Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
Kanker serviks adalah salah satu jenis kanker terbanyak di dunia, dan
merupakan kanker terbanyak pada perempuan selain kanker payudara. Di dunia,
kanker serviks merupakan kanker yang paling umum dijumpai urutan keempat
(6,6%) pada kaum perempuan, dengan perkiraan 570.000 kasus baru pada tahun
2018.(1) Di Asia Tenggara, kanker serviks merupakan kanker kedua terbanyak
pada perempuan, dengan sekitar 175.000 kasus baru setiap tahunnya.(2) Di
Indonesia, estimasi jumlah penderita kanker serviks (dan kanker payudara) pada
tahun 2013 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa
Barat memiliki estimasi jumlah penderita kanker serviks dan kanker payudara
terbesar.(3) Hal ini menyatakan bahwa kanker serviks merupakan kanker yang
serius, yang harus ditangani sebaik-baiknya.
Dibandingkan berbagai tipe keganasan ginekologi lainnya, kanker serviks
terjadi pada populasi yang relatif lebih muda.(4) Sekitar 90% kematian akibat
kanker serviks terjadi di negara dengan perekonomian menengah ke bawah, yang
sesungguhnya dapat dicegah melalui tindakan-tindakan preventif, diagnosis dini,
skrining yang efektif, dan program-program pengobatan.(1) Berbagai program
preventif, diagnosis dini, dan pengobatan akan dibahas lebih lanjut.
Referat ini bertujuan membahas mengenai epidemiologi, patogenesis,
tanda dan gejala, tatalaksana, skrining, pencegahan, dan prognosis dari kanker
serviks.
BAB II
Tinjauan Pustaka

1. Definisi dan Epidemiologi Kanker Serviks


Penyakit kanker adalah salah satu penyebab kematian utama di dunia.
Kanker serviks adalah kanker yang mengenai leher rahim, dan oleh karena itu,
hanya dapat mengenai kaum perempuan. Hasil surveilans kanker serviks dunia
menunjukkan bahwa kanker serviks adalah kanker yang paling umum dijumpai
urutan keempat (6,6%) pada kaum perempuan, dengan perkiraan 570.000 kasus
baru pada tahun 2018.(1) Di Indonesia, estimasi jumlah penderita kanker serviks
(dan kanker payudara) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat memiliki estimasi jumlah penderita kanker
serviks dan kanker payudara terbesar.(2)
Dibandingkan berbagai tipe keganasan ginekologi lainnya, kanker serviks
terjadi pada populasi yang relatif lebih muda.(3) Sekitar 90% kematian akibat
kanker serviks terjadi di negara dengan perekonomian menengah ke bawah, yang
sesungguhnya dapat dicegah melalui tindakan-tindakan preventif, diagnosis dini,
skrining yang efektif, dan program-program pengobatan.(1)

2. Etiologipatogenesis Kanker Serviks


Kanker serviks disebabkan oleh human papillomavirus (HPV) genitalia,
yang ditularkan melalui hubungan seksual. Infeksi persisten HPV, terutama tipe
high risk, menimbulkan kanker serviks pada perempuan, serta kanker anogenital
lainnya (vulva, vagina, penis, anus) sedangkan infeksi HPV tipe low risk akan
menimbulkan kutil kelamin (condyloma acuminatum) pada perempuan dan laki-
laki.(4)
Manusia merupakan reservoar utama HPV, dan setiap individu dapat
terinfeksi oleh lebih dari satu tipe HPV (infeksi multipel). Sebanyak lebih dari
100 genotipe HPV telah teridentifikasi, dan 40 di antaranya menginfeksi sistem
genitalia. HPV tipe low risk akan menyebabkan perubahan sel-sel serviks yang
bersifat benign atau low-grade, kutil kelamin, dan papilomatosis. HPV tipe high
risk bersifat karsinogenik, dan memiliki kecenderungan berkembang menjadi
kanker serviks atau kanker anogenital lainnya. HPV tipe high risk adalah tipe 16,
18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, 73, dan 82, yang dapat
menyebabkan abnormalitas low grade hingga high grade pada sel-sel serviks yang
merupakan prekursor kanker.(4)
HPV adalah virus yang berasal dari keluarga Papillomaviridae, dengan
materi inti DNA beruntai ganda (double-stranded) dan tidak berselubung. HPV
terdiri dari early protein (E6 dan E7) yang diekspresikan pada awal infeksi, dan
late protein (L1 dan L2) yang berfungsi menghasilkan kapsid untuk virion baru.
Kurang lebih 90% kasus kanker serviks disebabkan infeksi HPV tipe high risk.(4)
Para perempuan yang memiliki hasil pemeriksaan subtipe HPV high-risk
memiliki risiko terkena karsinoma sel skuamosa serviks sebesar 189 kali, dan
risiko mengalami adenokarsinoma serviks sebesar 110 kali, jika dibandingkan
dengan perempuan-perempuan dengan hasil pemeriksaan HPV negatif.(3)
Metaanalisis 243 studi yang melibatkan lebih dari 30.000 perempuan di
seluruh dunia menemukan bahwa 90% kanker serviks yang invasif berkaitan
dengan salah satu dari 12 subtipe HPV. Secara spesifik, 57% kasus kanker serviks
invasif berkaitan dengan HPV serotipe 16. Serotipe 18 dikaitkan dengan 16%
penyakit invasif. Masing-masing serotipe ini dapat menyebabkan karsinoma sel
skuamosa atau adenokarsinoma serviks. Namun, HPV 16 lebih sering berkaitan
dengan karsinoma sel skuamosa serviks, sedangkan HPV 18 adalah faktor risiko
adenokarsinoma serviks. (3)

Gambar 1. Infeksi dan Siklus HPV Pada Epitel Serviks(4)


Progresi menjadi sel kanker disebabkan oleh hilangnya fungsi melalui
alterasi genetik, seperti mutasi, delesi, aberasi jumlah kopi, dan penyusunan ulang
kromosom. Akhir-akhir ini, studi-studi menyatakan bahwa perubahan-perubahan
epigenetik memainkan peran yang penting dalam tumorigenesis.(5)

Gambar 2. Genesis Kanker Serviks(3)


Terdapat dua endpoint kritis pada spektrum displasia serviks. (A) Proses inisial ini
merepresentasikan sel yang berisiko, akibat infeksi aktif HPV. Genom HPV
terdapat dalam bentuk plasmid, yang terpisah dari DNA hospes. (B) Lesi
preinvasif yang relevan secara klinis, cervical intraepithelial neoplasia 3 (CIN 3),
atau carcinoma in situ (CIS), merepresentasikan stadium intermediat
perkembangan kanker serviks. Genom HPV (untai DNA merah) telah terintegrasi
dengan DNA hospes, yang menyebabkan peningkatan kemampuan proliferasi. (C)
Efek interaktif antara faktor lingkungan, imunitas pejamu, dan variasi genom sel
somatik, yang mennyebabkan kanker serviks.

Beberapa perubahan epigenetik tersebut adalah:


 Metilasi DNA
o Metilasi gen yang terkait regulasi siklus sel, apoptosis, dan reparasi DNA
o Metilasi gen yang terkait diferensiasi dan proliferasi sel
o Metilasi status gen terkait adhesi sel
o Metilasi gen terkait sinyal dan metabolisme sel
 Modifikasi histon
 Noncoding RNA. (5)
Proses terjadinya kanker serviks bermula dari tumorigenesis, diikuti
penyebaran tumor, sebagai berikut:
A. Tumorigenesis
Awal pembentukan kanker serviks dimulai dengan proses tumorigenesis.
Karsinoma sel skuamosa serviks biasanya bermula dari squamocolumnar
junctiondari lesi displastik yang telah ada, yang biasanya mengikuti infeksi HPV.
Kebanyakan perempuan dengan HPV akan mengalami klirens komplit, namun
yang mengalami infeksi persisten dapat berkembang menjadi penyakit displasia
servikal preinvasif. Proses ini disebut tumorigenesis.(3)
B. Penyebaran Tumor
Setelah tumorigenesis, pola perkembangan lokal dapat bersifat eksofitik,
jika kanker berasal dari ektoserviks, atau dapat endofitik jika berasal dari kanalis
endoservikalis. Lesi-lesi yang berada lebih rendah pada kanal dan ektoserviks
lebih cenderung terlihat saat pemeriksaan fisik. Di sisi lain, pertumbuhan dapat
bersifat infiltratif, dan lesi-lesi yang berulserasi umum dijumpai jika terjadi
nekrosis. (3)
Penyebaran tumor dapat terjadi secara limfatik, limfovaskular, dan dengan
penyebaran lokal dan jauh. Pola penyebaran tumor mengikuti drainase limfatik
serviks. Oleh karena itu, jaringan limfatik yang biasanya melibatkan ligamen-
ligamen kardinal dan parametria anterior dan posterior sering terkena. Seiring
pembesaran lesi primer dan keterlibatan limfatik terjadi, invasi lokal meningkat
dan menjadi ekstensif. (3)
Seiring invasi tumor yang lebih dalam ke stroma, jaringan tumor
memasuki kapiler darah dan saluran-saluran limfatik. Istilah lymphovascular
space involvement (LVSI) digunakan untuk kondisi ini. Tipe pertumbuhan ini
tidak dimasukkan dalam stadium klinis kanker serviks, namun keberadaannya
menyatakan prognosis yang tidak baik, terutama pada kanker serviks stadium
awal. Oleh karena itu, adanya LVSI memerlukan pemilihan prosedur operatif
yang tepat, dan tatalaksana radiasi adjuvan.(3)
Gambar 3. Perjalanan Drainase Limfatik Serviks(3)

3. Tipe Histologi Kanker Serviks


Tipe-tipe histologi kanker serviks adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Subtipe-subtipe Histologis Kanker Serviks(3)

3.1 Karsinoma Sel Skuamosa


Subtipe histologis yang terbanyak dijumpai adalah karsinoma sel
skuamosa dan adenokarsinoma. Dari keduanya, kanker serviks didominasi tumor
sel skuamosa, yang merupakan 75% dari seluruh kanker serviks, dan berasal dari
ektoserviks.(3)
Karsinoma sel skuamosa dibagi menjadi tipe keratin dan non-keratin. Tipe
keratin memiliki mutiara-mutiara keratin dan sarang-sarang epitel skuamosa
neolastik. Tipen non-keratin memiliki sarang-sarang sel skuamosa neoplastik
dengan keratinisasi sel secara individu, namun tidak memiliki mutiara keratin.
Karsinoma sel skuamosa papil adalah varian yang langka dan menyerupai
karsinoma sel transisional vesika urinaria. (3)

Gambar 3. Gambaran Kanker Serviks Sel Skuamosa (3)


Sarang-sarang sel ganas (panah), dengan mutiara keratin eosinofil yang terang dan
terletak di sentral, menginvasi stroma dan disertai respons limfositik.

3.2 Adenokarsinoma
Adenokarsinoma berbeda dengan tipe sel skuamosa, dan merupakan 20-
25% dari seluruh kanker serviks dan berasal dari sel-sel kolumnar yang
memproduksi mukus pada endoserviks. Oleh karena asalnya yang merupakan dari
endoserviks, adenokarsinoma seringkali tersembunyi dan berkembang menjadi
stadium lanjut sebelum akhirnya terdeteksi secara klinis. Adenokarsinoma sering
menyebabkan serviks berbentuk barrel yang ditemukan pada pemeriksaan rongga
panggul. (3)

Gambar 4. Adenokarsinoma Serviks(3)


(A)Foto kanker serviks invasif yang berasal dari endoserviks. (B)
Fotomikrograf adenokarsinoma serviks. Perhatikan pertumbuhan
permukaan adenoma (panah) terkait kelenjar endoserviks yang normal (G)
Adenokarsinoma memiliki beberapa pola histologis, dan didominasi oleh
adenokarsinoma musinosa. Tipe ini dibagi menjadi tipe endoserviks, intestinal,
deviasi minimal, atau viloglandular. Tipe musinosa endoserviks tetap memiliki
penampakan yang mirip jaringan endoserviks normal, sedangkan tipe intestinal
menyerupai sel usus dan dapat memiliki sel goblet. Adenokarsinoma deviasi
minimal biasanya disebut adenoma maligna, dan ditandai dengan kelenjar yang
polos secara sitologis yang memiliki ukuran dan bentuk abnormal. Tipe ini
memiliki peningkatan jumlah kelenjar, yang terletak lebih dalam dibandingkan
kelenjar endoserviks pada normalnya. Bagian superfisialnya seringkali
menyerupai adenoma vilosa, sedangkan bagian dalamnya terbentuk dari kelenjar-
kelenjar yang bercabang dan tidak adanya desmoplasia. (3)
Adenokarsinoma endometrioid adalah kedua tersering, dan menunjukkan
gambaran kelenjar yang menyerupai endometrium. Karsinoma serosa mirip
dengan karsinoma serosa ovarium atau uterus, dan biasanya jarang ditemukan.
Adenokarsinoma clear cell ditemukan pada <5% adenokarsinoma serviks.
Terkadang, adenokarsinoma timbul dari sisa-sisa mesonefron pada serviks, dan
disebut adenokarsinoma mesonefrik. Biasanya, tipe ini tumbuh ke lateral dan
bersifat agresif. (3)

3.3 Karsinoma Serviks Tipe Campuran


Tipe-tipe keganasan ini jarang ditemukan. Karsinoma adenoskuamosa
tidak berbeda secara penampakan kasat mata dengan adenokarsinoma serviks.
Komponen skuamosa berdiferensiasi dengan buruk dan hanya menunjukkan
keratinisasi yang sedikit. Karsinoma glassy cell mendeskripsikan bentukan
karsinoma adenoskuamosa yang berdiferensiasi dengan buruk, dan sel
menunjukkan penampakan sitoplasma dengan ground-glass appearance dan
nukleus yang prominen dengan nukleolus yang bulat. (3)
3.4 Tumor Neuroendokrin Serviks
Tipe-tipe yang jarang ini melibatkan tumor sel besar dan sel kecil pada
serviks. Tumor-tumor neuroendokrin sangat agresif, dan kanker stadium awal
dapat memiliki tingkat kesintasan yang rendah, meskipun ditatalaksana dengan
histerektomi radikal dan kemoterapi adjuvan. Tumor sel besar membentuk
trabekula atau lembaran-lembaran solid, dan sel-selnya berukuran 3-5 kali lipat
ukuran eritrosit. Di sisi lain, karsinoma neuroendokrin sel kecil memiliki populasi
sel yang relatif seragam dengan rasio nukleus : sitoplasma yang besar, dan
menyerupai karsinoma sel kecil pada paru-paru. Seringkali, penanda-penanda
neuroendokrin, seperti kromogranin, sinaptofisin, dan CD56, digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. (3)

3.5 Tumor Ganas Lainnya


Terkadang, serviks dapat menjadi lokasi sarkoma, limfoma maligna, dan
melanoma. Kebanyakan tumor ini timbul sebagai massa pada serviks yang
mengalami perdarahan. Awalnya, diferensiasi sarkoma serviks dari sarkoma
uterus primer memerlukan pemeriksaan patologis yang berhati-hati dan lokalisasi
massa primer tumor. Leiomiosarkoma dan sarkoma stroma serviks memiliki
prognosis yang buruk, yang serupa dengan sarkoma uterus. Karena jarangnya
tumor-tumor ini, bukti-bukti klinis mengenai tatalaksana sarkoma serviks masih
terbatas. Kebanyakan kasus ditatalaksana dengan pendekatan multimodal.
Melanoma sering tampak sebagai nodul biru atau hitam yang berulserasi, dengan
prognosis yang buruk. (3)

4. Faktor-faktor Risiko Kanker Serviks


Selain faktor-faktor risiko demografi, faktor risiko tingkah laku berperan
dalam pembentukan keganasan serviks. (3) Beberapa faktor risiko penyakit kanker
serviks adalah:
 Jumlah pasangan seksual yang lebih dari satu
 Hubungan seksual yang tidak terproteksi
 Inisiasi aktivitas seksual sejak dini (≤18 tahun)
 Usia lebih muda saat kehamilan pertama (<18 tahun)
 Paritas yang meningkat (≥4 persalinan per vaginam)
 Penggunaan kontrasepsi oral hormonal kombinasi selama >5 tahun
 Riwayat penyakit menular seksual lainnya (klamidia, HIV, herpes
simpleks
 Penggunaan rokok (saat ini dan riwayat penggunaan)
 Infeksi HIV. (6)
Faktor risiko yang dinyatakan sebagai faktor risiko terbesar adalah kurangnya
skrining Pap smear secara teratur. (3) Beberapa faktor skrining kanker serviks yang
rendah adalah:
 Tingkat pendidikan yang rendah
 Usia yang lebih tua
 Obesitas
 Merokok
 Kemiskinan. (3)

5. Tanda dan Gejala Kanker Serviks


5.1 Anamnesis
Beberapa kanker serviks tidak menimbulkan gejala apapun. Jika gejala
ditemukan, kanker serviks stadium awal dapat menyebabkan discharge vagina
yang cair dan berbercak darah. Perdarahan intermiten vagina setelah koitus atau
membersihkan vagina juga sering dijumpai. Seiring pembesaran ukuran massa,
perdarahan semakin berat, dan terkadang, seorang perempuan dapat datang ke
IGD dengan perdarahan yang tidak terkontrol. Jika terjadi hal demikian,
perdarahannya dapat dikontrol dengan kombinasi cairan Monsel dan packing
vagina. Aseton topikal juga dapat dipakai untuk mencapai hemostasis pada kasus-
kasus yang refrakter Monsel. (3)
Pada tumor-tumor yang telah mengalami invasi parametrium dan
berekstensi ke dinding samping pelvis, tumor ini dapat mengompresi organ-organ
yang berdekatan, dan menimbulkan gejala terkait organ tersebut, seperti edema
ekstremitas bawah atau low back pain yang seringkali menjalar ke kaki posterior
(kompresi pada nervus siatika, limfe, vena, atau ureter). Jika terjadi obstruksi
ureter, terjadi hidronefrosis dan uremia, dan terkadang dapat menjadi gejala
pertama yang timbul. Jika terjadi hal ini, dapat dilakukan stent ureter atau insersi
tube nefrostomi perkutan. Fungsi ginjal biasanya diupayakan untuk
dipertahankan, untuk fungsi kemoterapi. Selain itu, jika terjadi invasi tumor ke
vesika urinaria atau rektum, perempuan-perempuan dapat mengalami hematuria
dan/atau gejala fistula vesikovagina atau rektovagina. (3)

5.2 Pemeriksaan Fisik


Kebanyakan perempuan dengan kanker serviks menunjukkan temuan
pemeriksaan fisik yang normal, namun, seiring perkembangan penyakit,
pembesaran limfe supraklavikular atau limfadenopati inguinal, edema ekstremitas
bawah, asites, atau penurunan suara napas saat auskultasi dapat menandakan
adanya metastasis. (3)
Pada orang-orang dengan suspek kanker serviks, pemeriksaan genital dan
vagina secara menyeluruh harus dilakukan untuk mencari lesi-lesi yang ada.
Pemeriksaan spekulum akan mendapatkan gambaran serviks yang terlihat normal,
jika kankernya bersifat mikroinvasif. Lesi yang nampak secara makroskopik akan
tampak sebagai massa eksofitik atau endofitik, berbentuk polipoid, jaringan
papiler, atau serviks berbentuk barrel, sebagai ulserasi serviks atau massa granular
atau jaringan nekrotik. Discharge biasanya cair, purulen, atau berdarah. Oleh
karena itu, penampakan kanker serviks dapat menyerupai berbagai penyakit yang
berbeda, seperti leiomioma serviks, polip serviks, prolaps leiomioma uterus atau
sarkoma, vaginitis, eversi serviks, servisitis, abortus iminens, plasenta previa,
kehamilan serviks, kondiloma akuminata, ulkus herpetik, dan kankroid. (3)
Selama pemeriksaan bimanual, klinisi dapat mempalpasi adalah uterus
yang membesar akibat invasi dan pertumbuhan tumor. Hematometra atau
piometra dapat membesarkan kavitas endometrium setelah obstruksi atau egresi
cairan oleh kanker serviks primer. Dalam kasus-kasus kanker serviks stadium
lanjut, dapat terjadi keterlibatan vagina, dan ekstensi penyakit dapat dinilai
dengan pemeriksaan rektovaginal (palpasi septum rektovagina antara jari telunjuk
dan jari tengah mendapatkan septum iregular yang tebal dan keras). Seringkali,
dinding vagina posterior proksimal sering terinvasi. Selama pemeriksaan rectal
toucher, dapat teraba keterlibatan dinding parametrium, uterosakral, dan pelvis.
Salah satu atau kedua parametrium dapat mengalami invasi, dan jaringan yang
terlibat dapat teraba keras, iregular, padat, dan tidak mobile. Massa yang terfiksasi
menandai bahwa tumor kemungkinan telah menyebar ke dinding-dinding pelvis.
Namun, lesi sentral dapat membesar hingga 8-10 cm sebelum mencapai dinding
samping. (3)

5.2.1 Pap Smear


Pemeriksaan histologis biopsi serviks adalah alat utama yang digunakan
untuk mendiagnosis kanker serviks. Meskipun Pap smear selalu dilakukan untuk
skrining, Pap smear tidak selalu mendeteksi kanker serviks. Pap smear memiliki
sensitivitas 55-80% untuk mendeteksi lesi high grade, sehingga kekuatan
preventifnya terletak pada skrining serial yang teratur. Jika memungkinkan, biopsi
harus selalu diambil dari perifer tumor, dan harus melibatkan stroma di bawahnya,
sehingga dapat mendiagnosis invasi. (3)

Gambar 5. Pap Smear, Menunjukkan Karsinoma Sel Skuamosa. (3)

5.2.2 Kolposkopi dan Biopsi Serviks


Jika hasil Pap smear abnormal, pasien ditujukan untuk melakukan
kolposkopi. Semua zona transformasi diidentifikasi, dan biopsi serviks dan
endoserviks yang adekuat dilakukan. Sebuah spekulum endoserviks digunakan
untuk memvisualisasikan zona transformasi, jika telah masuk ke kanalis
endoservik.(3)
Cold knife cone dilakukan pada pasien-pasien dengan hasil kolposkopi
tidak baik, atau penyakit-penyakit high grade. Spesimen biopsi punch serviks
adalah yang paling akurat, untuk menilai invasi kanker serviks. Biasanya, sampel
ini mengandung stroma di bawahnya, dan memungkinkan diferensiasi antara
karsinoma invasif dan karsinoma in situ. (3)

6. Diagnosis dan Stadium Klinis


Stadium kanker serviks ditentukan secara klinis. Beberapa komponen
staging meliputi cold knife conization, pemeriksaan pelvis dengan anestesi,
sistoskopi, proktoskopi, pielogram intravena, dan radiografi dada. Keterlibatan
nodus limfe tidak mempengaruhi stadium kanker. Sistem staging yang banyak
digunakan adalah yang diciptakan oleh FIGO-WHO dan International Union
Against Cancer (UICC).(3)

Gambar 6. Ilustrasi Stadium Kanker Serviks Oleh FIGO (3)


Tabel 2. Stadium Kanker Serviks(3)

Pemeriksaan pencitraan dapat dilakukan untuk menentukan tatalaksana


yang spesifik untuk individu, meskipun tidak mempengaruhi staging (kecuali
metastasis paru yang tampak pada rontgen dada dan hidronefrosis yang tampak
pada CT scan). Selain itu, metastasis nodus limfe, meskipun tidak diinklusikan
dalam sistem FIGO, akan memperburuk prognosis pasien dan dapat ditemukan
dengan pencitraan. Oleh karena itu, alat-alat pencitraan seperti CT scan, magnetic
resonance imaging (MRI), atau positron emission tomography (PET) scanning
sering digunakan untuk menambah pemeriksaan inisial kanker serviks. Namun,
tidak ada pendekatan yang seragam untuk menggunaan alat-alat ini. (3)
6.1.1 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Untuk menentukan kondisi anatomi, alat pencitraan resolusi tinggi ini
memberikan kontras yang lebih baik untuk menilai jaringan lunak. Oleh karena
itu, MRI efektif untuk memperkirakan ukuran tumor, bahkan hingga lesi-lesi
endoserviks, dan untuk menentukan batasan-batasan tumor. Selain itu, MRI
membantu identifikasi invasi vesika urinaria, rektum, atau parametrium.
Sayangnya, MRI kurang akurat untuk mendiagnosis invasi mikroskopik atau
stroma servikal dalam, atau mengidentifikasi ekstensi parametrium yang minimal.
Selain itu, temuan-temuan negatif palsu sering terjadi pada vlomune kecil dan
dengan fokus jaringan yang sulit dibedakan dengan jaringan skar atau nekrosis.
Pada kasus-kasus ini, PET scan dapat mengidentifikasi perubahan-perubahan
metabolik dan bukan anatomik. (3)
MRI lebih baik dibandingkan CT untuk menentukan ukuran karsinoma
serviks, ekstensi tumor lokal, dan keterlibatan nodus limfe. Namun, kedua teknik
ini serupa dalam menentukan kanker serviks. MRI biasa dilakukan untuk pasien-
pasien yang mau melakukan trakelektomi radikal untuk mempertahankan
fertilitas.(3)

6.1.2 Computed Tomography


Modalitas ini paling banyak digunakan untuk menilai keterlibatan nodus
dan penyakit metastasis jauh. CT scan menyediakan gambaran resolusi tinggi
untuk menunjukkan anatomi, terutama jika digunakan kontras. CT scan bukan
merupakan komponen staging FIGO, namun dilakukan pada banyak kasus untuk
menilai ukuran tumor dan ekstensinya melebihi serviks. CT juga dapat membantu
deteksi pembesaran nodus limfe, obstruksi ureter, atau metastasis jauh. (3)
Namun, CT memiliki keterbatasan yang mirip dengan MRI, yaitu tidak
akurat untuk menilai invasi parametrial yang ringan atau invasi stroma serviks
yang dalam. Hal ini dikarenakan resolusi kontras jaringan lunaknya yang buruk,
sehingga sulit membedakan densitasnya dengan parametrium yang normal. CT
juga terbatas oleh ketidakmampuannya mendeteksi keterlibatan metastasis
kecilnya ke nodus limfe yang berukuran normal. Selain itu, gambaran nodus
internal sulit ditentukan dengan CT, sehingga sulit membedakan hiperplasia nodus
reaktif dan penyakit metastasis sesungguhnya. (3)

Gambar 7. CT Scan Kanker Serviks Stadium IB2 (3)

6.1.3 Positron Emission Tomography (PET)


PET adalah teknik pencitraan kedokteran nuklir yang menciptakan
gambaran proses fungsional dalam tubuh. Dengan FDG-PET, analog glukosa
yang telah dilabel secara radioaktif (fluorodeoksiglukosa/FDG) disuntikkan secara
intravena dan diambil oleh sel-sel yang aktif secara metabolik, seperti sel-sel
tumor. PET sering dibaca bersama dengan CT scan, karena PET tidak mampu
memberikan gambaran anatomis secara mendetail. Kombinasi PET dan CT akan
menyediakan data metabolik dan anatomik. Namun, PET kurang sensitif untuk
metastasis limfatik <5 mm, dan untuk tumor-tumor stadiun IA hingga IIA. PET
scan dapat digunakan untuk perencanaan tatalaksana radiasi, dan juga untuk
mengidentifikasi pasien-pasien yang memiliki penyakit metastasis yang jauh dan
merupakan kandidat untuk kemoterapi paliatif, bukan kemoterapi kuratif.(3)
7. Tatalaksana Kanker Serviks
Tatalaksana kanker serviks mengikuti stadium klinis oleh FIGO, sebagai berikut:

Tabel 3. Tatalaksana Umum Untuk Karsinoma Serviks Invasif Primer (3)


Secara garis besar, pada stadium-stadium awal, operasi histerektomi dapat
dilakukan pada pasien-pasien yang secara fisik mampu memtoleransi prosedur
operatif yang agresif, orang-orang yang ingin menghindari efek jangka panjang
terapi radiasi, dan/atau orang-orang dengan kontraindikasi terhadap radioterapi
pelvis. Kandidatnya biasanya adalah pasien-pasien muda yang ingin
mempertahankan ovarium dan retensi vagina yang fungsional dan tidak
diradiasi.(3) Histerektomi memiliki tiga tipe, yaitu histerektomi sederhana (tipe 1),
histerektomi radikal yang dimodifikasi (tipe 2), dan histerektomi radikal (tipe 3).
(3)
Gambar 8. Spesimen Operasi Makroskopis Setelah Histerektomi Radikal –
Uterus, Adneksa, dan Parametria (Panah) (3)

Kanker-kanker dengan stadium IB hingga IIA dapat ditatalaksana dengan


operasi atau kemoradiasi. Pemilihan tatalaksana harus mempertimbangkan faktor-
faktor klinis yang meliputi status menopause, usia, kondisi penyakit yang lain saat
ini, histologi tumor, dan diameter serviks. Biasanya, histerektomi radikal
dilakukan untuk pasien-pasien premenopause yang ingin mempertahankan
fertilitas, fungsi seksual, dan fungsi ovarium setelah radioterapi. (3)
Beberapa komplikasi operasi stadium awal adalah striktur ureter, fistula
ureterovaginal, disfungsi vesika urinaria, konstipasi, dehisens luka, limfosist, dan
limfedema. Terapi radiasi juga membawa komplikasi seperti terganggunya fungsi
seksual akibat vagina yang memendek, dispareunia, faktor-faktor psikologis,
stenosis vagina, pembentukan fistula, enteritis, proktitis, dan obstruksi usus. (3)
Di sisi lain, tatalaksana untuk stadium lanjut biasanya merupakan terapi
radiasi berupa kemoradiasi (regimen mengandung cisplatin) atau eksenterasi
pelvis (pengambilan vesika urinaria, rektum, uterus, tuba falopi dan ovarium,
vagina, dan jaringan di sekitarnya). Pasien-pasien dengan stadium IVB biasanya
memiliki prognosis yang lebih buruk, dan diobati dengan tujuan paliatif. Radiasi
pelvis diberikan untuk mengontrol perdarahan dan nyeri vagina. Kemoterapi
sistemik dilakukan untuk meringankan gejala dan memperpanjang kesintasan
keseluruhan.(3)
Pasien-pasien paska radioterapi harus dipantau, yaitu pemeriksaan pelvis
saat kunjungan, penilaian nodus limfe (leher, supraklavikula, infraklavikula,
aksilar, dan inguinal), rontgen dada setiap tahunnya, dan Pap smear serviks atau
vaginal cuff tiap 3 bulan selama 2 tahun pertama dan tiap 6 bulan saat 3 tahun
berikutnya. Pasien-pasien pasa operatif harus melakukan pemantauan jikaada
massa pelvis yang abnormal atau temuan abnormal apapun pada pelvis (CT scan)
dan kunjungan Pap smear yang sama seperti radioterapi. Pasien-pasien dengan
kanker serviks boleh mendapatkan terapi hormon untuk mengobati gejala-gejala
menopause mereka, dengan mempertimbangkan manfaat dan risikonya. (3)

8. Deteksi Dini Kanker Serviks


Deteksi dini kanker serviks bermanfaat untuk mencegah perburukan
kanker serviks menjadi stadium yang lebih lanjut. Sensitivitas maksimum Pap
smear konvensional, dan sitologi berbasis cairan untuk mengidentifikasi CIN>II
adalah 55,2 dan 57,1% secara berurutan. Berikut pembahasan beberapa
pemeriksaan tersebut:
a. Pemeriksaan Papanicolau (Pap Smear)
Pap smear terdiri dari tipe sitologi konvensional dan yang berbasis cairan.
Menurut Panduan NCCN, deteksi dini kanker serviks dengan Pap smear sitologi
dimulai sejak perempuan berusia 21-29 tahun, dengan frekuensi pemeriksaan
setiap 2 tahun.(4) Pemeriksaan berbasis cairan hanya memerlukan satu sampel
untuk melakukan beberapa pengujian (sitologi dan pemeriksaan HPV, gonorea,
dan infeksi klamidia). Meskipun secara teori spesimen berbasis cairan membuat
interpretasi hasil lebih mudah, meningkatkan filtrasi darah dan debris, serta lebih
sedikit jumlah sediaan yang tidak memuaskan, teknik berbasis cairan dan sitologi
konvensional memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang hampir serupa untuk
mendeteksi CIN. (7)
Spesimen pemeriksaan ini adalah sel-sel serviks. Demi memastikan kualitas
sampel yang baik, area pengambilan spesimen difokuskan pada zona transformasi
(zona antara ektoserviks dan endoserviks). Pengambilan spesimen dilakukan 360
derajat, mengelilingi zona transformasi sebanyak 5 kali. (4)
Sampel pemeriksaan sitologi dan DNA HPV sebaiknya mengandung sel
endoserviks, sebagai parameter bahwa sel-sel di zona transformasi juga telah
terambil. Dulu, sampel yang tidak mengandung sel endoserviks disarankan untuk
diperiksa ulang, namun beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa perempuan
dengan hasil pemeriksaan sitologi negatif tanpa sel endoserviks tidak lebih tinggi
risikonya untuk mendapat lesi serviks di kemudian hari, dibandingkan perempuan
dengan hasil sitologi negatif dan sampel mengandung sel endoserviks.(4)

Gambar 9. Teknik Pengambilan Spesimen Untuk Pemeriksaan Sitologi dan DNA


HPV(4)
Sel-sel pada zona transformasi diambil menggunakan cervical brush
b. Pemeriksaan DNA HPV
Perempuan berusia 30 tahun atau lebih disarankan selain Pap smear, menjalani
pemeriksaan DNA HPV yang lebih sensitif. Apabila ditemukan hasil negatif pada
sitologi dan DNA HPV, pemeriksaan dapat dilakukan kembali setelah 3 tahun. (4)
Perempuan-perempuan pada rentang usia 30-65 tahun yang memperoleh hasil
DNA HPV dan sitologi yang negatif memiliki risiko yang lebih rendah untuk
berkembang menjadi CIN2 atau CIN3 dalam 4-6 tahun berikutnya, dibandingkan
perempuan-perempuan dengan sitologi negatif saja. Co-testing jauh lebih sensitif
dibandingkan pengujian sitologi secara eksklusif untuk mendeteksi
adenokarsinoma serviks (yang merupakan 10% dari seluruh kasus kanker serviks,
yang mayoritasnya berjenis sel skuamosa). (7)
Panduan skrining adalah sebagai berikut:
A. Inisiasi Skrining
Menurut kesepakatan ACOG, ACS, ASCCP, ASCP, dan USPSTF, skrining
karsinoma serviks harus dimulai pada usia 21 tahun. Perempuan-perempuan usia
muda sering terinfeksi HPV dalam beberapa bulan setelah beberapa bulan setelah
mulai koitus, namun infeksi ini hampir selalu dihilangkan hingga bersih oleh
sistem imunitas orang muda yang imunokompeten dalam satu hingga dua tahun.
Perempuan-perempuan berusia <21 tahun memiliki insidensi kanker yang sangat
rendah (0,1% kasus didiagnosis sebelum usia 21 tahun) dan belum ada bukti-bukti
kuat yang mendukung bahwa skrining secara efektif menurunkan prevalensi
kanker serviks pada demografi usia <21 tahun. Rekomendasi ini tidak
mempertimbangkan riwayat seksual atau faktor risiko perilaku. Selain itu,
neoplasia servikal non-maligna tidak jarang ditemui pada usia <21 tahun dan uji
Pap smear yang abnormal hanya akan menyebabkan kekhawatiran, morbiditas,
dan pemeriksaan-pemeriksaan dan prosedur lanjutan. Meskipun skrining
karsinoma serviks tidak direkomendasikan pada rentang usia ini, perempuan-
perempuan ini tetap harus dikonseling mengenai praktek seksual yang aman, dan
mendapat vaksinasi HPV sebagai bagian dari pelayanan primer mereka. (7)

B. Skrining Untuk Perempuan Usia 21-29 Tahun


Perempuan-perempuan pada rentang usia ini harus melakukan skrining
sitologi serviks saja setiap 3 tahun (perubahan rekomendasi sebelumnya yang
adalah 2 tahun sekali). Co-testing untuk mendeteksi adanya genotipe HPV high
risk tidak disarankan untuk dilakukan pada perempuan-perempuan berusia <30
tahun. Uji HPV lebih sensitif dibandingkan uji sitologi servikal, namun kurang
spesifik. Oleh karena itu, karena adanya prevalensi infeksi HPV high risk yang
tinggi pada perempuan-perempuan berusia <30 tahun, ditambah risiko yang lebih
rendah untuk mengalami kanker serviks akibat eradikasi infeksi HPV transien
oleh sistem imun, skrining dengan co-testing tidak disarankan. Co-testing pada
kelompok usia ini akan menyebabkan peningkatan jumlah prosedur pemeriksaan
yang berlebihan, tanpa disertai penurunan insidensi karsinoma serviks. (7)
Adanya bukti peningkatan interval skrining berasal dari tudi-studi
modeling yang tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada predicted
lifetime risk kanker serviks, pada perempuan-perempuan yang diskrining setiap
tiga tahun (5-7 kasus baru per 1000) vs tiap dua tahun (4-6 kasus baru per 1000).
Selain itu, menggunakan model ini, perempuan-perempuan yang diskrining tiap 2
tahun akan menjalani 40% lebih banyak kolposkopi dibandingkan perempuan-
perempuan yang diskrining tiap 3 tahun. (7)

C. Skrining Untuk Perempuan Usia 30-65 Tahun


Perempuan-perempuan berusia 30-65 tahun harus dilakukan co-testing
menggunakan sitologi dan uji HPV tiap 5 tahun (dan tidak tiap 3 tahun seperti
rekomendasi sebelumnya). Menurut ACOG, ACG, ASCCP, dan ASCP, co-testing
lebih disukai dibandingkan sitologi konvensional saja, karena peningkatan
sensitivitas mendeteksi CIN3 dan kanker serviks. Justifikasi pemanjangan interval
skrining didasarkan pada prinsip manajemen yang sama untuk risiko yang sama.
Data pemeriksaan yang mensugestikan risiko CIN3 atau lebih lima tahun setelah
co-test yang negatif memiliki risiko yang kurang atau sama dengan tiga tahun
setelah hasil Pap negatif. (7)

D. Penghentian Skrining
Menurut panduan konsensus terkini, semua skrining harus dihentikan
untuk para perempuan setelah usia 65 tahun yang telah memiliki hasil skrining
negatif yang adekuat. Skrining negatif yang adekuat adalah tiga hasil Pap yang
negatif berturut-turut, atau dua dua hasil co-test yang negatif berturut-turut dalam
10 tahun terakhir, dengan uji paling kini dilakukan dalam 5 tahun terakhir.
Rekomendasi ini hanya berlaku untuk perempuan-perempuan yang berusia di atas
65 tahun yang tidak memiliki riwayat CIN2 atau lebih dalam 20 tahun terakhir,
dan yang tidak memiliki peningkatan risiko kanker serviks akibat pajanan lain.
USPSTF telah mengadopsi rekomendasi ini. (7)
Jika seorang perempuan yang berusia di atas 65 tahun memiliki pasangan
seksual baru, risiko persistensi dan progresi HPV menjadi kanker yang rendah
menyebabkan tidak perlunya skrining apapun jika perempuan tersebut telah
memiliki hasil skrining negatif adekuat. Atrofi epitel paska menopause yang
sering ditemui pada kelompok usia ini dapat menyebabkan hasil false-positive,
sehingga sitologi serviks yang abnormal memiliki nilai prediksi positif yang
sangat rendah. Selain itu, zona transformasi serviks semakin kecil dan semakin
sulit diakses, sehingga memerlukan lebih banyak intervensi untuk memperoleh
spesimen yang adekuat dan mengobati pasien. (7)
ACS, ASCCP, dan ASCP tidak menemukan bukti-bukti klinis yang cukup
untuk menyatakan bahwa frekuensi skrining pada kelompok usia berapapun harus
diubah berdasarkan sitologi negatif negatif. (7)

E. Skrining Untuk Populasi Khusus


Pada perempuan-perempuan dengan riwayat kanker serviks sebelumnya,
CIN2 atau CIN3 yang pernah diobati, infeksi HPV atau HIV yang sedang terjadi,
imunodefisiensi, atau riwayat pajanan terhadap dietilstilbestrol in utero,
rekomendasi skrining akan lebih intensif. Menurut CDC, perempuan-perempuan
yang terinfeksi HIV harus diskrining dengan sitologi serviks dua kali pada tahun
pertama setelah terdiagnosis, dan setelah itu satu kali per tahun, baik HIV
terdiagnosis sebelum atau sesudah usia 21 tahun. Rekomendasi CDC menyatakan
bahwa anak-anak perempuan atau bayi yang positif HPV, harus diskrining
terhadap transmisi vertikal. Pada pasien-pasien yang menjalani transplantasi organ
atau dengan penyebab imunosupresi lainnya, ACOG mengusulkan bahwa sitologi
per tahunnya dilakukan. Belum ada rekomendasi eksplisit mengenai uji HPV pada
perempuan-perempuan dengan imunodefisiensi akibat HIV atau penyebab-
penyebab lainnya. (7)

F. Skrining Untuk Perempuan-perempuan Setelah Histerektomi Untuk Alasan


Benigna
Pada perempuan-perempuan yang telah menjalani histerektomi total, yang
termasuk mengangkat serviks, dan yang tidak pernah terdeteksi CIN2 atau lebih,
skrining sitologi rutin dan uji HPV harus dihentikan sepenuhnya. Pengujian
sitologi berkelanjutan pada populasi pasien ini tidak efektif, karena mereka
memiliki risiko yang sangat rendah dan jarang terjadi kanker vagina. (7)

9. Pencegahan Kanker Serviks


Pencegahan kanker serviks dapat dilakukan dengan menggunakan
vaksinasi HPV untuk mencegah infeksi HPV high risk, dan karsinogenesis
serviks. (6) Vaksin yang tersedia saat ini adalah:
 Gardasil
Vaksin Gardasil pertama kali disahkan The Food and Drug Administration
(FDA) pada tahun 2006. Vaksin ini mencegah infeksi HPV 16 dan 18, ditambah
HPV 6 dan 11, dan ditargetkan untuk digunakan oleh perempuan-perempuan
berusia 9-26 tahun. Vaksin ini dipasarkan dengan klaim dapat mencegah kutil
kelamin dan kanker serviks jika diberi dalam tiga dosis penuh, yaitu pada bulan 0,
1, dan 6. Gardasil juga memiliki kemampuan untuk melindungi dari kanker vulva,
cagina, dan neoplasia intraepitel, dan akhir-ahir ini untuk mencegah kutil kelamin
pada laki-laki usia 9-26 tahun. (6) Studi-studi klinis jangka pendek dan menengah
menunjukkan bahwa Gardasil memiliki kemampuan melindungi dari infeksi HPV
16 dan 18 dan lesi-lesi prekanker yang terkait selama hingga 5 tahun paska
vaksinasi. (6)
 Cervarix
Pada tahun 2008, vaksin kedua yang bernama Cervarix yang merupakan
vaksin bivalen HPV yang memproteksi terhadap HPV 16 dan 18 disahkan.
Cervarix diperuntukkan bagi para perempuan berusia 10-25 tahun, dan diberikan
dalam tiga dosis pada bulan 0, 1 hingga 2, dan 6. Cervarix efektif terhadap kutil-
kutil kelamin yang disebabkan HPV, lesi-lesi prekanker, dan kanker serviks.
Studi-studi klinis jangka pendek hingga sedang menunjukkan bahwa Cervarix
memberikan perlindungan terhadap HPV 16 dan 18 serta lesi-lesi prekanker yang
terkait selama 6,4 tahun paska-vaksinasi. (6)
Kedua vaksin Gardasil dan Cervarix disahkan untuk digunakan pada lebih dari
100 negara. Pada uji masing-masing, efikasi Cervarix untuk melindungi dari
abnormalitas sitologi serviks pada perempuan-perempuan yang tidak memiliki
HPV sedikit lebih baik dibandingkan Gardasil. Cervarix juga memiliki proteksi
silang yang lebih tinggi terhadap tipe-tipe HPV lainnya yang non-vaksin, yang
dibuktikan dengan penurunan tatalaksana eksisional penyakit CIN 2/3
dibandingkan dengan Gardasil, dan efikasinya menurunkan insidensi kutil
kelamin yang disebabkan HPV 6, 11, dan 74. Namun, perbedaan efikasi Gardasil
dan Cervarix secara klinis sulit dibedakan, dan tidak akan nampak hingga
bertahun-tahun di depan. Para peneliti percaya bahwa perbedaannya akan lebih
jelas dengan penilaian jangka panjang dengan database berbasis populasi yang
dapat mencatat lesi serviks terkait HPV. (6)

10. Prognosis Kanker Serviks


Prognosis kanker serviks biasanya ditentukan oleh stadium FIGO, ukuran
kanker dalam sentimeter, atau stadium operatif. Dari ketiganya, stadium FIGO
merupakan faktor prognostik yang paling signifikan. Namun, dalam distribusi tiap
stadium, keterlibatan limfe nodus juga merupakan faktor yang penting untuk
menentukan prognosis. Contohnya, dalam kanker serviks stadium awal (I hingga
IIA), metastasis nodus limfe adalah prediktor independen kesintasan. Selain itu,
jumlah metastasis nodus juga merupakan faktor prediktif. Studi-studi retrospektf
menunjukkan kesintasan 5-tahun yang jauh lebih tinggi pada orang-orang dengan
satu nodus limfe positif, dibandingkan dengan perempuan-perempuan dengan
keterlibatan nodus limfe multipel. Keterlibatan nodus mikroskopik juga memiliki
prognosis yang lebih baik dibandingkan penyakit nodus makroskopik. (3)

Tabel 4. Kesintasan Kanker Serviks Menurut Stadiumnya (3)


BAB III
KESIMPULAN
Kanker serviks merupakan masalah kesehatan dunia yang harus
diperhatikan, terutama pada populasi-populasi rentan di negara dengan
sosioekonomi menengah ke bawah. Kanker serviks disebabkan oleh human
papillomavirus (HPV) genitalia tipe high risk (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52,
56, 58, 59, 68, 69, 73, dan 82), yang ditularkan melalui hubungan seksual. Proses
terjadinya kanker serviks bermula dari proses tumorigenesis, yang kemudian
diikuti penyebaran tumor. Tipe histologi kanker serviks terbagi mnejadi tipe
karsinoma sel skuamosa (terbanyak), adenokarsinoma (kedua terbanyak),
karsinoma serviks tipe campuran, tumor neuroendokrin serviks, dan lainnya.
Beberapa faktor risiko kanker serviks adalah jumlah pasangan multipel,
hubugnan seksual tanpa pelindung, inisiasi aktivitas seksual sejak dini, usia muda
saat kehamilan pertama, paritas yang meningkat, penggunaan kontrasepsi oral
hormonal kombinasi selama >5 tahun, riwayat penyakit seksual lainnya,
penggunaan rokok, dan infeksi HIV. Sang ibu memiliki 4 faktor risiko yang
disebutkan di atas.
Tanda dan gejala kanker serviks adalah discharge vagina yang cair dan
bebercak darah, dengan gejala kompresi organ-organ di sekitar serviks jika tumor
semakin membesar. Pemeriksaan fisik akan mendapatkan gambaran serviks yang
bergantung pada invasi tumor, ukuran uterus yang dapat membesar, dan
sebagainya tergantung ekstensi tumor. Pap smear juga akan menemukan temuan-
temuan abnormal. Kolposkopi dan biopsi serviks dilakukan jika hasil Pap smear
abnormal.
Diagnosis kanker serviks dibuat berdasarkan gambaran klinisnya, yang
dibagi menjadi stadium I, II, III, dan IV, dengan masing-masing poin-poinnya.
Pemeriksaan pencitraan dengan MRI, CT scan, dan PET dapat dilakukan untuk
menentukan tatalaksana untuk tiap individu. Tatalaksana kanker serviks
bergantung pada stadium FIGO nya, dari histerektomi atau konisasi servikal (IA),
hingga histerektomi radikal dengan kemoradiasi (II), kemoradiasi atau eksenterasi
pelvis (IIB - IVA), hingga kemoterapi paliatif dan/atau radioterapi paliatif atau
tatalaksana suportif terbaik (IVB). Setiap tatalaksana membawa risiko
komplikasinya masing-masing.
Deteksi dini kanker serviks adalah kunci utama penyembuhan kanker
serviks, dengan Pap smear yang dilakukan rutin, dengan mengikuti panduan
inisiasi skrining, skrining untuk perempuan usia 21-29 tahun, skrining untuk
perempuan usia 30-65 tahun, penghentian skrining, skrining untuk populasi
khusus, skrining untuk perempuan-perempuan setelah histerektomi. Pencegahan
kanker serviks dapat dilakukan dengan vaksin Gardasil atau Cervarix.
Kanker serviks membawa prognosis yang biasanya ditentukan oleh
stadium FIGO, ukuran kanker dalam sentimeter, atau stadium operatif. Prognosis
kanker serviks stadium IA adalah 100%, IB 88%, IIA 68%, IIB 44%, III 18-39%,
dan IVA 18-34%. Kunci tatalaksana penyakit ini adalah pencegahan atau skrining
yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Cervical Cancer [Internet]. 2018. Diakses
2018 Nov 29. Diakses dari:
https://www.who.int/cancer/prevention/diagnosisscreening/cervical-
cancer/en/.
2. Kemenkes RI. Situasi Penyakit Kanker. 2015. Diakses 2018 Nov 29 dari
download file - Kementerian Kesehatan
www.depkes.go.id/download.php?file=download/...kanker.pdf.
3. Cervical Cancer. Dalam: Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson
LM, Bradshaw KD, Cunningham FG. Williams Gynecology. China:
McGraw-Hill Companies. Ed 2. 2012. Hal 769-89.
4. Noviana H. Human Papillomavirus dan Kanker Serviks. CDK. 2012;
39(1): 65-6.
5. Fang J, Zhang H, Jin S. Epigenetics and Cervical Cancer: From
Pathogenesis To Therapy. Tumour Biol. 2014 Jun; 35(6): 5083-93.
6. McGraw SL, Ferrante JM. Update on Prevention and Screening of
Cervical Cancer. World J Clin Oncol. 2014 Okt 10; 5(4): 744-52.
7. Schlichte MJ, Guidry J. Current Cervical Carcinoma Screening
Guidelines. J Clin Med. 2015 Mei; 4(5): 918-32.

Anda mungkin juga menyukai