A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Melakukan anamnesis gangguan jantung.
a. Menanyakan keluhan utama.
b. Menanyakan keluhan tambahan.
c. Menanyakan gejala lain untuk menyingkirkan diagnosis banding.
d. Menanyakan faktor risiko.
e. Menanyakan riwayat penyakit dahulu.
f. Menanyakan riwayat penyakit keluarga.
2. Melakukan komunikasi dengan pasien baik secara verbal maupun non verbal.
a. Mengucapkan salam.
b. Memperkenalkan diri.
c. Menanyakan identitas pasien.
d. Memohon izin untuk melakukan anamnesis.
B. PELAKSANAAN
1. Landasan Teori
Anamnesis berasal dari kata anayang artinya hal-hal yang telah terjadi dan nesa artinya ingatan. Dibedakan 2
anamnesis yaitu :
1. Auto anamnesis yang berasal dari penderita sendiri
2. Allo anamnesis yang berasal dari orang lain seperti keluarga, polisi, penduduk lain
Anamnesis berisi informasi mengenai perjalan suatu penyakit mulai dari riwayat penyakit sekarang sampai
riwayat lainnya yang berkaitan dengan penyakit yang sekarang diderita. Beberapa hal yang harus digali dalam
proses anamnesis antara lain:
a. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
RPS adalah rincian gambaran dari keluhan utama pasien dengan sasaran untuk mendapatkan hubungan dan
gambaran umum bagaimana keluhan utama pasien terjadi.
b. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
RPD adalah catatan tentang penyakit dan pengobatan yang dialami pasien pada masa lalu, merupakan
informasi yang dapat menambah keterangan penyakit sekarang dan atau yang berpengaruh terhadap
pengelolaan pasien. Elemen inti dari RPD adalah :
1. Kelahiran dan perkembangan dini. Buatlah ikhtisar mengenai apa yang diketahui penderita tentang
kelahiran, makanan, pertumbuhan, tingkah laku dan lingkungannya, dengan menekankan hubungan antar
pribadi serta peristiwa-peristiwa penting pada masa kanak-kanaknya.
2. Penyakit-penyakit yang diderita sebelumnya (masa kanak-kanak dan lain-lain). Catatlah penyakit-
penyakit menular serta gejala-gejala sisa yang dialaminya, Imunisasi, reaksi-reaksi alergi dan
hipersenstiivitas dan reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh obat-obatan.
3. Pembedahan, cedera, kecelakaan dan masuk rumah sakit. Berikan tanggal-tanggal peristiwa terjadinya
dengan keadaan yang menyertai; pancing serta koreklah ulasan-ulasan penderita mengenai anestesia,
reaksi-reaksi obat dan hasil dari pengobatan yang diberikan kepadanya.
4. Obat-obatan, pengobatan dan kebiasaan. Tanyakan kepada penderita mengenai penggunaan teh, kopi,
alkohol, tembakau, obat-obat pencahar atau pengobatan lain yang dipergunakan secara teratur.
5. Kesehatan/keadaan umum. Catatlah penilaian penderita anda tentang kesehatannya sebagai baik, sedang
ataupun buruk.
c. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
RPK adalah riwayat penyakit yang diderita keluarga sebagai informasi apakah merupakan penyakit yang
ditularkan atau penyakit keturunan.
Elemen inti RPK adalah :
1. Latar belakang keluarga. Usia kedua orangtuanya, keadaan kesehatan mereka, penyakit-penyakit fisik
dan emosional yang pernah mereka derita di masa lalu, kejadian-kejadian penting yang berhubungan
dengan umur penderita pada saat peristiwa itu tetjadi. Cakup juga pertanyaan-pertanyaan yang
menyangkut kakek serta neneknya dan anggota keluarga lainnya.
2. Saudara kandung. Jumlah kehamilan yang pernah dialami oleh ibunya; jumlah saudara laki-laki dan
saudara perempuannya, keadaan kesehatan mereka semua, penyakit-penyakit yang pernah mereka derita.
3. Riwayat perkawinan. Suatu pernyataan tentang istri/suami serta anak-anak penderita, termasuk umur
mereka masing-masing, keadaan kesehatan mereka, penyakit-penyakit ataupun persoalan-persoalan yang
pernah dialami serta hubungan emosional yang terdapat antara mereka.
4. Riwayat keturunan. insiden penyakit penyakit tulang dan sendi, alergi, kanker, diabetes melitus, gangguan
perdarahan, hipertensi, epilepsi, penyakit ginjal, migren, gangguan saraf dan jiwa, demam rematik, tukak
lambung dan lain-lain pola penyakit yang dominan yang terdapat di lingkungan keluarga penderita.
d. Riwayat obstetrik apabila pasien wanita
e. Riwayat sosial dan lingkungan
1. Pendidikan, dinas kemiliteran dan kegiatan keagamaan. Uraikan bila ada hubungannya.
2. Riwayat pekerjaan. Uraikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan penderita, baik di dalam, maupun di luar
rumah, termasuk contoh kegiatan sehari-hari yang khas.
3. Pengaturan kehidupan. Uraikan aspek-aspek fisik dan sosial rumah penderita.
4. Masalah-masalah yang mempunyai hubungan dengan penyakit yang diderita sekarang ini. Perhatikan
serta pertimbangkan masalah-masalah keuangan, perubahan-perubahan dalam pekerjaan serta di rumah,
penyaluran seksual yang dilakukannya serta penggunaan alkohol, obat-obatan dan tembakau. Lakukan
penilaian terutama mengenai reaksi emosional penderita terhadap penyakit yang sekarang ini.
2. Media Pembelajaran
1. Panduan LKK 1 Blok X FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pasien simulasi
3. Langkah Kerja
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien dan orang tua pasien.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan anamnesis dan meminta izin kepada pasien atau orang tua pasien.
4. Menanyakan keluhan utama pasien.
5. Menanyakan riwayat penyakit sekarang (misalnya gejala kardiovaskular, kapasitas fungsional, demam).
6. Menanyakan riwayat penyakit dahulu (hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, CVD, PVD, penyakit
tiroid, PPOK, riwayat alergi dan riwayat pengobatan).
7. Menanyakan faktor risiko (misalnya usia dan jenis kelamin).
8. Menanyakan faktor pencetus.
9. Menanyakan faktor penyulit.
10. Menanyakan riwayat keluarga (hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, penyakit jantung iskemik).
11. Menanyakan kondisi personal dan sosial ekonomi (merokok, alkohol, drug abuser, obesitas, olahraga,
pola makan tinggi lemak jenuh dan garam, kepribadian tipe A).
Contoh Kasus :
1. Tn Hendro, 57 tahun datang ke UGD dengan keluhan nyeri dada sejak 6 jam yang lalu. Nyeri dada
dirasakan menjalar ke lengan kiri. Nyeri pertama kali timbul saat beraktifitas dan berkurang saat
istirahat. Dia menyangkal mengalami nafas pendek, mual dan muntah juga tidak. Tn Hendro memiliki
penyakit Hipertensi dan dislipidemia. Tn. Hendro pernah mengalami keluhan nyeri dada 6 bulan lalu
dan hilang saat beristirahat. Riwayat keluarga terdapat ayah yang meninggal disaat usia 56 tahun
karena menderita sakit jantung. Tn Hendro merokok 3 bungkus perhari
2. Tiva, seorang anak perempuan, umur 6 tahun dirujuk dari puskesmas ke RSMP karena sesak nafas
dan sering letih sejak 2 tahun yang lalu. Dari anamnesis terhadap ibunya diketahui bahwa bibir dan
jarinya sering biru terutama setelah ia bermain dengan temannya dan kelihatan letih sehingga ia
sering duduk jongkok. Ibu Tiva juga mengatakan sejak bayi sering terlihat biru dan ketika menyusu
pada ibu sering berhentisebentar kemudian di ulang lagi.Pertumbuhan badannya lebih kecil
dibandingkan dengan teman sebayanya.
3. Desi, usia 12 tahun, dibawa ibunya ke puskesmas karena nafasnya bertambah sesak sejak satu hari
yang lalu. Dari anamnesis dokter mendapatkan Desi sudah mengalami sesak sejak tiga bulan yang
lalu, sesak bertambah bila berjalan lebih kurang 10 meter dan beraktivitas. Bila tidur ia lebih suka
memakai bantal tinggi sampai dua bantal. Demam sejak lima bulan yang lalu, tidak tinggi dan hilang
timbul. Terdapat riwayat nyeri sendi yang berpindah-pindah sejak demam.
4. Ny. A, 28 tahun, karyawan, menikah, datang dengan keluhan berdebar-debar sejak 3 hari yang lalu
4. Kesimpulan
Mahasiswa menyimpulkan kemungkinan penyakit yang diderita pasien berdasarkan hasil anamnesis tersebut.
PENUNTUN LKK 2 BLOK 10: ANAMNESIS GANGGUAN SEREBROVASKULAR
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan anamnesis gangguan serebrovaskular.
a. Menanyakan keluhan utama.
b. Menanyakan riwayat penyakit sekarang.
c. Menanyakan keluhan tambahan untuk menyingkirkan diagnosis banding.
d. Menanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan/residivitas.
e. Menanyakan riwayat penyakit keluarga.
2. Melakukan komunikasi dengan pasien baik secara verbal maupun non verbal.
a. Mengucapkan salam.
b. Memperkenalkan diri.
c. Menanyakan identitas pasien.
d. Memohon izin untuk melakukan anamnesis.
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Diagnosis neurologi dapat dibedakan menjadi:
1. Diagnosis klinis
Ditegakkan dari hasil pemeriksaan klinis neurologis (hemiparesis, hipoestesi, parese N.VII, afasia,
dsb.).
2. Diagnosis topik
Lokalisasi topik lesi ( berdasarkan vaskularisasi cerebral(a.cerebri media, a.cerebri posterior,dsb)).
3. Diagnosis etiologik
Etiologi dari diagnosa klinis.
Pada saat melakukan anamnesis gangguan serebrovaskular terdapat empat hal yang harus digali secara
mendalam sehingga hasil anamnesis dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis pada gangguan
sistem serebrovaskular, yaitu:
a. KELUHAN UTAMA
Keluhan utama biasanya adalah keluhan yang membawa pasien /keluarga datang ke dokter / rumah sakit.
Keluhan ini dapat berupa gangguan aktivitas hidup sehari-hari atau gangguan fungsi neurologis lain seperti
gangguan kesadaran, motorik, sensorik, saraf-saraf kranialis, cara berjalan &keseimbangan , fungsi luhur,
serta gerakan abnormal. Dalam menggali keluhan utama, penting untuk mengetahui onset penyakit atau
keluhan tersebut dan biasanya keluhan utama sudah dapat 60 – 70% memberikan gambaran diagnosa.
Contoh keluhan yang biasa dialami oleh pasien dengan gangguan serebrovaskular:
“ penderita dirawat karena tidak dapat berjalan karena kedua tungkai tidak dapat digerakkan secara
tiba-tiba “
“penderita dibawa ke dokter karena tidak dapat berjalan sebab penglihatannya menjadi kabur secara
berangsur dalam 1 bulan ini “
b. INSULT
Insult adalah onset kejadian /serangannya akut. Pada keadaan ini, dapat muncul tanda dan gejala
sehubungan dengan kemungkinan topik dan etiologi seperti kejang, kelumpuhan tidak sama berat (topik),
kehilangan kesadaran, jantung berdebar disertai sesak nafas. Perlu juga ditanyakan hal yang memberatkan
dan progresifitas dari serangan, apakah keluhan memburuk atau menetap.
c. PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN
Penyakit yang berhubungan dapat berperan sebagai faktor risiko. Darah tinggi, jantung, DM, strok terdahulu
merupakan contoh penyakit yang berhubungan dengan gangguan serebrovaskular.
d. RESIDIVITAS
Residivitas berkaitan dengan apakah penyakit ini untuk pertamakali atau sebelumnya pernah mengalami
kelainan serupa. Residivitas yang terjadi dapat berupa residivitas baik dalam serangannya maupun sisi yang
terkena.Residivitas juga dapat digunakan untuk memprediksi prognosa.
2. Media Pembelajaran
1. Panduan LKK 2 Blok X FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pasien simulasi
3. Langkah Kerja
1. Mengucapkan salam kepada pasien.
2. Memperkenalkan diri kepada pasien.
3. Menanyakan identitas pasien.
4. Menjelaskan tujuan anamnesis yang akan dilakukan.
5. Menanyakan keluhan utama pasien.
- Tidak sadarkan diri
- Kejang
- Mulut mencong
- Bicara pelo
- Anggota gerak lumpuh sebelah
6. Menanyakan riwayat penyakit sekarang:
- Sejak kapan
- Progresivitas keluhan: bertambah buruk, membaik, hilang timbul.
- Keluhan tambahan: pusing, mual, demam, pandangan kabur, telinga berdenging, kesemutan, mati
rasa, dan lain-lain.
7. Menanyakan riwayat penyakit dahulu. Apakah pernah mengalami keluhan serupa, bagaimana prosesnya
hingga sembuh, apakah penyakit dahulu meninggalkan gejala sisa (sequele).
8. Menanyakan penyakit-penyakit lain yang berhubungan sebagai faktor-faktor risiko (misalnya: Darah tinggi,
Jantung, Diabetes Mellitus, riwayat keluarga).
9. Menyimpulkan hasil anamnesis.
1.4 Kesimpulan
Mahasiswa menyimpulkan kemungkinan penyakit pasien berdasarkan hasil anamnesis. Kemungkinan pasien
menderita stroke atau TIA atau massa intrakranial atau gangguan serebrovaskular lainnya.
SKENARIO LKK
ANAMNESIS GANGGUAN SEREBRO VASKULAR
Kasus 1: Tn. A umur 60 tahun, diantar keluarganya ke UGD karena tangan dan tungkai kanan terasa lemah
saat digerakkan. Lakukan anamnesis pada pasien ini!
Kasus 2: Tn. B, umur 66 tahun, diantar keluarganya ke UGD karena tangan dan tungkai kanan kesemutan
dan baal. Lakukan anamnesis pada pasien ini!
Kasus 3: Tn. C, umur 46 tahun, diantar keluarganya ke UGD karena tidak sadarkan diri. Lakukan anamnesis
pada pasien ini
Menanyakan tanda dan gejala sehubungan dengan kemungkinan topik dan etiologi :
3
apakah pasien sempat mengalami kehilangan kesadaran
apakah pasien sempat mengalami kejang
apakah ada keluhanmati/hilang rasa pada tangan dan tungkai kanan
Apakah pasien mengalami bicara pelo dan wajah mencong
Menanyakan keluhan tambahan untuk menyingkirkan diagnosis banding
4
apakah disertai keluhan jantung berdebar dan sesak nafas
!
PENUNTUN LKK 3 BLOK 10: PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG DAN JVP
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Melakukan pemeriksaan fisik jantung.
a. Melakukan inspeksi jantung.
b. Melakukan palpasi jantung.
c. Melakukan perkusi jantung.
d. Melakukan auskultasi jantung.
B. Pelaksanaan
1. PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG
1.1 Landasan Teori
Jantung terletak agak melintang di dalam rongga toraks. Dua per tiga bagiannya berada di sebelah kiri garis
tengah dan sepertiganya di sebelah kanan garis tengah. Proyeksi jantung pada permukaan dada dapat terlihat dari
gambar berikut :
a. Atrium kanan. Merupakan bagian jantung yang terletak paling jauh di sisi kanan, yaitu kira-kira 2 cm di
sebelah kanan tepi sternum setinggi sendi kostosternalis ke-3 sampai ke-6.
b. Ventrikel kanan. Menempati sebagian besar proyeksi jantung pada dinding dada. Batas bawahnya adalah
garis yang menghubungkan sendi kostosternalis ke-6 dengan apeks jantung.
c. Ventrikel kiri. Ventrikel kiri tidak begitu tampak jika dilihat dari depan. Pada proyeksi jantung pada dada,
daerah tepi kid -atas selebar 1,5 cm, merupakan wilayah ventrikel kiri. Batas kiri jantung adalah garis yang
menghubungkan apeks jantung dengan sendi kostosternalis ke-2 sebelah kiri.
d. Atrium kiri. Adalah bagian jantung yang letaknya paling posterior dan tidak terlihat dari depan. Kecuali
sebagian kecil saja yang terletak, di belakang sendi kostosternalis kiri ke-2.
Secara topografik jantung berada di bagian depan rongga mediastinum. Ruang mediastinum yang sempit itu
memisahkan jantung dari dinding toraks depan. Di belakang jantung terdapat organ-organ mediastinum lainnya.
Bagian dada yang ditempati oleh proyeksi jantung yang seperti terlukis di atas itu dinamakan prekordium.
I. INSPEKSI
Inspeksi jantung berarti mencari tanda-tanda yang mengungkapan keadaan jantung pada permukaan dada dengan
cara melihat / mengamati. Tanda-tanda itu adalah (1) bentuk prekordium (2) Denyut pada apeks jantung (3)
Denyut nadi pada dada (4) Denyut vena.
Bentuk prekordium
Pada umumnya kedua belah dada adalah simetris. Prekordium yang cekung dapat terjadi akibat perikarditis
menahun, fibrosis atau atelektasis paru, scoliosis atau kifoskoliosis clan akibat penekanan oleh benda yang
seringkali disandarkan pada dada dalam melakukan pekerjaan (pemahat tukang kayu dsb). Prekordium yang
gembung dapat terjadi akibat dari pembesaran jantung, efusi epikardium, efusi pleura, tumor paru, tumor
mediastinum dan scoliosis atau kifoskoliosis.
Penyakit jantung yang menimbulkan penggembungan setempat pada prekordium adalah penyakit jantung
bawaan ( Tetralogi Fallot ), penyakit katup mitral atau aneurisma aorta yang berangsur menjadi besar serta
aneurisma ventrikel sebagai kelanjutan infark kordis.
Denyut apeks jantung (iktus kordis)
Tempat iktus kordis belum tentu dapat dilihat terutama pada orang gemuk. Dalam keadaaan normal, dengan
sikap duduk, tidur terlentang atau berdiri iktus terlihat didalam ruangan interkostal V sisi kiri agak medial dari
linea midclavicularis sinistra. Pada anak-anak iktus tampak pada ruang interkostal IV, pada wanita hamil atau
yang perutnya buncit iktus kordis dapat bergeser ke samping kiri. Tempat iktus kordis sangat tergantung pada:
a. Sikap badan
Pada sikap tiduran dengan menghadap ke kiri iktus akan terdapat dekat linea axillaries anterior. Pada sikap
tiduran dengan menghadap ke klanan iktus terdapat dekat tepi sternum kiri. Pada sikap berdiri, iktus akan lebih
rendah dan lebih ke dalam dari pada sikap tiduran.
b. Letak diafragma.
Pada inspirasi yang dalam, maka letak iktus lebih ke bawah dan pindah ke medial ± 1- 1,5 cm. Pada wanita
hamil trimester III, dimana diafragma terdesak ke atas, maka iktus akan lebih tinggi letaknya, bisa pada ruang
interkostal III atau bahkan II, serta agak di luar linea midklavikularis. Pada ascites juga akan dijumpai keadaan
seperti tersebut di atas,
Kadang-kadang iktus dapat ditentukan dengan melihat papilla mammae, tapi seringkali hal ini tidak dapat
dijadikan patokan karena letak papilla mammae terutama pada wanita sangat variable. Iktus sangat menentukan
batas jantung kiri. Maka jika didapatkan iktus terdapat pada perpotongan antara spatium interkostale V kiri
dengan linea midklavikularis, berarti besar jantung normal. Jika iktus terdapat di luar linea midklavikularis, maka
menunjukan suatu hal tidak normal, yang dapat disebabkan oleh pembesaran jantung kiri atau jika besar jantung
adalah normal, maka perpindahan itu disebabkan oleh penimbunan cairan dalam kavum pleura kiri atau adanya
schwarte pleura kanan.
Jika iktus terdapat lebih medial (lebih kanan) dari normal, hal ini juga patologis, dapat terjadi karena
penimbunan cairan pleura kiri atau adanya schwarte pleura kanan.
Sifat iktus :
e. Pada keadaan normal, iktus hanya merupakan tonjolan kecil, yang sifatnya lokal. Pada pembesaran
yang sangat pada bilik kiri, iktus akan meluas.
f. Iktus hanya terjadi selama sistol. Oleh karena itu, untuk memeriksa iktus, perlu juga dilakukan palpasi
pada a. carotis comunis untuk merasakan adanya gelombang yang asalnya dari sistol.
II. PALPASI
Palpasi dapat menguatkan hasil yang didapat dari inspeksi. Denyutan yang tidak tampak, juga dapat
ditemukan dengan palpasi. Palpasi pada prekordiun harus dilakukan dengan telapak tangan dahulu, baru
kemudian memakai ujung ujung jari. Palpasi mula-mula harus dilakukan dengan menekan secara ringan dan
kemudian dengan tekanan yang keras. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien, sedang pasien dalam sikap
duduk dan kemudian berbaring terlentang.Telapak tangan pemeriksa diletakkan pada prekordium dengan ujung-
ujung jari menuju ke samping kiri toraks. Hal ini dilakukan untuk memeriksa denyutan apeks. Setelah itu tangan
kanan pemeriksa menekan lebih keras untuk menilai kekuatan denyutan apeks. Jika denyut apeks sudah
ditemukari dengan palpasi menggunakan telapak tangan, kita palpasi denyut apeks dengan memakai ujung-ujung
jari telunjuk dan tengah.
Denyutan, getaran dan tarikan dapat diteliti dengan jalan palpasi baik ringan maupun berat. Urutan palpasi
dalam rangka penderiksaan jantung adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan iktus cordis
Hal yang dinilai adalah teraba tidaknya iktus, dan apabila teraba dinilai kuat angkat atau tidak. Kadang-
kadang kita tidak dapat melihat, tetapi dapat meraba iktus. Pada keadaan normal iktus cordis dapat teraba pada
ruang interkostal kiri V, agak ke medial (2 cm) dari linea midklavikularis.kiri. Apabila denyut iktus tidak dapat
dipalpasi, bisa diakibatkan karena dinding toraks yang tebal misalnya pada orang gemuk atau adanya emfisema,
tergantung pada basil pemeriksaan inspeksi dan perkusi.
Denyut iktus cordis sangat kuat kalau pengeluaran darah dari jantung (output) besar. Dalam keadaan itu denyut
apeks memukul pada telapak tangan atau jari yang melakukan palpasi. Hal ini dapat terjadi pada insufisiensi aorta
dan insufisiensi mitralis. Pada keadaan hipertensi dan stenosis aorta denyutan apeks juga kuat, akan tetapi tidak
begitu kuat, kecuali jika ventrikel kiri sudah melebar (dilatasi) dan mulai timbul keadaan decompensatio cordis.
Denyutan yang memukul pada daerah sebelah kiri sternum menandakan keadaan abnormal yaitu ventrikel
kanan yang hipertrofi dan melebar. Hal ini dapat terjadi pada septum atrium yang berlubang, mungkin juga pada
stenosis pulmonalis atau hipertensi pulmonalis. Denyutan yang memukul akibat kelainan pada ventrikel kiri atau
ventrikel kanan dapat juga teraba di seluruh permukaan prekordium. Hal ini terjadi apabila penjalaran denyutan
menjadi sangat kuat karena jantung berada dekat sekali pada dada. Namun, harus tetap ditentukan satu tempat
dimana denyutan itu teraba paling keras.
Bunyi jantung II
Terjadi akibat proyeksi getaran menutupnya katub aorta dan a. pulmonalis pada dinding toraks. lni terjadi
kira-kira pada permulaan diastole. BJ II normal selalu lebih lemah daripada BJ I. Pada anak-anak dan dewasa
muda akan didengarkan BJ II pulmonal lebih keras daripada BJ II aortal. Pada orang dewasa didapatkan BJ II
aortal lebih keras daripada BJ H pulmonal.
Intensitas BJ II aorta akan bertambah Pada :
- hipertensi
- aterosklerosis aorta yang berat.
Intensitas BJ II pulmonal bertambah pada :
- kenaikan desakan a. pulmonalis, misalnya pada : kelemahan bilik kiri, stenosis mitralis, cor pulmonal kronik,
kelainan cor congenital.
BJ II menjadi kembar pada penutupan yang tidak bersama-sama dan katub aorta dan putmonal. Terdengar jelas
pada basis jantung BJ I dan II akan melemah pada :
- orang yang gemuk
- emfisema paru-paru
- perikarditis eksudatif
- penyakit-penyakit yang menyebabkan kelemahan otot jantung.
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan pemeriksaan suara jantung normal.
a. Mempersiapkan pasien dan alat.
b. Meletakkan stetoskop pada posisi yang tepat.
c. Mendengarkan bunyi jantung I dan II.
2. Melakukan pemeriksaan suara jantung patologis.
a. Mendengarkan bunyi jantung tambahan.
3. Melakukan interpretasi suara jantung.
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Auskultasi jantung menggunakan alat stetoskop. Stetoskop yang dipakai di sini adalah stetoskop duplek, yang
memiliki dua corong yang dapat dipakai bergantian. Corong pertama berbentuk kerucut (bell) yang sangat baik untuk
mendengarkan suara dengan frekuensi tinggi, sedangkan corong yang kedua berbentuk lingkaran (diafragma) yang
sangat baik untuk mendengarkan bunyi dengan nada rendah.
Pada auskultasi, selama beberapa pukulan jantung harus diusahakan untuk mendengarkan dan memusatkan
perhatian pada bunyi 1, setelah ada kepastian barulah dipusatkan pada bunyi II. Pada auskultasi akan diperhatikan 2 hal,
yaitu :
a. Bunyi jantung
Bunyi Jantung I
Terjadi karena getaran menutupnya katub atrioventrikularis, yang terjadi pada saat kontraksi isometris dari bilik
pada permulaan systole. Getaran yang terjadi tersebut akan diproyeksikan pada dinding toraks yang kita dengar
sebagai bunyi jantung I. Intensitas dari BJ I tergantung dari :
- Kekuatan kontraksi bilik dimana ini tergantung dari kekuatan otot bilik.
- Kecepatan naiknya desakan bilik
- Letak katub A - V pada waktu systole ventrikel
- Kondisi anatomis dari katub A - V
Daerah auskultasi untuk BJ I:
1. Pada iktus : katub mitralis terdengar baik disini.
2. Pada ruang interkostal IV - V kanan. Pada tepi sternum : katub trikuspidalis terdengar disini
3. Pada ruang interkostal III kiri, pada tcpi sternum, merupakan tempat yang baik pula untuk mendengar katub
mitral.
Intensitas BJ I akan bertambah pada apek pada :
- stenosis mitral
- interval PR (pada EKG) yang begitu pendek
- pada kontraksi ventrikel yang kuat dan aliran darah yang cepat misalnya pada kerja fisik, emosi, anemi, demam
dll.
Intensitas BJ I melemah pada apeks pada :
- syok hebat
- interval PR yang memanjang
- dekompensasi hebat.
Bunyi jantung II
Terjadi akibat proyeksi getaran menutupnya katub aorta dan a. pulmonalis pada dinding toraks. lni terjadi
kira-kira pada permulaan diastole. BJ II normal selalu lebih lemah daripada BJ I. Pada anak-anak dan dewasa
muda akan didengarkan BJ II pulmonal lebih keras daripada BJ II aortal. Pada orang dewasa didapatkan BJ II
aortal lebih keras daripada BJ H pulmonal.
Intensitas BJ II aorta akan bertambah Pada :
- hipertensi
- artesisklerosis aorta yang sangat.
Intensitas BJ II pulmonal bertambah pada :
- kenaikan desakan a. pulmonalis, misalnya pada : kelemahan bilik kiri, stenosis mitralis, cor pulmonal kronik.
kelainan cor congenital.
BJ II menjadi kembar pada penutupan yang tidak bersama-sama dan katup aorta dan pulmonal. terdengar jelas
pada basis jantung BJ I dan II akan melemah pada :
- orang yang gemuk
- emfisema paru-paru
- perikarditis eksudatif
- penyakit-penyakit yang menyebabkan kelemahan otot jantung.
b. Bising jantung / cardiac murmur
Bising jantung lebih lama daripada bunyi jantung. Hal-hal yang harus diperhatikan pada auskultasi bising
adalah :
1. Apakah bising terdapat antara BJ I dan BJ II (=bising systole), ataukah bising terdapat antara BJ II dan BJ I
(=bising diastole). Cara termudah untuk menentukan bising systole atau diastole ialah dengan
membandingkan terdengarnya bising dengan saat terabanya iktus atau pulsasi a. carotis, maka bising itu
adalah bising sistol.
2. Tentukan lokasi bising yang terkeras.
3. Tentukan arah dan sampai mana bising itu dijalarkan. Bising itu dijalarkan ke semua arah tetapi tulang
merupakan penjalar bising yang baik, dan bising yang keras akan dijalarkan lebih dulu.
4. Perhatikan derajat intensitas bising tersebut.
Ada 6 derajat bising :
(1) Bising yang paling lemah yang dapat didengar. Bising ini hanya dapat didengar dalam waktu agak lama
untuk menyakinkan apakah benar-benar merupakan suara bising.
(2) Bising lemah, yang dapat kita dengar dengan segera
(3) dan (4) adalah bising yang demikian rupakan sehingga mempunyai intensitas diantara (2) dan (5)
(5) Bising yang sangat keras, tapi tak dapat didengar bila stetoskop tidak diletakkan pada dinding dada.
(6) Bising yang dapat didengar walaupun tak menggunakan stetoskop.
5. Perhatikan kualitas dari bising, apakah kasar, halus, bising gesek, bising yang meniup, bising yang melagu.
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 4 Blok X FK UMP
2. Manikin suara jantung
3. Stetoskop
4. CD rekaman suara jantung normal dan patologis
5. Pengeras suara
6. Mikrofon
3. Langkah Kerja
1. Melakukan auskultasi pada manikin suara jantung menggunakan stetoskop.
2. Menempelkan stetoskop di empat area yaitu katup aorta, katup pulmonal, katup trikuspid, dan katup mitral.
3. Mendengarkan bunyi jantung I dan II.
4. Mendengarkan bunyi jantung tambahan pada manikin, yang telah diatur oleh instruktur.
5. Mendengarkan bunyi jantung dari CD.
4. Interpretasi Hasil
a. Suara jantung 1 (S1) : normal, tidak ada bising.
b. Suara jantung 2 (S2) : normal, tidak ada bising.
c. Suara jantung tambahan: normalnya tidak ada. Bila ada bisa dikategorikan menjadi gallop, murmur, splitting.
PENUNTUN LKK 5 BLOK 10: PEMASANGAN EKG DAN PEMBACAAN HASIL EKG NORMAL
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Melakukan pemasangan alat rekam jantung (EKG) secara runtut dan benar.
a. Mempersiapkan pasien dan alat.
b. Meletakkan elektroda pada tempat yang benar.
c. Melaksanakan penyadapan.
d. Membuat elektrokardiogram dan keterangannya .
e. Merawat alat EKG setelah pemeriksaan.
2. Melakukan pembacaan EKG normal.
a. Membaca hasil EKG.
b. Melakukan interpretasi hasil elektrokardiogram normal.
B. PELAKSANAAN
1. PANDUAN BELAJAR PEMASANGAN ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG)
1.1 Landasan Teori
Elektrokardiografi adalah representasi aktivitas listrik jantung yang direkam oleh elektroda pada permukaan
tubuh. EKG digunakan untuk mengukur kecepatan, ritme, konduksi, frekuensi, ukuran dan posisi jantung.
Potensial aksi pertama dari Nodus SA terlalu kecil sehingga tidak terlihat pada EKG. Eksitasi menyebar melalui
traktus interatrial, miokard atrium menghasilkan gelombang P. kemudian eksitasi masuk ke Nodus AV via traktus
internodus. Atrium depolarisasi menyebabkan kontraksi atrium sehingga terjadi ejeksi darah ke ventrikel. Setelah
itu, terjadi eksitasi Serabut His. Perlambatan di Nodus AV dan Serabut His sehingga terjadi waktu di antara
kontraksi atrium dan pengisian ventrikel. Serabut His bercabang menjadi cabang kiri (LBB) dan cabang kanan
(RBB). Serabut His meneruskan diri menjadi serabut Purkinje yang tersebar di miokard ventrikel. Semua kejadian
ini dicatat sebagai EKG dengan perincian sebagai berikut:
1. Gelombang P - depolarisasi atrium (repolarisasi atrium ditutupi kompleks QRS).
2. PR Interval
- mulai dari depolarisasi atrium pertama sampai permulaan depolarisasi ventrikel (permulaan gelombang
Q).
- Merupakan periode aktivasi atrium sampai ventrikel termasuk perlambatan di nodus AV, serabut His.
- Normal : 0,12 - 0,20 detik.
- Abnormal : memanjang bila konduksi AV memanjang (AV node lambat ) = heart block
- Variasi : Faktor – heart rate
3. Kompleks QRS
- Depolarisasi ventrikel (normal 0,06 – 0,10 detik)
- Abnormal : gangguan konduksi ventrikel
4. Interval QT
- Permulaan Q sampai akhir T
- Periode depolarisasi + repolarisasi ventrikel
- Kontraksi ventrikel
5. Segmen ST
- Garis isoelektrik
- Akhir S sampai permulaan T
- Depolarisasi ventrikel menyeluruh
- Abnormal : Elevasi : - jejas pada miokard
- infark miokard
Depresi : - iskemia pada miokard
6. Gelombang T
- Repolarisasi ventrikel
- Defleksi searah kompleks QRS
- Deviasi abnormal amplitudo : iskemia miokard, gangguan elektrolit, hipertrofi jantung
7. Gelombang U
- Tidak selalu terlihat.
- Repolarisasi cabang bundel (bundle branches), serabut Purkinje.
- Letak di antara gelombang T dan gelombang P.
2. Analisis irama
Irama dasar (seperti: "irama sinus normal", "fibrilasi atrial", dan lain-lain)
Identifikasi irama tambahan bila ada (seperti: "PVCs","PAC's", dan lain-lain)
Pertimbangkan asal irama, dari atrium, AV junction, ventrikel.
3. Analisis konduksi
Konduksi normal berarti konduksi nodus SA, nodus AV, interventrikular.
Identitikasi abnormalitas konduksi berikut ini:
SA block :derajat 2 (tipe I, tipe II)
AV block : lst, 2nd (type I vs. type II), and 3rd degree
IV block : bundle branch, fascicular, and nonspecific blocks
Exit blocks : blocks just distal to ectopic pacemaker site
4. Deskripsi bentuk gelombang
Analisia bentuk gelombang EKG yang normal pada semua elektroda standar :
Gelombang P
Kompleks QRS
Segmen ST
Gelombang T
Gelombang U
5. Interpretasi EKG
Ini merupakan kesimpulan dari analisis di atas. Interpretasikanlah sebagai "Normal", atau "Abnormal".
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
Melakukan pembacaan EKG abnormal.
1. Takiaritmia
a. Supraventrikular takikardia (SVT)
b. Ventrikular ekstrasistol (VES)
c. Atrial fibrilasi
d. Ventrikular Takikardi (VT)
2. Bradikardia
a. AV Block I, II dan III (AV block total)
4. Left Bundle Branch Block (LBBB) dan Right Bundle Branch Block (RBBB)
Landasan Teori
1. Takiaritmia
a. SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDIA ( SVT )
Definisi:
Takikardia dengan QRS sempit, sangat reguler, dengan laju jantung berkisar antara 150-240x/mnt.
Sebagian besar gelombang P ada di dalam kompleks QRS. QRS dapat lebar bila dengan aberansi,
walaupun sangat jarang, dapat disertai blok ke ventrikel atau ke atrium atau adanya kelainan EKG yang
disebabkan oleh adanya jalur aksesori; ditandai dengan interval PR yang pendek dan gelombang delta
pada pasien asimtomatik (sindrom WPW).
Sindrom WPW merupakan kelainan EKG pola WPW yang disertai takikardia (biasanya takikardia
dengan QRS sempit, reguler, dengan laju jantung berkisar antara 150-240x/mnt.
Kriteria Diagnosis:
EKG 12 sadapan:
- QRS sempit, sangat reguler, laju QRS berkisar antara 150-240x/mnt
- Sebagian besar gelombang P ada di dalam kompleks QRS.
b. EKSTRA SISTOL VENTRIKEL ( VES )
Definisi:
Kelainan irama yang ditandai dengan timbulnya kompleks QRS lebar (LBBB atau RBBB) yang datang
lebih awal daripada interval irama dasarnya.
Kriteria Diagnosis:
1. EKG 12 sadapan:
a. QRS lebar yang datang lebih awal, kadang disertai pause kompensatoar
2. EKG Holter
a. menilai seberapa sering timbulnya extrasistol (arrhythmic burden)
b. menilai adanya takikardia
c. kriteria VES benigna vs maligna :
- > 6 dalam 1 menit (10% dalam 24 jam)
- R on T
- Infark miokard
- Polimorfik
- Repetitif dan konsekutif (bigeminy, couplet, triplet)
c. Fibrilasi Atrial
Definisi:
Takiaritmia supraventrikular yang khas dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi sehingga
menyebabkan perburukan mekanis atrium
Kriteria diagnosis:
Anamnesis
EKG: laju ventrikel bersifat ireguler, tidak terdapat gelombang P yang jelas, gelombang P
digantikan dengan gelombang fibrilasi yang ireguler dan acak diikuti oleh kompleks QRS yang
ireguler pila, secara umum laju jantung berkisar 110-140x/menit tetapi jarang melebihi 160-
170x/menit, dapat ditemukan kelaianan lain seperti: konduksi aberan (QRS lebar), preeksitasi,
hitrofi ventrikel kiri, blok berkas cabang, tanda infar lama/akut
d.Ventrikular Takikardi (VT)
Definisi:
Tiga atau lebih kontraksi ventrikel prematur yang muncul berturut-turut dengan kecepatan >100 kali per
menit.
Diagnosis:
Gambaran EKG 12 sadapan:
Didapatkan takikardi dengan kompleks QRS lebar (durasi>120 ms).
Ciri lain VT: disosiasi atrioventrikular ( gelombang P yang tidak berhubungan dengan kompleks
QRS), fusion beat dan captured beat.
Bagi dokter yang bekerja di layanan primer, adanya gambaran takikardi dengan QRS lebar
sudah harus dicurigai takikardi ventrikular
2. Bradikardi
ATRIOVENTRIKULAR BLOK DERAJAT I ( AV Blok I )
Definisi : keadaan dimana terjadi kegagalan konduksi impuls listrik dari nodus sino atrial ke ventrikel
tanpa adanya refrakter fisiologis
Kriteria diagnosis:
EKG 12 sadapan: Irama sinus , reguler, PR interval > 0.20 det
ATRIOVENTRIKULAR BLOK DERAJAT II TIPE 1 DAN TIPE 2 ( AV Blok II Tipe 1 dan Tipe
2)
Definisi: Keadaan dimana terjadi kegagalan konduksi impuls listrik dari nodus sino atrial ke ventrikel
tanpa adanya refrakter fisiologis
Kriteria diagnosis:
EKG 12 sadapan
1. Satu dari beberapa gelombang P tidak diteruskan ke kompleks QRS, dapat 5 : 2, 4 : 3, 3 : 2 dan
seterusnya (pada AV Blok II tipe 1 dan tipe 2)
2. PR interval :
- makin lama makin panjang, PR interval terpendek adalah segera setelah blok pada AV Blok II tipe 1;
- tetap, tidak makin memanjang pada AV Blok II tipe 2
3. Kompleks QRS
- sempit pada AV Blok II tipe 1
- lebar pada AV Blok II tipe 2
ATRIOVENTRIKULAR BLOK DERAJAT III
Definisi: Keadaan dimana terjadi kegagalan konduksi impuls listrik dari nodus sino- atrial ke ventrikel
tanpa adanya refrakter fisiologis
Kriteria Diagnosis:
EKG 12 sadapan:
1. Gelombang P dan gelombang QRS saling tidak ada hubungan.
2. Tergantung lokasi blok, maka irama escape bisa berasal dari junction (idio junctional rhythm, dengan
QRS sempit, dan laju jantung relatif lebih cepat) atau dari ventrikel (idio ventricular rhythm, dengan
kompleks QRS lebar dan laju jantung relatif lebih lambat).
Kriteria Diagnosis:
1. Memenuhi kriteria anamnesis
2. EKG : - Elevasi segmen ST > 1 mm di minimal dua lead yang berdekatan,
- Terdapat evolusi pada EKG 1 jam kemudian
Menentukan Lokasi Infark berdasarkan gambaran EKG
Lead II, III, aVF: Inferior
Lead V1-V6: anterior
Lead V1-V4: anteroseptal
Lead V4-V6, I, aVL: anterolateral
Lead I, aVL: Lateral tinggi
Lead V1-V6, I, aVL: anterior ekstensif
Lead V3R-V4R: kanan
Bayangan cermin Lead V1-V3: posterior
Definisi:
Sindroma klinik yang disebabkan oleh oklusi parsial atau emboli distal arteri koroner, tanpa elevasi segmen ST
pada gambaran EKG.
Kriteria Diagnosis:
1. Memenuhi kriteria anamnesis
2. Pemeriksaan EKG - tidak ada elevasi segmen ST, terdapat perubahan segmen ST atau gelombang T
3. Terdapat peningkatan abnormal enzim CKMB dan/atau Troponin
4. LEFT BUNDLE BRANCH BLOCK & RIGHT BUNDLE BRANCH BLOK
Kriteria Diagnosis
RBBB ( Right Bundle Branch Block)
- Blok terjadi pada cabang bekas His kanan
pada sisi proksimal dan anterior.
- QRS melebar >0,12 detik
- QRS triphasic ( RSR’) di V1-V3, Segmen
ST kadang depresi dan T inversi.
- Gelombang S melebar di V5, V6 dan I.
LBBB ( Left Bundle Branch Block)
Kriteria Diagnosis:
Media Pembelajaran
a. Penuntun LKK 6 Blok X FK UMP
b. Ruang periksa dokter
c. Hasil EKG abnormal
Langkah Kerja
1. Mahasiswa dibagi menjadi dua kelompok besar
2. Mahasiswa diberikan kuliah pengantar untuk masing-masing kelompok
3. Mahasiswa melakukan latihan pembacaan EKG sesuai scenario
a. Melakukan pembacaan EKG secara sistematis
- Menentukan irama jantung.
- Menentukan frekuensi jantung.
- Menentukan arah aksis (sumbu) elektris jantung.
- Menilai bentuk gelombang P
- Menilai bentuk gelombang QRS
- Menilaiposisi segment ST
- Menilaibentukgelombang T
- Menilaibentukgelombang U (bila ada)
b. Menentukan kelainan pada gambaran EKG
Interpretasi Hasil
Hasil EKG abnormal:
1. Takiaritmia
a. Supraventrikular takikardia (SVT)
b. Ventrikular ekstrasistol (VES)
c. Atrial fibrilasi
d. Ventrikular Takikardi (VT)
4. Left Bundle Branch Block (LBBB) dan Right Bundle Branch Block (RBBB)
5. Pembesaran ruang jantung
a. Pembesaran atrium kanan
b. Pembesaran atrium kiri
c. Pembesaran ventrikel kanan
d. Pembesaran ventrikel kiri
PENUNTUN LKK 7 BLOK 10: RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP)
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengidentifikasi penderita henti jantung
a. Mengetahui indikasi dilakukannya resusitasi jantung paru.
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah suatu seri tindakan untuk menyelamatkan nyawa yang meningkatkan
kemungkinan hidup pada kasus henti jantung (cardiac arrest). RJP pada dasarnya menggabungkan kompresi dada
dan bantuan napas dengan tujuan mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penolong dan korban
tentunya berpengaruh pada aplikasi dari komponen-komponen RJP.
Setiap orang, baik terlatih maupun tidak, dapat menjadi penolong pada kasus henti jantung. Karena sangat
pentingnya kompresi dada pada henti jantung, maka langkah ini menjadi langkah pertama dalam urutan RJP
berdasarkan 2016American Heart Association Guidelines for CPR and Emergency Cardiovascular Care.
Algoritma Basic Life Support (BLS) adalah suatu konsep kerja untuk semua tingkatan penolong pada semua
seting yang mungkin. Setelah itu, penolong memulai kompresi dada, dengan atau tanpa ketersediaan defibrillator.
Algoritmanya adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan tanda henti jantung dan aktivasi sistem respon cepat emergensi
Ketika menemukan seseorang dengan henti jantung mendadak, seorang penolong pertama sekali harus
mengenali tanda bahwa korban/pasien tersebut mengalami henti jantung. Korban/pasien dengan henti jantung
tidak responsif bila dibangunkan. Pernapasannya tidak ada atau tidak normal. Look, listen and feel tidak lagi
dianjurkan. Pencarian denyut nadi pun sulit dilakukan, selain itu membutuhkan tambahan waktu. Setelah
mengenali, penolong sebaiknya segera mengaktifkan sistem respon cepat emergensi atau meminta orang-
orang di sekitar untuk membantunya.
2. Kompresi dada
Penolong harus melakukan kompresi dada pada semua korban/pasien henti jantung, tanpa memedulikan
karakteristik korban/pasien, tingkat kemampuan si penolong, maupun ketersediaan bantuan. Hal-hal yang
perlu diperhatikan pada kompresi dada pada henti jantung:
a. Frekuensi kompresi dada yang adekuat ( kira-kira 100 -120 kali/menit), tidak boleh melebihi
120x/menit
b. Kedalaman kompresi cukup:
- Dewasa: 5-6 cm. kedalaman tidak boleh melebihi 6 cm
- Balita dan anak: kurang lebih 1/3 diameter antero-posterior dada ATAU 4 cm pada balita dan 5 cm
pada anak.
c. Memberi kesempatan pada dinding dada untuk kembali ke posisi semula setelah kompresi dada.
d. Mengurangi kemungkinan terhentinya kompresi karena ada interupsi dari lingkungan sekitar.
e. Menghindari ventilasi berlebihan.
Jika ada dua atau lebih penolong, maka mereka harus bergantian melakukan kompresi dada setiap 2 menit atau
5 siklus.
3. Jalan napas dan ventilasi
Pembukaan jalan napas dengan metode headtilt-chin lift atau jaw thrust yang diikuti pemberian napas buatan
dapat meningkatkan oksigenasi dan ventilasi. Namun pemberian napas buatan ini dapat menginterupsi
kompresi dada pada kondisi satu orang penolong, sehingga pada satu orang penolong sebaiknya cukup
melakukan kompresi dada tanpa bantuan napas (Hands-only) atau memberikan napas buatan sambil tetap
melakukan kompresi dada (bila mampu). Ventilasi harus diberikan pada korban/pasien yang tampaknya
mengalami henti jantung akibat asfiksia (biasa terjadi pada balita, anak-anak, korban tenggelam). Bila sudah
ada bantuan medis yang datang untuk menangani jalan napas, dan sudah terpasang alat bantu nafas lanjut
dapat diberikan ventilasi 8-10 napas/menit tanpa menghentikan kompresi dada.
4. Defibrilasi
Pada BLS, defibrilasi menggunakan Automatic Eksternal Defibrillator (AED). Defibrilasi merupakan terapi
utama pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa denyut (pulseless). Salah satu kunci penting
suksesnya sebuah tindakan defibrilasi adalah kompresi dada yang dilakukan dengan baik dan benar.
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 7 Blok X FK UMP
2. Manikin Resusitasi Jantung Paru
3. Sarung tangan
3. Langkah Kerja
1. Mengamankan posisi penolong dan penderita (bila posisi dalam keadaan tidak aman, misal di jalan raya).
2. Melakukan pemeriksaan respon penderita dengan memanggil dan menepuk bahu penderita sambil menilai
breathing (pernafasan)
3. Meminta/memanggil bantuan
4. Mengatur posisi pasien (terlentang dengan alas datar dan keras)
MENGHENTIKAN RJP
RJP dihentikan bila:
1. Pasien/korban sadar, ROSC (Return Of Spontaneus Circulation)
2. Pasien/korban meninggal (setelah 6 siklus asistol dan ditemukan tanda-tanda kematian batang otak)
3. Penolong lelah.
4. Bantuan medis lanjut telah datang.