Anda di halaman 1dari 4

DINAMIKA IDEOLOGI

Chapter 1
Istilah Ideologi pertama dipakai oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke – 18. Berasal dari
Bahasa latin yang terdiri dari dua kata, yaitu ideos yang artinya pemikiran dan logis yang
artinya logika atau ilmu pengetahuan. Jadi dapat diartikan Ideologo adalah sebuah pemikiran
mengenai cita-cita. Ideologi sendiri terdapat di berbagai subyek atau suatu kelompok
masyarakat, karena dalam berkehidupan sehari-hari masyarakat tanpa sadar dalam melakukan
tindakannya dilandasai oleh sebuah ideologi. Negara pun juga memiliki ideologi bahkan di
dalam negara seperti organisasi memiliki sebuah ideologi yang menjadi landasannya, hal ini
dapat disebut sebagai subideologi atau bagian dari ideologi.
Ideologi erat kaitannya dengan ilmu sosial. Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa ideologi
sebagai pusat kajian dalam ilmu sosial, yang menerangkan tentang nilai, moralitas maupun
prinsip suatu masyarakat dalam bertindak. Ideologi merasionalisasikan apa yang ada di muka
bumi sebagai landasan bertindak. Namun masyarakat dalam melakukan sebuah tindakannya
tentunya dipengaruhi oleh ideologi yang dominan dalam masyarakat, ideologi yang dominan
di masyarakat ini akan dianut sebagai landasan dalam bertindak. Seorang yang mempunyai
ideologi namun tidak dominan cenderung mengurungkan ideologi dalam bertindak, sehingga
banyak orang yang hidup dalam masyarakat melakukan sebuah tindakan dilandaskan dengan
dogma kebanyakan orang. Karena tujuan utama dari sebuah ideologi adalah menawarkan
adanya perubahan dalam berfikir. Sehingga jika seorang yang tidak menganut ideologi yang
ada dimasyarakat akan dikucilkan.
Mahasiswa dalam menjalani kehidupan bermasyarakatnya di kampus secara tidak sadar akan
mengikuti dogma-dogma yang berlaku di lingkungannya. Sehingga segelintir mahasiswa yang
mempunyai ideologi yang berbeda dengan dogma yang ada di lingkungannya cenderung
mempunyai sifat yang introvert. Namun lain halnya jika mahasiswa yang mempunyai ideologi
yang sama dengan dogma-dogma yang ada di lingkungannya lebih bersifat extrovert. Yang
menjadi kunci seorang Mahasiswa tidak dapat mengeluarkan ideologi terhadap dogma yang
ada di masyarakat adalah dengan tidak dapat dimanifestasikan dari ideologi tersebut. Jika
ideologi yang dimanifestasikannya dapat dibuktikan walaupun secara abstrak sehingga
menjadi dogma yang baru di kehidupan masyarakat, maka dapatlah Mahasiswa yang introvert
ini akan berubah menjadi pribadi yang extrovert. Dengan timbulnya sebuah harapan bagi
seorang mahasiswa yang tadinya introvert, ini akan menjadi stimulus bagi mereka untuk berani
mengeluarkan pendapatnya. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus tegas dalam
menyampaikan pendapatnya yang tentunya harus melihat sisi ekeftivitas, efisiensi dan
akuntabiltas. Apa yang disampaikan harus tepat dengan sasaran dengan usaha yang seminim
mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika terpenuhinya hal tersebut maka ideologi yang
dimanifestasikan dapat diterima oleh masyarakat.
Secara istilah ideologi dalam masyarakat mungkin terlalu awam bagi masyarakat, sehingga
istilah ideologi pun sering dikenal dikalangan akademis. Untuk mempermudah pemahaman
ideologi dapat dikatakan sebagai “Konsep Berpikir”. Konsep berpikir merupakan kumpulan-
kumpulan prinsip seseorang yang menjadi landasan berpikir yang kemudian dimanifestasikan
dalam sebuah tindakan. Jika seseorang/beberapa orang menemukan orang lain yang sesuai
dengan konsep berpikirnya maka hubungan sosial diantaranya semakin erat dan cenderung
akan membentuk sebuah kelompok sosialnya sendiri walaupun tujuan dari masing-masing
individu berbeda-beda, namun sebaliknya jika seseorang yang berbeda konsep berpikir dengan
yang lainnya maka yang berbeda konsep berpikir dalam pendalaman hubungan sosialnya tidak
akan menemukan chemistry dan cenderung akan berbeda kelompok sosialnya.
Dalam sebuah organisasi tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang hendak
dicapai itu dilakukan bersama-sama dengan anggota organisasinya. Masing-masing anggota
organisasi tentunya memiliki konsep berpikir yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan
organisasi, dalam hal ini chemistry diantara anggota sulit ditemukan maka untuk menyatukan
chemistry dalam organisasi ini biasa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kekuatan
politik dominan dalam organisasi. Jika chemistry sudah didapat dalam kehidupan berkelompok
terutama organisasi, maka kemungkinan untuk timbul perselisihan menjadi berkurang.
Sehingga agar organisasi berjalan dengan kondusif, para anggota organisasi haruslah
mempunyai keselarasan dalam berideologi terlepas dari adanya nilai kebenaran, karena jika
dalam suatu organisasi para anggota memiliki konsep berpikir yang berbeda-beda tentunya
akan menghambat jalannya organisasi dikarenakan perbedaan konsep berpikir akan
menghasilkan tindakan yang berbeda-beda dalam menjalankan suatu organisasi.

Chapter 2
Seperti yang disebutkan dalam chapter sebelumnya bahwa manusia cenderung introvert dan
ekstrovert karena berbagai batasan yang membatasinya yaitu ideologi serta kausalitasnya. Hal
ini tidak dapat dipungkiri karena manusia sebagai insan tentunya memiliki paradigma yang
berbeda-beda, karena jika paradigma setiap manusia itu sama maka mungkin tidak ada polisi,
tidak ada pengadilan, tidak ada musyawarah, sebab tidak adanya masalah antar individu karena
paradigma yang selaras tersebut. Bahkan jika semua paradigma sama setiap individu kita
mungkin di dunia hidup bagaikan robot, karena sudah tersistem selaras dengan individu lain
sebab paradigma yang sama akan membawa keselarasan.
Manusia dalam bertindak selalu dilandasi oleh sebuah alasan baik tersirat maupun tersurat.
Alasan-alasan tersebut terhimpun kemudia menjadi sebuah ideologi bagi individu, namun
walaupun manusia tinggal di tempat yang sama yaitu bumi, bahkan satu wilayah, satu daerah
bahkan di dalam satu kelompok yang samapun masih terjadi konflik. Hal ini didasari oleh
interprestasi yang berbeda-beda bagi setiap individu. Setiap tindakan memberikan “rasa” yang
berbeda bagi individu. Misalnya saja ada yang berpikir “berbagi itu indah”, sedang ada yang
berpikir “buat apa berbagi? Sedangkan yang dibagipun tidak memberikan keuntungan bagi
yang membagi”. Adanya perbedaan rasa atau afektif masing-masing individu inilah menjadi
awal mulanya konflik. Sadar atau tidak manusia selalu mencari kebenaran terhadap tindakan
yang dilakukannya bahkan pikirannya pun menuntut demikian. Keadaan afektif yang berbeda-
beda tiap individu perlu diketahui agar dapat menghadapi dinamika dalam kehidupan.
Secara teori ada 3 teori kebenaran secara umum:
1. Teori Koherensi
Dalam teori ini suatu pernyataan kebeneraan dianggap benar apabila pernyataannya
koherensi atau sesuai dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Misalnya
ada orang yang mengatakan bahwa minum air kelapa itu tidak menyehatkan karena
dapat membuat sakit perut. Pernyataan tersebut kemudia disampaikan turun-temurun
sehingga orang-orang pun akan menganggap benar bahwa air kelapa kelapa tidak
menyehatkan untuk dikonsumsi. Baik sadar maupun tidak teori ini sering digunakan
oleh orang-orang yang baru memulai proses belajar yaitu pelajar, bahkan orang yang
bukan dikalangan akademispun juga sering menggunakannya. Sering kita jumpai guru,
dosen atau pengajar dalam sebutan apapun dalam memberikan ceramahnya
berpendapat mengenai apa yang diajarkannya. Padahal belum tentu apa yang
disampaikan tersebut benar.
Dalam sebuah organisasi pun dalam mencapai tujuannya akan ada yang namanya
regenerasi atau ada yang bilang kaderisasi. Tentunya orang-orang baru dalam
organisasi akan dipandu oleh senior-seniornya yang terlebih dahulu sudah masuk dalam
sebuah organisasi yang kemudian mengajarkan bagaimana caranya berorganisasi.
Senior-senior yang sudah tidak berada dalam organisasi akan menyerahkan
kekuasaannya kepada orang-orang baru yang sudah diajarkan ini. Orang-orang baru
yang memegang kekuasaan akan menjalankan organisasi dan dalam mengambil sebuah
keputusan tentunya menggunakan ilmu yang sudah didapatkannya selama hidup,
termasuk yang sudah diajarkan oleh senior-seniornya terdahulu. Namun sering kali tapi
tidak semua, orang-orang baru yang menjalankan organisasi dalam mengambil sebuah
keputusan cenderung mengikuti keputusan-keputusan yang terdahulu, cara-cara yang
terdahulu, sehingga hal ini membuat orang-orang khususnya mahasiswa yang
berorganisasi menjadi tidak kritis, karena selalu bergantungan dengan pendapat-
pendapat seniornya. Sekalipun seniornya tersebut tidak memaksakan kehendak agar
sebuah keputusan harus mengikuti yang terdahulu.
Secara gamblang teori ini menggapai sebuah kebenaran yang di aplikasikan dalam
sebuah tindakan mengikuti pernyataan-pernyataan yang sebelumnya dianggap benar.
“orang dulu bilang begini” maka “yaudah berarti kita harus begini”. Namun tidak
menutup kemungkinan bahwa pernyataan-pernyataan yang sebelumnya adalah salah.
2. Teori Korespondensi
Teori ini yang menjelaskan suatu pernyataan dianggap benar sesuai dengan
kenyataannya. Teori ini menggunakan pengalaman (empiris) dalam menggapai suatu
kebenaran. Suatu pernyataan dianggap benar jika sesuai dengan obyeknya. Misalnya
ibukota Indonesia adalah Jakarta, maka pernyataan itu adalah benar. Jika suatu
pernyataan bahwa ibukota Inggris adalah Jakarta, maka pernyataan itu salah, sebab
Jakarta merupakan bagian wilayah dari Indonesia. Teori koherensi juga menggunakan
pengalaman dalam mencapai sebuah kebenaran namun berbeda dengan teori
korespondensi. Jika dalam teori koherensi menyatakan sebuah kebenaran konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya maka teori korespondensi menyatakan
sebuah kebenaran sesuai dengan fakta yang ada bukan “apa kata orang lain”.
3. Teori Pragmatis
Teori ini menilai sebuah pernyataan benar jika dapat dipakai dalam kehidupan nyata,
yang dilihat dari segi praktisnya. Jika suatu pernyataan tidak berguna bagi kehidupan
nyata maka pernyataan itu dianggap tidak sesuai atau tidak benar. Pengguna teori ini
menganggap sebuah kebenaran itu relative yaitu dapat berubah sesuai dengan
kebutuhan sehingga dapat direvisi secara berkala untuk kebutuhan praktis. Kebenaran
dalam teori tidak ada yang mutlak, kebenaran hanya bertahan sementara sehingga jika
kebutuhan dalam suatu waktu tidak sesuai dengan kebeneran yang sekarang maka
diperlukan kebenaran yang lain.

Dari 3 teori di atas sadar atau tidak kita dalam kehidupan nyata sering menggunakannya, bukan
salah satu bahkan semuanya pernah kita gunakan untuk bertahan dalam kehidupan
bermasyarakat. Manusia hidup selalu mencari kebenaran begitupun juga kehidupan
berorganisasi selalu mencari kebenaran alias yang terbaik untuk dilakukan. Tidak
mengherankan jika sosial dan budaya tiap organisasi berbeda karena kebenaran tiap individu
berbeda-beda.
Sering kita hadapi dalam kehidupan manusia hidup berkelompok karena ideologi yang
berbeda-beda bahkan ideologipun sama masih juga dalam kelompok yang berbeda hal ini
disebabkan afektif yang berbeda juga. Dari teori di atas memiliki kelebihan dan kekurangan,
bukannya mengkategorikan harus menggunakan yang mana karna dari teori kebenaran di atas
semuanya saling melengkapi dalam setiap keadaan, tergantung cara pemakaiannya saja kapan
yang ini diperlukan kapan yang itu diperlukan. Jika setiap individu terus memaksakan
kehendak ideologinya maka kelompok yang tidak ada ideologinya cenderung introvert,
sebaliknya jika dalam kelompok sosial sesuai dengan ideologinya cenderung ekstrovert.

Oleh: Ray Sumarya

Anda mungkin juga menyukai