Anda di halaman 1dari 50

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Peningkatan arus globalisasi di segala bidang dengan perkembangan
teknologi dan industri telah banyak membuat perubahan pada perilaku dan
gaya hidup pada masyarakat. Perubahan gaya hidup, sosial ekonomi,
industralisasi, dapat memacu meningkatnya penyakit degeneratif seperti
hipertensi. Penyakit hipertensi merupakan suatu sindrom atau kumpulan gejala
kardiovaskuler yang progresif, sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks
dan saling berhubungan dan ditandai dengan meningkatnya tekanan darah
pada seseorang (American Society of Hypertension, 2010).
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai
hipertensi esensial atau hipertensi primer. Hipertensi esensial merupakan 95%
dari seluruh kasus hipertensi. Sisanya adalah hipertensi sekunder, yaitu
tekanan darah tinggi yang penyebabnya dapat diklasifikasikan, diantaranya
adalah kelainan organik seperti penyakit ginjal, kelainan pada korteks adrenal,
pemakaian obat-obatan sejenis kortikosteroid dan lain-lain (Yugiantoro, 2006
dalam Fitriani, 2012).
Faktor risiko kejadian hipertensi diantaranya stress, pola makan, umur,
faktor genetik, jenis kelamin, obesitas, asupan garam, peminum alkohol dan
kebiasaan merokok. Hipertensi bersifat diturunkan atau bersifat genetik.
Individu dengan riwayat keluarga hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih
besar untuk menderita hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai
keluarga dengan riwayat hipertensi. Insidensi hipertensi meningkat seiring
dengan pertambahan usia dan pria memiliki risiko lebih tinggi untuk
menderita hipertensi lebih awal. Obesitas dapat meningkatkan kejadian
hipertensi. Hal ini disebabkan lemak dapat menimbulkan sumbatan pada
pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Asupan garam
yang tinggi akan menyebabkan pengeluaran berlebihan dari hormon
natriouretik yang secara tidak langsung akan meningkatkan tekanan darah.
Kebiasaan merokok berpengaruh dalam meningkatkan risiko hipertensi

1
walaupun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti
(Wade, 2003).
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang
neurovaskular yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi
krisis ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan sering
berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari
peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari
penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk
mencegah komplikasi yang mengancam jiwa (Devicaesaria, 2014)
Menurut Kemenkes (2014), prevalensi penyakit jantung di masyarakat
semakin hari semakin meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, penyakit jantung menjadi salah satu penyebab utama
kematian. Prevalensi secara nasional mencapai 7,2%. Kematian akibat
penyakit jantung, hipertensi dan stroke mencapai 31,9% sedangkan angka
kematian karena penyakit kardiovaskular di rumah sakit yaitu sekitar 6-12%.
Sedangkan data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan terdapat peningkatan
prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara dari 7,6% pada tahun 2007
menjadi 9,5%. Menkes memprediksikan angka-angka tersebut sangat mungkin
akan terus meningkat setiap tahunnya, karena tingginya faktor resiko yang
mempengaruhi, antara lain perubahan gaya hidup, pola makan, kurangnya
olahraga, merokok, stress, hipertensi, diabetes, dislipidemia, dan faktor
lingkungan/ polusi yang membahayakan kesehatan, serta rendahnya kondisi
sosioekonomi masyarakat (Kemenkes, 2014).
Menurut World Health Organization (2009) di dunia terdapat 1/3 (15,3
juta) kematian yang disebabkan oleh penyakit hipertensi pada tahun 2008
yang terjadi di negara berkembang dan negara berpenghasilan menengah ke
bawah. Pada tahun 2009, penyakit hipertensi telah mengakibatkan kematian
sebesar 28% dari seluruh kematian yang terjadi di kawasan Asia Tenggara
(WHO, 2010 dalam Fitriani, 2012). Dua puluh persen pasien hipertensi yang
datang ke UGD adalah pasien hipertensi krisis. Data di Amerika Serikat
menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7% pada penduduk
berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia diatas 60 tahun.

2
Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir
1%-2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ
target. Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi
krisis (Devicaesaria, 2014).
Penatalaksanaan hipertensi farmakologis harus dilaksanakan oleh
semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan
mencegah terjadinya komplikasi. Terapi hipertensi emergensi juga harus
disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan organ target.
Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara
tepat dan cepat untuk mencegah terjadinya komplikasi dari kerusakan organ
lebih lanjut.
Bedasarkan pemaparan yang sudah dijelaskan, hal tersebut mendorong
Penulis untuk membahas tentang asuhan keperawatan pada Ny. H dengan
Hipertensi Emergensi di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan fenomena yang telah dikemukakan di atas, maka Penulis antusias
untuk mengangkat penyakit Hipertensi untuk dijadikan studi kasus dengan
judul Asuhan keperawatan pada Ny. H dengan hipertensi emergensi di IGD
RSJPDHK.

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1. Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran secara umum tentang asuhan keperawatan pada
pasien Ny. H dengan hipertensi
1.3.2. Tujuan Khusus
Secara Khusus Penulisan ini bertujuan agar Penulis:
1.3.2.1. Mengetahui pengertian hipertensi
1.3.2.2. Mengetahui fisiologi tekanan darah
1.3.2.3. Mengetahui klasifikasi hipertensi
1.3.2.4. Mengetahui etiologi hipertensi
1.3.2.5. Mengetahui patofisiologi hipertensi

3
1.3.2.6. Mengetahui manifestasi klinik hipertensi
1.3.2.7. Mengetahui evaluasi diagnostik
1.3.2.8. Mengetahui penatalaksanaan hipertensi
1.3.2.9. Mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien Ny. H dengan
hipertensi, yang meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi
dan evaluasi keperawatan

1.4. Sistematika Penulisan


1.4.1. BAB I
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan metode
penulisan dan sistematika penulisan
1.4.2. BAB II
Tinjauan teoritis yang terdiri dari pengertian, tujuan, mekanisme, macam-
macam dan asuhan keperawatan
1.4.3. BAB III
Tinjauan kasus yang terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan,
intervensi, implementasi dan evaluasi
1.4.4. BAB IV
Pembahasan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,
implementasi dan evaluasi
1.4.5. BAB V
Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran

1.5. Manfaat penulisan


1.5.1. Sebagai masukan pengetahuan dan pemahaman bagi para perawat agar dapat
memberikan pengetahuan, bimbingan dan konseling terhadap pasien
hipertensi agar mendapatkan asuhan keperawatan yang tepat dan sesuai
dengan standar keperawatan.
1.5.2. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi penulis, melihat
banyaknya penduduk di Indonesia yang menderita penyakit hipertensi dan
banyak angka kematian di Indonesia akibat hipertensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Hipertensi


2.1.1. Pengertian

4
Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan
darah di dalam arteri (Utaminingsih, 2009). Hipertensi apabila seseorang
memiliki tekanan darah arteri rata-ratanya lebih tinggi dari batas normal
dengan tekanan sistol ≥ 135 mmHg dan tekanan darah diastol ≥ 90 mmHg
(Guyton & Hall, 2008).
Penyakit hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi
adalah penyakit kronik akibat desakan darah yang berlebihan dan hampir
tidak konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika
memompa darah. Hipertensi berkaitan dengan meningkatnya tekanan pada
arteri sistemik, baik diastolik maupun sistolik, atau kedua-duanya secara
terus menerus (Hull, 1996). Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana
tekanan darah seseorang adalah ≥ 140 mmHg (tekanan sistolik) dan ≥ 90
mmHg (tekanan diastolik) (Joint National Committee on Prevention
Detection, Evaluation dan Treatment of High Pressure VII, 2003)
Menurut Devicaesaria (2014), Hipertensi krisis merupakan salah satu
kegawatan dibidang neurovaskular yang sering dijumpai di instalasi gawat
darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut
dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi
yang sering dari penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan
segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.
Hipertensi emergensi (darurat) adalah Peningkatan tekanan darah
sistolik >180 mmHg atau diastoik >120 mmHg secara mendadak disertai
kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera
mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi
intravena (Devicaesaria, 2014).
Hipertensi urgensi (mendesak) adalah Peningkatan tekanan darah
seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ
target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24
jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral (Devicaesaria,
2014).

2.1.2. Fisiologi Tekanan Darah

5
Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh
interaksi berbagai faktor seperti faktor genetik dan lingkungan yang
mempengaruhi dua variabel hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi
perifer total (Robbins dkk., 2007). Curah jantung merupakan faktor yang
menentukan nilai tekanan darah sistolik dan resistensi perifer total
menentukan nilai tekanan darah diastolik. Kenaikan tekanan darah dapat
terjadi akibat kenaikan curah jantung dan/atau kenaikan resistensi perifer
total (Saseen dan Maclaughlin, 2008).
Ginjal memiliki peranan dalam mengendalikan tekanan darah
melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron. Mekanisme pengaturan tekanan
darah oleh ginjal Renin yang dihasilkan oleh sel justaglomerulus ginjal
mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin-1, kemudian angiotensin-1
diubah menjadi angiotensin-2 oleh angiotensin converting enzyme (ACE).
Angiotensin-2 dapat berikatan dengan reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1)
atau reseptor angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Stimulasi reseptor AT1 dapat
meningkatkan tekanan darah melalui efek pressor dan volume darah (Saseen
dan Maclaughlin, 2008).
Efek pressor angiotensin-2 meliputi vasokonstriksi, stimulasi
pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dan meningkatkan aktivitas
sistem saraf simpatik (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Selain itu,
angiotensin-2 menstimulasi sintetis aldosteron dari korteks adrenal yang
menyebabkan retensi natrium dan air. Retensi natrium dan air ini
mengakibatkan kenaikan volume darah, kenaikan resistensi perifer total, dan
akhirnya kenaikan tekanan darah (Saseen dan Maclaughlin, 2008; Saseen,
2009).
Tekanan darah juga diregulasi oleh sistem saraf adrenergik yang
dapat menyebabkan terjadinya kontraksi dan relaksasi pembuluh darah.
Stimulasi reseptor α-2 pada sistem saraf simpatik menyebabkan penurunan
kerja saraf simpatik yang dapat menurunkan tekanan darah. Stimulasi
reseptor α-1 pada perifer menyebabkan terjadinya vasokonstriksi yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Stimulasi reseptor β-1 pada jantung
menyebabkan kenaikan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan

6
stimulasi reseptor β-2 pada arteri dan vena menyebabkan terjadinya
vasodilatasi (Saseen dan Maclaughlin, 2008; Saseen, 2009).
Skema 2.1.
Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal

(Saseen dan Maclaughlin, 2008)

2.1.3. Klasifikasi
Tekanan sistolik dan diastolik dapat bervariasi pada tingkat individu.
Namun disepakati bahwa hasil pengukuran tekanan darah sama atau lebih
besar dari 140/90 mmHg adalah hipertensi. Hipertensi menurut WHO-ISH
tahun 1999 dan JNC, 2003 dapat dilihat pada tabel:

Tabel 2.1.
Klasifikasi hipertensi
Tekanan Sistolik Tekanan diastolik
Kategori
(mmHg) (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal tinggi 130 – 139 85 - 89
Grade 1 hipertensi 140 – 159 90 - 99
Sub group : borderline 140 – 149 90 - 94
Grade 2 hipertensi 160 – 179 100 - 109
Grade 3 hipertensi >180 ≥110
Isolated sistolik ≥140 < 90
hipertensi

7
Sub group : Borderline 140 – 149 < 90
(WHO-ISH tahun 1999)
Tabel 2.2.
Klasifikasi Hipertensi menurut The joint National Committee on Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Preassure.
Tekanan sistolik Tekanan diastolik
Katagori
(mmHg) (mmHg)
Normal < 130 < 85
Normal tinggi 130 – 139 85 - 89
Hipertensi
Tingkat 1 140 – 159 90 - 99
Tingkat 2 160 – 179 100 - 109
Tingkat 3 ≥ 180 ≥ 110
(JNC – VI, 2003)

2.1.4. Etiologi
Hipertensi dibagi menjadi dua jenis berdasarkan penyebabnya
1.5.2.1. Hipertensi primer
Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
(hipertensi esensial ). Hal ini ditandai dengan terjadinya peningkatan kerja
jantung akibat penyempitan pembuluh darah perifer. Sebagian besar 90-
95% penderita temasuk hipertensi primer. Hipertensi primer juga dapat
terjadi akibat faktor keturunan (Dewi, 2010).
1.5.2.2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyakit
sitemik lain, misalnya gangguan hormone (Gushing), penyempitan
pembuluh darah utama ginjal (stenosis arteri renalis akibat penyempitan
ginjal glomerulonefritis) dan penyakit sitemik lainnya (Dewi, 2010).
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vaskular, berupa
disfungsi endotel, remodeling, dan arterial stiffness. Namun faktor
penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum
dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara
cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah
yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid
arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan
kerusakan fungsi autoregulasi (Devicaesaria, 2014).

2.1.5. Faktor Resiko


2.1.5.1. Yang tidak dapat dikontrol
 Umur > 50 tahun
 Sex : Wanita > Pria

8
 Genetik
 Etnik
2.1.5.2. Yang dapat dikontrol
 Merokok
 Dyslipidemia/hiperkolesterol
 Diabetes mellitus: terjadi hiperinsulinemia dan hipertropi structural
 Obesitas
 Alkohol
 Emosi : Rangsangan sistem saraf simpatis
 Gaya hidup
 Status sosial ekonomi
(Diklat RSJPDHK, 2015)

2.1.6. Patofisiologi
Pengaturan tekanan darah arteri meliputi kontrol sistem persyarafan
yang kompleks dan hormonal yang saling berhubungan satu sama lain dalam
mempengaruhi curah jantung dan tahanan vaskuler perifer. Hal lain yang
ikut dalam pengaturan tekanan darah adalah reflek baroreseptor dengan
mekanisme berikut ini (Muttaqin, 2009).
Curah jantung ditentukan oleh volume sekuncup dan frekuensi
jantung. Tahanan perifer ditentukan oleh diametr arteriol. Bila diameternya
menurun (vasokontriksi), tahanan perifer meningkat, bila diameternya
meningkat (vasodilatasi), tahanan perifer akan menurun (Muttaqin, 2009).
Pengaturan primer tekanan arteri dipengaruhi oleh baroreseptor pada
sinus karotikus dan arkus aorta yang akan menyampaikan implus ke pusat
syaraf simpatik medulla. Implus tersebut akan menghambat stimulus system
syaraf simpatis. Bila tekanan arteri meningkat, maka ujung-ujung
baroreseptor akan tegang. Sehingga teraktivasi dan menghambat pusat
simpatis, akibatnya frekuensi jantung akan menurun, arteriol mengalami
dilatasi, dan tekanan arteri kembali ke level awal. Hal yang sebaliknya
terjadi bila ada penurunan tekanan darah arteri (Muttaqin, 2009).
Selanjutnya akan dibahas mekanisme lainnya yang dengan efek yang
lebih lama. Renin diproduksi oleh ginjal ketika aliran darah ke ginjal
menurun, akibatnya terbentulah angiotensin I, yang akan berubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II meningkatkan tekanan darah dengan
mengakibatkan kontraksi langsung pada arteriol. Secara tidak langsung juga
merangsang pelepasaran aldosteron, yang akan mengakibatkan volume
cairan ekstraseluler, yang pada gilirannya meningkatkan volume sekuncup

9
dan curah jantung. Ginjal juga mempunyai mekanisme intrinsik untuk
meningkatkan retensi natrium dan cairan (Muttaqin, 2009).
Bila terdapat gangguan menetap yang menyebabkan kontrinsik
arteriol, tahanan perifer total dan tekanan arteri meningkat. Dalam
menghadapi gangguan menetap, curah jantung harus ditingkatkan untuk
mempertahankan keseimbangan sistem. Hal tersebut diperlukan untuk
mengatasi tahanan, sehingga pemberian oksigen dan nutrisi ke sel dan
pembuangan produk sampah sel tetap terpelihara. Untuk meningkatkan
curah jantung, sitem syaraf simpatis akan merangsang jantung untuk
berdenyut lebih cepat, juga meningkatkan volume sekuncup dengan cara
membuat vasokontriksi selektif pada organ perifer, sehingga darah yang
kembali ke jantung lebih banyak. Dengan adanya hipertensi kronis,
baroreseptor akan terpasang dengan level lebih tinggi dan akan berespons
meskipun level yang baru tersbut sebenarnya normal (Muttaqin, 2009).
Pada mulanya, mekanisme tersebut bersifat kompensasi. Namun,
proses adaptif tersebut membuka jalan memberikan pembebanan pada
jantung. Pada saat yang sama terjadilah perubahan degeneratif pada arteriol
yang menanggung tekanan tinggi terus-menerus. Perubahan tersebut terjadi
pada organ seluruh tubuh, termasuk jantung, akibat berkurangnya pasokan
darah ke miokardium. Untuk memompa darah, jantung harus bekerja keras
untuk mengatasi tekanan balik muara aorta (Muttaqin, 2009).
Akibat beban kerja ini, otot ventrikel kiri mengalami hipertropi atau
pembesaran dan terjadilah dilatasi pembesaran jantung. Kedua perubahan
struktur tersebut bersifat adaftif keduanya meningkatkan volume skuncup
jantung. Pada saat istirahat, respon kompensasi mungkin memadai, namun
dalam keadaan pembebanan, jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan
tubuh orang tersebut menjadi cepat lelah dan nafasnya pendek (Mutaqqin,
2009).
Gangguan awalnya menyebabkan kenaikan tahanan perifer biasanya
tidak diketahui, seperti pada kasus hipertensi primer atau esensial, meskipun
ada beberapa agen yang diduga sebagai penyebab. Mekanisme patologis
terjadinya hipoksia akibat kegagalan sistem transportasi darah. Pada tahap
berikutnya, nutrisi okisgen darah juga menurun akibat edema paru
(Muttaqin, 2009).

10
Hipertensi merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan
peningkatan tahanan perifer. Hal ini menyebabkan penambahan beban
jantung (afterload) sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kiri sebagai proses
kompensasi adaptasi. Hipertropi ventrikel kiri ialah suatu keadaan yang
menggambarkan penebalan dinding dan penambahan massa ventrikel kiri.
Selain pertumbuahan miosit dijumpai juga penambahan struktur kolagen
berupa fibrisis pada jaringan intertisial dan perivaskular reaktif
intramiokardial (Mutaqqin, 2009).
Hipertensi: Faktor yang dapat dikontrol :
Faktor yang tidak dapat dikontrol : usia TD sistol merokok, diet tinggi garam,
riwayat keluarga, jenis kelamin, DM, >140 mmHg, kolesterol dan lemak, IMT >25,
penyakit ginjal TD diatolik gaya hidup, stress, alkohol
>90 mmHg
Skema 2.2.
Patofisiologi Hipertensi
↑ resistensi/ tahanan perifer Vasokinstriktor
kuat
Aktivasi aldosteron Vasopresan/
rangsangan saraf ↑ After load
pusat ↑ tahanan perifer
Reabsorpsi Na + dan air
Dalam waktu yg lama akan ↓ CO
ADH  haus ↑ afterload/ beban
akhir jantung
↓ perfusi ke organ terutama ginjal
↑ volume/ hipervolemi
Aktivasi system renin TD semakin ↑
↑preload
Angiotensinogen Cedera endotel
↑ LVEDV
Angiotensin 1 Clotting darah &
↓ fungsi vaskular
Berlaku hukum frank starling :
volume ↑  regangan ↑  Angiotensin 2
kontraktilitas ↑.
sampai batas kemampuan Penumpukan darah di LV, LA,
vena pulmonalis, dan kapiler Perdarahan serebral ↓ fungsi arteri
ventrikel
pulmonal coroner

↓ cardiac output ↑ tekanan hidrostatik Edema pulmonal

Saluran cerna jaringan Ginjal jantung

↓ reabsorpsi H+ O2 ↓ dan CO2 ↑ ↓ fungsi ginjal ↑ beban kerja


jantung
↓ GFR
Korosi sal cerna Metabolisme
anaerob Ketidak
↓ urin output seimbangan
Nausea, vomiting suplai dan
11
Stimulus peka demand
nyeri pada kapiler ↑ volume cairan

Nyeri dada, sesak


napas
Sakit kepala otak otot kelemahan
(Porth, 2010)
2.1.7. Manifestasi Klinik
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala
bertahun-tahun. Pada pemeriksaan fisik, mungkin tidak dijumpai kelainan
apapun selain kelainan tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula
ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan
cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil
(edema pada diskusioptius).
Gejala bila ada, biasanya menunjukan adanya kerusakan vaskuler
dengan manifestasi sesuai sitem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh
darah bersangkutan. Penyakit arteri koroner dengan angina adalah gejala
yang paling menyertai hipertensi. Hipertropi ventrikel kiri sebagai respon
beban kerja ventrikel saat dipaksa berkontraksi melawan tekanan sitemik
yang meningkat. Apabila jantung tidak mampu menahan peningkatan beban
kerja, maka dapat terjadi gagal jantung kiri. Perubahan patologis pada ginjal
dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urin pada malam hari)
dan azotemi (peningkatan nitrigen urea darah (BUN) dan kreatinin).
Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan
iskemi transien yang bermanifestasi sebagai paralis sementara pada satu sisi
(hemiplegia) atau gangguan tajam. Pada penderita stroke, dan pada penderita
hipertensi disertai serangan iskemia, insiden infark otak mencapai 80%
(Smeltzer & Bare, 2002).

12
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan
organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap
pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial
akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda
neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada
hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit
neurologi fokal. Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan
retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun
papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa
saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal
jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan
oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi (Devicaesaria, 2014).
Tabel 2.3.
Manifestasi Klinik Hipertensi Krisis

(Devicaesaria, 2014).

2.1.8. Komplikasi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak
endotel arteri dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi
termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan
pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit
serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner
(infark miokard, angina), gagal ginjal, demensia, dan atrial fibrilasi. Apabila
penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko penyakit kardiovaskular,
maka terdapat peningkatan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan
kardiovaskular tersebut. Pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan

13
resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer,
dan gagal jantung (Dosh, 2001)

2.1.9. Evaluasi Diagnostik


Riwayat dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh sangat penting.
Retina harus diperiksa dan dilakukan pemeriksaan laboraturium untuk
mengkaji kemungkinan adanya kerusakan organ, seperti ginjal, atau jantung,
yang dapat disebabkan oleh tingginya tekanan darah. Hipertrofi ventrikel
kiri dapat dikaji dengan elektrokardiografi, protein dalam urin dapat
dideteksi dengan urinalisa. Dapat terjadi ketidakmampuan untuk
mengkonsetrasikan urin dan peningkatan nitrogen urea darah (Smeltzer &
Bare, 2002).
Pemeriksaan fungsi ginjal terpisah, dan penentuan kadar urin dapat
juga dilakukan untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit renovaskuler.
Adanya faktor resiko lainnya juga harus dikaji dan dievaluasi (Smeltzer &
Bare, 2002).
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi
harus dapat dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi
angka morbiditas dan mortalitas pasien. Anamnesis tentang riwayat penyakit
hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan
minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine.
Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal
penting dievaluasi. Tanda-tanda defisit neurologik harus diperiksa seperti
sakit kepala,penurunan kesadaran, hemiparesis dan kejang (Devicaesaria,
2014).
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung jenis,
elektrolit, kreatinin dan urinalisa. Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala
sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak nafas, nyeri dada
atau perubahan status neurologis. Pada keadaan gagal jantung kiri dan
hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut
adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi
(Devicaesaria, 2014).

14
Skema 2.3.
Alur Pendekatan Diagnostik Hipertensi (Devicaesaria, 2014)

Pasien dengan Hipertensi

Ya
TD >180/ 120 mmHg Kerusakan organ target:

Tidak Neurologi
Tanda stroke iskemik/hemoragik
Tidak Hipertensi Krisis Penurunan kesadaran
Kelumpuhan anggota gerak
Prehipertensi Bicara cedal
(TDS 120-139/ TDD 80-89) Mulut mencong Tidak
Hipertensi Grade 1 Flapping tremor Hipertensi Urgensi
(TDS 140-159/ TDD 90-99) Jantung & paru
Hipertensi Grade 2 Perbedaan TD lengan ka/ki > 20 mmHg (Diseksi
(TDS ≥160/ TDD ≥100) aorta)
Auskultasi murmur/mitral regurgitasi/gallop
Peninggian JVP
Ronki basah/sesak nafas Ya
Ginjal Hipertensi Emergensi
Oliguria/anuria
Hematuria/proteinuria
Peningkatan serum kreatinin
Mata
Funduskopi KW III/IV

15
2.1.10. Penatalaksanaan Hipertensi
2.1.10.1. Penatalaksanaan Hipertensi secara umum
Sasaran dari publikasi pengobatan antihipertensi adalah untuk
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovakuler dan
ginjal. Sejak sebagian besar orang dengan hipertensi, khususnya yang
berumur > 50 tahun, fokus utama adalah pencapaian TDS target. Tekanan
darah target adalah <140/90 mmHg yang berhubungan dengan penurunan
komplikasi penyakit kardiovaskuler. Pada pasien dengan hipertensi dan
diabetes atau panyakit ginjal, target tekanan darahnya adalah <130/80 mmHg.
Untuk pencapaian tekanan darah target di atas, secara umum dapat dilakukan
dengan dua cara sebagai berikut (JNC 7, 2003):
a. Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup yang sehat oleh semua pasien hipertensi
merupakan suatu cara pencegahan tekanan darah tinggi dan merupakan
bagian yang tidak terabaikan dalam penanganan pasien tersebut.
Modifikasi gaya hidup memperlihatkan dapat menurunkan tekanan darah
yang meliputi penurunan berat badan pada pasien dengan overweight atau
obesitas. Berdasarkan pada DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension), perencanaan diet yang dilakukan berupa makanan yang
tinggi kalium dan kalsium, rendah natrium, olahraga, dan mengurangi
konsumsi alkohol. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan
darah, mempertinggi khasiat obat antihipertensi, dan menurunkan resiko
penyakit kardiovaskuler. Contohnya, konsumsi1600 mg natrium memiliki
efek yang sama dengan pengobatan tunggal. Kombinasi dua atau lebih
modifikasi gaya hidup dapat memberikan hasil yang lebih baik. Berikut
adalah uraian modifikasi gaya hidup dalam rangka penanganan hipertensi
(JNC 7, 2003).
b. Terapi Farmakologi
Terdapat beberapa data hasil percobaan klinik yang membuktikan
bahwa semua kelas obat antihipertensi, seperti angiotensin converting
enzim inhibitor (ACEI), angiotensin reseptor bloker (ARB), beta-bloker

16
(BB), kalsium chanel bloker (CCB), dan diuretik jenis tiazide, dapat
menurunkan komplikasi hipertensi yang berupa kerusakan organ target
(JNC 7, 2003).
Diuretik jenis tiazide telah menjadi dasar pengobatan antihipertensi
pada hampir semua hasil percobaan. Percobaan-percobaan tersebut sesuai
dengan percobaan yang telah dipublikasikan baru-baru ini oleh ALLHAT
(Antihipertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack
Trial), yang juga memperlihatkan bahwa diuretik tidak dapat
dibandingkan dengan kelas antihipertensi lainnya dalam pencegahan
komplikasi kardiovaskuler. Selain itu, diuretik meningkatkan khasiat
penggunaan regimen obat antihipertensi kombinasi, yang dapat digunakan
dalam mencapai tekanan darah target, dan lebih bermanfaat jika
dibandingkan dengan agen obat antihipertensi lainnya. Meskipun
demikian, sebuah pengecualian didapatkan pada percobaan yang telah
dilakukan oleh Second Australian National Blood Pressure yang
melaporkan hasil penggunaan obat awal ACEI sedikit lebih baik pada laki-
laki berkulit putih dibandingkan pada pasien yang memulai
pengobatannya dengan diuretik (JNC 7, 2003).
Obat diuretik jenis tiazide harus digunakan sebagai pengobatan
awal pada semua pasien dengan hipertensi, baik penggunaan secara
tunggal maupun secara kombinasi dengan satu kelas antihipertensi lainnya
(ACEI, ARB, BB, CCB) yang memperlihatkan manfaat penggunaannya
pada hasil percobaan random terkontrol. Daftar faktor resiko yang disertai
dengan jenis obat antihipertensi sebagai pengobatan awal. Jika salah satu
obat tidak dapat ditoleransi atau kontraindikasi, sedangkan kelas lainnya
memperlihatkan khasiat dapat menurunkan resiko kardiovaskuler, obat
yang ditoleransi tersebut harus diganti dengan jenis obat dari kelas
berkhasiat tersebut (JNC 7, 2003).
Sebagian besar pasien yang mengidap hipertensi akan
membutuhkan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mendapatkan
sasaran tekanan darah yang seharusnya. Penambahan obat kedua dari

17
kelas yang berbeda harus dilakukan ketika penggunaan obat tunggal
dengan dosis adekuat gagal mencapai tekanan darah target. Ketika tekanan
darah lebih dari 20/10 mmHg di atas tekanan darah target, harus
dipertimbangkan pemberian terapi dengan dua kelas obat, keduanya bisa
dengan resep yang berbeda atau dalam dosis kombinasi yang telah
disatukan (tabel 3). Pemberian obat dengan lebih dari satu kelas obat dapat
meningkatkan kemungkinan pencapaian tekanan darah target pada
beberapa waktu yang tepat, namun harus tetap memperhatikan resiko
hipotensi ortostatik utamanya pada pasien dengan diabetes, disfungsi
autonom, dan pada beberapa orang yang berumur lebih tua. Penggunaan
obat-obat generik harus dipertimbangkan untuk mengurangi biaya
pengobatan (JNC 7, 2003).
Saat obat antihipertensi telah diberikan, pasien diharuskan kembali
untuk follow paling tidak dalam interval sebulan sekali sampai tekanan
darah target tercapai. Kunjungan yang lebih sering dibutuhkan untuk
pasien dengan kategori hipertensi stage 2 atau jika disertai dengan
komplikasi penyakit penyerta. Pemeriksaan kadar serum kalium dan
kreatinin harus dilakukan paling tidak sebanyak 1-2 kali per-tahun.
Setelah tekanan darah mencapai target dan stabil, follow up dan
kunjungan harus dilakukan dalam interval 3-6 bulan sekali. Penyakit
penyerta seperti gagal jantung, dan diabetes dapat mempengaruhi
frekuensi jumlah kunjungan. Faktor resiko penyakit kardiovaskuler
lainnya harus diobati untuk mendapatkan nilai tekanan darah target, dan
penghindaran penggunaan tembakau harus dilakukan. Penggunaan aspirin
dosis rendah dilakukan hanya ketika tekanan darah terkontrol, oleh karena
resiko stroke hemoragik yang meningkat pada pasien dengan hipertensi
tidak terkontrol (JNC 7, 2003).
2.1.10.2. Hipertensi Urgensi
Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi
urgensi: (Devicaesaria, 2014)
a. Penatalaksanaan Umum

18
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan
hipertensi urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian
obat-obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan
tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP) dapat
diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan
tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg (Devicaesaria,
2014).
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral
bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading
dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan
pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi
penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien
dengan hipertensi urgensi (Devicaesaria, 2014).
b. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitor dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25
mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah
90-120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi,
hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan
stenosis pada arteri renal bilateral) (Devicaesaria, 2014).
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering
digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang
dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi secara random
terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai
22%. Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8
jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang
sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala (Devicaesaria,
2014).
Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking
dan memiliki waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian
labetalol memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan

19
dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap
grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan
300 mg secara oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik
dan diastolik secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan
mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam
kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit
kepala (Devicaesaria, 2014).
Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-
adrenergicreceptor agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit
dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg
kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya tekanan
darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping
yang sering terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik
(Devicaesaria, 2014).
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang
memiliki pucak kerja antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak
dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi karena dapat
menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan
sehingga berhubungan dengan kejadian stroke (Devicaesaria, 2014).
2.1.10.3. Hipertensi Emergensi
Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi
emergensi: (Devicaesaria, 2014)

a. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu
tergantung pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah
dilakukandengan obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien
harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa
dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan
tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial
Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam

20
berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan
mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi
(Devicaesaria, 2014). Pengontrolan yang ketat harus dilakukan pada
pasien hipertensi emergensi terutama pada penurunan tekanan darah.
Biasanya tekanan darah diturunkan berdasarkan MAP 20-25% agar tidak
terjadi penurunan tekanan darah yang terlalu rendah sehingga dapat
menyebabkan iskemia organ atau infark. Penurunan tekanan darah pada
pasien yang menderita hipertensi emergensi yang khusus yaitu obat-obat
yang mempunyai sifat kerja cepat, efektif, aman dan sedikit efek samping
(Aziz, 2010).
b. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi
1. Emergensi Neurologi
Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi emergensi
seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intracranial dan
stroke iskemik akut. American Heart Association merekomendasikan
penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg pada hipertensi dengan
perdarahan intracranial dan MAP harus dipertahankan di bawah 130
mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus
dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah
tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus
MAP dipertahankan > 130 mmHg (Devicaesaria, 2014).

2. Emergensi Kardiak
Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada
otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi
emergensi yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan
terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan, bahwa
nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri
koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β-
blocker (labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi
awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi
seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan

21
darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik >120
mmHg) dalam waktu 20 menit (Devicaesaria, 2014).
3. Emergensi Ginjal
Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan
proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang
diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan
secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan
sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat
menghindari potensi keracunan sianida akibat dari pemberian
nitroprussidedalam terapi gagal ginjal (Devicaesaria, 2014).
4. Hyperadrenergic States
Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-obatan
seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase.
Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti
pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan
over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan
timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom
withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti
pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian
sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV
(ganglion-blocking agent). Golongan β-blockers dapat diberikan
sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai.
Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah
dengan memberikan kembali klonidin sebagai dosis inisial dan dengan
penambahan obat-obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas
(Devicaesaria, 2014).
Tabel 2.4.
Obat-obatan parenteral yang digunakan untuk
terapi hipertensi emergensi

22
(Devicaesaria, 2014)

Tabel 2.5.
Obat-obatan spesifik untuk komplikasi hipertensi emergensi

23
(Devicaesaria, 2014)

2.2. Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1. Pengkajian Keperawatan
Melakukan pengkajian :
2.2.1.1. Identitas pasien : nama, tanggal lahir, jenis kelamin, agama, suku ,
pendidikan, pekerjaan.
2.2.1.2. Riwayat
a. Keluhan utama
b. Riwayat penyakit sekarang
c. Riwayat kesehatan dahulu
d. Riwayat penyakit keluarga
e. Faktor resiko
f. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
g. Riwayat personal dan sosialisasi
h. Riwayat spiritual
i. Kebiasaan sehari hari
2.2.1.3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum, tingkat kesedaran, berat badan, tinggi badan, tanda tanda
vital

24
b. Pemeriksaan kepala : rambut, mata konjungtiva tidak anemis, pupil isokor,
sklera.
c. Hidung : bentuk, fungsi penciuman, da atau tidak ada riwayat sinusitis,
maupun epitaksis.
d. Telinga : bentuk dan fungsi pendengaran.
e. Pemeriksaan leher : JVP dan pembesaran thyroid
f. Pemeriksaan thoraks : bentuk dada, pernapasan (irama, frekuensi, jenis
suara napas)
g. Pemeriksaan kardiovaskular : denyut jantung, suara jantung, bising
jantung. TD diukur minimal 2 kali dengan tenggang waktu 2 menit dalam
posisi berbaring atau duduk, dan berdiri sekjrangnya setelah 2 menit.
Pengukuran menggunakan yang sesuai dan sebaiknya dilakukan pada
kedua sisi lengan, dan jika nilainya berbeda maka nilai yang tertinggi yang
diambil.
h. Abdomen : bising dan pembesaran hepar
i. Pemeriksaan genetourinaria : warna, frekuensi, tidak merasakan sakit,
pada saat buang air kecil
j. Ekstremitas : lemahnya atau hilangnya nadi perifer dan edema
k. Hematopoetik : riwayat perdarahan atau mudah terjadi perdarahan
l. Endokrin : riwayat DM
m. Neurologi : tanda thrombosis serebral dan perdarahan
2.2.1.4. Pemeriksaan penunjang
a. EKG : adanya pembesaran ventrikel kiri, pembesaran atrium kiri, adanya
penyakit jantung koroner atau aritmia
b. Hemoglobin/ hematokrit : bukan diagnostic, tetapi mengkaji hubungan
dari sel-sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat
mengindikasikan factor-faktor seperti hiperkoagulabilitas, anemia
c. BUN/creatinin : memberikan informasi tetang perfusi/ fungsi ginjal
d. Glukosa/ hiperglikemia (DM) adalah pencetus hipertensi dapat
diakibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan
hipertensi)
e. Kalium serum : hipokalemia dapat mengindikasikan adanya aldosteron
utama (penyebab atau efek samping dari terapi diuretic)
f. Kalsium serum : peningkatan kadar kalsium serum dapat meningkatkan
hipertensi

25
g. Kolesterol dan trigliserida serum : peningkatan kadar dapat
mengindikasikan encetus adanya pementukan plak ateromatosa (efek
kardiovaskular)
h. Asam urat : hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai factor resiko
terjadinya hipertensi
i. Foto rontgen : adanya pembesaran jantung,, vaskularisasi, atau aorta yang
melebar
j. Echocardiogram : tampak adanya penebalan dinding ventrikel kiri,
mungkin juga sudah terjadi dilatasi dan gangguan fungsi sitolik dan
diastolic

2.2.2. Diagnosa Keperawatan


Resiko kekambuhan/ ketidakpatuhan terhadap program perawatan diri yang
berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang program pengobatan,
aturan penanganan dan kontrol proses penyakit (Mutaqqin, 2009).
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada Hipertensi Emergensi yaitu:
2.2.2.1. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan
peningkatan afterload, vasokonstriksi, hipertropi/rigiditas ventrikuler, iskemia
miokard.
2.2.2.2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen.
2.2.2.3. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral
2.2.2.4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi cairan di interstitial
paru
2.2.2.5. Cemas berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi
yang diderita klien
2.2.2.6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses
penyakit.

2.2.3. Intervensi Keperawatan


Perencanaan
No Diagnosa
Kriteria Hasil Intervensi
1. resiko tinggi Tujuan : tidak terjadi penurunan 1. Evaluasi adanya nyeri dada

26
terhadap curah jantung. Kriteria hasil : 2. Lakukan pengecekan sirkulasi perifer
penurunan curah 1. Tanda-tanda vital dalam secara menyeluruh (pulasi, waktu
jantung rentang normal (tekanan darah, pengisian kapiler, warna, udema)
3. Monitor TTV secara berkala
berhubungan nadi, respirasi)
4. Dokumentasi jika ada disritmia
2. Dapat mentoleransi aktivitasi,
dengan 5. Monitor efek obat pasien
tidak ada kelelahan 6. Monitor status respirasi, terkait dengan
peningkatan
3. Tidak ada edema paru perifer,
tanda-tanda heart failure
afterload,
dan tidak ada asites. 7. Monitor status hidrasi secaraberkala
vasokonstriksi, 4. Tidak ada penurunan kesadaran
hipertropi/rigiditas
ventrikuler,
iskemia miokard.
2. Intoleransi Tujuan : tidak terjadi intoleransi 1. Berikan dorongan untuk aktivitas/
aktivitas aktivitas setelah dilakukan perawatan diri bertahap jika dapat
berhubungan tindakan keperawatan, criteria diintoleransi. Berikan bantuan sesuai
dengan kelemahan, hasil: kebtuhan
2. Instruksikan pasien tentang penghematan
ketidakseimbangan 1. Meningkatkan energy untuk
energy
suplai dan melakukan aktivitas sehari-
3. Kaji respon pasien terhadap aktivitass
kebutuhan oksigen hari 4. Monitor adanya diaphoresis dan pusing
2. Menunjukan penurunan 5. Observasi TTV 4 jam
6. Berikan jarak waktu pengobatan dan
gelaja intoleransi aktivitas
prosedur untuk memungkinkan waktu
istirahat yang tidak terganggu, berikan
waktu istirahat sepanjang siang atau sore.
3. Nyeri (sakit Tujuan : Nyeri atau sakit kepala 1. Pertahankan tirah baring, lingkungan yang
kepala) hilang atau berkurang setelah tenang, sedikit penerangan
2. Minimalkan gangguan lingkungan dan
berhubungan dilakukan tindakan keperwatan
rangsangan
dengan selama 2 x 24 jam . Kriterian
3. Bantu pasien dalam ambulasi sesuai
peningkatan hasil:
kebutuhan
dengan 3. Mampu mengontrol nyei 4. Hindari merokok atau menggunakan
peningkatan (tahu penyebab nyeri, penggunaan nikotin
5. Beri tindakan nonfarmakologi untuk
tekanan mampu menggunakan tehnik

27
vaskulerbserebral nonfarmakologi untuk menghilangkan rasa sakit kepala seperti
mengurangi nyeri, mencari kompres dingin pada dahi, pijat punggung,
bantuan) memberikan posisi yang nyaman, teknik
4. Melaporkan bahwa nyeri
relaksasi, bimbingan imajinasi dan
berkurangdengan
distraksi.
menggunakan manajemen 6. Hilangkan/ minimalkan vasokonstriksi
nyeri yang dapat meningkatkan sakit kepala
5. Mampu mengenali nyeri
misalnya mengejan saat BAB, batuk
(skala, instensitas, frekuensi
panjang.
dan dan tanda nyeri ). 7. Kolaborasi pemberian obat sesuai
6. Menyatakan rasa nyaman
indikasi : analgesic, antiansietas
setelah nyeri berkurang
(lorazepam, ativan, diazepam, valium)
7. Tanda vital dalam rentang
normal
4. Pola napas tidak Tujuan : setelah dilakukan 1. Monitor kedalaman pernapasan, frekuensi
efektif tindakan keperawatan diharapkan dan ekspansi dada
2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya
berhubungan pola napas efektif. Kriteria hasil :
bunyi napas tambahan
dengan akumulasi 1. Sesak berkurang/ hilang
3. Berikan posisi semifowler
2. Tidak ada bunyi napas
cairan di interstitial 4. Berikan oksigen tambahan jika pasien
tambahan
paru sesak
3. Tidak menggunakan otot bantu
kolaborasi dalam memberikan obat sesuai
pernapasan
indikasi
5 Cemas Tujuan : kecemasan hilang/ 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
berhubungan berkurang setelah dilakukan
dirasakan selama prosedur
dengan krisis intervensi keperawatan. Kriteria
3. Temani asien untuk memberikan
situasional hasil:
keamanan dan mengurangi rasa takut
sekunder adanya 1. Klien mengatakan sudah tidak 4. Berikan informasi factual, mengenai
hipertensi yang cemas lagi/ emas berkurang diagnosis, tindakan prognosis
2. Ekspresi wajah rileks 5. Dorong keluarga untuk menemani anak
diderita klien
3. TTV dalam batas normal 6. Lakukan masase punggung
7. Dengarkan pasien dengan penuh
perhatian
8. Identifikasi tingkat kecemasan

28
9. Bantu pasien mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
10. Dorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, dan persepsi
11. Instruksikan klien menggunakan teknik
relaksasi
12. Berikan obat untuk mengurangi
kecemasan
6 Kurang Tujuan : pasien terpenuhi dalam 1. Berikan penilaian tentang tingkat
pengetahuan informasi tentang hipertensi pengetahuan pasien tentang proses
berhubungan setelah dilakukan tindakan penyakit yang spesifik
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan
dengan kurangnya keperawatan. KCriteria hasil:
bagaimana hal ini berhubungan dengan
informasi tentang 1. Pasien dan keluarga
anatomi fisiologi, dengan cara yang
proses penyakit menyatakan pemahaman
cepat
tentang penyakit, kondisi,
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa
prognosis, dan program
muncul pada penyakit dengan cara yang
pengobatan
tepat.
2. Pasien dan keluarga mampu
4. Gambarkan proses penyakit dengan cara
melaksanakan prosedur yang
yang tepat
dijelaskan secara benar 5. Identifikasi kemungkinan penyebab,
3. Pasien dan keluarga mampu
dengan cara yang tepat
menjelaskan kembali apa yang 6. Sediakan informasi pada pasien tentang
dijelaskan perawat atau tim kondisi
7. Hindari harapan yang kosong
kesehatan lainnya.
8. Sediakan bagi keluarga atau informasi
tentang kemajuan pasien
9. Diskusikan perubahan gaya hidup yang
mungkin diperlukan untuk mencegah
komplikasi dimasa yang akan dating dan
proses pengontrolan penyakit
10. Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan
11. Dukung pasien untuk mengeksplorasi

29
atau mendapatkan second opinion
dengan cara yang tepat atau
diindikasikan
12. Eksplorasi kemungkinan sumber atau
dukungan dengan cara yang tepat
13. Rujuk pasien pada grup atau agensi di
komunitas local
14. Isntruksikan pasien mengenai tanda dan
gejala untuk melaporkan pada pemberi
perawatan kesehatan, dengan cara yang
tepat/

30
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1. Pengkajian Keperawatan


3.1.1. Identitas
Nama : Ny. H
No rekam medis : 2015-38-10-27
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : guru TK
Pendidikan : Universitas
Alamat : Kampung Malang RT. 03/ RW. 003 Semanan Kali Deres
Jakarta Barat
Tanggal masuk : Senin, 4 Mei 2015 pukul 08.45 WIB
Tanggal Pengkajian : 4 Mei 2015 pukul 15.15 WIB di IGD RSJPDHK
Diagnosa Medis : Hipertensi emergensi
3.1.2. Riwayat Penyakit
Pasien mengeluh sesak napas sejak hari sabtu (2 hari SMRS) dan memberat tadi
malam pukul 02.00 pagi. Dyspnea ada, paroksimal nocturnal dipsnea ada,
ortopnea ada, berkeringat dingin, terasa nyeri kepala, nyeri dada tidak ada.
Pasien juga mengeluh sakit kepala, nyeri skala 2-3/10. Pasien mengatakan
sudah menderita hipertensi sejak usia 20 tahun. Pasien juga merupakan pasien
lama PJNHK dengan CAD 1VD post PCI bulan Januari 2015.
Pengkajian nyeri:
P (provoke) : nyeri kepala dirasakan saat pasien sedang beristirahat,
ketika gejala sesak napas muncul sejak semalam, dan nyeri
sedikit hilang jika pasien tidur.
Q (quality) : nyeri kepala terasa nyutnyutan
R (radiation) : nyeri kepala tidak menjalar ke daerah lain
S (severe) : nyeri skala 2-3 dari skala 10
T (time) : nyeri dirasakan sejak tadi malam pukul 02.00 pagi.
3.1.3. Faktor Resiko
Faktor yang tidak dapat dikontrol: faktor keturunan dari orang tua yang
menderita hipertensi.
Faktor yang dapat dikontrol : DM, kegemukan (IMT : 27,34).

31
3.1.4. Riwayat Pengobatan
Ramipril 2x5 mg (PO), metformin 3x500 mg (PO), bisoporolol 1x5 mg (PO),
aspilet 1x80 mg (PO), clopidogrel 1x75 mg (PO), simvastatin 1x20mg (PO),
lantus 1x12 unit (SC).
3.1.5. Persepsi Dan Pemeliharaan Kesehatan
Pasien mengatakan jika memiliki keluhan kesehatan, pasien berusaha untuk
segera membawa ke pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit.
3.1.6. Pola Aktivitas Dan Istirahat
Pasien sebelum sakit merupakan guru TK, namun setelah sakit bulan Januari
berhenti mengajar dan mulai mengajar lagi sejak 2 minggu yang lalu. Pasien
mengatakan mudah lelah saat memulai aktivitas mengajar kembali. Pasien tidur
malam hari + 8 jam, sedangkan siang hari pasien jarang tidur siang. Semenjak
sakit, pasien sering mengalami sesak napas di malam hari, jadi pasien sering
terbangun.
Posisi pasien saat pengkajian adalah duduk (fowler), pasien mengatakan tidur
dengan 3 bantal saat di rumah. Pasien juga mengatakan lebih nyaman ketika
posisi tidur kepala ditinggikan, karena mengurangi sesak napas.
3.1.7. Pola Nutrisi
Pasien mengatakan makan 3 x sehari, pasien kurang menjaga pola makan
seperti sering mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak, santan,
gorengan, dan yang mengandung garam. Namun, ketika pasien telah dilakukan
PCI bulan Januari 2015, pasien mulai mengurangi makanan-makanan tersebut.

3.1.8. Pola Eliminasi


Pasien mengatakan BAB 1 kali setiap hari, konsistensinya normal dan BAK 7-8
kali sehari. Selama perawatan 7 jam di rumah sakit ini pasien tidak BAB, dan
BAK dengan dibantu oleh bedpan.
Intake : 700 cc; urin output : 1300 cc  BC : - 600 cc (selama 8 jam)
3.1.9. Pemeriksaan Fisik
3.1.9.1. TTV

32
- Saat awal masuk IGD (08.45) TD: 198/120 mmHg (MAP: 146 mmHg),
HR: 70 x/menit; RR: 26 x/menit; S : 36,9oC; SaO2 : 100%.
- (09.00) TD : 180/110 mmHg (MAP: 134 mmHg), HR: 89 x/menit, RR: 24
x/menit
- (09.05) TD : 166/110 mmHg (MAP: 129 mmHg), HR: 90 x/menit, RR: 22
x/menit
- (10.00) TD : 140/89 mmHg (MAP: 106 mmHg) , HR: 80 x/menit, RR: 22
x/menit
- (11.00) TD : 150/81 mmHg (MAP: 104), HR: 88 x/menit, RR: 20 x/menit
- (13.00) TD : 148/86 mmHg (MAP: 107 mmHg), HR: 82 x/menit, RR: 22
x/menit
- (14.00) TD : 120/88 mmHg (MAP: 98 mmHg); HR: 90 x/menit; RR: 21
x/menit
- (15.15) TD: 136/82 mmHg (MAP: 100 mmHg); HR: 72 x/menit; RR: 20
x/menit (saat pengkajian)
3.1.9.2. Penampilan umum:
- Kesadaran : composmentis
- Ekspresi wajah : klien nampak terlihat sedikit cemas
- BB/TB : 70 kg/160cm (IMT : 27,34)
3.1.9.3. Kepala dan leher:
- Mata : tidak anemis, tidak ikterik, tidak ada edema palparebra
- Hidung : tidak ada sumbatan
- Gigi : tidak ada gigi berlubang maupun karies, bibir merah,
tidak pucat, tidak sianosis.
- Leher : JVP 5+3 cmH2O (saat awal masuk), saat pengkajian
tidak ada peningkatan JVP, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid .
3.1.9.4. Thoraks
- Inspeksi : bentuk dada simetris, menggunakan otot bantu bantu
pernapasan tambahan
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan
- Perkusi : bunyi perkusi resonan

33
- Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronchi halus +/+ di
sepertiga basal paru, wheezing tidak ada. S1, S2
normal, tidak ada gallop, tidak ada murmur
3.1.9.5. Abdomen : tidak ada asites, tidak ada hepatomegaly, tidak
terdapat distensi lambung, nyeri tekan tidak ada.
3.1.9.6. Ekstremitas : akral hangat, asianosis, capillary refill <3 detik, tidak
ada edema, ekstremitas motorik baik, pulsasi arteri
dorsalis perifer sinistra/dekstra kuat.
3.1.9.7. Pasien terpasang IV line di metakarpal sinistra dan terapi O2 dengan nasal
kanul 3 L/menit.

3.1.10. Pemeriksaan Penunjang


a. Laboraturium :
Tabel 3.1.
Hasil Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

34
04/05/2015 Hemoglobin 11,91 11,2 – 15,7
Leukosit 7.561 uL 3,98-10,04 10^3 uL
Trombosit 353.000 uL 182-369 10^3 uL
Hematokrit 36 % 34,1 – 44,9
UREUM-BUN
Ureum 13,48 mg/dL 14,98-40,01
BUN 6,30 mg/dL 7,00-18,70
Creatinin 0,63 mg/dL 0,57-1,11
EGFR
e-GFR 108 (high) 87-107
GDS 129 gr/dl (high) 70-99
ELEKTROLIT
Natrium 140 mmol/L 135 – 145
Kalium 3,51 mmol/L 3,5 – 5,1
Kalsium 2,15 mmol/L 2,10-2,55

a. EKG
Irama : reguler
Heart Rate : 98 x/menit (normal)
Gelombang P : 0,08 s/ 0,15 mV (morfologi P normal, tidak ada P
pulmonal dan P mitral)
PR interval : 0,16 s (normal)
Kompleks QRS : 0,08 s (normal)
Segmen ST : isoelektrik (normal)
Q patologis : II, III, avF
T depresi : II, III, avF
Aksis : normo aksis
Kesimpulan : sinus rhythm dengan disertai old infark di bagian
inferior.

Gambar 3.1
EKG

35
b. Rontgen Thotaks
4 Mei 2015
CTR 55%, prolongasi aorta, infiltrat tidak ada, kongesti (+).
Gambar 3.2.
Rontgen Thotaks

3.1.11. Terapi Farmakologi


Penanganan dI IGD
- Bedrest
- Terapi O2 dengan nasal canule 3 L/menit  TD : 198/120 mmHg
- 09.00
Lasix extra 2 ampul (40 mg)
ISDN sublingual 5 mg  TD : 180/110 mmHg
- 09.05
Captopril 25 mg sublingual  TD : 166/110 mmHg

36
- 13.00
Start NTG 10 mg/50 cc Nacl 0,9%  30 mcg/menit
- 14.00
Cedocard 10 mg/50 cc Nacl 0,9%  30 mcg/menit
TD : 120/88 mmHg; HR: 90 x/menit; RR: 21 x/menit
pasien direncanakan untuk rawat jalan

3.1.12. Penanganan Selanjutnya


Tabel 3.2.
Penanganan Lanjutan
Nama Obat Dosis
Ramipril 2x5 mg
Metformin 3x500 mg
Bisoprolol 1x5 mg
Aspilet 1x80 mg
Clopidogrel 1x75 mg
Simvastatin 1x20 mg
Lantus 1 x 12 unit

3.2. Analisa Data


No. Data Masalah Keperawatan Etiologi
3. DATA SUBJEKTIF: Pola nafas tidak efektif Akumulasi cairan
- Pasien mengeluh sesak napas sejak hari diintersitial paru,
sabtu (2 hari SMRS) dan memberat tadi peningkatan usaha
malam pukul 02.00 pagi. Dyspnea ada, pernafasan
paroksimal nocturnal dipsnea ada,
ortopnea ada.
- Pasien mengatakan masih merasa sesak

37
cepat lelah dan capek.
DATA OBJEKTIF:
- Pengkajian pernapasan:
Inspeksi : menggunakan otot bantu bantu
pernapasan tambahan
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : bunyi perkusi resonan
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+,
ronchi halus +/+ di sepertiga basal paru,
wheezing tidak ada.
- TTV  TD: 198/120 mmHg; HR : 70
x/menit; RR : 26 x/menit (takipnea); S :
36,9oC; SaO2 : 100%.
- Rontgen (4/05/2015): terdapat kongesti,
CTR 55%.
3. DATA SUBJEKTIF: Gangguan rasa nyaman : peningkatan
pasien mengeluh nyeri kepala sejak tadi sakit kepala tekanan vaskuler
malam saat terasa sesak nafas yang serebral
memberat.

DATA OBJEKTIF:
- Pengkajian Nyeri (PQRST)
P (provoke) : nyeri kepala dirasakan saat
pasien sedang beristirahat, ketika gejala
sesak napas muncul sejak semalam, dan
nyeri sedikit hilang jika pasien tidur.
Q (quality) : nyeri kepala terasa
nyutnyutan
R (radiation) : nyeri kepala tidak
menjalar ke daerah lain
S (severe) : nyeri skala 2-3 dari skala 10

38
T (time) : nyeri dirasakan sejak tadi
malam pukul 02.00 pagi.
- Tanda vital : Kesadaran : composmentis;
TD : 198/120 mmHg; MAP : 146 mmHg;
HR : 70 x/menit; RR : 26 x/menit; S :
36,9oC; SaO2 : 100%.
- pasien tampak terlihat sedikit kesakitan
4. DATA SUBJEKTIF: Resiko penururnan Peningkatan
Pasien mengatakan mudah lelah dan sesak curah jantung afterload
saat beraktivitas
DATA OBJEKTIF:
- TTV  kesadaran: composmentis, TD:
198/120 mmHg; MAP : 146 mmHg; HR :
70 x/menit; RR : 26 x/menit; S : 36,9 oC;
SaO2 : 100%
- hasil EKG : sinus rhythm dengan disertai
old infark di bagian inferior
- Pasien post PCI 1 stent karena CAD 1
VD pada bulan Januari 2015
- Akral hangat, asianosis, capillary refill <3
detik, tidak ada edema, ekstremitas
motorik baik, pulsasi arteri dorsalis
perifer sinistra/dekstra kuat.

3.3. Diagnosa Keperawatan


3.3.1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi cairan interstisial paru,
peningkatan usaha pernafasan.
3.3.2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan
vaskuler serebral.
3.3.3. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afrterload.

39
3.4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No. Tujuan Intervensi Keperawatan
keperawatan
1. Pola nafas tidak Tujuan : Mandiri
efektif Setelah dilakukan tindakan - Monitor pola napas (kedalaman
berhubungan keperawatan selama kurang dari pernafasan, frekuensi dan ekspansi
dengan 8 jam jam pola nafas efektif. dada, penggunaan otot bantu
akumulasi cairan Kriteria hasil : pernapasan)
diintestisial paru sesak berkurang, tidak adanya - Auskultasi bunyi nafas dan catat
bunyi nafas tambahan, tidak adanya bunyi nafas tambahan.
menggunakan otot bantu - Berikan posisi fowler.
pernafasan. Kolaborasi.
- Berikan terapi oksigen dengan nasal
kanul 3 L/menit.
- Kolaborasi dalam memberikan
terapi nitrogliserid 30 mcg/menit ,
ekstra lasix 2 ampul.
2. Gangguan rasa Tujuan : Mandiri
nyaman : nyeri setelah dilakukan tindakan - Pertahankan tirah baring,
kepala b.d keperawatan selama 8 jam lingkungan yang tenang, sedikit
peningkatan diharapkan nyeri kepala hilang penerangan
tekanan vaskuler atau berkurang - Minimalkan gangguan lingkungan
serebral. Kriteria hasil : dan rangsangan
Ekspresi wajah rileks skala - Bantu pasien dalam ambulasi sesuai
nyeri 0/10 tanda vital batas kebutuhan
normal - Beri tindakan nonfarmakologi untuk
menghilangkan rasa sakit kepala
seperti memberikan posisi yang
nyaman, teknik relaksasi napas

40
dalam.
- Hilangkan atau minimalkan
vasokonstriksi yang dapat
meningkatkan sakit kepala misalnya
mengejan saat BAB, batuk panjang.
Kolaborasi :
- Pemberian terapi ISDN sublingual 5
mg
- Pemberian terapi Captopril 25 mg
- Pemberian terapi NTG 30
mcg/menit
- Pemberian terapi Cedocard 30
mcg/menit
3. Resiko Tujuan : Mandiri
penurunan curah Tidak terjadi penurunan cardiac - Evaluasi adanya nyeri dada
berhubungan output. - Lakukan pengecekan sirkulasi
dengan Kriteria hasil : perifer secara menyeluruh (pulsasi,
peningkatan - Tekanan darah terkontrol waktu pengisisan kapiler warna
afterload. dengan optimal (sistolik < oedem.
140mmHg, diastolic <100 - Monitor tanda-tanda vital (TTV)
mmHg dan MAP 70- secara berkala
100mmHg), pulsasi perifer - Monitor status respirasi, terkait
kuat, denyut jantung 60- dengan tanda gagal jantung.
100x/menit, haluan urin - Monitor status hidrasi secara
>0,5cc/kgBB, tanda berkala.
peningkatan JVP dan tak Kolaborasi :
terjadinya keluhan sesak - Pemberian terapi ISDN sublingual 5
nafas ketika istirahat. mg
- Kesadaran composmentis - Pemberian terapi Captopril 25 mg
- Dapat mentoleransi - Pemberian terapi NTG 30

41
aktivitasi, tidak ada kelelahan mcg/menit
- Tidak ada edema paru - Pemberian terapi Cedocard 30
perifer, dan tidak ada asites. mcg/menit

42
3.5. Implementasi dan Evaluasi Asuhan Keperrawatan
Diagnosa Paraf
Tanggal Implementasi Evaluasi
Keperawatan
4/5/2015 Pola nafas tidak Mandiri: S : Pasien mengatakan sesak napas sudah berkurang
efektif - Melakukan monitoring pola napas (kedalaman dan tidak memberat seperti sebelumnya lagi,
berhubungan pernafasan, frekuensi, penggunaan otot bantu pasien juga mengatakan merasa lebih nyaman.
dengan pernapasan) O : - TTV  TD: 136/82 mmHg; HR: 72 x/menit;
akumulasi cairan - Mengauskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi RR: 20 x/menit, Sa O2: 100%.
- Pola pernapasan tidak menggunakan otot bantu
interstisial paru, nafas tambahan.
pernapasan, suara napas vesikuler +/+, ronchi
peningkatan - Memberikan posisi fowler
halus +/+ berkurang dari sebelumnya, wheezing
usaha Kolaborasi:
tidak ada.
pernafasan. - Memberikan terapi oksigen dengan nasal kanul 3
A : masalah pola napas tidak efektif teratasi
L/menit. P : pasien direncanakan untuk rawat jalan.
- Memberikan terapi nitrogliserid 30 mcg/menit ,
ekstra lasix 2 ampul.

43
4/5/2015 Gangguan rasa Mandiri: S : Pasien mengatakan nyeri kepala berkurang dan
nyaman : nyeri - Mempertahankan tirah baring, memberikan merasa lebih nyaman, skala nyeri 0-1 dari skala 10.
kepala b.d lingkungan yang tenang. O : - TTV  TD: 136/82 mmHg; HR: 72 x/menit;
- Membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan
peningkatan RR: 20 x/menit, Sa O2: 100%.
aktivitas sesuai kebutuhan - Wajah pasien nampak lebih relaks
tekanan vaskuler
- Memberikan tindakan nonfarmakologi untuk A : gangguan rasa nyaman : nyeri kepala teratasi
serebral.
menghilangkan rasa sakit kepala seperti memberikan P : pasien direncanakan untuk rawat jalan.
posisi yang nyaman
- Meminimalkan vasokonstriksi yang dapat
meningkatkan sakit kepala misalnya mengejan saat
BAB, batuk panjang.
Kolaborasi:
- Memberikan terapi ISDN sublingual 5 mg
- Memberikan terapi Captopril 25 mg
- Memberikan terapi NTG 30 mcg/menit
- Memberikan terapi Cedocard 30 mcg/menit
4/5/2015 Resiko Mandiri: S : pasien mengatakan tidak merasakan nyeri dada,
penurunan curah - Mengkaji adanya nyeri dada sesak napas berkurang, dan sudah lebih nyaman.
berhubungan - Melakukan pengecekan sirkulasi perifer secara O: - Kesadaran compos mentis, akral hangat,
dengan menyeluruh (pulsasi, waktu pengisisan kapiler warna capillary refill <2 detik, ekstremitas motorik

44
peningkatan oedem. baik, pulsasi arteri dorsalis perifer
afterload. - Memonitoring tanda-tanda vital (TTV), kesadaran sinistra/dekstra kuat.
secara berkala - TTV  TD: 136/82 mmHg (MAP: 100
- Memonitoring status respirasi, terkait dengan tanda mmHg); HR: 72 x/menit; RR: 20 x/menit, Sa
gagal jantung. O2: 100%
- Memonitoring status hidrasi secara berkala. - BAK dengan dibantu oleh bedpan. Intake : 700
Kolaborasi: cc; urin output : 1300 cc  BC : - 600 cc
- Memberikan terapi ISDN sublingual 5 mg (selama 8 jam)
- Memberikan terapi Captopril 25 mg A : penurunan curah jantung tidak terjadi
- Memberikan terapi NTG 30 mcg/menit P : Lanjutkan terapi
- Memberikan terapi Cedocard 30 mcg/menit

45
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny. H usia 35 tahun datang ke IGD RSPJNHK 4 Mei 2015 pukul 08.45 WIB,
diagnosa medis hipertensi emergensi. Pasien mengeluh sesak napas sejak hari sabtu (2 hari
SMRS) dan memberat tadi malam pukul 02.00 pagi. Dyspnea ada, paroksimal nocturnal
dipsnea ada, ortopnea ada, berkeringat dingin, terasa nyeri kepala, nyeri dada tidak ada.
Pasien juga mengeluh sakit kepala, nyeri skala 2-3/10. Pasien mengatakan sudah menderita
hipertensi sejak usia 20 tahun. Pasien juga merupakan pasien lama PJNHK dengan CAD
1VD post PCI bulan Januari 2015.
Pada saat awal di IGD, TD : 198/120 mmHg (MAP : 146); HR : 70 x/menit; RR : 26
x/menit; S : 36,9oC; SaO2: 100%. Penatalaksanaan Ny. H saat di IGD diantaranya dengan
bedrest, pemberian posisi fowler selama di IGD dengan pemberian bantuan terapi O 2 dengan
nasal kanul 3 L/menit. Kemudian pasien diberikan terapi kolaborasi ISDN sublingual 5 mg
dan Lasix extra 2 ampul (40 mg). Nitrat bertujuan untuk memvasodilatasi arteri dan vena
sehingga dapat menurunkan afterload yang akhirnya akan menurunkan tekanan darah
Tekanan darah pasien setelah pemberian terapi ISDN dan lasix adalah 180/110 mmHg (MAP:
134 mmHg) pada pukul 09.00 WIB.
Kemudian pasien dilanjutkan dengan pemberian terapi captopril 25 mg sublingual.
Captopril termasuk ke dalam golongan ACE inhibitor yang berfungsi untuk mencegah
pembentukan angiotensin II yang bersifat vasokonstriktor kuat. Jadi dengan pemberian
captopril diharapkan dapat memvasodilatasi pembuluh darah yang akan menurunkan
afterload (beban akhir jantung), dan menurunkan resistensi perifer yang akan menurunkan
tekanan darah. Setelah pemberian captopril, TD menjadi 166/110 mmHg (MAP : 129 mmHg)
pada pukul 10.00 WIB.
Selanjutnya pasien diberikan NTG drip 30 mcg/menit pada pukul 13.00 WIB, TD
menjadi 148/86 mmHg (MAP: 107 mmHg). Dilanjutkan dengan pemberian cedocard 30
mcg/menit pada pukul 14.00 WIB. Kemudian TD pasien 120/88 mmHg (MAP : 98 mmHg),
HR : 90 x/menit, RR : 21 x/menit. Dan pasien direncanakan untuk rawat jalan sore harinya.
Pengontrolan yang ketat harus dilakukan pada pasien hipertensi emergensi terutama
pada penurunan tekanan darah. Biasanya tekanan darah diturunkan berdasarkan MAP 20-
25% agar tidak terjadi penurunan tekanan darah yang terlalu rendah sehingga dapat
menyebabkan iskemia organ atau infark. Penurunan tekanan darah pada pasien yang
menderita hipertensi emergensi yang khusus yaitu obat-obat yang mempunyai sifat kerja

46
cepat, efektif, aman dan sedikit efek samping (Aziz, 2010). Manajemen tekanan darah
dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat. Pasien harus berada di dalam ruangan
IGD agar monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat.
Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean
Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal, pada pasien Ny. H penurunan MAP 11,6%
dalam 1 jam pertama. Selanjutnya, penurunan MAP 15% pada 2-3 jam berikutnya, pada
pasien ini terjadi penurunan MAP 17%. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan
akan mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi, namun pada
pasien Ny. H, pasien mengatakan sesak napas berkurang, sakit kepala berkurang, tidak ada
pusing.
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada
kerusakan organ target. Pada pasien Ny. H yang memiliki riwayat CAD 1 VD post PCI bulan
Januari 2015. Oleh karena itu, terapi kegawatdaruratan yang utama untuk jantung seperti
iskemik akut pada otot jantung, edema paru. Berdasarkan hasil foto thoraks didapatkan
adanya kongesti dan hipervaskularisasi pada paru, dan didapatkan suara ronchi basah halus di
1/3 basal paru. Kondisi tersebut merupakan suatu kondisi dekompensasi akut yang dapat
memperburuk kondisi pasien. Kondisi tersebut dapat diatasi dengan pemberian terapi
nitroglycerin yang bertujuan untuk memvasodilatasi pembuluh darah sehingga akan
meningkatkan ruang kapiler pulmonal yang akan menarik cairan yang berada di interstitial
pulmonal. Selanjutnya, untuk mengurangi kelebihan volume cairan pulmonal, pasien
diberikan terapi Lasix ekstra 2 ampul (40 mg) yang bertujuan untuk mengeluarkan kelebihan
cairan sehingga dapat mengurangi kongesti dan sesak.
Pada kasus Ny. H, setelah kami melakukan pengkajian keperawatan didapatkan
beberapa diagnosa keperawatan yang pertama adalah pola nafas tidak efektif berhubungan
dengan akumulasi cairan interstisial paru, peningkatan usaha pernafasan. Implementasi
keperawatan yang dilakukan diantaranya melakukan monitoring pola napas (kedalaman
pernafasan, frekuensi, penggunaan otot bantu pernapasan); mengauskultasi bunyi nafas dan
catat adanya bunyi nafas tambahan; memberikan posisi fowler; memberikan terapi oksigen
dengan nasal kanul 3 L/menit. Hasil dari implementasi yang telah dilakukan adalah masalah
ketidakefektifan pola napas teratasi sebagian yang ditandai dengan pasien mengatakan sesak
napas sudah berkurang dan tidak memberat seperti sebelumnya lagi, pasien juga mengatakan
merasa lebih nyaman. Selain itu, pola pernapasan tidak menggunakan otot bantu pernapasan,
suara napas vesikuler +/+, ronchi halus +/+ berkurang dari sebelumnya.

47
Diagnosa keperawatan yang ke dua yaitu gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan
dengan peningkatan tekanan vaskular serebral. Adapun implementasi keperawatan yang
dilakukan diantaranya adalah mempertahankan tirah baring, memberikan lingkungan yang
tenang; membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sesuai kebutuhan;
memberikan tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan rasa sakit kepala seperti
memberikan posisi yang nyaman. Hasil dari implementasi yang telah dilakukan adalah
gangguan rasa nyaman teratasi. Pasien mengatakan nyeri kepala berkurang dan merasa lebih
nyaman, skala nyeri 0-1 dari skala 10.
Diagnosa keperawatan yang ke tiga adalah resiko penurunan curah jantung
berhubungan dengan peningkatan afrterload. Implementasi yang dilakukan diantaranya
mengkaji adanya nyeri dada; melakukan pengecekan sirkulasi perifer secara menyeluruh
(pulsasi, waktu pengisisan kapiler warna, edema); memonitoring tanda-tanda vital (TTV),
kesadaran secara berkala; monitor status respirasi; terkait dengan tanda gagal jantung;
monitoring status hidrasi secara berkala.
Pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan hipertensi sangat penting dalam
upaya untuk mencapai hasil yang optimal dan mencegah kerusakan organ, monitoring
ketepatan terhadap regeimen terapi, perubahan gaya hidup, kepatuhan pasien dalam
melakukan dan menjalani terapi karena penanganan hipertensi memerlukan kolaborasi dan
kombinasi terapi farmakologi dan non-farmakologis jangka panjang atau seumur hidup.
Perlunya keterlibatan keluarga dalam pemberian pendididkan kesehatan disamping untuk
memberiakan dukungan kepada pasien hipertensi selama menjalani terapi juga penting untuk
mencegah terjadinya hipertensi pada keluarga pasien tersebut.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

48
5.1 Kesimpulan
Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat berkembang. Kebanyakan
penderita hipertensi lalai dengan pengobatannya, karena hipertensi umumnya tidak
menyebabkan gangguan. Oleh karena itu, hipertensi sering kali disebut sebagai pembunuh
diam-diam (the silent killer). Tekanan sistolik dan diastolik dapat bervariasi pada tingkat
individu.
Penegakan diagnosa hipertensi tidak hanya berdasarkan keluhan pasien saja,
namun juga dapat didukung dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto rontgen,
dan pemeriksaan laboraturium. Hipertensi emergensi merupakan hipertensi dengan
kondisi khusus yang perlu penanganan yang cepat dan tepat. Penanganan yang cepat tepat
dapat menghindarkan pasien dari kondisi yang lebih buruk akibat komplikasi kerusakan
organ target. Monitoring yang ketat dan terapi yang tepat dapat mencegah hal tersebut.
Pada kasus Ny. H dengan diagnosa hipertensi emergensi ini, dapat ditangani
dengan cepat di IGD. Sehingga baik keluhan dari tanda dan gejala dapat ditangani, seperti
sesak yang memberat menjadi hilang, tekanan darah yang menjadi normal, dan
pencegahan komplikasi dari hipertensi emergensi dapat ditangani.

5.2 Saran
Peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan selain kolaborasi dalam
penatalaksanaan kegawatan dari hipertensi emergensi, perawat berperan dalam
memberikan edukasi kesehatan, sehingga pasien dapat mengetahui penyebab terjadinya
hipertensi, mengetahui pentingnya mengkonsumsi obat secara teratur, mengetahui dan
menjaga nutrisi yang dikonsumsi, serta mengetahui pentingnya olahraga dan menjaga
kesehatan dirinya. Tujuan dari pemberian edukasi kesehatan adalah agar tercapainya
kualitas hidup yang optimal. Penulisan makalah ini diharapkan dapat meningkatkan
asuhan keperawatan pada pasien hipertensi emergensi secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

49
American Heart Association. 2010. Potassium and high blood pressure. Dimuat dalam:
http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=3025146. Diunduh tanggal
10 Mei 2015
Aziz, A. S. B. (2010). Studi penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi emergensi
rawat inap du Rumkital Dr. Ramelan, Surabaya. KKB-KK-FF.142/11. Jurnal
Perpustakaan Universitas Airlangga.
Devicaesaria, Asnelia. 2014. Hipertensi Krisis. Jakarta: Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dimuat dalam:
http://cme.medicinus.co/file.php/1/LEADING_ARTICLE_Hipertensi_Kritis.pdf.
Diunduh tanggal 10 Mei 2015
Diklat RSJPDHK. 2015. Pelatihan Keperawatan Kardiovaskular Tingkat Dasar Angkatan 2
Tahun 2015. Jakarta: Divisi Pendidikan dan Latihan RSJPDHK
Fitriani, Fika. 2012. Faktor Risiko Kejadian Hipertensi yang Rawat Jalan di Rumah Sakit
Umum Labuang Baji Makassar. Makassar: STIKES Nani Hasanuddin Makassar.
Dimuat dalam: http://library.stikesnh.ac.id/files/disk1/3/e-library%20stikes%20nani
%20hasanuddin--fikafitria-128-1-artikel12.pdf. Diunduh tanggal 10 Mei 2015
Kemenkes. 2014. Penanganan Penyakit Jantung Harus Sesuai Ilmu Kedokteran Terkini dan
Mengutamakan Keselamatan Pasien. Jakarta: Pusat Komunikasi Publik Sekretariat
Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Dimuat dalam:
http://www.depkes.go.id/article/print/14112700011/penanganan-penyakit-jantung-
harus-sesuai-ilmu-kedokteran-terkini-dan-mengutamakan-keselamatan-pasien.html.
Diunduh tanggal 10 Mei 2015
Kemenkes. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Dimuat dalam:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2013.pdf. Diunduh tanggal 10 Mei 2015
Wade, A Hwheir, D N Cameron, A. 2003. Using a Problem Detection Study (PDS) To
Identify And Compare Health Care Privider And Consumer Views Of Anti
hypertension Therapy. Journal Of Human Hypertension, Jun vol 17

50

Anda mungkin juga menyukai