OLEH:
Dewi Rizki Apriliani, S.Kep.
NIM 182311101126
Permukaan atas dan bawah korpus dilapisi oleh kartilago hialin dan
dipisahkan oleh discus intervertebralis dan fibroblastilaginosa. Tiap discus
memiliki anulus fibrosus di perifer dan nukleus pulposus yang lebih lunak di
tengah yang terletak lebih dekat ke bagian belakang daripada bagian depan discus.
Nukleus pulpsus kaya akan glikosaminoglikan sehingga memiliki kandungan air
yang tinggi, namun kandungan air ini berkurang dengan bertambahnya usia.
Kemudian nukleus bisa mengalami hernia melalui anulus fibrosus, berjalan ke
belakang (menekan medula spinalis) atau ke atas (masuk ke korpus vertebralis –
nodus Schmorl). Diskus vertebra lumbalis dan servikalis paling tebal, karena ini
paling banyak bergerak (Faiz dan Moffat, 2004). Persendian pada korpus vertebra
adalah symphysis (articulation cartilaginosa sekunder) yang dirancang untuk
menahan berat tubuh dan memberikan kekuatan. Permukaan yang berartikulasio
pada vertebra yang berdekatan dihubungkan oleh diskus IV dan ligamen. Discus
IV menjadi perlengketan kuat di antara korpus vertebra, yang menyatukannya
menjadi kolummna semirigid kontinu dan membentuk separuh inferoir batas
anterior foramen IV. Pada agregat, discus merupakan kekuatan (panjang) kolumna
vertebralis. Selain memungkinkan gerakan di antara vertebra yang berdekatan,
deformabilitas lenturnya memungkinkan discus berperan sebagai penyerap
benturan (Moore dan Dalley, 2013).
D. Klasifikasi Fraktur
1. Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar di bagi menjadi 2 sebagai berikut:
a) Fraktur tertutup (closed)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
b) Fraktur terbuka (open/ compound fraktur)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang bila tulang yang patah menembus otot
dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Derajat I apabila laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen
minimal.
2) Derajata II apabila laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya,
dislokasi fragmen jelas.
3) Derajat III apabila luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
(a) Derajat IIIA: patah tulang terbuka dengan jaringan luas, tetapi
masih bisa menutupi patahan tulang saat dilakukan perbaikan.
(b) Derajat IIIB: patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak hebat atau hilang (soft tissue loes) sehingga tampak tulang
(bone-exposs).
(c) Derajat IIIC: patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh
darah dan atau saraf yang hebat.
2. Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Patah tulang lengkap apabila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.
b) Patah tulang tidak lengkap (Incomplete fraktur)
Patah tulang tidak lengkap apabila antara oatahan tulang masih ada
hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya
bengkok yang sering disebut green stick. Menurut Price dan Wilson
(2005) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang, dan jaringan
lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang
patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.
3. Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan
oleh trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
4. Menurut Smeltzer & Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 yaitu:
a) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b) Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c) Fraktur Multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
E. Etiologi Fraktur Vertebra
Etiologi dari fraktur menurut Price & Wilson (2006) ada 3 yaitu sebagai
berikut:
1. Cidera atau benturan
Kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat teradi patah pada tempat
yang terkena, akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak
disekitarnya. Jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka terjadi
fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan
jaringan lunak ditempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat
fraktur mungkin tidak ada. Fraktur karena trauma ada 2 yaitu:
a) Trauma langsung adalah benturan pada tulang yang berakibat ditempat
tersebut.
b) Trauma tidak langsung adalah titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur yang berjauhan.
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis. Penyebab dari fraktur dapat
disebabkan oleh adanya trauma akibat benturan keras pada tungkai bawah.
Benturan tersebut terjadi akibat kecelakan. Selain itu, fraktur juga disebabkan
oleh penekukan atau penarikan tendon dan ligament yang dapat berakibat
terpisahnya tulang.
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
Fraktur vertebra, khususnya vertebra servikalis dapat disebabkan oleh trauma
hiperekstensi, hiperfleksi,ekstensi rotasi, fleksi rotasi, atau kompresi servikalis.
Fraktur vertebra thorakal bagian atas dan tengah jarang terjadi, kecuali bila trauma
berat atau ada osteoporosis. Karena kanalis spinal di daerah ini sempit, maka
sering disertai gejala neurologis. Mekanisme trauma biasanya bersifat kompresi
atau trauma langsung. Pada kompresi terjadi fraktur kompresi vertebra, tampak
korpus vertebra berbentuk baji pada foto lateral. Pada trauma langsung dapat
timbul fraktur pada elemen posterior vertebra, korpus vertebra dan iga di
dekatnya.
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur menurut Smelzter & Bare (2002) adalah sebagai
berikut:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
Manifestasi klinis fraktur vertebra pada cervical
1. C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan)
2. C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas
3. C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan
4. C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit
5. C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep
6. C8 : gangguan fungsi jari
Gangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical menyebabkan
kelumpuhan tetraparese
G. Patofisiologi
Fraktur tulang belakang dapat terjadi di sepanjang kolumna bertebra tetapi
lebih sering terjadi di daerah servikal bagian bawah dan di daerah lumbal bagian
atas. Pada dislokasi akan tampak bahwa kanalis vertebralis di daerah dislokasi
tersebut menjadi sempit, keadaan ini akan menimbulkan penekanan atau kompresi
pada medulla spinalis atau rediks saraf spinalis. Dengan adanya penekanan atau
kompresi yang berlangsung lama mengakibatkan jaringan terputus akibatnya
daerah sekitar fraktur mengalami oedema / hematoma. Kompresi akibatnya sering
menyebabkan iskemia otot. Gejala dan tanda yang menyertai peningkatan tekanan
“compartmental” mencakup nyeri, kehilangan sensasi dan paralisis. Hilangnya
tonjolan tulang yang normal, pemendekan atau pemanjangan tulang dan
kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu menyebabkan terjadinya perubahan
bentuk (deformitas). Imobilisasi membentuk terapi awal pasien fraktur.
Imobilisasi harus dicapai sebelum pasien ditransfer dan bila mungkin, bidai harus
dijulurkan paling kurang satu sendi di atas dan di bawah tempat fraktur, dengan
imobilisasi mengakibatkan sirkulasi darah menurun sehingga terjadi perubahan
perfusi jaringan primer. (Markam, Soemarmo, 1992; Sabiston, 1995; Mansjoer,
2000)
H. Komplikasi
Adapun komplikasi dari fraktur vertebra, antara lain:
1. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar
akibat trauma.
2. Mal union
Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga
menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang
jelek menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yang
terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling
beradaptasi dan
membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union) jugadapat
menyebabkan mal union.
3. Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang. Non
union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
- Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi proses penyembuhan
fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibros yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan
bone grafting.
- Tipe II (atropic non union), disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta ronga cairan yang
berisi cairan, proses union tidak akan tercapai walaupun dilakukan
imobilisasi lama. Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti
disrupsi periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen
fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, distraksi interposisi,
infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis). Non union adalah jika
tulang tidak menyambung dalam waktu 20
minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam
waktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan fraktur secara
normal. Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat bayangan sklerosis pada
ujung-ujung fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID)
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau
pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat
seperti plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat
pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen
Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun
tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya.
Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula pada
pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat mengganggu aliran darah
dan terjadi edema didalam otot. Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak
mendapatkan tindakan dapat mengakibatkan kematian/nekrosis otot yang
nantinya akan diganti dengan jaringan fibros yang secara perlahan-lahan
menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya
adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi
hilang) dan Paralisis.
8. Cedera vascular dan kerusakan syaraf
Dapat menimbulkan iskemia, dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan
oleh adanya injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips,
balutan atau pemasangan traksi.
9. Dekubitus
Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena itu perlu
diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengatahui keadaan
tulang cruris yang mengalami fraktur yaitu:
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk mengetahui kadar Hb dan
hematokrit, kerana perdarahan yang terjadi akibat fraktur akan menyebabkan
kadar Hb dan hematokrit dalam tubuh menjadi rendah. Selain itu, Laju Endap
Darah (LED) akan meningkat apabila kerusakan yang terjadi pada jaringan
lunak sangat luas. Selain itu pemeriksaan golongan darah juga penting untuk
dilakukan apabila tindakan operasi dilakukan, dan pemeriksaan kadar kratinin
juga harus dilakukan, karena trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin
untuk kliren ginjal.
2. X-ray
Pemeriksaan Xray merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
melihat gambaran fraktur, deformitas (pergeseran fragmen pada fraktur) dan
metalikment. Pemeriksaan Xray merupakan salah satu metode dengan
menggunakan prosedur non invasif. Gambar diambil pada dua proyeksi, yaitu
PA (posteroanterior) atau AP (anteroposterior) dan lateral (LAT). Keuntungan
pemeriksaan Xray yaitu tidak ada residu radiasi di dalam tubuh, tidak ada
efek samping, dan cepat, dapat digunakan pada situasi darurat.
3. CT-scan
CT-scan merupakan alat yang bekerja dengan cara memproduksi gambaran
organ tubuh dengan menggunakan gelombang suara yang terkan pada
komputer(Bastiansyah, 2008). CT-scan dapat menghasilkan gambaran dari
organ tubuh termasuk keadaan tulang. Secara umum pemeriksaan CT-scan
dapat memberikan gambaran secara rinci mengenai struktur tulang, jaringan
dan cairah tubuh. Pada fraktur cruris CT-scan dapat digunakan untuk
mendeteksi struktur fraktur yang terjadi secara kompleks.
4. MRI (Magnetic Resonanci Imaging)
MRI merupakan alat diagnostik yang dapat menghasilkan potongan organ
tubuh menusia dengan menggunakan medan magnet tanpa menggunakan
sinar-X. MRI pada kejadian fraktur cruris dapat digunakan untuk
menegakkan diagonsis apabila terjadi robekan pada ligamen akibat kejadian
fraktur tersebut.
5. Rontgen
Pemeriksaan rontgen merupakan salah satu prosedur yang efektif bila
digunakan untuk mendeteksi terjadinya fraktur. Rontgen digunakan untuk
memotret tubuh bagian dalam, sehingga organ yang ada dalam tubuh dapat
terlihat dengan jelas, terutama pada bagian tulang yang mengalami fraktur.
Foto rontgen menggunakan media sinar X sebagai hasil untuk mengetahui
seberapa tingkat keparahan pada fraktur yang terjadi.
J. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada
waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (Manipulasi/ Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer,
2002). Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2
yaitu:
Cervikal 1-3 Cervikal 4-8 Torakal 1-12 LumbL 1, 3-5 Lumbal 2 Sacrum 1-5
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur tibia riwayat spiritualnya tidak mengalami
gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa bertoleransi terhadap
agama yang dianut, masih bisa mengartikan makna dan tujuan serta
harapan pasien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena
merasa dirinya tidak berguna (terutama kalau ada program amputasi).
g) Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak mengalami
gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batu tidak efektif sehingga terjadi
penurunan akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke belakang akibat
general anastesi, RR meningkat karena nyeri.
2) B2 (Blood)
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi dan
respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi
terutama pada fraktur terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi
dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi
terutama pada proses pembedahan.
3) B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan anastesi,
nyeri akibat pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan pada sistem
ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal, pola
defekasi tidak ada kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah trauma.
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (trauma)
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
5) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, luka
6) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan imobilitas
7) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
3. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri
(lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
(3016)
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
selama 3x24 jam nyeri akut pada pasien
4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
dapat berkurang, dengan kriteria hasil:
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu Terapi relaksasi (6040)
penyebab nyeri, mampu 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
menggunakan tehnik nafas dalam dan musik
nonfarmakologi untuk mengurangi 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
nyeri, mencari bantuan) Pemberian analgesik (2210)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
dengan menggunakan manajemen keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
nyeri 8. Cek adanya riwayat alergi obat
3. Mampu mengenali nyeri (skala, 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) frekuensi obat analgesik yang diresepkan
4. Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
Discharge Planning
Berdasarkan Nurafif dan Kusuma (2015) discharge planning untuk pasien
fraktur sebagai berikut:
1. Meningkatkan masukan cairan
2. Dianjurkan untuk diet lunak terlebih dahulu
3. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat
4. Kontrol sesuai jadwal
5. Mimun obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa jika ada
keluhan
6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang
7. Hindari trauma ulang.
DAFTAR PUSTAKA