Gxuyabckdjc
Gxuyabckdjc
Demam Tifoid
Pembimbing:
dr. Nyayu Tri Yeni, Sp.PD
Disusun Oleh :
Fahira Adipramesti (1102015068)
Melani Oktavia (1102015131)
Yudha Ayatullah Khumaini (1102015248)
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II..................................................................................................................... 3
2.6 Diagnosis.................................................................................................. 9
2.9 Pencegahan............................................................................................ 23
KESIMPULAN…………………………………………………………….23
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1…………………………………………………………………………..5
Gambar 2…………………………………………………………………………..6
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Prevalensi demam tifoid yang tinggi di Indonesia menunjukan bahwa
dibutukan pemahaman yang baik terhadap penyakit ini agar dapat melakukan
diagnosis, pengobatan dan pencegahan yang tepat.
1.2 Tujuan
Referat ini akan membahas tentang demam tifoid. Dengan mengetahui dan
memahami demam tifoid, dapat dilakukan diagnosis, pengobatan, dan pencegahan
yang tepat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi dengan gejala utama demam, gangguan saluran
perncernaan, serta gangguan susunan saraf pusat/kesadaran.1,4
2.2 Epidemiologi
Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara
berkembang. .4 Hal ini karena ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang
baik belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang.
Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah,
Asia Selatan, Asia Tenggara dan kemungkinan Afrika Selatan (insidens >100 kasus
per 100.000 populasi per tahun). Insiden demam tifoid yang tergolong sedang (10-
100 kasus per 100.000 populasi per tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin
dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah
(<10 kasus per 100.000 per tahun) di bagian dunia lainnya.5
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga,
yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya
sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan
tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah .1
2.3 Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri gram
negatif, flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, dan fakultatif anaerob.
Salmonella typhi mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
3
membentuk lapis luar dinding sel dan dinamakan endotoksin .4 Demam tifoid
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus
Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora,
motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan rambut getar). Bakteri
ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah dan debu. Salmonella mati pada suhu 54,4°C dalam 1 jam atau 60°C
dalam 15 menit. Suhu umum untuk tumbuh adalah 37°C dengan pH antara 6-8.
Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu
Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena
untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus.
Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus
adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan
terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi
Salmonella typhi .
4
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang
dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
agglutinin.8
5
2.4 Patogenesis
Demam atau panas adalah gejala utama Tifoid. Pada awal sakit, demamnya
kebanyakan samar- samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih
rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke
hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit
kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diarea frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin
tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik
maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada
akhir minggu ke 3. Perlu diperhatikan terhadap laporan, bahwa demam yang khas
tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal ini
mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih
awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.
9
2. Pemeriksaan Fisik:
a. Bradikardia relatif dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid,
namun bukan gejala yang konsisten ditemukan di beberapa daerah
geografis lainnya, hepatomegali dan splenomegali sering ditemukan.
Beberapa rose spot, lesi maculopapular dengan diameter sekitar 2-4
mm, dilaporkan pada 5%-30% kasus yang tampak terutama pada
abdomen dan dada.
b. Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan
komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak
mempunyai lidah tifoid (kotor pada bagian tengah dan pinggirnya
hiperemis), meteriosmus, hepatomegali, splenomegali.
3. Pemeriksaan Penunjang
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain
itu dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan
hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju
endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus. Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah uji Widal dan
kultur salmonella shigella. Sampai sekarang kultur masih menjadi standar
baku dalam penegakan diagnosis. Selain uji Widal terdapat beberapa
metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan
mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik antara lain
pemeriksaan serologi IgM/IgG salmonella .5
a. Uji Widal
10
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella
typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Tujuan uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka
yaitu: a) Aglutinin O (dari tubuh kuman), b) Aglutinin H (flagella kuman),
dan c) Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk demam tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut
mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada
orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena
itu, uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit .5
b. Uji Typhidot
Uji Typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji Typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mendeteksi secara spesifik
antibodi IgM dan IgG terhadap antigen Salmonella typhi .5
c. Biakan Salmonella
i. Darah: umumnya (+) pada minggu pertama dan awal minggu ke-2
(60–80%) dari rose spot (60%), sumsum tulang (80–90%). Pemeriksaan
kultur sumsum tulang merupakan tindakan invasif, biasanya hanya
dilakukan untuk keperluan penelitian.
ii. Urin/feses: sesudah bakteremia sekunder (minggu ke-2-3).6
d. Pemeriksaan PCR
11
Pemeriksaan nested polymerase chain reaction (PCR) menggunakan
primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik
Salmonella typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik
cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan PCR terhadap S. typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang
tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa
yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap S. typhi
memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.13 Pemeriksaan nested
PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen
urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22
(68.1%).7
e. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lain seperti pencitraan (Rontgen toraks, Rontgen polos
perut (BNO), USG abdomen), D-dimer, dan lain-lain dilaksanakan apabila
terjadi penyulit.
2.7 Tatalaksana
Sampai saat ini trilogi penatalaksanaan demam tifoid adalah:
1. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Pasien
perlu diawasi untuk mencegah dekubitus pneumonia ortostatik serta higiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga .5
2. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
12
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan, karena
makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita
akan semakin menurun dan proses penyembuhan menjadi lambat.5
3. Pemberian antimikroba
Eradikasi kuman
13
14
15
a. Kloramfenikol
Kloramfenikol menghambat sintesis protein sel mikroba.
Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan demam
tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral.
9
Efek samping yang sangat berat yaitu anemia aplastik atau biasa
dikenal dengan depresi sumsum tulang dan jika diberikan pada bayi < 2
minggu dengan gangguan hepar dan ginjal, kloramfenikol akan
terakumulasi dengan darah pada bayi khususnya pada pemberian dosis
tinggi akan menyebabkan gray baby sindrom, serta dapat menghambat
pembentukan sel- sel darah (eritrosit,trombosit dan granulosit) yang timbul
dalam waktu 5 hari sesudah dimulainya terapi, dari efek samping yang
timbul sehingga kloramfenikol memiliki persentase nomor dua
dibandingkan penggunaan golongan sefalosporin.
Walaupun penggunaan kloramfenikol memerlukan kehati-hatian,
namun penggunaannya masih lebih baik pada tifoid dibandingkan
16
antibiotika lain yang dilaporkan sudah resistensi, seperti ampisilin,
amoksisilin, kotrimoksasol, nalidixic acid, ciprofloxacin.
b. Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein
sel mikroba. Pilihan lain yang analog dengan kloramfenikol, yang masih
digunakan di Indonesia dan masih dianggap efektif untuk menyembuhkan
demam tifoid adalah tiamfenikol.9 Efek samping hematologis pada
penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada kloramfenikol.
c. Ciprofloxacin
d. Cefixime
Cefixime mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel
mikroba. Sefalosporin generasi ketiga yaitu Cefixime oral (15-20
mg/kg/hari, untuk orang dewasa, 100-200 mg dua kali sehari) telah banyak
digunakan pada anak-anak dalam berbagai daerah geografis diamati
penggunaan Cefixime oral memuaskan. Namun, dalam beberapa
percobaan Cefixime menunjukan tingkat kegagalan dan kekambuhan yang
lebih tinggi daripada fluoroquinolones.9
17
e. Azitromisin
Azitromisin mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel
mikroba. Golongan kuinolon dan azitromisin hampir sama efikasinya dan
aman untuk demam tifoid. Namun azitromisin bisa digunakan sebagai
alternatif, karena kuinolon memiliki kontraindikasi seperti pada anak-anak,
wanita hamil, dan kejadian resisten kuinolon.9 Namun penggunaanya jika
lebih dari 7 hari tidak diperbolehkan karena penetrasi jaringan lebih kuat dan
terakumulasi di kantung empedu. Penggunaan azitromisin selama 5 hari
ekuivalen dengan penggunaan antibiotik lain selama 10 hari, penggunaan 7
hari sama optimalnya dengan penggunaan antibiotik lain selama 14 hari
f. Amoksisilin
Amoksisilin mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Pada percobaan kombinasi Kloramfenikol dan Amoksisilin mempunyai efek
anti bakteri lebih lemah dibandingkan dengan bentuk tunggal Kloramfenikol
dalam menghambat pertumbuhan Salmonella typhi.9
g. Ceftriaxone
Ceftriaxone mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding
sel mikroba. Bila dibandingkan dengan intravena ceftriaxone (75 mg / hari;
maksimum 2,5 g / hari) setiap hari selama 5 hari, azitromisin oral (20 mg / kg
/ hari; maksimum 1000 mg / hari) tercapai tingkat efikasi yang hampir serupa
(97% vs. 94%). Tidak terdapat pasien yang menggunakan azitromisin
mengalami kekambuhan, sedangkan beberapa kekambuhan diamati pada
pasien yang menggunakan ceftriaxone. 9
18
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, penggunaan
Ceftriaxone untuk terapi demam tifoid disarankan digunakan selama 5 hari.
Sifat dari obat ini yang menguntungkan yaitu dapat merusak spektrum kuman
dan tidak mengganggu sel manusia, bakteri spektrum luas, penetrasi jaringan
cukup baik, dan resistensi kuman masih terbatas. Sementara pengobatan
dengan golongan sefalosporin khususnya ceftriaxon hanya membutuhkan 10
hari rawat inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol selama 21
hari, sehingga obat antibiotik sefalosporin ini lebih banyak digunakan.
Ketika mengkonsumsi antibiotik direkomendasikan bersamaan
dengan air putih. Apabila dikonsumsi bersamaan dengan jus buah, alkohol
maupun produk susu seperti halnya mentega, yogurt, dan keju dapat
mengganggu proses absorpsi tubuh terhadap antibiotik. Rentang waktu
selama 3 jam setelah mengkonsumsi antibiotik barulah diperbolehkan
mengkonsumsi makanan dan minuman tersebut. Jus anggur serta suplemen
diet yang mengandung mineral seperti halnya kalsium juga dapat mengurangi
efek kerja antibiotik
2.8 Komplikasi
Pada minggu ke-2 atau ke-3, sering timbul komplikasi demam mulai
dariyang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering
terjadi diantaranya:
a. Demam Tifoid Toksik (Tifoid Ensefalopati)
Demam tifoid toksik (tifoid ensefalopati) didapatkan gangguan atau
penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium sampai koma yang
disertai atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Analisa cairan otak dalam
batas normal.
b. Syok Septik
Syok septik adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, pasien jatuh
ke dalam fase kegagalan vaskular (syok). Tekanan darah sistolik dan/atau
diastolik turun, nadi cepat, dan halus, berkeringat, serta akral dingin. Akan
berbahaya bila syok menjadi irreversibel.
c. Perdarahan, Perforasi Intestinal, dan Peritonitis
i. Perdarahan biasanya berupa buang air besar (BAB) darah
(hematoschezia) atau occult bleeding yang dapat terdeteksi dengan
pemeriksaan darah samar. Apabila perdarahan berat, pasien akan
tampak anemis bahkan berlanjut sampai syok hipovolemia. Suhu tubuh
akan mendadak turun dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir
syok.
ii. Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang, dan
nyeri tekan abdomen (paling nyata di kuadran kanan bawah). Pada
pemeriksaan perut didapatkan tanda distensi abdomen, defences
muscularum, ileus paralitik, bising usus melemah, dan pekak hati
20
menghilang. Perforasi dipastikan dengan pemeriksaan foto abdomen 3
posisi (diafragma, left lateral decubitus, dan plain abdomen). Perforasi
intestinal adalah komplikasi demam tifoid yang serius karena sering
menimbulkan kematian.
iii. Pada peritonitis, ditemukan gejala abdomen akut yakni nyeri perut
hebat, kembung, serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas (rebound
phenomenon) khas untuk peritonitis.
d. Hepatitis Tifosa
Demam tifoid disertai ikterus, hepatomegali dan kelainan tes fungsi hati
(peningkatan SGPT, SGOT dan bilirubin darah) dikatakan sebagai hepatitis
tifosa.
e. Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejalanya adalah sama dengan
pancreatitis akut. Penderita nyeri perut hebat, disertai mual dan muntah
warna kehijauan, meteorismus, serta bising usus menurun. Enzim amilase
dan lipase meningkat.
f. Pneumonia
Adalah komplikasi demam tifoid disertai tanda dan gejala klinis: batuk
kering, sesak napas, tarikan dinding dada, ditemukan adanya ronki/crakles,
serta gambaran infiltrat pada foto polos toraks. Pada anak umumnya
merupakan koinfeksi oleh mikroba lain.8
Pengobatan dan Perawatan Komplikasi
Prinsip
a. Tifoid Toksik
b. Syok Septik
22
a. Bila perforasi :Rawat bersama dengan dokter bedah
b. Operasi “cito” apabila terindikasi
c) Beri antibiotik spektrum luas untuk terapi tifoid dan infeksi
kontaminasi usus. Dipilih antibiotika dengan pemberian parenteral,
seperti Ampisilin -- Kloramfenikol -- Metronidazol.
d) Bila perforasi, perlu resusitasi cairan, puasa, pasang tube hidung
lambung, diet parenteral serta monitor keseimbangan cairan (bila perlu
dipasang kateter urin).
23
diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin
ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%.1
2.10 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung kecepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pegobatan. Munculnya komplikasi mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.
KESIMPULAN
24
7. Perforasi merupakan komplikasi dari demam tifoid yang paling sering
menyebabkan kematian.
8. Pecegahan demam tifoid dapat dilakukan dengan menghindari makanan
yang tercemar dan menggunakan vaksin Vi Polysaccharharide atau Vaksin
Ty21a.
DAFTAR PUSTAKA
2. Depkes RI. 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
5. Widodo, Djoko. 2016. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
25
Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing.
6. Herry Garna dan Heda Melinda Nataprawira. 2014. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan
Sadikin.
26