Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR


VERTEBRA DI RUANG SERUNI RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:
Dewi Rizki Apriliani, S.Kep.
NIM 182311101126

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN FRAKTUR VERTEBRA
Oleh : Dewi Rizki Apriliani

A. Anatomi Fisiologi Tulang Vertebra


Tulang Belakang secara medis dikenal sebagai columna vertebralis (Malcolm,
2002). Rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang dibentuk
oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Diantara
setiap dua ruas tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Panjang
rangkaian tulang belakang pada orang dewasa mencapai 57 sampai 67 sentimeter.
Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah tulang terpisah
dan 9 ruas sisanya dikemudian hari menyatu menjadi sakrum 5 buah dan
koksigius 4 buah (Pearce, 2006). Tulang vertebra merupakan struktur komplek
yang secara garis besar terbagi atas 2 bagian. Bagian anterior tersusun atas korpus
vertebra, diskus intervertebralis (sebagai artikulasi), dan ditopang oleh
ligamentum longitudinale anterior dan posterior. Sedangkan bagian posterior
tersusun atas pedikel, lamina, kanalis vertebralis, serta prosesus tranversus dan
spinosus yang menjadi tempat otot penyokong dan pelindung kolumna vertebra.
Bagian posterior vertebra antara satu dan lain dihubungkan dengan sendi
apofisial (faset). Stabilitas vertebra tergantung pada integritas korpus vertebra
dan diskus intervertebralis serta dua jenis jaringan penyokong yaitu ligamentum
(pasif) dan otot (aktif) (Pearce, 2006).Vertebra dikelompokan dan dinamai sesuai
dengan daerah yang ditempatinya, yaitu:
a. Vertebra Servikal
Vertebra servikal terdiri dari tujuh tulang atau ruas tulang leher, ruas tulang
leher adalah yang paling kecil. Ruas tulang leher pada umumnya mempunyai
ciri badanya kecil dan persegi panjang, lebih panjang ke samping daripada ke
depan atau ke belakang. Lengkungnya besar, prosesus spinosus atau taju duri
ujungnya dua atau bivida. Prosesus transverses atau taju sayap berlubang-
lubang karena banyak foramina untuk lewatnya arteri vertebralis(Pearce,
2006).
b. Vertebra Torakalis
Vertebra torakalis terdiri dari dua belas tulang atau nama lainnya ruas tulang
punggung lebih besar dari pada yang servikal dan disebelah bawah menjadi
lebih besar. Ciri khasnya adalah badannya berbentuk lebar lonjong dengan
faset atau lekukan kecil disetiap sisi untuk menyambung iga, lengkungnya
agak kecil, taju duri panjang dan mengarah kebawah, sedangkan
taju sayap yang membantu mendukung iga adalah tebal dan kuat serta
memuat faset persendian untuk iga (Pearce, 2006).
c. Vertebra Lumbalis
Vetebra lumbalis terdiri dari lima ruas tulang atau nama lainnya adalah ruas
tulang pinggang, luas tulang pinggang adalah yang terbesar. Taju durinya
lebar dan berbentuk seperti kapak kecil. Taju sayapnya panjang dan langsing.
Ruas kelima membentuk sendi dan sakrum pada sendi lumbo sacral (Pearce,
2006).
d. Vertebra Sakralis
Vertebra sakralis terdiri dari lima ruas tulang atau nama lainnya adalah tulang
kelangkang. Tulang kelangkang berbentuk segi tiga dan terletak pada bagian
bawah kolumna vertebralis, terjepit diantara kedua tulang inominata. Dasar
dari sakrum terletak di atas dan bersendi dengan vertebra lumbalis kelima dan
membentuk sendi intervertebral yang khas. Tapi anterior dari basis sakrum
membentuk promontorium sakralis. Kanalis sakralis terletak dibawah kanalis
vertebra. Dinding kanalis sakralis berlubang-lubang untuk dilalui saraf sakral.
Taju duri dapat dilihat pada pandangan posterior dan sakrum.
e. Vertebra Kosigeus
Vertebra Kosigeus nama lainnya adalah tulang tungging. Tulang tungging
terdiri dari empat atau lima vertebra yang rudimenter yang bergabung
menjadi satu (Pearce, 2006).
Fungsi dari kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah
bekerja sebagai pendukung badan yang kokoh sekaligus juga bekerja sebagai
penyangga dengan perantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang
lengkungannya memberi fleksibilitas dan memungkinkan membengkok tanpa
patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila
menggerakan berat seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian
otak dan sumsum tulang belakang terlindung terhadap goncangan. Gelang
panggul adalah penghubung antara badan dan anggota bawah. Sebagian dari
kerangka axial, atau tulang sakrum dan tulang koksigeus, yang letaknya
terjepit antara dua tulang koxa, turut membentuk tulang ini. Dua tulang koxa
itu bersendi satu dengan lainnya di tempat simfisis pubis (Pearce, 2006).

Permukaan atas dan bawah korpus dilapisi oleh kartilago hialin dan
dipisahkan oleh discus intervertebralis dan fibroblastilaginosa. Tiap discus
memiliki anulus fibrosus di perifer dan nukleus pulposus yang lebih lunak di
tengah yang terletak lebih dekat ke bagian belakang daripada bagian depan discus.
Nukleus pulpsus kaya akan glikosaminoglikan sehingga memiliki kandungan air
yang tinggi, namun kandungan air ini berkurang dengan bertambahnya usia.
Kemudian nukleus bisa mengalami hernia melalui anulus fibrosus, berjalan ke
belakang (menekan medula spinalis) atau ke atas (masuk ke korpus vertebralis –
nodus Schmorl). Diskus vertebra lumbalis dan servikalis paling tebal, karena ini
paling banyak bergerak (Faiz dan Moffat, 2004). Persendian pada korpus vertebra
adalah symphysis (articulation cartilaginosa sekunder) yang dirancang untuk
menahan berat tubuh dan memberikan kekuatan. Permukaan yang berartikulasio
pada vertebra yang berdekatan dihubungkan oleh diskus IV dan ligamen. Discus
IV menjadi perlengketan kuat di antara korpus vertebra, yang menyatukannya
menjadi kolummna semirigid kontinu dan membentuk separuh inferoir batas
anterior foramen IV. Pada agregat, discus merupakan kekuatan (panjang) kolumna
vertebralis. Selain memungkinkan gerakan di antara vertebra yang berdekatan,
deformabilitas lenturnya memungkinkan discus berperan sebagai penyerap
benturan (Moore dan Dalley, 2013).

B. Pengertian Fraktur Vertebra


Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Price & Wilson, 2006). Berdasarkan Smeltzer & Bare (2002) fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur
terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
Fraktur vertebra adalah terputusnya discus invertebralis yang berdekatan dan
berbagai tingkat perpindahan fragmen tulang (Theodore, 1993) Fraktur atau patah
tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Lewis, 2000). Fraktur adalah terpisahnya
kontinuitas tulang normal yang terjadi karena tekanan pada tulang yang
berlebihan (Brunner and Suddarth 2002).

C. Epidemiologi Fraktur Vertebra


Insiden trauma spinal di dunia tercatat sebesar 0,019% - 0,088% per tahun.
Dari data 35-53 juta penduduk dunia. Namun demikian, data epidemiologi dari
masing-masing Negara berbeda sesuai dengan kekhususan dari masing-masing
negara yang dipengaruhi oleh latar belakang geografis, iklim, sosio ekonomi, serta
kultur masyarakat (Ballane G, 2017). Sejak tahun 2014 hingga tahun 2017
didapatkan total 442 pasien dengan fraktur vertebra datang ke IGD RSUD dr.
Soetomo Surabaya terdiri dari 341 pasien laki-laki (77%) dan 101 pasien
perempuan (23%).

D. Klasifikasi Fraktur
1. Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar di bagi menjadi 2 sebagai berikut:
a) Fraktur tertutup (closed)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
b) Fraktur terbuka (open/ compound fraktur)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang bila tulang yang patah menembus otot
dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Derajat I apabila laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen
minimal.
2) Derajata II apabila laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya,
dislokasi fragmen jelas.
3) Derajat III apabila luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
(a) Derajat IIIA: patah tulang terbuka dengan jaringan luas, tetapi
masih bisa menutupi patahan tulang saat dilakukan perbaikan.
(b) Derajat IIIB: patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak hebat atau hilang (soft tissue loes) sehingga tampak tulang
(bone-exposs).
(c) Derajat IIIC: patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh
darah dan atau saraf yang hebat.
2. Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Patah tulang lengkap apabila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.
b) Patah tulang tidak lengkap (Incomplete fraktur)
Patah tulang tidak lengkap apabila antara oatahan tulang masih ada
hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya
bengkok yang sering disebut green stick. Menurut Price dan Wilson
(2005) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang, dan jaringan
lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang
patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.
3. Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan
oleh trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
4. Menurut Smeltzer & Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 yaitu:
a) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b) Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c) Fraktur Multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
E. Etiologi Fraktur Vertebra
Etiologi dari fraktur menurut Price & Wilson (2006) ada 3 yaitu sebagai
berikut:
1. Cidera atau benturan
Kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat teradi patah pada tempat
yang terkena, akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak
disekitarnya. Jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka terjadi
fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan
jaringan lunak ditempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat
fraktur mungkin tidak ada. Fraktur karena trauma ada 2 yaitu:
a) Trauma langsung adalah benturan pada tulang yang berakibat ditempat
tersebut.
b) Trauma tidak langsung adalah titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur yang berjauhan.
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis. Penyebab dari fraktur dapat
disebabkan oleh adanya trauma akibat benturan keras pada tungkai bawah.
Benturan tersebut terjadi akibat kecelakan. Selain itu, fraktur juga disebabkan
oleh penekukan atau penarikan tendon dan ligament yang dapat berakibat
terpisahnya tulang.
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
Fraktur vertebra, khususnya vertebra servikalis dapat disebabkan oleh trauma
hiperekstensi, hiperfleksi,ekstensi rotasi, fleksi rotasi, atau kompresi servikalis.
Fraktur vertebra thorakal bagian atas dan tengah jarang terjadi, kecuali bila trauma
berat atau ada osteoporosis. Karena kanalis spinal di daerah ini sempit, maka
sering disertai gejala neurologis. Mekanisme trauma biasanya bersifat kompresi
atau trauma langsung. Pada kompresi terjadi fraktur kompresi vertebra, tampak
korpus vertebra berbentuk baji pada foto lateral. Pada trauma langsung dapat
timbul fraktur pada elemen posterior vertebra, korpus vertebra dan iga di
dekatnya.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur menurut Smelzter & Bare (2002) adalah sebagai
berikut:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
Manifestasi klinis fraktur vertebra pada cervical
1. C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan)
2. C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas
3. C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan
4. C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit
5. C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep
6. C8 : gangguan fungsi jari
Gangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical menyebabkan
kelumpuhan tetraparese

Manifestasi klinis fraktur vertebra pada torakal, antara lain:


1. T1 : gangguang fungsi tanganT1-T8 : gangguan fungsi pengendalian otot
abdominal, gangguan stabilitas tubuh
2. T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang tubuh

Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal, antara lain:


Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal
memberikan gejala paraparese.
1. L1 : Abdominalis
2. L2 : Gangguan fungsi ejakulasi
3. L3 : Quadriceps
4. L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut

Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sakral


Gangguang motorik kerusakan pada daerah sacral menyebabkan gangguan miksi
& defekasi tanpa para parese. Cedera pada segmen lumbar dan sakral dapat
mengganggu pengendalian tungkai, sistem saluran kemih dan anus. Selain
itu gangguan fungsi sensoris dan motoris, cedera vertebra dapat berakibat lain
seperti spastisitas atau atrofi otot.
1. S1 : Gangguan pengendalian tungkai
2. S2-S4 : Penile Erection
3. S2-S3 : Gangguan system saluran kemih dan anus

G. Patofisiologi
Fraktur tulang belakang dapat terjadi di sepanjang kolumna bertebra tetapi
lebih sering terjadi di daerah servikal bagian bawah dan di daerah lumbal bagian
atas. Pada dislokasi akan tampak bahwa kanalis vertebralis di daerah dislokasi
tersebut menjadi sempit, keadaan ini akan menimbulkan penekanan atau kompresi
pada medulla spinalis atau rediks saraf spinalis. Dengan adanya penekanan atau
kompresi yang berlangsung lama mengakibatkan jaringan terputus akibatnya
daerah sekitar fraktur mengalami oedema / hematoma. Kompresi akibatnya sering
menyebabkan iskemia otot. Gejala dan tanda yang menyertai peningkatan tekanan
“compartmental” mencakup nyeri, kehilangan sensasi dan paralisis. Hilangnya
tonjolan tulang yang normal, pemendekan atau pemanjangan tulang dan
kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu menyebabkan terjadinya perubahan
bentuk (deformitas). Imobilisasi membentuk terapi awal pasien fraktur.
Imobilisasi harus dicapai sebelum pasien ditransfer dan bila mungkin, bidai harus
dijulurkan paling kurang satu sendi di atas dan di bawah tempat fraktur, dengan
imobilisasi mengakibatkan sirkulasi darah menurun sehingga terjadi perubahan
perfusi jaringan primer. (Markam, Soemarmo, 1992; Sabiston, 1995; Mansjoer,
2000)

H. Komplikasi
Adapun komplikasi dari fraktur vertebra, antara lain:
1. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar
akibat trauma.
2. Mal union
Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga
menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang
jelek menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yang
terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling
beradaptasi dan
membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union) jugadapat
menyebabkan mal union.
3. Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang. Non
union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
- Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi proses penyembuhan
fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibros yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan
bone grafting.
- Tipe II (atropic non union), disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta ronga cairan yang
berisi cairan, proses union tidak akan tercapai walaupun dilakukan
imobilisasi lama. Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti
disrupsi periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen
fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, distraksi interposisi,
infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis). Non union adalah jika
tulang tidak menyambung dalam waktu 20
minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam
waktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan fraktur secara
normal. Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat bayangan sklerosis pada
ujung-ujung fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID)
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau
pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat
seperti plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat
pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen
Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun
tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya.
Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula pada
pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat mengganggu aliran darah
dan terjadi edema didalam otot. Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak
mendapatkan tindakan dapat mengakibatkan kematian/nekrosis otot yang
nantinya akan diganti dengan jaringan fibros yang secara perlahan-lahan
menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya
adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi
hilang) dan Paralisis.
8. Cedera vascular dan kerusakan syaraf
Dapat menimbulkan iskemia, dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan
oleh adanya injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips,
balutan atau pemasangan traksi.
9. Dekubitus
Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena itu perlu
diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengatahui keadaan
tulang cruris yang mengalami fraktur yaitu:
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk mengetahui kadar Hb dan
hematokrit, kerana perdarahan yang terjadi akibat fraktur akan menyebabkan
kadar Hb dan hematokrit dalam tubuh menjadi rendah. Selain itu, Laju Endap
Darah (LED) akan meningkat apabila kerusakan yang terjadi pada jaringan
lunak sangat luas. Selain itu pemeriksaan golongan darah juga penting untuk
dilakukan apabila tindakan operasi dilakukan, dan pemeriksaan kadar kratinin
juga harus dilakukan, karena trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin
untuk kliren ginjal.
2. X-ray
Pemeriksaan Xray merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
melihat gambaran fraktur, deformitas (pergeseran fragmen pada fraktur) dan
metalikment. Pemeriksaan Xray merupakan salah satu metode dengan
menggunakan prosedur non invasif. Gambar diambil pada dua proyeksi, yaitu
PA (posteroanterior) atau AP (anteroposterior) dan lateral (LAT). Keuntungan
pemeriksaan Xray yaitu tidak ada residu radiasi di dalam tubuh, tidak ada
efek samping, dan cepat, dapat digunakan pada situasi darurat.
3. CT-scan
CT-scan merupakan alat yang bekerja dengan cara memproduksi gambaran
organ tubuh dengan menggunakan gelombang suara yang terkan pada
komputer(Bastiansyah, 2008). CT-scan dapat menghasilkan gambaran dari
organ tubuh termasuk keadaan tulang. Secara umum pemeriksaan CT-scan
dapat memberikan gambaran secara rinci mengenai struktur tulang, jaringan
dan cairah tubuh. Pada fraktur cruris CT-scan dapat digunakan untuk
mendeteksi struktur fraktur yang terjadi secara kompleks.
4. MRI (Magnetic Resonanci Imaging)
MRI merupakan alat diagnostik yang dapat menghasilkan potongan organ
tubuh menusia dengan menggunakan medan magnet tanpa menggunakan
sinar-X. MRI pada kejadian fraktur cruris dapat digunakan untuk
menegakkan diagonsis apabila terjadi robekan pada ligamen akibat kejadian
fraktur tersebut.
5. Rontgen
Pemeriksaan rontgen merupakan salah satu prosedur yang efektif bila
digunakan untuk mendeteksi terjadinya fraktur. Rontgen digunakan untuk
memotret tubuh bagian dalam, sehingga organ yang ada dalam tubuh dapat
terlihat dengan jelas, terutama pada bagian tulang yang mengalami fraktur.
Foto rontgen menggunakan media sinar X sebagai hasil untuk mengetahui
seberapa tingkat keparahan pada fraktur yang terjadi.

J. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada
waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (Manipulasi/ Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer,
2002). Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2
yaitu:

a) Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)


Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap
sama.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan
untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu
dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
b) Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang
biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi
pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi,
pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan
fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan
penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada
tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. Tetapi dapat
juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi yang
paling sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial
batang.
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di
gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar
kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau
tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan
untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000). Prinsip dasar dari teknik ini adalah
dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal
terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan
satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang
berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai
temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive
treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan
jaringan lunak (Muttaqin, 2008). Alat traksi diberikan dengan kekuatan
tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2
macam yaitu:
a) Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk,
membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan
biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b) Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada
sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins /
kawat ke dalam tulang.
4. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan untuk aktifitas fungsional semaksimal mungkin dalam
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus
segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan
anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
Tahap penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 proses yaitu sebagai berikut:
1. Tahap pembentukan hematoma
Dalam 24 jam pertama mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk
ke area fraktur. Suplai darah meningkat dan terbentuk hematom yang
berkembang menjadi jaringan granulasi sampai hari kelima.
2. Tahap proliferasi
Dalam waktu sekitar 5 hari, hematom akan mengalami organisasi. Terbentuk
benang-benang fibrin dalam jendalan dara, membentuk jaringan untuk
revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast yang akan menghasilkan
kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang, lalu
akan terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan.
3. Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai
sisi lain sampai celah terhubung. Fragmen patahan tulang digabungkan
dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat imatur. Butuh 3-4
minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan
fibrus.
4. Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah
tulan melalui proses penulangan ndokondrial. Mineral terus menerus
ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu. Proses ini memerlukan waktu 3-
4 bulan.
5. Konsolidasi (6-8 bulan) dan Remodelling (6-12 bulan)
Tahap akhir dari perbaikan patah tulang adalah dengan aktifitas osteoblas dan
osteoclas. Kalus mengalami pembentukan tulang sesuai aslinya.
K. Clinical Pathway
Trauma mengenai tulang belakang

Cedera kolumna Vertebra

Cervikal Torakal Lumbal Sacrum

Cervikal 1-3 Cervikal 4-8 Torakal 1-12 LumbL 1, 3-5 Lumbal 2 Sacrum 1-5

Blok syaraf parasimpatis Kerusakan badan vertebra Gangguan Gangguan fungsi


Diskontinuitas tulang
fungsi rectum dan
ejakulasi kandung kemih
Kelumpuhan otot Jepitan saraf spinal Spasme otot
Perubahan jaringan sekitar paravertebral,
pernafasan
iritasi serabut
Kerusakan jalur Disfungsi
saraf Gangguan
Pergeseran fragmen tulang saraf seksual
Iskemia dan hipoksia Eliminasi Urin
dan Fekal
Gangguan fungsi Nyeri
Ketidefektifan pola nafas Paralisis dan paraplegi

Kelemahan fisik umum Hambatan mobilitas fisik

Ketidakmampuan merawat diri Penekanan setempat dalam waktu


secara mandiri yang lama

Defisit perawatan diri Risiko Sindrom Disuse


L. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat,status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah
sakitdan diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Adanya rasa nyeri pada daerah fraktur atau tidak
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan fraktur, pertolongan apa
yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat
mengetahui luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi
pada fraktur.
d) Riwayat Penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko
mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes menghambat
penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan fraktur adalah salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik.
f) Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada
beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti nyeri
yang hebat, dampak hospitalisasi terutama bagi pasien yang merupakan
pengalaman pertama masuk rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB seperti
konstipasi dan gangguan eliminasi urine akibat adanya program eliminasi
dilakukan ditempat tidur.
3) Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami
perubahan yang berarti, namun ada beberapa kondisi dapat menyebabkan
pola istirahat terganggu atau berubah seperti timbulnya rasa nyeri yang
hebat dan dampak hospitalisasi.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas) sebagaimana
biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan ditempat tidur. Hal ini
dilakukan karena ada perubahan fungsi serta program immobilisasi, untuk
melakukan aktivitasnya pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk
aktivitas yang sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya
sendiri.
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada
bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat
tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu
dapat juga terjadi ganggguan konsep diri body image, jika terjadi atropi
otot kulit pucat, kering dan besisik. Dampak psikologis ini dapat muncul
pada pasien yang masih dalam perawatan dirumah sakit. Hal ini dapat
terjadi karena adanya program immobilisasi serta proses penyembuhan
yang cukup lama.

7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur tibia riwayat spiritualnya tidak mengalami
gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa bertoleransi terhadap
agama yang dianut, masih bisa mengartikan makna dan tujuan serta
harapan pasien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena
merasa dirinya tidak berguna (terutama kalau ada program amputasi).
g) Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak mengalami
gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batu tidak efektif sehingga terjadi
penurunan akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke belakang akibat
general anastesi, RR meningkat karena nyeri.
2) B2 (Blood)
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi dan
respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi
terutama pada fraktur terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi
dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi
terutama pada proses pembedahan.
3) B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan anastesi,
nyeri akibat pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan pada sistem
ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal, pola
defekasi tidak ada kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah trauma.
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.

2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (trauma)
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
5) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, luka
6) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan imobilitas
7) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
3. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri
(lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
(3016)
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
selama 3x24 jam nyeri akut pada pasien
4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
dapat berkurang, dengan kriteria hasil:
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu Terapi relaksasi (6040)
penyebab nyeri, mampu 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
menggunakan tehnik nafas dalam dan musik
nonfarmakologi untuk mengurangi 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
nyeri, mencari bantuan) Pemberian analgesik (2210)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
dengan menggunakan manajemen keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
nyeri 8. Cek adanya riwayat alergi obat
3. Mampu mengenali nyeri (skala, 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) frekuensi obat analgesik yang diresepkan
4. Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang

2. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC


(00085) Koordinasi pergerakan (0212) Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
setelah dilakukan perwatan selama 3x24 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk memfasilitasi
jam mobilitas fisik pasien membanik mobilisasi sesuai indikasi
dengan kriteria hasil: 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
1. Dapat mengontrol kontraksi penyebab nyeri otot atau sendi
pergerakkan 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
2. Dapat melakukan kemantapan mengembangkan peningkatan mekanika tubuh
pergerakkan sesuai indiksi
3. Dapat menahan keseimbangan Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
pergerakkan 4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
fisiologis, dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif
6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi
latihan menurut lefel kebugaran 23actor23 atau
tidaknya faktor resiko
7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
8. Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan tanpa
beban terlebih dahulu sampai gerakan yang benar
sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah program
latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
3. Kerusakan integritas kulit NOC NIC
(00046) Intregitas jaringan: kulit dan membran Perawatan Luka Tekan (3520)
mukosa (1101) 1. Ajarkan pasien dan keluarga akan adanya
Setelah dilakukan tindakan tanda kulit pecah-pecah
keperawatan selama 3x24 jam 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
diharapkan integritas kulit tetap 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
terjaga dengan kriteria hasil: kering
1. Integritas kulit yang baik bisa 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap
dipertahankan (sensasi, elastisitas, dua jam sekali
temperatur, hidrasi, pigmentasi) 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
3. Perfusi jaringan baik daerah yang tertekan
4. Menunjukkan pemahaman dalam 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
proses perbaikan kulit dan 8. Monitor status nutrisi pasien
mencegah terjadinya cedera 9. Memandikan pasien dengan sabun dan air
berulang hangat
Pengecekan kulit (3590)
10. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan
adanya kemerahan
11. Amati warna, bengkak, pulsasi, tekstur,
edema, dan ulserasi pada ekstremitas
12. Monitor warna dan suhu kulit
13. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
14. Monitor infeksi terutama daerah edema
15. Ajrkan anggota keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda kerusakan kulit, dengan
tepat
4. Ansietas (00146) NOC NIC
Tingkat Kecemasan (1211) Pengurangan kecemasan (5820)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan
selama 1x 24 jam, ansietas pada pasien menyakinkan
dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku
1. Pasien dapat menyampaikan rasa
klien
takut secara lisan
3. Jelaskan semua prosedur termasuk sesuai yang
2. Tidak ada peningkatan tekanan darah
akan dirasakan yang mungkin akan alami klien
pasien
3. Tidak ada Peningkatan frekuensi selama prosedur
nadi pasien 4. Berikan informasi 25actual terkait diagnosis,
4. Tidak ada Peningkatan frekuensi perawatan dan prognosis
pernafasan pasien 5. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa
aman dan mengurangi ketakutan
6. dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan
ketakutan
7. dukung penggunaan mekanisme koping yang
sesuai
8. instruksikan klien untuk menggunakan teknik
relaksasi
9. kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan
5. Resiko infeksi (00004) NOC NIC
Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai
Setelah dilakukan tindakan keperawatan setiap pasien
selama 3x24 jam, tidak terjadi infeksi 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai
pada pasien dengan kriteria hasil: SOP rumah sakit
1. Luka tidak berbau busuk 3. Batasi jumlah pengunjung
2. Pasien tidak demam (suhu stabil) 4. Ajarkan cara mencuci tangan
3. Tidak terdapat nanah pada luka Perlindungan infeksi (6550)
4. Pasien dapat mengidentifikasi 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
6. Berikan perawatan kulit yang tepat
26actor resiko
Manajemen nutrisi (1100)
5. Mengenali 26actor resiko individu
7. Tentukan status gizi pasien
8. Identifikasi adanya alergi
Identifikasi resiko (6610)
9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
6. Ketidakefektifan perfusi NOC NIC
jaringan perifer (00204) Perfusi jaringan: perifer (0470) Manajemen cairan (4120)
Status sirkulasi (0401) 1. Jaga intake dan output pasien
Tanda-tanda vital (0802) 2. Monitor status hidrasi (mukosa)
Integritas jaringan: kulit dan membran 3. Berikan cairan IV sesuai dengan suhu kamar
mukosa (1101) Pengecekan kulit (3590)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4. Periksa kulit terkait adanya kemerahan dan
selama 2x24 jam, perfusi jaringan kehangatan
perifer pasien kembali efektif dengan 5. Amati warna, kehangatan, pulsasi pada
kriteria hasil: ekstremitas
1. Kekuatan denyut nadi Monitor tanda-tanda vital (6680)
2. Suhu kulit ujung tangan dan kaki 6. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
(hangat) pernafasan dengan tepat
3. Tekanan darah sistol dan diastol
(120/90 mmHg)
4. Suhu tubuh (36,50-37,50C)
5. Irama pernafasan reguler
6. Pernafasan (16-20 x/menit)
7. Nadi (60-100 x/menit)
8. Tidak sianosis
7. Risiko syok hipovolemik NOC NIC
(00205) Pencegahan syok Pencegahan syok (4260)
Management syok 1. Monitor status sirkulasi (tekanan darah, warna
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kulit, suhu kulit, denyut jantung, ritme, nadi
selama 1x24 jam, resiko infeksi pada perifer, dan CRT)
pasien dapat teratasi, dengan kriteria 2. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
hasil: 3. Monitor input dan output
4. Monitor tanda awal syok
1. Irama jantung dalam batas yang
5. Kolaborasi pemberian cairan IV dengan tepat
diharapkan
2. Frekuensi nafas daam batas yang
diharapkan
3. Irama pernafasan dalam batas yang
diharapkan
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

Discharge Planning
Berdasarkan Nurafif dan Kusuma (2015) discharge planning untuk pasien
fraktur sebagai berikut:
1. Meningkatkan masukan cairan
2. Dianjurkan untuk diet lunak terlebih dahulu
3. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat
4. Kontrol sesuai jadwal
5. Mimun obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa jika ada
keluhan
6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang
7. Hindari trauma ulang.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing


Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Carpenito, L.J. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisis 13. Jakarta:
EGC.
Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Jakarta: Medika
Aesculapius FK UI.
Mansjor, A. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan.
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. Oxford: Willey
Backwell.
Nurafif, A.H. dan K. Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Edisi 1. Yogyakarta: Mediaction.
Price, S. A. dan L. M. Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.
Volume 2. Jakarta: EGC.
Reksoprodjo, S. 2009. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher.
Smeltzer, S. C. dan B. G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth.Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai