Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

“ABSES SUBMANDIBULA SINISTRA”

Oleh :
Hanna Kalita Mahandhani
G4A017077

Pembimbing :
dr. Lopo Triyanto, Sp.B-(K) Onk

SMF ILMU BEDAH RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

“ABSES SUBMANDIBULA SINISTRA”

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Bedah


RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun oleh :
Hanna Kalita Mahandhani
G4A017077

Telah disetujui
Pada Tanggal, Maret 2019

Mengetahui
Pembimbing :

dr. Lopo Triyanto, Sp.B-(K) Onk


I. STATUS PASIEN
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 79 tahun
No RM : 02088754
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Selanggeng 2/3 Mrebet, Purbalingga
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk RSMS : 1 Maret 2019
Tanggal periksa : 4 Maret 2019

B. Anamnesis
Keluhan utama :
Benjolan pada leher kiri bernanah
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluhkan muncul benjolan pada leher kiri sejak 1 bulan lalu.
Awalnya benjolan berukuran kecil seukuran kelereng dan tidak nyeri
namun lama kelamaan benjolan dirasakan semakin membesar dan
bernanah. Pasien sempat berobat ke klinik dokter umum di Purbalingga
dan mendapat antibiotik namun keluhan tidak membaik. Pasien kemudian
dibawa ke IGD RSMS pada tanggal 1 Maret 2019
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat keluhan yang sama (-)
Riwayat hipertensi (+)
Riwayat DM (+)
Riwayat Infeksi Gigi (+)
Riwayat alergi (-)
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat keluhan yang sama (+) pada ayah pasien
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat sosial ekonomi :
Pasien tinggal bersama anak dan cucunya. Pasien merupakan ibu rumah
tangga. Pasien memiliki kebiasaan makan mie instan 1x sehari dan
cemilan manis seperti biskuit. Keseharian pasien dirumah adalah
menonton televisi dan kurang beraktivitas serta jarang berolahraga.

C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di Bangsal Supardjo Roestam Bawah RSMS, 4 Maret 2019
1) Status Generalis
1. Keadaan umum : Lemah
2. Kesadaran :Compos Mentis, GCS: 15
(E4M6V5)
3. Vital sign
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Respiration Rate : 20 x/menit
Suhu : 35,7 0C
4. Berat badan : 70 kg
5. Tinggi badan : 158 cm
6. Indeks Massa Tubuh : 28.04 kg/m2
7. Status generalis
a. Kepala
Bentuk : mesochepal, simetris
Rambut : warna putih kehitaman, tidak mudah dicabut,
distribusi merata
b. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
c. Telinga : otore (-/-)
d. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-),
discharge (-/-)
e. Mulut : bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-)
f. Leher (Terdapat benjolan bernanah di leher kiri. Lihat
status lokalis)
Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
Kelenjar lymphoid : pembesaran (+), nyeri (-)
Kelenjar thyroid : tidak membesar
g. Dada
1) Paru
a) Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi(-), jejas (-)
b) Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri, ketinggalan
gerak tidak ada
c) Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
d) Auskultasi : Suara dasar vesikuler di kedua lapang paru,
wheezing(-), ronkhi (-)
2) Jantung
a) Inspeksi : ictus cordis terlihat di SIC V 2 jari medial
LMCS
b) Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial
LMCS.
c) Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV
LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jari
ke lateral LMCS
d) Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
h. Abdomen
1) Inspeksi : datar
2) Auskultasi : bising usus (+) normal
3) Perkusi : timpani di semua lapang abdomen
4) Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-)
5) Hepar : tidak teraba
6) Lien : tidak teraba
7) Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior Inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema - - - -

Sianosis - - - -

Akral dingin - - - -

2) Pemeriksaan lokalis leher


 Inspeksi :
Terdapat 1 buah benjolan pada subamndibula sinistra regio IB dengan
diameter 8 cm, daerah sekitar benjolan hiperemis, pus (+), nyeri tekan
(-), darah (-), nekrotik (+)
 Palpasi :
Teraba sebuah massa bernanah dengan diameter 8 cm pada regio
submandibula sinistra, teraba basah, permukaan tidak rata, batas tidak
tegas.

D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 4 Maret 2019
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin : 13.2 g/dl
Leukosit : 7280 U/L
Hematokrit : 41%
Eritrosit : 4.5x106/ul
Trombosit : 297.000/ul
MCV : 90.6 fL
MCH : 29.5 pg/cell
MCHC : 32.5 %
RDW : 13.8 %
MPV : 10 fL
Hitung Jenis
Basofil : 0,8%
Eosinofil : 3.3%
Batang : 0.3 %
Segmen : 60.4%
Limfosit : 28.2%
Monosit : 7.0%
PT : 10.2 detik
APTT : 37.2 detik
Kimia Klinik
Albumin : 3.99 g/dL
SGOT : 20 U/L
SGPT : 19 U/L
Ureum darah : 27.84 mg/dL
Kreatinin darah : 0.70 mg/dL
GDS : 74 mg/dL
Na : 145 mEq/L
K : 3.3 mEq/L
Cl : 105 mEq/L

E. Assesement
Abses Submandibula Sinistra

F. Planning
Insisi dan debridement
G. Follow up Pre-OP (4/03/19)
1. Subjektif
Pasien mengeluhkan benjolan pada leher kiri bernanah.
2. Objektif
TD : 150/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36.7 C
3. Pemeriksaan Status Generalis:
Kepala : mesochepal
Mata : konjungtiva anemis (-/-)
Mulut : bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-)
Leher : terdapat benjolan bernanah dengan daerah sekitar benjolan
hiperemis
Dada : simetris
Paru : gerakan simetris (+), sonor di kedua lapang paru, suara
dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
Abdomen : datar, bising usus (+) normal, timpani, nyeri tekan (-),
hepar dan lien tidak teraba
Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
4. Status Lokalis :
Pemeriksaan Leher
 Inspeksi :
Terdapat 1 buah benjolan pada regio subamndibula sinistra (regio IB)
hingga submental, daerah sekitar hiperemis, pus (+), darah (-),
nekrotik (+)
 Palpasi :
Teraba benjolan hangat dan nyeri tekan pada regio submandibula
sinistra hingga submental, permukaan tidak rata, batas tidak tegas.

Gambar 1.1 Foto Pre Insisi debridement

5. Assessment
Abeses Submandibula Sinistra
6. Planning
Insisi dan debridement

H. Follow up Post-MRM (06/03/19)


1. Subjektif
Pasien mengeluhkan nyeri pada luka operasi
2. Objektif
TD : 140/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36.8 C
3. Pemeriksaan Status Generalis:
Kepala : mesochepal
Mata : konjungtiva anemis (-/-)
Mulut : bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-)
Leher : terdapat 1 buah luka bekas operasi dengan dasar jaringan
dan otot, nanah +
Dada : simetris
Paru : gerakan simetris (+), sonor di kedua lapang paru, suara
dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
Abdomen : datar, bising usus (+) normal, timpani, nyeri tekan (-),
hepar dan lien tidak teraba
Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -

4. Status Lokalis :
Pemeriksaan leher
Terdapat 1 buah luka bekas operasi dengan dasar jaringan dan otot,
nanah +
5. Assessment
Abses Submandibula Sinistra post insisi dan debridement

6. Planning
IVFD NaCl 0.9% 20 TPM
Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr
Inj Ketorolac 2 x 30 mg
PO Amlodipin 1x10 mg
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Ruang Submandibula

Leher terdiri atas fasia servikal superfisial dan profunda yang


memisahkan struktur menjadi beberapa bagian. Ruang leher bagian
dalam dibentuk dari fasia ini, namun fasia servikal superfisial dari leher
tidak ikut berperan untuk terjadinya infeksi leher dalam. Ruang fasial
wajah dan leher merupakan daerah jaringan penyambung longgar,
dimana memungkinkan menjadi daerah pembentukan abses sesuai
dengan perluasan jalannya infeksi. Ruangan ini dikelilingi oleh selubung
fasia yang merupakan lapisan penyambung padat menutupi otot dan
organ. Fungsi selubung ini adalah untuk memberi perlindungan juga
memungkinkan pencegahan terjadinya pergerakan struktur satu dan
lainnya.1

Fasia kepala dan leher dalam membungkus otot dan organ-organ


viscera leher, kemudian membentuk dasar dan ruangan yang membatasi
penyebaran infeksi, diantaranya : ruang submandibula, ruang faring
lateral, ruang retrofaring, ruang bahaya (danger space) dan ruang
prevertebra. Infeksi pada ruang-ruang ini mempunyai efek yang sangat
fatal dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas atau meluas kedaerah
vital seperti mediastinum dan atau carotid sheath.1

Fasia servikal terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang


membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah yang membagi leher
menjadi ruang potensial. Fasia servikal terbagi menjadi dua bagian yaitu
fasia servikal superfisial dan fasia servikal profunda. Fasia servikal
superfisial yang disebut juga panikulus adiposus menutupi seluruh leher
dan berlanjut ke muskulus platisma di sebelah anteriornya. Fasia
servikalis profunda atau yang disebut juga deep cervical fascia terbagi
menjadi tiga lapis yaitu lapisan superfisial, lapisan media dan lapisan
profunda.
Batas-batas anatomi setiap ruang submandibular adalah: otot
milohioid pada bagian superior. Kulit, fasia superficial, otot platysma dan
lapisan superfisial dari fasia servikalis pada bagian inferior dan lateral.
Permukaan medial mandibula pada bagian anterior dan lateral. tulang
hyoid pada bagian posterior. Bagian anterior dari otot digastrikus pada sisi
medial.5

Gambar 2.1 Anatomi ruang submandibula

Ruang submandibula terletak di anterior dari ruang parafaring,


sebelah inferior berbatasan berbatasan dengan lapisan superfisial fascia
servikalis profunda, meluas dari os hyoid sampai ke mandibula, bagian
inferiornya berbatasan dengan korpus mandibulla dan bagian superior
dengan mukosa dari dasar mulut. Ruang submandibula terdiri dari ruang
sublingual bagian superior dan bagian inferior ruang submaksilla, yang
dipisahkan oleh muskulus milohyoideus. Ruang sublingual berisi kelenjar
sublingual, n. Hipoglossus dan duktus Whartons. Ruang submaksila
dibagi oleh m. Digastrikus anterior menjadi kompartemen sentral,
kompartemen submental, dua kompartemen lateral dan kompartemen
submaksilla. Semua bagian ini saling berhubungna, oleh karena kelenjar
submaksilla sepanjang tepi posterior m. Milohyoideus sampai ke ruang
sublingual sehingga dapat menyebablan penyebaran infeksi secara
langsung4.

Otot milohioid berperan penting dalam penyebaran infeksi yang


bersumber dari gigi. Otot ini menempel ke mandibula dan, meninggalkan
akar dari gigi molar kedua dan ketiga di bawah garis milohioid dan
puncak dari molar pertama atas. Kebanyakan infeksi molar apikal
melubangi mandibula pada sisi lingual, jadi jika puncak gigi berada di
atas garis milohioid itu akan melibatkan ruang sublingual jika perforasi
terjadi pada bagian bawah garis milohioid maka yang terkena adalah
ruang submandibula. Pasien dengan infeksi pada daerah submandibula
umumnya akan mengalami demam, trismus, pembengkakan pada leher
daerah submandibula, kesulitan dalam membuka mulut dan makan. 7

Posisi akar gigi terhadap linea obliqua mandibula memberikan


gambaran klinis penyebaran infeksi odontogenik dari akar gigi. Infeksi
yang berasal dari akar gigi yang terletak superior terhadap linea obliqua
mandibula yaitu dari gigi insisivus sampai molar pertama pada umumnya
memberikan gejala awal pada daerah submentalis sedangkan infeksi yang
berasal dari akar gigi yang terletak inferior terhadap linea obliqua
mandibula yaitu pada gigi molar umumnya bermanifestasi di ruang
submandibula. Infeksi gigi periapikal umumnya menembus korteks
lingual dari mandibula dan timbul di ruang submandibula.9, 10

B. EPIDEMIOLOGI

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai


pembentukan pus pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan
salah satu infeksi pada leher bagian dalam. Pada umumnya sumber
infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi,
dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga
kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.11
Abses submandibula sudah semakin jarang dijumpai, hal ini
disebabkan penggunaan antibiotik yang luas dan kesehatan mulut yang
meningkat.11 Rana dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa diantara
abses leher dalam, abses submandibula merupakan abses leher dalam yang
paling sering terjadi (60%),diikuti oleh abses parafaring (16%), abses
parotis (6%) dan abses retrofaring (4%). 6

Penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo ditemukan bahwa


penderita abses submandibula berusia antara 12 sampai 96 tahun dengan
rata-rata usia sekitar 57 tahun. Angka kejadian abses submandibula
lebih banyak ditemukan pada laki-laki (51,9%) dibanding perempuan
(48,1%).12 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian secara retrospektif
dibagian Rekam Medik RSU Prof. DR. R. D. Kandaou, Manado, didapati
jumlah penderita Abses Submandibula yang datang di bagian poli bedah,
IRD Bedah dan Irna A Rumah Sakit Umum Prof. DR. R. D. Kandaou
Manado, pada periode Juni 2009 sampai Juli 2012 adalah 39 orang.
Diantara penderita-penderita Abses Submandibula didapatkan bahwa
mayoritas penderita abses Submandibula adalah pria dengan presentasi
53% dibandingkan dengan wanita yang hanya mencapai 43% 11. Selain
pada pria presentasi penderita Abses Submandibula terbanyak juga
terdapat pada kelompok umur >50 tahun mencapai 33%. Berdasarkan
penelitan Abses submandibula ini didapatkan juga pada anak-anak
dengan usia termuda 1 tahun dan yang tertua pada umur 70 tahun,oleh
karena itu tidak ada batasan umur pada abses submandibula, seperti
yang diungkapkan oleh Sakaguchi bahwa Abses Submandibula
dapat ditemui dari umur 1-81 tahun.11

C. ETIOLOGI

Abses submandibula merupakan salah satu abses odontogenik


yang cukup sering ditemui, khususnya di masa pancaroba saat daya tahan
tubuh manusia relatif menurun sehingga tubuh tidak mampu melawan
bakteri Abses ini berasal dari gigi premolar atau molar rahang
bawah.yang meluas ke arah lingual di bawah m. Mylohyoid.18 Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo, penyebab tersering abses
submandibula adalah infeksi pada gigi (46,9%). Selain disebabkan oleh
infeksi gigi, infeksi di ruang submandibula bisa disebabkan oleh
sialadenitis kelenjar submandibula, limfadenitis, trauma, atau
pembedahan dan bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam
lain. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman aerob, anaerob atau
campuran. 12
Sumber infeksi dari abses leher dalam pada orang dewasa dan
anak-anak terdapat perbedaan yaitu pada orang dewasa sumber infeksi
biasanya berasal dari gigi dan kelenjar ludah sedangkan pada anak-anak
penyebaran infeksi ke ruang leher dalam terutama berasal dari infeksi
dari daerah tonsil dan faring.1,9,14 Higiene orodental yang buruk merupakan
faktor predisposisi terjadinya abses submandibula.
Faktor predisposisi yang lainnya adalah adanya penyakit sistemik
seperti diabetes melitus dan penyakit imunodefisiensi karena penyakit-
penyakit tersebut yang dapat mempermudah perkembangan bakteri serta
penyebaran infeksi.1,6,12 Pada penelitan yang dilakukan oleh Rana dkk pada
tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 didapatkan penyebab tersering
terjadinya abses leher dalam adalah infeksi yang berasal dari gigi (48%),
diikuti oleh infeksi pada tonsil (14%).6

Pada era preantibiotik , organisme yang paling sering terisolasi


dari leher dalam abses ruang leher dalam adalah Staphylococcus aureus.
Sejak diperkenalkannya antibiotik , streptokokus aerob dan non-
streptokokus anaerob menjadi agen penyebab infeksi leher dalam,
Tetapi kebanyakan infeksi leher dalam bersifat polimikrobial.8
Organisme penyebab yang paling umum ditemukan dari hasil kultur
adalah Streptokokus viridians, Stafilokokus epidermidis, Stafilokokus
aureus, Streptokokus β hemolitikus, Bacteroides, fusobacterium,
spesies Peptostreptokokus, Neisseria, Klebsiella pneumoniae dan
pseudomonas.1,12 Pada abses submandibula yang bersumber dari infeksi
gigi, bakteri yang paling sering ditemukan adalah grup Streptokokus
dan bakteri anaerob.10,15 Jenis streptokokus yang paling sering ditemukan
pada penderita abses submandibula yang disebabkan oleh infeksi gigi
adalah Streptokokus viridians sedangkan pada abses submandibula yang
tidak disebabkan oleh infeksi gigi, kuman yang paling sering ditemukan
adalah Stafilokokus aureus.3,7 Klebsiella pneumoniae merupakan
bakteri aerob gram negatif yang paling banyak ditemukan pada
pasien diabetes melitus.14

D. PATOGENESIS

Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam satu kantung


yang terbentuk dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi
oleh bakteri, parasit atau benda asing lainnya. Abses merupakan reaksi
pertahanan yang bertujuan mencegah agen-agen infeksi menyebar ke
bagian tubuh lainnya. Pus itu sendiri merupakan suatu kumpulan sel-sel
jaringan lokal yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab infeksi
atau benda-benda asing dan racun yang dihasilkan oleh organisme dan
sel-sel darah.1,2 Bakteri yang masuk kedalam jaringan yang sehat dapat
menyebabkan terjadinya infeksi. Sebagian sel mati dan hancur,
meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan se- sel yang terinfeksi.
Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan
infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri
maka sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang
membentuk pus dan mengisi rongga tersebut. Adanya penimbunan pus
ini menyebabkan jaringan disekitarnya akan terdorong dan tumbuh di
sekeliling abses menjadi dinding pembatas.17,18

Infeksi ruang leher dalam dapat terjadi melalui beberapa cara


yaitu limfogen, hematogen, perkontinuitatum dan infeksi langsung.
Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan
lokasi anatomi. Ruang submandibula terletak diantara otot dan kulit
milohyoid yang memiliki batas posterior yang terbuka sehingga
berhubungan dengan ruang di dekatnya. Saat ruang submandibula
mengalami infeksi, pembengkakan dimulai pada batas inferior lateral dari
mandibula dan meluas ke medial menuju area digastrikus dan ke
posterior menuju tulang hyoid.14,18

Beberapa penelitian melaporkan bahwa infeksi gigi atau


odontogenik merupakan penyebab terbanyak dari abses submandibula.
Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi
dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Pada
infeksi odontogenik perkembangan infeksi dapat terjadi antara satu hari
sampai tiga minggu. Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang
mastikator kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga
dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat
menjalar ke daerah potensial lainnya.7,12
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar melalui jaringan
ikat, pembuluh darah, dan pembuluh limfe. Yang paling sering terjadi
adalah perkontinuitatum karena adanya celah atau ruang diantara jaringan
yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Perjalanan infeksi
pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses
gingiva, thrombosis sinus kavernosus, abses labial, dan abses fasial.
Perjalanan infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses
sublingual, submental, abses submandibula, abses submaseter, dan
angina Ludovici. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang
bawah linea milohioid yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga
jika molar kedua atau ketiga terinfeksi dan membentuk abses,
pusnya akan menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke
ruang parafaring.23

E. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang paling umum adalah demam,
nyeri dan pembengkakan di bawah rahang pada satu atau kedua sisi yang
dirasakan nyeri. Lamanya gejala ini bervariasi antara 12 jam sampai 28
hari dengan rata-rata 5 hari. Gejala lain yang dapat timbul adalah
perubahan suara, odinofagia, disfagia dan trismus. Pasien dapat menjadi
dehidrasi karena kurangnya asupan nutrisi dan cairan.1,2 Pada anamnesis
perlu ditanyakan riwayat sakit gigi, faktor predisposisi seperti
diabetes melitus, imunodefisiensi, riwayat penyalahgunaan obat dan
terapi yang telah diberikan kepada pasien.1,2,10,13 Gejala dapat bervariasi
tergantung dari progresivitas penyakit. Abses leher dalam yang berat
dapat menimbulkan gejala lain yang merupakan manifestasi dari
komplikasi abses leher dalam seperti gangguan jalan napas, syok septik
dan mediastinitis.2,12

Dari anamnesa juga ditanyakan adanya riwayat penyakit infeksi


lain yang dapat menjadi sumber infeksi dari abses submandibula
diantaranya adalah infeksi gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula, adanya trauma serta kelanjutan infeksi dari ruang leher
dalam lainnya.3-5 Adanya faktor predisposisi dari abses submandibula
yaitu higiene orodental yang buruk, diabetes melitus serta adanya
penyakit imunodefisiensi dapat diperoleh juga dari anamnesa.6,12 Rana
dkk menyatakan bahwa gejala berupa bengkak dan nyeri merupakan
keluhan utama sebagian besar dari abses leher dalam. Dari 50 pasien
abses leher dalam sebanyak 96% pasien mengeluh adanya
pembengkakan, sebanyak 92% pasien mengeluh nyeri dan 66% pasien
mengeluh demam.6

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo pada tahun


1998-2006 di Rumah Sakit Treviso, Italia, gejala klinis yang sering
terjadi pada pasien dengan abses submandibula adalah prmbengkakan
pada leher (98,8%) dan sulit menelan (35,8%). Gejala lain yang sering
ditemukan adalah 23,5% pasien mengeluh demam, 24,7% mengeluh
12.
nyeri dan 17,3% pasien mengeluh adanya trismus. Pada pemeriksaan
fisik infeksi di ruang submandibula biasanya ditandai dengan
pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral yang nyeri
tekan, hiperemi dan berfluktuasi. Pembengkakan di bawah rahang dapat
juga disertai dengan pembengkakan di bawah lidah serta adanya
trismus.1,4,6 Terdapat adanya pus pada aspirasi yang dilakukan di tempat
pembengkakan tersebut.14

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan lekositosis.


Pemeriksaan lekosit secara serial merupakan cara yang baik untuk
menilai respons terapi.2,5 Pemeriksaan glukosa darah diperlukan untuk
mencari faktor predisposisi. Pemeriksaan elektrolit darah diperlukan
untuk menilai keseimbangan elektrolit yang mungkin terjadi akibat
gangguan asupan cairan dan nutrisi.5 Pada abses leher dalam harus
dilakukan pemeriksaan kultur bakteri dan uji sensitivitas terhadap
antibiotika.2,3,5 Aspirasi pus untuk kultur dan uji sensitivitas harus
dilakukan sebelum pemberian antibiotika secara empiris.5 Sedapat
mungkin dilakukan kultur aerob dan anaerob. Pus dari aspirasi akan
memberikan hasil kultur yang paling akurat. Hasil kultur yang negatif
dapat memberi kesan bahwa penyebab abses leher dalam adalah infeksi
oleh bakteri anaerob.3

Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya


abses pada gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses
leher dalam yang diduga sumber infeksinya berasal dari gigi.15
Pemeriksaan foto polos jaringan lunak leher posisi anteroposterior dan
lateral dapat digunakan untuk mendiagnosa adanya proses infeksi di
ruang leher dalam dengan adanya udara di daerah subkutan, adanya
pembengkakan, gambaran cairan di daerah jaringan lunak serta adanya
penyempitan di saluran nafas akibat pendorongan trakea.3,4

Pemeriksaan foto polos dada dilakukan untuk mengetahui adanya


komplikasi dengan didapatkannya gambaran pneumotoraks serta
pneumomediastinum yang merupakan indikator pembentukan abses
yang berasal dari leher dalam.3,4 Jika hasil pemeriksaan foto polos
jaringan lunak menunjukkan kecurigaan abses leher dalam, maka
idealnya dilakukan pemeriksaan Computed Tomography scan atau CT
scan dengan kontras yang merupakan standar untuk evaluasi infeksi leher
dalam. Pemeriksaan ini dapat menentukan lokasi dan perluasan abses,
adanya pelebaran mediastinum akibat mediastinitis, adanya
edema paru serta pneumomediastinum akibat komplikasi.3,4,19 Pada
CT scan dengan kontras akan terlihat abses berupa daerah hipodens
yang berkapsul, dapat disertai udara di dalamnya, dan edema jaringan
sekitarnya. CT scan memiliki sensitifitas 90% dan spesifisitas 60%.3,19
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah Magnetic Resonance Imaging
atau MRI yang dapat mengetahui lokasi abses, perluasan dan sumber
infeksi, sedangkan Ultrasonografi atau USG adalah pemeriksaan
penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif lebih murah
dibandingkan CT scan serta dapat menilai lokasi dan perluasan abses.3,4

F. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari abses submandibula adalah limfadenitis, abses

submaseter, abses bukal, sialodenitis dan neoplasma di daerah leher.3,6,11

G. TATA LAKSANA

Penilaian keadaan umum pasien penting dalam penatalaksanaan


abses leher dalam. Prioritas utama adalah stabilisasi jalan napas,
pernafasan dan sirkulasi. Karena abses leher dalam memiliki potensi
untuk mengancam nyawa maka pasien harus dirawat di rumah sakit.
Penatalaksanaan abses submandibula dapat dilakukan dengan
memberikan terapi antibiotik yang adekuat dan drainase abses.1,14
Drainase abses dapat dilakukan dengan aspirasi abses yang kemudian
dilanjutkan dengan insisi dan eksplorasi, tergantung pada luasnya
abses dan komplikasi yang ditimbulkannya.4,8,9 Evakuasi abses dapat
dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum.4 Insisi
abses submandibula untuk drainase dibuat pada tempat yang paling
berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses. Insisi
tersebut sedapat mungkin sejajar dengan garis lipatan kulit alamiah
menembus jaringan subkutan, muskulus platisma sampai ke fasia servikal
profunda. Diseseksi tumpul dengan hemostat dilakukan sampai ke dalam
rongga abses dan kemudian dilakukan drainase abses. Setelah itu rongga
abses diirigasi dengan larutan garam fisiologis dan dipasang drain.4,12

Perlu diperhatikan, dalam 4 sampai 8 jam pertama sebaiknya


dilakukan observasi dan penatalaksanaan awal dengan pemberian
antibiotik intravena dan hidrasi. Hal ini dilakukan sambil mengawasi
perkembangan keadaan pasien jika diperlukan sebaiknya dilakukan
drainase. Perkembangan gejala yang menunjukkan perlunya dilakukan
drainase adalah apabila terjadi demam persisten, nyeri, bengkak dan
peningkatan WBC (white blood cell). Indikasi lainnya untuk dilakukan
drainase meliputi potensi kompromi jalan napas, kondisi kritis karena
komplikasi atau septikemia, dan melibatkan beberapa ruang. Drainase
dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan termasuk drainase
transoral, dan aspirasi jarum. Setelah mengakses rongga , sampel pus atau
jaringan debridement harus dikumpulkan untuk kultur dan sensitivitas .8

Pilihan antibiotika ini tergantung pada bakteri penyebabnya yang


didasarkan atas hasil kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotika.3,8,9
Namun demikian antibiotika empiris intravena harus diberikan segera
setelah mengambil spesimen kultur tanpa menunggu hasil kultur
tersebut. Umumnya sebelum didapatkan hasil kultur, pasien diberikan
antibiotik intravena dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob.8,9
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih
lama.8
Bakteri penyebab abses leher dalam umumnya adalah
polimikroba termasuk bakteri aerob dan anaerob. Oleh karena itu terapi
antibiotik empiris yang harus diberikan sebaiknya yang dapat bekerja pada
bakteri aerob dan anaerob. Lebih dari dua pertiga infeksi leher dalam
disebabkan oleh bakteri yang menghasilkan beta laktamase. Antimikroba
yang paling efektif adalah kombinasi dari penisilin dan antibiotik yang
resisten terhadap beta laktamase inhibitor ( amoksisilin / klavulanat,
tikarsilin / klavulanat, piperacillin / Tazobactam ), cefoxitin,
carbapenem, atau klindamisin .Pemberian makrolid atau ketolides
ditambah metronidazol dapat dipertimbangkan pada pasien yang alergi
amoksisilin.19
Pada penelitian yang dilakukan oleh Shih-Wei Yang dkk pada
tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 mengenai cakupan spektrum kerja
antimikroba yang berbeda pada hasil kultur bakteri aerob dan anaerob dari
89 pasien dengan hasil kultur positif, didapatkan kombinasi dari
seftriakson dan klindamisin, seftriakson dan metronidazol, atau penisilin
G dan gentamisin dan klindamisin merupakan terapi antibiotika yang
disarankan untuk penatalaksanaan abses leher dalam20.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi abses submandibula terjadi akibat keterlambatan
diagnosis dan penatalaksanaan serta terapi yang tidak tepat dan adekuat.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah obstruksi jalan nafas, osteomielitis
mandibula, penyebaran infeksi ke ruang leher dalam di dekatnya,
mediastinitis serta sepsis yang menyebabkan semakin sulitnya
penanganan dan bahkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.7,12, Pada
era antibiotik modern, telah dilaporkan angka kematian akibat
komplikasi dari abses submandibula mencapai 40%. 3

Salah satu penyebaran infeksi pada abses submandibula yang


dapat terjadi adalah ke ruang submental. Ruang ini adalah ruang fasia
kepala dan leher yang merupakan ruang potensial terletak antara otot
milohioid superior , otot platisma inferior, terletak digaris tengah bawah
dagu . Ruang ini terletak tepat di wilayah segitiga submental , bagian dari
segitiga anterior leher. Abses dari gigi molar mandibula kedua dan ketiga
dapat melubangi mandibula dan menyebar ke dalam ruang
submandibula dan submental. 21

I. PROGNOSIS

Sejak ditemukan antibiotik, kejadian komplikasi terkait dengan


abses leher dalam telah menurun selama dekade terakhir. Diagnosis dini ,
manajemen agresif dengan bedah intervensi dan manajemen jalan napas
yang tepat dapat mengurangi komplikasi dan kematian yang terkait
6
dengan abses leher dalam termasuk abses submandibula. Prognosis
yang cukup baik didapatkan pada penelitian yang dilakukan di
Departemen THT-KL RSHS Bandung periode Januari 2012-Desember
2012 yang memperlihatkan kondisi pasien saat pulang dengan perbaikan
sebanyak 71%.22
DAFTAR PUSTAKA

1. Gadre AK, Gadre KC. Infections of the deep spaces of the neck. In: Bailey
BJ, Johnson JT,editors. Head & neck Surgery Otolaryngology. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2006. p.665-82.
2. Rosen EJ. Deep neck spaces and infections. Grand rounds resentation,
UTMB, Dept. Of Otolaryngology.2002.
3. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor.
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai
Penerbit FK- UI;2007. p. 185-8.
4. Rahardjo P. Infeksi Leher Dalam. Makasar: Graha Ilmu.2013. p.2-16.
5. Anonim. (2016, Juni 21-last update), “Submandibular space”, Available:
https://en.wikipedia.org/wiki/Submental space (Accessed: 2016, September
12).
6. Rana K, Rathore PK, Wadhwa V, Kumar S. Deep Neck Infections:
Continuing Burden in Developing World. International Journal of
Phonosurgery and Laryngology. 2013;3(1):6-9.
7. Das R, Manickam A, Saha j, Basu s. Unilateral Marginal Mandibular Nerve
Palsy in a Case of Submandibular Space Abscess – A Rare Case Report
with Review of Literature. Global Journal of Medical Research: J Dentistry
and Otolaryngology. 2015; 15(1):5-7.
8. Stong BC, Johns ME, Johns III MM. Anatomy and Physiology of the
Salivary Glands. In : Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head
and Neck
Surgery - Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2006. p. 518-25.
9. Christian JM. Odontogenic Infections. In: Flint PW, Haughey BH, Lund VJ,
Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, et al., editors. Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: Mosby, Inc.; 2010.
p. 177-90.
10. Fragiskos FD. Odontogenic Infections. In: Fragiskos FD, editor. Oral
Surgery. Berlin:Springer-Verlag; 2007. p. 232-4.
11. Hesley I, Lumintang N, Limpeleh H. Profil Abses Submandibula Di Bagian
Bedah Rs Prof. Dr. R. D. Kando Manado Periode Juni 2009 Sampai Juli
2012. Bagian Bedah BLU RSU Prof. dr. R.D. Kandou Manado.2013.p.3-4.
12. Rizzo P, Mosto MCD. Submandibular Space Infection: A Potentially Lethal
Infection. International Journal of Infectious Diseases. 2009;13:327-33.
13. Rogers J, McCaffrey TV. Inflammatory Disorders of the Salivary Glands.
In: Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA,
Robbins KT, et al., editors. Cummings Otolaryngology Head & Neck
Surgery. 5th ed. Philadelphia: Mosby, Inc; 2010. p. 1151-3.
14. Oliver ER, Gillespie MB. Deep Neck Space Infections. In: Flint PW,
Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, et al.,
editors. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5th ed.
Philadelphia: Mosby, Inc.; 2010. p. 201-8.
15. Lawson W, Reino AJ, Westreich RW. Odontogenic Infections. In: Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery -
Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
p. 616-28.
16. Parhiscar A, Har-El G. Deep Neck Abscess: A Retrospective Review of 210
Cases. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2001;110:1051-4.
17. .Mazita A, Hazim MYS, Shiraz MAR, Putra SHAP. Neck abscess: five
year retrospective review of hospital university kebangsaan Malaysia
experience. Med J Malaysia 2006;61(2): 151-6.
18. Anonim .(2016- last update),”abses submandibula “,Available:
http://www.indodentist.com/abses-submandibula (Accessed: 2016,
Septemper 9)
19. Lee YQ, Kanagalingam J. Bacteriology of deep neck abscesses: a
retrospective review of 96 consecutive cases. Singapore Med J 2011; 52(5) :
351-5.

20. Yang W, Lee H,See C, Huang H. Deep Neck Abscess: An Analysis Of


Microbial Etiology And The Effectiveness Of Antibiotics. Infection and
Drug Resistance. 2008:1 :1–8.
21. Anonim. (2016, Juni 21-last update), “Submental space”, Available:
https://en.wikipedia.org/wiki/Submental space (Accessed: 2016, September
12).
22. Imanto M. Evaluasi Penatalaksanaan Abses Leher Dalam Di Departemen
THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012–
Desember 2012. Juke Unila . 2015; 5(9): 33-37.
23. Doerr T. Odontogenic Infection. In: Bailey BJ, Johnson JT,editors. Head &
neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2006.

Anda mungkin juga menyukai