Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh
adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau
keduanya.1 World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes
melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO
memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes
setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai
8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah
21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur. 2
Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh meningkatnya
kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai penelitian prospektif
menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular
seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan
juga pembuluh darah tungkai bawah. Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan
komplikasi vaskularnya menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan
bahwa diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin. 4

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005,
yaitu1 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari
sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari),
sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal
atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat
normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa
tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan
biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pancreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

2.3 Prevalensi
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa prevalensi global diabetes melitus
tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO
memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes
setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai
8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah
21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.2

2.4 Patogenesis
2.4.1 Diabetes mellitus tipe 1
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel pankreas sudah
rusak. Proses kerusakan ini hamper pasti karena proses autoimun, meskipun proses pastinya
masih belum diketahui. Inti dari proses patogenetiknya pertama adalah harus ada kerentanan
genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini
merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga
adalah insulitis, sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T
teraktivasi. Tahap keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap
kelima adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap sebagai sel
asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil
akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.5

2.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2


Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin abnormal dan
resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang utama tidak
diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama,
glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat.
Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin
meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase
ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan
hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.5

2.5 Manifestasi Klinik


Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan mengeluhkan apa
yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan
tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit 1.
Kriteria diagnostik :
 Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah sewaktu merupakan
hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makanterakhir, atau
 Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kaloritambahan
sedikit nya 8 jam, atau
 Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan standard WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan
dalam air.8
Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO ’94
 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat
yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
 Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan.
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) , dilarutkan dalam 250
ml air dan diminum dalam 5 menit.
 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum
larutan glukosa selesai
 Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa darah
puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl.
GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl.

2.6 Komplikasi
A. Penyulit akut
a. Ketoasidosis diabetik
b. Koma Hiperosmolar Non Ketotik
c. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau GDS
< 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan
darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan kognitif
sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitu keringat dingin pada muka, bibir dan
gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik :
pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang.
B. Penyulit kronik
a. Mikroangiopati
b. Retinopati diabetik
c. Nefropati diabetik
d. Neuropati diabetic
e. Makroangiopati

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan kualitas hidup
dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol sehingga sama dengan orang
normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari :
A. Edukasi
Pemberdayaan penderita diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan
masyarakat.
B. Terapi gizi medis
Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada prinsipnya melakukan
pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi
diet berdasarkan kebutuhan individual.
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c) Kadar HbA1c < 7%
2. Tekanan darah <130/80
3. Profil lipid :
a) Kolesterol LDL <100 mg/dl
b) Kolesterol HDL >40 mg/dl
c) Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan
diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik
dan faktor usia. Selain itu ada beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa
pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi
berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian
nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi,
lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang bersangkutan serta kemampuan
petugas kesehatan yang ada.
Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat 60-70%, Lemak 20-
25% dan Protein 10-15%.
C. Latihan fisik
Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena mengurangi resiko kejadian
kardiovaskular dimana pada diabetes telah terjadi mikroangiopati dan peningkatan lipid
darah akibat pemecahan berlebihan yang membuat vaskular menjadi lebih rentan akan
penimbunan LDL teroksidasi subendotel yang memperburuk kualitas hidup penderita.
Dengan latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa meningkat dan ini akan menurunkan
kadar gula darah.
D. Obat hipoglikemik oral
a. Insulin secretagogue :
Sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat pilihan
utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang namun masih boleh diberikan kepada
pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.
Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia. Contohnya : repaglinid,
nateglinid.
b. Insulin sensitizers
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin endogen pada
target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer meningkat. Agonis PPARγ
yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.
c. Glukoneogenesis inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki uptake glukosa
perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada pasien dengan
gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecenderungan hipoksemia.
d. Inhibitor absorbsi glukosa
α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus halus sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak menimbulkan
efek hipoglikemi
Hal yang perlu diperhatikan adalah OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara
bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea
generasi I dan II 15-30 menit sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan.
Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum makan.
Penghambat glukosidase α bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion tidak bergantung
jadwal makan.
E. Insulin
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang fisiologis. Defisiensi insulin
mungkin hanya berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin
basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi nsulin
prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi. Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid
insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau insuli campuran
tetap (premixed insulin)
Insulin diperlukan dalam keadaan seperti penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non
ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dengan dosis yang
hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan
DM/DM Gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar
atau ginjal yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO. Dengan pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis
awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa keesokan harinya. Bila
dengan cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO
dihentikan dan diberikan insulin.

2.8 Pencegahan
• Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat badan,
diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan
kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini,
pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer6.
• Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada
pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan
yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM.
Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama
dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat
menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang Diabetes.
• Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut. Pada pencegahan
tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya
rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya
pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak mikroangiopati.
Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah
ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan
untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : JJ
Usia : 68 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kota Banda Aceh
No CM : 0-71-61-46
Tanggal Periksa : 24 Februari 2019
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran sejak 2 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dibawa keluarga dengan penurunan kesadaran yang terjadi sejak 2 jam
SMRS. Penurunan kesadaran terjadi secara perlahan-lahan. Keluhan tidak disertai muntah dan
kejang. Saat pasien dibawa ke IGD RSUDZA didapatkan hasil pemeriksaan GDS 34 mg/dl.
Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu dan selama ini pasien minum
obat diabetes namun dikatakan bahwa pasien tidak teratur minum obat. Pasien juga tidak tahu
apa obat yang diminumnya. Keluarga menyatakan bahwa KGDS tertinggi yang pernah diperiksa
adalah +- 400 mg/dl namun pasien juga jarang cek. Pasien juga menderita darah tinggi dalam
beberapa tahun ini dan tidak rutin minum obat dan tidak tahu apa obatnya. Pasien menyatakan
siang sebelum dibawa ke RSUDZA minum obat diabetes. Pasien juga tidak selera makan dalam
beberapa hari ini. Batuk dikeluhkan sesekali dan tidak berdahak. BAK dan BAB tidak ada
keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sekitar 1 bulan yang lalu selesai rawatan di RS dengan keluhan BAB cair.
Riwayat Penyakit Keluarga :
disangkal
Riwayat Pemakaian Obat :
Obat diabetik oral dan obat antihipertensi.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Kesadaran : Apatis
Tekanan darah: 150/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit, irreguler, kuat angkat, T/V cukup
RR : 22 x/menit
T : 36,7 oC
Status Generalis
Keadaan Umum : Berat, pasien nampak gelisah, berkeringat dingin dan terdapat penurunan
kesadaran.
Kulit : Pucat (-) Ikterus (-)
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Normotia, dbn
Hidung : Sekret (-), dbn
Mulut : Sianosis (-), dbn
Leher : Pembesaran KGB (-) TVJ R-2 cmH2O
Thorax
a. Paru
Inspeksi : Simetris, Retraksi (-), bentuk dada normal, iga gambang (+)
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Rhonki (+/+) basah kasar di 1/3 bawah paru kanan dan diseluruh paru
kiri, Wheezing(-/-)
b. Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi ictus kordis teraba
Pekusi : Batas jantung normal, tidak ada pembesaran
Auskultasi: : BJ I> BJ II irreguler, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran organ setempat (-), turgor kulit kembali cepat
Perkusi : timpani
Auskultasi : Peristaltik meningkat
Anus : tidak diperiksa
Ekstremitas : CRT < 2s, edema pada kedua extremita inferior. Luka pada kaki kanan.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Hasil
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan
(24/3/2019)
Hemoglobin 9,3 10,5-12,9 g/dl
Hematokrit 29 53-63 %
Eritrosit 3,3 4,4 – 5,8 106/mm3
Leukosit 10,9 5 - 10,5 103/mm3
Trombosit 303 150-450 103/mm3
MCV 88 80-100 fL
MCH 28 27-31 pg
MCHC 32 32-36 %
RDW 17,3 11,5-14,5 %
MPV 10,5 7,1-11,1 fL
Eosinofil 5 0-6 %
Basofil 0 0-2 %
Neutrofil Batang 0 2-6 %
Neutrofil Segmen 77 50-70 %
Limfosit 14 20-40 %
Monosit 4 2-8 %
HBsAg Negatif
Anti HCV Negatif
Albumin 3,67 3,5-5,2 g/dl
GDS 25 <200 Mg/dl
Ureum 155 13-43 Mg/dl
Creatinin 4,75 0,67-1,17 Mg/dl
Natrium 144 132-146 Mmol/L
Kalium 3,5 3,7-5,4 Mmol/L
Clorida 125 98-106 Mmol/L
b. EKG

Gambar : elektrokardiograf
Berdasarkan EKG diatas didapatkan hasil sebagai berikut :
Kasimpulan : Ventrikel Ekstra Sistol Benigna

3.5 Diagnosa
1. Penurunan kesadaran ec hipoglikemia
2. Hipoglikemia ec drug induced
3. Hipertensi stage I
4. Pneumonia (CAP) dd TB paru
5. CKD stage 5 dd AKI renal stage 3 ec dd/nefropati diabetik, hipertensi nefropati
6. Geriatri problem (inasisi, infeksi, instabilitas dan jatuh)
7. Ulkus diabetikum a.r pedis dextra
8. VES benigna

3.6 Tatalaksana
- Bedrest
- O2 2-4 L/I (K/P)
- Diet DM 1700 kkal + rendah garam
- Bolus dextrose 40% 50 ml (k/p)  protap hipoglikemia
- Drip dextrose 10% 20 tpm  protap hipoglikemia
- IV ceftriaxone 2gr/24jam
- Amlodipine 1x5 mg
- Rawat luka diabetik dengan NaCl 0,9% 2x sehari

3.7 Planning
- Urinalisa
- Foto thorax PA
- Protap hipoglikemia
- GDP, GD2PP, HbA1C
- Lipid profile (kolesterol, HDL, LDL, trigliserida)
- USG urologi
- Elektrolit kalsium
BAB IV
ANALISA KASUS

Telah diperiksa seorang pasien laki-laki berumur 68 tahun pada tanggal 24 Februari
2019. Pasien dibawa keluarga ke IGD RSUDZA dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 2
jam SMRS. Penurunan kesadaran terjadi secara perlahan-lahan. Keluhan tidak disertai muntah
dan kejang. Saat pasien dibawa ke IGD RSUDZA didapatkan hasil pemeriksaan GDS 34 mg/dl.
Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu dan selama ini pasien minum
obat antidiabetes namun dikatakan bahwa pasien tidak teratur minum obat. Pasien juga tidak tahu
apa obat yang diminumnya. Keluarga menyatakan bahwa KGDS tertinggi yang pernah diperiksa
adalah +- 400 mg/dl namun pasien juga jarang cek. Pasien menyatakan siang sebelum dibawa ke
RSUDZA minum obat diabetes. Pasien juga tidak selera makan dalam beberapa hari ini. Batuk
dikeluhkan sesekali dan tidak berdahak. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran
curiga akibat hipoglikemia dengan penurunan kesadaran secara perlahan dan juga riwayat
diabetes mellitus tipe 2 yang sudah diderita pasien selama kurang lebih 10 tahun. Penurunan
kesadaran tidak disertai muntah dan kejang menandakan bahwa penyebab bukan karena
peningkatan tekanan intracranial maupun infeksi sistem saraf pusat. Hal tersebut didukung oleh
pasien pemeriksaan gula darah sewaktu yang didapatkan hasil 34 mg/dl. Berdasarkan PERKENI
2015, hipoglikemia ditandai dengan KGDS < 70 mg/dl dengan atau tanpa gejala sistem otonom
seperti rasa lapar, berkeringat, gelisah, lemah, lesu, pusing, perubahan kognitif, takikardi, dll.
Penanganan pasien dengan hipoglikemia yaitu :
1. Bila GDS < 50 mg/dl berikan bolus dextrose 40% sebanyak 50 ml
2. Bila GDS > 50 mg/dl berikan bolus dextrose 40% sebanyak 25 ml
3. Drip dengan dextrose 10% 20 tpm, lalu periksa GDS 15 menit sesudahnya
4. Bila GDS 100-200 mg/dl  pertahankan drip dextrose 10%
5. Bila GDS > 200 mg/dl  pertimbangkan penurunan kecepatan drip dextrose 10%
6.Apabila pada 3 kali pemeriksaan tiap 15 menit GDS > 100 mg/dl  periksa GDS tiap 2
jam, bila GDS > 200 mg/dl pertimbangkan ganti drip dextrose 5% atau NaCl 0,9%
7.Apabila pada 3 kali pemeriksaan tiap 2 jam GDS > 100 mg/dl  periksa GDS tiap 4 jam,
bila GDS > 200 mg/dl pertimbangkan ganti drip NaCl 0,9%
8.Apabila pada 3 kali pemeriksaan tiap 4 jam GDS > 100 mg/dl maka pemeriksaan dilakukan
sesuai kebutuhan.
Kemungkinan hipoglikemia pada pasien ini diakibatkan oleh konsumsi obat antidiabetes
yang diminum pasien pada siang harinya. Obat-obat yang sering menyebabkan hipoglikemia
adalah golongan sulfonilurea karena masa kerjanya yang panjang. Hipoglikemia merupakan
komplikasi akut dari diabetes mellitus tipe 2 yang sering dialami. Pada pasien ini juga
didapatkan komplikasi kronik yaitu nefropati diabetik. Hal tersebut ditandai dengan peningkatan
fungsi ginjal ureum serum sebesar 155 mg/dl dan kreatinin serum sebesar 4,75 mg/dl. Namun
pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda uremik sindrom seperti gatal-gatal, mual
muntah, uremic frost, dll. Pada anamnesis juga tidak dikeluhkan kelainan pada BAK baik dari
segi kualitas dan kuantitas. Oleh karena itu pasien direncanakan untuk pemeriksaan urinalisa
untuk melihat proteinuria, pemeriksaan elektrolit kalsium untuk melihat adanya hipokalsemia
pada pasien dengan peningkatan fungsi ginjal, dan pemeriksaan USG urologi untuk melihat
tanda kronisitas kelainan pada ginjal. Sehingga pasien dapat ditegakkan mengalami CKD atau
AKI. Pada perhitungan kliren kreatinin menurut persamaan Cockcroft-Gault didapatkan hasil
klirens kreatinin sebesar 13 mL/menit, hal tersebut menandakan CKD stage 5 (klirens kreatinin <
15 mL/menit) dan AKI renal stage 3 (peningkatan kreatinin >3 kali batas normal).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki basah pada 1/3 bawah paru kanan dan diseluruh
lapang paru kiri. Pada anamnesis keluhan batuk tidak begitu khas dan direncanakan untuk
pemeriksaan foto thorax AP untuk menegakkan diagnosa pneumonia (CAP). Setelah dilakukan
perhitungan Pneumonia Severity Index (PSI) didapatkan skor 98 (kelas IV) merupakan indikasi
rawat inap. Komponen PSI meliputi :
a. Jenis kelamin
b. Faktor demografik : umur, tempat tinggal panti
c. Temuan pemeriksaan fisik : perubahan status mental, RR, TDS, suhu dan HR
d. Penyakit komorbid : neoplasma, liver, CHF, serebrovaskular dan ginjal.
e. Temuan laboratorium dan radiologi : pH arteri, BUN, natrium, glukosa, hematocrit,
pO2, efusi pleura.
Pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya irama ventrikel ekstra sistol sebanyak 2 kali
dalam satu menit. Sehingga disimpulkan bahwa suatu keadaan benigna dan bukan merupakan
keadaan maligna.

Anda mungkin juga menyukai