Anda di halaman 1dari 4

Isu Gender

Jum'at, 15 September 2017 - 08:02 WIB


: 11.650
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

RELASI lelaki-perempuan senantiasa menjadi bahan diskusi yang tak pernah berakhir. Ini juga
menyangkut persoalan karier dan pembagian kerja dalam kehidupan rumah tangga, posisi, serta promosi
karyawan-karyawati di kantor, bahkan dalam dunia politik.

Siapakah yang lebih superior antara kaum laki-laki dan perempuan? Tentu tak ada jawaban tunggal yang
disepakati semua pihak. Di sana terdapat beberapa teori yang mencoba menganalisis mengenai relasi
gender.

Secara umum, setidaknya terdapat empat referensi yang menjadi rujukan untuk memperbincangkan
relasi gender, yaitu faktor geografi, pendidikan, kemajuan teknologi, dan pandangan keagamaan.

Mengenai aspek geografi, mari kita lihat secara sekilas. Masyarakat yang hidup di lingkungan alam yang
keras, misalnya padang pasir, maka laki-laki lebih dominan perannya dalam mencari kebutuhan ekonomi,
misalnya berburu hewan.

Ditambah lagi, jika sering terjadi perkelahian antarsuku, maka laki-laki mesti tampil di depan. Perempuan
yang lagi hamil dan mengasuh bayi, misalnya, tentu mesti tinggal di rumah.

Situasi demikian pada urutannya menempatkan laki-laki sebagai hero, pahlawan, dan menempatkan
perempuan sebagai instrumen reproduksi anak yang tidak memiliki kekuatan sosial dan ekonomi.

Nasib perempuan sepenuhnya bergantung pada laki-laki. Dalam ungkapan bernada ekstrem, laki-laki
tampil sebagai somebody, lalu perempuan sebagai something.

Dalam konteks ini, yang menarik direnungkan adalah agama-agama besar dunia, seperti hanya Islam,
lahir dan tumbuh dimulai dari masyarakat padang pasir yang secara sosiologis-politis bias laki-laki.
Adakah pengaruh masyarakat patrimonial ini dalam menafsirkan dan mempraktikkan paham keagamaan
yang mereka anut?

Kebalikan dari kondisi geografis yang keras, mari kita lihat kondisi geografis nusantara yang pertaniannya
sangat makmur. Alamnya hijau, indah, lautnya luas kaya dengan ikan sehingga memungkinkan
perempuan hidup mandiri dengan bercocok tanam dan beternak tanpa bergantung sepenuhnya pada
kekuatan otot laki-laki.

Di beberapa daerah posisi perempuan lebih mandiri secara ekonomi dibanding dengan laki-laki karena
rajin dan pintar bertani. Bahkan, ada perempuan yang menjadi kepala pemerintahan. Sementara laki-laki
ada yang bermalas-malasan dan suka adu jago.

Karena itu, perempuan nusantara sejak dulu biasa pergi ke kebun atau ke pasar sendirian. Ini tentu suatu
hal tidak dijumpai pada masyarakat padang pasir. Nusantara yang makmur dan aman memungkinkan
para perempuan bepergian sendiri, tanpa dikawal suami atau saudara laki-laki. Di beberapa daerah
posisi perempuan lebih tinggi sehingga terbentuk masyarakat matrimonial.

Lalu faktor ketiga, yaitu pendidikan. Berkat modernisasi, peluang untuk meraih pendidikan juga terbuka
bagi laki-laki maupun perempuan, anak kota maupun desa.

Pendidikan juga telah mengubah konsep tentang kekuatan dan keunggulan seseorang yang
mengunggulkan otot digeser oleh kompetisi keunggulan otak. Artinya, kehebatan seseorang bukan dinilai
karena kekuatan ototnya untuk maju perang, tetapi karena prestasi pendidikannya.

Perbedaan biologis dan inklinasi psikologis antara laki-laki dan perempuan memang berbeda, misalnya
kapasitas hamil dan melahirkan bagi perempuan tak akan tergantikan oleh laki-laki. Namun, dengan
pendidikan dan keahlian seseorang, maka faktor gender menjadi tergeser oleh soft skill.

Ini mudah diamati misalnya saja dalam dunia pendidikan. Banyak jabatan guru yang diisi perempuan dan
ternyata hasil dan prestasinya tidak kalah dibanding laki-laki.

Masih banyak profesi lain yang mudah diamati di sekeliling kita membuktikan bahwa kategori lelaki-
perempuan tidak selalu relevan dipertahankan dalam bidang-bidang jasa seperti dokter, perawat, bankir,
dan lainnya.

Paling fenomenal adalah kemajuan sains dan teknologi yang telah mengubah secara drastis perbedaan
lelaki-perempuan dalam dunia kerja. Dengan munculnya artificial intelligence, peran otot dan otak
sebagian telah tergantikan oleh teknologi.

Yang diperlukan adalah kemampuan mengenali dan mengoperasionalkan teknologi super canggih.
Contohnya adalah profesi pilot, sekarang tidak lagi dominasi kaum laki-laki. Begitu pun dalam dunia
arsitektur dan rancang bangun properti, banyak perempuan mampu melakukan karena memiliki skill dan
penguasaan teknologi.

Dulu kakek-nenek kita tidak membayangkan benda dan peralatan berbobot satu ton bisa diangkat atau
dipindahkan ke tempat tinggi. Sekarang dengan teknologi, seorang perempuan bisa mengoperasionalkan
alat canggih untuk mengangkat barang-barang berat. Jadi, teknologi telah mengurangi arogansi kaum
laki-laki yang mengandalkan fisiknya.

Isu gender ini cukup pelik dan kadang menimbulkan kontroversi ketika dibawa ke ranah agama. Ada
anggapan, sekali lagi ini sebuah anggapan, bahwa agama itu lebih memihak pada posisi dan
kepentingan laki-laki.

Yang jadi rujukan adalah kenyataan bahwa semua nabi utusan Tuhan itu laki-laki. Begitu pun yang jadi
imam sembahyang atau kebaktian agama adalah laki-laki. Selain itu, juga paham tentang warisan, laki-
laki menerima lebih banyak ketimbang perempuan.

Dalam hal jadi saksi, perempuan juga dianggap separuh bobotnya. Ini semua memperkuat anggapan
bahwa agama lebih mendahulukan laki-laki.

Pertanyaan yang muncul, apakah doktrin agama itu absolut, tidak ada penafsiran lain, ataukah ada
kaitannya dengan budaya dan kondisi geografis saat sebuah agama lahir dan tumbuh, misalnya
masyarakat tradisional yang hidup di padang pasir?

Sejauh ini pembagian lelaki-perempuan dalam hal jadi imam salat, misalnya, kelihatannya dianggap
absolut. Tak diperlukan penafsiran lagi.

Tetapi dalam konteks sosial, khususnya di Indonesia, kiprah perempuan jauh lebih luas dan lebih dinamis
dibanding perempuan di lingkungan masyarakat Arab. Di sini perempuan bisa menduduki jabatan
presiden, menteri, rektor universitas, hakim, diplomat, dan sekian posisi dan karier lainnya.

Ini semua tak lepas dari pengaruh faktor geografis, pendidikan, kemajuan teknologi, dan pemahaman
serta sikap keagamaan masyarakat Indonesia yang terbuka dan moderat.

(poe)

Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1239768/18/isu-gender-1505401478
Sri Mulyani: Ketidaksetaraan Gender
Timbulkan Kemiskinan
02 Agu 2018, 15:47 WIB

Menteri Keuangan, Sri Mulyani dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise
memberikan keynote speech dalam acara Voyage to Indonesia’s Seminar on Women’s Participation for Economic
Inclusiveness di Surabaya, Kamis (2/8/2018).

Seminar ini merupakan bagian dari program Kelompok Bank Dunia - Pertemuan Tahunan Dana Moneter
Internasional 2018 (AMS 2018). Seminar ini memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholder, baik dari dalam
maupun luar negeri untuk membahas, bertukar pandangan, dan pengalaman tentang manfaat ekonomi bagi
pemberdayaan perempuan.

“Ketidaksetaraan gender mengakibatkan dampak negatif dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari ekonomi,
sosial, hingga pertahanan dan keamanan. Beberapa lembaga internasional melihat ketidaksetaraan gender memiliki
hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga akses
keuangan,” tutur Sri Mulyani.

Perempuan harus diberikan akses yang sama dengan laki-laki. “Di Kementerian Keuangan, kami berusaha
mendesain anggaran negara sedemikian rupa untuk mewujudkan anggaran yang responsif gender. Kami ingin
perempuan dan laki-laki memperoleh akses, partisipasi, kontrol, manfaat yang sama dalam proses pembangunan,” ia
menambahkan.

Ia berharap hasil dari seminar ini menjadi masukan dalam perumusan kebijakan ekonomi, terutama pada kebijakan-
kebijakan terkait pemberdayaan perempuan.

Mangalami Kemajuan

Sementara itu, Menteri PPPA, Yohana Yembise mengatakan kondisi perempuan Indonesia saat ini telah
mengalami kemajuan. Banyak upaya yang telah dilakukan, tapi data menunjukkan bahwa posisi dan
status perempuan masih menghadapi hambatan dibandingkan laki-laki di berbagai bidang pembangunan.

Hal ini dibuktikan dengan data Indeks Pembangunan Gender (GDI) Indonesia adalah 92,6 sedangkan
GDI dunia rata-rata adalah 93,8. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menempati posisi ke-enam dari
semua negara ASEAN.
Pemerintah menggunakan Indeks Pemberdayaan Gender (GEI) untuk mengevaluasi program-program
pemberdayaan gender, dengan rata-rata GEI Indonesia selama 2010-2016 sebesar 70,10. Meskipun
Indeks Pemberdayaan Gender sejak 2010 - 2016 terus meningkat setiap tahunnya, fakta kesenjangan
antara laki-laki dan perempuan di Indonesia masih ada.

Yohana menjelaskan salah satu sektor yang menunjukkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan
adalah pendidikan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa rata-rata perempuan di Indonesia
hanya berpendidikan sampai kelas tujuh atau kelas dua SMP. Masih banyak perempuan yang tidak
menyelesaikan pendidikan SMP dan hanya memiliki sertifikat sekolah dasar.

Kondisi ini menyebabkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan yang masih jauh di
bawah laki-laki. Berdasarkan data Sakernas (Survei Ketenagakerjaan Nasional) pada 2017, Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan adalah 50, lebih rendah dibandingkan laki-laki yang sudah
mencapai 83.

Dari jumlah total tenaga kerja, perempuan umumnya bekerja di sektor informal dengan persentase
terbesar di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan sebesar 28 persen, diikuti oleh sektor
perdagangan skala besar dan kecil sebesar 23 persen. Data Sakernas 2016 menunjukkan, meskipun
perempuan memiliki tingkat pendidikan yang sama, upah yang mereka terima lebih rendah dibandingkan
laki-laki.

“Perempuan yang bekerja di sektor informal masih menghadapi berbagai kendala, di antaranya
terbatasnya akses sumber daya keuangan dan modal, akses untuk mendapatkan informasi tentang
produk atau pasar, dan akses untuk mendapatkan pelatihan keterampilan dan peningkatan kapasitas
produk. Padahal peran perempuan dalam pembangunan ekonomi telah memberikan dampak besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014, dari jumlah pelaku usaha mikro dan kecil di
Indonesia, hampir 70 persen dikelola oleh perempuan,” tutur Menteri Yohana.

Untuk mengurangi kesenjangan gender, terutama di bidang ekonomi, Kementerian Pemberdayaan


Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengembangkan kebijakan Industri Rumahan (IR) yang
dilakukan oleh kelompok perempuan, informal, dan memiliki modal kecil. Skala kelompok usaha ini masih
kurang mendapat perhatian, meskipun kelompok usaha ini perlu diberdayakan karena dampaknya yang
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sumber: https://www.liputan6.com/bisnis/read/3607884/sri-mulyani-ketidaksetaraan-gender-
timbulkan-kemiskinan

Anda mungkin juga menyukai