Anda di halaman 1dari 25

BAB I

Laporan Kasus
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Tempat, tanggal lahir :-
Umur : 43 Tahun
Alamat : Kampung Arab, Manggar, Beltim
Status pernikahan : Menikah
Agama : Muslim
Pekerjaan : Nelayan
Kebangsaan : Indonesia
No. rekam medis :-
Tanggal datang ke UGD : 16 September 2017

II. Anamnesis
Dilakukan allo dan autoanamnesa pada Sabtu, 16 September 2017 pukul 18.15
WIB di UGD RSUD Beltim.
 Keluhan Utama
Nyeri di pinggang bagian kiri sejak 3 hari yang lalu.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri pinggang bagian kiri sejak 3 hari yang lalu, nyeri bersifat
terus - menerus, tidak menjalar, dan berskala 8/10. Pasien mengaku jika sejak 3
hari yang lalu hingga sekarang nyeri yang timbul tidak mengalami perbaikan
melainkan nyeri yang dirasakan menjadi semakin hebat hingga pasien tidak
dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Nyeri disertai rasa mual namun tidak
disertai adanya muntah. Rasa mual muncul hampir bersamaan dengan
munculnya nyeri dan saat mual mulai dirasakan pasien maka nafsu makan dan
minum pasien berkurang. Pasien juga mengeluhkan 3 hari SMRS pasien merasa
muncul demam berifat hilang timbul dan sering kali muncul pada waktu yang
berbeda – beda disertai rasa menggigil. Pada saat demam muncul keluarga
pasien tidak melakukan pengukuran terhadap suhu badan. Sebelum nyeri ini
muncul, pasien mengaku pernah merasakan nyeri di pinggang kiri sejak 3 bulan
yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul, dan tidak terpaku pada waktu tertentu.
Nyeri dirasakan seperti rasa pegal. Skala nyeri yang dirasakan oleh pasien saat
itu adalah 5/10. Pasien tidak mengeluhkan adanya masalah buang air kecil,
seperti nyeri saat berkemih, susah berkemih, anyang-anyangan, atau susah

1
lampias saat berkemih namun, pasien mengaku pernah mengalami adanya
buang air kecil berdarah kurang lebih 5 hari yang lalu namun kemudian kembali
seperti biasa keesokan harinya. Pasien tidak mengeluhkan adanya masalah pada
buang air besar. Pasien sudah pernah berobat namun hanya mendapat obat
penahan sakit dan obat untuk penyakit lambung.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Pasien mempunyai
riwayat penyakit asam urat dan kolesterol tinggi. Riwayat tekanan darah tinggi,
kencing manis, dan maag disangkal.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal adanya anggota keluarga pasien yang memiliki keluhan
yang sama seperti pasien. Adik pasien menderita hipertensi, namun anggota
keluarga lainnya tidak ada yang mengidap hipertensi ataupun gejala-gejala
lainnya seperti asma, diabetes, asam urat, dan kolesterol tinggi.
 Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki pekerjaan sebagai nelayan namun sejak muncul nyeri pada
pinggang kiri pasien maka pasien tidak dapat melakukan pekerjaanya dan lebih
memilih beristirahat di rumah. Pasien mengaku tidak memiliki kebiasaan untuk
menahan kencing.

III. Pemeriksaan Fisik : 16 September 2017


o Keadaan umum : Sakit sedang
o Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 360C
o Status generalis

2
Normosefali, tak tampak ada lesi, rambut hitam tak mudah
Kepala dicabut, penyebaran rambut merata, tidak ada massa, kulit
kepala normal, tidak terdapat luka / lesi.
Sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, lensa tidak
Mata
keruh, pupil isokor
Bentuk normal, tak tampak ada sekret dari hidung maupun
THT
telinga, tonsil T1/T1, faring tidak hiperemis
Leher Tidak ditemukan pembesaran KGB, letak trakea ditengah
Toraks Tampak simetris, tidak tampak ada retraksi
- Inspeksi: pulsasi iktus kordis tidak tampak di sela iga 4
linea mid clavicula sinistra
- Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga 4 linea mid
clavicula sinistra.
- Perkusi: batas jantung kanan pada sela iga 3 parasternal
Jantung
kanan. Batas jantung kiri di sela iga 4 linea mid
clavicula sinistra. Batas jantung atas di sela iga 3 linea
parasternal sinistra.
- Auskultasi: S1S2 regular, murmur (-), gallop (-), aritmia
(-)
- Inspeksi: simetris, tidak tampak retraksi interkosta.
- Palpasi: taktil fremitus simetris, ekspansi paru simetris
Paru - Perkusi: sonor pada kedua lapang paru.
- Auskultasi: suara nafas vesikular, ronki -/-, wheezing -/-,
stridor -/-
- Inspeksi: datar, tak tampak lesi.
- Palpasi: supel, ada nyeri tekan pada daerah epigastrium
dan hipokondriak kiri – lumbar kiri, hepar dan lien tak
teraba, Ballottemen test (–) tidak teraba/ (+) (kontur sulit
Abdomen dinilai dan disertai nyeri), Vesika urinaria teraba penuh.
- Perkusi: timpani pada seluruh lapang abdomen, Nyeri
ketok CVA -/+, nyeri tidak membaik dengan pemijatan.
- Auskultasi: bising usus 12/menit.

Akral hangat, edema tidak ada, tidak tampak sianosis,


Ekstremitas
capillary refill time < 2 detik.

IV. Pemeriksaan penunjang


1. Hasil lab tgl 16 September 2017

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

3
Hemoglobin 13,7 13 – 17 gr/dl
Hematokrit 38,5 40 – 45 %
Leukosit 14,3 5 – 10 ribu /ul
Trombosit 139 150 – 400 ribu /ul
Ureum 33,13 17 – 50 mg/dl
Creatinin 1,38 0,8 – 1,3 mg/dl
Glukosa darah sewaktu 142 74 - 150 mg/dl

2. Nefrolitiasis Sinistra dengan gambaran Hidronefrosis

V. Resume
Laki – laki berumur 43 tahun seorang nelayan datang ke UGD RSUD Beltim
dengan keluhan nyeri pinggang di bagian kiri sejak 3 hari SMRS. Nyeri bersifat
terus – menerus hingga mengganggu aktifitas sehari – hari dan tidak menjalar.
Nyeri yang muncul disertai dengan rasa mual, nafsu makan berkurang, demam
disertai menggigil dan buang air kecil berdarah. Pasien sudah melakukan
pengobatan namun tidak terdapat adanya perubahan melainkan nyeri yang

4
dirasakan semakin hebat. Pasien memiliki riwayat penyakit asam urat dan
kolesterol yang tidak terkontrol. Pasien yang bekerja sebagai nelayan tidak dapat
lagi menjalankan pekerjaannya sehari – hari dikarenakan nyeri yang timbul
semakin berat. Pasien mengaku tidak memiliki kebiasaan untuk menahan kencing
baik saat bekerja maupun saat tidak bekerja.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda – tanda vital dalam batas normal,
status generalis menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan nyeri tekan
abdomen regio epigastrium dan hipokondriak kiri hingga ke lumbar kiri,
ballottement test teraba ginjal kiri disertai rasa nyeri namun kontur sulit untuk
dinilai dan pada pemeriksaan nyeri ketok CVA didapatkan nyeri saat dilakukan
pemeriksaan sisi sebelah kiri.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan pemeriksaan laboratorium
menunjukkan peningkatan leukosit dan pada pemeriksaan radiology dengan USG
didapatkan kesan Nefrolitiasis Sinsitra dengan gambaran Hidronefrosis.

VI. Diagnosis
 Diagnosis Kerja : Nefrolitiasis Sinistra disertai Hidronefrosis dan
Dispepsia.
 Diagnosis Banding : Suspek Infeksi Saluran Kencing.

VII. Saran Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium untuk asam urat dan urinalisa lengkap
2. Pemeriksaan radiology BNO – IVP

VIII. Penatalaksanaan
Tata laksana yang diberikan meliputi terapi non-medikamentosa dan terapi
medikamentosa.
Tata laksana yang diberikan di RS :
1. IVFD RL 28 TPM
2. Inj Ceftriaxone 2x1 Gr (IV) (ST)
3. Inj Ketorolac 3x1 Amp (IV)
4. Inj Ranitidine 2x1 Amp (IV)
5. Edukasi pasien untuk dirujuk ke spesialis urologi.

Prognosis

5
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

BAB II. Tinjauan Pustaka

I. Latar Belakang

Nefrolitiasis adalah kalkuli renalis, atau lebih dikenal sebagai batu ginjal. Batu
ginjal itu sendiri (nefroliths) merupakan agregasi dari mineral-mineral yang
terkandung dalam urin. Agregasi tersebut terjadi karena adanya abnormalitas pada isi
urin, yakni tingginya konsentrasi mineral-mineral tersebut karena kurangnya
konsumsi air sehingga proses kristalisasi terjadi, membentuk batu. Maka dari itu,
dehidrasi merupakan faktor resiko terbesar pembentukan batu ginjal. Faktor resiko
lainnya adalah asam urat, konsumsi vitamin C berlebih, riwayat batu ginjal dalam
keluarga, resistensi insulin, dan hiperparatiroidisme.

Insidens batu ginjal bukanlah sesuatu yang jarang dilihat. Pada tahun 2002,
prevalensi batu ginjal di Indonesia adalah 13% untuk laki-laki dan 7% untuk
perempuan, pada penduduk berumur 30 - 40 tahun. Jumlah pasien yang dirawat
adalah 19.018 orang, dengan mortalitas sebanyak 378 orang. i Pada tahun 2013,
prevalensi batu ginjal dapat dilihat di tabel berikut.

6
7
Jika diklasifikasikan menurut umur, batu ginjal terjadi pada pasien berumur

umur 55­64 tahun (1,3%), menurun sedikit pada kelompok umur 65­74 tahun (1,2%)

dan   umur   ≥75   tahun   (1,1%).   Prevalensi   lebih   tinggi   pada   penduduk   yang   tidak

bersekolah dan tidak tamat SD (0.8%), penduduk wiraswasta (0.8%), dan penduduk

menengah bawah sampai menengah atas (0.6%)ii

8
II. Etiologi &Klasifikasiiii, iv

Ada dua etiologi utama pembentukan batu ginjal, yakni volume rendah dari
urin yang terbentuk di renal dan meningkatnya konsentrasi mineral-mineral yang
terkandung dalam urin tersebut. Etiologi lainnya adalah stasis urin, gangguan
metabolik, infeksi saluran kemih, dan idiopatik. Faktor resiko pembentukan batu
ginjal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

Faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang berasal dari tubuh pasien sendiri.
Faktor intrinsik berupa herediter (batu ginjal sebagai penyakit turunan), umur (30-50
tahun), dan jenis kelamin (pria beresiko memiliki batu ginjal tiga kali lipat
dibandingkan wanita).

Faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor yang berasal dari lingkungan pasien.


Faktor ekstrinsik berupa geografi (insidens batu ginjal di suatu daerah dapat lebih
tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya- daerah stone belt), iklim, suhu, asupan air
dan tingginya kadar kalsium dalam air yang diminum (semakin banyak air semakin
baik, semakin tinggi kadar kalsium dalam air semakin buruk), dan diet (diet tinggi
purin, oksalat, dan kalsium dapat mencetuskan pembentukan batu ginjal).

Mineral-mineral yang terkandung dalam urin berupa kalsium, magnesium,


ammonium, sulfat, asam urat, dan cystine. Peningkatan kadar kalsium dalam urin
dapat menghasilkan batu kalsium, yang merupakan tipe batu ginjal yang paling sering
ditemukan (60-80%).

a. Batu Kalsium

Batu kalsium yang terbentuk di ginjal dapat berupa kalsium oksalat, kalsium
fosfat, dan kalsium urat. Batu kalsium adalah tipe batu ginjal yang paling sering
ditemukan, yakni 70-80% dari total insidens batu ginjal. Kondisi-kondisi yang
menyebabkan peningkatan kadar kalsium dalam darah adalah hiperparatiroidisme,
hipomagnesuria, hiperkalsiuria, hiperoksaluri, hipositraturia, dan hiperurikosuria.
Kadar pH urin yang basa akan meningkatkan resiko pembentukan batu ini.

 Hiperkalsiuria adalah kadar kalsium yang tinggi dalam urin (>250-300mg/24

9
jam). Hiperkalsiuria terjadi karena adanya peningkatan absorbsi kalsium
dalam usus, adanya gangguan reabsorbsi kalsium dalam tubulus renal, dan
karena adanya pengingkatan penyerapan kalsium dari tulang ke darah
(hiperparatiroidisme atau karena tumor paratiroid).
 Hiperoksaluria adalah oksalat yang berlebih dalam urin (>45g/24 jam). Hal ini
akan ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi makanan dan minuman yang
mengandung banyak oksalat, seperti teh, kopi instan, minuman bersoda,
coklat, stroberi, jeruk, dan bayam. Selain itu hiperoksaluria juga dapat
ditemukan pada pasien yang telah menjalani pembedahan usus.
 Hiperurikosuria adalah kadar asam urat yang berlebih dalam urin (>850mg/24
jam). Hal ini dapat ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi makanan yang
bayak mengandung purin, seperti kacang-kacangan dan daging.
 Hipositraturia adalah kadar sitrat yang sedikit dalam urin. Telah dijelaskan
bahwa sitrat merupakan salah satu inhibitor pembentukan batu ginjal, maka
kadarnya yang sedikit akan menghasilkan banyak kalsium oksalat atau
kalsium fosfat. Hipositraturia dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit
ginjal kronik (karena adanya renal tubular acidosis), dan pada pasien yang
menggunakan thiazide dalam jangka waktu lama.
 Hipomagnesuria adalah kadar magnesium yang sedikit dalam urin.
Magnesium juga merupakan salah satu penghambat pembentukan batu ginjal,
namun jika terjadi hipomagnesuria maka kadar kalsium oksalat akan
meningkat. Hipomagnesuria dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit
inflamasi usus.

Selain konsentrasi mineral yang meningkat, kristalisasi batu juga dapat


dipengaruhi oleh infeksi nanobakteri (biasanya post infeksi Helicobacter pylori).
Nanobakteri tersebut akan membentuk cangkang yang terbuat dari kalsium fosfat.
Penumpukan kalsium fosfat dapat membesar membentuk kalkuli renal, dan
pembesarannya dipengaruhi oleh konsentrasi kalsium dari diet sehari-hari, volume
urin, dan berkurangnya inhibitor kalkuli (sitrat, pyrofosfat, dan glikoprotein).

10
b. Batu Struvit

Peningkatan konsentrasi ammonium, magnesium, dan fosfat akan membentuk


batu struvite (10-15%). Batu struvite paling sering terbentuk sebagai hasil dari infeksi
saluran kemih oleh bakteri berbentuk batang gram negatif, karena bakteri tersebut
akan memecah urea menjadi ammonium. Penumpukan ammonium akan membuat pH
urin menjadi basa, sehingga dapat menarik magnesium dan fosfat, membentuk batu
struvite. Bakteri-bakteri tersebut biasanya berupa Proteus sp., Klebsiella sp., Serratia,
Enterobakter, Stafilokokus, atau Pseudomonas sp.

c. Batu Asam Urat

Batu asam urat juga merupakan salah satu tipe batu ginjal yang paling sering
ditemukan (5-10%) pada pasien walaupun tidak sesering batu kalsium oksalat dan
batu struvite. Faktor resiko untuk batu asam urat adalah konsumsi purin yang
berlebihan (daging, kacang-kacangan, ikan), mempunyai penyakit asam urat, penyakit
mieloproliferatif, mendapatkan terapi antikanker, dan banyak menggunakan
sulfipirazone, thiazide, dan salisilat, konsumsi alkohol, dan obesitas. Diet tinggi purin
dapat menyebabkan asam urat tinggi karena degradasi purin oleh asam inosinat
menghasilkan hipoxantin, yang kemudian diubah menjadi xantin oleh xanthin
oksidase. Xanthin kemudian akan dimetabolisir menjadi asam urat. Asam urat akan
diekskresikan melalui urin. Seperti mineral lainnya, asam urat akan kristalisasi apabila
volume urin sedikit, tetapi lain dari itu kadar asam urat harus tinggi dan pH urin asam.
Diagnosis yang mengarah pada batu asam urat adalah pH urin yang kurang dari 5.5,
dan pada pemeriksaan kreatinin dan asam urat dalam urin atau serum didapatkan
peningkatan. Ukuran batu asam urat bervariasi dari kecil sampai besar sekali, namun
bentuknya pasti halus dan bulat sehingga bisa keluar secara spontan.

d. Lainnya

Batu Cystine merupakan tipe batu ginjal yang paling jarang (1%). Batu Cystine
terbentuk karena adanya defek reabsorpsi Cystine, Ornithine, Lysine, Arginine di
mukosa usus. Batu lainnya adalah batu xanthine, yang sangat jarang ditemukan.

11
Faktor-faktor yang mempengaruhi kristalisasi komposisi urin adalah suhu, pH,
konsentrasi solut dalam urin, laju aliran urin dalam saluran kemih, dan adanya korpus
alienum dalam saluran kemih yang memicu pengendapan solute di urin.

e. Lokasi

Selain dari komposisi batu, batu ginjal juga diklasifikasikan melalui lokasi batu.
Lokasi batu dibagi menjadi dua tempat utama, yaitu batu ginjal dan batu ureter. Batu
ginjal terbentuk di tubulus ginjal dan kemudian akan bergerak ke pelvis ginjal, kaliks
ginjal, infundibulum ginjal, atau bahkan pelvis dan kaliks ginjal.

Batu ureter terjadi ketika batu di pelvikaliks didorong kebawah oleh gerakan
peristalsis. Ureter kemudian akan menggunakan gerakan peristalsis untuk mendorong
batu ke buli-buli. Batu dapat dibedakan lokasinya melalui gejala klinis pasien.

IV. Patofisiologi

Batu dapat terjadi di semua bagian traktus urinarius yang biasa mengalami
stasis urin, seperti kalises ginjal dan buli-buli. Selain dari itu, kondisi-kondisi yang
memungkinkan adanya stasis urin seperti divertikel, obstruksi infravesika kronis
(hyperplasia prostat benigna), striktur urethra, dan buli-buli neurogenik memudahkan
terjadinya pembentukan batu karena stasis urin yang dihasilkannya.

Batu terbentuk karena adanya kristalisasi dari komposisi urin, yakni bahan organik
dan anorganik. Bahan-bahan tersebut akan tetap terlarut dalam urin (dikenal sebagai
kondisi metastable) apabila tidak ada faktor-faktor resiko yang menyebabkan
presipitasi kristal di urin. Ketika bahan organic dan anorganik dalam urin sudah
presipitasi, maka mereka akan agregasi sekaligus menarik komposisi urin lainnya
sehingga kristal tersebut makin lama makin besar. Setelah agregasi, kristal tersebut
masih belum dapat menyumbat saluran berkemih. Maka bagaimana cara kristal
tersebut menghambat proses berkemih? Kristal yang sudah membesar tersebut akan
menempel pada sel epitel saluran berkemih, mengalami proses pengendapan sehingga
kristal akan membesar lagi sampai menyumbat traktus urinarius.

Pembentukan batu pada urin dipengaruhi dengan seimbang atau tidaknya inhibitor
batu dan zat-zat pembentuk batu. Inhibitor batu adalah zat-zat yang menghambat

12
pembentukan batu, yakni dengan cara reabsorpsi kalsium dalam usus, menghambat
agregasi dan retensi kristal. Salah satu inhibitor batu adalah ion magnesium, yang jika
berikatan dengan oksalat akan membentuk magnesium oksalat. Ini akan
mengakibatkan jumlah oksalat yang akan berikatan dengan kalsium untuk membentuk
batu kalsium oksalat akan menurun. Inhibitor lain adalah sitrat, yang cara kerjanya
sama seperti magnesium. Sitrat akan berikatan dengan kalsium sehingga jumlah
kalsium yang akan berikatan dengan oksalat untuk membentuk batu kalsium oksalat
akan berkurang. Inhibitor-inhibitor batu lainnya adalah glikosaminoglikan, Tamm
Horsfall protein dan uripontin, .

V. Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang sangat khas untuk nefrolitiasis adalah nyeri pinggang
unilateral (pada sisi ginjal yang sakit). Nyeri dapat berupa kolik atau non-kolik. Nyeri
kolik adalah nyeri yang hilang timbul, dan pada kasus batu ginjal nyeri kolik muncul
karena gerakan peristaltik ureter atau otot kalises yang meningkat dengan tujuan
mengeluarkan batu dari traktus urinarius. Gerakan peristaltik tersebut meningkatkan
tekanan intraluminal dan meregangkan terminal saraf, menghasilkan rangsangan
nyeri. Nyeri non kolik disebabkan oleh hidronefrosis atau infeksi ginjal yang
menyebabkan peregangan kapsul ginjal. Disuria akan dirasakan apabila batu terletak
di ujung ureter. Pasien juga akan merasakan frekuensi berkemih meningkat, seringkali
dikeluhkan sebagai ‘anyang-anyangan’. Hematuria juga seringkali dikeluhkan oleh
pasien. Hematuria terjadi karena iritasi mukosa saluran kemih karena gesekan batu.
Adanya gejala demam akan ada jika batu ginjal sudah menimbulkan urosepsis. Pasien
dengan urosepsis harus diobati segera karena merupakan kasus gawat darurat.

Dari gejala-gejala klinis diatas, pada pemeriksaan fisik akan didapatkan nyeri ketok
pada sudut kostovertebra (di sisi yang sakit), balotemen positif pada sisi yang sakit
(karena sudah hidronefrosis), retensi urin, dan demam dan menggigil apabila infeksi.

13
VI. Pemeriksaan Penunjangv

Selain menggunakan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendiagnosa


nefrolitiasis, pemeriksaan penunjang juga dilakukan untuk mendukung suspek
diagnosis pasien. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto polos abdomen,
pielografi intra vena, dan ultrasonografi.

Foto polos abdomen dapat dilakukan untuk melihat batu radio opak di saluran
kemih. Batu radio-opak umumnya berupa batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat,
dibedakan dengan batu asam urat yang radiolusen dan batu struvite yang semiopak.

Pielografi intra vena (IVU) digunakan untuk melihat adanya kelainan dalam
fungsi ginjal dengan cara menggunakan kontras dan melihat apabila ada sumbatan
pada saluran kemih. Apabila terdapat sumbatan, maka cairan kontras akan berkumpul
di bagian proksimal dari lokasi sumbatan tersebut. Selain itu, IVU juga dapat
digunakan untuk identifikasi apabila batu yang menyumbat opak, semi opak, atau
tidak opak sama sekali. Jika IVU belum dapat memastikan diagnosis maka pielogram
retrograde dapat digunakan. Pielogram retrograde memiliki konsep yang sama seperti
IVU tetapi kali ini berlawanan arah, dalam arti kontras akan dimasukkan dari ureter-
kontras akan mengalir dari distal ke proksimal saluran kemih. Pielogram retrograde
akan dilakukan bersamaan dengan sistoskopi, dimana endoskopi akan dimasukkan
dari kelamin untuk visualisasi saluran kemih dan menentukan kapan cairan kontras
dapat dimasukkan.

14
Ultrasonografi juga dapat dilakukan, khususnya pada pasien dengan
kontraindikasi IVU, yakni alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun,
dan wanita hamil. Gambaran yang terlihat di USG adalah gambaran hyperechoic
(batu) dengan echoic shadow dibawahnya, hidronefrosis (pembengkakan ginjal), dan
pengerutan ginjal.

15
Penyebab hidronefrosis adalah obstruksi kronis pada saluran kemih pada
traktus urinarius sehingga menyebabkan penimbunan cairan bertekanan dalam
pelvis ginjal dan ureter.
Gambaran CT-Scan pada hisronefrosis adalah hidronefrosis yang dini
memberikan gambaran flattening, yaitu kaliks-kaliks yang mendatar. Perubahan
ini reversibel. Pada stadium lanjut akan memeperlihatkan kaliks-kaliks yang
berbentuk tongkat atau menonjol (clubbing) pada tingkat yang lebih parah lagi
akan terjadi destruksi parenkim ginjal dan pembesaran sistem saluran kemih.

VII. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari nefrolitiasis adalah keganasan (Tumor Wilms’), aneurisme


arteri renalis, striktur urethra, dan Hiperplasia Prostat Benigna (BPH).

 Tumor Wilms’ adalah suatu keganasan ginjal yang seringkali terlihat pada
anak berusia 3.5 tahun. Tumor Wilms’ mempunyai gejala yang dapat
dikelirukan dengan nefrolitiasis, yakni teraba massa di abdomen, demam, dan
nyeri abdomen. Gejala lainnya adalah adanya hematuria, infeksi saluran
kemih, hipertensi, dan gejala respiratorik (metastasis ke paru). vi
 Aneurisme arteri renalis adalah dilatasi berlebih pada arteri renalis yang
disebabkan oleh trauma tumpul pada abdomen, dan tindakan diseksi arteri
renalis. Dari etiologi sendiri sudah dapat dibedakan dengan nefrolitiasis karena
pasien dengan aneurisme arteri renalis akan mempunyai riwayat trauma dan
tindakan diseksi. Gejalanya yang mirip dengan nefrolitiasis adalah nyeri
abdomen, retensi cairan, dan nyeri pinggang (terutama karena diseksi). Gejala
lainnya adalah hipertensi (karena renal iskemia yang dicetuskan oleh
thromboemboli distal dari aneurisme). Seringkali aneurisme arteri renalis
bersifat asimptomatik dan hanya diketahui setelah CT Scan, angiografi, atau
MRI. vii
 Striktur urethra adalah salah satu kelainan yang sering ditemukan di poli bedah
dengan gejala yang sangat mirip dengna nefrolitiasis. Striktur urethra
mempunyai gejala obstruktif seperti frequency (“anyang-anyangan”), urgency
(sulit menahan buang air kecil), hesitancy (susah memulai aliran urin),
dribbling (urin menetes-netes ketika berkemih), dan retensi urin. Pada

16
nefrolitiasis yang dapat juga terjadi gejala obstruktif apabila batu sudah
bergerak sampai urerthra. Retensi urin bisa mencetuskan infeksi saluran kemih
sehingga dapat terlihat demam dan disuria. Pada striktur urethra pasien akan
mempunyai riwayat trauma atau urethritis. viii
 Diagnosis banding lainnya adalah Hiperplasia Prostat Benigna (BPH). BPH
hanya terjadi pada pria, dan akan terlihat gejala-gejala obstruktif juga. BPH di
diagnosa menggunakan skor IPSS (International Prostate Symptom Score),
dimana terdapat kriteria yang harus dipenuhi seperti miksi tidak tuntas,
frekuensi, intermitten, urgensi, pancaran lemah,mengejan, dan nokturia.
Masing-masing kriteria mempunyai skor tertentu tergantung dari munculnya
gejala saat miksi. Skor IPSS ditunjukkan di tabel berikut.

17
Skor 1-7 berarti BPH ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 BPH berat. Seperti
nefrolitiasis, pada BPH dapat terjadi hidronefrosis dan hidroureter, termanifestasi
sebagai nyeri pinggang. Bedanya adalah pada BPH biasanya terjadi bersamaan
dengan hernia inguinalis dan hemorrhoid karena seringnya mengejan ketika berkemih.
Pada pemeriksaan rektal pun terdapat pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.

VIII. Tatalaksanaix,x

Tatalaksana definitif untuk batu ginjal adalah tindakan operasi, namun tidak
semua kasus batu ginjal akan diterapi secara invasif. Indikasi tindakan operasi adalah
jika batu telah menimbulkan gejala-gejala obstruktif, infeksi, atau karena masalah
sosial (seperti profesi yang tidak memungkinkan pasien untuk selalu ke kamar kecil

18
atau minum banyak air). Tindakan operasi yang dilakukan berupa endourologi,
laparoskopi, atau laparotomi.

Tatalaksana non-invasif adalah dengan cara medikamentosa atau ESWL.


Terapi medikamentosa diberikan apabila batu berukuran kurang dari 5mm, berada di
ureter distal, dan tidak terjadi obstruksi total, dengan harapan batu dapat keluar
dengan spontan. Obat yang diberikan adalah tamsulosin 0.8mg PO 1x1 (alpha blocker
sebagai vasodilator), Asam Mefenamat sebagai analgetik (antiprostaglandin), dan
anjurkan pasien untuk minum banyak air (2L per hari) agar batu dapat terdorong
keluar dari saluran kemih. NSAID supositoria dapat memberikan efek yang lebih
cepat. Pemantauan setiap 2 minggu selama 6 minggu dilakukan untuk memantau
posisi batu dan derajat hidronefrosis. Khusus untuk kasus batu asam urat, terapi
pelarutan dapat dilakukan. Terapi pelarutan adalah dimana batu dihancurkan dengan
cara dilarutkan melalui konsumsi makanan yang bersifat alkalis, pemberian natrium
bikarbonat, dan pemberian allopurinol. Batu struvite tidak dapat dilarutkan, tetapi
hanya bisa dicegah pembesarannya melalui pemberian antiurease.

Terapi ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) adalah tindakan


pemecahan batu yang tidak meliputi suatu proses invasive, pasien bahkan tidak akan
dibius. Alat ESWL diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980, dan alat tersebut
dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, dan batu buli. Alat ESWL dapat
memberikan suatu pancaran shockwave pada suatu titik tertentu di tubuh. Shockwave
kemudian akan propagasi melewati jaringan-jaringan tubuh sampai mencapai tempat
batu berada, dan energi dari shockwave tersebut dapat memecah batu menjadi
fragmen-fragmen kecil yang bisa kemudian bisa keluar sendiri melalui urin. Fragmen
yang akan dikeluarkan masih dapat menyebabkan nyeri kolik dan hematuria.

19
Tindakan invasif minimal endourologi ditujukan untuk memecah batu, dan
pecahan-pecahannya kemudian akan diambil menggunakan alat yang dimasukkan ke
saluran kemih. Alat dapat dimasukkan secara perkutan atau langsung melalui uretra.
Pemecahan batu dilakukan menggunakan energi hidraulik, energi gelombang suara
(soundwave), atau dengan laser. Endourologi dibagi lagi menjadi berbagai tindakan
yang memakai alat yang berbeda-beda, namun konsepnya sama. Tindakan-tindakan
endourologi adalah sebagai berikut.

a. Ureteroskopi adalah dimana alat ureteroskopi dimasukkan melalui uretra


untuk melihat keadaan sistem pielokaliks ginjal dan ureter. Adanya batu di
saluran kemih akan dihancurkan dengan bantuan manipulasi ureteroskopi
tersebut.

b. Litotripsi adalah tindakan dimana alat litotriptor yang berfungsi untuk


memecah batu buli atau uretra dimasukkan ke buli, dan pecahan akan
dikeluarkan menggunakan evakuator Ellik.

c. Percutaneous Nephro Litholapaxy adalah dimana alat endoskopi dimasukkan


ke sistem kalises secara perkutan. Batu kemudian dipecah dan fragmen
dikeluarkan.

d. Ekstraksi Dormia adalah tindakan dimana batu ureter dikeluarkan


menggunakan alat keranjang Dormia (batu akan dijaring kemudian
dikeluarkan, tanpa dipecah terlebih dahulu).

Tindakan invasif laparotomi (pembedahan terbuka) seringkali menjadi pilihan

20
untuk mengeluarkan batu ginjal, karena sudah sangat sering dilakukan dan alat-alat
invasive minimal biayanya sangat mahal. Tindakan-tindakan pembedahan terbuka
adalah pielolitotomi, nefrolitotomi, dan ureterolitotomi. Pielolitotomi adalah
pengambilan batu di kaliks renal, sedangkan nefrolitotomi terfokus pada ginjal, dan
ureterolitotomi pada ureter. Nefrektomi adalah tindakan pengambilan ginjal secara
keseluruhan, yang dilakukan apabila ginjalnya sudah tidak berfungsi, bernanah, atau
ginjal sudah berkerut. Bedah laparoskopi jarang dilakukan karena prosedur ini sedang
berkembang.

Menurut American Urological Association (2014), batu pada sistem pelviokalises


dapat ditatalaksana mengikuti algoritme sebagai berikut.

Terapi konservatif,
Pasien dengan batu ginjal <5mm medikamentosa, observasi

5-10mm

5-10mm 10-20mm >20mm

ESWL/Retrograde
Intrarenal Surgery (RIRS) PNL
PNL SWL/RIRS
Kaliks
Kaliks Superior/Medial
Inferior
Dari
algoritme diatas dapat dilihat bahwa
semakin besar ukuran batu ESWL maka
Endourologi
tindakan invasif semakin dianjurkan. Tindakan
yang merupakan lini pertama adalah antara ESWL atau PNL (Percutaneous
Nephrolitholapaxy). Apabila batu terdapat di kaliks maka dilihat apabila terdapat
kontraindikasi ESWL yaitu bukan batu kalsium oksalat monohidrat atau batu sistin,
sudut pelvik-infundibulum tidak curam, infundibulum >5mm dan kalik inferior
pendek <10mm, hamil, infeksi saluran kemih yang tidak terkontrol, obesitas berat,
dan aneurisma arteri di sekitar batu. Apabila salah satu kontraindikasi tersebut ada,

21
maka endourologi dipilih sebagai pilihan pertama.

IX. Komplikasi xi, xii, xiii

Apabila batu ginjal tidak segera diobati maka akan menimbulkan berbagai
komplikasi, dari komplikasi ringan sampai yang bersifat fatal. Komplikasi yang bisa
terjadi adalah overflow incontinence, gagal ginjal, abses perinefrik, hidronefrosis,
nefropati obstruktif, dan yang paling fatal berupa urosepsis.

Overflow incontinence adalah suatu kondisi dimana pasien tidak akan merasa lampias
setelah berkemih karena adanya obstruksi parsial dari saluran kemih. Overflow
incontinence ditandai dengan adanya urin yang menetes-netes setelah berkemih,
disebabkan oleh urin yang berusaha keluar dari obstruksi parsial tersebut. Teori lain
yang menjelaskan tentang overflow incontinence adalah bahwa obtruksi saluran
kemih (terutama di buli atau urethra) menyebabkan penumpukan urin di buli-buli.
Penumpukan urin menghasilkan distensi otot buli sehingga kontraksi tidak dapat
dilakukan oleh otot
detrusor. Lama kelamaan
distensi otot buli
bertambah, otot internal
sphincter meregang, dan
urin dapat keluar sedikit
demi sedikit. Penumpukan
urin dapat menyebabkan
refluks urin kembali ke
ginjal, menyebabkan
hidronefrosis, dan apabila
tidak diterapi secepatnya dapat menyebabkan kegagalan fungsi dan kerusakan struktur
ginjal yang permanen (nefropati obstruktif).

Komplikasi lainnya adalah abses perinefrik, yang merupakan abses di antara


kapsul ginjal dengan fascia Gerota. Abses perinefrik sendiri adalah tahap lanjut dari
pyonefrosis yang dicetuskan oleh batu ginjal. Batu ginjal akan diikuti oleh obstruksi
saluran kemih, menghasilkan kondisi stasis urin atau bahkan sampai hidronefrosis.
Stasis urin adalah suatu media yang ideal bagi bakteri-bakteri saluran kemih untuk

22
berkolonisasi. Bakteri yang biasanya berkembang biak pada saluran kemih (stasis
urin) adalah Escherichia coli., Enterococcus sp., Candida sp., Enterobacter sp., dan
lainnya. Infeksi akan mengaktivasi reaksi imun pada fokus infeksi. Pada pyonefrosis,
reaksi imun akan terlokalisasi sampai parenkim ginjal dan akan terlihat adanya
penumpukan sel darah putih yang membentuk nanah (pus). Apabila infeksi
penumpukan sel darah putih menyebar sampai kapsul ginjal maka dapat terbentuk
abses perinefrik. Pada kondisi ini pasien akan demam menggigil, dysuria, penurunan
berat badan, dan nyeri pinggang 1-2 minggu setelah infeksi terjadi, dan gejala akan
menetap lebih dari 5 hari. Nyeri pinggang dapat menjalar ke bagian selangkangan,
paha, atau lutut. Massa di pinggang (abses) dapat teraba.

Nefrolitiasis juga dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis, walaupun


mekanismenya belum jelas. Penelitian telah memberi hasil bahwa resiko pasien
mengidap penyakit ginjal kronis setelah mengidap batu ginjal adalah 50-67%, resiko
untuk memiliki peningkatan kreatinin serum adalah 26-46%, dan penurunan laju
filtrasi glomerulus adalah 22-42%.

Komplikasi nefrolitiasis yang paling fatal adalah urosepsis. Urosepsis adalah


kondisi sepsis yang disebabkan oleh infeksi saluran kemih. Sepsis sendiri adalah
kondisi sindrom respon inflamasi sistemik yang disertai dengan infeksi. Kriteria
sepsis adalah adanya bukti infeksi, suhu >38 atau <36, detak jantung >90x/menit, laju
napas >20x/menit, jumlah leukosit >12.000 atau <4.000. Urosepsis akan diawali
dengan batu ginjal yang terinfeksi. Bakteria akan menginfeksi saluran kemih secara
asendens, dan berkolonisasi di permukaan batu. Bakteria yang paling sering
menyerang batu ginjal adalah E.Coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa.
Bakteri tersebut akan melepas endotoksin (Lipopolisakarida) yang akan mengaktifkan
Interleukin-1 dan Tumor Necrosis Factor alpha, diikuti oleh stimulasi faktor-faktor
komplemen. Faktor komplemen kemudian akan memanggil sel-sel imun yang lebih
banyak ke fokus infeksi. Reaksi inflamasi yang sangat besar lah yang akan
menimbulkan gejala-gejala urosepsis.

Pemberian antibiotik pada awal infeksi tidak akan memberi perubahan besar
karena obat akan sulit mempenetrasi batu ginjal. Hal ini memungkinkan infeksi batu
ginjal untuk tetap memburuk walaupun sudah ada pemberian antibiotik. Hal tersebut
menjurus pada komplikasi urosepsis apabila tidak diterapi secara adekuat.

23
X. Prognosisxiv

Prognosis nefrolitiasis tergantung dari ukuran batu, waktu mulai tatalaksana,


dan adanya komplikasi. Semakin kecil ukuran batu (<5mm), maka prognosis akan
menjadi semakin baik karena batu dapat keluar sendiri bersamaan dengan urin.
Semakin cepat tatalaksana untuk batu ginjal maka semakin baik prognosisnya.
Tatalaksana yang cepat akan mengurangi kesempatan untuk timbulnya komplikasi
(abses atau urosepsis). Komplikasi yang fatal seperti urosepsis mempunyai prognosis
yang sangat buruk, sehingga membutuhkan penanganan invasif segera. Prognosis juga
akan lebih buruk apabila pasien memiliki batu multipel dan memiliki anggota
keluarga yang juga mengidap nefrolitiasis, karena faktor-faktor tersebut merupakan
petunjuk Apabila batu ginjal sudah ditangani, masih ada kesempatan bahwa batu
dapat terbentuk dan menyumbat saluran kemih lagi. Probabilitas rekurensi adalah
50% dalam waktu 5 tahun, dan 70% dalam waktu 10 tahun. bahwa ada kelainan
metabolik pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

24
i S, M. Azhary Rully. Batu Staghorn Pada Wanita: Faktor Resiko dan Tatalaksananya. JIMKI-2010,
Januari; Vol I (01); 52.

ii Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan
Dasar. RISKESDAS-2013, Desember; 94-95

iii Purnomo, Basuki B. Dasar-Dasar Urologi, Edisi 3. Malang: Sagung Seto, 2014.

iv Parmar, Malvinder S., Kidney Stones. BMJ- 2004, Jun 12: 328 (7453); 1420-1424

v Johns Hopkins Unversity. USA. Johns Hopkins University, 2013. Dapat dilihat di:
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/urology/retrograde_pyelogram_92,P
07713/

vi Paulino, Arnld C., Wilms Tumor. Arizona, Medscape, Nov 09 2014. Dapat dilihat dari:
http://emedicine.medscape.com/article/989398-overview

vii Zhang LJ, Yang GF, Qi J, Shen W. Renal artery aneurysm: diagnosis and surveillance with
multidetector-row computed tomography. Acta Radiol. 2007 Apr. 48(3):274-9.

viii Broghammer, Joshua A., Urethral Strictures, Illinois, Medscape. May 09 2013. Dapat dilihat
dari: http://emedicine.medscape.com/article/450903-overview#a10

ix Gaol, H.L., Mochtar C.A., Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV. Jakarta, Media Aesclapius, 2014.

x American urological Association. Report on the Management of STaghorn Claculi.


Nephrolithiasis Clinical Guidelines Panel. 1994: 9-21

xi Rule, Andrew D, et al. Kidney Stones and The Risk for Chronic Kidney Disease. CJASN-2009
Apr; 4 (4) 804-811

xii Bostwick, David G., et al. Urologic Surgial Pathology. 3rd edition. USA: Elsevier. 2014.

xiii Joel Gustavo Gómez-Núñez, Ulises M. Alvarez, Francisco Fernández, Jorge Gutiérrez-Aceves,
Luz María López-Marín and Achim M. Loske (2011). Infected Urinary Stones, Endotoxins and
Urosepsis, Clinical Management of Complicated Urinary Tract Infection, Dr. Ahmad Nikibakhsh
(Ed.), ISBN: 978-953-307-393-4, InTech, Available from:
http://www.intechopen.com/books/clinical-management-of-complicated-urinary-
tractinfection/infected-urinary-stones-endotoxins-and-urosepsis

xiv Wolf, Stuart. Nephrolithiasis. USA, Medscape, Apr 28, 2014. Dapat dilihat dari:
http://emedicine.medscape.com/article/437096-overview

Anda mungkin juga menyukai