LP CKD Dan ALO
LP CKD Dan ALO
Oleh:
RANGGA ANDRI EKANANTA
NIM. 125070207111001
A. DEFINISI CKD
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner
& Suddarth, 2001).
Gagal ginjal kronis (bahasa Inggris: chronic kidney disease, CKD) adalah
proses kerusakan pada ginjal dengan rentang waktu lebih dari 3 bulan. CKD dapat
menimbulkan simtoma berupa laju filtrasi glomerular di bawah 60 mL/men/1.73 m2,
atau di atas nilai tersebut namun disertai dengan kelainan sedimen urin. Adanya batu
ginjal juga dapat menjadi indikasi CKD.
B. ETIOLOGI CKD
Chronic Kidney Disease ( CKD ) terjadi setelah berbagai macam penyakit yang
merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus
dan bilateral.
1. Infeksi : Pielonefritis kronik.
8. Nefropati obstruktif
a. Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli, neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
b. Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali congenital
pada leher kandung kemih dan uretra.
Faktor predisposisi:
1) Diabetes
2) Usia lebih dari 60 tahun
3) Penyakit ginjal congenital
4) Riwayat keluarga penyakit ginjal
5) Autoimmune (lupus erythematosus
6) Obstruksi renal (BPH dan prostitis)
7) Ras
Faktor presipitasi:
1) Paparan toksin dan beberapa medikasi yang berlebih
2) Gaya hidup (hipertensi, atherosclerosis)
3) Pola makan (diet)
C. KLASIFIKASI CKD
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl)*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
a. Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 CKD biasanya belum merasakan gejala
yang mengindikasikan kerusakan pada ginjal.Hal ini disebabkan ginjal tetap
berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi 100% sehingga banyak
penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1.Kalaupun hal
tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit
lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
b. Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, seseorang yang berada pada stadium 2 juga
tidak merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik, walaupun
dengan GFR yang mulai menurun.
c. Stadium 3
Seseorang yang menderita CKD stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat
yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi
sisa–sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada
stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia
atau keluhan pada tulang.
d. Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30% saja dan apabila seseorang
berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani
terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi
penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini.
Selain itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi
(hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit
kardiovaskular lainnya.
e. Stadium 5
Pada stadium ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal.Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
D. PATOFISIOLOGI CKD
Kerusakan nefron
Produksi EPO ↓
Perpospatemia pruritus kelebihan
Gangguan volume cairan
Integritas Produksi
urokrom perubahan Kulit eritrosit ↓
tertimbun di beban jantung
warna kulit naik
kulit
Anemia
intoleransi aktivitas
E. MANIFESTASI KLINIS CKD
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
1. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi
2. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak
nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin
tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin – angiotensin – aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi
pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan,
kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein
dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut,
nafas bau ammonia.
Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet
syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati (
kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.
Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan
aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi
gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
G. KOMPLIKASI CKD
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006)
antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2.Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3.Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4.Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5.Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang
rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat
peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6.Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7.Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8.Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9.Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
H. PENATALAKSANAAN CKD
a) Konservatif
Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil pemecahan
protein yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada
klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis (produk susu, telur, daging)
di mana makanan tersebut dapat mensuplai asam amino untuk perbaikan dan
pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-600 ml/24 jam. Kalori untuk
mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan lemak.Pemberian vitamin juga penting
karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut air melalui darah sewaktu
dialisa.
b) Simptomatik
1. Hipertensi
Ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume intravaskuler. Gagal
jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan cairan, diit rendah natrium,
diuretik, digitalis atau dobutamine dan dialisis. Asidosis metabolik pada pasien CKD
biasanya tanpa gejala dan tidak perlu penanganan, namun suplemen natrium
bikarbonat pada dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis.
2. Anemia
Penatalaksanaan anemia dengan rekombinan erythropoiesis-stimulating agents
(ESAs) dapat memperbaiki kondisi pasien CKD dengan anemia secara signifikan.ESAs
harus diberikan untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi hemoglobin 11.0
sampai 12.0 gr/dL. Pasien juga harus menerima suplemen zat besi selama menerima
terapi ESA karena erythropoiesis yang diinduksi secara farmakologis dibatasi oleh
supply zat besi, ditunjukkan dengan kebutuhan ESA yang lebih sedikit setelah pasien
menerima suplemen zat besi. Selain itu, karena tubuh membentuk banyak sel darah
merah, tubuh juga memerlukan banyak zat besi sehingga dapat terjadi defisiensi zat
besi.Serum ferritin dan persen transferrin saturation mengalami penurunan setelah 1
minggu terapi ESA pada pasien dengan CKD yang menerima dialysis.Karena pasien
CKD mengalami gangguan metabolism zat besi, serum ferritin dan persen transferrin
saturation harus dipertahankan lebih tinggi daripada individu normal.Maintenance
serum ferritin yang disarankan yaitu ≥200 ng/mL, dan persen transferrin saturation
≥20%.Sebagian besar pasien CKD membutuhkan suplementasi zat besi parenteral
untuk mencapai kadar zat besi yang disarankan.
c) Terapi Pengganti
1. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal karena
menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik dan menimbulkan
perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal merupakan prosedur
menempatkan ginjal yang sehat berasal dari orang lain kedalam tubuh pasien gagal
ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih fungsi kedua ginjal yang telah mengalami
kegagalan dalam menjalankan fungsinya.Seorang ahli bedah menempatkan ginjal
yang baru (donor) pada sisi abdomen bawah dan menghubungkan arteri dan vena
renalis dengan ginjal yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru yang akan
membuat urin seperti ginjal saat masih sehat atau berfungsi. Ginjal yang
dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja
meninggal (donor kadaver).
2. Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara
pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju
kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik
utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu
sama, difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons
terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
a. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput
rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh
untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis.CAPD merupakan
suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan
kondisi pasien terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti pasien diabetes
dan kardiovaskular).
b. Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia adalah
dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal
buatan.
Hemodialisis
Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, dan “dialisis ” artinya pemisahan
zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat sampah,
melalui proses penyaringan di luar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan
berupa mesin dialisis. Hemodialisis dikenal secara awam dengan istilah ‘cuci darah.
Hemodialisis (HD) adalah cara pengobatan / prosedur tindakan untuk memisahkan
darah dari zat-zat sisa / racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui
membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke cairan
dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh sesuai
dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memindahkan.
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.
Toksin dan zat limbah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari
darah yang memilki konsentrasi tinggi ke cairan yang konsentrasi rendah.
Air yang berlebihan akan di keluarkan dari tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat di kendalaikan dengan menciptakan gradien tekanan dengan
kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)
ke tekanan yang loebih rendah (cairan dialisat).gradien ini dapat di tingkatkan meleui
tekanan negatif yang di kenal dengan ultrafiltrasi. Tekanan negatif ini di terapkan
pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi
pengeluran air karena pasien tidak dapat mengekresikan ari kekuatan ini di perlukan
untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia(keseimbangan cairan).
Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada saat dilakukan
terapi adalah :
a. Hipotensi: dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan
b. Kram otot : nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meningglkan
ruang ekstrasel.
c. Mual atau muntah : merupakan peristiwa yang sering terjadi.
d. Sakit dada : dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh.
e. Gatal-gatal : dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
f. Demam dan menggigil
g. Kejang
5. Sistem Neurologi
Tanda dan gejala : Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, penurunan
konsentrasi, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, dan perubahan
perilaku, malaise serta penurunan kesadaran.
6. Sistem Muskuloskletal
Tanda dan gejala : Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop,
osteosklerosis, dan osteomalasia.
7. Sisem Urinaria
Tanda dan gejala : Oliguria, hiperkalemia, distropi renl, hematuria, proteinuria, anuria,
abdomen kembung, hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan asidosis metabolik.
8. Sistem Reproduktif
Tanda dan gejala : Amenore, atropi testikuler, penurunan libido, infertilitas.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1. Kelebihan volume cairan
2. Penurunan curah jantung
3. Intoleransi aktivitas
4. Risiko infeksi
5. Risiko perdarahan
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
7. Gangguan integritas kulit
1. Definisi
- Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang
terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang
tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler
(edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan
secara cepaat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif
dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Sally, 2009)
- Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke
ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara akut. Pada
keadaan normal cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler
endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke
pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi (Flick,
2000; Hollenberg, 2003).
Klasifikasi ALO:
a. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah
pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai
oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak
mampu memompa darah lagi seperti biasa.
Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh
infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun
dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan
ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu
keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan
infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka
darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan
menumpuk di paru-paru (flooding).
Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak
mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah
mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
(Harun dan Sally, 2009).
FAKTOR RISIKO
Penyebab paling umum dari edema paru adalah gagal jantung. Tapi tidak setiap kasus
adalah karena masalah jantung. Beberapa faktor risiko edema paru meliputi: (umm.edu)
Tekanan darah tinggi
Diabetes
Penyakit jantung koroner atau katup
Kegemukan
Cedera sistem saraf
Infeksi
3. Patofisiologi
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui
celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang
alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang alveolar hal ini
disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan
memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular,
yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma
dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi
cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang
dihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onkotik protein.
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan
tekanan hidrostatik yang cepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi
cairan transvascular. (Gambar 1B). Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal
biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan
tekanan ventrikel kiri (18 – 25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan
ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih ti nggi
(>25) maka cairan edema akan menembus epitel paru,membanjiri alveolus. Kejadian
tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai
berikut :
- Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan
oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
- Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal
sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel
kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi
ventrikel kiri.
- Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi
jantung
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostati k maka
sebaliknya, edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke
dalam intersisial paru dan alveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar
protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeable untuk dilewati oleh
protein plasma. Akumulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara kecepatan
filtrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cairan tersebut dikeluarkan dari alveoli dan
intersisial.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium (Simadibrata,
2000):
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi
pada saat inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis
kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih
memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh
gravitasi. Mungkin pula terjadi reflex bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan interstisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapsia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada
leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati
Cara membedakan ALO kardiogenik dan ALO non kardiogenik
ALO kardiogenik ALO non kardiogenik
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
S3 gallop/kardiomegali (+) meter)
Nadi kuat
(-)
JVP Meningkat Tak meningkat
Ronki Basah Kering
Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
Keterangan:
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
(Harun dan Nasution,2006)
5. Pemeriksaan Diagnostik
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa
kemiripan.
- Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya
riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronis.
Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler
paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi
pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam
(Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
- Pemeriksaan Fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau tekanan
darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit
membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa
supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan
pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy
sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah
setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung
dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral
dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema
paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin, fungsi
ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB,
troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP dapat
digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi
gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan denganpulmonary artery
occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular ejection
fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml
akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan
sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk
melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure
(Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin
untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi
gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro
BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari
penyakit lainnya (AHA, 2009).
- Pemeriksaan Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel
vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley
A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi 2.5
(Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada
foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel
vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos
dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm
sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax terlentang dikatakan
abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika
dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya
overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
- Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang dari
perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik
perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah
horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan
adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang
pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir
sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009).
- Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dan
edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain
bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat
30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas
rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film
(Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Tabel 1. Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik
(dikutip dari Lorraineet al, 2005)
Gambar 7. Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non
Kardiogenik(dikutip dari Lorraine et al, 2005)
6. Penatalaksanaan
7. Asuhan Keperawatan
PENGKAJIAN
Identitas :
Umur: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa
muda
Riwayat Masuk: Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas,
cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang
sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi
yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
Riwayat Penyakit Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik
seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital
bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
Pemeriksaan fisik
- Sistem Integumen
Subyektif :
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi
sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
- Sistem Pulmonal
Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar
stridor, ronchii pada lapang paru,
- Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
- Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
- Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
- Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
- Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
- Studi Laboratorik
Hb : menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar
karbon darah meningkat/normal
- Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas miokard
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat
bantu nafas
c. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
Intervensi Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial
(penurunan).
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam terdapat
perbaikan curah jantung
Indikator: “cardiopulmonary status”
Intervensi
Indikator Intervensi
Cardiac Care
5 1. Auskultasi suara jantung
3,5 2. Pastikan level aktivitas yang tidak mempengaruhi kerja jantung
yang berat
3 3. Tingkatkan secara bertahap aktivitas ketika kondisi klien stabil,
misal aktivitas ringan yang disertai masa istirahat
1 4. Monitor TTV secara teratur
5 5. Monitor kardiovaskuler status
3 6. Atur periode aktifitas dengan istirahat untuk menghindari
kelelahan.
2,4 7. Lakukan penilaian konprehensif sirkulasi perifer (edema, CRT,
warna, temperature dan nadi perifer)
3,5 8. Instrusikan pasien dan keluarga tentang pembatasan dan
progres aktifitas klien
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat
bantu nafas
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan pola
nafas klien efektif.
Indikator: “ Respiratory Status”
Intervensi
Indikator Intervensi
“ Respiratory Monitoring”
1,2,3 1. Monitor RR, irama, kedalaman dan usaha bernafas.
6 2. Catat pergerakan dada, lihat kesimetrisan, menggunakan otot
bantu pernafasan dan retraksi otot intercostae dan
supracalavicular.
4 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan seperti
wheezing
9 4. Catat serangan , karakteristik dan batuk.
7 5. Monitor dyspnea dan aktivitas yang meningkatkan terjadinya
dyspnea.
“ Airway Management”
8 6. Dorong mengeluarkan sputum/skret pada saat batuk.
7 7. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dyspnea dan
usaha pernafasannya dengan menaikkan tempat tidur dengan
posisi semi fowler.
“ Ventilation Assistence”
5 8. Ajarkan teknik bernapas dengan bibir yang benar yaitu
bernapas dengan bibir yang dirapatkan (pursed-lips
breathing).
9. Monitor adanya kelelahan penggunaan otot bantu napas
10. Jaga pemberian terapi oksigen sesuai dengan yang
diresepkan.
3. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan
ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat sesuai dengan indikator
Indikator: “Respiratory Status : Gas Exchange”
Intervensi
Indikator Intervensi
“ Respiratory Monitoring”
4,6 1. Monitor kecepatan, irama dan kedalaman usaha pernafasan
4, 6 2. Catat pergerakan dada, lihat kesimetrisan, menggunakan otot
bantu pernafasan dan retraksi otot intercostae dan
supracalavicular.
4, 6 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan seperti
wheezing
6,7 4. Catat serangan , karakteristik dan batuk.
4, 7 5. Monitorpola napas misal: bradypnea, takipnea, hiperventilasi
4 6. Auskultasi suara napas, catat penurunan atau ketiadaan
ventilasi &suara tambahan
4 7. Catat perubahan SaO2 dan perubahan nilai Blood Gas Arteri
7 8. Monitor peningkatan kelemahan dan ansietas
5 9. Monitor hasil pemeriksaan Rontgen dada
1,2,3,4,6,7,8 10. Instruksikan resusitasi yang akan diberikan
DAFTAR PUSTAKA
Bulecheck, Gloria M., Butcer, Howard K., Dochterman S. Mc Closkey. 2012. Nursing
Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Lowa Mosby Elsavier
Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online).
Tersedia:Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-ray-heart-
failure.html. (24 November 2012)
Jhonshon, Marion. 2012. Nursing Outcomes Classification (NOC). New Jersey: Upper
Saddler River
ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787–1847
doi:10.1093/eurheartj/ehs104
Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p. 1651-1653
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning
and documenting patients care. Alih bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000
Fauci et al. 2008.Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. United States of
America: McGraw-Hill Companies, Inc.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson.2006. Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit.Jakarta : EGC
Nurko, Saul. 2006. Anemia in chronic kidney disease:Causes, diagnosis, treatment. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 73(3): 289-97
Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM, Setiati S,
editors: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5nd ed. Jakarta: Interna Publishing;
2009.p.1035-40