Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

Demam Tifoid

Pembimbing:
dr. Nyayu Tri Yeni, Sp.PD

Disusun Oleh :
Fahira Adipramesti (1102015068)
Melani Oktavia (1102015131)
Yudha Ayatullah Khumaini (1102015248)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO
PERIODE 8 APRIL 2019 – 22 JUNI 2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2 Tujuan ..................................................................................................... 2

BAB II..................................................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 3

2.1 Definisi ..................................................................................................... 3

2.2 Epidemiologi ........................................................................................... 3

2.3 Etiologi ..................................................................................................... 3

2.4 Patogenesis .............................................................................................. 6

2.5 Manifestasi klinis .................................................................................... 7

2.6 Diagnosis.................................................................................................. 9

2.7 Tatalaksana ........................................................................................... 12

2.8 Komplikasi ............................................................................................ 20

2.9 Pencegahan............................................................................................ 23

2.10 Prognosis ............................................................................................... 24

KESIMPULAN…………………………………………………………….23

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1…………………………………………………………………………..5

Gambar 2…………………………………………………………………………..6

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit demam tifoid atau yang dikenal dengan penyakit tifus merupakan
salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi di indonesia. Pada daerah endemik,
sekitar 90% kasus dari demam enterik adalah kasus demam tifoid dan sampai saat
1
ini demam tifoid masih sering menjadi topik yang sering diperbincangkan. Pada
dasarnya demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang mengenai saluran
pencernaan dengan gejala seperti demam lebih dari tujuh hari, gangguan pada
saluran cerna, dan beberapa kasus yang tergolong berat menyebabkan adanya
gangguan kesadaran. Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri yang bernama
bakteri Salmonella typhi atau yang disingkat dengan bakteri S. typh. Bakteri ini
merupakan genus Salmonella yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan yang tercemar. Penyebarannya terjadi melalui fecal-oral.2

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah


dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara subtropis pun
prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang. Badan
kesehatan dunia, yaitu WHO, mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus
demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000,
dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.3 Sedangkan
Prevalensi demam tifoid di Indonesia sebesar 1,60%, tertinggi terjadi pada
kelompok usia 5–14 tahun, karena pada usia tersebut anak kurang memperhatikan
kebersihan diri serta kebiasaan jajan sembarangan yang dapat menyebabkan
penularan penyakit demam tifoid. Prevalensi menurut tempat tinggal paling banyak
di pedesaan dibandingkan perkotaaan, dengan pendidikan rendah dan dengan
jumlah pengeluaran rumah tangga rendah.2

1
Prevalensi demam tifoid yang tinggi di Indonesia menunjukan bahwa
dibutukan pemahaman yang baik terhadap penyakit ini agar dapat melakukan
diagnosis, pengobatan dan pencegahan yang tepat.

1.2 Tujuan
Referat ini akan membahas tentang demam tifoid. Dengan mengetahui dan
memahami demam tifoid, dapat dilakukan diagnosis, pengobatan, dan pencegahan
yang tepat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi dengan gejala utama demam, gangguan saluran
perncernaan, serta gangguan susunan saraf pusat/kesadaran.1,4

2.2 Epidemiologi
Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara
berkembang. .4 Hal ini karena ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang
baik belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang.
Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah,
Asia Selatan, Asia Tenggara dan kemungkinan Afrika Selatan (insidens >100 kasus
per 100.000 populasi per tahun). Insiden demam tifoid yang tergolong sedang (10-
100 kasus per 100.000 populasi per tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin
dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah
(<10 kasus per 100.000 per tahun) di bagian dunia lainnya.5
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga,
yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya
sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan
tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah .1

2.3 Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri gram
negatif, flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, dan fakultatif anaerob.
Salmonella typhi mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
3
membentuk lapis luar dinding sel dan dinamakan endotoksin .4 Demam tifoid
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus
Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora,
motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan rambut getar). Bakteri
ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah dan debu. Salmonella mati pada suhu 54,4°C dalam 1 jam atau 60°C
dalam 15 menit. Suhu umum untuk tumbuh adalah 37°C dengan pH antara 6-8.
Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu
Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena
untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus.
Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus
adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan
terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi
Salmonella typhi .

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari


tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid. 8

2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau


pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah
memenuhi kriteria penilaian.8

4
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang
dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
agglutinin.8

Gambar 1. Genus Salmonella

5
2.4 Patogenesis

Gambar 2. Patogenesis demam typoid


Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman
dimunaskah dalam lambung, sebagian dapat lolos ke dalam usus dan berkembang
biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia.
Di mana lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
6
makrofag, dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah dan mengakibatkan
bakteremia I yang bersifat asimtomatik lalu menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke sirkulasi darah kembali mengakibatkan
bakteremia II dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbukan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, myalgia,
sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (Salmonella typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah saluran sekitar plak Peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya .5

2.5 Manifestasi klinis


7
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari dan bersifat
asimtomatis. Pada minggu pertama ditemukan keluhan gejala infeksi seperti
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis.5
Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid.
Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya adalah :
a. Demam

Demam atau panas adalah gejala utama Tifoid. Pada awal sakit, demamnya
kebanyakan samar- samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih
rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke
hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit
kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diarea frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin
tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik
maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada
akhir minggu ke 3. Perlu diperhatikan terhadap laporan, bahwa demam yang khas
tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal ini
mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih
awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.

b. Gangguan Saluran Pencernaan


Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan kadang- kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi
selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue atau
selaput putih), dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita
sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu hati), disertai
nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan kontipasi. Pada
minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.
8
c. Gangguan Kesadaraan
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa
penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran
seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen
dan koma atau dengan gejala-gejala psychosis (Organic Brain Syndrome). Pada
penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
d. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan
nyeri tekan.
e. Bradikardia relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis
pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu
tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering
dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1'C tidak diikuti peningkatan
frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat
ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan
diregio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala- gejala klinis yang
berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangat
jarang ditemukan malahan lebih sering epitaksis. 10
2.6 Diagnosis
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat
untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah
terjadinya komplikasi .1
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditemukan adanya gejala klinis demam tifoid . Dengan
gejala klinis yang ditemukan, maka seseorang klinisi dapat membuat
diagnosis tersangka demam tifoid.

9
2. Pemeriksaan Fisik:
a. Bradikardia relatif dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid,
namun bukan gejala yang konsisten ditemukan di beberapa daerah
geografis lainnya, hepatomegali dan splenomegali sering ditemukan.
Beberapa rose spot, lesi maculopapular dengan diameter sekitar 2-4
mm, dilaporkan pada 5%-30% kasus yang tampak terutama pada
abdomen dan dada.
b. Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan
komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak
mempunyai lidah tifoid (kotor pada bagian tengah dan pinggirnya
hiperemis), meteriosmus, hepatomegali, splenomegali.

3. Pemeriksaan Penunjang
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain
itu dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan
hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju
endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus. Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah uji Widal dan
kultur salmonella shigella. Sampai sekarang kultur masih menjadi standar
baku dalam penegakan diagnosis. Selain uji Widal terdapat beberapa
metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan
mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik antara lain
pemeriksaan serologi IgM/IgG salmonella .5
a. Uji Widal
10
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella
typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Tujuan uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka
yaitu: a) Aglutinin O (dari tubuh kuman), b) Aglutinin H (flagella kuman),
dan c) Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk demam tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut
mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada
orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena
itu, uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit .5
b. Uji Typhidot
Uji Typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji Typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mendeteksi secara spesifik
antibodi IgM dan IgG terhadap antigen Salmonella typhi .5
c. Biakan Salmonella
i. Darah: umumnya (+) pada minggu pertama dan awal minggu ke-2
(60–80%) dari rose spot (60%), sumsum tulang (80–90%). Pemeriksaan
kultur sumsum tulang merupakan tindakan invasif, biasanya hanya
dilakukan untuk keperluan penelitian.
ii. Urin/feses: sesudah bakteremia sekunder (minggu ke-2-3).6
d. Pemeriksaan PCR
11
Pemeriksaan nested polymerase chain reaction (PCR) menggunakan
primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik
Salmonella typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik
cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan PCR terhadap S. typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang
tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa
yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap S. typhi
memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.13 Pemeriksaan nested
PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen
urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22
(68.1%).7
e. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lain seperti pencitraan (Rontgen toraks, Rontgen polos
perut (BNO), USG abdomen), D-dimer, dan lain-lain dilaksanakan apabila
terjadi penyulit.
2.7 Tatalaksana
Sampai saat ini trilogi penatalaksanaan demam tifoid adalah:
1. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Pasien
perlu diawasi untuk mencegah dekubitus pneumonia ortostatik serta higiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga .5
2. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)

12
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan, karena
makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita
akan semakin menurun dan proses penyembuhan menjadi lambat.5
3. Pemberian antimikroba
Eradikasi kuman

13
14
15
a. Kloramfenikol
Kloramfenikol menghambat sintesis protein sel mikroba.
Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan demam
tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral.
9

Efek samping yang sangat berat yaitu anemia aplastik atau biasa
dikenal dengan depresi sumsum tulang dan jika diberikan pada bayi < 2
minggu dengan gangguan hepar dan ginjal, kloramfenikol akan
terakumulasi dengan darah pada bayi khususnya pada pemberian dosis
tinggi akan menyebabkan gray baby sindrom, serta dapat menghambat
pembentukan sel- sel darah (eritrosit,trombosit dan granulosit) yang timbul
dalam waktu 5 hari sesudah dimulainya terapi, dari efek samping yang
timbul sehingga kloramfenikol memiliki persentase nomor dua
dibandingkan penggunaan golongan sefalosporin.
Walaupun penggunaan kloramfenikol memerlukan kehati-hatian,
namun penggunaannya masih lebih baik pada tifoid dibandingkan

16
antibiotika lain yang dilaporkan sudah resistensi, seperti ampisilin,
amoksisilin, kotrimoksasol, nalidixic acid, ciprofloxacin.

b. Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein
sel mikroba. Pilihan lain yang analog dengan kloramfenikol, yang masih
digunakan di Indonesia dan masih dianggap efektif untuk menyembuhkan
demam tifoid adalah tiamfenikol.9 Efek samping hematologis pada
penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada kloramfenikol.

c. Ciprofloxacin

Ciprofloxacin mempunyai mekanisme menghambat sintesis asam


nukleat sel mikroba. Golongan quinolon (ciprofloxacin) ini tidak dianjurkan
untuk anak-anak, karena dapat menimbulkan efek samping pada tulang dan
sendi, bila diberikan pada anak akan menggganggu pertumbuhan tulang
pada masa pertumbuhan anak. 9

d. Cefixime
Cefixime mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel
mikroba. Sefalosporin generasi ketiga yaitu Cefixime oral (15-20
mg/kg/hari, untuk orang dewasa, 100-200 mg dua kali sehari) telah banyak
digunakan pada anak-anak dalam berbagai daerah geografis diamati
penggunaan Cefixime oral memuaskan. Namun, dalam beberapa
percobaan Cefixime menunjukan tingkat kegagalan dan kekambuhan yang
lebih tinggi daripada fluoroquinolones.9

17
e. Azitromisin
Azitromisin mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel
mikroba. Golongan kuinolon dan azitromisin hampir sama efikasinya dan
aman untuk demam tifoid. Namun azitromisin bisa digunakan sebagai
alternatif, karena kuinolon memiliki kontraindikasi seperti pada anak-anak,
wanita hamil, dan kejadian resisten kuinolon.9 Namun penggunaanya jika
lebih dari 7 hari tidak diperbolehkan karena penetrasi jaringan lebih kuat dan
terakumulasi di kantung empedu. Penggunaan azitromisin selama 5 hari
ekuivalen dengan penggunaan antibiotik lain selama 10 hari, penggunaan 7
hari sama optimalnya dengan penggunaan antibiotik lain selama 14 hari

f. Amoksisilin
Amoksisilin mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Pada percobaan kombinasi Kloramfenikol dan Amoksisilin mempunyai efek
anti bakteri lebih lemah dibandingkan dengan bentuk tunggal Kloramfenikol
dalam menghambat pertumbuhan Salmonella typhi.9

g. Ceftriaxone
Ceftriaxone mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding
sel mikroba. Bila dibandingkan dengan intravena ceftriaxone (75 mg / hari;
maksimum 2,5 g / hari) setiap hari selama 5 hari, azitromisin oral (20 mg / kg
/ hari; maksimum 1000 mg / hari) tercapai tingkat efikasi yang hampir serupa
(97% vs. 94%). Tidak terdapat pasien yang menggunakan azitromisin
mengalami kekambuhan, sedangkan beberapa kekambuhan diamati pada
pasien yang menggunakan ceftriaxone. 9

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364

18
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, penggunaan
Ceftriaxone untuk terapi demam tifoid disarankan digunakan selama 5 hari.
Sifat dari obat ini yang menguntungkan yaitu dapat merusak spektrum kuman
dan tidak mengganggu sel manusia, bakteri spektrum luas, penetrasi jaringan
cukup baik, dan resistensi kuman masih terbatas. Sementara pengobatan
dengan golongan sefalosporin khususnya ceftriaxon hanya membutuhkan 10
hari rawat inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol selama 21
hari, sehingga obat antibiotik sefalosporin ini lebih banyak digunakan.
Ketika mengkonsumsi antibiotik direkomendasikan bersamaan
dengan air putih. Apabila dikonsumsi bersamaan dengan jus buah, alkohol
maupun produk susu seperti halnya mentega, yogurt, dan keju dapat
mengganggu proses absorpsi tubuh terhadap antibiotik. Rentang waktu
selama 3 jam setelah mengkonsumsi antibiotik barulah diperbolehkan
mengkonsumsi makanan dan minuman tersebut. Jus anggur serta suplemen
diet yang mengandung mineral seperti halnya kalsium juga dapat mengurangi
efek kerja antibiotik

4.Terapi Kortikosteroid Dexamethasone

Dexamethasone merupakan salah satu obat kortikosteroid yang masuk ke


dalam kelompok glukokortikoid sintetik yang memiliki efek anti inflamasi dan
imunosupresif, yang mana hal tersebut mendorong semakin dikembangkannya
berbagai steroid sintetik dengan aktivitas anti inflamasi dan imunosupresif.
Pemberian glukokortikoid direkomendasikan pada kasus demam tifoid berat
(halusinasi, perubahan kesadaran atau pendarahan usus). Hasil penelitian
menunjukan penurunan yang signifikan dalam mortalitas pada pasien demam
tifoid. Penggunaan kortikosteroid seperti Dexamethasone yang tidak sesuai
dengan indikasi yang jelas dapat menyebabkan munculnya efek samping.
19
Pemberian Dexamethasone pada ibu hamil dapat beresiko kelahiran prematur,
meningkatkan aliran darah arteri uterine.

2.8 Komplikasi
Pada minggu ke-2 atau ke-3, sering timbul komplikasi demam mulai
dariyang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering
terjadi diantaranya:
a. Demam Tifoid Toksik (Tifoid Ensefalopati)
Demam tifoid toksik (tifoid ensefalopati) didapatkan gangguan atau
penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium sampai koma yang
disertai atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Analisa cairan otak dalam
batas normal.
b. Syok Septik
Syok septik adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, pasien jatuh
ke dalam fase kegagalan vaskular (syok). Tekanan darah sistolik dan/atau
diastolik turun, nadi cepat, dan halus, berkeringat, serta akral dingin. Akan
berbahaya bila syok menjadi irreversibel.
c. Perdarahan, Perforasi Intestinal, dan Peritonitis
i. Perdarahan biasanya berupa buang air besar (BAB) darah
(hematoschezia) atau occult bleeding yang dapat terdeteksi dengan
pemeriksaan darah samar. Apabila perdarahan berat, pasien akan
tampak anemis bahkan berlanjut sampai syok hipovolemia. Suhu tubuh
akan mendadak turun dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir
syok.
ii. Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang, dan
nyeri tekan abdomen (paling nyata di kuadran kanan bawah). Pada
pemeriksaan perut didapatkan tanda distensi abdomen, defences
muscularum, ileus paralitik, bising usus melemah, dan pekak hati

20
menghilang. Perforasi dipastikan dengan pemeriksaan foto abdomen 3
posisi (diafragma, left lateral decubitus, dan plain abdomen). Perforasi
intestinal adalah komplikasi demam tifoid yang serius karena sering
menimbulkan kematian.
iii. Pada peritonitis, ditemukan gejala abdomen akut yakni nyeri perut
hebat, kembung, serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas (rebound
phenomenon) khas untuk peritonitis.
d. Hepatitis Tifosa
Demam tifoid disertai ikterus, hepatomegali dan kelainan tes fungsi hati
(peningkatan SGPT, SGOT dan bilirubin darah) dikatakan sebagai hepatitis
tifosa.
e. Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejalanya adalah sama dengan
pancreatitis akut. Penderita nyeri perut hebat, disertai mual dan muntah
warna kehijauan, meteorismus, serta bising usus menurun. Enzim amilase
dan lipase meningkat.
f. Pneumonia
Adalah komplikasi demam tifoid disertai tanda dan gejala klinis: batuk
kering, sesak napas, tarikan dinding dada, ditemukan adanya ronki/crakles,
serta gambaran infiltrat pada foto polos toraks. Pada anak umumnya
merupakan koinfeksi oleh mikroba lain.8
Pengobatan dan Perawatan Komplikasi

Prinsip

 Komplikasi demam tifoid harus terdeteksi secara dini;


 Monitor dan evaluasi, baik klinis maupun laboratoris harus terlaksana secara
adekuat;
 Bila komplikasi ada, terapi yang tepat segera diberikan. Bila komplikasi
21
berbahaya, harus dilaksanakan perawatan intensif serta di rawat secara
bersama dari bermacam-macam displin spesialis yang terkait;
 Pengobatan dan perawatan standar tifoid harus tetap terlaksana;
Terapi Komplikasi Tifoid

a. Tifoid Toksik

 Antimikroba yang dipilih adalah pemberian parenteral dan dapat ganda


(spektrum luas) seperti kombinasi Ampisilin dengan kloramfenikol.
Pemberian Kortikosteroid seperti deksametason dengan dosis 4x10 mg
intravena. Dosis untuk anak : 1 - 3 mg/kg BB/hr selama 3 - 5 hari.
 Penderita dirawat secara intensif

b. Syok Septik

 Penderita dirawat secara intensif

 Kegagalan hemodinamik yang terjadi diatasi secara optimal

 Antimikroba dipilih pemberian parenteral dan dapat ganda (spektrum


luas) seperti pada tifoid toksik

 Obat-obatan vasoaktif (seperti Dopamin) di pertimbangkan bila syok


mengarah irreversible

c. Perdarahan dan Perforasi

 Penderita dirawat secara intensif

 Dipertimbangkan transfusi darah bila telah indikasi. Segera transfusi


bila telah terjadi perdarahan akut, dimana perdarahan terjadi sebanyak
5 ml/Kg BB/ jam dan pemeriksaan hemostatis normal

22
a. Bila perforasi :Rawat bersama dengan dokter bedah
b. Operasi “cito” apabila terindikasi
c) Beri antibiotik spektrum luas untuk terapi tifoid dan infeksi
kontaminasi usus. Dipilih antibiotika dengan pemberian parenteral,
seperti Ampisilin -- Kloramfenikol -- Metronidazol.
d) Bila perforasi, perlu resusitasi cairan, puasa, pasang tube hidung
lambung, diet parenteral serta monitor keseimbangan cairan (bila perlu
dipasang kateter urin).

Komplikasi Lain diobati sesuai indikasi. Disamping itu obat-obatan dan


prosedur perawatan definitif untuk tifoid, tetap diberikan. 8
2.9 Pencegahan
Secara garis besar memperkecil tercemar Salmonella typhi, maka setiap
individu harus menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi,
higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan,
sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari.
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para
pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin
yang sudah ada yaitu:
a. Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun
dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan
efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
b. Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan
pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing

23
diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin
ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%.1

2.10 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung kecepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pegobatan. Munculnya komplikasi mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.

KESIMPULAN

1. Demam tifoid merupakan penyakit yang sering terjadi di Indonesia yang


disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi melalui fecal-oral.
2. Pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus terjadi di seluruh dunia, dengan
angka kematian mencapai 600.000 dan 90% dari angka kematian tersebut
terdapat di negara-negara Asia.
3. Gejala seperti demam, gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran,
hepatosplenomegali, dan dapat juga ditemukan bradikardi relative.
4. Untuk menegakan diagnosis perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti darah lengkap, Uji
Widal, Uji Typhidot, kultur darah, dan Pemeriksaan PCR.
5. Terdapat tatalaksana nonfarmakologis seperti tirah baring, diet lunak redah
serat, dan menjaga kebersihan.
6. Untuk tatalaksana farmakologis untuk saat ini Kloramfenikol masih
menjadi pilihan utama dan Tiamfenikol sebagai alternative pertama.

24
7. Perforasi merupakan komplikasi dari demam tifoid yang paling sering
menyebabkan kematian.
8. Pecegahan demam tifoid dapat dilakukan dengan menghindari makanan
yang tercemar dan menggunakan vaksin Vi Polysaccharharide atau Vaksin
Ty21a.

DAFTAR PUSTAKA

1.Nelwan, R. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Continuing Medical Education:


2012 ;39(4): 247-250.

2. Depkes RI. 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

3.[WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of


typhoid fever. World Health Organization; 2003: 17-18.

4. Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra


Irawan Satari. 2015. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

5. Widodo, Djoko. 2016. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

25
Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing.

6. Herry Garna dan Heda Melinda Nataprawira. 2014. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan
Sadikin.

7. Karyanti, Mulya Rahma. 2012. Pemeriksaan Diagnostik Terkini Demam Tifoid.


Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM/FKUI.

8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Sistematika Pedoman


Pengendalian Penyakit Demam Tifoid. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

9. Rahmasari,v & Lestari, k. 2018. Review: Manajemen Terapi Demam Tifoid:


Kajian Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi. Farmaka vol. 16 no.1

10. Depkes, (2010). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia.

26

Anda mungkin juga menyukai