Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan gejala demam dan

usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di

otak. Demam adalah kenaikan suhu tubuh lebih dari 38⁰C rektal atau lebih

37,8⁰C aksila. Kejang demam merupakan kejang yang sering terjadi pada

anak berusia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun (Fuadi, Bahtera &

Wijayahadi, 2010). Sebanyak 2% sampai 5% anak yang berumur kurang

dari 5 tahun pernah mengalami kejang disertai demam dan kejadian

terbanyak adalah pada usia 17-23 bulan ( Yunita, Afdal & Syarif, 2012).

Prevalensi kejadian kejang demam pada anak yang berumur kurang

dari 5 tahun terjadi tiap tahun di Amerika, hampir sebanyak 1,5 juta dan

sebagian besar lebih sering terjadi pada anak berusia 6 hingga 36 bulan (2

tahun), terutama pada usia 18 bulan. Insidensi kejang demam berbeda

diberbagai negara. Daerah Eropa Barat dan Amerika tercatat 2-4% angka

kejadian kejang demam pertahunya. Sedangkan di India sebesar 2-10% dan

di Jepang 8,8 % (Gunawan & Saharso, 2012). Menurut World Health

organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2005 terdapat lebih dari

21,65 juta penderita kejang demam dan lebih dari 216 ribu diantaranya

meninggal.

Di Indonesia dilaporkan angka kejadian kejang demam pada tahun

2012-2013 sebanyak 3-4% dari anak yang berusia 6 bulan -5 tahun

1
2

(Wibisono, 2015). Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012 penderita

dengan kejang demam di Rumah Sakit berjumlah 2.220 untuk umur 0-1

tahun, sedangkan berjumlah 5.696 untuk umur 1-4 tahun (Muti’ah, 2016).

Di Bogor khususnya, tepatnya di RS PMI Bogor didapatkan data pada tahun

2017 sebanyak 83 kasus dan meningkat pada tahun 2018 menjadi 116 kasus

(Data Statistik RS PMI Bogor).

Faktor pemicu kejang demam yang utama adalah demam itu sendiri.

Demam yang dapat menimbulkan kejang bisa demam karena infeksi apa

saja. Contohnya infeksi saluran pernafasan atas, gastroenteritis, infeksi

saluran kemih, otitis media akut, infeksi virus, dan demam setelah imunisasi

(Fauzia, 2012).

Kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang sederhana,

kompleks, atau status tergantung pada karakteristik, durasi, dan

kekambuhan. Kejang demam sederhana didefinisikan sebagai kejang umum

primer yang berlangsung kurang dari 15 menit dan tidak kambuh dalam 24

jam. Ini adalah jenis kejang yang paling umum, terjadi pada 70%-75% anak

dengan kejang demam. Kejang demam kompleks didefinisikan sebagai

fokal, berkepanjangan ( durasi lebih dari 15 menit tetapi kurang dari 30

menit), dan atau berulang dalam 24 jam. Sekitar 20-25% kejang demam

bersifat kompleks (Lilly, Cauley & Opiola, 2018).

Penelitian Dewanti, Widjaja, Tjandrajani & Burhany (2012),

mengungkapkan bahwa setelah kejang demam pertama, 33% anak akan

mengalami satu kali rekurensi (kakambuhan), dan 9% anak mengalami


3

rekurensi 3 kali atau lebih. Penelitian mengatakan rekurensi dari kejang

demam pertama akan meningkat jika terdapat faktor risiko seperti kejang

pertama pada usia kurang dari 12 bulan, terdapat riwayat dengan kejang

demam, dan jika kejang pertama pada suhu <40⁰C, atau terdapat kejang

demam kompleks.

Komplikasi kejang demam yang paling banyak terjadi adalah kejang

demam berulang. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah riwayat

kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 18 bulan, temperatur

kurang dari 40⁰C saat kejang pertama, kejang terjadi kurang dari 1 jam

setelah onset demam (Seinfeld & Pellock, 2013). Beberapa studi kohort

telah menemukan bahwa memiliki sepertiga dari anak-anak memiliki

kekambuhan, dan 75% dari ini terjadi dalam satu tahun. Anak dengan semua

faktor risiko ini memiliki peluang hingga 80% untuk mengalami episode

lebih lanjut (Nikhil, Dipak, Nina, Leena, Richard & Martin, 2015)

Dampak dari kejang demam ke sistem lain diantaranya pada otot,

kulit, dan bronkus. Pada otot dan kulit mengalami kontraksi otot karena

peningkatan pengaturan suhu tubuh di hipotalamus karena penyebaran

toksik, sedangkan pada bronkus mengalami spasme menyebabkan anak

berisiko terhadap injuri dan berlangsungnya jalan nafas (Pudiastuti, 2011).

Dampak kejang bisa mengakibatkan cacat fisik, cacat mental, gangguan

perilaku, gangguan belajar, epilepsi, bahkan meninggal. Beberapa penyakit

yang bisa timbul akibat kejang adalah cerebral palsy atau lumpuh otak,

development delay (lambat pertumbuhan) yang meliputi motoric delay (


4

lambat motorik atau gerak ), speech delay (lamban bicara) dan cognitive

delay (lamban kognitif), terjadi kelumpuhan, epilepsi, kelainan prilaku

hingga keterlambatan mental (Irdawati, 2017).

Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah

menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak

dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti

sendiri tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir

dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan

intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus

diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat

(diseka) dan pemberian antipiretik. Saat ini diazepam merupakan obat

pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam mempunyai

masa kerja singkat (Deliana, 2016). Dalam menghadapi perawatan balita

yang sedang kejang demam, sedapat mungkin cobalah bersikap tenang.

Sikap panik hanya akan membuat kita tidak tahu harus berbuat apa yang

mungkin saja akan membuat penderitaan anak tambah parah. Kesalahan

orangtua adalah kurang tepat dalam menangani kejang demam itu sendiri

yang kemungkinan terbesar adalah disebabkan karena kurang pengetahuan

orangtua dalam menangani kejang demam (Sujono, 2009).

Banyak orangtua memberikan antipiretik bahkan ada peningkatan

suhu yang ringan karena mereka khawatir bahwa anak harus

mempertahankan suhu normal. Umumnya asetaminofen dan ibu profen

dianggap antipiretik yang aman dan efektif untuk anak-anak, tetapi


5

pendidikan untuk mencegah overdosis penting. Untuk menghindari efek

seperti hepatotoksisitas, gangguan pencernaan, gagal pernafasan, asidosis

metabolik, gagal ginjal, dan koma. Terapi asetaminophen dan ibu profen

secara bergantian dapat menempatkan anak-anak pada risiko toksisitas yang

meningkat (Lilly, Cauley & Opiola 2018).

Demam pada anak umunya disebabkan oleh agen mikrobiologi yang

dapat dikenali dan demam menghilang pada masa pendek (Nelson, 2009).

Peningkatan suhu tubuh pada anak sangat berpengaruh terhadap fisiologis

organ tubuhnya. Peningkatan suhu yang terjadi yaitu temperatur rektal

diatas 38⁰C, aksila 37,5⁰C dan diatas 38,2⁰C dengan pengukuran membran

tympani sedangkan demam tinggi bila suhu tubuh diatas 39,5⁰C dan

hiperpireksia bila suhu >41⁰C (Kania, 2010). Ada hal-hal yang harus

mendapat perhatian khusus sehubungan dengan demam pada anak dimasa

tubuh kembangnya, khususnya anak dengan kejang demam. Anak dengan

kejang demam merupakan masalah penting yang harus diketahui untuk

dilakukan tindakan yang tepat (Lusia, 2015). Penelitian Fuadi, Bahtera dan

Wijayahadi (2010) sebagian besar anak pada kelompok kasus yang

mengalami demam dengan suhu lebih dari 39⁰C. Hasil uji statistik

menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara kategori distribusi

tinggi demam dengan bangkitan kejang demam (Dewanti, Widjaja,

Tjandrajani & Burhany, 2012).

Kenaikan suhu 1⁰C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme

basal 10-15 % dan kebutuhan O₂ meningkat 20%. Pada seorang anak


6

berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh

dibandingkan dengan orang dewasa (hanya 15%) oleh karena itu, kenaikan

suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan membran sel neuron dan dalam

waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium natrium melalui membran

listrik. Dengan bantuan neurotransmitter , perubahan yang terjadi secara

tiba-tiba ini dapat menimbulkan kejang ( Ngastiyah, 2012).

Secara definitif terdapat dua tindakan untuk menurunkan suhu tubuh

pada anak mengalami kenaikan suhu, yaitu dengan farmakologi dan non

farmakologis. Pemberian antipiretik merupakan pilihan pertama dalam

penurunan demam (Kania, 2010). Terapi fisik dapat dilakukan dengan

dengan menempatkan anak diruangan bersuhu dan bersikulasi baik,

mengganti pakaian anak dengan pakaian yang tipis dan menyerap keringat,

memberikan hidrasi yang adekuat, dan memberikan kompres (Rina, 2009).

Tindakan mandiri perawat perlu dikembangkan. Perlu adanya

penelitian-penelitian yang harus dilakukan oleh profesi perawat, terkait

dengan tindakan mandiri perawat, sehingga menjadi dasar yang ilmiah dan

pedoman bagi perawat dalam melakukan asuhan keperawatan serta perawat

selalu megandalkan tindakan mandiri keperawatan sesuai profesi yang

dimilikinya. Salah satu tindakan mandiri perawat yang perlu dikembangkan

adalah melakukan tindakan kompres pada pasien yang mengalami kenaikan

suhu tubuh, terutama pada anak-anak (Keliobas, Supratman & Nur, 2016).

Kompres hangat adalah tindakan dengan menggunakan kain atau

handuk yang telah dicelupkan pada air hangat, yang ditempelkan pada
7

bagian tubuh tertentu sehingga dapat memberikan rasa nyaman dan

menurunkan suhu tubuh (Maharani, 2011). Tindakan lain yang digunakan

untuk menurunkan panas adalah water tepid sponge yaitu suatu prosedur

untuk meningkatkan kontrol kehilangan panas tubuh melalui evaporasi dan

konduksi, yang biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami demam

tinggi (Hidayati, 2014).

Water tepid sponge adalah sebuah tekhnik kompres hangat yang

menggabungkan teknik kompres blok pada pembuluh darah supervisial

dengan teknik seka. Pada proses pemberian kompres water tapid sponge ini

mekanisme kerja pada kompres tersebut memberikan efek adanya

penyaluran sinyal ke hipotalamus melalui keringat dan vasodilatasi perifer

sehingga proses perpindahan panas yang diperoleh dari kompres water tapid

sponge ini berlangsung melalui dua proses yaitu konduksi dan evaporasi

dimana proses perpindahan panas melalui proses konduksi ini dimulai dari

tindakan mengompres anak dengan waslap dan proses evaporasi ini

diperoleh dari adanya seka pada tubuh saat pengusapan yang dilakukan

sehingga terjadi proses penguapan panas menjadi keringat. Selama ini

kompres air biasa atau air dingin menjadi kebiasaan para ibu saat anaknya

demam. Namun kompres dengan air biasa atau air dingin sudah tidak

dianjurkan lagi karena pada kenyataanya didapatkan bahwa demam kembali

naik dan sering sekali menyebabkan anak menangis, menggigil dan

kebiruan (Haryani, Adimayanti & Astuti, 2018).


8

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2016) berdasarkan

hasil penelitian perbedaan dalam pengaruh penurunan suhu tubuh dapat

disimpulkan bahwa pemberian water tepid sponge lebih efektif dalam

menurunkan suhu tubuh anak dengan demam dibandingkan dengan

kompres air hangat. Hal ini disebabkan adanya seka tubuh pada teknik

tersebut akan mempercepat vasodilatasi pembuluh darah diperifer disekujur

tubuh sehingga evaporasi panas dari kulit kelingkungan sekitar akan lebih

cepat dibandingkan hasil yang diberikan oleh kompres air hangat yang

hanya mengandalkan reaksi dari stimulasi hipotalamus (Haryani,

Adimayanti & Astuti, 2018). Suhu air yang digunakan untuk tepid sponge

adalah 26⁰C- 32⁰C. Sebuah penelitian di India menunjukan bahwa

pemberian antipiretik yang disertai dengan tindakan tepid sponge

menurunkan suhu tubuh lebih cepat dibandingkan dengan pemberian

antipiretik saja (Thomas, Vijaykumar, Moses & Antonisamy, 2009).

Penelitian Setiawati (2009) menunjukan bahwa terdapat perbedaan

bermakna antara suhu tubuh sebelum dan setelah diberikan antipiretik

disertai tepid sponge pada kelompok intervensi. Selain itu memberikan

antipiretik secara berkepanjangan dapat menimbulkan efek toksik bagi

organ tubuh dan pada dasarnya tidak ada obat yang tidak berisiko

menimbulkan efek samping (Irianingsih dan Suwiji 2016).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 10 Maret 2019 di

Ruang Rawat Inap RS PMI Bogor dengan metode wawancara terhadap ibu

atau keluarga pasien dan hasil observasi yang dilakukan peneliti kepada
9

perawat didapatkan hasil 3 dari 5 ibu dengan anak menderita kejang demam

tidak mengetahui jenis pemberian kompres lain, selain kompres biasa

dengan air hangat atau dingin yang disimpan di dahi dan juga pemberian

obat demam secara terus menerus. Mereka mengungkapkan bahwa kejang

yang terjadi hingga berulang dikarenakan adanya demam yang tinggi dan

penanganan yang dirasa kurang optimal. Sehingga mendorong Ibu untuk

segera pergi ke Rumah Sakit.

Hasil observasi yang peneliti lakukan terhadap perawat ruangan

Mawar anak, didapatkan hasil yaitu tidak menemukanya perawat

memberikan tindakan kompres dengan metode water tepid sponge kepada

anak dengan kejang demam, hanya memberikan kompres air hangat.

Kemudian hasil wawancara kepada kepala ruangan Ruang Mawar Anak

belum ada SOP yang menjelaskan tentang langkah-langkah pemberian

tindakan water tepid sponge . Berdasarkan uraian masalah diatas peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh water tepid sponge

terhadap suhu tubuh pada balita yang mengalami kejang demam di Ruang

Rawat Inap RS PMI Bogor tahun 2019.

B. Perumusan Masalah Penelitian

Kejang demam merupakan kejang yang sering terjadi pada anak.

Angka kejadian kejang demam meningkat dari tahun ke tahun. demam yang

tinggi dapat memicu anak mengalami kejang demam. Kejang demam

memiliki 2 jenis yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam komplek
10

tergantung lamanya kejang terjadi dan waktu kekambuhan terjadi. Kejang

demam yang berulang dapat menimbulkan kejang yang menjadi epilepsi.

Dampak kejang bisa mengakibatkan cacat fisik, cacat mental, gangguan

perilaku, gangguan belajar, epilepsi, bahkan meninggal. Anak dengan

kejang demam merupakan masalah penting yang harus diketahui untuk

dilakukan tindakan yang tepat .Pemberian antipiretik secara terus menerus

tidak dapat menghindari efek toksisitas dikemudian hari. Perlunya peran

perawat sebagai pemberi tindakan secara mandiri atau non farmakologis

yang membantu mengoptimalkan penurunan demam pada anak secara

cepat. Terjadi penurunan suhu tubuh pada anak yang mengalami demam

dengan dilakukan water tapid sponge.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh water tepid sponge terhadap suhu

tubuh pada balita yang mengalami kejang demam di Ruang Rawat

Inap RS PMI Bogor tahun 2019.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dilakukan penelitian ini yaitu teridentifikasinya :

a. Suhu tubuh pada balita sebelum dilakukan water tapid

sponge yang mengalami kejang demam di Ruang Rawat Inap

RS PMI Bogor tahun 2019.


11

b. Suhu tubuh pada balita setelah dilakukan water tapid sponge

yang mengalami kejang demam di Ruang Rawat Inap RS

PMI Bogor tahun 2019.

c. Pengaruh water tepid sponge terhadap suhu tubuh pada

balita yang mengalami kejang demam di Ruang Rawat Inap

RS PMI Bogor tahun 2019.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Aplikatif

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan atau menambah

tindakan mandiri keperawatan diruangan sebagai upaya pencegahan

terjadinya kejang berulang akibat demam.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan dalam

meningkatkan perkembangan ilmu keperawatan khusunya pada

pasien anak dengan kejang demam dengan diberikan metode water

tepid sponge dapat menambah tatalaksana secara non farmakologi.

3. Manfaat Metodologis

Hasil penelitian ini daiharapkan dapat menjadi bahan kajian

untuk para peneliti melakukan penelitian-penelitian selanjutnya

khususnya dalam hal ini yang terkait dengan keperawatan anak

dalam tindakan menurunkan suhu tubuh.

Anda mungkin juga menyukai