Anda di halaman 1dari 14

Tinjauan Kasus

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


OSTEOARTHRITIS LUTUT
Wayan Citra Wulan Sucipta Putri, Ade Ari Sutradewi, Tjokorda Raka Putra
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RS Sanglah Denpasar

Pendahuluan
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan
kerusakan kartilago sendi, dimana terjadi proses degradasi interaktif sendi yang kompleks,
terdiri dari proses perbaikan pada kartilago, tulang dan sinovium diikuti komponen
sekunder proses inflamasi. Prosesnya tidak hanya mengenai rawan sendi namun juga
mengenai seluruh sendi, termasuk tulang subkondral, ligamentum, kapsul dan jaringan
sinovial serta jaringan ikat periartikuler. Pada stadium lanjut rawan sendi mengalami
kerusakan, ditandai adanya fibrilasi, fisur, dan ulserasi yang dalam pada permukaan sendi.
Paling sering mengenai vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan tangan kaki. 1, 2, 3, 4
OA merupakan kelainan degeneratif sendi yang paling banyak didapatkan di
masyarakat, terutama pada usia lanjut. Lebih dari 80% usia diatas 75 tahun menderita OA.
OA merupakan kasus terbanyak yang terdapat di rumah sakit dari semua kasus penyakit
rematik. Di poliklinik Reumatologi RSUP Sanglah Denpasar (2001-2003), OA merupakan
kasus tertinggi (37%) diikuti dengan RNA, AG, SLE, dan lain-lain. Kelainan pada lutut
merupakan kelainan terbanyak dari OA diikuti sendi panggul dan tulang belakang. Di
Indonesia prevalensi OA lutut yang tampak secara radiologik mencapai 15,5 % pada pria
dan 12,7 % pada wanita berumur antara 40-60 tahun. Data di RSUP Sanglah Denpasar
(2001-2002), keluhan lutut didapatkan terbanyak (97%) dari semua penderita OA. 3, 5
OA diklasifikasikan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. OA
disebabkan oleh perubahan biomekanikal dan biokimia tulang rawan, dimana akan terjadi
ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis tulang rawan. Ketidakseimbangan ini
menyebabkan pengeluaran enzim-enzim degradasi dan pengeluaran kolagen yang akan
mengakibatkan kerusakan tulang rawan sendi dan sinovium (sinuvitis sekunder) akibat
terjadinya perubahan matriks dan struktur. Selain itu juga akan terjadi pembentukan
osteofit sebagai suatu proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian sehingga
dipandang sebagai kegagalan sendi yang progresif.1,4,7

1
Pada umumnya penderita OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung
lama tetapi berkembang secara perlahan-lahan. Penderita OA biasanya mengeluh pada
sendi yang terkena yang bertambah dengan gerakan atau waktu melakukan aktivitas dan
berkurang dengan istirahat. Selain itu juga terdapat kaku sendi dan krepitus, bentuk sendi
berubah dan gangguan fungsi sendi. Pada derajat yang lebih berat, nyeri dapat dirasakan
terus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas penderita.1,3 OA sendi lutut ditandai
oleh nyeri pada pergerakan yang hilang bila istirahat, kaku sendi terutama setelah istirahat
lama atau bangun tidur, krepitasi sewaktu pergerakan dan dapat disertai sinovitis dengan
atau tanpa efusi cairan sendi. Nyeri akan bertambah jika melakukan kegiatan yang
membebani lutut seperti berjalan, naik turun tangga, berdiri lama. Gangguan tersebut
mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat sehingga penderita tidak bisa
berjalan.8,9
Diagnosis OA sudah dapat ditegakkan berdasarkan kriteria klasifikasi The
American College of Rheumatology yaitu adanya nyeri lutut dan gambaran radiografik
osteofit dan salah satu dari : umur > 50 tahun, kaku sendi < 30 menit, serta krepitasi.3,10
Prinsip penatalaksanaan OA bertujuan untuk menghilangkan keluhan,
mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kualitas
hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar terapi: non
farmakologis (edukasi, terapi fisik, diet, penurunan berat badan), farmakologis (analgetik,
kortikosteroid lokal, sistemik, kondroprotektif dan biologik), dan pembedahan.1,3
OA sendi lutut merupakan kelainan sendi yang mempunyai dampak terhadap
kehidupan sehari-hari penderitanya. 8,11 Walaupun belum ada pengobatan medis yang dapat
menyembuhkan dan menghentikan progresifitas OA, banyak hal yang bisa dilakukan
untuk menghilangkan nyeri, menjaga mobilitas dan meminimalkan disabilitas. Merupakan
sebuah tantangan bagi para klinisi untuk menemukan cara mempertahankan fungsi sendi,
mengobati nyeri sendi dan inflamasi yang bisa terjadi. 12,13
Kunci menuju manajemen yang efektif dari OA berpegangan kepada diagnosis
yang akurat dan tepat. Pengelolaan penderita OA baik secara farmakologik atau non
farmakologik dapat dilakukan dengan lebih tepat dan aman bila terdapat pemahaman yang
baik mengenai patogenesis dan sifat nyeri OA yang multifaktorial. Hal ini menuntut
ketrampilan para tenaga medis pada umumnya dan dokter umum pada khususnya sehingga
dapat memberikan penanganan yang tepat dan adekuat terhadap penderita dengan OA.
Pada tinjauan kasus ini akan dibahas mengenai pendekatan diagnostik dan
penatalaksanaan pada penderita dengan OA lutut.

2
Kasus
Seorang penderita, perempuan, 49 tahun, agama Islam, suku Sunda, pekerja serabutan TK
Barunawati, beralamat di Pulau Ambon No.25 Denpasar, datang dengan keluhan nyeri
pada lutut sejak 3 bulan SMRS. Nyeri dirasakan pada lutut kanan dan terlokalisir. Nyeri
terasa seperti ditusuk-tusuk pada lutut kanan. Nyeri yang dirasakan sangat hebat sampai
penderita tidak bisa berjalan dengan baik, sulit berjalan dan aktivitas sehari-hari menjadi
terhambat. Nyeri dirasakan setiap hari, dimana pada awalnya nyeri dirasakan tidak terlalu
berat, muncul secara perlahan-lahan namun sejak 2 bulan SMRS nyeri dirasakan semakin
memberat. Nyeri memberat terutama bila penderita melakukan aktivitas seperti berjalan
jauh, bolak-balik dari rumah ke tempat kerjanya dan mengangkat beban yang berat
(membawa 2 ember berisi air masing-masing 5 liter). Nyeri pada lutut dirasakan memberat
bila penderita mencoba untuk berjalan dan sedikit membaik bila penderita beristirahat.
Nyeri juga membaik setelah penderita minum jamu Mahkota Dewa, dimana nyeri
berkurang namun 2 hari kemudian muncul lagi saat penderita beraktivitas biasa.
Penderita juga mengeluh susah menggerakkan lutut kanannya sejak 2 bulan SMRS,
dirasakan biasanya pada pagi hari sekitar 20-30 menit. Lutut susah digerakkan, terasa kaku
seperti diikat. Kondisi ini mengakibatkan penderita sulit melakukan gerakan seperti
menekuk lutut kanan, meluruskan maupun mengangkat tungkai kanan. Kondisi lutut
kanan susah digerakkan ini terjadi setiap hari dan lebih sering pada pagi hari saat penderita
baru bangun tidur. Keluhan susah menggerakkan lutut kanan ini perlahan bisa hilang
setelah penderita memaksakan untuk menggerakkan lututnya dengan melakukan aktivitas
rumah tangga yang rutin dilakukan (menyapu dan memasak) meskipun nyeri lutut masih
dirasakan.
Keluhan lain yang dirasakan yaitu lutut kanan yang membesar. Hal ini dirasakan
penderita sejak 2 bulan yang lalu dan dirasakan bertambah besar sejak 1 bulan SMRS.
Lutut kanan membesar terasa seperti ada benda yang mendesak dari dalam lutut, warna
kulit sama seperti disekitarnya, terasa hangat dan bila ditekan akan mudah kembali dengan
cepat. Lutut kanan penderita membesar hingga menyerupai cabang batang pohon mangga.
Pembesaran lutut kanan terjadi secara perlahan-lahan tanpa disadari oleh penderita hingga
saat 1 bulan SMRS penderita baru menyadarinya. Pembesaran lutut tidak berkurang meski
penderita mencoba beristirahat atau dengan minum jamu.
Penderita juga mengeluh sulit berjalan sejak kurang lebih 2 bulan SMRS. Penderita
berjalan seperti terpincang-pincang. Meski penderita berjalan terpincang-pincang, namun
ia masih bisa beraktivitas tanpa memerlukan tongkat untuk membantunya berjalan.

3
Awalnya keluhan sulit berjalan ini tidak terlalu sering dirasakan, namun keluhan perlahan-
lahan memberat dan dirasakan bahkan di saat lutut penderita tidak terasa nyeri saat
berjalan. Keluhan tidak berkurang meski penderita mencoba beristirahat dan memberat
bila penderita berjalan terlalu jauh (bolak-balik dari rumah ke tempat kerjanya tanpa
berhenti sebanyak kurang lebih 5 kali)
Penderita tidak ada mengalami keluhan yang terjadi bersamaan pada sendi-sendi
lainnya seperti sendi jari tangan, gelang kaki atau telapak kaki. Penderita tidak pernah
mengalami kaku lebih dari 30 menit sampai 1 jam. Keluhan nyeri pinggang tidak ada.
Keluhan rasa panas, kemerahan dan nyeri di tulang-tulang tidak ada. Penderita tidak
pernah mengalami benjolan seperti kelereng pada lutut dan di tempat lain seperti di
telinga, siku dan kaki. Bengkak pada jempol kaki tidak ada. Riwayat suka makan daging
tidak ada. Riwayat trauma pada lutut kanan disangkal oleh penderita.
Penderita tidak memiliki riwayat menderita penyakit yang sama sebelumnya.
Riwayat menderita diabetes melitus tidak pernah dialami oleh penderita. Di keluarga
penderita, tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan
penderita. Di keluarga penderita ada yang menderita penyakit diabetes melitus yakni
kakak penderita.
Penderita setiap harinya bekerja sebagai pekerja serabutan di TK Barunawati,
Denpasar, sejak sekitar 5 tahun yang lalu. Setiap harinya penderita berjalan bolak-balik
sebanyak 10-15 kali dari TK Barunawati gedung selatan menuju gedung utara yang
jaraknya ± 150 meter. Penderita juga tiap hari mengangkat 2 ember ukuran 5 liter yang
berisi air minum anak SD dengan volume penuh dan membawanya dari gedung selatan
menuju gedung utara, dimana penderita sering membawa ember tersebut tidak hanya
dengan menenteng saja, namun dengan mengangkat lebih tinggi. Terkadang penderita
membawa ember tersebut di kepalanya. Sejak 2 bulan yang lalu penderita mengkonsumsi
jamu Mahkota Dewa untuk menghilangkan nyeri lututnya, namun keluhan nyeri tetap
muncul setelah 1 hari minum jamu tersebut. Penderita telah berhenti mengkonsumsi jamu
tersebut 2 minggu SMRS.
Pada pemeriksaan fisik umum pada tanggal 13 Januari 2007 didapatkan kesan
sakitnya sedang, kesadaran kompos mentis, tinggi badan 155 cm, berat badan 62 kg,
dengan status gizi BB Lebih dan IMT = 25 (Obese I).Tekanan darah 120/80 mmHg,
denyut nadi 100 kali/menit, pernafasan 24 kali/menit, temperatur axila 36,5ºC.

4
Pada pemeriksaan kedua mata tidak tampak anemik. Pada telinga terkesan tenang,
tidak ada tophus pada telinga kanan maupun kiri. Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan
peningkatan JVP dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan thoraks, dari inspeksi didapatkan ictus cordis tidak tampak. Pada
palpasi, ictus cordis terba di ICS V, satu jari lateral linea midklavikularis kiri, kuat angkat.
Pada perkusi didapatkan batas jantung kanan di linea parasternal kanan, batas jantung kiri
di satu jari lateral linea midklavikularis kiri, dan ada pinggang jantung. Pada auskultasi
jantung didapatkan suara jantung S1S2 tunggal reguler tidak didapatkan murmur. Pada
pemeriksaan paru tidak dijumpai adanya kelainan. Pada pemeriksaan abdomen, palpasi
hepar dan lien tidak teraba. Dari perkusi, traube space tymphani.
Pemeriksaan fisik lokalis pada sendi ekstemitas didapatkan sendi lutut kanan: pada
inspeksi didapatkan asimetrisitas lutut, terdapat pembesaran sendi pada lutut kanan dengan
menghilangnya cekungan sekitar patela berukuran diameter 10 cm dengan tidak ada
perubahan warna kulit (hiperemi). Palpasi pada lutut kanan didapatkan nyeri tekan derajat
3, dirasakan hangat pada lutut kanan, tidak ada bengkak maupun nyeri. Pemeriksaan gerak
sendi didapat keterbatasan gerak fleksi hanya dapat mengerakkan lutut sebesar 60° dan
tidak dapat melakukan gerakan ekstensi lutut kanan (ekstensi 00). Auskultasi didapatkan
suara krepitasi pada sendi lutut kanan. Keadaan sekitar sendi tidak ada kelainan. Lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Pemeriksaan pada lutut kiri normal.

Tabel 1. Pemeriksaan Khusus Sendi

Sendi Inspeksi Palpasi Pergerakan Auskultasi Sekitar


Sendi
Genu Pembesaran Nyeri Fleksi 600, Krepitasi ada Tidak ada
Dekstra sendi tekan ektensi 00. kelainan
diameter 10 derajat 3,
cm, teraba
hilangnya hangat,
cekungan tidak
sekitar bengkak
patela, tidak nyeri.
tidak ada
hiperemi

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi pemeriksaan rutin laboratorium


darah, kimia darah, urine lengkap, dan radiologi. Pemeriksaan laboratorium darah tanggal
12 januari 2007 didapatkan : WBC: 11,27 k/uL, Hb: 14,8 g/dL, HCT: 42,8% dan PLT:453
K/uL. Hasil kimia darah tanggal 12 januari 2007 BUN 13,6 mg%, serum creatinin 0,78 mg

5
%, AST 27 mg%, ALT 32 mg%, uric 5,3mg/dl, ureum 29,1 mg/dl. Pemeriksaan urin
lengkap didapatkan hasil: Leukosit 5, pH 5,0, protein albumin tidak ada, warna kuning.
Sedimen: Leukosit 6-8, eritrosit tidak ada, sel epitel gepeng 2, bulat 4-5, tubulus cell tidak
ada. Pemeriksaan roentgen Genu dextra AP/Lateral pada tanggal 10 januari 2007
didapatkan osteofit pada tepi sendi dan terjadi penyempitan celah sendi dengan kesan: OA
genu Dextra.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, maka penderita
didiagnosis dengan OA genu dekstra/FC II. Terapi yang diberikan berupa non
farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis meliputi edukasi, terapi fisik dan
diet 1200 kalori per hari. Terapi farmakologis yaitu berupa paracetamol 3x500 mg, Na
diklofenak 2x50 mg.

Pembahasan
OA adalah penyakit degenerasi kartilago artikuler yang berlangsung secara perlahan-lahan
ditandai nyeri sendi, kekakuan dan keterbatasan gerakan yang berkembang secara
progresif.12 Tanda-tanda tersebut kami temukan pada penderita ini.
Berdasarkan etiologinya OA diklasifikasikan menjadi dua yaitu OA primer dan OA
sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui
dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal
pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, trauma
(akut atau kronik akibat pekerjaan atau olahraga), inflamasi, metabolik, pertumbuhan,
herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama, faktor mekanik,
penyakit deposit kalsium, penyakit tulang dan sendi lainnya, difus, neuropatik endemik. 1
Beberapa faktor resiko yang diketahui berhubungan dengan penyakit OA, diantaranya :
faktor resiko umum yang penting yaitu kegemukan, faktor genetik dan jenis kelamin
dengan wanita lebih sering, serta beberapa faktor resiko lain seperti usia lebih dari 40
tahun, suku bangsa, genetik, cedera sendi, pekerjaan, olahraga, kelainan pertumbuhan,
kepadatan tulang, dan lain-lain.1,4,6 Pada penderita ini, berdasarkan anamnesis riwayat
sosialnya, penderita melakukan aktivitas/pekerjaan yang menyebabkan penggunaan
berlebihan (overuse evercise) dari sendi lutut kanan penderita. Aktivitas/pekerjaan tersebut
telah dijalankannya sejak lebih kurang 2 tahun. Selain itu dari pemeriksaan fisik, penderita
ini juga mengalami kegemukan (obese I). Kondisi-kondisi merupakan faktor-faktor risiko
terjadinya OA. Jadi dapat disimpulkan pada penderita ini termasuk OA sekunder.

6
Penderita datang dengan keluhan utama nyeri sendi pada lutut kanan sejak 3 bulan
SMRS. Nyeri sendi merupakan keluhan yang umum terjadi pada penyakit reumatik, yaitu
artritis gout, OA, keganasan, reumatik septik dan lain sebagainya. Pada penderita ini nyeri
terlokalisir pada lutut kanan tanpa adanya nyeri pada sendi yang lain, nyeri bertambah saat
melakukan gerakan (seperti berjalan) dan berkurang apabila beristirahat. Tidak ada
demam. Tidak ada podagra. Nyeri tidak menetap sepanjang hari. Nyeri seperti ini biasanya
ditemukan pada OA.
Penderita juga mengeluh mengalami kaku sendi. Kaku sendi dirasakan penderita
pada pagi hari. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh desakan cairan yang berada di
sekitar jaringan yang mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia, atau bursa). Kaku sendi
makin nyata pada pagi hari atau setelah istirahat. Setelah digerak-gerakkan, cairan akan
menyebar dari jaringan yang mengalami inflamasi sehingga penderita merasa terlepas dari
ikatan dan bisa menggerakkan sendinya kembali. Lama kaku sendi pada OA adalah kurang
dari 30 menit sedangkan pada AR minimal satu jam. 1 Pada penderita ini, kaku sendi juga
dirasakan pada pagi hari selama kira-kira 20-30 menit dan menghilang dengan sendirinya
bila penderita menggerakkan kakinya dengan beraktivitas seperti biasa. Hal ini sesuai
untuk mendukung keluhan pada penderita OA.
Penderita juga mengeluh mengalami pembesaran lutut. Dirasakan oleh penderita
sejak 1 bulan yang lalu. Sendi yang membengkak/membesar bisa disebabkan oleh
penonjolan tulang, sinovitis, efusi dan karena adanya osteofit yang dapat mengubah
permukaan sendi. Pada penderita ditemukan osteofit pada pemeriksaan rontgen.
Pemeriksaan fisik lokalis pada ekstemitas didapatkan sendi lutut kanan: pada
inspeksi didapatkan asimetrisitas lutut terdapat pembesaran sendi pada lutut kanan dengan
menghilangnya cekungan sekitar patela berukuran diameter 10 cm dengan tidak ada
perubahan warna kulit. Palpasi pada lutut kanan didapatkan nyeri tekan derajat 3 dan pada
perabaan dirasakan hangat pada lutut kanan. Pemeriksaan gerak sendi didapat keterbatasan
gerak fleksi hanya dapat mengerakkan lutut sebesar 60° dan tidak dapat melakukan
gerakan ekstensi lutut kanan. Hambatan gerak terutama disebabkan oleh adanya osteofit
remodeling, penebalan kapsul, dan juga adanya efusi. Pada auskultasi sendi lutut kanan
penderita ditemukan adanya krepitasi, dimana terdengar suara gemeretak “kretek-kretek”
seperti suara krupuk yang diremukkan. Gejala ini mungkin timbul disebabkan karena
gesekan kedua permukaan tulang sendi yang iregular pada saat sendi digerakkan ataupun
secara pasif dimanipulasi.1, 14

7
Pemeriksaan radiologis pada penderita ini didapatkan adanya gambaran radiologis
berupa penyempitan sendi dan osteofit pada pinggir sendi. Menipisnya rawan sendi
diawali dengan retak dan terbelahnya permukaan sendi di beberapa tempat yang kemudian
menyatu dan disebut sebagai fibrilasi. Di lain pihak pada tulang akan terjadi pula
perubahan sebagai reaksi tubuh untuk memperbaiki kerusakan. Perubahan itu adalah
penebalan tulang subkondral dan pembentukan osteofit marginal, disusul kemudian
dengan perubahan komposisi molekular dan struktur tulang. Penipisan kartilago sendi
akibat proses degeneratif memberi gambaran penyempitan celah sendi yang tidak simetris
pada polos radiologi. Fungsi kartilago sendi berkurang bahkan menghilang mengakibatkan
beban stres di daerah subkhondral bertambah. Beberapa subkhondral tersebut dapat
diamati pada photo polos radiologi berupa pembentukan osteofit, subkhondral sklerotik,
maupun pembentukan kista subkhondral. Pada penderita ini ditemukan adanya
pembentukan osteofit.
Pada OA, dari anamnesa (gejala klinis), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
radiologi sudah dapat menunjang ditegakkannya diagnosis OA lutut. Hasil pemeriksaan
laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna. Darah tepi (Hb, leukosit, dan LED)
dalam batas normal, kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan arthritis
peradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor rheumatoid, dan komplemen) juga
normal. Pada OA yang disertai peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas,
pleositosis sedang hingga ringan, peningkatan ringan sel radang (<8000/m) dan
peningkatan protein.1 Pada penderita ini dilakukan pemeriksaan laboratorium darah
lengkap, kimia darah dan urin lengkap karena pemeriksaan tersebut merupakan
pemeriksaan rutin. Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada penderita ini tidak
ditemukan adanya kelainan.
Diagnosis OA sudah bisa ditegakkan secara klinis dengan memakai kriteria OA yang
dibuat oleh Subcommittee American College of Rheumatology (ACR).1 Kriteria OA lutut
secara klinis, laboratorium, dan radiologis adalah adanya nyeri lutut, osteofit, dan salah
satu dari usia lebih dari 50 tahun, kaku sendi kurang dari 30 menit atau adanya krepitus. 1, 3,
5
Pada penderita ini wanita berusia 49 tahun, ditemukan memiliki keluhan nyeri sendi lutut
kanan, terdapat kaku sendi selama 20-30 menit, terdapat krepitus, dan pada pemeriksaan
radiologi ditemukan adanya osteofit.
Pada penderita ini termasuk dalam OA fungsional kelas II, karena berdasarkan
anamnesa penderita masih bisa beraktivitas/bekerja sehari-harinya, dan dapat berjalan
untuk melaksanakan aktivitas tersebut tanpa bantuan alat; dan dari pemeriksaan fisik

8
ditemukan adanya gangguan pada sendi lutut kanan. Sehingga berdasarkan kriteria ACR
maka penderita ini didiagnosis menderita Fungsional kelas II/OA genu dekstra.
Pengelolaan penderita dengan OA bertujuan untuk untuk menghilangkan keluhan,
mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kualitas
hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar terapi: non
farmakologis (edukasi, terapi fisik, diet/penurunan berat badan), farmakologis (analgetik,
kortikosteroid lokal, sistemik, kondroprotektif dan biologik), dan pembedahan.1,3
Edukasi sangat penting bagi semua pasien OA. Dua hal yang menjadi tujuan
edukasi adalah bagaimana mengatasi nyeri dan disabilitas. Pemberian edukasi (KIE) pada
penderita ini sangat penting karena dengan edukasi diharapkan pengetahuan penderita
mengenai penyakit OA menjadi meningkat dan pengobatan menjadi lebih mudah serta
dapat diajak bersama-sama untuk mencegah kerusakan organ sendi lebih lanjut.3 Edukasi
yang kami berikan pada penderita ini yaitu memberikan pengertian bahwa OA adalah
penyakit yang kronik, sehingga perlu dipahami bahwa mungkin dalam derajat tertentu
akan tetap ada rasa nyeri, kaku dan keterbatasan gerak serta fungsi. Selain itu juga kami
memberi pemahaman bahwa hal tersebut perlu dipahami dan disadari sebagai bagian dari
realitas kehidupannya. Kami juga menyarankan agar rasa nyeri dapat berkurang, maka
pasien sedianya mengurangi aktivitas/pekerjaannya sehingga tidak terlalu banyak
menggunakan sendi lutut dan lebih banyak beristirahat.
Terapi fisik bertujuan untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai
dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit. 1 Pada penderita ini kami anjurkan
untuk berolah raga tapi olah raga yang memperberat sendi sebaiknya dihindari seperti lari
atau joging. Hal ini dikarenakan dapat menambah inflamasi, meningkatkan tekanan
intraartikular bila ada efusi sendi dan bahkan bisa dapat menyebabkan robekan kapsul
sendi.15 Untuk mencegah risiko terjadinya kecacatan pada sendi, sebaiknya dilakukan olah
raga peregangan otot seperti m. Quadrisep femoris dengan peregangan dapat membantu
dalam peningkatan fungsi sendi secara keseluruhan dan mengurangi nyeri. Pada pasien ini
kami sarankan untuk senam aerobic low impact/intensitas rendah tanpa membebani tubuh
selama 30 menit sehari tiga kali seminggu.
Diet bertujuan untuk menurunkan berat badan pada pasien OA yang gemuk. Hal
ini sebaiknya menjadi program utama pengobatan OA. Penurunan berat badan seringkali
dapat mengurangi keluhan dan peradangan.1 Selain itu obesitas juga dapat meningkatkan
risiko progresifitas dari OA.13 Pada pasien ini kami menyarankan untuk mengurangi berat
badan dengan mengatur diet rendah kalori sampai mungkin mendekati berat badan ideal.

9
Dimana prinsipnya adalah mengurangi kalori yang masuk dibawah energi yang
dibutuhkan. Penurunan energi intake yang aman dianjurkan pemberian defisit energi
antara 500-1000 kalori perhari, sehingga diharapkan akan terjadi pembakaran lemak tubuh
dan penurunan berat badan 0,5 – 1 kg per minggu. Biasanya intake energi diberikan 1200-
1300 kal per hari, dan paling rendah 800 kal per hari. Formula yang dapat digunakan
untuk kebutuhan energi berdasarkan berat badan adalah 22kal/kgBB aktual/hari, dengan
cara ini didapatkan defisit energi 1000 kal/hari. 17 Pada pasien ini kami anjurkan untuk diet
1200 kal perhari agar mencapai BB idealnya yakni setidaknya mencapai 55 kg. Contoh
komposisi makanan yang kami anjurkan adalah dalam sehari pasien bisa memasak 1 gelas
beras (550 kal), 4 potong tempe sedang (150 kal), 1 buah telur (100 kal), 2 potong ayam
sedang (300 kal) dan 1 ikat sayuran kangkung (75 kal).
Terapi farmakologis pada penderita OA biasanya bersifat simptomatis. Untuk
membantu mengurangi keluhan nyeri pada penderita OA, biasanya digunakan analgetika
atau Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS).1 Untuk nyeri yang ringan maka
asetaminophen tidak lebih dari 4 gram per hari merupakan pilihan pertama. Untuk nyeri
sedang sampai berat, atau ada inflamasi, maka OAINS yang selektif cox-2 merupakan
pilihan pertama, kecuali jika pasien mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya hipertensi
dan penyakit ginjal. OAINS yang cox-2 non-selektif juga bisa diberikan asalkan ada
perhatian khusus untuk terjadinya komplikasi gastrointestinal dan jika ada risiko ini maka
harus dikombinasi dengan inhibitor pompa proton atau misoprostol. Injeksi kortikosteroid
intraartikuler bisa diberikan terutama pada pasien yang tidak ada perbaikan setelah
pemberian asetaminophen dan OAINS. Tramadol bisa diberikan tersendiri atau dengan
kombinasi dengan analgetika lain jika nyerinya belum berkurang. Opioid bisa diberikan
jika analgetika yang lain kurang memberikan manfaat.3
Asetaminophen merupakan analgetika non opioid lini pertama yang semestinya
diberikan pada penderita dengan keluhan nyeri yang tidak begitu berat sebelum pemberian
analgetik yang lebih kuat.15 Asetaminophen adalah metabolit fenacetin yang bertangung
jawab atas efek analgetiknya. Obat ini adalah penghambat prostaglandin yang lemah pada
jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti inflamasi yang bermakna. Obat ini diberikan
per oral dengan dosis untuk nyeri akut yaitu 325-500 mg 4 kali sehari. Obat ini berguna
untuk nyeri ringan sampai sedang, namun tidak adekuat untuk terapi keadaan peradangan.
Pada dosis terapi kadang-kadang timbul peningkatan ringan enzim hati tanpa ikterus.
Keadaan ini reversibel bila obat dihentikan. Gejala dini kerusakan hati meliputi mual,
muntah, diare dan nyeri abdomen.16

10
OAINS mempunyai aktifitas anti inflamasi, analgesik dan antipiretik, namun obat-
obat golongan ini tidak bisa menghentikan perjalanan alamiah suatu penyakit reumatik.
Mekanisme kerja OAINS adalah menghambat kerja enzim cyclooksigenase (COX)
sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin (PG) dihambat. COX-1
bermanfaat mempertahankan integritas mukosa gaster dan duodenum, renal blood flow,
dan aktifitas koagulasi. Jika aktifitas COX-1 ini dihambat oleh OAINS maka muncul
risiko efek samping OAINS tersebut yaitu perdarahan gaster dan duodenum, renal
insufisiensi dan perdarahan pada tempat lain. Ekspresi COX-2 meningkat seiring dengan
beratnya proses inflamasi. Jika aktifias COX-2 dihambat dengan OAINS, maka proses
inflamasi akan berkurang. Natrium diklofenak merupakan obat golongan OAINS COX-2
non-selektif yang diberikan secara oral dengan dosis 50 mg 2-3 kali sehari. 15 Obat ini
cepat diabsorbsi dan mempunyai waktu paruh yang pendek. Obat ini dianjurkan untuk
kondisi peradangan kronis seperti artritis remathoid dan OA, serta untuk pengobatan nyeri
otot rangka akut. Efek samping terjadi pada kira-kira 20% penderita dan meliputi distress
dan perdarahan saluran cerna, dan tukak lambung.16 Bila muncul efek samping
gasterointestinal, pengobatan Na diclofenac diganti dengan golongan COX-2 inhibitor
selektif seperti colecoxib yang memberikan efek terhadap gastrointestinal lebih rendah
dari pada Na diclofenak.
Untuk mengurangi keluhan nyeri pada penderita ini, telah diberikan pengobatan
Paracetamol dengan dosis 3x500 mg. Hal ini sesuai dengan pedoman penatalaksanaan
nyeri lini pertama pada penderita OA seperti yang telah kami uraikan di atas. Pemberian
Na-diklofenak dengan dosis 2x50 mg juga telah diberikan setelah dengan pemberian
Paracetamol nyeri yang diderita masih dirasakan. Hal ini juga telah sesuai dengan
pedoman seperti yang telah diuraikan di atas, dimana Na-diklofenak merupakan obat
golongan OAINS COX-2 inhibitor yang non-selektif dan pada penderita juga tidak
terdapat riwayat pernah menderita gangguan gastrointestinal. Pasien kami anjurkan untuk
kontrol kembali untuk mengetahui apakah penyakitnya sudah membaik atau ternyata ada
efek samping pada gastrointestinal yang muncul akibat Na diclofenak.

Ringkasan
Telah dilaporkan kasus dengan OA genu dekstra pada penderita perempuan 49
tahun. OA merupakan kelainan degeneratif sendi yang paling banyak didapatkan di
masyarakat. Kelainan degeneratif secara primer terjadi pada tulang rawan dan secara
sekunder akan menyebabkan keradangan sekitarnya terutama jaringan sinovium. Penyebab

11
OA diperkirakan multifaktorial. Patogenesis OA secara umum adalah adanya
ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis dari tulang rawan sehingga menyebabkan
kerusakan tulang rawan dan diikuti dengan perubahan pada tulang subkhondral dan
pembentukan osteofit. Perubahan ini secara umum disebabkan berbagai faktor penyebab
seperti genetik, host, dan lingkungan.
Diagnosis klinis OA dapat dibuat hanya berdasarkan kelainan klinis saja atau
dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis dengan memakai ACR.
Kriteria OA lutut secara klinis, laboratorium, dan radiologis adalah adanya 1) Nyeri lutut
dan 2) Osteofit dan 3) salah satu dari usia lebih dari 40 tahun, kaku sendi kurang dari 30
menit dan adanya krepitus. Pada penderita ini didapatkan nyeri sendi lutut kanan, bengkak
pada lutut kanan, kaku sendi selama 20-30 menit,dan terdengar adanya krepitasi. Pada
pemeriksaan radiologi ditemukan adanya penyempitan celah sendi dan gambaran osteofit
di tepi sendi.
Penanganan rasional OA adalah memakai pendekatan secara menyeluruh sesuai
dengan penyebab, beratnya penyakit, dan keadaan umum penderita dan dilihat dari
berbagai aspek. Penatalaksanaan OA bertujuan untuk menghilangkan keluhan,
mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kualitas
hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar terapi
meliputi: Non farmakologis (edukasi, terapi fisik, diet, penurunan berat badan), terapi
farmakologis (analgetik, kortikosteroid lokal, sistemik, kondroprotektif dan biologik), dan
terapi pembedahan. Beberapa modalitas pengelolaan dapat diterapkan pada penderita OA
lutut yaitu penanganan tanpa obat (terapi non-farmakologis), penanganan dengan
medikamentosa (terapi farmakologis), dan pembedahan. Pada penderita ini telah diberikan
terapi edukasi mengenai OA, modifikasi aktivitas dan penurunan berat badan. dan
penanganan dengan obat-obatan seperti parasetamol dan Na Diclofenak.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Soeroso Joewono, dkk. Osteoarthritis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .
Jakarta: PAPDI; 2006; I: 1205-1211.
2. Hough, A. J. Pathology of Osteoarthritis. In Artrhritis and Allied Conditions, Textbook
of Rheumatology.13thed. Vol II, Editor WJ Koopman. Baltimore : Williams & Wilkins ;
1997.p. 1945-68.
3. Panduan Diagnosis dan Pengelolaan OA. Ikatan Reumatologi Indonesia. September,
2004, Jakarta.
4. Mansjoer, A. Dkk. Reumatologi. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1, Edisi ke-
3. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2001.
5. Raka Putra, Tjokorda. OA Lutut. In : PKB IX Ilmu Penyakit Dalam. Denpasar :
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah. 2003.
6. Brandt, K. D. Osteoarthritis. In Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 thed. Vol
II. Editor Kasper, DL, et al. McGraw-Hill; 2005. p.2031-45.
7. Raka Putra, Tjokorda. Osteoartritis. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit
Dalam. LAB/SMF Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. RSUP
Sanglah. Denpasar. 1994
8. Pelletier JP, Martel-Pelletier J, Howell DS. Etiopathogenesis of Osteoarthritis. In
Artrhritis and Allied Conditions, Textbook of Rheumatology.13 thed. Vol II, Editor WJ
Koopman. Baltimore : Williams & Wilkins ; 1997.p. 1969-84.
9. Raka Putra T. Some Aspect of Osteoarthritis at Unit of Rheumatology, Dept.of Internal
Medicine Dr. Soetomo Hospital Surabaya. Proceedings of the First ASEAN Congr.of
Rheumatology;1987 January 18-22, Jakarta.
10. Moskovitz. The Pharmacologic Treatment of Osteoarthritis, In Osteoarthritis, 3 rd,
Eds:, New York, W.B. Sauders, 2004.
11. Branch KD, Slemenda CW. Osteoarthritis, Epidemiology, Pathology and Pathogenesis.
In Primer on Rheumatic Disease. 10th ed. Atlanta Georgia ; Arthritis Foundation;
1993.p.184-8.
12. Brandt, K. D. Management of Osteoarthritis. In Textbook of Rheumatology. 5 th ed.
W.B. Sauders Company. 1981.
13. Ratiner, B., Gramas, D. A., Lane, N. E. Osteoarthritis. In Treatment of The Rheumatic
Diseases: companion to Kelley’s Textbook of Rheumatology. 2nd ed. W.B. Sauders
Company. 2001.

13
14. Katz, W. A. Osteoarthritis: Clinical Presentations. In: Osteoarthritis: Diagnosis and
Medical/Surgical Management. 3rd ed. W.B. Sauders Company. 2001.
15. Panduan Pengelolaan Nyeri dan Inflamasi pada Berbagai Penyakit Reumatik. Ikatan
Reumatologi Indonesia. September, 2004, Jakarta.
16. Katzung, G.B., Obat Anti Inflamasi Non Steroid. Dalam: Farmakologi Dasar dan
Klinik. Edisi 6. Penerbit EGC. Jakarta. 1997.
17. Weta, W. Ilmu Gizi Klinik. Laboratorium Ilmu Gizi FK Unud. Denpasar. 2000.

14

Anda mungkin juga menyukai