel.
Pecahnya saluran limfe yang melebar menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran
kemih sehingga terjadi kiluria dan kilokel. Matinya cacing dewasa menyebabkan respon
inflamasi akut yang akan memberikan gambaran klinis adenitis dan limfangitis.13,15

*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 10

Gambar 2. Patogenesis filariasis*

III. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk usia, jenis kelamin, lokasi
anatomis cacing dewasa filaria, respon imun, riwayat pajanan sebelumnya, dan infeksi
sekunder.15,16 Berdasarkan pemeriksaan fisik dan parasitologi, manifestasi klinis filariasis
dibagi dalam 4 stadium yaitu:4,8

1.Asimptomatik atau subklinis filariasis


a. Individu asimptomatik dengan mikrofilaremia
Pada daerah endemik dapat ditemukan penduduk dengan mikrofilaria positif tetapi tidak
menunjukkan gejala klinis. Angka kejadian stadium ini meningkat sesuai umur dan biasanya
mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun, dan lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan
wanita.1,3,4,8,7 Banyak bukti menunjukan bahwa walaupun secara klinis asimptomatik tetapi
semua individu yang terinfeksi W. bancrofti dan B.malayi mempunyai gejala subklinis.1,3,8. Hal
tersebut terlihat pada 40% individu mikrofilaremia ini menderita hematuri dan / proteinuria yg
menunjukkan kerusakan ginjal minimal.3,7.8, Kelainan ginjal ini berhubungan dengan adanya
mikrofilaria dibandingkan dengan adanya cacing dewasa, karena hilangnya mikrofilaria dalam
darah akan mengembalikan fungsi ginjal menjadi normal.3,8. Dengan lymphoscintigraphy
tampak pelebaran dan terbelitnya limfatik disertai tidak normalnya aliran limfe. Dengan USG
juga terlihat adanya limfangiektasia.3

*Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 13

Keadaan ini dapat bertahan selama bertahun-tahun yang kemudian secara perlahan berlanjut ke
stadium akut atau kronik.8

b. Individu asimptomatik dan amikrofilaremia dengan antigen filarial (+)


Pada daerah endemik terdapat populasi yang terpajan dengan larva infektif (L3) yang tidak
menunjukkan adanya gejala klinis atau adanya infeksi, tetapi mempunyai antibodi-antifilaria
dalam tubuhnya. 3,5,7,8

2. Stadium akut
Manifestasi klinis akut dari filariasis ditandai dengan serangan demam berulang yang disertai
pembesaran kelenjar (adenitis) dan saluran limfe (lymphangitis) disebut adenolimfangitis
(ADL).1,8,16 Etiologi serangan akut masih diperdebatkan, apakah akibat adanya infeksi
sekunder, respon imun terhadap antigen filarial, dan dilepaskannya zat-zat dari cacing yang mati
atau hidup.15
Terdapat dua mekanisme berbeda dalam terjadinya serangan akut pada daerah endemik:
a) Dermatolimfangioadenitis akut (DLAA), proses di awali di kulit yang kemudian menyebar ke
saluran limfe dan kelenjar limfe. DLAA ditandai dengan adanya plak kutan atau subkutan yang
disertai dengan limfangitis dengan gambaran retikular dan adenitis regional.3,7,15,17 Terdapat
pula gejala konstitusional sistemik maupun lokal yang berat berupa demam, menggigil dan
edema pada tungkai yang terkena.15,17 Terdapat riwayat trauma, gigitan serangga, luka mekanik
sebagai porte d’ entrée. DLAA adalah ADL sekunder yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau
jamur.3 DLA secara klinis menyerupai selulitis atau erisipelas.17

b) Limfangitis filarial akut (LFA), merupakan reaksi imunologik dengan matinya cacing dewasa
akibat sistim imun penderita atau terapi.3,8,15 Kelainan ini ditandai dengan adanya Nodus atau
cord yang disertai limfadenitis atau limfangitis retrograde pada ekstremitas bawah atau atas,
yang menyebar secara sentrifugal.3,8,15,17 Keadaan ini dapat terjadi secara berulang pada lokasi
yang sama.3,8

Filariasis bancrofti sering hanya mengenai sistem limfatik genitalia pria sehingga mengakibatkan
terjadinya funikulitis, epididimitis atau orkitis, sedangkan pada filariasis brugia, kelenjar limfe
yang terkena biasanya daerah inguinal atau aksila yang nantinya berkembang menjadi abses yang
pecah meninggalkan jaringan parut.8,12,16 Keluhan biasanya timbul setelah bekerja berat. Pada
filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena.8,16 Pada masa resolusi fase
akut, kulit pada ekstremitas yang terlibat akan mengalami eksfoliatif yang luas. Keadaan akut
dapat berulang 6-10 episode per tahun dengan lama setiap episode 3-7 hari.9 Serangan berulang
adenolimfangitis (ADL) merupakan faktor penting dalam perkembangan penyakit. Pani dkk
membuktikan bahwa terdapat hubungan langsung antara jumlah serangan akut dan beratnya
limfedema.3,8.17 Makin lama gejala akut semakin ringan, yang akhirnya menuju pada stadium
kronik. DLAA lebih sering ditemukan dibandingkan LFA.15,17

3. Stadium kronik
Manisfestasi kronis filariasis jarang terlihat sebelum usia lebih dari 15 tahun dan hanya sebagian
kecil dari populasi yang terinfeksi mengalami stadium ini.15 Hidrokel, limfedema, elephantiasis
tungkai bawah, lengan atau skrotum, kiluria adalah manifestasi utama dari filariasis
kronik.1,4,5,7,8

Hidrokel merupakan pembesaran testis akibat terkumpulnya cairan limfe dalam tunika vaginalis
testis.8,16,17 Kelainan ini disebabkan oleh W. bancrofti dan merupakan manifestasi kronis yang
paling sering ditemukan pada infeksi filariasis.8 Pada daerah endemik, 40-60% laki-laki dewasa
memiliki hidrokel 7,8 Cairan yang terkumpul biasanya bening. Uji transluminasi dapat
membantu menegakkan diagnosis.8

Limfedema pada ekstremitas atas jarang terjadi dibandingkan dengan limfedema pada
ekstremitas bawah. Pada filariasis bancrofti seluruh tungkai dapat terkena, berbeda dengan
filariasis brugia yang hanya mengenai kaki dibawah lutut dan kadang-kadang lengan dibawah
siku.1,8,16,18 Gerusa dkk (2000) menetapkan 7 stadium limfedema.19 Stadium 1
menggambarkan limfedema yang ringan atau sedang sedangkan stadium 7 menggambarkan
keadaan yang paling berat. Pembagian ini berkaitan dengan beratnya limfedema, resiko
terkenanya serangan akut dan dalam penatalaksanaan.15 Limfedema pada filariasis biasanya
terjadi setelah serangan akut berulang kali. Kelainan pada kulit dapat terlihat sebagai kulit yang
menebal, hiperkeratosis, hipotrikosis atau hipertrikosis, pigmentasi, ulkus kronik, nodus dermal
dan subepidermal.8
Tabel 1. Gambaran stadium Limfedema*
*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 19

Limfedema pada genitalia melibatkan pembengkakan pada skrotum dan / penebalan kulit
skrotum atau kulit penis yang akan memberikan gambaran peau d’ orange yang nantinya
berkembang menjadi lesi verukosa.1,8

Kiluria terjadi akibat bocornya atau pecahnya saluran limfe oleh cacing dewasa yang
menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih.1,8,12,16 Kelainan ini disebabkan
oleh W. bancrofti.16 Pasien dengan kiluria mengeluhkan adanya urine yang berwarna putih
seperti susu (milky urine).1,7,8,16 Diagnosis kiluria ditetapkan dengan ditemukannya limfosit
pada urine.8

Limforea sering terjadi pada dinding skrotum dimana cairan limfe meleleh keluar dari saluran
limfe yang pecah.1,8,19

Pada daerah endemik, payudara dapat terkena, baik unilateral ataupun bilateral. Hal ini harus
dapat dibedakan dengan mastitis kronik dan limfedema pasca mastektom.1

4.Occult filariasis

Occult filariasis merupakan infeksi filariasis yang tidak memperlihatkan gejala klasik filariasis
serta tidak ditemukannya mikrofilaria dalam darah, tetapi ditemukan dalam organ dalam.1,4,8
Occult filariasis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tubuh penderita terhadap antigen
mikrofilaria.4,12 Contoh yang paling jelas adalah Tropical Pulmonary Eosinophilia (TPE). TPE
sering ditemukan di Southeast Asia, India, dan beberapa daerah di Cina dan Afrika 1,3 TPE
adalah suatu sindrom yang terdiri dari gangguan fungsi paru, hipereosinofilia (>3000mm3),
peningkatan antibodi antifilaria, peningkatan IgE antifilaria dan respon terhadap terapi DEC.
Manifestasi klinis TPE berupa gejala yang menyerupai asma bronkhial ( batuk, sesak nafas, dan
wheezing),penurunan berat badan, demam, limfadenopati lokal, hepatosplenomegali.1,3,4,7-9,12
Pada foto torak tampak peningkatan corakan bronkovaskular terutama didasar paru, dan
pemeriksaan fungsi paru tampak defek obstruktif.Jika pasien dengan TPE tidak diobati, maka
penyakit akan berkembang menjadi penyakit paru restriktif kronik dengan fibrosis
interstisial.4,7,8

Pada daerah endemis, perjalanan penyakit filariasis berbeda antara penduduk asli dengan
penduduk yang berasal dari daerah non-endemis dimana gejala dan tanda lebih cepat terjadi
berupa limfadenitis, hepatomegali dan splenomegali,1,7,8 Llimfedema dapat terjadi dalam waktu
6 bulan dan dapat berlanjut menjadi elefantiasis dalam kurun waktu 1 tahun.20 Hal ini
diakibatkan karena pendatang tidak mempunyai toleransi imunologik terhadap antigen filaria
yang biasanya terlihat pada pajanan lama.1 Resiko terjadinya manifestasi akut dan kronik pada
seseorangan yang berkunjung ke daerah endemis sangat kecil, hal tersebut menunjukkan
diperlukannya kontak/pajanan berulang dengan nyamuk yang terinfeksi.1 Riwayat sensitisasi
prenatal dan toleransi imunologik terhadap antigen filarial mempengaruhi respon patologi infeksi
dan tendensi terjadinya manifestasi subklinis pada masa kanak-kanak.1,3

IV. DIAGNOSIS BANDING

Pembesaran ekstremitas
Limfangitis bakterial akut, limfadenitis kronik,LImfogranuloma inguinale dan limfadenitis
tuberkulosis dapat menyebabkan limfedema ekstremitas bawah.5 Trauma pada saluran limfe
akibat operasi juga dapat menyebabkan limfedema. Pasien dengan limfedema tanpa adanya
riwayat serangat akut berulang dikenal sebagai cold lymphedema merupakan kelainan bawaan.8
Tumor dan pembentukkan jaringan fibrotik juga dapat menyebabkan tekanan pada saluran limfe
dan menurunkan aliran limfe sehingga terjadi limfedema secara perlahan. Mastektomi dengan
limfedenektomi merupakan salah satu hal penyebab terjadinya limfedema pada ekstremitas
atas.19

Lipedema
Pembesaran kronik akibat jaringan lemak yang berlebihan, biasanya pada tungkai atas dan
pinggul. Kelainan simetris, telapak kaki normal. Kelainan ini terjadi pada saat pubertas atau 1-2
tahun sesudahnya.19

Hernia inguinalis
Kelainan ini dapat menyerupai hidrokel. Pada hernia batas atas masuk kedalam perut,testis
teraba, isi dapat keluar masuk dan pada auskultasi bising usus (+). Pada saat pasien berdiri
terlihat dasar hidrokel menyempit berbeda dengan hernia yang dasarnya melebar.16,19

Knobs
Knobs/lump dengan pertumbuhan cepat dengan atau tanpa perdarahan dapat disebabkan oleh
kanker kulit. Misetoma dan kromoblastosis juga dapat memberikan gambaran benjolan/nodus.
Misetoma merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh jamur yang ditemukan pada tanah dan
tumbuhan. Jamur masuk melalui luka kemudian terbentuk abses, sinus dan fistel yang multiple.
Didalam sinus terdapat butir-butir (granules) yang merupakan kumpulan dari jamur tersebut.
Kromoblastosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur berpigmen yang ditemukan
pada kayu, tumbuhan dan tanah. Perlu dibedakan kromoblastomikosis dengan limfedema
stadium 6 yang memberikan gambaran mossy foot.19

Kiluria
Keadaan ini dapat juga disebabkan oleh trauma, kehamilan, tumor atau diabetes mellitus. Pada
diabetes mellitus, kiluria terjadi akibat pus. Untuk membedakan ke dua keadaan ini, pasien
diminta menampung urin dalam wadah transparan dan membiarkan urin selama 30-40 menit.
Jika terjadi pemisahan antara sedimen dan urin, maka pasien tidak menderita kiluria.15,19
V. PENATALA KSANAAN

A. Diagnosis
Diagnosis yang efisien dan efektif sangatlah penting dan menjadi faktor penentu dalam
penatalaksanaan penyakit. Terdapat beberapa cara :

1. Pemeriksaan klinis : tidak sensitif dan tidak spesifik untuk menentukan adanya infeksi aktif.4

2. Pemeriksaan parasitologi dengan menemukan mikrofilaria dalam sediaan darah, cairan


hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa, tehnik
Knott, membrane filtrasi dan tes provokasi DEC.12,21,22 Sensitivitas bergantung pada volume
darah yang diperiksa, waktu pengambilan dan keahlian teknisi yang memeriksanya. Pemeriksaan
ini tidak nyaman, karena pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari antara pukul
22.00-02.00 mengingat periodisitas mikrofilaria umumnya nokturna.12,21 Spesimen yang
diperlukan ± 50µl darah dan untuk menegakan diagnosis diperlukan ≥ 20 mikrofilaria/ml
(Mf/ml).21

3. Deteksi antibodi: Peranan antibodi antifilaria subklas IgG4 pada infeksi aktif filarial
membantu dikembangkannya serodiagnostik berdasarkan antibodi kelas ini. Pemeriksaan ini
digunakan untuk pendatang yang tinggal didaerah endemik atau pengunjung yang pulang dari
daerah endemik.3,21 Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan infeksi parasit sebelumnya dan
kini, selain itu titer antibodi tidak menunjukkan korelasi dengan jumlah cacing dalam tubuh
penderita.4,12

4. Deteksi antigen yang beredar dalam sirkulasi.3,21,23 Pemeriksaan ini memberikan hasil yang
sensitif dan spesies spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan makroskopis. Terdapat dua cara
yaitu dengan ELISA (enzyme-linked immunosorbent) dan ICT card test
(immunochromatographic).3,4,21,22 Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif dalam
tubuh penderita, selain itu, tes ini dapat digunakan juga untuk monitoring hasil pengobatan.3
Kekurangan pemeriksaan ini adalah tidak sensitif untuk konfirmasi pasien yang diduga secara
klinis menderita filariasis. Tehnik ini juga hanya dapat digunakan untuk infeksi filariasis
bancrofti. Diperlukan keahlian dan laboratorium khusus untuk tes ELISA sehingga sulit untuk di
aplikasikan di lapangan.4 ICT adalah tehnik imunokromatografik yang menggunakan antibodi
monoklonal dan poliklonal. Keuntungan dari ICT adalah invasif minimal (100 µl), mudah
digunakan, tidak memerlukan teknisi khusus, hasil dapat langsung dibaca dan murah. Sensitivitas
ICT dibandingkan dengan pemeriksaan sediaan hapus darah tebal adalah 100% dengan
spesifisitas 96.3%. 3

5. Deteksi parasit dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Tehnik ini digunakan untuk
mendeteksi DNA W. bancrofti dan B. malayi.1,3,21 PCR mempunyai sensitivitas yang tinggi
yang dapat mendeteksi infeksi paten pada semua individu yang terinfeksi, termasuk individu
dengan infeksi tersembunyi (amikrofilaremia atau individu dengan antigen +).21 Kekurangannya
adalah diperlukan penanganan yang sangat hati-hati untuk mencegah kontaminasi spesimen dan
hasil positif palsu. Diperlukan juga tenaga dan laboratorium khusus selain biaya yang mahal.4

6. Radiodiagnostik 1,3,4,21
· Menggunakan USG pada skrotum dan kelenjar inguinal pasien, dan akan tampak gambaran
cacing yang bergerak-gerak (filarial dancing worm). Pemeriksaan ini berguna terutama untuk
evaluasi hasil pengobatan.
· Limfosintigrafi menggunakan dextran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif yang
menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada pasien dengan asimptomatik
milrofilaremia

B. Terapi

Obat anti-filaria yang digunakan


Diethylcarbamazine citrate (DEC)
Diethylcarbamazine citrate (DEC) telah digunakan sejak ± 40 tahun lamanya dan masih
merupakan terapi anti-filarial yang digunakan secara luas. 3,12,15,24 WHO merekomendasikan
pemberian DEC dengan dosis 6 mg/kgBB untuk 12 hari berturut-turut.3,7,15,20,24 Cara
pemberian tersebut tidak praktis digunakan untuk community-based control programme karena
mahal.3,15 Andrade dkk (1995) membandingkan pemberian dosis tunggal DEC 6 mg/kgBB dan
pemberian DEC dosis yang sama selama 12 hari, didapatkan kadar mikrofilaria yang sama pada
ke-2 grup setelah terapi 12 bulan, meskipun pada bulan 1, 3 dan 6 kadar mikrofilaremia tinggi
pada grup dosis tunggal.15
Dosis yang disarankan WHO digunakan untuk terapi selektif/perorangan, dimana orang tersebut
yang mencari pertolongan, sedangkan untuk terapi massal digunakan dosis tunggal 6mg/kgBB
yang diberikan setiap tahun selama 4-6 tahun berturut-turut.20Terapi massal adalah terapi yang
diberikan kepada seluruh penduduk di daerah endemis filariasis.11,20 Di Indonesia, dosis 6
mg/kg BB memberikan efek samping yang berat, sehingga pemberian DEC di lakukan
berdasarkan usia dan dikombinasi dengan albendazol.11

Ivermectin
Ivermectin terbukti sangat efektif dalam menurunkan mikrofilaremia pada filariasis bancrofti di
sejumlah negara.3 Obat ini membunuh 96% mikrofilaremia dan menurunkan produksi
mikrofilaremia sebesar 82%.25.Obat ini merupakan antibiotik semisintetik golongan makrolid
yang berfungsi sebagai agent mikrofilarisidal poten.12,15 Dosis tunggal 200-400µg/kg dapat
menurunkan mikrofilaria dalam darah tepi untuk waktu 6-24 bulan. Dengan dosis tunggal 200
atau 400µl/kg dapat langsung membunuh mikrofilaremia dan menurunkan produksi
mikrofilaremia.25 Obat belum digunakan di Indonesia.

Albendazol
Obat ini digunakan untuk pengobatan cacing intestine selama bertahun-tahun dan baru baru ini di
coba digunakan sebagai anti-filaria.3 Dosis tunggal albendazol tidak mempunyai efek terhadap
mikrofilaremia.15 Albendazole hanya mempunya sedikit efek untuk mikrofilaremia dan
antigenaemia jika digunakan sendiri.3 ADosis tunggal 400 mg di kombinasi dengan DEC atau
ivermectin efektif menghancurkan mikrofilaria.26
Penatalaksanaan filariasis bergantung kepada keadaan klinis dan beratnya penyakit.8,16,26

Asimptomatik atau subklinis


Pengobatan awal dengan anti-filaria pada pasien asimptomatik sangat disarankan untuk
mencegah kerusakan limfatik lebih lanjut. Efektifitas terapi dapat di evaluasi dengan melakukan
tes mikrofilaria 6-12 bulan setelah terapi.1

Stadium akut
Selama serangan akut pemberian DEC tidak di anjurkan, karena diduga akan memperberat
keaadaan akibat matinya cacing dewasa.15 Terapi supportif harus dilakukan termasuk istirahat,
kompres, elevasi ekstremitas yang terkena dan pemberian analgetik dan antipiretik.15,17,19 Pada
serangan akut ADLA pemberian antibiotik oral dapat dilakukan sewaktu menunggu hasil
kultur.15

Stadium kronik
Obat anti-filaria jarang digunakan untuk keadaan kronik tetapi diberikan jika pasien terbukti
menderita infeksi aktif, misalnya dengan ditemukannya mikrofilaria, antigen mikrofilaria atau
filarial dancing sign. Kerusakan limfatik akibat filariasis bersifat permanen dan obat anti-filaria
tidak menyembuhkan keadaan limfedema, tetapi limfedema dapat di tatalaksana dengan cara
menghentikan serangan akut dan mencegah keadaan menjadi berat/buruk.19 Terdapat 5
komponen dasar dalam penatalaksanaan limfedema yang dapat dilakukan oleh pasien yaitu
kebersihan, pencegahan dan perawatan luka/entry lesion, latihan, elevasi dan penggunaan sepatu
yang sesuai.15,19 Komponen tambahan dalam penatalaksanaan limfedema adalah penggunaan
emolien, verban, stocking, pijat, antibiotik pofilaksis dan tindakan bedah.15,19,27

Pemberian benzopyrenes, termasuk flavonoids dan coumarin dapat menjadi terapi tambahan.
Obat ini mengikat protein yang telah terakumulasi sehingga menginduksi fagositosis makrofag
menyebabkan terpecahnya protein yang kemudian keluar kedalam vena dan dibuang oleh sistem
vascular.15,27

Tabel 2. Penatalaksanaan limfedema sesuai stadium-petunjuk umum*


Tindakan bedah pada limfedema bersifat paliatif, indikasi tindakan bedah adalah jika tidak
terdapat perbaikan dengan terapi konservatif, limfedema sangat besar sehingga mengganggu
aktivitas dan pekerjaan dan menyebabkan tidak berhasilnya terapi konsevatif.27 Berbagai
prosedur operasi digunakan tetapi secara umum tidak memberikan hasil yang memuaskan.15
Yang termasuk dalam prosedur ini adalah lymphangioplasty, lympho-venous anastomosis dan
eksisi (de-bulking) dari jaringan subkutan yang fibrotik.15,27 Peranan tindakan pembedahan
limfedema ekstremitas akibat filariasis sangat terbatas.15

Penatalaksanaan hidrokel adalah dengan pemberian obat anti-filaria, perawatan dasar seperti
kebersihan, dan tindakan bedah.16 Indikasi operasi pada pasien dengan hidrokel adalah jika
mengganggu pekerjaan, mengganggu aktivitas seksual, mengganggu berkemih, dan memberi
efek sosial terhadap keluarga.Prosedur yang digunakan adalah dengan melakukan eksisi tunika
vaginalis sebanyak mungkin dan membalikkannya (Bergmann Wingklemann) untuk hidrokel
besar dan prosedur Lord untuk hidrokel kecil dimana dilakukan pengecilan tunika vaginalis
dengan merempel.16

*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 19

Penatalaksanaan kiluria adalah istirahat, diet tinggi protein rendah lemak, minum banyak (paling
sedikit 2 gelas/jam selama BAK masih seperti susu). Tindakan bedah masih kontroversi tetapi di
anjurkan untuk kasus yang berat.15,16,28 Prosedure yang digunakan adalah lympho-venous
disconnection, lymphangio-venous anastomosis, lymphnode-saphenous vein anastomosis.28

Tropical Pulmonary Eosinophil


DEC adalah obat pilihan untuk TPE. Gejala pernapasan membaik secara cepat setelah pemberian
DEC. Pemberian DEC 21-28 hari menyebabkan hilangnya microfilaria secara cepat
dibandingkan dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB, sehingga pemberian terapi lebih lama lebih
disarankan.15

Pencegahan dan kontrol filariasis


Tahun 1997, the World Health Assembly (WHA) mengajak anggota WHO untuk mendukung
program The Global Elimination of Lymphatic Filariasis (GPELF) sebagai masalah kesehatan
masyarakat.Tahun 2000 WHO mulai menetapkan GPELF dan merekomendasikan semua
penduduk yang tinggal didaerah beresiko untuk di obati satu kali dalam satu tahun dengan dua
kombinasi obat dan diberikan dalam 4-6 tahun berturut-turut.Tiga obat anti-parasit yang di
sarankan adalah DEC, albendazol, ivermectin.20
Pencegahan melawan infeksi filariasis juga dapat dilakukan secara individu dengan cara
menghindari terkenanya gigitan nyamuk. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memakai kelambu
dan menggunakan repellent, tetapi hal ini tidak bisa diterapkan disemua wilayah.1

VI. PENUTUP

Filariasis merupakan penyakit yang menyebabkan penderitaan baik fisik maupun psikologis.
Walaupun insiden penyakit ini jarang tetapi kita tetap perlu memikirkan filariasis sebagai salah
satu penyebab bila menemukan kasus limfedema. Ketelitian diagnostik diperlukan untuk
mencegah berkembangnya penyakit ini ke stadium yang lebih lanjut. Oleh karena itu diperlukan
kerjasama multi disiplin untuk melakukan pendekatan diagnostik dan penanganan penyakit.
Lampiran
Ekstremitas bengkak

Unilateral Bilateral

Asimetris Simetris,pitting
Perubahan tekstur kulit
Kulit mengeras/fibrotik penyakit sistemik
Vena Limfatik

-Nyeri, tu setelah berdiri lama -tidak nyeri


atau setelah berjalan - perubahan kulit: penebalan kulit, kulit mjd keras
-Varises

-USG dupleks Primer sekunder


- venogram (tidak diketahui etiologi)

Mastektomi dgn limfedenektomi


-Onset tiba-tiba
-Perjalanan peny cepat
-Riw tinggal di daerah endemis
-Riw memp tetangga/kel dg kaki gajah/hidrokel
-ADL berulang
Filariasis keganasan operasi

-Deteksi mf , tes serologi

DAFTAR PUSTAKA

1. Nutmat TB, James W kazura . Filariasis.Dalam: Guerrant RL, walker DH, Weller PF,
penyunting.,Tropical Infectious Disease. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier;2006:1152-9
2. Scott AL. Lymphatic-dwelling filariasis. Dalam: Thomas B. Nutman, penyunting. Lymphatic
filariasis. Imperial college press; 2002:5-7
3. Melrose WD. Lymphatic filariasis: new insight into an old disease. Int J parasitol
2002;32:947-955
4. Atmadja AK. Diagnosis dan penanggulangan filariasis masa kini. Dalam seminar parasitologi
klinik 29 Januari 2000
5. Kalungi S, Tumwine LK. Nematodal helminthes. Dalam: Tyring SK, Lupi O, Hengge UR,
penyunting. Tropical dermatology. Edisi ke-1. Philadelphia: Elsevier;2006:57-61
6. Epidemiologi filariasis. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
PP&PL Jakarta 2006.
7. Filariasis. Tersedia dari www.filariasis.org
8. Kusmaraswami V. The clinical manifestation of lymphatic filariasis. Dalam : Nutman TB
penyunting. Limphatic filariasis. Imperial college press;2002:103-122
9. Lucchina LC, Wilson M.E. Cysticercosis and other helminthic infection. Dalam : Freedberg
IM,Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s
Dermatology in generak medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2003;2240-3
10. http://www.cdc.gov/ncidod/dpd/parasites/lymphaticfilariasis/
11. Pedoman penatalaksanaan reaksi simpang pengobatan filariasis. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PP&PL, Jakarta 2007
12. Partono F, Kurniawan A, Oemijati S. Nematoda jaringan. Dalam: Gandahusada S, Illahude
H, Pribadi W, penyunting. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3Jakarta:Balai penerbit
FKUI;2003:35-44
13. Dreyer G, Norões J, Fifueredo-Silva J, Piessens WF. Pathogenesis of lymphatic disease in
bancroftian filariasis: a clinical perspective. Parasitol Today 2000;16(12):544-8
14. Freedman DO. Immune dynamic in the pathogenesis of human lymphatic filariasis.
Parasitol.Today 1998;14(6):229-233
15. Addis DG, Dreyer G. Treatment of lymphatic filariassis. Dalam Thomas B. Nutman,
penyunting. Lymphatic filariasis. Imperial college press;2002:151-180
16. Pedoman penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Departemen kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat jenderal PP&PL. Jakarta 2006
17. Addis DG, Brady MA. Morbidity management in the global programme to eliminate
lymphatic filariasis: a review of the scientific literature. Filarial journal 2007;6(2):1-19
18. Baird JB, Charles JL, Streit TG, Robert JM, Addis DG, Lammie PJ. Reactivity to bacterial,
fungal, and parasite antigens in patients with lymphedema and elephantiasis. Am J Trop Med
Hyg 2002;66(2): 163-9
19. Dreyer G, Addis D, Dreyer P, Norões J. Basic lymphoedema management. Holis, NH: Holis
Publishing Company 2002
20. http://www.who.int/
21. McCarthy J. Diagnostic of lymphatic filarial infections. Dalam Thomas B Nutman
penyunting. Lymphatic filariasis. Imperial college press Londn 2002:127-150
22. Weil. G.J, Ramzy RM. Diagnostic tools for filariasis elimination programs. Trends
Parasitol.2007;23(2):78-82. Review
23. W. Melrose, N. Rahmah. Use of brugia rapid dipstick and ICT test to map distribution of
lymphatic filariasis in the Democratic Republic of Timor-Leste. Southeast Asian J Trop Med
Public Health 2006;37(4):22-25
24. Siraut C, Bhumiratana A, Koyadun S, Anurat K, Satitivipawee K. Short term effects of
treatment with 300 mg oral-dose diethylcarbamazine on nocturnally periodic wuchereria
bancrofti microfilaremia and antigenemia. Southeast Asian J Trop Med Public Health
2005;36(4):832-840
25. Stolk WA, Gerrit J. Van Oortmarssen, S. P. Pani, Sake J, De Vlas, S. Subramanian, P.K. Das
Effects of ivermectin and diethylcarbamazine on microfilaria and overall microflaria production
in bancroftian filariasis. Am. J. Trop. Med. Hyg.2005;73(5): 881–887
26. Anitha K, Shenoy RK. Treatment of lymphatics: current trends.Indian J of Derm, ven and
lepr 2001;67(2):60-65
27. Lymphedema tersedia pada http://www.emedicine.com/med/topic794.htm
28. Viswaroop B, Gopalakrishnan G. Open surgery for chyluria. Indian J Urol 2005;21:31-4
.
Kepada Yth:

TINJAUAN PUSTAKA

Moderator : dr. Erdina H D Poesponegoro, SpKK (K)


Komentator : dr. Srie Prihianti, SpKK .PhD
Narasumber : - Departemen Kulit dan Kelamin divisi dermatologi umum FKUI/RSCM
-Departemen Parasitologi FKUI/RSCM
-Departemen Bedah divisi bedah vaskuler FKUI/RSCM
Dibacakan : Rabu, 9 Januari 2008

FILARIASIS

Susanthy Ulyana
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

I. PENDAHULUAN

Filariasis adalah penyakit yang mengenai kelenjar dan saluran limfe yang disebabkan oleh
parasit golongan nematoda yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang
ditularkan melalui nyamuk.1-5 Filariasis penting dalam dermatologi karena kulit merupakan
salah satu organ yang sering terkena. Filariasis menyebabkan kulit menjadi sangat gatal, timbul
papul dan scratch marks , hingga menyebabkan seluruh kulit menjadi kering dan tebal. Dapat
timbul nodus dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Filariasis menyebabkan limfedema
ekstremitas, vulva, skrotum, lengan dan payudara. Pada ekstremitas bawah biasanya tampak
gambaran verukosa dengan lipatan dan kulit yang pecah-pecah.5

Diperkirakan 120 juta penduduk dunia terinfeksi filariasis.1,3-7 Lebih dari 90% kasus filariasis
disebabkan oleh Wuchereria bancrofti 1,3,7-8 dan penderita terbanyak terdapat di Sub Saharan
Africa, Southeast Asia, dan Western Pacific.1,5,9 Program pencegahan sudah dilakukan di India,
Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan beberapa negara pasifik seperti Fiji dan Tahiti.1,9-10

Filariasis tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan di beberapa daerah tingkat
endemisitas cukup tinggi. Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran
rendah, terutama pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa, dan hutan. Secara umum
filariasis bancrofti tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan
Papua. Daerah endemis Wuchereria bancrofti dibedakan menjadi tipe pedesaan dan tipe
perkotaan berdasarkan vektor yang menularkan. Wuchereria tipe pedesaan ditemukan terutama
di Papua dan Nusa Tenggara dengan vektor Anopheles,Culex dan Aides sedangkan tipe
perkotaan ditemukan di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan Lebak pada
daerah yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor dengan vektor Culex
quinquefasciatus. Brugia malayi tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau
di Maluku, sedangkan Brugia timore tersebar di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba.
Berdasarkan hasil survey cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak
6233 orang tersebar di 1553 desa, di 231 kabupaten, 26 propinsi. Berdasarkan survey jari tahun
1999, tingkat endemisitas filariasis di Indonesia masih tinggi dengan microfilarial rate 3.1%.6
Daerah endemis filariasis adalah daerah dengan microfilarial rate ≥ 1%.11

Data statistik divisi Dermatologi umum Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUI/RSCM terdapat 1 pasien limfedema akibat filariasis sepanjang tahun 2003-2005.

Filariasis selain menyebabkan dampak sosial dan psikologik, juga ditetapkan oleh WHO sebagai
penyebab kecacatan permanen nomor dua.3 Pada makalah ini akan dibahas mengenai
etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis serta penatalaksanaan filariasis.

II. ETIOPATOGENESIS

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi dan Brugia timori.6 Filaria mempunyai siklus hidup bifasik dimana
perkembangan larva terjadi pada nyamuk (intermediate host) dan perkembangan larva dan
cacing dewasa pada manusia (definive host). 1,2,10

Pada tubuh penderita


Infeksi diawali pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari
probosisnya kemudian masuk melalui bekas luka gigitan nyamuk menembus dermis dan
bergerak menuju sistem limfe.1,2,6,10,12 Larva L3 akan berubah menjadi larva L4 pada hari 9-
14 setelah infeksi dan akan mengalami perkembangan menjadi cacing dewasa dalam 6-12 bulan,
setelah inseminasi, zigot berkembang menjadi mikrofilaria.2 Cacing betina dewasa akan
melepaskan ribuan mikrofilaria yang yang mempunyai selubung ke dalam sirkulasi limfe lalu
masuk ke sirkulasi darah perifer. Cacing betina dewasa aktif bereproduksi selama lebih kurang 5
tahun. Cacing dewasa berdiam di pembuluh limfe dan menyebabkan pembuluh berdilatasi,
sehingga memperlambat aliran cairan limfe. Sejumlah besar cacing dewasa ditemukan pada
saluran limfe ekstremitas bawah, ekstremitas atas dan genitalia pria..1,2

Pada nyamuk
Nyamuk menghisap mikrofilaria bersamaan saat menghisap darah.1,2,4,10 Dalam beberapa jam
mikrofilaria menembus dinding lambung, melepaskan selubung/sarungnya dan bersarang
diantara otot-otot toraks.1,6,10 Mula –mula parasit ini memendek menyerupai sosis dan disebut
larva stadium 1 (L1). Dalam kurang dari 1 minggu berubah menjadi larva stadium 2 (L2), dan
antara hari ke-11 dan 13 L2 berubah menjadi L3 atau larva infektif.1,2,10 Bentuk ini sangat
aktif, awalnya bermigrasi ke rongga abdomen kemudian ke kepala dan alat tusuk
nyamuk.1,2,6,12

Hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus di Indonesia yaitu Mansonia,
Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis.6

Gambar 1. Siklus hidup Wuchereria bancrofti *

Patogenesis filariasis sudah diperdebatkan sejak lama, terdapat beberapa hal yang menyebabkan
penelitian terhadap terjadinya penyakit ini terhambat. 1,3,13-15 Diduga 4 faktor berperan pada
patogenesis filariasis: cacing dewasa hidup, respon inflamasi akibat matinya cacing dewasa,
infeksi sekunder akibat bakteri, dan mikrofilaria.15 Cacing dewasa hidup akan menyebabkan
limfangiektasia.13-15 Karena pelebaran saluran limfe yang difus dan tidak terbatas pada tempat
dimana cacing dewasa hidup ada, diduga cacing dewasa tersebut mengeluarkan substansi yang
secara langsung atau tidak menyebabkan limfangiektasia. Pelebaran tersebut juga menyebabkan
terjadinya disfungsi limfatik dan terjadinya manifestasi klinis termasuk limfedema dan hidrokel.
Pecahnya saluran limfe yang melebar menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran
kemih sehingga terjadi kiluria dan kilokel. Matinya cacing dewasa menyebabkan respon
inflamasi akut yang akan memberikan gambaran klinis adenitis dan limfangitis.13,15

*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 10

Gambar 2. Patogenesis filariasis*

III. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk usia, jenis kelamin, lokasi
anatomis cacing dewasa filaria, respon imun, riwayat pajanan sebelumnya, dan infeksi
sekunder.15,16 Berdasarkan pemeriksaan fisik dan parasitologi, manifestasi klinis filariasis
dibagi dalam 4 stadium yaitu:4,8

1.Asimptomatik atau subklinis filariasis


a. Individu asimptomatik dengan mikrofilaremia
Pada daerah endemik dapat ditemukan penduduk dengan mikrofilaria positif tetapi tidak
menunjukkan gejala klinis. Angka kejadian stadium ini meningkat sesuai umur dan biasanya
mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun, dan lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan
wanita.1,3,4,8,7 Banyak bukti menunjukan bahwa walaupun secara klinis asimptomatik tetapi
semua individu yang terinfeksi W. bancrofti dan B.malayi mempunyai gejala subklinis.1,3,8. Hal
tersebut terlihat pada 40% individu mikrofilaremia ini menderita hematuri dan / proteinuria yg
menunjukkan kerusakan ginjal minimal.3,7.8, Kelainan ginjal ini berhubungan dengan adanya
mikrofilaria dibandingkan dengan adanya cacing dewasa, karena hilangnya mikrofilaria dalam
darah akan mengembalikan fungsi ginjal menjadi normal.3,8. Dengan lymphoscintigraphy
tampak pelebaran dan terbelitnya limfatik disertai tidak normalnya aliran limfe. Dengan USG
juga terlihat adanya limfangiektasia.3

*Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 13

Keadaan ini dapat bertahan selama bertahun-tahun yang kemudian secara perlahan berlanjut ke
stadium akut atau kronik.8

b. Individu asimptomatik dan amikrofilaremia dengan antigen filarial (+)


Pada daerah endemik terdapat populasi yang terpajan dengan larva infektif (L3) yang tidak
menunjukkan adanya gejala klinis atau adanya infeksi, tetapi mempunyai antibodi-antifilaria
dalam tubuhnya. 3,5,7,8

2. Stadium akut
Manifestasi klinis akut dari filariasis ditandai dengan serangan demam berulang yang disertai
pembesaran kelenjar (adenitis) dan saluran limfe (lymphangitis) disebut adenolimfangitis
(ADL).1,8,16 Etiologi serangan akut masih diperdebatkan, apakah akibat adanya infeksi
sekunder, respon imun terhadap antigen filarial, dan dilepaskannya zat-zat dari cacing yang mati
atau hidup.15
Terdapat dua mekanisme berbeda dalam terjadinya serangan akut pada daerah endemik:
a) Dermatolimfangioadenitis akut (DLAA), proses di awali di kulit yang kemudian menyebar ke
saluran limfe dan kelenjar limfe. DLAA ditandai dengan adanya plak kutan atau subkutan yang
disertai dengan limfangitis dengan gambaran retikular dan adenitis regional.3,7,15,17 Terdapat
pula gejala konstitusional sistemik maupun lokal yang berat berupa demam, menggigil dan
edema pada tungkai yang terkena.15,17 Terdapat riwayat trauma, gigitan serangga, luka mekanik
sebagai porte d’ entrée. DLAA adalah ADL sekunder yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau
jamur.3 DLA secara klinis menyerupai selulitis atau erisipelas.17

b) Limfangitis filarial akut (LFA), merupakan reaksi imunologik dengan matinya cacing dewasa
akibat sistim imun penderita atau terapi.3,8,15 Kelainan ini ditandai dengan adanya Nodus atau
cord yang disertai limfadenitis atau limfangitis retrograde pada ekstremitas bawah atau atas,
yang menyebar secara sentrifugal.3,8,15,17 Keadaan ini dapat terjadi secara berulang pada lokasi
yang sama.3,8

Filariasis bancrofti sering hanya mengenai sistem limfatik genitalia pria sehingga mengakibatkan
terjadinya funikulitis, epididimitis atau orkitis, sedangkan pada filariasis brugia, kelenjar limfe
yang terkena biasanya daerah inguinal atau aksila yang nantinya berkembang menjadi abses yang
pecah meninggalkan jaringan parut.8,12,16 Keluhan biasanya timbul setelah bekerja berat. Pada
filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena.8,16 Pada masa resolusi fase
akut, kulit pada ekstremitas yang terlibat akan mengalami eksfoliatif yang luas. Keadaan akut
dapat berulang 6-10 episode per tahun dengan lama setiap episode 3-7 hari.9 Serangan berulang
adenolimfangitis (ADL) merupakan faktor penting dalam perkembangan penyakit. Pani dkk
membuktikan bahwa terdapat hubungan langsung antara jumlah serangan akut dan beratnya
limfedema.3,8.17 Makin lama gejala akut semakin ringan, yang akhirnya menuju pada stadium
kronik. DLAA lebih sering ditemukan dibandingkan LFA.15,17
3. Stadium kronik
Manisfestasi kronis filariasis jarang terlihat sebelum usia lebih dari 15 tahun dan hanya sebagian
kecil dari populasi yang terinfeksi mengalami stadium ini.15 Hidrokel, limfedema, elephantiasis
tungkai bawah, lengan atau skrotum, kiluria adalah manifestasi utama dari filariasis
kronik.1,4,5,7,8

Hidrokel merupakan pembesaran testis akibat terkumpulnya cairan limfe dalam tunika vaginalis
testis.8,16,17 Kelainan ini disebabkan oleh W. bancrofti dan merupakan manifestasi kronis yang
paling sering ditemukan pada infeksi filariasis.8 Pada daerah endemik, 40-60% laki-laki dewasa
memiliki hidrokel 7,8 Cairan yang terkumpul biasanya bening. Uji transluminasi dapat
membantu menegakkan diagnosis.8

Limfedema pada ekstremitas atas jarang terjadi dibandingkan dengan limfedema pada
ekstremitas bawah. Pada filariasis bancrofti seluruh tungkai dapat terkena, berbeda dengan
filariasis brugia yang hanya mengenai kaki dibawah lutut dan kadang-kadang lengan dibawah
siku.1,8,16,18 Gerusa dkk (2000) menetapkan 7 stadium limfedema.19 Stadium 1
menggambarkan limfedema yang ringan atau sedang sedangkan stadium 7 menggambarkan
keadaan yang paling berat. Pembagian ini berkaitan dengan beratnya limfedema, resiko
terkenanya serangan akut dan dalam penatalaksanaan.15 Limfedema pada filariasis biasanya
terjadi setelah serangan akut berulang kali. Kelainan pada kulit dapat terlihat sebagai kulit yang
menebal, hiperkeratosis, hipotrikosis atau hipertrikosis, pigmentasi, ulkus kronik, nodus dermal
dan subepidermal.8
Tabel 1. Gambaran stadium Limfedema*
*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 19

Limfedema pada genitalia melibatkan pembengkakan pada skrotum dan / penebalan kulit
skrotum atau kulit penis yang akan memberikan gambaran peau d’ orange yang nantinya
berkembang menjadi lesi verukosa.1,8

Kiluria terjadi akibat bocornya atau pecahnya saluran limfe oleh cacing dewasa yang
menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih.1,8,12,16 Kelainan ini disebabkan
oleh W. bancrofti.16 Pasien dengan kiluria mengeluhkan adanya urine yang berwarna putih
seperti susu (milky urine).1,7,8,16 Diagnosis kiluria ditetapkan dengan ditemukannya limfosit
pada urine.8

Limforea sering terjadi pada dinding skrotum dimana cairan limfe meleleh keluar dari saluran
limfe yang pecah.1,8,19

Pada daerah endemik, payudara dapat terkena, baik unilateral ataupun bilateral. Hal ini harus
dapat dibedakan dengan mastitis kronik dan limfedema pasca mastektom.1

4.Occult filariasis

Occult filariasis merupakan infeksi filariasis yang tidak memperlihatkan gejala klasik filariasis
serta tidak ditemukannya mikrofilaria dalam darah, tetapi ditemukan dalam organ dalam.1,4,8
Occult filariasis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tubuh penderita terhadap antigen
mikrofilaria.4,12 Contoh yang paling jelas adalah Tropical Pulmonary Eosinophilia (TPE). TPE
sering ditemukan di Southeast Asia, India, dan beberapa daerah di Cina dan Afrika 1,3 TPE
adalah suatu sindrom yang terdiri dari gangguan fungsi paru, hipereosinofilia (>3000mm3),
peningkatan antibodi antifilaria, peningkatan IgE antifilaria dan respon terhadap terapi DEC.
Manifestasi klinis TPE berupa gejala yang menyerupai asma bronkhial ( batuk, sesak nafas, dan
wheezing),penurunan berat badan, demam, limfadenopati lokal, hepatosplenomegali.1,3,4,7-9,12
Pada foto torak tampak peningkatan corakan bronkovaskular terutama didasar paru, dan
pemeriksaan fungsi paru tampak defek obstruktif.Jika pasien dengan TPE tidak diobati, maka
penyakit akan berkembang menjadi penyakit paru restriktif kronik dengan fibrosis
interstisial.4,7,8

Pada daerah endemis, perjalanan penyakit filariasis berbeda antara penduduk asli dengan
penduduk yang berasal dari daerah non-endemis dimana gejala dan tanda lebih cepat terjadi
berupa limfadenitis, hepatomegali dan splenomegali,1,7,8 Llimfedema dapat terjadi dalam waktu
6 bulan dan dapat berlanjut menjadi elefantiasis dalam kurun waktu 1 tahun.20 Hal ini
diakibatkan karena pendatang tidak mempunyai toleransi imunologik terhadap antigen filaria
yang biasanya terlihat pada pajanan lama.1 Resiko terjadinya manifestasi akut dan kronik pada
seseorangan yang berkunjung ke daerah endemis sangat kecil, hal tersebut menunjukkan
diperlukannya kontak/pajanan berulang dengan nyamuk yang terinfeksi.1 Riwayat sensitisasi
prenatal dan toleransi imunologik terhadap antigen filarial mempengaruhi respon patologi infeksi
dan tendensi terjadinya manifestasi subklinis pada masa kanak-kanak.1,3

IV. DIAGNOSIS BANDING

Pembesaran ekstremitas
Limfangitis bakterial akut, limfadenitis kronik,LImfogranuloma inguinale dan limfadenitis
tuberkulosis dapat menyebabkan limfedema ekstremitas bawah.5 Trauma pada saluran limfe
akibat operasi juga dapat menyebabkan limfedema. Pasien dengan limfedema tanpa adanya
riwayat serangat akut berulang dikenal sebagai cold lymphedema merupakan kelainan bawaan.8
Tumor dan pembentukkan jaringan fibrotik juga dapat menyebabkan tekanan pada saluran limfe
dan menurunkan aliran limfe sehingga terjadi limfedema secara perlahan. Mastektomi dengan
limfedenektomi merupakan salah satu hal penyebab terjadinya limfedema pada ekstremitas
atas.19

Lipedema
Pembesaran kronik akibat jaringan lemak yang berlebihan, biasanya pada tungkai atas dan
pinggul. Kelainan simetris, telapak kaki normal. Kelainan ini terjadi pada saat pubertas atau 1-2
tahun sesudahnya.19

Hernia inguinalis
Kelainan ini dapat menyerupai hidrokel. Pada hernia batas atas masuk kedalam perut,testis
teraba, isi dapat keluar masuk dan pada auskultasi bising usus (+). Pada saat pasien berdiri
terlihat dasar hidrokel menyempit berbeda dengan hernia yang dasarnya melebar.16,19
Knobs
Knobs/lump dengan pertumbuhan cepat dengan atau tanpa perdarahan dapat disebabkan oleh
kanker kulit. Misetoma dan kromoblastosis juga dapat memberikan gambaran benjolan/nodus.
Misetoma merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh jamur yang ditemukan pada tanah dan
tumbuhan. Jamur masuk melalui luka kemudian terbentuk abses, sinus dan fistel yang multiple.
Didalam sinus terdapat butir-butir (granules) yang merupakan kumpulan dari jamur tersebut.
Kromoblastosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur berpigmen yang ditemukan
pada kayu, tumbuhan dan tanah. Perlu dibedakan kromoblastomikosis dengan limfedema
stadium 6 yang memberikan gambaran mossy foot.19

Kiluria
Keadaan ini dapat juga disebabkan oleh trauma, kehamilan, tumor atau diabetes mellitus. Pada
diabetes mellitus, kiluria terjadi akibat pus. Untuk membedakan ke dua keadaan ini, pasien
diminta menampung urin dalam wadah transparan dan membiarkan urin selama 30-40 menit.
Jika terjadi pemisahan antara sedimen dan urin, maka pasien tidak menderita kiluria.15,19

V. PENATALA KSANAAN

A. Diagnosis
Diagnosis yang efisien dan efektif sangatlah penting dan menjadi faktor penentu dalam
penatalaksanaan penyakit. Terdapat beberapa cara :

1. Pemeriksaan klinis : tidak sensitif dan tidak spesifik untuk menentukan adanya infeksi aktif.4

2. Pemeriksaan parasitologi dengan menemukan mikrofilaria dalam sediaan darah, cairan


hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa, tehnik
Knott, membrane filtrasi dan tes provokasi DEC.12,21,22 Sensitivitas bergantung pada volume
darah yang diperiksa, waktu pengambilan dan keahlian teknisi yang memeriksanya. Pemeriksaan
ini tidak nyaman, karena pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari antara pukul
22.00-02.00 mengingat periodisitas mikrofilaria umumnya nokturna.12,21 Spesimen yang
diperlukan ± 50µl darah dan untuk menegakan diagnosis diperlukan ≥ 20 mikrofilaria/ml
(Mf/ml).21

3. Deteksi antibodi: Peranan antibodi antifilaria subklas IgG4 pada infeksi aktif filarial
membantu dikembangkannya serodiagnostik berdasarkan antibodi kelas ini. Pemeriksaan ini
digunakan untuk pendatang yang tinggal didaerah endemik atau pengunjung yang pulang dari
daerah endemik.3,21 Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan infeksi parasit sebelumnya dan
kini, selain itu titer antibodi tidak menunjukkan korelasi dengan jumlah cacing dalam tubuh
penderita.4,12

4. Deteksi antigen yang beredar dalam sirkulasi.3,21,23 Pemeriksaan ini memberikan hasil yang
sensitif dan spesies spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan makroskopis. Terdapat dua cara
yaitu dengan ELISA (enzyme-linked immunosorbent) dan ICT card test
(immunochromatographic).3,4,21,22 Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif dalam
tubuh penderita, selain itu, tes ini dapat digunakan juga untuk monitoring hasil pengobatan.3
Kekurangan pemeriksaan ini adalah tidak sensitif untuk konfirmasi pasien yang diduga secara
klinis menderita filariasis. Tehnik ini juga hanya dapat digunakan untuk infeksi filariasis
bancrofti. Diperlukan keahlian dan laboratorium khusus untuk tes ELISA sehingga sulit untuk di
aplikasikan di lapangan.4 ICT adalah tehnik imunokromatografik yang menggunakan antibodi
monoklonal dan poliklonal. Keuntungan dari ICT adalah invasif minimal (100 µl), mudah
digunakan, tidak memerlukan teknisi khusus, hasil dapat langsung dibaca dan murah. Sensitivitas
ICT dibandingkan dengan pemeriksaan sediaan hapus darah tebal adalah 100% dengan
spesifisitas 96.3%. 3

5. Deteksi parasit dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Tehnik ini digunakan untuk
mendeteksi DNA W. bancrofti dan B. malayi.1,3,21 PCR mempunyai sensitivitas yang tinggi
yang dapat mendeteksi infeksi paten pada semua individu yang terinfeksi, termasuk individu
dengan infeksi tersembunyi (amikrofilaremia atau individu dengan antigen +).21 Kekurangannya
adalah diperlukan penanganan yang sangat hati-hati untuk mencegah kontaminasi spesimen dan
hasil positif palsu. Diperlukan juga tenaga dan laboratorium khusus selain biaya yang mahal.4

6. Radiodiagnostik 1,3,4,21
· Menggunakan USG pada skrotum dan kelenjar inguinal pasien, dan akan tampak gambaran
cacing yang bergerak-gerak (filarial dancing worm). Pemeriksaan ini berguna terutama untuk
evaluasi hasil pengobatan.
· Limfosintigrafi menggunakan dextran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif yang
menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada pasien dengan asimptomatik
milrofilaremia

B. Terapi

Obat anti-filaria yang digunakan


Diethylcarbamazine citrate (DEC)
Diethylcarbamazine citrate (DEC) telah digunakan sejak ± 40 tahun lamanya dan masih
merupakan terapi anti-filarial yang digunakan secara luas. 3,12,15,24 WHO merekomendasikan
pemberian DEC dengan dosis 6 mg/kgBB untuk 12 hari berturut-turut.3,7,15,20,24 Cara
pemberian tersebut tidak praktis digunakan untuk community-based control programme karena
mahal.3,15 Andrade dkk (1995) membandingkan pemberian dosis tunggal DEC 6 mg/kgBB dan
pemberian DEC dosis yang sama selama 12 hari, didapatkan kadar mikrofilaria yang sama pada
ke-2 grup setelah terapi 12 bulan, meskipun pada bulan 1, 3 dan 6 kadar mikrofilaremia tinggi
pada grup dosis tunggal.15
Dosis yang disarankan WHO digunakan untuk terapi selektif/perorangan, dimana orang tersebut
yang mencari pertolongan, sedangkan untuk terapi massal digunakan dosis tunggal 6mg/kgBB
yang diberikan setiap tahun selama 4-6 tahun berturut-turut.20Terapi massal adalah terapi yang
diberikan kepada seluruh penduduk di daerah endemis filariasis.11,20 Di Indonesia, dosis 6
mg/kg BB memberikan efek samping yang berat, sehingga pemberian DEC di lakukan
berdasarkan usia dan dikombinasi dengan albendazol.11
Ivermectin
Ivermectin terbukti sangat efektif dalam menurunkan mikrofilaremia pada filariasis bancrofti di
sejumlah negara.3 Obat ini membunuh 96% mikrofilaremia dan menurunkan produksi
mikrofilaremia sebesar 82%.25.Obat ini merupakan antibiotik semisintetik golongan makrolid
yang berfungsi sebagai agent mikrofilarisidal poten.12,15 Dosis tunggal 200-400µg/kg dapat
menurunkan mikrofilaria dalam darah tepi untuk waktu 6-24 bulan. Dengan dosis tunggal 200
atau 400µl/kg dapat langsung membunuh mikrofilaremia dan menurunkan produksi
mikrofilaremia.25 Obat belum digunakan di Indonesia.

Albendazol
Obat ini digunakan untuk pengobatan cacing intestine selama bertahun-tahun dan baru baru ini di
coba digunakan sebagai anti-filaria.3 Dosis tunggal albendazol tidak mempunyai efek terhadap
mikrofilaremia.15 Albendazole hanya mempunya sedikit efek untuk mikrofilaremia dan
antigenaemia jika digunakan sendiri.3 ADosis tunggal 400 mg di kombinasi dengan DEC atau
ivermectin efektif menghancurkan mikrofilaria.26

Penatalaksanaan filariasis bergantung kepada keadaan klinis dan beratnya penyakit.8,16,26

Asimptomatik atau subklinis


Pengobatan awal dengan anti-filaria pada pasien asimptomatik sangat disarankan untuk
mencegah kerusakan limfatik lebih lanjut. Efektifitas terapi dapat di evaluasi dengan melakukan
tes mikrofilaria 6-12 bulan setelah terapi.1

Stadium akut
Selama serangan akut pemberian DEC tidak di anjurkan, karena diduga akan memperberat
keaadaan akibat matinya cacing dewasa.15 Terapi supportif harus dilakukan termasuk istirahat,
kompres, elevasi ekstremitas yang terkena dan pemberian analgetik dan antipiretik.15,17,19 Pada
serangan akut ADLA pemberian antibiotik oral dapat dilakukan sewaktu menunggu hasil
kultur.15

Stadium kronik
Obat anti-filaria jarang digunakan untuk keadaan kronik tetapi diberikan jika pasien terbukti
menderita infeksi aktif, misalnya dengan ditemukannya mikrofilaria, antigen mikrofilaria atau
filarial dancing sign. Kerusakan limfatik akibat filariasis bersifat permanen dan obat anti-filaria
tidak menyembuhkan keadaan limfedema, tetapi limfedema dapat di tatalaksana dengan cara
menghentikan serangan akut dan mencegah keadaan menjadi berat/buruk.19 Terdapat 5
komponen dasar dalam penatalaksanaan limfedema yang dapat dilakukan oleh pasien yaitu
kebersihan, pencegahan dan perawatan luka/entry lesion, latihan, elevasi dan penggunaan sepatu
yang sesuai.15,19 Komponen tambahan dalam penatalaksanaan limfedema adalah penggunaan
emolien, verban, stocking, pijat, antibiotik pofilaksis dan tindakan bedah.15,19,27

Pemberian benzopyrenes, termasuk flavonoids dan coumarin dapat menjadi terapi tambahan.
Obat ini mengikat protein yang telah terakumulasi sehingga menginduksi fagositosis makrofag
menyebabkan terpecahnya protein yang kemudian keluar kedalam vena dan dibuang oleh sistem
vascular.15,27

Tabel 2. Penatalaksanaan limfedema sesuai stadium-petunjuk umum*


Tindakan bedah pada limfedema bersifat paliatif, indikasi tindakan bedah adalah jika tidak
terdapat perbaikan dengan terapi konservatif, limfedema sangat besar sehingga mengganggu
aktivitas dan pekerjaan dan menyebabkan tidak berhasilnya terapi konsevatif.27 Berbagai
prosedur operasi digunakan tetapi secara umum tidak memberikan hasil yang memuaskan.15
Yang termasuk dalam prosedur ini adalah lymphangioplasty, lympho-venous anastomosis dan
eksisi (de-bulking) dari jaringan subkutan yang fibrotik.15,27 Peranan tindakan pembedahan
limfedema ekstremitas akibat filariasis sangat terbatas.15

Penatalaksanaan hidrokel adalah dengan pemberian obat anti-filaria, perawatan dasar seperti
kebersihan, dan tindakan bedah.16 Indikasi operasi pada pasien dengan hidrokel adalah jika
mengganggu pekerjaan, mengganggu aktivitas seksual, mengganggu berkemih, dan memberi
efek sosial terhadap keluarga.Prosedur yang digunakan adalah dengan melakukan eksisi tunika
vaginalis sebanyak mungkin dan membalikkannya (Bergmann Wingklemann) untuk hidrokel
besar dan prosedur Lord untuk hidrokel kecil dimana dilakukan pengecilan tunika vaginalis
dengan merempel.16

*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 19

Penatalaksanaan kiluria adalah istirahat, diet tinggi protein rendah lemak, minum banyak (paling
sedikit 2 gelas/jam selama BAK masih seperti susu). Tindakan bedah masih kontroversi tetapi di
anjurkan untuk kasus yang berat.15,16,28 Prosedure yang digunakan adalah lympho-venous
disconnection, lymphangio-venous anastomosis, lymphnode-saphenous vein anastomosis.28

Tropical Pulmonary Eosinophil


DEC adalah obat pilihan untuk TPE. Gejala pernapasan membaik secara cepat setelah pemberian
DEC. Pemberian DEC 21-28 hari menyebabkan hilangnya microfilaria secara cepat
dibandingkan dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB, sehingga pemberian terapi lebih lama lebih
disarankan.15

Pencegahan dan kontrol filariasis


Tahun 1997, the World Health Assembly (WHA) mengajak anggota WHO untuk mendukung
program The Global Elimination of Lymphatic Filariasis (GPELF) sebagai masalah kesehatan
masyarakat.Tahun 2000 WHO mulai menetapkan GPELF dan merekomendasikan semua
penduduk yang tinggal didaerah beresiko untuk di obati satu kali dalam satu tahun dengan dua
kombinasi obat dan diberikan dalam 4-6 tahun berturut-turut.Tiga obat anti-parasit yang di
sarankan adalah DEC, albendazol, ivermectin.20
Pencegahan melawan infeksi filariasis juga dapat dilakukan secara individu dengan cara
menghindari terkenanya gigitan nyamuk. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memakai kelambu
dan menggunakan repellent, tetapi hal ini tidak bisa diterapkan disemua wilayah.1

VI. PENUTUP

Filariasis merupakan penyakit yang menyebabkan penderitaan baik fisik maupun psikologis.
Walaupun insiden penyakit ini jarang tetapi kita tetap perlu memikirkan filariasis sebagai salah
satu penyebab bila menemukan kasus limfedema. Ketelitian diagnostik diperlukan untuk
mencegah berkembangnya penyakit ini ke stadium yang lebih lanjut. Oleh karena itu diperlukan
kerjasama multi disiplin untuk melakukan pendekatan diagnostik dan penanganan penyakit.

Lampiran
Ekstremitas bengkak

Unilateral Bilateral

Asimetris Simetris,pitting
Perubahan tekstur kulit
Kulit mengeras/fibrotik penyakit sistemik
Vena Limfatik

-Nyeri, tu setelah berdiri lama -tidak nyeri


atau setelah berjalan - perubahan kulit: penebalan kulit, kulit mjd keras
-Varises

-USG dupleks Primer sekunder


- venogram (tidak diketahui etiologi)

Mastektomi dgn limfedenektomi


-Onset tiba-tiba
-Perjalanan peny cepat
-Riw tinggal di daerah endemis
-Riw memp tetangga/kel dg kaki gajah/hidrokel
-ADL berulang
Filariasis keganasan operasi

-Deteksi mf , tes serologi

DAFTAR PUSTAKA

1. Nutmat TB, James W kazura . Filariasis.Dalam: Guerrant RL, walker DH, Weller PF,
penyunting.,Tropical Infectious Disease. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier;2006:1152-9
2. Scott AL. Lymphatic-dwelling filariasis. Dalam: Thomas B. Nutman, penyunting. Lymphatic
filariasis. Imperial college press; 2002:5-7
3. Melrose WD. Lymphatic filariasis: new insight into an old disease. Int J parasitol
2002;32:947-955
4. Atmadja AK. Diagnosis dan penanggulangan filariasis masa kini. Dalam seminar parasitologi
klinik 29 Januari 2000
5. Kalungi S, Tumwine LK. Nematodal helminthes. Dalam: Tyring SK, Lupi O, Hengge UR,
penyunting. Tropical dermatology. Edisi ke-1. Philadelphia: Elsevier;2006:57-61
6. Epidemiologi filariasis. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
PP&PL Jakarta 2006.
7. Filariasis. Tersedia dari www.filariasis.org
8. Kusmaraswami V. The clinical manifestation of lymphatic filariasis. Dalam : Nutman TB
penyunting. Limphatic filariasis. Imperial college press;2002:103-122
9. Lucchina LC, Wilson M.E. Cysticercosis and other helminthic infection. Dalam : Freedberg
IM,Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s
Dermatology in generak medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2003;2240-3
10. http://www.cdc.gov/ncidod/dpd/parasites/lymphaticfilariasis/
11. Pedoman penatalaksanaan reaksi simpang pengobatan filariasis. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PP&PL, Jakarta 2007
12. Partono F, Kurniawan A, Oemijati S. Nematoda jaringan. Dalam: Gandahusada S, Illahude
H, Pribadi W, penyunting. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3Jakarta:Balai penerbit
FKUI;2003:35-44
13. Dreyer G, Norões J, Fifueredo-Silva J, Piessens WF. Pathogenesis of lymphatic disease in
bancroftian filariasis: a clinical perspective. Parasitol Today 2000;16(12):544-8
14. Freedman DO. Immune dynamic in the pathogenesis of human lymphatic filariasis.
Parasitol.Today 1998;14(6):229-233
15. Addis DG, Dreyer G. Treatment of lymphatic filariassis. Dalam Thomas B. Nutman,
penyunting. Lymphatic filariasis. Imperial college press;2002:151-180
16. Pedoman penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Departemen kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat jenderal PP&PL. Jakarta 2006
17. Addis DG, Brady MA. Morbidity management in the global programme to eliminate
lymphatic filariasis: a review of the scientific literature. Filarial journal 2007;6(2):1-19
18. Baird JB, Charles JL, Streit TG, Robert JM, Addis DG, Lammie PJ. Reactivity to bacterial,
fungal, and parasite antigens in patients with lymphedema and elephantiasis. Am J Trop Med
Hyg 2002;66(2): 163-9
19. Dreyer G, Addis D, Dreyer P, Norões J. Basic lymphoedema management. Holis, NH: Holis
Publishing Company 2002
20. http://www.who.int/
21. McCarthy J. Diagnostic of lymphatic filarial infections. Dalam Thomas B Nutman
penyunting. Lymphatic filariasis. Imperial college press Londn 2002:127-150
22. Weil. G.J, Ramzy RM. Diagnostic tools for filariasis elimination programs. Trends
Parasitol.2007;23(2):78-82. Review
23. W. Melrose, N. Rahmah. Use of brugia rapid dipstick and ICT test to map distribution of
lymphatic filariasis in the Democratic Republic of Timor-Leste. Southeast Asian J Trop Med
Public Health 2006;37(4):22-25
24. Siraut C, Bhumiratana A, Koyadun S, Anurat K, Satitivipawee K. Short term effects of
treatment with 300 mg oral-dose diethylcarbamazine on nocturnally periodic wuchereria
bancrofti microfilaremia and antigenemia. Southeast Asian J Trop Med Public Health
2005;36(4):832-840
25. Stolk WA, Gerrit J. Van Oortmarssen, S. P. Pani, Sake J, De Vlas, S. Subramanian, P.K. Das
Effects of ivermectin and diethylcarbamazine on microfilaria and overall microflaria production
in bancroftian filariasis. Am. J. Trop. Med. Hyg.2005;73(5): 881–887
26. Anitha K, Shenoy RK. Treatment of lymphatics: current trends.Indian J of Derm, ven and
lepr 2001;67(2):60-65
27. Lymphedema tersedia pada http://www.emedicine.com/med/topic794.htm
28. Viswaroop B, Gopalakrishnan G. Open surgery for chyluria. Indian J Urol 2005;21:31-4
.
Diposkan 12th June 2008 oleh dr Ismail Yusuf, Sp.PD
1

Lihat komentar
1.

ega norista5 Mei 2013 18.36

maaf, ini boleh dicopy di blog saya gak dok?

Balas

dr. Ismail Yusuf, SpPD, MKed

PUBLIC MEDICINE
 Klasik
 Kartu Lipat
 Majalah
 Mozaik
 Bilah Sisi
 Cuplikan
 Kronologis

1.

Nov

22

PENGOBATAN ALTERNATIF
Masyarakat yang menderita suatu penyakit terutama yang kronik pasti menjadi bingung
bagaimana untuk mengatasinya. Tapi anda harus waspada karena dalam situasi itu anda
akan gampang menerima masukan yang bertujuan untuk mengatasi masalah anda.
Banyak alternatif pengobatan yang menawarkan jasanya pada anda. Tapi ingat mereka
seperti itu juga mencari uang dengan cara "menjanjikan". Kemudian anda terbuai dengan
janji "pasti sembuh" dengan cara yang tidak rasional. Untuk itu anda harus hati-hati dan
jangan sampai kantong anda dikuras tanpa anda sadari. Penyakit jalan terus dan sewaktu
saat menjadi komplikasi dan uang anda habis. Bila sudah parah mereka akan mengatakan
mereka tidak sanggup lagi dan menyalahkan anda karena anda dituduh tidak mematuhi
aturan mereka. Bila anda atau keluarga anda sudah sekarat dan timbul komplikasi akibat
obat mereka yang tidak jelas pertanggungjawabannya maka anda atau keluarga anda
akhirnya juga akan dibawa ke rumah sakit hanya mengantar nyawa. Ingat mereka juga
berbisnis dengan hukum yang tidak jelas pertanggungjawabannya.

Diposkan 22nd November 2008 oleh dr Ismail Yusuf, Sp.PD

Tambahkan komentar

2.

Nov

22
DEMAM BERDARAH
Pemerintah pusat sampai daerah sampai saat ini tidak benar dalam penanganan demam
berdarah. Mungkin situasi ini sengaja dibiarkan agar ada proyek yang terus berjalan.
Dasar nasib rakyat Indonesia yang menjadi tumbal untuk segelintir oknum yang jahat.
mudah-mudahan mereka mendapat balasannya.

Diposkan 22nd November 2008 oleh dr Ismail Yusuf, Sp.PD

Tambahkan komentar

3.

Jun

12

Diposkan 12th June 2008 oleh dr Ismail Yusuf, Sp.PD

Tambahkan komentar

4.

Jun

12

Filariasis
FILARIASIS

I. PENDAHULUAN

Filariasis adalah penyakit yang mengenai kelenjar dan saluran limfe yang disebabkan
oleh parasit golongan nematoda yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia
timori yang ditularkan melalui nyamuk.1-5 Filariasis penting dalam dermatologi karena
kulit merupakan salah satu organ yang sering terkena. Filariasis menyebabkan kulit
menjadi sangat gatal, timbul papul dan scratch marks , hingga menyebabkan seluruh kulit
menjadi kering dan tebal. Dapat timbul nodus dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi.
Filariasis menyebabkan limfedema ekstremitas, vulva, skrotum, lengan dan payudara.
Pada ekstremitas bawah biasanya tampak gambaran verukosa dengan lipatan dan kulit
yang pecah-pecah.5

Diperkirakan 120 juta penduduk dunia terinfeksi filariasis.1,3-7 Lebih dari 90% kasus
filariasis disebabkan oleh Wuchereria bancrofti 1,3,7-8 dan penderita terbanyak terdapat
di Sub Saharan Africa, Southeast Asia, dan Western Pacific.1,5,9 Program pencegahan
sudah dilakukan di India, Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan beberapa negara pasifik
seperti Fiji dan Tahiti.1,9-10

Filariasis tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan di beberapa daerah tingkat
endemisitas cukup tinggi. Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah
dataran rendah, terutama pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa, dan
hutan. Secara umum filariasis bancrofti tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Daerah endemis Wuchereria bancrofti dibedakan
menjadi tipe pedesaan dan tipe perkotaan berdasarkan vektor yang menularkan.
Wuchereria tipe pedesaan ditemukan terutama di Papua dan Nusa Tenggara dengan
vektor Anopheles,Culex dan Aides sedangkan tipe perkotaan ditemukan di Jakarta,
Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan Lebak pada daerah yang kumuh, padat
penduduknya dan banyak genangan air kotor dengan vektor Culex quinquefasciatus.
Brugia malayi tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau di Maluku,
sedangkan Brugia timore tersebar di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba.
Berdasarkan hasil survey cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan
sebanyak 6233 orang tersebar di 1553 desa, di 231 kabupaten, 26 propinsi. Berdasarkan
survey jari tahun 1999, tingkat endemisitas filariasis di Indonesia masih tinggi dengan
microfilarial rate 3.1%.6 Daerah endemis filariasis adalah daerah dengan microfilarial
rate ≥ 1%.11

Data statistik divisi Dermatologi umum Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUI/RSCM terdapat 1 pasien limfedema akibat filariasis sepanjang tahun 2003-2005.

Filariasis selain menyebabkan dampak sosial dan psikologik, juga ditetapkan oleh WHO
sebagai penyebab kecacatan permanen nomor dua.3 Pada makalah ini akan dibahas
mengenai etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis serta penatalaksanaan filariasis.

II. ETIOPATOGENESIS

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.6 Filaria mempunyai siklus hidup bifasik
dimana perkembangan larva terjadi pada nyamuk (intermediate host) dan perkembangan
larva dan cacing dewasa pada manusia (definive host). 1,2,10

Pada tubuh penderita


Infeksi diawali pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar
dari probosisnya kemudian masuk melalui bekas luka gigitan nyamuk menembus dermis
dan bergerak menuju sistem limfe.1,2,6,10,12 Larva L3 akan berubah menjadi larva L4
pada hari 9-14 setelah infeksi dan akan mengalami perkembangan menjadi cacing dewasa
dalam 6-12 bulan, setelah inseminasi, zigot berkembang menjadi mikrofilaria.2 Cacing
betina dewasa akan melepaskan ribuan mikrofilaria yang yang mempunyai selubung ke
dalam sirkulasi limfe lalu masuk ke sirkulasi darah perifer. Cacing betina dewasa aktif
bereproduksi selama lebih kurang 5 tahun. Cacing dewasa berdiam di pembuluh limfe
dan menyebabkan pembuluh berdilatasi, sehingga memperlambat aliran cairan limfe.
Sejumlah besar cacing dewasa ditemukan pada saluran limfe ekstremitas bawah,
ekstremitas atas dan genitalia pria..1,2

Pada nyamuk
Nyamuk menghisap mikrofilaria bersamaan saat menghisap darah.1,2,4,10 Dalam
beberapa jam mikrofilaria menembus dinding lambung, melepaskan selubung/sarungnya
dan bersarang diantara otot-otot toraks.1,6,10 Mula –mula parasit ini memendek
menyerupai sosis dan disebut larva stadium 1 (L1). Dalam kurang dari 1 minggu berubah
menjadi larva stadium 2 (L2), dan antara hari ke-11 dan 13 L2 berubah menjadi L3 atau
larva infektif.1,2,10 Bentuk ini sangat aktif, awalnya bermigrasi ke rongga abdomen
kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk.1,2,6,12

Hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus di Indonesia yaitu
Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis.6

Gambar 1. Siklus hidup Wuchereria bancrofti *

Patogenesis filariasis sudah diperdebatkan sejak lama, terdapat beberapa hal yang
menyebabkan penelitian terhadap terjadinya penyakit ini terhambat. 1,3,13-15 Diduga 4
faktor berperan pada patogenesis filariasis: cacing dewasa hidup, respon inflamasi akibat
matinya cacing dewasa, infeksi sekunder akibat bakteri, dan mikrofilaria.15 Cacing
dewasa hidup akan menyebabkan limfangiektasia.13-15 Karena pelebaran saluran limfe
yang difus dan tidak terbatas pada tempat dimana cacing dewasa hidup ada, diduga
cacing dewasa tersebut mengeluarkan substansi yang secara langsung atau tidak
menyebabkan limfangiektasia. Pelebaran tersebut juga menyebabkan terjadinya disfungsi
limfatik dan terjadinya manifestasi klinis termasuk limfedema dan hidrokel. Pecahnya
saluran limfe yang melebar menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih
sehingga terjadi kiluria dan kilokel. Matinya cacing dewasa menyebabkan respon
inflamasi akut yang akan memberikan gambaran klinis adenitis dan limfangitis.13,15

*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 10


Gambar 2. Patogenesis filariasis*

III. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk usia, jenis
kelamin, lokasi anatomis cacing dewasa filaria, respon imun, riwayat pajanan
sebelumnya, dan infeksi sekunder.15,16 Berdasarkan pemeriksaan fisik dan parasitologi,
manifestasi klinis filariasis dibagi dalam 4 stadium yaitu:4,8

1.Asimptomatik atau subklinis filariasis


a. Individu asimptomatik dengan mikrofilaremia
Pada daerah endemik dapat ditemukan penduduk dengan mikrofilaria positif tetapi tidak
menunjukkan gejala klinis. Angka kejadian stadium ini meningkat sesuai umur dan
biasanya mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun, dan lebih banyak terjadi pada pria
dibandingkan wanita.1,3,4,8,7 Banyak bukti menunjukan bahwa walaupun secara klinis
asimptomatik tetapi semua individu yang terinfeksi W. bancrofti dan B.malayi
mempunyai gejala subklinis.1,3,8. Hal tersebut terlihat pada 40% individu mikrofilaremia
ini menderita hematuri dan / proteinuria yg menunjukkan kerusakan ginjal minimal.3,7.8,
Kelainan ginjal ini berhubungan dengan adanya mikrofilaria dibandingkan dengan
adanya cacing dewasa, karena hilangnya mikrofilaria dalam darah akan mengembalikan
fungsi ginjal menjadi normal.3,8. Dengan lymphoscintigraphy tampak pelebaran dan
terbelitnya limfatik disertai tidak normalnya aliran limfe. Dengan USG juga terlihat
adanya limfangiektasia.3

*Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 13

Keadaan ini dapat bertahan selama bertahun-tahun yang kemudian secara perlahan
berlanjut ke stadium akut atau kronik.8

b. Individu asimptomatik dan amikrofilaremia dengan antigen filarial (+)


Pada daerah endemik terdapat populasi yang terpajan dengan larva infektif (L3) yang
tidak menunjukkan adanya gejala klinis atau adanya infeksi, tetapi mempunyai antibodi-
antifilaria dalam tubuhnya. 3,5,7,8

2. Stadium akut
Manifestasi klinis akut dari filariasis ditandai dengan serangan demam berulang yang
disertai pembesaran kelenjar (adenitis) dan saluran limfe (lymphangitis) disebut
adenolimfangitis (ADL).1,8,16 Etiologi serangan akut masih diperdebatkan, apakah
akibat adanya infeksi sekunder, respon imun terhadap antigen filarial, dan dilepaskannya
zat-zat dari cacing yang mati atau hidup.15
Terdapat dua mekanisme berbeda dalam terjadinya serangan akut pada daerah endemik:
a) Dermatolimfangioadenitis akut (DLAA), proses di awali di kulit yang kemudian
menyebar ke saluran limfe dan kelenjar limfe. DLAA ditandai dengan adanya plak kutan
atau subkutan yang disertai dengan limfangitis dengan gambaran retikular dan adenitis
regional.3,7,15,17 Terdapat pula gejala konstitusional sistemik maupun lokal yang berat
berupa demam, menggigil dan edema pada tungkai yang terkena.15,17 Terdapat riwayat
trauma, gigitan serangga, luka mekanik sebagai porte d’ entrée. DLAA adalah ADL
sekunder yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur.3 DLA secara klinis
menyerupai selulitis atau erisipelas.17

b) Limfangitis filarial akut (LFA), merupakan reaksi imunologik dengan matinya cacing
dewasa akibat sistim imun penderita atau terapi.3,8,15 Kelainan ini ditandai dengan
adanya Nodus atau cord yang disertai limfadenitis atau limfangitis retrograde pada
ekstremitas bawah atau atas, yang menyebar secara sentrifugal.3,8,15,17 Keadaan ini
dapat terjadi secara berulang pada lokasi yang sama.3,8

Filariasis bancrofti sering hanya mengenai sistem limfatik genitalia pria sehingga
mengakibatkan terjadinya funikulitis, epididimitis atau orkitis, sedangkan pada filariasis
brugia, kelenjar limfe yang terkena biasanya daerah inguinal atau aksila yang nantinya
berkembang menjadi abses yang pecah meninggalkan jaringan parut.8,12,16 Keluhan
biasanya timbul setelah bekerja berat. Pada filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin
tidak pernah terkena.8,16 Pada masa resolusi fase akut, kulit pada ekstremitas yang
terlibat akan mengalami eksfoliatif yang luas. Keadaan akut dapat berulang 6-10 episode
per tahun dengan lama setiap episode 3-7 hari.9 Serangan berulang adenolimfangitis
(ADL) merupakan faktor penting dalam perkembangan penyakit. Pani dkk membuktikan
bahwa terdapat hubungan langsung antara jumlah serangan akut dan beratnya
limfedema.3,8.17 Makin lama gejala akut semakin ringan, yang akhirnya menuju pada
stadium kronik. DLAA lebih sering ditemukan dibandingkan LFA.15,17

3. Stadium kronik
Manisfestasi kronis filariasis jarang terlihat sebelum usia lebih dari 15 tahun dan hanya
sebagian kecil dari populasi yang terinfeksi mengalami stadium ini.15 Hidrokel,
limfedema, elephantiasis tungkai bawah, lengan atau skrotum, kiluria adalah manifestasi
utama dari filariasis kronik.1,4,5,7,8

Hidrokel merupakan pembesaran testis akibat terkumpulnya cairan limfe dalam tunika
vaginalis testis.8,16,17 Kelainan ini disebabkan oleh W. bancrofti dan merupakan
manifestasi kronis yang paling sering ditemukan pada infeksi filariasis.8 Pada daerah
endemik, 40-60% laki-laki dewasa memiliki hidrokel 7,8 Cairan yang terkumpul
biasanya bening. Uji transluminasi dapat membantu menegakkan diagnosis.8

Limfedema pada ekstremitas atas jarang terjadi dibandingkan dengan limfedema pada
ekstremitas bawah. Pada filariasis bancrofti seluruh tungkai dapat terkena, berbeda
dengan filariasis brugia yang hanya mengenai kaki dibawah lutut dan kadang-kadang
lengan dibawah siku.1,8,16,18 Gerusa dkk (2000) menetapkan 7 stadium limfedema.19
Stadium 1 menggambarkan limfedema yang ringan atau sedang sedangkan stadium 7
menggambarkan keadaan yang paling berat. Pembagian ini berkaitan dengan beratnya
limfedema, resiko terkenanya serangan akut dan dalam penatalaksanaan.15 Limfedema
pada filariasis biasanya terjadi setelah serangan akut berulang kali. Kelainan pada kulit
dapat terlihat sebagai kulit yang menebal, hiperkeratosis, hipotrikosis atau hipertrikosis,
pigmentasi, ulkus kronik, nodus dermal dan subepidermal.8
Tabel 1. Gambaran stadium Limfedema*
*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 19

Limfedema pada genitalia melibatkan pembengkakan pada skrotum dan / penebalan kulit
skrotum atau kulit penis yang akan memberikan gambaran peau d’ orange yang nantinya
berkembang menjadi lesi verukosa.1,8

Kiluria terjadi akibat bocornya atau pecahnya saluran limfe oleh cacing dewasa yang
menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih.1,8,12,16 Kelainan ini
disebabkan oleh W. bancrofti.16 Pasien dengan kiluria mengeluhkan adanya urine yang
berwarna putih seperti susu (milky urine).1,7,8,16 Diagnosis kiluria ditetapkan dengan
ditemukannya limfosit pada urine.8

Limforea sering terjadi pada dinding skrotum dimana cairan limfe meleleh keluar dari
saluran limfe yang pecah.1,8,19

Pada daerah endemik, payudara dapat terkena, baik unilateral ataupun bilateral. Hal ini
harus dapat dibedakan dengan mastitis kronik dan limfedema pasca mastektom.1

4.Occult filariasis

Occult filariasis merupakan infeksi filariasis yang tidak memperlihatkan gejala klasik
filariasis serta tidak ditemukannya mikrofilaria dalam darah, tetapi ditemukan dalam
organ dalam.1,4,8 Occult filariasis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tubuh penderita
terhadap antigen mikrofilaria.4,12 Contoh yang paling jelas adalah Tropical Pulmonary
Eosinophilia (TPE). TPE sering ditemukan di Southeast Asia, India, dan beberapa daerah
di Cina dan Afrika 1,3 TPE adalah suatu sindrom yang terdiri dari gangguan fungsi paru,
hipereosinofilia (>3000mm3), peningkatan antibodi antifilaria, peningkatan IgE
antifilaria dan respon terhadap terapi DEC. Manifestasi klinis TPE berupa gejala yang
menyerupai asma bronkhial ( batuk, sesak nafas, dan wheezing),penurunan berat badan,
demam, limfadenopati lokal, hepatosplenomegali.1,3,4,7-9,12 Pada foto torak tampak
peningkatan corakan bronkovaskular terutama didasar paru, dan pemeriksaan fungsi paru
tampak defek obstruktif.Jika pasien dengan TPE tidak diobati, maka penyakit akan
berkembang menjadi penyakit paru restriktif kronik dengan fibrosis interstisial.4,7,8

Pada daerah endemis, perjalanan penyakit filariasis berbeda antara penduduk asli dengan
penduduk yang berasal dari daerah non-endemis dimana gejala dan tanda lebih cepat
terjadi berupa limfadenitis, hepatomegali dan splenomegali,1,7,8 Llimfedema dapat
terjadi dalam waktu 6 bulan dan dapat berlanjut menjadi elefantiasis dalam kurun waktu
1 tahun.20 Hal ini diakibatkan karena pendatang tidak mempunyai toleransi imunologik
terhadap antigen filaria yang biasanya terlihat pada pajanan lama.1 Resiko terjadinya
manifestasi akut dan kronik pada seseorangan yang berkunjung ke daerah endemis sangat
kecil, hal tersebut menunjukkan diperlukannya kontak/pajanan berulang dengan nyamuk
yang terinfeksi.1 Riwayat sensitisasi prenatal dan toleransi imunologik terhadap antigen
filarial mempengaruhi respon patologi infeksi dan tendensi terjadinya manifestasi
subklinis pada masa kanak-kanak.1,3
IV. DIAGNOSIS BANDING

Pembesaran ekstremitas
Limfangitis bakterial akut, limfadenitis kronik,LImfogranuloma inguinale dan
limfadenitis tuberkulosis dapat menyebabkan limfedema ekstremitas bawah.5 Trauma
pada saluran limfe akibat operasi juga dapat menyebabkan limfedema. Pasien dengan
limfedema tanpa adanya riwayat serangat akut berulang dikenal sebagai cold
lymphedema merupakan kelainan bawaan.8 Tumor dan pembentukkan jaringan fibrotik
juga dapat menyebabkan tekanan pada saluran limfe dan menurunkan aliran limfe
sehingga terjadi limfedema secara perlahan. Mastektomi dengan limfedenektomi
merupakan salah satu hal penyebab terjadinya limfedema pada ekstremitas atas.19

Lipedema
Pembesaran kronik akibat jaringan lemak yang berlebihan, biasanya pada tungkai atas
dan pinggul. Kelainan simetris, telapak kaki normal. Kelainan ini terjadi pada saat
pubertas atau 1-2 tahun sesudahnya.19

Hernia inguinalis
Kelainan ini dapat menyerupai hidrokel. Pada hernia batas atas masuk kedalam
perut,testis teraba, isi dapat keluar masuk dan pada auskultasi bising usus (+). Pada saat
pasien berdiri terlihat dasar hidrokel menyempit berbeda dengan hernia yang dasarnya
melebar.16,19

Knobs
Knobs/lump dengan pertumbuhan cepat dengan atau tanpa perdarahan dapat disebabkan
oleh kanker kulit. Misetoma dan kromoblastosis juga dapat memberikan gambaran
benjolan/nodus. Misetoma merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh jamur yang
ditemukan pada tanah dan tumbuhan. Jamur masuk melalui luka kemudian terbentuk
abses, sinus dan fistel yang multiple. Didalam sinus terdapat butir-butir (granules) yang
merupakan kumpulan dari jamur tersebut. Kromoblastosis merupakan penyakit yang
disebabkan oleh jamur berpigmen yang ditemukan pada kayu, tumbuhan dan tanah. Perlu
dibedakan kromoblastomikosis dengan limfedema stadium 6 yang memberikan gambaran
mossy foot.19

Kiluria
Keadaan ini dapat juga disebabkan oleh trauma, kehamilan, tumor atau diabetes mellitus.
Pada diabetes mellitus, kiluria terjadi akibat pus. Untuk membedakan ke dua keadaan ini,
pasien diminta menampung urin dalam wadah transparan dan membiarkan urin selama
30-40 menit. Jika terjadi pemisahan antara sedimen dan urin, maka pasien tidak
menderita kiluria.15,19
V. PENATALA KSANAAN

A. Diagnosis
Diagnosis yang efisien dan efektif sangatlah penting dan menjadi faktor penentu dalam
penatalaksanaan penyakit. Terdapat beberapa cara :

1. Pemeriksaan klinis : tidak sensitif dan tidak spesifik untuk menentukan adanya infeksi
aktif.4

2. Pemeriksaan parasitologi dengan menemukan mikrofilaria dalam sediaan darah, cairan


hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa,
tehnik Knott, membrane filtrasi dan tes provokasi DEC.12,21,22 Sensitivitas bergantung
pada volume darah yang diperiksa, waktu pengambilan dan keahlian teknisi yang
memeriksanya. Pemeriksaan ini tidak nyaman, karena pengambilan darah harus
dilakukan pada malam hari antara pukul 22.00-02.00 mengingat periodisitas mikrofilaria
umumnya nokturna.12,21 Spesimen yang diperlukan ± 50µl darah dan untuk menegakan
diagnosis diperlukan ≥ 20 mikrofilaria/ml (Mf/ml).21

3. Deteksi antibodi: Peranan antibodi antifilaria subklas IgG4 pada infeksi aktif filarial
membantu dikembangkannya serodiagnostik berdasarkan antibodi kelas ini. Pemeriksaan
ini digunakan untuk pendatang yang tinggal didaerah endemik atau pengunjung yang
pulang dari daerah endemik.3,21 Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan infeksi parasit
sebelumnya dan kini, selain itu titer antibodi tidak menunjukkan korelasi dengan jumlah
cacing dalam tubuh penderita.4,12

4. Deteksi antigen yang beredar dalam sirkulasi.3,21,23 Pemeriksaan ini memberikan


hasil yang sensitif dan spesies spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan makroskopis.
Terdapat dua cara yaitu dengan ELISA (enzyme-linked immunosorbent) dan ICT card
test (immunochromatographic).3,4,21,22 Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi
aktif dalam tubuh penderita, selain itu, tes ini dapat digunakan juga untuk monitoring
hasil pengobatan.3 Kekurangan pemeriksaan ini adalah tidak sensitif untuk konfirmasi
pasien yang diduga secara klinis menderita filariasis. Tehnik ini juga hanya dapat
digunakan untuk infeksi filariasis bancrofti. Diperlukan keahlian dan laboratorium khusus
untuk tes ELISA sehingga sulit untuk di aplikasikan di lapangan.4 ICT adalah tehnik
imunokromatografik yang menggunakan antibodi monoklonal dan poliklonal.
Keuntungan dari ICT adalah invasif minimal (100 µl), mudah digunakan, tidak
memerlukan teknisi khusus, hasil dapat langsung dibaca dan murah. Sensitivitas ICT
dibandingkan dengan pemeriksaan sediaan hapus darah tebal adalah 100% dengan
spesifisitas 96.3%. 3

5. Deteksi parasit dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Tehnik ini digunakan untuk
mendeteksi DNA W. bancrofti dan B. malayi.1,3,21 PCR mempunyai sensitivitas yang
tinggi yang dapat mendeteksi infeksi paten pada semua individu yang terinfeksi,
termasuk individu dengan infeksi tersembunyi (amikrofilaremia atau individu dengan
antigen +).21 Kekurangannya adalah diperlukan penanganan yang sangat hati-hati untuk
mencegah kontaminasi spesimen dan hasil positif palsu. Diperlukan juga tenaga dan
laboratorium khusus selain biaya yang mahal.4

6. Radiodiagnostik 1,3,4,21
· Menggunakan USG pada skrotum dan kelenjar inguinal pasien, dan akan tampak
gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dancing worm). Pemeriksaan ini berguna
terutama untuk evaluasi hasil pengobatan.
· Limfosintigrafi menggunakan dextran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif
yang menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada pasien dengan
asimptomatik milrofilaremia

B. Terapi

Obat anti-filaria yang digunakan


Diethylcarbamazine citrate (DEC)
Diethylcarbamazine citrate (DEC) telah digunakan sejak ± 40 tahun lamanya dan masih
merupakan terapi anti-filarial yang digunakan secara luas. 3,12,15,24 WHO
merekomendasikan pemberian DEC dengan dosis 6 mg/kgBB untuk 12 hari berturut-
turut.3,7,15,20,24 Cara pemberian tersebut tidak praktis digunakan untuk community-
based control programme karena mahal.3,15 Andrade dkk (1995) membandingkan
pemberian dosis tunggal DEC 6 mg/kgBB dan pemberian DEC dosis yang sama selama
12 hari, didapatkan kadar mikrofilaria yang sama pada ke-2 grup setelah terapi 12 bulan,
meskipun pada bulan 1, 3 dan 6 kadar mikrofilaremia tinggi pada grup dosis tunggal.15
Dosis yang disarankan WHO digunakan untuk terapi selektif/perorangan, dimana orang
tersebut yang mencari pertolongan, sedangkan untuk terapi massal digunakan dosis
tunggal 6mg/kgBB yang diberikan setiap tahun selama 4-6 tahun berturut-turut.20Terapi
massal adalah terapi yang diberikan kepada seluruh penduduk di daerah endemis
filariasis.11,20 Di Indonesia, dosis 6 mg/kg BB memberikan efek samping yang berat,
sehingga pemberian DEC di lakukan berdasarkan usia dan dikombinasi dengan
albendazol.11

Ivermectin
Ivermectin terbukti sangat efektif dalam menurunkan mikrofilaremia pada filariasis
bancrofti di sejumlah negara.3 Obat ini membunuh 96% mikrofilaremia dan menurunkan
produksi mikrofilaremia sebesar 82%.25.Obat ini merupakan antibiotik semisintetik
golongan makrolid yang berfungsi sebagai agent mikrofilarisidal poten.12,15 Dosis
tunggal 200-400µg/kg dapat menurunkan mikrofilaria dalam darah tepi untuk waktu 6-24
bulan. Dengan dosis tunggal 200 atau 400µl/kg dapat langsung membunuh
mikrofilaremia dan menurunkan produksi mikrofilaremia.25 Obat belum digunakan di
Indonesia.

Albendazol
Obat ini digunakan untuk pengobatan cacing intestine selama bertahun-tahun dan baru
baru ini di coba digunakan sebagai anti-filaria.3 Dosis tunggal albendazol tidak
mempunyai efek terhadap mikrofilaremia.15 Albendazole hanya mempunya sedikit efek
untuk mikrofilaremia dan antigenaemia jika digunakan sendiri.3 ADosis tunggal 400 mg
di kombinasi dengan DEC atau ivermectin efektif menghancurkan mikrofilaria.26

Penatalaksanaan filariasis bergantung kepada keadaan klinis dan beratnya


penyakit.8,16,26

Asimptomatik atau subklinis


Pengobatan awal dengan anti-filaria pada pasien asimptomatik sangat disarankan untuk
mencegah kerusakan limfatik lebih lanjut. Efektifitas terapi dapat di evaluasi dengan
melakukan tes mikrofilaria 6-12 bulan setelah terapi.1

Stadium akut
Selama serangan akut pemberian DEC tidak di anjurkan, karena diduga akan
memperberat keaadaan akibat matinya cacing dewasa.15 Terapi supportif harus
dilakukan termasuk istirahat, kompres, elevasi ekstremitas yang terkena dan pemberian
analgetik dan antipiretik.15,17,19 Pada serangan akut ADLA pemberian antibiotik oral
dapat dilakukan sewaktu menunggu hasil kultur.15

Stadium kronik
Obat anti-filaria jarang digunakan untuk keadaan kronik tetapi diberikan jika pasien
terbukti menderita infeksi aktif, misalnya dengan ditemukannya mikrofilaria, antigen
mikrofilaria atau filarial dancing sign. Kerusakan limfatik akibat filariasis bersifat
permanen dan obat anti-filaria tidak menyembuhkan keadaan limfedema, tetapi
limfedema dapat di tatalaksana dengan cara menghentikan serangan akut dan mencegah
keadaan menjadi berat/buruk.19 Terdapat 5 komponen dasar dalam penatalaksanaan
limfedema yang dapat dilakukan oleh pasien yaitu kebersihan, pencegahan dan perawatan
luka/entry lesion, latihan, elevasi dan penggunaan sepatu yang sesuai.15,19 Komponen
tambahan dalam penatalaksanaan limfedema adalah penggunaan emolien, verban,
stocking, pijat, antibiotik pofilaksis dan tindakan bedah.15,19,27

Pemberian benzopyrenes, termasuk flavonoids dan coumarin dapat menjadi terapi


tambahan. Obat ini mengikat protein yang telah terakumulasi sehingga menginduksi
fagositosis makrofag menyebabkan terpecahnya protein yang kemudian keluar kedalam
vena dan dibuang oleh sistem vascular.15,27

Tabel 2. Penatalaksanaan limfedema sesuai stadium-petunjuk umum*


Tindakan bedah pada limfedema bersifat paliatif, indikasi tindakan bedah adalah jika
tidak terdapat perbaikan dengan terapi konservatif, limfedema sangat besar sehingga
mengganggu aktivitas dan pekerjaan dan menyebabkan tidak berhasilnya terapi
konsevatif.27 Berbagai prosedur operasi digunakan tetapi secara umum tidak
memberikan hasil yang memuaskan.15 Yang termasuk dalam prosedur ini adalah
lymphangioplasty, lympho-venous anastomosis dan eksisi (de-bulking) dari jaringan
subkutan yang fibrotik.15,27 Peranan tindakan pembedahan limfedema ekstremitas
akibat filariasis sangat terbatas.15

Penatalaksanaan hidrokel adalah dengan pemberian obat anti-filaria, perawatan dasar


seperti kebersihan, dan tindakan bedah.16 Indikasi operasi pada pasien dengan hidrokel
adalah jika mengganggu pekerjaan, mengganggu aktivitas seksual, mengganggu
berkemih, dan memberi efek sosial terhadap keluarga.Prosedur yang digunakan adalah
dengan melakukan eksisi tunika vaginalis sebanyak mungkin dan membalikkannya
(Bergmann Wingklemann) untuk hidrokel besar dan prosedur Lord untuk hidrokel kecil
dimana dilakukan pengecilan tunika vaginalis dengan merempel.16

*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 19

Penatalaksanaan kiluria adalah istirahat, diet tinggi protein rendah lemak, minum banyak
(paling sedikit 2 gelas/jam selama BAK masih seperti susu). Tindakan bedah masih
kontroversi tetapi di anjurkan untuk kasus yang berat.15,16,28 Prosedure yang digunakan
adalah lympho-venous disconnection, lymphangio-venous anastomosis, lymphnode-
saphenous vein anastomosis.28

Tropical Pulmonary Eosinophil


DEC adalah obat pilihan untuk TPE. Gejala pernapasan membaik secara cepat setelah
pemberian DEC. Pemberian DEC 21-28 hari menyebabkan hilangnya microfilaria secara
cepat dibandingkan dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB, sehingga pemberian terapi lebih
lama lebih disarankan.15

Pencegahan dan kontrol filariasis


Tahun 1997, the World Health Assembly (WHA) mengajak anggota WHO untuk
mendukung program The Global Elimination of Lymphatic Filariasis (GPELF) sebagai
masalah kesehatan masyarakat.Tahun 2000 WHO mulai menetapkan GPELF dan
merekomendasikan semua penduduk yang tinggal didaerah beresiko untuk di obati satu
kali dalam satu tahun dengan dua kombinasi obat dan diberikan dalam 4-6 tahun berturut-
turut.Tiga obat anti-parasit yang di sarankan adalah DEC, albendazol, ivermectin.20
Pencegahan melawan infeksi filariasis juga dapat dilakukan secara individu dengan cara
menghindari terkenanya gigitan nyamuk. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memakai
kelambu dan menggunakan repellent, tetapi hal ini tidak bisa diterapkan disemua
wilayah.1

VI. PENUTUP

Filariasis merupakan penyakit yang menyebabkan penderitaan baik fisik maupun


psikologis. Walaupun insiden penyakit ini jarang tetapi kita tetap perlu memikirkan
filariasis sebagai salah satu penyebab bila menemukan kasus limfedema. Ketelitian
diagnostik diperlukan untuk mencegah berkembangnya penyakit ini ke stadium yang
lebih lanjut. Oleh karena itu diperlukan kerjasama multi disiplin untuk melakukan
pendekatan diagnostik dan penanganan penyakit.

Lampiran
Ekstremitas bengkak

Unilateral Bilateral

Asimetris Simetris,pitting
Perubahan tekstur kulit
Kulit mengeras/fibrotik penyakit sistemik
Vena Limfatik

-Nyeri, tu setelah berdiri lama -tidak nyeri


atau setelah berjalan - perubahan kulit: penebalan kulit, kulit mjd keras
-Varises

-USG dupleks Primer sekunder


- venogram (tidak diketahui etiologi)

Mastektomi dgn limfedenektomi


-Onset tiba-tiba
-Perjalanan peny cepat
-Riw tinggal di daerah endemis
-Riw memp tetangga/kel dg kaki gajah/hidrokel
-ADL berulang
Filariasis keganasan operasi
-Deteksi mf , tes serologi

DAFTAR PUSTAKA

1. Nutmat TB, James W kazura . Filariasis.Dalam: Guerrant RL, walker DH, Weller PF,
penyunting.,Tropical Infectious Disease. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier;2006:1152-9
2. Scott AL. Lymphatic-dwelling filariasis. Dalam: Thomas B. Nutman, penyunting.
Lymphatic filariasis. Imperial college press; 2002:5-7
3. Melrose WD. Lymphatic filariasis: new insight into an old disease. Int J parasitol
2002;32:947-955
4. Atmadja AK. Diagnosis dan penanggulangan filariasis masa kini. Dalam seminar
parasitologi klinik 29 Januari 2000
5. Kalungi S, Tumwine LK. Nematodal helminthes. Dalam: Tyring SK, Lupi O, Hengge
UR, penyunting. Tropical dermatology. Edisi ke-1. Philadelphia: Elsevier;2006:57-61
6. Epidemiologi filariasis. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
PP&PL Jakarta 2006.
7. Filariasis. Tersedia dari www.filariasis.org
8. Kusmaraswami V. The clinical manifestation of lymphatic filariasis. Dalam : Nutman
TB penyunting. Limphatic filariasis. Imperial college press;2002:103-122
9. Lucchina LC, Wilson M.E. Cysticercosis and other helminthic infection. Dalam :
Freedberg IM,Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting.
Fitzpatrick’s Dermatology in generak medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill,
2003;2240-3
10. http://www.cdc.gov/ncidod/dpd/parasites/lymphaticfilariasis/
11. Pedoman penatalaksanaan reaksi simpang pengobatan filariasis. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PP&PL, Jakarta 2007
12. Partono F, Kurniawan A, Oemijati S. Nematoda jaringan. Dalam: Gandahusada S,
Illahude H, Pribadi W, penyunting. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3Jakarta:Balai
penerbit FKUI;2003:35-44
13. Dreyer G, Norões J, Fifueredo-Silva J, Piessens WF. Pathogenesis of lymphatic
disease in bancroftian filariasis: a clinical perspective. Parasitol Today 2000;16(12):544-8
14. Freedman DO. Immune dynamic in the pathogenesis of human lymphatic filariasis.
Parasitol.Today 1998;14(6):229-233
15. Addis DG, Dreyer G. Treatment of lymphatic filariassis. Dalam Thomas B. Nutman,
penyunting. Lymphatic filariasis. Imperial college press;2002:151-180
16. Pedoman penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Departemen kesehatan Republik
Indonesia. Direktorat jenderal PP&PL. Jakarta 2006
17. Addis DG, Brady MA. Morbidity management in the global programme to eliminate
lymphatic filariasis: a review of the scientific literature. Filarial journal 2007;6(2):1-19
18. Baird JB, Charles JL, Streit TG, Robert JM, Addis DG, Lammie PJ. Reactivity to
bacterial, fungal, and parasite antigens in patients with lymphedema and elephantiasis.
Am J Trop Med Hyg 2002;66(2): 163-9
19. Dreyer G, Addis D, Dreyer P, Norões J. Basic lymphoedema management. Holis,
NH: Holis Publishing Company 2002
20. http://www.who.int/
21. McCarthy J. Diagnostic of lymphatic filarial infections. Dalam Thomas B Nutman
penyunting. Lymphatic filariasis. Imperial college press Londn 2002:127-150
22. Weil. G.J, Ramzy RM. Diagnostic tools for filariasis elimination programs. Trends
Parasitol.2007;23(2):78-82. Review
23. W. Melrose, N. Rahmah. Use of brugia rapid dipstick and ICT test to map distribution
of lymphatic filariasis in the Democratic Republic of Timor-Leste. Southeast Asian J
Trop Med Public Health 2006;37(4):22-25
24. Siraut C, Bhumiratana A, Koyadun S, Anurat K, Satitivipawee K. Short term effects
of treatment with 300 mg oral-dose diethylcarbamazine on nocturnally periodic
wuchereria bancrofti microfilaremia and antigenemia. Southeast Asian J Trop Med
Public Health 2005;36(4):832-840
25. Stolk WA, Gerrit J. Van Oortmarssen, S. P. Pani, Sake J, De Vlas, S. Subramanian,
P.K. Das Effects of ivermectin and diethylcarbamazine on microfilaria and overall
microflaria production in bancroftian filariasis. Am. J. Trop. Med. Hyg.2005;73(5): 881–
887
26. Anitha K, Shenoy RK. Treatment of lymphatics: current trends.Indian J of Derm, ven
and lepr 2001;67(2):60-65
27. Lymphedema tersedia pada http://www.emedicine.com/med/topic794.htm
28. Viswaroop B, Gopalakrishnan G. Open surgery for chyluria. Indian J Urol
2005;21:31-4
.
Kepada Yth:

TINJAUAN PUSTAKA

Moderator : dr. Erdina H D Poesponegoro, SpKK (K)


Komentator : dr. Srie Prihianti, SpKK .PhD
Narasumber : - Departemen Kulit dan Kelamin divisi dermatologi umum FKUI/RSCM
-Departemen Parasitologi FKUI/RSCM
-Departemen Bedah divisi bedah vaskuler FKUI/RSCM
Dibacakan : Rabu, 9 Januari 2008

FILARIASIS

Susanthy Ulyana
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

I. PENDAHULUAN

Filariasis adalah penyakit yang mengenai kelenjar dan saluran limfe yang disebabkan
oleh parasit golongan nematoda yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia
timori yang ditularkan melalui nyamuk.1-5 Filariasis penting dalam dermatologi karena
kulit merupakan salah satu organ yang sering terkena. Filariasis menyebabkan kulit
menjadi sangat gatal, timbul papul dan scratch marks , hingga menyebabkan seluruh kulit
menjadi kering dan tebal. Dapat timbul nodus dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi.
Filariasis menyebabkan limfedema ekstremitas, vulva, skrotum, lengan dan payudara.
Pada ekstremitas bawah biasanya tampak gambaran verukosa dengan lipatan dan kulit
yang pecah-pecah.5

Diperkirakan 120 juta penduduk dunia terinfeksi filariasis.1,3-7 Lebih dari 90% kasus
filariasis disebabkan oleh Wuchereria bancrofti 1,3,7-8 dan penderita terbanyak terdapat
di Sub Saharan Africa, Southeast Asia, dan Western Pacific.1,5,9 Program pencegahan
sudah dilakukan di India, Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan beberapa negara pasifik
seperti Fiji dan Tahiti.1,9-10

Filariasis tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan di beberapa daerah tingkat
endemisitas cukup tinggi. Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah
dataran rendah, terutama pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa, dan
hutan. Secara umum filariasis bancrofti tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Daerah endemis Wuchereria bancrofti dibedakan
menjadi tipe pedesaan dan tipe perkotaan berdasarkan vektor yang menularkan.
Wuchereria tipe pedesaan ditemukan terutama di Papua dan Nusa Tenggara dengan
vektor Anopheles,Culex dan Aides sedangkan tipe perkotaan ditemukan di Jakarta,
Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan Lebak pada daerah yang kumuh, padat
penduduknya dan banyak genangan air kotor dengan vektor Culex quinquefasciatus.
Brugia malayi tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau di Maluku,
sedangkan Brugia timore tersebar di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba.
Berdasarkan hasil survey cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan
sebanyak 6233 orang tersebar di 1553 desa, di 231 kabupaten, 26 propinsi. Berdasarkan
survey jari tahun 1999, tingkat endemisitas filariasis di Indonesia masih tinggi dengan
microfilarial rate 3.1%.6 Daerah endemis filariasis adalah daerah dengan microfilarial
rate ≥ 1%.11

Data statistik divisi Dermatologi umum Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUI/RSCM terdapat 1 pasien limfedema akibat filariasis sepanjang tahun 2003-2005.

Filariasis selain menyebabkan dampak sosial dan psikologik, juga ditetapkan oleh WHO
sebagai penyebab kecacatan permanen nomor dua.3 Pada makalah ini akan dibahas
mengenai etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis serta penatalaksanaan filariasis.

II. ETIOPATOGENESIS

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.6 Filaria mempunyai siklus hidup bifasik
dimana perkembangan larva terjadi pada nyamuk (intermediate host) dan perkembangan
larva dan cacing dewasa pada manusia (definive host). 1,2,10

Pada tubuh penderita


Infeksi diawali pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar
dari probosisnya kemudian masuk melalui bekas luka gigitan nyamuk menembus dermis
dan bergerak menuju sistem limfe.1,2,6,10,12 Larva L3 akan berubah menjadi larva L4
pada hari 9-14 setelah infeksi dan akan mengalami perkembangan menjadi cacing dewasa
dalam 6-12 bulan, setelah inseminasi, zigot berkembang menjadi mikrofilaria.2 Cacing
betina dewasa akan melepaskan ribuan mikrofilaria yang yang mempunyai selubung ke
dalam sirkulasi limfe lalu masuk ke sirkulasi darah perifer. Cacing betina dewasa aktif
bereproduksi selama lebih kurang 5 tahun. Cacing dewasa berdiam di pembuluh limfe
dan menyebabkan pembuluh berdilatasi, sehingga memperlambat aliran cairan limfe.
Sejumlah besar cacing dewasa ditemukan pada saluran limfe ekstremitas bawah,
ekstremitas atas dan genitalia pria..1,2

Pada nyamuk
Nyamuk menghisap mikrofilaria bersamaan saat menghisap darah.1,2,4,10 Dalam
beberapa jam mikrofilaria menembus dinding lambung, melepaskan selubung/sarungnya
dan bersarang diantara otot-otot toraks.1,6,10 Mula –mula parasit ini memendek
menyerupai sosis dan disebut larva stadium 1 (L1). Dalam kurang dari 1 minggu berubah
menjadi larva stadium 2 (L2), dan antara hari ke-11 dan 13 L2 berubah menjadi L3 atau
larva infektif.1,2,10 Bentuk ini sangat aktif, awalnya bermigrasi ke rongga abdomen
kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk.1,2,6,12

Hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus di Indonesia yaitu
Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis.6

Gambar 1. Siklus hidup Wuchereria bancrofti *

Patogenesis filariasis sudah diperdebatkan sejak lama, terdapat beberapa hal yang
menyebabkan penelitian terhadap terjadinya penyakit ini terhambat. 1,3,13-15 Diduga 4
faktor berperan pada patogenesis filariasis: cacing dewasa hidup, respon inflamasi akibat
matinya cacing dewasa, infeksi sekunder akibat bakteri, dan mikrofilaria.15 Cacing
dewasa hidup akan menyebabkan limfangiektasia.13-15 Karena pelebaran saluran limfe
yang difus dan tidak terbatas pada tempat dimana cacing dewasa hidup ada, diduga
cacing dewasa tersebut mengeluarkan substansi yang secara langsung atau tidak
menyebabkan limfangiektasia. Pelebaran tersebut juga menyebabkan terjadinya disfungsi
limfatik dan terjadinya manifestasi klinis termasuk limfedema dan hidrokel. Pecahnya
saluran limfe yang melebar menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih
sehingga terjadi kiluria dan kilokel. Matinya cacing dewasa menyebabkan respon
inflamasi akut yang akan memberikan gambaran klinis adenitis dan limfangitis.13,15

*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 10

Gambar 2. Patogenesis filariasis*


III. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk usia, jenis
kelamin, lokasi anatomis cacing dewasa filaria, respon imun, riwayat pajanan
sebelumnya, dan infeksi sekunder.15,16 Berdasarkan pemeriksaan fisik dan parasitologi,
manifestasi klinis filariasis dibagi dalam 4 stadium yaitu:4,8

1.Asimptomatik atau subklinis filariasis


a. Individu asimptomatik dengan mikrofilaremia
Pada daerah endemik dapat ditemukan penduduk dengan mikrofilaria positif tetapi tidak
menunjukkan gejala klinis. Angka kejadian stadium ini meningkat sesuai umur dan
biasanya mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun, dan lebih banyak terjadi pada pria
dibandingkan wanita.1,3,4,8,7 Banyak bukti menunjukan bahwa walaupun secara klinis
asimptomatik tetapi semua individu yang terinfeksi W. bancrofti dan B.malayi
mempunyai gejala subklinis.1,3,8. Hal tersebut terlihat pada 40% individu mikrofilaremia
ini menderita hematuri dan / proteinuria yg menunjukkan kerusakan ginjal minimal.3,7.8,
Kelainan ginjal ini berhubungan dengan adanya mikrofilaria dibandingkan dengan
adanya cacing dewasa, karena hilangnya mikrofilaria dalam darah akan mengembalikan
fungsi ginjal menjadi normal.3,8. Dengan lymphoscintigraphy tampak pelebaran dan
terbelitnya limfatik disertai tidak normalnya aliran limfe. Dengan USG juga terlihat
adanya limfangiektasia.3

*Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 13

Keadaan ini dapat bertahan selama bertahun-tahun yang kemudian secara perlahan
berlanjut ke stadium akut atau kronik.8

b. Individu asimptomatik dan amikrofilaremia dengan antigen filarial (+)


Pada daerah endemik terdapat populasi yang terpajan dengan larva infektif (L3) yang
tidak menunjukkan adanya gejala klinis atau adanya infeksi, tetapi mempunyai antibodi-
antifilaria dalam tubuhnya. 3,5,7,8

2. Stadium akut
Manifestasi klinis akut dari filariasis ditandai dengan serangan demam berulang yang
disertai pembesaran kelenjar (adenitis) dan saluran limfe (lymphangitis) disebut
adenolimfangitis (ADL).1,8,16 Etiologi serangan akut masih diperdebatkan, apakah
akibat adanya infeksi sekunder, respon imun terhadap antigen filarial, dan dilepaskannya
zat-zat dari cacing yang mati atau hidup.15
Terdapat dua mekanisme berbeda dalam terjadinya serangan akut pada daerah endemik:
a) Dermatolimfangioadenitis akut (DLAA), proses di awali di kulit yang kemudian
menyebar ke saluran limfe dan kelenjar limfe. DLAA ditandai dengan adanya plak kutan
atau subkutan yang disertai dengan limfangitis dengan gambaran retikular dan adenitis
regional.3,7,15,17 Terdapat pula gejala konstitusional sistemik maupun lokal yang berat
berupa demam, menggigil dan edema pada tungkai yang terkena.15,17 Terdapat riwayat
trauma, gigitan serangga, luka mekanik sebagai porte d’ entrée. DLAA adalah ADL
sekunder yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur.3 DLA secara klinis
menyerupai selulitis atau erisipelas.17

b) Limfangitis filarial akut (LFA), merupakan reaksi imunologik dengan matinya cacing
dewasa akibat sistim imun penderita atau terapi.3,8,15 Kelainan ini ditandai dengan
adanya Nodus atau cord yang disertai limfadenitis atau limfangitis retrograde pada
ekstremitas bawah atau atas, yang menyebar secara sentrifugal.3,8,15,17 Keadaan ini
dapat terjadi secara berulang pada lokasi yang sama.3,8

Filariasis bancrofti sering hanya mengenai sistem limfatik genitalia pria sehingga
mengakibatkan terjadinya funikulitis, epididimitis atau orkitis, sedangkan pada filariasis
brugia, kelenjar limfe yang terkena biasanya daerah inguinal atau aksila yang nantinya
berkembang menjadi abses yang pecah meninggalkan jaringan parut.8,12,16 Keluhan
biasanya timbul setelah bekerja berat. Pada filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin
tidak pernah terkena.8,16 Pada masa resolusi fase akut, kulit pada ekstremitas yang
terlibat akan mengalami eksfoliatif yang luas. Keadaan akut dapat berulang 6-10 episode
per tahun dengan lama setiap episode 3-7 hari.9 Serangan berulang adenolimfangitis
(ADL) merupakan faktor penting dalam perkembangan penyakit. Pani dkk membuktikan
bahwa terdapat hubungan langsung antara jumlah serangan akut dan beratnya
limfedema.3,8.17 Makin lama gejala akut semakin ringan, yang akhirnya menuju pada
stadium kronik. DLAA lebih sering ditemukan dibandingkan LFA.15,17

3. Stadium kronik
Manisfestasi kronis filariasis jarang terlihat sebelum usia lebih dari 15 tahun dan hanya
sebagian kecil dari populasi yang terinfeksi mengalami stadium ini.15 Hidrokel,
limfedema, elephantiasis tungkai bawah, lengan atau skrotum, kiluria adalah manifestasi
utama dari filariasis kronik.1,4,5,7,8

Hidrokel merupakan pembesaran testis akibat terkumpulnya cairan limfe dalam tunika
vaginalis testis.8,16,17 Kelainan ini disebabkan oleh W. bancrofti dan merupakan
manifestasi kronis yang paling sering ditemukan pada infeksi filariasis.8 Pada daerah
endemik, 40-60% laki-laki dewasa memiliki hidrokel 7,8 Cairan yang terkumpul
biasanya bening. Uji transluminasi dapat membantu menegakkan diagnosis.8

Limfedema pada ekstremitas atas jarang terjadi dibandingkan dengan limfedema pada
ekstremitas bawah. Pada filariasis bancrofti seluruh tungkai dapat terkena, berbeda
dengan filariasis brugia yang hanya mengenai kaki dibawah lutut dan kadang-kadang
lengan dibawah siku.1,8,16,18 Gerusa dkk (2000) menetapkan 7 stadium limfedema.19
Stadium 1 menggambarkan limfedema yang ringan atau sedang sedangkan stadium 7
menggambarkan keadaan yang paling berat. Pembagian ini berkaitan dengan beratnya
limfedema, resiko terkenanya serangan akut dan dalam penatalaksanaan.15 Limfedema
pada filariasis biasanya terjadi setelah serangan akut berulang kali. Kelainan pada kulit
dapat terlihat sebagai kulit yang menebal, hiperkeratosis, hipotrikosis atau hipertrikosis,
pigmentasi, ulkus kronik, nodus dermal dan subepidermal.8
Tabel 1. Gambaran stadium Limfedema*
*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 19
Limfedema pada genitalia melibatkan pembengkakan pada skrotum dan / penebalan kulit
skrotum atau kulit penis yang akan memberikan gambaran peau d’ orange yang nantinya
berkembang menjadi lesi verukosa.1,8

Kiluria terjadi akibat bocornya atau pecahnya saluran limfe oleh cacing dewasa yang
menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih.1,8,12,16 Kelainan ini
disebabkan oleh W. bancrofti.16 Pasien dengan kiluria mengeluhkan adanya urine yang
berwarna putih seperti susu (milky urine).1,7,8,16 Diagnosis kiluria ditetapkan dengan
ditemukannya limfosit pada urine.8

Limforea sering terjadi pada dinding skrotum dimana cairan limfe meleleh keluar dari
saluran limfe yang pecah.1,8,19

Pada daerah endemik, payudara dapat terkena, baik unilateral ataupun bilateral. Hal ini
harus dapat dibedakan dengan mastitis kronik dan limfedema pasca mastektom.1

4.Occult filariasis

Occult filariasis merupakan infeksi filariasis yang tidak memperlihatkan gejala klasik
filariasis serta tidak ditemukannya mikrofilaria dalam darah, tetapi ditemukan dalam
organ dalam.1,4,8 Occult filariasis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tubuh penderita
terhadap antigen mikrofilaria.4,12 Contoh yang paling jelas adalah Tropical Pulmonary
Eosinophilia (TPE). TPE sering ditemukan di Southeast Asia, India, dan beberapa daerah
di Cina dan Afrika 1,3 TPE adalah suatu sindrom yang terdiri dari gangguan fungsi paru,
hipereosinofilia (>3000mm3), peningkatan antibodi antifilaria, peningkatan IgE
antifilaria dan respon terhadap terapi DEC. Manifestasi klinis TPE berupa gejala yang
menyerupai asma bronkhial ( batuk, sesak nafas, dan wheezing),penurunan berat badan,
demam, limfadenopati lokal, hepatosplenomegali.1,3,4,7-9,12 Pada foto torak tampak
peningkatan corakan bronkovaskular terutama didasar paru, dan pemeriksaan fungsi paru
tampak defek obstruktif.Jika pasien dengan TPE tidak diobati, maka penyakit akan
berkembang menjadi penyakit paru restriktif kronik dengan fibrosis interstisial.4,7,8

Pada daerah endemis, perjalanan penyakit filariasis berbeda antara penduduk asli dengan
penduduk yang berasal dari daerah non-endemis dimana gejala dan tanda lebih cepat
terjadi berupa limfadenitis, hepatomegali dan splenomegali,1,7,8 Llimfedema dapat
terjadi dalam waktu 6 bulan dan dapat berlanjut menjadi elefantiasis dalam kurun waktu
1 tahun.20 Hal ini diakibatkan karena pendatang tidak mempunyai toleransi imunologik
terhadap antigen filaria yang biasanya terlihat pada pajanan lama.1 Resiko terjadinya
manifestasi akut dan kronik pada seseorangan yang berkunjung ke daerah endemis sangat
kecil, hal tersebut menunjukkan diperlukannya kontak/pajanan berulang dengan nyamuk
yang terinfeksi.1 Riwayat sensitisasi prenatal dan toleransi imunologik terhadap antigen
filarial mempengaruhi respon patologi infeksi dan tendensi terjadinya manifestasi
subklinis pada masa kanak-kanak.1,3
IV. DIAGNOSIS BANDING

Pembesaran ekstremitas
Limfangitis bakterial akut, limfadenitis kronik,LImfogranuloma inguinale dan
limfadenitis tuberkulosis dapat menyebabkan limfedema ekstremitas bawah.5 Trauma
pada saluran limfe akibat operasi juga dapat menyebabkan limfedema. Pasien dengan
limfedema tanpa adanya riwayat serangat akut berulang dikenal sebagai cold
lymphedema merupakan kelainan bawaan.8 Tumor dan pembentukkan jaringan fibrotik
juga dapat menyebabkan tekanan pada saluran limfe dan menurunkan aliran limfe
sehingga terjadi limfedema secara perlahan. Mastektomi dengan limfedenektomi
merupakan salah satu hal penyebab terjadinya limfedema pada ekstremitas atas.19

Lipedema
Pembesaran kronik akibat jaringan lemak yang berlebihan, biasanya pada tungkai atas
dan pinggul. Kelainan simetris, telapak kaki normal. Kelainan ini terjadi pada saat
pubertas atau 1-2 tahun sesudahnya.19

Hernia inguinalis
Kelainan ini dapat menyerupai hidrokel. Pada hernia batas atas masuk kedalam
perut,testis teraba, isi dapat keluar masuk dan pada auskultasi bising usus (+). Pada saat
pasien berdiri terlihat dasar hidrokel menyempit berbeda dengan hernia yang dasarnya
melebar.16,19

Knobs
Knobs/lump dengan pertumbuhan cepat dengan atau tanpa perdarahan dapat disebabkan
oleh kanker kulit. Misetoma dan kromoblastosis juga dapat memberikan gambaran
benjolan/nodus. Misetoma merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh jamur yang
ditemukan pada tanah dan tumbuhan. Jamur masuk melalui luka kemudian terbentuk
abses, sinus dan fistel yang multiple. Didalam sinus terdapat butir-butir (granules) yang
merupakan kumpulan dari jamur tersebut. Kromoblastosis merupakan penyakit yang
disebabkan oleh jamur berpigmen yang ditemukan pada kayu, tumbuhan dan tanah. Perlu
dibedakan kromoblastomikosis dengan limfedema stadium 6 yang memberikan gambaran
mossy foot.19

Kiluria
Keadaan ini dapat juga disebabkan oleh trauma, kehamilan, tumor atau diabetes mellitus.
Pada diabetes mellitus, kiluria terjadi akibat pus. Untuk membedakan ke dua keadaan ini,
pasien diminta menampung urin dalam wadah transparan dan membiarkan urin selama
30-40 menit. Jika terjadi pemisahan antara sedimen dan urin, maka pasien tidak
menderita kiluria.15,19

V. PENATALA KSANAAN
A. Diagnosis
Diagnosis yang efisien dan efektif sangatlah penting dan menjadi faktor penentu dalam
penatalaksanaan penyakit. Terdapat beberapa cara :

1. Pemeriksaan klinis : tidak sensitif dan tidak spesifik untuk menentukan adanya infeksi
aktif.4

2. Pemeriksaan parasitologi dengan menemukan mikrofilaria dalam sediaan darah, cairan


hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa,
tehnik Knott, membrane filtrasi dan tes provokasi DEC.12,21,22 Sensitivitas bergantung
pada volume darah yang diperiksa, waktu pengambilan dan keahlian teknisi yang
memeriksanya. Pemeriksaan ini tidak nyaman, karena pengambilan darah harus
dilakukan pada malam hari antara pukul 22.00-02.00 mengingat periodisitas mikrofilaria
umumnya nokturna.12,21 Spesimen yang diperlukan ± 50µl darah dan untuk menegakan
diagnosis diperlukan ≥ 20 mikrofilaria/ml (Mf/ml).21

3. Deteksi antibodi: Peranan antibodi antifilaria subklas IgG4 pada infeksi aktif filarial
membantu dikembangkannya serodiagnostik berdasarkan antibodi kelas ini. Pemeriksaan
ini digunakan untuk pendatang yang tinggal didaerah endemik atau pengunjung yang
pulang dari daerah endemik.3,21 Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan infeksi parasit
sebelumnya dan kini, selain itu titer antibodi tidak menunjukkan korelasi dengan jumlah
cacing dalam tubuh penderita.4,12

4. Deteksi antigen yang beredar dalam sirkulasi.3,21,23 Pemeriksaan ini memberikan


hasil yang sensitif dan spesies spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan makroskopis.
Terdapat dua cara yaitu dengan ELISA (enzyme-linked immunosorbent) dan ICT card
test (immunochromatographic).3,4,21,22 Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi
aktif dalam tubuh penderita, selain itu, tes ini dapat digunakan juga untuk monitoring
hasil pengobatan.3 Kekurangan pemeriksaan ini adalah tidak sensitif untuk konfirmasi
pasien yang diduga secara klinis menderita filariasis. Tehnik ini juga hanya dapat
digunakan untuk infeksi filariasis bancrofti. Diperlukan keahlian dan laboratorium khusus
untuk tes ELISA sehingga sulit untuk di aplikasikan di lapangan.4 ICT adalah tehnik
imunokromatografik yang menggunakan antibodi monoklonal dan poliklonal.
Keuntungan dari ICT adalah invasif minimal (100 µl), mudah digunakan, tidak
memerlukan teknisi khusus, hasil dapat langsung dibaca dan murah. Sensitivitas ICT
dibandingkan dengan pemeriksaan sediaan hapus darah tebal adalah 100% dengan
spesifisitas 96.3%. 3

5. Deteksi parasit dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Tehnik ini digunakan untuk
mendeteksi DNA W. bancrofti dan B. malayi.1,3,21 PCR mempunyai sensitivitas yang
tinggi yang dapat mendeteksi infeksi paten pada semua individu yang terinfeksi,
termasuk individu dengan infeksi tersembunyi (amikrofilaremia atau individu dengan
antigen +).21 Kekurangannya adalah diperlukan penanganan yang sangat hati-hati untuk
mencegah kontaminasi spesimen dan hasil positif palsu. Diperlukan juga tenaga dan
laboratorium khusus selain biaya yang mahal.4
6. Radiodiagnostik 1,3,4,21
· Menggunakan USG pada skrotum dan kelenjar inguinal pasien, dan akan tampak
gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dancing worm). Pemeriksaan ini berguna
terutama untuk evaluasi hasil pengobatan.
· Limfosintigrafi menggunakan dextran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif
yang menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada pasien dengan
asimptomatik milrofilaremia

B. Terapi

Obat anti-filaria yang digunakan


Diethylcarbamazine citrate (DEC)
Diethylcarbamazine citrate (DEC) telah digunakan sejak ± 40 tahun lamanya dan masih
merupakan terapi anti-filarial yang digunakan secara luas. 3,12,15,24 WHO
merekomendasikan pemberian DEC dengan dosis 6 mg/kgBB untuk 12 hari berturut-
turut.3,7,15,20,24 Cara pemberian tersebut tidak praktis digunakan untuk community-
based control programme karena mahal.3,15 Andrade dkk (1995) membandingkan
pemberian dosis tunggal DEC 6 mg/kgBB dan pemberian DEC dosis yang sama selama
12 hari, didapatkan kadar mikrofilaria yang sama pada ke-2 grup setelah terapi 12 bulan,
meskipun pada bulan 1, 3 dan 6 kadar mikrofilaremia tinggi pada grup dosis tunggal.15
Dosis yang disarankan WHO digunakan untuk terapi selektif/perorangan, dimana orang
tersebut yang mencari pertolongan, sedangkan untuk terapi massal digunakan dosis
tunggal 6mg/kgBB yang diberikan setiap tahun selama 4-6 tahun berturut-turut.20Terapi
massal adalah terapi yang diberikan kepada seluruh penduduk di daerah endemis
filariasis.11,20 Di Indonesia, dosis 6 mg/kg BB memberikan efek samping yang berat,
sehingga pemberian DEC di lakukan berdasarkan usia dan dikombinasi dengan
albendazol.11

Ivermectin
Ivermectin terbukti sangat efektif dalam menurunkan mikrofilaremia pada filariasis
bancrofti di sejumlah negara.3 Obat ini membunuh 96% mikrofilaremia dan menurunkan
produksi mikrofilaremia sebesar 82%.25.Obat ini merupakan antibiotik semisintetik
golongan makrolid yang berfungsi sebagai agent mikrofilarisidal poten.12,15 Dosis
tunggal 200-400µg/kg dapat menurunkan mikrofilaria dalam darah tepi untuk waktu 6-24
bulan. Dengan dosis tunggal 200 atau 400µl/kg dapat langsung membunuh
mikrofilaremia dan menurunkan produksi mikrofilaremia.25 Obat belum digunakan di
Indonesia.

Albendazol
Obat ini digunakan untuk pengobatan cacing intestine selama bertahun-tahun dan baru
baru ini di coba digunakan sebagai anti-filaria.3 Dosis tunggal albendazol tidak
mempunyai efek terhadap mikrofilaremia.15 Albendazole hanya mempunya sedikit efek
untuk mikrofilaremia dan antigenaemia jika digunakan sendiri.3 ADosis tunggal 400 mg
di kombinasi dengan DEC atau ivermectin efektif menghancurkan mikrofilaria.26

Penatalaksanaan filariasis bergantung kepada keadaan klinis dan beratnya


penyakit.8,16,26

Asimptomatik atau subklinis


Pengobatan awal dengan anti-filaria pada pasien asimptomatik sangat disarankan untuk
mencegah kerusakan limfatik lebih lanjut. Efektifitas terapi dapat di evaluasi dengan
melakukan tes mikrofilaria 6-12 bulan setelah terapi.1

Stadium akut
Selama serangan akut pemberian DEC tidak di anjurkan, karena diduga akan
memperberat keaadaan akibat matinya cacing dewasa.15 Terapi supportif harus
dilakukan termasuk istirahat, kompres, elevasi ekstremitas yang terkena dan pemberian
analgetik dan antipiretik.15,17,19 Pada serangan akut ADLA pemberian antibiotik oral
dapat dilakukan sewaktu menunggu hasil kultur.15

Stadium kronik
Obat anti-filaria jarang digunakan untuk keadaan kronik tetapi diberikan jika pasien
terbukti menderita infeksi aktif, misalnya dengan ditemukannya mikrofilaria, antigen
mikrofilaria atau filarial dancing sign. Kerusakan limfatik akibat filariasis bersifat
permanen dan obat anti-filaria tidak menyembuhkan keadaan limfedema, tetapi
limfedema dapat di tatalaksana dengan cara menghentikan serangan akut dan mencegah
keadaan menjadi berat/buruk.19 Terdapat 5 komponen dasar dalam penatalaksanaan
limfedema yang dapat dilakukan oleh pasien yaitu kebersihan, pencegahan dan perawatan
luka/entry lesion, latihan, elevasi dan penggunaan sepatu yang sesuai.15,19 Komponen
tambahan dalam penatalaksanaan limfedema adalah penggunaan emolien, verban,
stocking, pijat, antibiotik pofilaksis dan tindakan bedah.15,19,27

Pemberian benzopyrenes, termasuk flavonoids dan coumarin dapat menjadi terapi


tambahan. Obat ini mengikat protein yang telah terakumulasi sehingga menginduksi
fagositosis makrofag menyebabkan terpecahnya protein yang kemudian keluar kedalam
vena dan dibuang oleh sistem vascular.15,27

Tabel 2. Penatalaksanaan limfedema sesuai stadium-petunjuk umum*


Tindakan bedah pada limfedema bersifat paliatif, indikasi tindakan bedah adalah jika
tidak terdapat perbaikan dengan terapi konservatif, limfedema sangat besar sehingga
mengganggu aktivitas dan pekerjaan dan menyebabkan tidak berhasilnya terapi
konsevatif.27 Berbagai prosedur operasi digunakan tetapi secara umum tidak
memberikan hasil yang memuaskan.15 Yang termasuk dalam prosedur ini adalah
lymphangioplasty, lympho-venous anastomosis dan eksisi (de-bulking) dari jaringan
subkutan yang fibrotik.15,27 Peranan tindakan pembedahan limfedema ekstremitas
akibat filariasis sangat terbatas.15

Penatalaksanaan hidrokel adalah dengan pemberian obat anti-filaria, perawatan dasar


seperti kebersihan, dan tindakan bedah.16 Indikasi operasi pada pasien dengan hidrokel
adalah jika mengganggu pekerjaan, mengganggu aktivitas seksual, mengganggu
berkemih, dan memberi efek sosial terhadap keluarga.Prosedur yang digunakan adalah
dengan melakukan eksisi tunika vaginalis sebanyak mungkin dan membalikkannya
(Bergmann Wingklemann) untuk hidrokel besar dan prosedur Lord untuk hidrokel kecil
dimana dilakukan pengecilan tunika vaginalis dengan merempel.16

*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 19

Penatalaksanaan kiluria adalah istirahat, diet tinggi protein rendah lemak, minum banyak
(paling sedikit 2 gelas/jam selama BAK masih seperti susu). Tindakan bedah masih
kontroversi tetapi di anjurkan untuk kasus yang berat.15,16,28 Prosedure yang digunakan
adalah lympho-venous disconnection, lymphangio-venous anastomosis, lymphnode-
saphenous vein anastomosis.28

Tropical Pulmonary Eosinophil


DEC adalah obat pilihan untuk TPE. Gejala pernapasan membaik secara cepat setelah
pemberian DEC. Pemberian DEC 21-28 hari menyebabkan hilangnya microfilaria secara
cepat dibandingkan dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB, sehingga pemberian terapi lebih
lama lebih disarankan.15

Pencegahan dan kontrol filariasis


Tahun 1997, the World Health Assembly (WHA) mengajak anggota WHO untuk
mendukung program The Global Elimination of Lymphatic Filariasis (GPELF) sebagai
masalah kesehatan masyarakat.Tahun 2000 WHO mulai menetapkan GPELF dan
merekomendasikan semua penduduk yang tinggal didaerah beresiko untuk di obati satu
kali dalam satu tahun dengan dua kombinasi obat dan diberikan dalam 4-6 tahun berturut-
turut.Tiga obat anti-parasit yang di sarankan adalah DEC, albendazol, ivermectin.20
Pencegahan melawan infeksi filariasis juga dapat dilakukan secara individu dengan cara
menghindari terkenanya gigitan nyamuk. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memakai
kelambu dan menggunakan repellent, tetapi hal ini tidak bisa diterapkan disemua
wilayah.1

VI. PENUTUP

Filariasis merupakan penyakit yang menyebabkan penderitaan baik fisik maupun


psikologis. Walaupun insiden penyakit ini jarang tetapi kita tetap perlu memikirkan
filariasis sebagai salah satu penyebab bila menemukan kasus limfedema. Ketelitian
diagnostik diperlukan untuk mencegah berkembangnya penyakit ini ke stadium yang
lebih lanjut. Oleh karena itu diperlukan kerjasama multi disiplin untuk melakukan
pendekatan diagnostik dan penanganan penyakit.
Lampiran
Ekstremitas bengkak

Unilateral Bilateral

Asimetris Simetris,pitting
Perubahan tekstur kulit
Kulit mengeras/fibrotik penyakit sistemik
Vena Limfatik

-Nyeri, tu setelah berdiri lama -tidak nyeri


atau setelah berjalan - perubahan kulit: penebalan kulit, kulit mjd keras
-Varises

-USG dupleks Primer sekunder


- venogram (tidak diketahui etiologi)

Mastektomi dgn limfedenektomi


-Onset tiba-tiba
-Perjalanan peny cepat
-Riw tinggal di daerah endemis
-Riw memp tetangga/kel dg kaki gajah/hidrokel
-ADL berulang
Filariasis keganasan operasi

-Deteksi mf , tes serologi


DAFTAR PUSTAKA

1. Nutmat TB, James W kazura . Filariasis.Dalam: Guerrant RL, walker DH, Weller PF,
penyunting.,Tropical Infectious Disease. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier;2006:1152-9
2. Scott AL. Lymphatic-dwelling filariasis. Dalam: Thomas B. Nutman, penyunting.
Lymphatic filariasis. Imperial college press; 2002:5-7
3. Melrose WD. Lymphatic filariasis: new insight into an old disease. Int J parasitol
2002;32:947-955
4. Atmadja AK. Diagnosis dan penanggulangan filariasis masa kini. Dalam seminar
parasitologi klinik 29 Januari 2000
5. Kalungi S, Tumwine LK. Nematodal helminthes. Dalam: Tyring SK, Lupi O, Hengge
UR, penyunting. Tropical dermatology. Edisi ke-1. Philadelphia: Elsevier;2006:57-61
6. Epidemiologi filariasis. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
PP&PL Jakarta 2006.
7. Filariasis. Tersedia dari www.filariasis.org
8. Kusmaraswami V. The clinical manifestation of lymphatic filariasis. Dalam : Nutman
TB penyunting. Limphatic filariasis. Imperial college press;2002:103-122
9. Lucchina LC, Wilson M.E. Cysticercosis and other helminthic infection. Dalam :
Freedberg IM,Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting.
Fitzpatrick’s Dermatology in generak medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill,
2003;2240-3
10. http://www.cdc.gov/ncidod/dpd/parasites/lymphaticfilariasis/
11. Pedoman penatalaksanaan reaksi simpang pengobatan filariasis. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PP&PL, Jakarta 2007
12. Partono F, Kurniawan A, Oemijati S. Nematoda jaringan. Dalam: Gandahusada S,
Illahude H, Pribadi W, penyunting. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3Jakarta:Balai
penerbit FKUI;2003:35-44
13. Dreyer G, Norões J, Fifueredo-Silva J, Piessens WF. Pathogenesis of lymphatic
disease in bancroftian filariasis: a clinical perspective. Parasitol Today 2000;16(12):544-8
14. Freedman DO. Immune dynamic in the pathogenesis of human lymphatic filariasis.
Parasitol.Today 1998;14(6):229-233
15. Addis DG, Dreyer G. Treatment of lymphatic filariassis. Dalam Thomas B. Nutman,
penyunting. Lymphatic filariasis. Imperial college press;2002:151-180
16. Pedoman penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Departemen kesehatan Republik
Indonesia. Direktorat jenderal PP&PL. Jakarta 2006
17. Addis DG, Brady MA. Morbidity management in the global programme to eliminate
lymphatic filariasis: a review of the scientific literature. Filarial journal 2007;6(2):1-19
18. Baird JB, Charles JL, Streit TG, Robert JM, Addis DG, Lammie PJ. Reactivity to
bacterial, fungal, and parasite antigens in patients with lymphedema and elephantiasis.
Am J Trop Med Hyg 2002;66(2): 163-9
19. Dreyer G, Addis D, Dreyer P, Norões J. Basic lymphoedema management. Holis,
NH: Holis Publishing Company 2002
20. http://www.who.int/
21. McCarthy J. Diagnostic of lymphatic filarial infections. Dalam Thomas B Nutman
penyunting. Lymphatic filariasis. Imperial college press Londn 2002:127-150
22. Weil. G.J, Ramzy RM. Diagnostic tools for filariasis elimination programs. Trends
Parasitol.2007;23(2):78-82. Review
23. W. Melrose, N. Rahmah. Use of brugia rapid dipstick and ICT test to map distribution
of lymphatic filariasis in the Democratic Republic of Timor-Leste. Southeast Asian J
Trop Med Public Health 2006;37(4):22-25
24. Siraut C, Bhumiratana A, Koyadun S, Anurat K, Satitivipawee K. Short term effects
of treatment with 300 mg oral-dose diethylcarbamazine on nocturnally periodic
wuchereria bancrofti microfilaremia and antigenemia. Southeast Asian J Trop Med
Public Health 2005;36(4):832-840
25. Stolk WA, Gerrit J. Van Oortmarssen, S. P. Pani, Sake J, De Vlas, S. Subramanian,
P.K. Das Effects of ivermectin and diethylcarbamazine on microfilaria and overall
microflaria production in bancroftian filariasis. Am. J. Trop. Med. Hyg.2005;73(5): 881–
887
26. Anitha K, Shenoy RK. Treatment of lymphatics: current trends.Indian J of Derm, ven
and lepr 2001;67(2):60-65
27. Lymphedema tersedia pada http://www.emedicine.com/med/topic794.htm
28. Viswaroop B, Gopalakrishnan G. Open surgery for chyluria. Indian J Urol
2005;21:31-4
.

Diposkan 12th June 2008 oleh dr Ismail Yusuf, Sp.PD

Lihat komentar
1.

ega norista5 Mei 2013 18.36

maaf, ini boleh dicopy di blog saya gak dok?

Balas

5.

Jun

12

dr Ismail Yusuf
Blog ini saya buat untuk berdiskusi tentang segala gejala, penyakit serta solusinya.

Salam hormat

dr Ismail Yusuf

Diposkan 12th June 2008 oleh dr Ismail Yusuf, Sp.PD

Tambahkan komentar

Memuat

Anda mungkin juga menyukai