Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HUKUM ADAT

“SISTEM TANAH ADAT DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”

OLEH:
YOSEPH ADWITIYA ADHI
NIM: 15/382612/HK/20679

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS HUKUM
2016
BAB 1
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Makalah ini akan membahas mengenai system tanah adat di Indonesia terkhusus pada
keunikan pertanahan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang sangat luas, hal tersebut mengharuskan
pemerintah membuat peraturan tentang pembagian hak dalam suatu wilayah, terkhususnya tanah,
agar masyarakat memilik batasan yang jelas. Hukum mengenai tanah di Indonesia sendiri telah
diatur dan termasuk dalam Undang-undang Pokok Agraria no 5 tahun 1960, disahkan Tanggal 24
September 1960. UUPA tidak memberikan pengertian agraria hanya memberikan ruang lingkup
agraria sebagai mana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun penjelasannya.
Ruang lingkup agraria menurut UUPA meliputi Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam
yang terkandung di dalamnya (BARAKA).

Sebelum adanya UUPA, pembagian hak atas tanah di Nusantara tidak memiliki kepastian
hukum, maka dari itu dalam UUPA, tertulis asas-asas hukum agraria untuk menjaminnya. Salah
satu asas yang menjamin hak masyarakat adat di Indonesia adalah hak ulayat. Hak ulayat
merupakan kewenangan, Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan
wilayahnya.1. Di samping hak ulayat, hukum agraria di Indonesia juga mengenal asas domein
verklaring, yang menegaskan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan
bahwa tanah itu miliknya, maka tanah itu adalah milik (eigendom) negara. Maka dari itu
seharusnya hak atas seluruh wilayah di Indonesia telah terjamin untuk mendapat batasan hak
memiliki, hak menguasai, maupun hak dan kepentingan yang lainnya. Namun di samping semua
itu apakah tidak ada pengecualian dalam UUPA dimana di Indonesia sendiri masih banyak

1
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
masalah atau sengketa yang berhubungan dengan tanah dan juga kekhususan pada beberapa
wilayah yang diberi “label” istimewa oleh negara.

Terkait akan peraturan dalam UUPA yang berskala nasional, namun di Indonesia juga
dikenal akan daerah Istimewa yang memiliki wilayahnya sendiri yang dipengaruhi oleh factor
sejarah sehingga tebentuk sedemikian rupa membuat wilayah daerah istimewa di Indonesia
memiliki kekhususan dalam hal hak tanahnya. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah
satu contoh yang memiliki hak atas tanah yang unik. Di DIY pada awalnya tidak pernah ada
tanah negara. Semua tanah negara di DIY adalah tanah Sultanat, yang sejak kemerdekaan
diberikan kepada pemerintah daerah. Selain itu, ada tanah milik Keraton Yogyakarta (Sultan
Ground), dan tanah milik Puro Paku Alam (Paku Alam Ground), yang sebagian saat ini
digunakan oleh masyarakat untuk bermukim atau berbudidaya dengan kekancing atau sertifikat
hak pakai dari Keraton dan Puro, tetapi bukan hak milik. Karena bersifat istimewa, pertanahan
DIY dengan demikian seharusnya juga tidak cukup diatur dengan UUPA, melainkan harus
dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda).

Dengan segala keunikannya, penulis tertarik untuk membahas kesesuaian antara UUPA
dengan korelasi dan kenyataan penerapannya dalam Daerah Istimewa Yogyakarta.

I.II Rumusan Masalah

1. Apakah tanah adat di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah sepenuhnya diatur


sesuai dengan UUPA?
2. Apakah tanah adat di Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini telah memiliki dasar
hukum yang jelas?

I.II Tujuan

1. Mengetahui sistem pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kesesuaian


nya pada UUPA.
2. Mengetahui dasar hukum tanah adat di Daerah Istimewa Yogyakarta .
BAB II
PEMBAHASAN

II.I Sejarah

Di Yogyakarta, Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan tanah Keraton. Rakyat
hanya punya hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan menghendaki,
sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali. Menurut sejarahnya, hukum tanah diatur bersama-
sama, baik dengan tanah kas desa, tanah masyarakat adat, maupun tanah Keraton itu sendiri.

Sejarah keberadaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terlepas dari adanya
Kraton yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Kraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan
Hamengku Buwono I pada 1756 M. Sebelum mendiami keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku
Buwono I, yang memiliki nama lengkap Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalogo
Ngabdulrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah, tinggal di Kabupaten Sleman. Kraton sendiri
digunakan sebagai pusat pemerintahan kesultanan Yogyakarta. Kadipaten Pakualaman atau
Negeri Pakualaman atau Praja Pakualaman adalah salah satu dari empat Kerajaan Jawa (Praja
Kejawen) yang didirikan pada tanggal 17 Maret 1813.

Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi dalam beberapa periode yaltu,


Periode sebelum tahun 1918. Pada masa ini tanah merupakan Domein Raja. Raja berhak
sepenuhnya atas tanah dan rakyat mempunyai hak menggarap dengan dibebani menyerahkan
hasil dari menggarap tanah sebesar 1/3. Kemudian periode tahun 1918 – 1954, pada periode ini
semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan Hak Eigendom oleh pihak lain adalah Domein
Kraton Ngayogyakarta atau Puro Pakualaman. v Periode kedua

Ditandai dengan dilaksanakannya perubahan dalam sistem pemilikan tanah tahun 1918
hingga tahun 1950-an, pada masa ini raja melepaskan hak-haknya atas sebagian terbesar dari
tanah yang termasuk wilayahnya, yang kemudian menjadi hak milik pribumi anggota masyarakat
desa, dan diadakannya pembagian baru dari persil-persil tanah untuk penduduk desa. Peraturan
perundangan yang mengatur tentang proses perubahan sistem pemilikan tanah ini adalah
Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 tanggal 8 Agustus 1918, yang beberapa pasalnya berbunyi
sebagai berikut:

· Pasal 3 (1) Sakabehe bumi kang wus kapranata maneh kang wus terang dienggo uwong
cilik dienggoni utawa diolah ajeg utawa nganggo bera pangolahe, kadidene kang kasebut ing
register kelurahan, iku padha diparingake marang kalurahan anyar mawa wewenang panggadhuh
cara Jawa, dene bumi kang diparingake marang siji-sijine kalurahan mau, bumi kang kalebu ing
wewengkone kalurahan miturut register kalurahan. (Semua tanah yang terletak dalam wilayah
yang telah diorganisir yang nyata-nyata dipakai rakyat, baik yang ditempati maupun yang diolah
secara tetap atau tidak tetap sebagaimana tercatat dalam register kalura¬han, diberikan kepada
kalurahan baru tersebut dengan hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht. Adapun tanah yang diberikan
kepada masing-masing kalurahan itu adalah tanah yang termasuk dalam register kalurahan).
·
Pasal 3 (2) wewenange penggadhuh kasebut ingadeg-adeg ndhuwur iki kasirnaake
menawa saka panemune Bupati kang ambawahake bumine 10 tahun urut-urutan ora diolah utawa
ora dienggoni. (hak anggadhuh tersebut ayat 1 menjadi gugur/hapus jika menurut pendapat
Bupati yang membawahi dalam jangka waktu 10 tahun berturut-turut tidak diolah atau tidak
ditempati).
·
Pasal 4 Kejaba wewenange penggadhuh tumrap bumi lungguhe lurah sarta perabot
kelurahan tuwin bumi kang diparingake minangka dadi pensiune (pengarem-arem) para bekel
kang dilereni, iku wenang penggadhuh kang kasebut ing bab 3 diparingake marang kalurahan
mawa anglestareake wewenange kang padha nganggo bumi ing nalika tumindake pembangune
pranatan anyar, wewenange nganggo bumi kang dienggo nalika iku, ditetepake turun temurun,
sarta siji-sijine kalurahan sepira kang dadi wajibe dhewe-dhewe, dipasra¬hi amranata dhewe
ngatase angliyaake bumi sajerone sawetara lawase sarta angliyerake wewenange nganggo bumi
mau, semono iku mawa angelingi pepacak kang wis utawa kang bakal ingsun dhawuhake, utawa
kang panin¬dake terang dhawuhingsung. (Kecuali hak anggadhuh atas tanah lungguh lurah dan
perabot kelurahan serta tanah yang diberikan sebagai tanah pensiun para bekel yang
diberhenti¬kan, hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht yang tersebut pada pasal 3 diberikan kepada
kalurahan dengan melestarikan hak para pemakai tanah pada saat berlakunya reorganisasi, hak
pakai itu ditetapkan turun temurun (erfelijk gebruiksrecht), dan kelurahan diserahi mengatur
sendiri mengenai 'angliyaake' tanah untuk sementara waktu (tijdelijke voorveending) dan
'angliyer¬ake' hak pakai tanah (overdracht van dat gebruiksrecht), dengan mengingat peraturan
yang sudah atau akan ditetapkan kemudian.

· Pasal 5 (1) ing samangsa-mangsa ingsung kena mundhut kondur bumi sawatara bageyan
kang padha diparingake marang kalurahan mawa wewenang penggadhuh, menawa bumi mau
bakal diparingake marang kabudidayan tetanen iku bakal ingsun paringi wewenang ing atase
bumi mau miturut pranatan bab pamajege bumi, mungguh laku-lakune kang kasebut ing ndhuwur
iki bakal kapranatan kamot ing pranatan. (Sewaktu-waktu hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht yang
diberikan kepada kalurahan dapat ditarik kembali jika tanah itu diperlukan untuk perusahaan
pertanian/landbouw onderneming menurut aturan penyewaan tanah/grondhuur reglement).

· Pasal 5 (2) padha anduweni bageyan bumi ing kalurahan kang bumine diparingake
marang kabudidayan tetanen kasebut ing ndhuwur iki, padha kena diwajibake anindaake
pegaweyan mawa bayaran tumrap kaperluane kabudidayen tetanen kasebut ing ater-ater ndhuwur
iki. Mungguh tumin¬dake ing pegaweyan mau tumeka ing wektu kang bakal ketetepake ing
tembe. (Orang-orang yang tanahnya diserahkan kepada perusahaan pertanian itu dapat
diwajibkan bekerja pada perusahaan tersebut dengan menerima upah, sedang pelaksanaan
pekerjaan itu sampai dengan waktu yang akan ditetapkan kemudian).

Pasal 6 Kejaba tumrap lelakon kang kasebut ing bab 5, ingsun ora bakal mundhut
bumikang dianggo uwong cilik kang katemtoake ing bab 3, menawa ora tumrap kaperluane
ngakeh, semono iku mawa amaringi karugian kang tinam¬toake dening Pepatihingsun, sabiyantu
kalayan Kanjeng Tuan Residen ing Ngayogyakarta, sawuse karembug dening kumisi juru taksir,
dene panindake kang bakal tinamtoake ing tembe kamot ing layange undang-undang
Pepatihingsun. (Selain untuk keperluan dimaksud pasal 5, Pemerintah tidak akan menarik
kembali tanah-tanah yang dipergunakan oleh penduduk, apabila tidak untuk kepentingan umum
dan dengan ganti rugi yang ditetapkan oleh Patih Kera¬jaan dengan persetujuan Residen di
Yogyakarta dan telah mendengar penda¬pat komisi taksir. Pelaksanaan hal ini akan diatur
kemudian dengan peraturan Patih Kerajaan).
Pasal 7 (1) Bumi sak cukupe sabisa-bisane amba-ambane saproliman bumi kabeh kudu
lestari dadi milike kalurahan, kang sapisan minangka kanggo lung¬guhe lurah sarta prabot
kalurahan, kang kapindho dadi minangka pengar¬em-arem para bekel sak alame dhewa kang
kabekelane kasirnaake jalaran saka pembangune pranatan anyar, kang katelu kanggo anyukupi
kaper-luane kang tumraping akeh. (Sedapat mungkin seluas-luasnya 1/5 tanah keseluruhan harus
tetap dikuasai kalurahan, pertama untuk lungguh lurah dan pamong, kedua untuk tanah pensiun
bagi bekel yang diberhentikan akibat reorganisasi, dan ketiga untuk mencukupi kebutuhan
kelurahan / kepentingan umum)

· Pasal 7 (2) Pambagene kanggo anyukupi kaperluan telung bab kasebut ing adeg-adeg
ndhuwur iki katindakake kalurahan sawise dimufakati Bupati kang ambawahake. (Pembagian
tanah untuk tiga keperluan tersebut diatas dilaksanakan kalurahan setelah disetujui oleh Bupati
yang membawahi).

Di sini Kraton memberikan Hak Anggaduh (Hak untuk mengelola tanah) ke Kelurahan.
Selain itu Kraton memberikan tanah turun temurun kepada rakyat yang akan dipergunakan
rakyat. Tanah ini dikenal dengan Sultan Ground. Pemberian hak turun temurun kiranya
bertentangan pada konsep UUPA dimana hak tersebut hanya dimiliki oleh orang yang
“menumpang” sehinggan jika orang tersebut meninggal, maka telah habis haknya dan hak
tersebut tidak dapat diturunkan.

Tanah di Yogyakarta dan daerah lain dengan status Sultan Ground ( bertitel SG)
merupakan kesinambungan antara masa lalu dan masa kini untuk menghormati eksistensi
Kasultanan Yogyakarta. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan
Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan HB IX, secara resmi mengakui
keberadaan Kraton Yogyakarta, termasuk tanah tanahnya yang berstatus sebagai keprabon dalem
dan dede keprabon dalem. Walaupun tanah tanah itu telah mengalami perkembangan dalam
penguasaan dan penggunaannya, namun status hukumnya senantiasa disesuaikan dengan konsep
kerajaan, dimana Sultan adalah penguasa tunggal. Berdasarkan Rijksblaad Kasultanan 1918
Nomor 16 jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak
atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak hak yang kuat. Dengan UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Pokok Pokok Agraria ( UUPA) dan Keppres Nomor 33 Tahun 1984, membawa
konsekuensi bahwa semua tanah di wilayah Propinsi DIY tunduk pengaturannya,
penggunaannya, peruntukannya, peralihan ataupun kepemilikannya. Untuk tanah berstatus
keprabon dalem muncul persoalan hukum mengingat karakteristik kepemilikan secara historis
dan fungsinya berdasar hukum tersendiri. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 4 dan 5 Tahun
1954, tanah tanah keprabon dalem itu diurus langsung oleh KHP Wahono Sarto Kriyo cq. Kantor
Panitikismo. Dan dalam Surat Kekancingan Sultan HB IX tanggal 03 januari 1979, berisi
perintah tugas untuk : (1)mengidentifikasi tanah milik Sultan atau Kraton Yogyakarta, terutama
yang dudah terdaftar dengan titel SG ( Sultan Ground ); (2) mengusahan surat tanda bukti resmi
berupa sertifikat atas tanah tanah kasultanan; (3) mengusahakan dibuatnya perjanjian tertulis
antara pemakai atau penghuni setiap persil tanah itu dengan KHP Wahono Sarto Kriyo sebagai
wakil Sultan, yang dalam perjanjian itu pemakai atau penghuni diwajibkan membayar uang sewa.
Tanah dengan status SG ini tersebar tidak hanya didalam Provinsi Yogyakarta, tapi ada di
wilayah provinsi jawa tengah dan jawa timur,, serta daerah lain.

II.II Sistem Pertanahan Daerah Istimewa Yogyakarta

Di DIY pada awalnya tidak pernah ada tanah negara. Semua tanah negara di DIY adalah
tanah Sultanat, yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah. Selain itu, ada
tanah milik Keraton Yogyakarta (Sultan Ground), dan tanah milik Puro Paku Alam (Paku Alam
Ground), yang sebagian saat ini digunakan oleh masyarakat untuk bermukim atau berbudidaya
dengan kekancing atau sertifikat hak pakai dari Keraton dan Puro, tetapi bukan hak milik. Karena
bersifat istimewa, pertanahan DIY dengan demikian seharusnya juga tidak cukup diatur dengan
UUPA, melainkan harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda).

Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa status tanah Sultan Ground dan Paku
Alam Ground adalah tanah ulayat (Tanah Adat) dan tidak dijamin oleh UUPA, sampai sekarang
status kepemilikannya dibuktikan surat yang dikeluarkan keraton, oleh karena itu pemerintah
pusat harus memperjelas kepastian hukum status tanah milik keraton dan Paku Alam melalui
sebuah Undang-Undang
Tanah milik Kraton Yogyakarta yang terdiri atas Sultan Ground dan Pakualaman Ground,
diharapkan akan memiliki kejelasan secara administratif maupun landasan hukum setelah aspek
pertanahan dicantumkan dalam RUUK DIY.

Tanah Keraton merupakan tanah yang belum diberikan haknya kepada masyarakat adat
maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik keraton sehingga masyarakat adat yang
akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton. Tanah sultan ground dibagi dua
yaitu Crown Domain atau Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground. Crown Domain atau Tanah
Mahkota tidak bisa diwariskan itu yang merupakan atribut pemerintahan Keraton Ngayogyokarto
Hadiningrat, diantaranya Keraton, Alun-alun, Kepatihan, Pasar Ngasem, Pesanggrahan
Ambarukmo, Pesanggrahan Ambarbinangun, Hutan Jati di Gunungkidul, Masjid Besar dan
sebagainya. Sedangkan tanah Sultanaad Ground (tanah milik Kasultanan) adalah tanah-tanah
yang bisa diberikan dan dibebani hak. Tanah tersebut merupakan wilayah kerajaan
Ngayogyokarto Hadiningrat yang tanahnya bisa dikuasai oleh rakyat.

Semula, Yogyakarta adalah daerah swapraja. Diktum UUPA huruf a mengatakan, hak dan
wewenang dari swapraja atau bekas tanah swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya
undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara. Hal-hal yang bersangkutan dengan huruf a
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Tapi sampai sekarang, peraturan pemerintah itu
belum dibuat. Karena itulah UUPA di Yogyakarta belum dilaksanakan sepenuhnya. Yang
diberlakukan hanya sebatas tanah hak yang diatur berdasarkan hukum Barat.

Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus
berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Dalam konsiderans Staatsblad No.
474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum
swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti
hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya.

Dualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UUPA
yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi
Yogyakarta, UU tersebut awalnya harus dikecualikan dan penerapannya baru diakui pada 2
Februari 1984 dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX secara resmi menyatakan UUPA juga
berlaku di Yogyakarta.

Untuk memperoleh izin dalam hal menyewa atau memakai tanah keraton (magersari),
terlebih dahulu harus meinta izin kepada Paniti Kismo. Paniti Kismo merupakan lembaga adat
yang mengurusi pertanahan keraton yang meliputi pengaturan dan perizinan. Tanda bukti izin
tersebut adalah dikeluarkannya Surat Kekancingan Magersari yang di dalamnya memuat klausul
bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari tidak bisa
diperjual belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Namun,
perizinan dan syarat administrasi tetap tunduk pada aturan pemerintah setempat dalam hal ini
Pemkab walaupun untuk magersari tidak dimungkinkan mendapatkan sertifikat atas tanah
tersebut.

Untuk tanah keraton yang telah bersertifikat hak milik, tentu saja menurut Hukum Agraria
yang berlaku, permohonan hak atas tanah tersebut tunduk pada ketentuan UUPA serta ketentuan
lain yang meliputi ketentuan administratif. Hal ini menandakan Hukum yang berlaku mengenai
tanah di DIY masih bersifat dualisme.

Di samping itu, terdapat tanah-tanah yang telah bersertifikat dan dimiliki oleh
perseorangan. Tanah tersebut merupakan tanah yang pada kenyataannya tidak dapat diganggu
gugat oleh pihak keraton karena telah ada alas hak yang sah. Jika pihak lain ingin menguasai
tanah tersebut, tidak perlu izin penggunaan lahan seperti megarsari kepada Paniti Kismo. Namun
jika ingin mendirikan bangunan, harus memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Izin
Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB) dan harus ada persetujuan dari Penghageng Wahono
Sarto Kriyo untuk kawasan Kraton maupun tanah milik Kraton.
II.III Dasar Hukum Pertanahan Daerah Istimewa Yogyakarta

Tanah D.I. Yogyakarta sekarang menjelaskan bahwa pertanahan Yogyakarta diatur


dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya. Namun dalam
praktek pelaksanaan pelayanan pertanahan di DIY masih memperhatikan kebijakan Pemerintah
Provinsi DIY daerah swapraja. Sebagaimana dijelaskan dalam UUPA, hak dan wewenang dari
swapraja atau bekas tanah swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya undang undang ini
hapus dan beralih kepada negara. Hal-hal yang bersangkutan dengan huruf a diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Tapi sampai sekarang, peraturan pemerintah itu belum dibuat.
Karena itulah UUPA di Yogyakarta belum dilaksanakan sepenuhnya.

Tanah-tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman belum jelas
letak, luas, pengguna/ pengelola, pemanfaatan serta batasnya, dan secara normatif keberadaan
tanah Sultan Ground (SG) dan tanah Paku Alaman Ground (PAG) sampai saat ini belum
terjangkau ketentuan UUPA, tetapi secara kenyataan keberadaan tanah SG/PAG diakui oleh
masyarakat, untuk itu harus tetap dijaga, dipelihara, dan dilestarikan keberadaannya dengan
pertimbangan secara historis, sosiologis, dan yuridis melalui kegiatan Inventarisasi sekaligus
Sosialisasi Tanah SG/PAG di DIY. dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta, wilayah Provinsi DIY adalah merupakan bekas Daerah Swapraja yang
terdiri Kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman, karena itu
sampai saat ini di wilayah DIY masih terdapat tanah- tanah yang diberi inisial SG (Sultan
Ground) danPAG (Paku Alaman Ground) setelah disyahkannya UU No. 13 Tahun 2012 tentang
KEISTIMEWAAN Daerah Istimewa Yogyakarta tanah-tanah dimaksud sebutannya menjadi
Tanah Kasultanan Yogyakarta dan Tanah Kadipaten Paku Alaman.
BAB III
PENUTUP
III.I. Kesimpulan

1. Sistem tanah adat Daerah Istimewa Yogyakarta belum sepenuhnya mencerminkan


pelaksanaan UUPA.
2. Tanah adat di Daerah Istimewa Yogyakarta belum memiliki dasar hokum yang jelas.

IV. Saran
1. Sebaiknya pemerintah pusat maupun daerah membuat undang-undang yang jelas
sebagai bentuk lex specialis dari UUPA untuk menjamin kepastian hukum tanah adat
di Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Sebaiknya pihak Keraton memberi batasan wilayah tanah adat miliknya dan diatur
dalam sebuah undang-undang.
Sumber:
http://ivaa-online.org/2015/04/16/historis-sejarah-pertanahan-jogjakarta/
http://ivaa-online.org/2015/04/16/analisis-tanah-keraton-kesultanan-jogja/
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ffadef0b13e6/keraton-akan-punya-alas-hak-untuk-
kuasai-tanah

Anda mungkin juga menyukai