Anda di halaman 1dari 5

Sureq Galigo, I La Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos

penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang
ditulis antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugiskuno, ditulis
dalam aksara Lontara Bugis kuno.[1] Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan
kisah asal usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.[1][2]

Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan
pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal
diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang
akibat serangga, iklim atau perusakan.[1] Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap,
namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks,
membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.[3]

Latar belakang dan usaha pelestarian[sunting | sunting sumber]


Ada dugaan pula bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum
epik Mahabharata dari India.[butuh rujukan] Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis
dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang
gagah berani dan juga perantau.
La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar
biasa. Namun, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai
kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.[butuh rujukan]
Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang.[3] Sejauh
ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja
dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya
dalam bahasa Inggris yang tersedia.[1] Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di
perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-,
Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan
di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.[butuh rujukan]
Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi
dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai
dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004.

Isi hikayat La Galigo[sunting | sunting sumber]


Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi
Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa
kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik
anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara
Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri
Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus
melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu
di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilayah Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia
kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau
Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak
kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia
tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia
pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke
Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu
Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang
dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bimaatau Sumbawa),
Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja
(kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan
alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan
rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian,
orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti
ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada
bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya
pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di
Luwu'.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini
dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara
sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan
muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan
dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah
dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat
disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing
itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan
sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan
adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh
yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai
model mereka.[butuh rujukan]

La Galigo di Sulawesi Tengah[sunting | sunting sumber]


Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa
kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu'.[butuh rujukan]
Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau
mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai
seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo
bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk
Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila,
seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi,
ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian
meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu'. Sesampainya tentara Luwu', kakak Bunga
Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini
mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh
dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading.
Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi
daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam
dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili
Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah
dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading.
Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo,
karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan
inovasi.[butuh rujukan]

La Galigo di Sulawesi Tenggara[sunting | sunting sumber]


Ratu Wolio pertama di Butung (Butuni atau Buton) di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda
muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa
Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu
Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang
digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan Sawerigading
atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali
sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan
bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama
Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo,
yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe
adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau
Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-
nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo:
Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).[butuh rujukan]

La Galigo di Gorontalo[sunting | sunting sumber]


Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan
beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu'
dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade
datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri
Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu
Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa
negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin
pasukan berkerissementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang.
Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan
mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu
hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo.
Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari
kerajaan Bugis Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan
gelar Lasandenpapang.[butuh rujukan]

La Galigo di Malaysia dan Riau[sunting | sunting sumber]


Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini
dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga
unusur Melayu dan Arab diserap sama.[butuh rujukan]
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing
Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini kemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri
Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan ia
berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.[butuh rujukan]
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa
pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam
perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora
dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini
menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya,
serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681,
sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari
Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La
Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak
laut oleh Belanda.[butuh rujukan]
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala
Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor.
Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di
kawasan ini. Daeng Marewah menjadi Yang Dipertuan Muda Riau, Daeng Parani menikah dengan
puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda dari Opu Daeng Kemboja (Yang
Dipertuan Muda Riau ke-3), Opu Daeng Manambung(menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu
Daeng Cella' (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).[butuh rujukan]
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di
dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-
Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Balqis/Ratu Syeba dan tiada cerita mengenai
turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti
Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan
Datu Luwu'. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun, anaknya, yaitu Datu Palinge'
kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.[butuh rujukan]
La Galigo dalam seni pentas[sunting | sunting sumber]
La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi
oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak
tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara tetapi
mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh
seorang narator dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai
dengan penggunaan ekstensif efek cahaya untuk karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula
oleh musik oleh ansambel panggung.[2] Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi,
namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis JawaRahayu Supanggah setelah
riset yang intensif di Sulawesi Selatan.[3][4]
Untuk menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya ditambahkan
ke dalam lima instrumen Sulawesi tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat,
sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang dimainkan oleh 12 musisi.[4] Para pelaku produksi
pentas ini terdiri dari 53 pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif
dari Indonesia dan sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta
tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, Puang
Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.[1][3]

Anda mungkin juga menyukai