Teori Tetanus
Teori Tetanus
BAB II
2.3 Etiologi
C. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan
kotoran binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora,
memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora
ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Spora yang diproduksi oleh
3
bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik maupun agen
kimia. Spora C. tetani dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit
(meski hancur dengan autoclave pada suhu 121° C selama 15-20 menit). Jika
bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda lain, bakteri
ini akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang
bernama tetanospasmin. Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka
terbuka. Ketika menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang
dan melepaskan toksin tetanus. (Danawan, 2017)
2.4 Epidemiologi
Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah
kesehatan publik yang sangat besar. Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di
seluruh dunia, dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka
kematian 300.000-500.000 per tahun.
Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang,
dengan penyebab kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan
akut. Angka mortalitas menurun karena perbaikan sarana intensif (ICU dan
ventilator), membuktikan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli
sangat berguna dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus. (Danawan, 2017)
2.5 Patogenesis
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk (Rahmanto, 2017).
Bentuk vegetatif C. tetani gampang mati akibat paparan oksigen, akan tetapi spora
dapat bertahan di berbagai kondisi dan memungkinkan transmisi bakteri. Spora
dapat bertahan dari perubahan pH maupun suhu, bahkan dapat bertahan selama
autoclaving beberapa menit. Begitu spora masuk ke dalam jaringan, spora akan
berubah menjadi bentuk vegetatif. Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toxin,
yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Tetanolysin merupakan suatu hemolisin dan
bersifat oxygen labile (mudah diinaktivasi oleh oksigen), sedangkan tetanospasmin
merupakan suatu neurotoxin yang bersifat heat labile (tidak tahan panas).
4
Tetanolysin merupakan suatu toxin yang dikode oleh plasmid. Toxin ini secara
serologis mirip dengan Streptolysin O (Streptococcus pyogenes) dan hemolysin
yang dihasilkan oleh Clostridium perfringens dan Listeria monocytogenes.
Kepentingan klinis dari toxin ini tidak diketahui karena sifatnya yang mudah
dihambat oleh oksigen dan serum kolesterol.
Tetanospasmin adalah toxin yang berperan dalam manifestasi klinis dari
tetanus. Begitu toxin ini terikat dengan saraf, toxin tidak dapat dieliminasi.
Penyebaran tetanospasmin dapat melalui hematogen ataupun limfogen yang
kemudian mencapai targetnya di ujung saraf motorik. Toxin ini memiliki 2 subunit
dan 3 domain, subunit A (light chain) dan subunit B (heavy chain). Begitu toxin
disekresikan, suatu protease endogen akan memecah tetanospasmin mejadi 2
subunit. Reseptor untuk toxin ini adalah gangliosida pada neuron motorik. Domain
pengikat karbohidrat (Carbohydrate-binding Domain) pada ujung carboxy-terminal
subunit B berikatan dengan reseptor asam sialat yang spesifik dan glikoprotein pada
permukaan sel saraf motorik. Kemudian toxin akan diinternalisasi oleh vesikel
endosome. Asidifikasi endosome akan menyebabkan perubahan konformasi ujung
N-terminus subunit B, kemudian terjadi insersi subunit B kedalam membrane
endosome, sehingga memungkinkan subunit A keluar menembus membrane
endosome menju ke sitosol. Toxin mengalami retrograde axonal transport dari
perifer kemudian menu saraf presinaps, tempat toxin tersebut bekerja. Subunit A
merupaan suatu zinc-dependent metalloprotease yang memecah vesicle-associated
membrane protein-2, VAMP-2 (atau sinaptobrevin). Protein ini merupakan
komponen utama SNARE-complex yang berperan dalam endositosis dan pelepasan
neurotransmitter. Toxin ini menghambat pelepasan inhibitory neurotransmitter,
yaitu glycine dan GABA (gamma-amino butyric acid). Sehingga aktifitas motor
neuron menjadi tidak terinhibisi dan memberikan gambaran kekakuan otot, spasme
dan paralisis spastik. Proses ini terjadi di semua sinaps, termasuk neuromuscular
junction (NMJ). Otot-otot yang memiliki jaras persarafan (neuronal pathways)
terpendek akan terkena lebih dahulu, seperti otot-otot mastikasi. Sehingga pada
awal gejala timbul trismus (kaku rahang) dan disfagia.
5
2.6 Patofisiologi
C. tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka dan memproduksi
dua eksotoksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Spora bakteri ini berkembang
pada keadaan anaerobik (oksigen rendah). Toksin yang dihasilkan dapat menyebar
melalui pembuluh darah dan saluran limfatik. Selain itu, toksin dapat diabsorpsi di
tautan saraf otot yang kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan
saraf pusat (SSP). Toksin tetanospasmin adalah protein bersifat sangat toksik yang
dilepaskan oleh C. tetani.
Toksin tersebut merupakan neurotoksin poten, yang dikodekan pada
plasmid 75KB, dan diproduksi sebagai rantai tunggal (massa molekul 150kDa)
yang mengalami pembelahan pasca-translasi untuk membentuk satu rantai berat
dan rantai ringan serta dihubungkan oleh ikatan disulfida. Protein ini diserap ke
dalam sirkulasi dan mencapai ujung akson motorik di seluruh tubuh yang kemudian
diangkut secara proksimal di sepanjang sitoplasma aksonal ke inti motor di batang
otak dan medulla spinalis pada kecepatan 3 hingga 13 mm / jam.
Rantai ringan dari toksin tersebut merupakan metalloprotease yang
bergantung pada seng kemudian mengikat interneuron inhibitor yang menghasilkan
gamma-amino butyric acid (GABA) dan glisin dan menonaktifkan vesicle-
associated membrane protein 2, VAMP-2 (synaptobrevin), suatu protein yang
berperan dalam pelepasan neurotransmiter ini dari vesikel presinaptik.
Hilangnya penghambatan normal pada neuron motorik dan otonom
menimbulkan adanya pelepasan spontan impuls saraf serta respons berlebihan
terhadap rangsangan yang bermanifestasi sebagai kontraksi otot tonik dengan
kejang otot intermiten yang berlebihan. Adanya tetanospasmin pertama mencapai
nukleus motorik dari akson motorik terpendek, akan berdampak pada otot-otot yang
dipersarafi oleh saraf kranial motorik, diikuti oleh otot-otot trunkus, dan akhirnya
ekstremitas.
Toksin tetanus juga menimbulkan dampak pada sinapsis neuron eksitatori
dan dapat mengikat neuron adrenergik simpatik, yang dapat menjelaskan
disregulasi otonom yang terlihat pada tetanus. Aktivitas otonom yang berlebihan
dapat menyebabkan takikardia yang parah, perubahan tekanan darah, keringat yang
6
2.8 Klasifikasi
Terdapat 3 tipe tetanus:
a. Generalized Tetanus ini adalah bentuk paling umum. Mungkin dimulai
sebagai tetanus lokal yang menjadi umum setelah beberapa hari, atau
mungkin menyebar dari awal. Trismus sering merupakan manifestasi
pertama. Dalam beberapa kasus didahului oleh rasa kaku pada rahang
7
atau leher, demam, dan gejala umum infeksi. Kekakuan otot lokal dan
kejang menyebar dengan cepat ke otot bulbar, leher, batang tubuh, dan
anggota badan. Timbul gejala kekakuan pada semua bagian seperti
trismus, risus sardonicus (Dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut
mulut tertarik ke luar dan ke bawah), mulut mencucu, opistotonus
(kekakuan yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot
badan, trunk muscle), perut seperti papan. Bila kekakuan semakin berat,
akan timbul kejang yang terjadi secara spontan atau direspon terhadap
stimulus eksternal.
Pada tetanus yang berat terjadi kejang terus menerus atau kekuan pada
otot laring yang menimbulkan apnea atau mati lemas. Pengaruh toksin
pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama
jantung atau kelainan pembuluh darah). Kematian biasanya disebabkan
oleh asfiksia dari laringospasme, gagal jantung, atau shock, yang
dihasilkan dari toksin pada hipotalamus dan sistem saraf simpatik.
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot dan apabila berat
disfungsiotonomik.
b. Local Tetanus adalah bentuk yang paling jinak. Gejala awal adalah
kekakuan, sesak, dan nyeri di otot-otot sekitar luka, diikuti oleh
twitchings dan kejang singkat dari otot yang terkena. Tetanus lokal
terjadi paling sering dalam kaitannya dengan luka tangan atau lengan
bawah, jarang di perut atau otot paravertebral. Bisa terjadi sedikit trismus
yang berguna untuk menegakkan diagnosis. Gejala dapat bertahan dalam
beberapa minggu atau bulan. Secara bertahap kejang menjadi kurang dan
akhirnya menghilang tanpa residu. Prognosis tetanus ini baik.
c. Cephalic tetanus merupakan bentuk tetanus lokal pada luka pada wajah
dan kepala. Masa inkubasi pendek, 1 atau 2 hari. Otot yang terkena
(paling sering wajah) menjadi lemah atau lumpuh. Bisa terjadi kejang
wajah, lidah dan tenggorokan, dengan disartria, disfonia, dan disfagia.
Prognosis biasanya buruk.
8
2.9 Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
a. Anamnesa
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan atau patah tulang
terbuka, lukadengan nanah atau gigitan binatang?
Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
Apakah sedang menderita gigi berlubang?
Apakah sudah mendapatkan imunisasi DT atau TT, kapan
melakukan imunisasi yang terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme lokal) dengan kejang yang pertama.2
b. Pemeriksaan fisik
Trismus yaitu kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga
sukar membuka mulut. Pada neonatus kekakuan ini menyebabkan
mulut mencucut seperti mulut ikan, sehingga bayi tidak dapat
menyusui. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar
membuka mulut diukur setiap hari.
Risus sardonicus terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik,
sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut
mulut tertarik keluar dan ke bawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti
otot punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan
yang sangat berat dapatmenyebabkan tubuh melengkung seperti
busur
Perut papan
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang
awalnya hanya terjadi setelah dirangsang, misalnya dicubit,
digerakkan secara kasar atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun
masa istirahat kejang semakin pendek sehingga anak jatuh dalam
status konvulsivus.
9
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium untuk penyakit tetanus tidak khas, yaitu:
Lekositosis ringan
Trombosit sedikit meningkat
Glukosa dan kalsium darah normal
Enzim otot serum mungkin meningkat-
Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat5
d. Penunjang lainnya
EKG dan EEG normal
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil
dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh
dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya
tidak ditemukan.
10
2.11 Tatalaksana
2.11.1 UMUM
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan
pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
2.11.2 Obat-obatan
2.11.2.1 Antibiotika
2.11.2.2 Antitoksin
2.12 Pencegahan
Pencegahan tetanus meliputi:
Vaksin tetanus sejak 2 bulan, dengan cara memberikan imunisasi aktif (DPT
dan DT)
Berikan vaksinasi pasif dengan antitoksin
Berjalan diluar menggunakan sandal
Hindari terkena benda tajam (kaca, paku berkarat)
Bila ada luka dibersihkan dan diobati.
14
2.13 Komplikasi
Komplikasi tetanus meliputi:
Kejang otot pernafasan
Dislokasi sendi temporomandibular
Pneumonia aspirasi
Asfiksia
2.14 Prognosis
Prognosis tergantung pada periode inkubasi, waktu dari inokulasi spora ke
gejala pertama, dan waktu dari gejala pertama hingga kejang tetanik pertama.
Pernyataan berikut biasanya berlaku:
Secara umum, interval yang lebih pendek menunjukkan tetanus yang lebih
parah dan prognosis yang lebih buruk
Pasien biasanya bertahan hidup tetanus dan kembali ke kondisi kesehatan
predisease mereka
Pemulihan lambat dan biasanya terjadi lebih dari 2-4 bulan
Beberapa pasien tetap hipotonik
Tetanus klinis tidak menghasilkan keadaan kekebalan; Oleh karena itu, pasien
yang selamat dari penyakit memerlukan imunisasi aktif dengan tetanus
toksoid untuk mencegah kekambuhan