Anda di halaman 1dari 34

PENUNTUN LKK 1 BLOK 10: ANAMNESIS GANGGUAN JANTUNG

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Melakukan anamnesis gangguan jantung.
a. Menanyakan keluhan utama.
b. Menanyakan keluhan tambahan.
c. Menanyakan gejala lain untuk menyingkirkan diagnosis banding.
d. Menanyakan faktor risiko.
e. Menanyakan riwayat penyakit dahulu.
f. Menanyakan riwayat penyakit keluarga.
2. Melakukan komunikasi dengan pasien baik secara verbal maupun non verbal.
a. Mengucapkan salam.
b. Memperkenalkan diri.
c. Menanyakan identitas pasien.
d. Memohon izin untuk melakukan anamnesis.

B. PELAKSANAAN
1. Landasan Teori
Anamnesis berasal dari kata anayang artinya hal-hal yang telah terjadi dan nesa artinya ingatan. Dibedakan 2
anamnesis yaitu :
1. Auto anamnesis yang berasal dari penderita sendiri
2. Allo anamnesis yang berasal dari orang lain seperti keluarga, polisi, penduduk lain
Anamnesis berisi informasi mengenai perjalan suatu penyakit mulai dari riwayat penyakit sekarang sampai
riwayat lainnya yang berkaitan dengan penyakit yang sekarang diderita. Beberapa hal yang harus digali dalam
proses anamnesis antara lain:
a. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
RPS adalah rincian gambaran dari keluhan utama pasien dengan sasaran untuk mendapatkan hubungan dan
gambaran umum bagaimana keluhan utama pasien terjadi.
b. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
RPD adalah catatan tentang penyakit dan pengobatan yang dialami pasien pada masa lalu, merupakan
informasi yang dapat menambah keterangan penyakit sekarang dan atau yang berpengaruh terhadap
pengelolaan pasien. Elemen inti dari RPD adalah :
1. Kelahiran dan perkembangan dini. Buatlah ikhtisar mengenai apa yang diketahui penderita tentang
kelahiran, makanan, pertumbuhan, tingkah laku dan lingkungannya, dengan menekankan hubungan antar
pribadi serta peristiwa-peristiwa penting pada masa kanak-kanaknya.
2. Penyakit-penyakit yang diderita sebelumnya (masa kanak-kanak dan lain-lain). Catatlah penyakit-
penyakit menular serta gejala-gejala sisa yang dialaminya, Imunisasi, reaksi-reaksi alergi dan
hipersenstiivitas dan reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh obat-obatan.
3. Pembedahan, cedera, kecelakaan dan masuk rumah sakit. Berikan tanggal-tanggal peristiwa terjadinya
dengan keadaan yang menyertai; pancing serta koreklah ulasan-ulasan penderita mengenai anestesia,
reaksi-reaksi obat dan hasil dari pengobatan yang diberikan kepadanya.
4. Obat-obatan, pengobatan dan kebiasaan. Tanyakan kepada penderita mengenai penggunaan teh, kopi,
alkohol, tembakau, obat-obat pencahar atau pengobatan lain yang dipergunakan secara teratur.
5. Kesehatan/keadaan umum. Catatlah penilaian penderita anda tentang kesehatannya sebagai baik, sedang
ataupun buruk.
c. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
RPK adalah riwayat penyakit yang diderita keluarga sebagai informasi apakah merupakan penyakit yang
ditularkan atau penyakit keturunan.
Elemen inti RPK adalah :
1. Latar belakang keluarga. Usia kedua orangtuanya, keadaan kesehatan mereka, penyakit-penyakit fisik
dan emosional yang pernah mereka derita di masa lalu, kejadian-kejadian penting yang berhubungan
dengan umur penderita pada saat peristiwa itu tetjadi. Cakup juga pertanyaan-pertanyaan yang
menyangkut kakek serta neneknya dan anggota keluarga lainnya.
2. Saudara kandung. Jumlah kehamilan yang pernah dialami oleh ibunya; jumlah saudara laki-laki dan
saudara perempuannya, keadaan kesehatan mereka semua, penyakit-penyakit yang pernah mereka derita.
3. Riwayat perkawinan. Suatu pernyataan tentang istri/suami serta anak-anak penderita, termasuk umur
mereka masing-masing, keadaan kesehatan mereka, penyakit-penyakit ataupun persoalan-persoalan yang
pernah dialami serta hubungan emosional yang terdapat antara mereka.
4. Riwayat keturunan. insiden penyakit penyakit tulang dan sendi, alergi, kanker, diabetes melitus, gangguan
perdarahan, hipertensi, epilepsi, penyakit ginjal, migren, gangguan saraf dan jiwa, demam rematik, tukak
lambung dan lain-lain pola penyakit yang dominan yang terdapat di lingkungan keluarga penderita.
d. Riwayat obstetrik apabila pasien wanita
e. Riwayat sosial dan lingkungan
1. Pendidikan, dinas kemiliteran dan kegiatan keagamaan. Uraikan bila ada hubungannya.
2. Riwayat pekerjaan. Uraikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan penderita, baik di dalam, maupun di luar
rumah, termasuk contoh kegiatan sehari-hari yang khas.
3. Pengaturan kehidupan. Uraikan aspek-aspek fisik dan sosial rumah penderita.
4. Masalah-masalah yang mempunyai hubungan dengan penyakit yang diderita sekarang ini. Perhatikan
serta pertimbangkan masalah-masalah keuangan, perubahan-perubahan dalam pekerjaan serta di rumah,
penyaluran seksual yang dilakukannya serta penggunaan alkohol, obat-obatan dan tembakau. Lakukan
penilaian terutama mengenai reaksi emosional penderita terhadap penyakit yang sekarang ini.

2. Media Pembelajaran
1. Panduan LKK 1 Blok X FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pasien simulasi

3. Langkah Kerja
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien dan orang tua pasien.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan anamnesis dan meminta izin kepada pasien atau orang tua pasien.
4. Menanyakan keluhan utama pasien.
5. Menanyakan riwayat penyakit sekarang (misalnya gejala kardiovaskular, kapasitas fungsional, demam).
6. Menanyakan riwayat penyakit dahulu (hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, CVD, PVD, penyakit
tiroid, PPOK, riwayat alergi dan riwayat pengobatan).
7. Menanyakan faktor risiko (misalnya usia dan jenis kelamin).
8. Menanyakan faktor pencetus.
9. Menanyakan faktor penyulit.
10. Menanyakan riwayat keluarga (hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, penyakit jantung iskemik).
11. Menanyakan kondisi personal dan sosial ekonomi (merokok, alkohol, drug abuser, obesitas, olahraga,
pola makan tinggi lemak jenuh dan garam, kepribadian tipe A).

CONTOH KELUHAN UTAMA GANGGUAN JANTUNG:


1. Sesak nafas
a. Takipneu
b. Dyspnea on effort (exertional dyspnea)
c. Dyspnea at rest
d. Orthopneu
e. Paroxismal nokturnal dyspneu
f. Hubungan dengan aktivitas (klasifikasi NYHA)
2. Edema
3. Sianosis
4. Nyeri dada (gejala iskemik myokard, lokasi, penjalaran, kualitas, lama nyeri, pencetus, pereda nyeri
dan respon terhadap obat)
5. Palpitasi (detak jantung dirasakan cepat, lambat, teratur dan tidak teratur)
6. Sinkop (hilang kesadaran akibat perfusi serebral terganggu)
7. Pusing
8. Demam
9. Nyeri tungkai

Contoh Kasus :
1. Tn Hendro, 57 tahun datang ke UGD dengan keluhan nyeri dada sejak 6 jam yang lalu. Nyeri dada
dirasakan menjalar ke lengan kiri. Nyeri pertama kali timbul saat beraktifitas dan berkurang saat
istirahat. Dia menyangkal mengalami nafas pendek, mual dan muntah juga tidak. Tn Hendro memiliki
penyakit Hipertensi dan dislipidemia. Tn. Hendro pernah mengalami keluhan nyeri dada 6 bulan lalu
dan hilang saat beristirahat. Riwayat keluarga terdapat ayah yang meninggal disaat usia 56 tahun
karena menderita sakit jantung. Tn Hendro merokok 3 bungkus perhari

2. Tiva, seorang anak perempuan, umur 6 tahun dirujuk dari puskesmas ke RSMP karena sesak nafas
dan sering letih sejak 2 tahun yang lalu. Dari anamnesis terhadap ibunya diketahui bahwa bibir dan
jarinya sering biru terutama setelah ia bermain dengan temannya dan kelihatan letih sehingga ia
sering duduk jongkok. Ibu Tiva juga mengatakan sejak bayi sering terlihat biru dan ketika menyusu
pada ibu sering berhentisebentar kemudian di ulang lagi.Pertumbuhan badannya lebih kecil
dibandingkan dengan teman sebayanya.

3. Desi, usia 12 tahun, dibawa ibunya ke puskesmas karena nafasnya bertambah sesak sejak satu hari
yang lalu. Dari anamnesis dokter mendapatkan Desi sudah mengalami sesak sejak tiga bulan yang
lalu, sesak bertambah bila berjalan lebih kurang 10 meter dan beraktivitas. Bila tidur ia lebih suka
memakai bantal tinggi sampai dua bantal. Demam sejak lima bulan yang lalu, tidak tinggi dan hilang
timbul. Terdapat riwayat nyeri sendi yang berpindah-pindah sejak demam.

4. Ny. A, 28 tahun, karyawan, menikah, datang dengan keluhan berdebar-debar sejak 3 hari yang lalu

No Aktivitas yang dinilai


Etika dan Sopan Santun
a. Mengucapkan Salam
1 b. Memperkenalkan diri
c. Menanyakan identitas pasien
d. Memohon izin untuk melakukan anamnesis
Menanyakan keluhan utama
keluhan utama
2 sejak kapan
Onset (bagaimana mulai timbulnya)
Progresivitas (bagaimana perjalanan penyakitnya)
Menanyakan keluhan tambahan untuk menyingkirkan diagnosis banding
apakah disertai keluhan jantung berdebar
3
apakah disertai sesak nafas
apakah disertai mual dan muntah
Menanyakan penyakit-penyakit lain yang berhubungan sebagai faktor-faktor risiko
Hipertensi(sakit tengkuk
DM (sering makan, sering kencing, badan tambah kurus)
4
Kolesterol tinggi
Jantung (sebelumnya sering mengeluh sesak nafas saat beraktivitas, dan bengkak)
riwayat keluarga(ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa)
Menanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan/residivitas
5
Apakah keluhan ini timbul untuk pertama kalinya
Apakah sering mengkonsumsi makanan berlemak?
6 Apakah pasien merokok?
Bagaimana kebiasaan olahraga pasien?
7 Kemungkinan diagnosis

4. Kesimpulan
Mahasiswa menyimpulkan kemungkinan penyakit yang diderita pasien berdasarkan hasil anamnesis tersebut.
PENUNTUN LKK 2 BLOK 10: ANAMNESIS GANGGUAN SEREBROVASKULAR

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan anamnesis gangguan serebrovaskular.
a. Menanyakan keluhan utama.
b. Menanyakan riwayat penyakit sekarang.
c. Menanyakan keluhan tambahan untuk menyingkirkan diagnosis banding.
d. Menanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan/residivitas.
e. Menanyakan riwayat penyakit keluarga.
2. Melakukan komunikasi dengan pasien baik secara verbal maupun non verbal.
a. Mengucapkan salam.
b. Memperkenalkan diri.
c. Menanyakan identitas pasien.
d. Memohon izin untuk melakukan anamnesis.

B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Diagnosis neurologi dapat dibedakan menjadi:
1. Diagnosis klinis
Ditegakkan dari hasil pemeriksaan klinis neurologis (hemiparesis, hipoestesi, parese N.VII, afasia,
dsb.).
2. Diagnosis topik
Lokalisasi topik lesi ( berdasarkan vaskularisasi cerebral(a.cerebri media, a.cerebri posterior,dsb)).
3. Diagnosis etiologik
Etiologi dari diagnosa klinis.
Pada saat melakukan anamnesis gangguan serebrovaskular terdapat empat hal yang harus digali secara
mendalam sehingga hasil anamnesis dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis pada gangguan
sistem serebrovaskular, yaitu:
a. KELUHAN UTAMA
Keluhan utama biasanya adalah keluhan yang membawa pasien /keluarga datang ke dokter / rumah sakit.
Keluhan ini dapat berupa gangguan aktivitas hidup sehari-hari atau gangguan fungsi neurologis lain seperti
gangguan kesadaran, motorik, sensorik, saraf-saraf kranialis, cara berjalan &keseimbangan , fungsi luhur,
serta gerakan abnormal. Dalam menggali keluhan utama, penting untuk mengetahui onset penyakit atau
keluhan tersebut dan biasanya keluhan utama sudah dapat 60 – 70% memberikan gambaran diagnosa.
Contoh keluhan yang biasa dialami oleh pasien dengan gangguan serebrovaskular:
“ penderita dirawat karena tidak dapat berjalan karena kedua tungkai tidak dapat digerakkan secara
tiba-tiba “
“penderita dibawa ke dokter karena tidak dapat berjalan sebab penglihatannya menjadi kabur secara
berangsur dalam 1 bulan ini “
b. INSULT
Insult adalah onset kejadian /serangannya akut. Pada keadaan ini, dapat muncul tanda dan gejala
sehubungan dengan kemungkinan topik dan etiologi seperti kejang, kelumpuhan tidak sama berat (topik),
kehilangan kesadaran, jantung berdebar disertai sesak nafas. Perlu juga ditanyakan hal yang memberatkan
dan progresifitas dari serangan, apakah keluhan memburuk atau menetap.
c. PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN
Penyakit yang berhubungan dapat berperan sebagai faktor risiko. Darah tinggi, jantung, DM, strok terdahulu
merupakan contoh penyakit yang berhubungan dengan gangguan serebrovaskular.
d. RESIDIVITAS
Residivitas berkaitan dengan apakah penyakit ini untuk pertamakali atau sebelumnya pernah mengalami
kelainan serupa. Residivitas yang terjadi dapat berupa residivitas baik dalam serangannya maupun sisi yang
terkena.Residivitas juga dapat digunakan untuk memprediksi prognosa.

2. Media Pembelajaran
1. Panduan LKK 2 Blok X FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pasien simulasi
3. Langkah Kerja
1. Mengucapkan salam kepada pasien.
2. Memperkenalkan diri kepada pasien.
3. Menanyakan identitas pasien.
4. Menjelaskan tujuan anamnesis yang akan dilakukan.
5. Menanyakan keluhan utama pasien.
- Tidak sadarkan diri
- Kejang
- Mulut mencong
- Bicara pelo
- Anggota gerak lumpuh sebelah
6. Menanyakan riwayat penyakit sekarang:
- Sejak kapan
- Progresivitas keluhan: bertambah buruk, membaik, hilang timbul.
- Keluhan tambahan: pusing, mual, demam, pandangan kabur, telinga berdenging, kesemutan, mati
rasa, dan lain-lain.
7. Menanyakan riwayat penyakit dahulu. Apakah pernah mengalami keluhan serupa, bagaimana prosesnya
hingga sembuh, apakah penyakit dahulu meninggalkan gejala sisa (sequele).
8. Menanyakan penyakit-penyakit lain yang berhubungan sebagai faktor-faktor risiko (misalnya: Darah tinggi,
Jantung, Diabetes Mellitus, riwayat keluarga).
9. Menyimpulkan hasil anamnesis.

1.4 Kesimpulan
Mahasiswa menyimpulkan kemungkinan penyakit pasien berdasarkan hasil anamnesis. Kemungkinan pasien
menderita stroke atau TIA atau massa intrakranial atau gangguan serebrovaskular lainnya.

SKENARIO LKK
ANAMNESIS GANGGUAN SEREBRO VASKULAR

Kasus 1: Tn. A umur 60 tahun, diantar keluarganya ke UGD karena tangan dan tungkai kanan terasa lemah
saat digerakkan. Lakukan anamnesis pada pasien ini!

Kasus 2: Tn. B, umur 66 tahun, diantar keluarganya ke UGD karena tangan dan tungkai kanan kesemutan
dan baal. Lakukan anamnesis pada pasien ini!

Kasus 3: Tn. C, umur 46 tahun, diantar keluarganya ke UGD karena tidak sadarkan diri. Lakukan anamnesis
pada pasien ini

No Aktivitas yang dinilai


Etika dan Sopan Santun
e. Mengucapkan Salam
1 f. Memperkenalkan diri
g. Menanyakan indentitas pasien
h. Memohon izin untuk melakukan anamnesis

Menanyakan keluhan utama


keluhan utama
2 sejak kapan
Onset (bagaimana mulai timbulnya)
Progresivitas (bagaimana perjalanan penyakitnya)

Menanyakan tanda dan gejala sehubungan dengan kemungkinan topik dan etiologi :
3
apakah pasien sempat mengalami kehilangan kesadaran
apakah pasien sempat mengalami kejang
apakah ada keluhanmati/hilang rasa pada tangan dan tungkai kanan
Apakah pasien mengalami bicara pelo dan wajah mencong
Menanyakan keluhan tambahan untuk menyingkirkan diagnosis banding
4
apakah disertai keluhan jantung berdebar dan sesak nafas

Menanyakan penyakit-penyakit lain yang berhubungan sebagai faktor-faktor risiko


hipertensi: sakit belakang kepala terutama pagi hari, pernahkan mendapat obat anti hipertens
5 DM: sering makan, sering kencing, badan tambah kurus
Jantung: sebelumnya sering mengeluh saat beraktivitas, sesak nafas dan bengkak
riwayat keluarga: ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa

Menanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan/residivitas


6
Apakah keluhan ini timbul untuk pertama kalinya
Apakah sering mengkonsumsi makanan berlemak?
7 Apakah pasien merokok?
Bagaimana kebiasaan olahraga pasien?
8 Kemungkinan diagnosis

!
PENUNTUN LKK 3 BLOK 10: PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG DAN JVP

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Melakukan pemeriksaan fisik jantung.
a. Melakukan inspeksi jantung.
b. Melakukan palpasi jantung.
c. Melakukan perkusi jantung.
d. Melakukan auskultasi jantung.

2. Melakukan pemeriksaan jugular venous pressure (JVP).


a. Mempersiapkan alat yang dibutuhkan.
b. Mempersiapkan pasien.
c. Melakukan pengukuran JVP.
d. Melakukan interpretasi hasil pengukuran JVP.

B. Pelaksanaan
1. PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG
1.1 Landasan Teori
Jantung terletak agak melintang di dalam rongga toraks. Dua per tiga bagiannya berada di sebelah kiri garis
tengah dan sepertiganya di sebelah kanan garis tengah. Proyeksi jantung pada permukaan dada dapat terlihat dari
gambar berikut :
a. Atrium kanan. Merupakan bagian jantung yang terletak paling jauh di sisi kanan, yaitu kira-kira 2 cm di
sebelah kanan tepi sternum setinggi sendi kostosternalis ke-3 sampai ke-6.
b. Ventrikel kanan. Menempati sebagian besar proyeksi jantung pada dinding dada. Batas bawahnya adalah
garis yang menghubungkan sendi kostosternalis ke-6 dengan apeks jantung.
c. Ventrikel kiri. Ventrikel kiri tidak begitu tampak jika dilihat dari depan. Pada proyeksi jantung pada dada,
daerah tepi kid -atas selebar 1,5 cm, merupakan wilayah ventrikel kiri. Batas kiri jantung adalah garis yang
menghubungkan apeks jantung dengan sendi kostosternalis ke-2 sebelah kiri.
d. Atrium kiri. Adalah bagian jantung yang letaknya paling posterior dan tidak terlihat dari depan. Kecuali
sebagian kecil saja yang terletak, di belakang sendi kostosternalis kiri ke-2.

Secara topografik jantung berada di bagian depan rongga mediastinum. Ruang mediastinum yang sempit itu
memisahkan jantung dari dinding toraks depan. Di belakang jantung terdapat organ-organ mediastinum lainnya.
Bagian dada yang ditempati oleh proyeksi jantung yang seperti terlukis di atas itu dinamakan prekordium.
I. INSPEKSI
Inspeksi jantung berarti mencari tanda-tanda yang mengungkapan keadaan jantung pada permukaan dada dengan
cara melihat / mengamati. Tanda-tanda itu adalah (1) bentuk prekordium (2) Denyut pada apeks jantung (3)
Denyut nadi pada dada (4) Denyut vena.
Bentuk prekordium
Pada umumnya kedua belah dada adalah simetris. Prekordium yang cekung dapat terjadi akibat perikarditis
menahun, fibrosis atau atelektasis paru, scoliosis atau kifoskoliosis clan akibat penekanan oleh benda yang
seringkali disandarkan pada dada dalam melakukan pekerjaan (pemahat tukang kayu dsb). Prekordium yang
gembung dapat terjadi akibat dari pembesaran jantung, efusi epikardium, efusi pleura, tumor paru, tumor
mediastinum dan scoliosis atau kifoskoliosis.
Penyakit jantung yang menimbulkan penggembungan setempat pada prekordium adalah penyakit jantung
bawaan ( Tetralogi Fallot ), penyakit katup mitral atau aneurisma aorta yang berangsur menjadi besar serta
aneurisma ventrikel sebagai kelanjutan infark kordis.
Denyut apeks jantung (iktus kordis)
Tempat iktus kordis belum tentu dapat dilihat terutama pada orang gemuk. Dalam keadaaan normal, dengan
sikap duduk, tidur terlentang atau berdiri iktus terlihat didalam ruangan interkostal V sisi kiri agak medial dari
linea midclavicularis sinistra. Pada anak-anak iktus tampak pada ruang interkostal IV, pada wanita hamil atau
yang perutnya buncit iktus kordis dapat bergeser ke samping kiri. Tempat iktus kordis sangat tergantung pada:
a. Sikap badan
Pada sikap tiduran dengan menghadap ke kiri iktus akan terdapat dekat linea axillaries anterior. Pada sikap
tiduran dengan menghadap ke klanan iktus terdapat dekat tepi sternum kiri. Pada sikap berdiri, iktus akan lebih
rendah dan lebih ke dalam dari pada sikap tiduran.
b. Letak diafragma.
Pada inspirasi yang dalam, maka letak iktus lebih ke bawah dan pindah ke medial ± 1- 1,5 cm. Pada wanita
hamil trimester III, dimana diafragma terdesak ke atas, maka iktus akan lebih tinggi letaknya, bisa pada ruang
interkostal III atau bahkan II, serta agak di luar linea midklavikularis. Pada ascites juga akan dijumpai keadaan
seperti tersebut di atas,
Kadang-kadang iktus dapat ditentukan dengan melihat papilla mammae, tapi seringkali hal ini tidak dapat
dijadikan patokan karena letak papilla mammae terutama pada wanita sangat variable. Iktus sangat menentukan
batas jantung kiri. Maka jika didapatkan iktus terdapat pada perpotongan antara spatium interkostale V kiri
dengan linea midklavikularis, berarti besar jantung normal. Jika iktus terdapat di luar linea midklavikularis, maka
menunjukan suatu hal tidak normal, yang dapat disebabkan oleh pembesaran jantung kiri atau jika besar jantung
adalah normal, maka perpindahan itu disebabkan oleh penimbunan cairan dalam kavum pleura kiri atau adanya
schwarte pleura kanan.
Jika iktus terdapat lebih medial (lebih kanan) dari normal, hal ini juga patologis, dapat terjadi karena
penimbunan cairan pleura kiri atau adanya schwarte pleura kanan.
Sifat iktus :
e. Pada keadaan normal, iktus hanya merupakan tonjolan kecil, yang sifatnya lokal. Pada pembesaran
yang sangat pada bilik kiri, iktus akan meluas.
f. Iktus hanya terjadi selama sistol. Oleh karena itu, untuk memeriksa iktus, perlu juga dilakukan palpasi
pada a. carotis comunis untuk merasakan adanya gelombang yang asalnya dari sistol.

II. PALPASI
Palpasi dapat menguatkan hasil yang didapat dari inspeksi. Denyutan yang tidak tampak, juga dapat
ditemukan dengan palpasi. Palpasi pada prekordiun harus dilakukan dengan telapak tangan dahulu, baru
kemudian memakai ujung ujung jari. Palpasi mula-mula harus dilakukan dengan menekan secara ringan dan
kemudian dengan tekanan yang keras. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien, sedang pasien dalam sikap
duduk dan kemudian berbaring terlentang.Telapak tangan pemeriksa diletakkan pada prekordium dengan ujung-
ujung jari menuju ke samping kiri toraks. Hal ini dilakukan untuk memeriksa denyutan apeks. Setelah itu tangan
kanan pemeriksa menekan lebih keras untuk menilai kekuatan denyutan apeks. Jika denyut apeks sudah
ditemukari dengan palpasi menggunakan telapak tangan, kita palpasi denyut apeks dengan memakai ujung-ujung
jari telunjuk dan tengah.
Denyutan, getaran dan tarikan dapat diteliti dengan jalan palpasi baik ringan maupun berat. Urutan palpasi
dalam rangka penderiksaan jantung adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan iktus cordis
Hal yang dinilai adalah teraba tidaknya iktus, dan apabila teraba dinilai kuat angkat atau tidak. Kadang-
kadang kita tidak dapat melihat, tetapi dapat meraba iktus. Pada keadaan normal iktus cordis dapat teraba pada
ruang interkostal kiri V, agak ke medial (2 cm) dari linea midklavikularis.kiri. Apabila denyut iktus tidak dapat
dipalpasi, bisa diakibatkan karena dinding toraks yang tebal misalnya pada orang gemuk atau adanya emfisema,
tergantung pada basil pemeriksaan inspeksi dan perkusi.
Denyut iktus cordis sangat kuat kalau pengeluaran darah dari jantung (output) besar. Dalam keadaan itu denyut
apeks memukul pada telapak tangan atau jari yang melakukan palpasi. Hal ini dapat terjadi pada insufisiensi aorta
dan insufisiensi mitralis. Pada keadaan hipertensi dan stenosis aorta denyutan apeks juga kuat, akan tetapi tidak
begitu kuat, kecuali jika ventrikel kiri sudah melebar (dilatasi) dan mulai timbul keadaan decompensatio cordis.
Denyutan yang memukul pada daerah sebelah kiri sternum menandakan keadaan abnormal yaitu ventrikel
kanan yang hipertrofi dan melebar. Hal ini dapat terjadi pada septum atrium yang berlubang, mungkin juga pada
stenosis pulmonalis atau hipertensi pulmonalis. Denyutan yang memukul akibat kelainan pada ventrikel kiri atau
ventrikel kanan dapat juga teraba di seluruh permukaan prekordium. Hal ini terjadi apabila penjalaran denyutan
menjadi sangat kuat karena jantung berada dekat sekali pada dada. Namun, harus tetap ditentukan satu tempat
dimana denyutan itu teraba paling keras.

2. Pemeriksaan getaran / thrill


Adanya getaran seringkali menunjukkan adanya kelainan katub bawaan atau penyakit jantung congenital.
Disini harus diperhatikan :
a. Lokalisasi dari getaran
b. Terjadinya getaran : saat sistol atau diastol
c. Getaran yang lemah akan lebih mudah dipalpasi apabila orang tersebut melakukan pekerjaan fisik karena
frekuensi jantung dan darah akan mengalir lebih cepat.
d. Dengan terabanya getaran maka pada auskultasi nantinya akan terdengar bising jantung.
Contoh pada kelainan jantung bawaan VSD akan teraba getaran sistolik di parasternal kiri bawah dan pada
stenosis pulmonal akan teraba getaran sistolik di parasternal kiri atas. Pada kelainan jantung didapat seperti
stenosis mitral akan teraba getaran distolik di apeks jantung dan pada stenosis aorta akan teraba getaran sistolik di
bagian basis jantung.
III. PERKUSI
Perkusi berguna untuk menetapkan batas-batas jantung.
1. Batas kiri jantung
Kita melakukan perkusi dari arah lateral ke medial. Perubahan antara bunyi sonor dari paru-paru ke redup
relatif kita tetapkan sebagai batas jantung kiri. Dengan cara tersebut kita akan dapatkan tempat iktus, yaitu
normal pada ruang interkostale V kiri agak ke medial dari linea midklavikularis sinistra, dan agak di atas batas
paru-hepar. Ini merupakan batas kin bawah dari jantung
Batas jantung sebelah kiri yang terletak di sebelah cranial iktus, pada ruang interkostal II letaknya lebih dekat
kesternum daripada letak iktus cordis ke sternum, kurang lebih di linea parasternalis kiri. Tempat ini sering
disebut dengan pinggang jantung. Sedangkan batas kiri atas dari jantung adalah ruang interkostal II kiri di linea
parasternalis kiri.
2. Batas kanan jantung.
Perkusi juga dilakukan dari arah lateral ke medial. Disini agak sulit menentukan batas jantung karena
letaknya agak jauh dari dinding depan thorak. Batas bawah kanan jantung adalah di sekitar ruang interkostal III-
IV kanan di line parasternalis kanan. Sedangkan batas atasnya di ruang interkostal II kanan linea parasternalis
kanan
Perkusi jantung mempunyai arti pada dua macam penyakit jantung yaitu efusi perikardium dan anetuisma
aorta. Kita ketahui bahwa pada emfisema daerah redup jantung mengecil, tapi pada aneurisma aorta daerah redup
jantung meluas sampai ke sebelah kanan sternum sekitar ruang interkostal II. Suara perkusi pada sternumpun
menjadi redup.
IV. AUSKULTASI
Auskultasi jantung menggunakan alat stetoskop dupleks, yang memiliki dua corong yang dapat dipakai
bergantian. Corong pertama berbentuk kerucut yang sangat baik untuk mendengarkan suara dengan frekuensi
tinggi, sedangkan corong yang kedua berbentuk lingkaran yang sangat baik untuk mendengarkan bunyi dengan
nada rendah. Pada auskultasi, selama beberapa pukulan jantung harus diusahakan untuk mendengarkan dan
memusatkan perhatian pada bunyi 1, setelah ada kepastian barulah dipusatkan pada bunyi II. Pada auskultasi akan
diperhatikan 2 hal, yaitu :
a. Bunyi jantung
Bunyi Jantung I
Terjadi karena getaran menutupnya katub atrioventrikularis, yang terjadi pada saat kontraksi isometris dari
bilik pada permulaan sistol. Getaran yang terjadi tersebut akan diproyeksikan pada dinding toraks yang kita
dengar sebagai bunyi jantung I. Intensitas dari BJ I tergantung dari :
- Kekuatan kontraksi bilik dimana ini tergantung dari kekuatan otot bilik.
- Kecepatan naiknya desakan bilik
- Letak katup A - V pada waktu sistol ventrikel
- Kondisi anatomis dari katub A - V

Daerah auskultasi untuk BJ I:


1. Pada iktus : katup mitralis terdengar baik disini.
2. Pada ruang interkostal IV - V kanan. Pada tepi sternum : katup trikuspidalis terdengar disini
3. Pada ruang interkostal III kiri, pada tepi sternum, merupakan tempat yang baik pula untuk mendengar katup
mitral.
Intensitas BJ I akan bertambah pada apeks dalam keadaan :
- stenosis mitral
- Interval PR (pada EKG) yang begitu pendek
- pada kontraksi ventrikel yang kuat dan aliran darah yang cepat misalnya pada kerja fisik, emosi, anemi,
demam dll.
Intensitas BJ I melemah pada apeks dalam keadaan :
- syok hebat
- interval PR yang memanjang
- dekompensasi hebat.

Bunyi jantung II
Terjadi akibat proyeksi getaran menutupnya katub aorta dan a. pulmonalis pada dinding toraks. lni terjadi
kira-kira pada permulaan diastole. BJ II normal selalu lebih lemah daripada BJ I. Pada anak-anak dan dewasa
muda akan didengarkan BJ II pulmonal lebih keras daripada BJ II aortal. Pada orang dewasa didapatkan BJ II
aortal lebih keras daripada BJ H pulmonal.
Intensitas BJ II aorta akan bertambah Pada :
- hipertensi
- aterosklerosis aorta yang berat.
Intensitas BJ II pulmonal bertambah pada :
- kenaikan desakan a. pulmonalis, misalnya pada : kelemahan bilik kiri, stenosis mitralis, cor pulmonal kronik,
kelainan cor congenital.
BJ II menjadi kembar pada penutupan yang tidak bersama-sama dan katub aorta dan putmonal. Terdengar jelas
pada basis jantung BJ I dan II akan melemah pada :
- orang yang gemuk
- emfisema paru-paru
- perikarditis eksudatif
- penyakit-penyakit yang menyebabkan kelemahan otot jantung.

b. Bising jantung / cardiac murmur


Bising jantung lebih lama daripada bunyi jantung. Hal-hal yang harus diperhatikan pada auskultasi bising
adalah :
1. Apakah bising terdapat antara BJ I dan BJ II (=bising sistol), ataukah bising terdapat antara BJ II dan BJ I
(=bising diastol). Cara termudah untuk menentukan bising systole atau diastole ialah dengan membandingkan
terdengarnya bising dengan saat terabanya iktus atau pulsasi arteri carotis, maka bising itu adalah bising sistol.
2. Tentukan lokasi bising yang terkeras.
3. Tentukan arah dan sampai mana bising itu dijalarkan. Bising itu dijalarkan ke semua araj tetapi tulang
merupakan penjalar bising yang baik, dan bising yang keras akan dijalarkan lebih dulu.
4. Perhatikan derajat intensitas bising tersebut.
Ada 6 derajat bising :
(1) Bising yang paling lemah yang dapat didengar. Bising ini hanya dapat didengar dalam waktu agak lama
untuk menyakinkan apakah benar-benar merupakan suara bising.
(2) Bising lemah, yang dapat kita dengar dengan segera
(3) dan (4) adalah bising yang demikian rupakan sehingga mempunyai intensitas diantara (2) dan (5)
(5) Bising yang sangat keras, tapi tak dapat didengar bila stetoskop tidak diletakkan pada dinding dada.
(6) Bising yang dapat didengar walaupun tak menggunakan stetoskop.
5. Perhatikan kualitas dari bising, apakah kasar, halus, bising gesek, bising yang meniup, bising yang melagu.
Secara klinis, bising dapat dibagi menjadi :
1. Bising fisiologis.
Biasanya bising yang sistolik berupa bising yang fisiologis, dan jarang patologis. Tetapi bising diatolik selalu
merupakan hal yang patologis.
Sifat-sifat bising fisiologis adalah sebagai berikut :
a. biasanya bersifat meniup.
b. tak pernah disertai getaran.
c. biasanya tidak begitu terasa tetapi lebih dari derajat II.
d. pada auskultasi terdengar baik pada sikap terlentang dan pada waktu ekspirasi.
e. dapat diauskultasi paling baik di ruang interkostal II – III kiri pada tempat konus pulmonalis.
2. Bising patologis
Seperti sudah dijelaskan bahwa bising diastolik pasti patologis, sedang bising sistolik bisa fisiologis,
bisa patologis. Bising sistolik yang terdapat pada apeks biasanya patologis. Sifatnya meniup, intensitasnya tak
tentu, lamanya juga tak tentu. Keadaan-keadaan ini sering dijumpai bising sistolik pada apeks:
a. Insufisiensi mitralis organic missal pada cacat katub karena reuma.
b. Pembesaran hebat dari bilik kiri, sehingga annulus fibrosis relatif lebih besar daripada valvula mitralis.
Jadi disini ada insufisiensi mitral relatif. Hal ini terdapat pada miodegenerasi dan hipertensi hebat.
c. Anemia dan hipertiroid atau demam. Bising disini terjadi karena darah mengalir lebih cepat.
d. Stenosis aorta. Di sini akan dijumpai adanya bising sistolik pada aorta, yang kemudian dihantarkan ke
apeks jantung. Sehingga pada apeks akan terdengar bunyi yang lebih lemah daripada aorta.

1.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 3 blok X FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pasien simulasi
4. Stetoskop
5. Tensimeter
6. Termometer
1.3 Langkah Kerja
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan pemeriksaan fisik dan meminta izin kepada pasien.
4. Meminta pasien membuka pakaiannya dan berbaring di tempat tidur pemeriksaan.
5. Melakukan inspeksi jantung:
a. Melihat bentuk dada: simetris atau tidak, bentuk seperti gentong (barrel chest), bentuk seperti
dada burung, sela iga melebar atau tidak.
b. Melihat denyut apeks jantung (ictus cordis).
6. Melakukan palpasi jantung:
a. Meraba denyut apeks jantung (ictus cordis) dan menentukan lokasinya. Biasanya di sela iga ke-4
atau 5, tepat di linea midclavicularis sinistra.
7. Melakukan perkusi jantung:
a. Mengetuk dada di sela iga dengan jari tangan kanan, gunakan jari telunjuk tangan kiri
sebagai alasnya.
b. Menentukan batas kiri jantung bawah:
perkusi dari arah lateral ke medial pada interkostale Vsinistra dan akan dijumpai perubahan dari bunyi
sonor ke redup biasanya pada medial dari linea midklavikularis sinistra, ini merupakan batas kin
bawah dari jantung. Pada daerah ini dapat ditemukan iktus kordis.
c. Menentukan batas kiri jantung atas:
Batas jantung sebelah kiri yang terletak di sebelah cranial iktus, pada ruang interkostal II letaknya
lebih dekat kesternum daripada letak iktus cordis ke sternum, kurang lebih di linea parasternalis kiri.
Tempat ini sering disebut dengan pinggang jantung. Sedangkan batas kiri atas dari jantung adalah
ruang interkostal II kiri di linea parasternalis kiri.
d. Menentukan batas kanan jantung:
Perkusi juga dilakukan dari arah lateral ke medial. Disini agak sulit menentukan batas jantung karena
letaknya agak jauh dari dinding depan thorak. Batas bawah kanan jantung adalah di sekitar ruang
interkostal III-IV kanan di line parasternalis kanan. Sedangkan batas atasnya di ruang interkostal II
kanan linea parasternalis kanan
e. Menyimpulkan batas jantung.
8. Melakukan auskultasi jantung:
a. Melakukan auskultasi dengan stetoskop (bell/diafragma)
b. Menempelkan stetoskop di 4 area: aorta, pulmonal, trikuspid, mitral
c. Menentukan bunyi jantung 1 (BJ1) dan BJ 2. Menentukan ada bunyi jantung tambahan atau tidak
(misalnya murmur, systolic click).

1.4 Interpretasi Hasil


Hasil pemeriksaan fisik jantung normal:
- Inspeksi: bentuk dada simetris, tidak berbentuk gentong atau bentuk lain.
- Palpasi : ictus cordis dapat teraba, tanpa adanya thrill.
- Perkusi : batas jantung normal
- Auskultasi: BJ1 normal, BJ2 normal, tidak ada bunyi jantung tambahan.

2. PANDUAN BELAJAR PEMERIKSAAN JUGULAR VENOUS PRESSURE (JVP)


2.1 Landasan Teori
JVP normal merefleksikan perubahan tekanan fasik pada atrium kanan jantung. Biasanya pulsasi vena
jugularis tampak pada saat tubuh membentuk sudut < 30°. Vena jugularis interna dekstra paling baik untuk
menguji tekanan vena sentral. Angulus sternum dijadikan titik referensi karena atrium kanan terletak kurang lebih
5 cm di bawah angulus sternum, pada kebanyakan pasien. Penyebab utama tingginya tekanan vena sentral adalah
peningkatan tekanan diastolik ventrikel kanan.

2.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 3 Blok X FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pasien simulasi
4. Penggaris panjang 3 buah
5. Tempat tidur pemeriksaan

2.3 Langkah Kerja


1. Memposisikan pasien tidur tanpa bantal.
2. Memposisikan pasien berbaring dengan kepala membuat sudut 30-45o.
3. Minta pasien menoleh ke sebelah kiri
4. Identifikasi vena jugularis externa pasien yang tampak jelas di sisi lateral leher. Carilah pulsasi tertinggi pada
vena jugularis dengan cara menekan bagian proksimal dan distal vena jugularis dengan jari telunjuk dan
jempol kemudian lepas bagian distal vena jugularis sehingga tampak pulsasi aliran darah vena
5. Identifikasi posisi angulus sternum pasien.
6. Ukur jarak (dalam cm) antara pulsasi tertinggi vena jugularis externa ke angulus sternum dengan
menggunakan 2 mistar
7. Tentukan jaraknya (dalam cm) dari bidang yang melalui angulus sternum.
8. Lakukan interpretasi dari hasil pengukuran tersebut.
2.4 Interpretasi Hasil
JVP normal: tinggi pulsasi vena jugularis terhadap angulus sternum kurang dari 2 cm.
Bila tingginya lebih dari 2 cm, menandakan kenaikan tekanan vena jugularis, misalnya akibat gagal jantung
kanan.
JVP normal = 5-2 cm H2O
PENUNTUN LKK 4 BLOK 10: INTERPRETASI SUARA JANTUNG

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan pemeriksaan suara jantung normal.
a. Mempersiapkan pasien dan alat.
b. Meletakkan stetoskop pada posisi yang tepat.
c. Mendengarkan bunyi jantung I dan II.
2. Melakukan pemeriksaan suara jantung patologis.
a. Mendengarkan bunyi jantung tambahan.
3. Melakukan interpretasi suara jantung.

B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Auskultasi jantung menggunakan alat stetoskop. Stetoskop yang dipakai di sini adalah stetoskop duplek, yang
memiliki dua corong yang dapat dipakai bergantian. Corong pertama berbentuk kerucut (bell) yang sangat baik untuk
mendengarkan suara dengan frekuensi tinggi, sedangkan corong yang kedua berbentuk lingkaran (diafragma) yang
sangat baik untuk mendengarkan bunyi dengan nada rendah.
Pada auskultasi, selama beberapa pukulan jantung harus diusahakan untuk mendengarkan dan memusatkan
perhatian pada bunyi 1, setelah ada kepastian barulah dipusatkan pada bunyi II. Pada auskultasi akan diperhatikan 2 hal,
yaitu :
a. Bunyi jantung
Bunyi Jantung I
Terjadi karena getaran menutupnya katub atrioventrikularis, yang terjadi pada saat kontraksi isometris dari bilik
pada permulaan systole. Getaran yang terjadi tersebut akan diproyeksikan pada dinding toraks yang kita dengar
sebagai bunyi jantung I. Intensitas dari BJ I tergantung dari :
- Kekuatan kontraksi bilik dimana ini tergantung dari kekuatan otot bilik.
- Kecepatan naiknya desakan bilik
- Letak katub A - V pada waktu systole ventrikel
- Kondisi anatomis dari katub A - V
Daerah auskultasi untuk BJ I:
1. Pada iktus : katub mitralis terdengar baik disini.
2. Pada ruang interkostal IV - V kanan. Pada tepi sternum : katub trikuspidalis terdengar disini
3. Pada ruang interkostal III kiri, pada tcpi sternum, merupakan tempat yang baik pula untuk mendengar katub
mitral.
Intensitas BJ I akan bertambah pada apek pada :
- stenosis mitral
- interval PR (pada EKG) yang begitu pendek
- pada kontraksi ventrikel yang kuat dan aliran darah yang cepat misalnya pada kerja fisik, emosi, anemi, demam
dll.
Intensitas BJ I melemah pada apeks pada :
- syok hebat
- interval PR yang memanjang
- dekompensasi hebat.

Bunyi jantung II
Terjadi akibat proyeksi getaran menutupnya katub aorta dan a. pulmonalis pada dinding toraks. lni terjadi
kira-kira pada permulaan diastole. BJ II normal selalu lebih lemah daripada BJ I. Pada anak-anak dan dewasa
muda akan didengarkan BJ II pulmonal lebih keras daripada BJ II aortal. Pada orang dewasa didapatkan BJ II
aortal lebih keras daripada BJ H pulmonal.
Intensitas BJ II aorta akan bertambah Pada :
- hipertensi
- artesisklerosis aorta yang sangat.
Intensitas BJ II pulmonal bertambah pada :
- kenaikan desakan a. pulmonalis, misalnya pada : kelemahan bilik kiri, stenosis mitralis, cor pulmonal kronik.
kelainan cor congenital.
BJ II menjadi kembar pada penutupan yang tidak bersama-sama dan katup aorta dan pulmonal. terdengar jelas
pada basis jantung BJ I dan II akan melemah pada :
- orang yang gemuk
- emfisema paru-paru
- perikarditis eksudatif
- penyakit-penyakit yang menyebabkan kelemahan otot jantung.
b. Bising jantung / cardiac murmur
Bising jantung lebih lama daripada bunyi jantung. Hal-hal yang harus diperhatikan pada auskultasi bising
adalah :
1. Apakah bising terdapat antara BJ I dan BJ II (=bising systole), ataukah bising terdapat antara BJ II dan BJ I
(=bising diastole). Cara termudah untuk menentukan bising systole atau diastole ialah dengan
membandingkan terdengarnya bising dengan saat terabanya iktus atau pulsasi a. carotis, maka bising itu
adalah bising sistol.
2. Tentukan lokasi bising yang terkeras.
3. Tentukan arah dan sampai mana bising itu dijalarkan. Bising itu dijalarkan ke semua arah tetapi tulang
merupakan penjalar bising yang baik, dan bising yang keras akan dijalarkan lebih dulu.
4. Perhatikan derajat intensitas bising tersebut.
Ada 6 derajat bising :
(1) Bising yang paling lemah yang dapat didengar. Bising ini hanya dapat didengar dalam waktu agak lama
untuk menyakinkan apakah benar-benar merupakan suara bising.
(2) Bising lemah, yang dapat kita dengar dengan segera
(3) dan (4) adalah bising yang demikian rupakan sehingga mempunyai intensitas diantara (2) dan (5)
(5) Bising yang sangat keras, tapi tak dapat didengar bila stetoskop tidak diletakkan pada dinding dada.
(6) Bising yang dapat didengar walaupun tak menggunakan stetoskop.
5. Perhatikan kualitas dari bising, apakah kasar, halus, bising gesek, bising yang meniup, bising yang melagu.

Secara klinis, bising dapat dibagi menjadi :


1. Bising fisiologis.
Biasanya bising yang sistolik berupa bising yang fisiologis, dan jarang patologis. Tetapi bising diatolik selalu
merupakan hal yang patologis.
Sifat-sifat bising fisiologis adalah sebagai berikut :
a. biasanya bersifat meniup.
b. tak pernah disertai getaran.
c. biasanya tidak begitu terasa tetapi lebih dari derajat II.
d. pada auskultasi terdengar baik pada sikap terlentang dan pada waktu ekspirasi.
e. dapat diauskultasi paling baik di ruang interkostal II – III kiri pada tempat konus pulmonalis.
2. Bising patologis
Seperti sudah dijelaskan bahwa bising diastolic pasti patologis, sedang bising sistolik bisa fisiologis, bisa
patologis. Bising sistolik yang terdapat pada apeks biasanya patologis. Sifatnya meniup, intensitasnya tak
tentu, lamanya juga tak tentu. Keadaan-keadaan ini sering dijumpai bising sistolik pada apeks:
a. Insufisiensi mitralis organik misal pada cacat katup karena reumatik.
b. Pembesaran hebat dari bilik kiri, sehingga annulus fibrosis relatif lebih besar daripada valvula mitralis.
Jadi disini ada insufisiensi mitral relatif. Hal ini terdapat pada miodegenerasi dan hipertensi hebat.
c. Anemia dan hipertiroid atau demam. Bising disini terjadi karena darah mengalir lebih cepat.
d. Stenosis aorta. Disini akan dijumpai adanya bising sistolik pada aorta, yang kemudian dihantarkan ke
apeks jantung. Sehingga pada apeks akan terdengar bunyi yang lebih lemah daripada aorta .

2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 4 Blok X FK UMP
2. Manikin suara jantung
3. Stetoskop
4. CD rekaman suara jantung normal dan patologis
5. Pengeras suara
6. Mikrofon

3. Langkah Kerja
1. Melakukan auskultasi pada manikin suara jantung menggunakan stetoskop.
2. Menempelkan stetoskop di empat area yaitu katup aorta, katup pulmonal, katup trikuspid, dan katup mitral.
3. Mendengarkan bunyi jantung I dan II.
4. Mendengarkan bunyi jantung tambahan pada manikin, yang telah diatur oleh instruktur.
5. Mendengarkan bunyi jantung dari CD.

4. Interpretasi Hasil
a. Suara jantung 1 (S1) : normal, tidak ada bising.
b. Suara jantung 2 (S2) : normal, tidak ada bising.
c. Suara jantung tambahan: normalnya tidak ada. Bila ada bisa dikategorikan menjadi gallop, murmur, splitting.
PENUNTUN LKK 5 BLOK 10: PEMASANGAN EKG DAN PEMBACAAN HASIL EKG NORMAL

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Melakukan pemasangan alat rekam jantung (EKG) secara runtut dan benar.
a. Mempersiapkan pasien dan alat.
b. Meletakkan elektroda pada tempat yang benar.
c. Melaksanakan penyadapan.
d. Membuat elektrokardiogram dan keterangannya .
e. Merawat alat EKG setelah pemeriksaan.
2. Melakukan pembacaan EKG normal.
a. Membaca hasil EKG.
b. Melakukan interpretasi hasil elektrokardiogram normal.

B. PELAKSANAAN
1. PANDUAN BELAJAR PEMASANGAN ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG)
1.1 Landasan Teori
Elektrokardiografi adalah representasi aktivitas listrik jantung yang direkam oleh elektroda pada permukaan
tubuh. EKG digunakan untuk mengukur kecepatan, ritme, konduksi, frekuensi, ukuran dan posisi jantung.
Potensial aksi pertama dari Nodus SA terlalu kecil sehingga tidak terlihat pada EKG. Eksitasi menyebar melalui
traktus interatrial, miokard atrium menghasilkan gelombang P. kemudian eksitasi masuk ke Nodus AV via traktus
internodus. Atrium depolarisasi menyebabkan kontraksi atrium sehingga terjadi ejeksi darah ke ventrikel. Setelah
itu, terjadi eksitasi Serabut His. Perlambatan di Nodus AV dan Serabut His sehingga terjadi waktu di antara
kontraksi atrium dan pengisian ventrikel. Serabut His bercabang menjadi cabang kiri (LBB) dan cabang kanan
(RBB). Serabut His meneruskan diri menjadi serabut Purkinje yang tersebar di miokard ventrikel. Semua kejadian
ini dicatat sebagai EKG dengan perincian sebagai berikut:
1. Gelombang P - depolarisasi atrium (repolarisasi atrium ditutupi kompleks QRS).
2. PR Interval
- mulai dari depolarisasi atrium pertama sampai permulaan depolarisasi ventrikel (permulaan gelombang
Q).
- Merupakan periode aktivasi atrium sampai ventrikel termasuk perlambatan di nodus AV, serabut His.
- Normal : 0,12 - 0,20 detik.
- Abnormal : memanjang bila konduksi AV memanjang (AV node lambat ) = heart block
- Variasi : Faktor – heart rate
3. Kompleks QRS
- Depolarisasi ventrikel (normal 0,06 – 0,10 detik)
- Abnormal : gangguan konduksi ventrikel
4. Interval QT
- Permulaan Q sampai akhir T
- Periode depolarisasi + repolarisasi ventrikel
- Kontraksi ventrikel
5. Segmen ST
- Garis isoelektrik
- Akhir S sampai permulaan T
- Depolarisasi ventrikel menyeluruh
- Abnormal : Elevasi : - jejas pada miokard
- infark miokard
Depresi : - iskemia pada miokard
6. Gelombang T
- Repolarisasi ventrikel
- Defleksi searah kompleks QRS
- Deviasi abnormal amplitudo : iskemia miokard, gangguan elektrolit, hipertrofi jantung
7. Gelombang U
- Tidak selalu terlihat.
- Repolarisasi cabang bundel (bundle branches), serabut Purkinje.
- Letak di antara gelombang T dan gelombang P.

Orientasi spasial 12 lead (elektroda) EKG


Penting untuk diingat bahwa EKG 12 elektroda menyediakan informasi spasial tentang aktivitas listrik
jantung dalam sedikitnya 3 daerah ortogonal (RA = right arm; LA= left arm, LF = left foot).
Setiap elektroda merupakan standar representasi orientasi ruang, sebagaimana ditunjukkan di bawah ini:
 Bipolar limb leads (frontal plane)
- LeadI : RA (-) to LA (+) (Right Left, or lateral)
- LeadII : RA (-).to LF (+) (Superior Inferior)
- LeadIII : LA (-) to LF (+) (Superior Inferior)
 Augmented unipolar limb leads (frontal plane)
- LeadaVR : RA (+) to [LA & LF] (-) (rightward)
- Lead aVL: : LA (+),to [RA & LF] (-) (leftward)
- LeadaVF : LF (+) to [RA & LA] (-) (Inferior)
 Unipolar (+) chest leads (horizontal plane)
c. Leads V1, V2, V3 : (Posterior Anterior)
d. Leads V4, V5, V6 : (Right Left, or Lateral)

1.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 5 Blok X FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pasien simulasi
4. Tempat tidur pasien
5. Elektrokardiogram
6. Kertas EKG
7. Jeli EKG
8. Tisu
9. Kapas
10. Alkohol 70%

1.3 Langkah Kerja


Mempersiapkan pasien
1. Melakukan penjelasan kepada pasien/keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan.
2. Meminta pasien untuk tidur terlentang.

Urutan perekaman EKG:


1. Mencuci tangan
2. Melepaskan pakaian pasien serta aksesoris lain seperti jam tangan, gelang dan logam lain.
3. Membersihkan kotoran dan lemak menggunakan kapas pada daerah dada, kedua pergelangan tangan
dan kedua tungkai dilokasi pemasangan manset elektroda.
4. Mengoleskan jeli EKG pada permukaan elektroda.
5. Memasang elektroda pada ekstremitas (lead I, II, III, aVR, aVF, AVL) dengan cara sebagai berikut :
1. Warna merah pada tangan kanan
2. Warna kuning pada tangan kiri
3. Warna hitam pada kaki kanan
4. Warna hijau pada kaki kiri
6. Memasang elektroda pada dada untuk precordial lead :
1. V1 di sela iga ke 4 pada garis sternal kanan
2. V2 di sela iga ke 4 pada garis sternal kiri
3. V3 terletak di antara V2 & V4
4. V4 di sela iga ke 5 pada garis tengah klavikula
5. V5 terletak di garis aksila anterior sejajar dengan V4
6. V6 terletak di garis aksila media sejajar dengan V4
7. Melakukan kalibrasi 10 mm dengan kecepatan 25 mm/volt/detik.
8. Membuat rekaman secara berurutan sesuai dengan pilihan lead yang terdapat pada mesin EKG.
9. Memberi identitas pasien hasil rekaman : nama, umur, tanggal dan jam rekaman serta nomor lead
(elektroda).
10. Merapikan alat-alat.
11. Mencuci tangan kembali.
1.4 Kesimpulan
Melihat hasil rekaman EKG dengan memperhatikan identitas pasien, apakah rekaman ini sudah sesuai
dengan standar dan layak diinterpretasi.

2. PANDUAN BELAJAR MEMBACA HASIL EKG NORMAL


2.1 Landasan Teori
Seperti pemeriksaan fisik, sangat dianjurkan mengikuti urutan langkah-langkah untuk menghindari kelainan
jantung yarig terlewat ketika membaca EKG, yang mungkin mempunyai arti klinis penting. Enam bagian utama
yang harus dipertimbangkan adalah:
1. Pengukuran
 Heart Rate (HR) = (nyatakan atrium dan ventrikel bila keduanya mempunyai frekuensi yang berbeda)
 Interval PR = dari awal gelombang p hingga awal kompleks QRS
 Durasi QRS kompleks = (width of most representative QRS)
 Interval QT = dari awal kompleks QRS hingga akhir gelombang T
 Aksis= menghitung vektor komplek QRS pada elektroda I dan aVF. Bila berada pada kuadran 0°- 90°
maka aksis jantung normal.

2. Analisis irama
 Irama dasar (seperti: "irama sinus normal", "fibrilasi atrial", dan lain-lain)
 Identifikasi irama tambahan bila ada (seperti: "PVCs","PAC's", dan lain-lain)
 Pertimbangkan asal irama, dari atrium, AV junction, ventrikel.
3. Analisis konduksi
Konduksi normal berarti konduksi nodus SA, nodus AV, interventrikular.
 Identitikasi abnormalitas konduksi berikut ini:
 SA block :derajat 2 (tipe I, tipe II)
 AV block : lst, 2nd (type I vs. type II), and 3rd degree
 IV block : bundle branch, fascicular, and nonspecific blocks
 Exit blocks : blocks just distal to ectopic pacemaker site
4. Deskripsi bentuk gelombang
Analisia bentuk gelombang EKG yang normal pada semua elektroda standar :
 Gelombang P
 Kompleks QRS
 Segmen ST
 Gelombang T
 Gelombang U
5. Interpretasi EKG
Ini merupakan kesimpulan dari analisis di atas. Interpretasikanlah sebagai "Normal", atau "Abnormal".

6. Perbandingan dengan hasil perekaman EKG terdahulu


Bila ada hasil rekaman EKG terdahulu penderita, EKG sekarang sebaiknya dibandingkan untuk melihat
apakah ada perubahan yang signifikan. Perubahan ini mungkin mempunyai dampak penting dalam
pengambilah keputusan klinis

2.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 5 Blok X FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Hasil EKG normal

2.3 Langkah Kerja


Melakukan penilaian hasil EKG secara sistematis, yaitu :
1. Menentukan irama jantung.
2. Menentukan frekuensi jantung.
3. Menentukan arah aksis (sumbu) elektris jantung.
4. Menilai bentuk gelombang P
5. Menilai bentuk gelombang QRS
6. Menilai posisi segment ST
7. Menilai bentuk gelombang T
8. Menilai bentuk gelombang U (bila ada)

2.4 Interpretasi Hasil


Hasil EKG normal atau tidak normal.
PENUNTUN LKK 6 BLOK 10: PEMBACAAN HASIL EKG ABNORMAL

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
Melakukan pembacaan EKG abnormal.
1. Takiaritmia
a. Supraventrikular takikardia (SVT)
b. Ventrikular ekstrasistol (VES)
c. Atrial fibrilasi
d. Ventrikular Takikardi (VT)

2. Bradikardia
a. AV Block I, II dan III (AV block total)

3. Sindroma Koroner Akut


a. NSTEMI
b. STEMI

4. Left Bundle Branch Block (LBBB) dan Right Bundle Branch Block (RBBB)

5. Pembesaran ruang jantung


a. Pembesaran atrium kanan
b. Pembesaran atrium kiri
c. Pembesaran ventrikel kanan
d. Pembesaran ventrikel kiri

Landasan Teori
1. Takiaritmia
a. SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDIA ( SVT )
Definisi:
Takikardia dengan QRS sempit, sangat reguler, dengan laju jantung berkisar antara 150-240x/mnt.
Sebagian besar gelombang P ada di dalam kompleks QRS. QRS dapat lebar bila dengan aberansi,
walaupun sangat jarang, dapat disertai blok ke ventrikel atau ke atrium atau adanya kelainan EKG yang
disebabkan oleh adanya jalur aksesori; ditandai dengan interval PR yang pendek dan gelombang delta
pada pasien asimtomatik (sindrom WPW).
Sindrom WPW merupakan kelainan EKG pola WPW yang disertai takikardia (biasanya takikardia
dengan QRS sempit, reguler, dengan laju jantung berkisar antara 150-240x/mnt.
Kriteria Diagnosis:
EKG 12 sadapan:
- QRS sempit, sangat reguler, laju QRS berkisar antara 150-240x/mnt
- Sebagian besar gelombang P ada di dalam kompleks QRS.
b. EKSTRA SISTOL VENTRIKEL ( VES )

Definisi:
Kelainan irama yang ditandai dengan timbulnya kompleks QRS lebar (LBBB atau RBBB) yang datang
lebih awal daripada interval irama dasarnya.

Kriteria Diagnosis:
1. EKG 12 sadapan:
a. QRS lebar yang datang lebih awal, kadang disertai pause kompensatoar

2. EKG Holter
a. menilai seberapa sering timbulnya extrasistol (arrhythmic burden)
b. menilai adanya takikardia
c. kriteria VES benigna vs maligna :
- > 6 dalam 1 menit (10% dalam 24 jam)
- R on T

- Infark miokard
- Polimorfik
- Repetitif dan konsekutif (bigeminy, couplet, triplet)
c. Fibrilasi Atrial
Definisi:
Takiaritmia supraventrikular yang khas dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi sehingga
menyebabkan perburukan mekanis atrium

Kriteria diagnosis:
 Anamnesis
 EKG: laju ventrikel bersifat ireguler, tidak terdapat gelombang P yang jelas, gelombang P
digantikan dengan gelombang fibrilasi yang ireguler dan acak diikuti oleh kompleks QRS yang
ireguler pila, secara umum laju jantung berkisar 110-140x/menit tetapi jarang melebihi 160-
170x/menit, dapat ditemukan kelaianan lain seperti: konduksi aberan (QRS lebar), preeksitasi,
hitrofi ventrikel kiri, blok berkas cabang, tanda infar lama/akut
d.Ventrikular Takikardi (VT)

Definisi:
Tiga atau lebih kontraksi ventrikel prematur yang muncul berturut-turut dengan kecepatan >100 kali per
menit.

Diagnosis:
Gambaran EKG 12 sadapan:
 Didapatkan takikardi dengan kompleks QRS lebar (durasi>120 ms).
 Ciri lain VT: disosiasi atrioventrikular ( gelombang P yang tidak berhubungan dengan kompleks
QRS), fusion beat dan captured beat.
 Bagi dokter yang bekerja di layanan primer, adanya gambaran takikardi dengan QRS lebar
sudah harus dicurigai takikardi ventrikular
2. Bradikardi
ATRIOVENTRIKULAR BLOK DERAJAT I ( AV Blok I )

Definisi : keadaan dimana terjadi kegagalan konduksi impuls listrik dari nodus sino atrial ke ventrikel
tanpa adanya refrakter fisiologis

Kriteria diagnosis:
EKG 12 sadapan: Irama sinus , reguler, PR interval > 0.20 det

ATRIOVENTRIKULAR BLOK DERAJAT II TIPE 1 DAN TIPE 2 ( AV Blok II Tipe 1 dan Tipe
2)

Definisi: Keadaan dimana terjadi kegagalan konduksi impuls listrik dari nodus sino atrial ke ventrikel
tanpa adanya refrakter fisiologis

Kriteria diagnosis:
EKG 12 sadapan
1. Satu dari beberapa gelombang P tidak diteruskan ke kompleks QRS, dapat 5 : 2, 4 : 3, 3 : 2 dan
seterusnya (pada AV Blok II tipe 1 dan tipe 2)
2. PR interval :
- makin lama makin panjang, PR interval terpendek adalah segera setelah blok pada AV Blok II tipe 1;
- tetap, tidak makin memanjang pada AV Blok II tipe 2
3. Kompleks QRS
- sempit pada AV Blok II tipe 1
- lebar pada AV Blok II tipe 2
ATRIOVENTRIKULAR BLOK DERAJAT III

Definisi: Keadaan dimana terjadi kegagalan konduksi impuls listrik dari nodus sino- atrial ke ventrikel
tanpa adanya refrakter fisiologis

Kriteria Diagnosis:
EKG 12 sadapan:
1. Gelombang P dan gelombang QRS saling tidak ada hubungan.
2. Tergantung lokasi blok, maka irama escape bisa berasal dari junction (idio junctional rhythm, dengan
QRS sempit, dan laju jantung relatif lebih cepat) atau dari ventrikel (idio ventricular rhythm, dengan
kompleks QRS lebar dan laju jantung relatif lebih lambat).

3. SINDROMA KORONER AKUT


A. SINDROM KORONER AKUT DENGAN ELEVASI ST ( STEMI )
Definisi:
kejadian oklusi mendadak di arteri koroner epikardial dengan gambaran EKG elevasi segmen ST

Kriteria Diagnosis:
1. Memenuhi kriteria anamnesis
2. EKG : - Elevasi segmen ST > 1 mm di minimal dua lead yang berdekatan,
- Terdapat evolusi pada EKG 1 jam kemudian
Menentukan Lokasi Infark berdasarkan gambaran EKG
 Lead II, III, aVF: Inferior
 Lead V1-V6: anterior
 Lead V1-V4: anteroseptal
 Lead V4-V6, I, aVL: anterolateral
 Lead I, aVL: Lateral tinggi
 Lead V1-V6, I, aVL: anterior ekstensif
 Lead V3R-V4R: kanan
 Bayangan cermin Lead V1-V3: posterior

B. SINDROM KORONER AKUT TANPA ELEVASI ST

Definisi:
Sindroma klinik yang disebabkan oleh oklusi parsial atau emboli distal arteri koroner, tanpa elevasi segmen ST
pada gambaran EKG.

Kriteria Diagnosis:
1. Memenuhi kriteria anamnesis
2. Pemeriksaan EKG - tidak ada elevasi segmen ST, terdapat perubahan segmen ST atau gelombang T
3. Terdapat peningkatan abnormal enzim CKMB dan/atau Troponin
4. LEFT BUNDLE BRANCH BLOCK & RIGHT BUNDLE BRANCH BLOK

Kriteria Diagnosis
RBBB ( Right Bundle Branch Block)
- Blok terjadi pada cabang bekas His kanan
pada sisi proksimal dan anterior.
- QRS melebar >0,12 detik
- QRS triphasic ( RSR’) di V1-V3, Segmen
ST kadang depresi dan T inversi.
- Gelombang S melebar di V5, V6 dan I.
LBBB ( Left Bundle Branch Block)

Kriteria Diagnosis:

- Blok terjadi pada cabang bekas His kiri


- QRS melebar >0,12 detik
- Gelombang R yang besar, lebar, slured, tidak ada glombang Q dan S,tidak ada ST depresi dan
inversi gelombang T sadapan di V5,V6,I dan aVL.
- Gelombang R kecil,sering tidak ada yang mendahului gelombang S yang lebar dan dalam di V1
5. Pembesaran Ruang jantung
A. Pembesaran Atrium kiri
Kriteria Diagnosis:
P Mitral di lead II, III, aVF; terminal P negatif di V1
B. Pembesaran Atrium kanan
Kriteria Diagnosis:
P Pulmonal di lead II, III, aVF; Dominan P positif di V1

C. Pembesaran Ventrikel kanan


Kriteria Diagnosis:
R/S ratio>1 di V1, deviasi aksis ke kanan

D. Pembesaran Ventrikel kiri


Kriteria Diagnosis:
 S di V1 ditambah R di V6>35 mm
 S di V1>25 mm, R di V6>25 mm
 LVH strain, pembesaran atrium kiri

Media Pembelajaran
a. Penuntun LKK 6 Blok X FK UMP
b. Ruang periksa dokter
c. Hasil EKG abnormal

Langkah Kerja
1. Mahasiswa dibagi menjadi dua kelompok besar
2. Mahasiswa diberikan kuliah pengantar untuk masing-masing kelompok
3. Mahasiswa melakukan latihan pembacaan EKG sesuai scenario
a. Melakukan pembacaan EKG secara sistematis
- Menentukan irama jantung.
- Menentukan frekuensi jantung.
- Menentukan arah aksis (sumbu) elektris jantung.
- Menilai bentuk gelombang P
- Menilai bentuk gelombang QRS
- Menilaiposisi segment ST
- Menilaibentukgelombang T
- Menilaibentukgelombang U (bila ada)
b. Menentukan kelainan pada gambaran EKG

Interpretasi Hasil
Hasil EKG abnormal:
1. Takiaritmia
a. Supraventrikular takikardia (SVT)
b. Ventrikular ekstrasistol (VES)
c. Atrial fibrilasi
d. Ventrikular Takikardi (VT)

2. Bradikardia: AV Block I, II dan III (AV block total)


3. Sindroma Koroner Akut
a. NSTEMI
b. STEMI

4. Left Bundle Branch Block (LBBB) dan Right Bundle Branch Block (RBBB)
5. Pembesaran ruang jantung
a. Pembesaran atrium kanan
b. Pembesaran atrium kiri
c. Pembesaran ventrikel kanan
d. Pembesaran ventrikel kiri
PENUNTUN LKK 7 BLOK 10: RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP)

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengidentifikasi penderita henti jantung
a. Mengetahui indikasi dilakukannya resusitasi jantung paru.

2. Melakukan resusitasi jantung paru (RJP) secara runtut dan benar.


a. Melakukan kompresi dada (Chest Compression)

B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah suatu seri tindakan untuk menyelamatkan nyawa yang meningkatkan
kemungkinan hidup pada kasus henti jantung (cardiac arrest). RJP pada dasarnya menggabungkan kompresi dada
dan bantuan napas dengan tujuan mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penolong dan korban
tentunya berpengaruh pada aplikasi dari komponen-komponen RJP.
Setiap orang, baik terlatih maupun tidak, dapat menjadi penolong pada kasus henti jantung. Karena sangat
pentingnya kompresi dada pada henti jantung, maka langkah ini menjadi langkah pertama dalam urutan RJP
berdasarkan 2016American Heart Association Guidelines for CPR and Emergency Cardiovascular Care.
Algoritma Basic Life Support (BLS) adalah suatu konsep kerja untuk semua tingkatan penolong pada semua
seting yang mungkin. Setelah itu, penolong memulai kompresi dada, dengan atau tanpa ketersediaan defibrillator.
Algoritmanya adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan tanda henti jantung dan aktivasi sistem respon cepat emergensi
Ketika menemukan seseorang dengan henti jantung mendadak, seorang penolong pertama sekali harus
mengenali tanda bahwa korban/pasien tersebut mengalami henti jantung. Korban/pasien dengan henti jantung
tidak responsif bila dibangunkan. Pernapasannya tidak ada atau tidak normal. Look, listen and feel tidak lagi
dianjurkan. Pencarian denyut nadi pun sulit dilakukan, selain itu membutuhkan tambahan waktu. Setelah
mengenali, penolong sebaiknya segera mengaktifkan sistem respon cepat emergensi atau meminta orang-
orang di sekitar untuk membantunya.

2. Kompresi dada
Penolong harus melakukan kompresi dada pada semua korban/pasien henti jantung, tanpa memedulikan
karakteristik korban/pasien, tingkat kemampuan si penolong, maupun ketersediaan bantuan. Hal-hal yang
perlu diperhatikan pada kompresi dada pada henti jantung:
a. Frekuensi kompresi dada yang adekuat ( kira-kira 100 -120 kali/menit), tidak boleh melebihi
120x/menit
b. Kedalaman kompresi cukup:
- Dewasa: 5-6 cm. kedalaman tidak boleh melebihi 6 cm
- Balita dan anak: kurang lebih 1/3 diameter antero-posterior dada ATAU 4 cm pada balita dan 5 cm
pada anak.
c. Memberi kesempatan pada dinding dada untuk kembali ke posisi semula setelah kompresi dada.
d. Mengurangi kemungkinan terhentinya kompresi karena ada interupsi dari lingkungan sekitar.
e. Menghindari ventilasi berlebihan.

Jika ada dua atau lebih penolong, maka mereka harus bergantian melakukan kompresi dada setiap 2 menit atau
5 siklus.
3. Jalan napas dan ventilasi
Pembukaan jalan napas dengan metode headtilt-chin lift atau jaw thrust yang diikuti pemberian napas buatan
dapat meningkatkan oksigenasi dan ventilasi. Namun pemberian napas buatan ini dapat menginterupsi
kompresi dada pada kondisi satu orang penolong, sehingga pada satu orang penolong sebaiknya cukup
melakukan kompresi dada tanpa bantuan napas (Hands-only) atau memberikan napas buatan sambil tetap
melakukan kompresi dada (bila mampu). Ventilasi harus diberikan pada korban/pasien yang tampaknya
mengalami henti jantung akibat asfiksia (biasa terjadi pada balita, anak-anak, korban tenggelam). Bila sudah
ada bantuan medis yang datang untuk menangani jalan napas, dan sudah terpasang alat bantu nafas lanjut
dapat diberikan ventilasi 8-10 napas/menit tanpa menghentikan kompresi dada.

4. Defibrilasi
Pada BLS, defibrilasi menggunakan Automatic Eksternal Defibrillator (AED). Defibrilasi merupakan terapi
utama pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa denyut (pulseless). Salah satu kunci penting
suksesnya sebuah tindakan defibrilasi adalah kompresi dada yang dilakukan dengan baik dan benar.
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 7 Blok X FK UMP
2. Manikin Resusitasi Jantung Paru
3. Sarung tangan

3. Langkah Kerja
1. Mengamankan posisi penolong dan penderita (bila posisi dalam keadaan tidak aman, misal di jalan raya).
2. Melakukan pemeriksaan respon penderita dengan memanggil dan menepuk bahu penderita sambil menilai
breathing (pernafasan)
3. Meminta/memanggil bantuan
4. Mengatur posisi pasien (terlentang dengan alas datar dan keras)

Resusitasi Jantung Paru


1. Memeriksa pulsasi pada arteri karotis selama 10 detik.
2. Bila tidak teraba pulsasi, lakukan kompresi jantung dan ventilasi dengan perbandingan:
a. 1 penolong dan 2 penolong 30:2
3. Melakukan kompresi jantung dengan cara: menekan dada dengan telapak tangan pada posisi 1/3 bawah
sternum.
4. Melakukan kompresi dengan kedalaman cukup sebanyak 30 kali (ditandai dengan lampu hijau pada daerah
thoraks).
5. Melakukan manuver head tilt-chin lift untuk memastikan jalan napas lurus.
6. Melakukan ventilasi (mulut ke mulut) sebanyak 2 kali dengan benar (ditandai dengan lampu hijau pada
daerah mulut).
7. Kompresi dilakukan selama 5 siklus setelah itu dilakukan analisis irama (jika terpasang monitor), atau
melakukan kembali pengecekan nadi karotis.

MENGHENTIKAN RJP
RJP dihentikan bila:
1. Pasien/korban sadar, ROSC (Return Of Spontaneus Circulation)
2. Pasien/korban meninggal (setelah 6 siklus asistol dan ditemukan tanda-tanda kematian batang otak)
3. Penolong lelah.
4. Bantuan medis lanjut telah datang.

Anda mungkin juga menyukai