sekarang tumbuh menjadi Jakarta, ibu kota Indonesia. Batavia didirikan di pelabuhan
bernama Jayakarta yang direbut dari kekuasaan Kesultanan Banten. Sebelum dikuasai Banten,
bandar ini dikenal sebagai Kalapa atau Sunda Kalapa, dan merupakan salah satu titik
perdagangan Kerajaan Sunda. Dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan perdagangan dan
kekuasaan militer dan politiknya di wilayah Nusantara.
Nama Batavia dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, ketika Hindia Belanda jatuh ke
tangan Jepang. Sebagai bagian dari de-Nederlandisasi, nama kota diganti menjadi Jakarta.
Bentuk bahasa Melayunya, yaitu "Betawi", masih tetap dipakai sampai sekarang.
Kastil Batavia, dilihat dari Kali Besar Barat oleh Andries Beeckman, sekitar tahun 1656-1658
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis
administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten
telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian
juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di
Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektare di dekat
muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan
tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi
bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang
tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok
setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan
satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta.
Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang memberi mereka izin
untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk.
Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula
Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun De Heeren Zeventien di Belanda
memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang orang Batavia.
Jan Pieterszoon Coen menggunakan semboyan hidupnya “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet,
want God is met ons” menjadi semboyan atau motto kota Batavia, singkatnya “Dispereert niet” yang
berarti “Jangan putus asa”.
Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibentuk[1]. Jayakarta dibumiratakan dan
dibangun benteng yang bagian depannya digali parit. Di bagian belakang dibangun gudang juga
dikitari parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kuat. Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali
lipat. Pembangunannya selesai pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil
yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula
dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Kali Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong.
Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa
prajurit Mataram (1628-1629) yang tidak mau pulang.
Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan
daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah
Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan
orang pribumi yang bebas.
Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia. Pada 8
Januari 1935 nama kota ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia[2].
Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi "Jakarta" oleh Jepang
untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.