Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

G2P1A0 PARTURIEN SEROTINUS KALA 1 FASE AKTIF


DENGAN GAWAT JANIN DAN IMPENDING RUPTURE

DISUSUN OLEH :
NAWAR NAJLA MASTURA
110 2010 204

PEMBIMBING :
Dr. H. DADAN SUSANDI, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


YARSI
SMF OBSTETRI dan GINEKOLOGI
RSU dr.SLAMET GARUT

1
IDENTIFIKASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN SUAMI

Nama : Ny. S Tn. I


Umur : 30 tahun 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Pria
Alamat : Cisompet Cisompet
Pendidikan terakhir : SD SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Petani
Agama : Islam
Suku : Sunda
Ruang rawat : Jade
Tgl Masuk RS : 01-3-2015, 01.00 WIB
Tgl Keluar RS : 04-3-2015
No. CM : 74-84-XX
II. ANAMNESIS

Dikirim Oleh : Puskesmas


Keterangan : Serotinus
Keluhan utama : Mules-mules

Anamnesis khusus :

G2P1A0 merasa hamil 10 bulan mengeluh mules-mules yang semakin sering dan kuat
sejak 1 hari SMRS. Mules-mules dirasakan pasien dari bagian belakang ke depan. Keluhan
disertai keluar lendir bercampur sedikit darah dari jalan lahir. Keluar cairan banyak dari jalan
lahir dirasakan ibu sejak 3 jam SMRS. Cairan jernih, tidak berbau dan tidak disertai panas
badan. Gerak anak dirasakan ibu sejak 5 bulan yang lalu.

III. Riwayat obstetri

Kehamilan ke 1 : RS, bidan, aterm, VE, 2500 gram, laki-laki, 11 tahun, hidup

Kehamilan ke 2 : Hamil saat ini

 Riwayat perkawinan

Menikah kedua kali:


o Istri : 27 tahun, SD, IRT

o Suami : 26 tahun, SD, Petani

o Haid

2
o HPHT : 2 Mei 2014

o TP : 29 Februari 2015

o Siklus Haid : Teratur

o Lama haid : 7 hari

o Banyaknya Darah : Biasa

o Nyeri haid : Ya

o Menarche usia : 13 tahun

o Kontrasepsi terakhir : Suntik 3 bulan

o Akseptor KB sejak tahun: 2001 s/d 2007

o Alasan berhenti KB: ingin punya anak lagi

o PNC : Bidan, jumlah kunjungan 10 kali, terakhir PNC 1 bulan yang lalu

o Keluhan selama kehamilan : sakit pinggang

o Riwayat penyakit terdahulu : Riwayat penyakit jantung, penyakit

paru-paru, penyakit ginjal, penyakit liver, penyakit Diabetes Melitus,

penyakit tiroid, penyakit epilepsi, riwayat asma bronchial disangkal pasien

dan riwayat hipertensi sebelum kehamilan disangkal.

I. PEMERIKSAAN FISIK
Status Praesens :

Keadaan Umum

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 130/80mmHg

Nadi : 108x/menit

Respirasi : 24x/menit

Suhu : 36,0 °C

Kepala : Conjunctiva : anemis (-/-)

3
Sklera : ikterik (-/-)

Leher : Tiroid : t.a.k

KGB : t.a.k

Thoraks : Cor : BJ I:II , murni reguler,murmur (-) gallop (-)

Pulmo : VBS ki = ka . rh (-/-) wh (-/-)

Abdomen : Cembung Lembut, linea nigra (+) striae gravidarum (+)

Hepar : Sulit dinilai

Lien : Sulit dinilai

Edema : -/-

Varices : -/-

II. STATUS OBSTETRI


Pemeriksaan Luar
Fundus Uteri : 36 cm
Lingkar perut : 99 cm
Letak anak : Kepala, punggung kiri 5/5
BJA : 142 x/menit
His : 4x/10 menit, lama his 40 detik
TBBA : 3375 gram

Pemeriksaan Dalam

Vulva : t.a.k

Vagina : t.a.k

Portio : Tipis lunak

Pembukaan : 6-7 cm

Ketuban : (-)

Bagian terendah : Kepala, St -1

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pre Operasi 01/03/2015 01:57

4
Hematologi

Darah Rutin
Hemoglobin : 12.1 g/dL
Hematokrit : 38 %
Leukosit : 18.550 /mm3
Trombosit : 288.000 /mm3
Eritrosit : 3.77 juta/mm3

Post Operasi 02/03/2015 05:04

Darah Rutin
Hemoglobin : 11.0 g/dL
Hematokrit : 34 %
Leukosit : 28.150 /mm3
Trombosit : 219.000 /mm3
Eritrosit : 3.43 juta/mm3

IV. DIAGNOSIS
G2P1A0 parturien serotinus kala 1 fase aktif

V. RENCANA PENGELOLAAN
- Observasi his, DJJ, KU, tanda-tanda vital
- Cek lab darah rutin
- Infus RL 500 cc 20 gtt/menit
- Rencana partus pervaginam

VI. OBSERVASI
Jam 08.45
Pasien mengeluh nyeri perut mendadak. Pasien mengaku sebelumnya mengkonsumsi
rumput Fatimah yang diberikan oleh keluarganya. Gerakan janin dirasakan pasien dari
awal masuk RS sampai sekarang hanya 7x gerakan.
Didapatkan BJA irregular (80-120-100x/menit)
Pemeriksaan luar: Uterus teraba tipis, ring van Bandl (+)
PD: vulva/vagina: t.a.k
Portio: tipis, lunak
Pembukaan: 7-8 cm
Ketuban: (-) sisa cairan meconium
Kepala: station +1 ubun-ubun depan
Urin: hematuria

VII. DIAGNOSIS AKHIR


G2P1A0 parturien serotinus kala 1 fase aktif dengan Gawat Janin dan Impending Rupture

VIII. RENCANA PENGELOLAAN

5
- Rencana Sectio Caesarea cito a/i Gawat Janin dan Impending rupture
- Informed Consent
- Konsul bag. Anestesi
- Observasi ketat his, DJJ, KU, tanda-tanda vital

IV. LAPORAN OPERASI

o Nama : Ny. S

o Usia : 30 tahun

o No. CM : 7484xx

o Tanggal Operasi : 01-3-2015

o Jam Operasi Mulai : 09.20

o Jam Operasi Selesai : 10.00

o Lama Operasi : 40 Menit

o Operator : dr. Windy, SpOG

o Asisten 1 : Koas Rifa

o Instrument : Eka

o Ahli anestesi : dr. Dhadi Ginanjar, SpAn

o Asisten anestesi : Fitri

o Diagnosa Pra- Bedah : G2P1A0 parturien serotinus kala 1 fase aktif


dengan Gawat Janin dan Impending Rupture
o Diagnosa Pasca Bedah : P2A0 partus serotinus dengan SC atas indikasi
Gawat Janin dan Impending Rupture
o Indikasi Operasi : Gawat Janin dan Impending Rupture

o Jenis Operasi : SCTP

o Kategori Operasi : Operasi Besar

o Desinfeksi kulit dengan : Povidone Iodine

o Jaringan yang dieksisi : tidak dikirim ke PA

Laporan Operasi Lengkap

- Dilakukan a dan antiseptic di daerah abdomen dan sekitarnya

6
- Dilakukan insisi pfannenstiel sepanjang ± 10 cm

- Setelah perineum dibuka, tampak dinding depan uterus

- Plika vesikouterina diidentifikasi, disayat melintang

- Kandung kemih disisihkan kebawah, dan ditahan dengan retractor abdomen

- SBR disayat konkaf, bagian tengahnya ditembus oleh jari penolong dan

diperlebar ke kiri dan ke kanan

- Jam 09.25 lahir bayi laki-laki dengan meluksir kepala, BB: 3000 gram, PB:

47 cm, APGAR: 1’: 4 5’: 6

- Disuntikkan oksitosin 10 IU intramural, kontraksi baik

- Jam 09.28 lahir plasenta dengan tarikan ringan pada tali pusat

- SBR dijahit lapis demi lapis, lapisan pertama dan kedua dijahit secara jelujur

interlocking

- Perdarahan dirawat

- Rongga abdomen dibersihkan dari darah dan bekuan darah

- Fascia dijahit dengan safil no.1, kulit dijahit subkutikuler

- Perdarahan: ± 500 cc

- Diuresis: ± 100 cc

Intsruksi Pasca Bedah

- Observasi : KU, Tensi, Nadi, Respirasi, Suhu, Perdarahan

- Infus : RL: D5 2:1 20 gtt/menit

- Analgetik : Kaltropen sup 2x100mg

- Puasa : tidak puasa, terlentang s/d 24 jam post op

- Antibiotik : Cefotaxime 2x1 gram, Metronidazole 3x500mg

- Lain-lain : cek Hb post op, transfusi bila Hb < 8 g/dL

7
FOLLOW UP

Tanggal Subjektif Objektif Analisis Perencanaan

02-03- Nyeri di bekas KU : CM P2A0 partus D/


2015 operasi serotinus dengan
T : 100/60 mmHg SC a/i Gawat Janin T/
POD I dan Impending
N : 96 x/menit Rupture Cefotaxime 2x1 gr IV

R : 20 x/menit Metronidazole 3x500


mg IV
S : 36,5º C
Kaltropen Supp
Mata : Ca -/- SI -/-
2x100mg
ASI: -/-
Breast Care
Abd: datar, lembut
Terlentang s/d 24 jam
TFU: 1 jari diatas post op
pusat
Aff kateter
Lo: tertutup verband

Lochia: rubra

Bab/Bak : -/DC

Perdarahan: -

03-03- Pusing KU : CM
P2A0 partus D/
2015
Nyeri di bekas T : 100/70 mmHg serotinus dengan
T/
POD II operasi SC a/i Gawat Janin
N : 80 x/menit
dan Impending Aff infus
R : 20 x/menit Rupture
Cefadroxyl 2x500mg
S : 36,6º C po

Mata : Ca -/- SI -/- Metronidazole

8
ASI: -/- 3x500mg po

Abd: datar, lembut Asam mefenamat


3x500mg po
TFU: 1 jari diatas
pusat Breast Care

Lo: basah Ekstra GV

Lochia: rubra

Bab/Bak : -/+

Perdarahan: -

KU : CM D/
04-03- Pusing
2013 T : 100/70 mmHg T/
Nyeri di bekas P2A0 partus
POD III operasi N : 84 x/menit serotinus dengan Cefadroxyl 2x500mg
SC a/i Gawat Janin
R : 22 x/menit Metronidazole
dan Impending
3x500mg
S : 35º C Rupture
Asam mefenamat
Mata : Ca -/- SI -/-
3x500mg
ASI: -/-
Breast Care
Abd: datar, lembut
BLPL
TFU: sepusat

Lo: kering

Lochia: rubra

Bab/Bak : +/+

Perdarahan: -

9
PERMASALAHAN

1. Bagaimana mendiagnosis Gawat Janin dan Impending Rupture pada pasien ini?
2. Bagaimana manajemen pada pasien ini?
3. Bagaimana prognosis pasien ini?

PEMBAHASAN

1. Bagaimana mendiagnosis Gawat Janin dan Impending Rupture pada pasien ini?

GAWAT JANIN

Definisi

Gawat janin adalah suatu keadaan dimana terdapat hipoksia pada janin ( kadar
oksigen yang rendah dalam darah). Keadaan tersebut dapat terjadi baik pada antepartum
maupun intrapartum.

Patofisiologi

Ada beberapa patofisiologi yang mendasari gawat janin:

1. Dahulu janin dianggap mempunyai tegangan oksigen yang lebih rendah karena janin
dianggap hidup di lingkungan hipoksia dan asidosis yang kronik, tetapi sebenarnya
janin hidup dalam lingkungan yang sesuai dan konsumsi oksigen per gram berat
badan sama dengan orang dewasa, kecuali bila janin mengalami stress.
2. Afinitas terhadap oksigen, kadar hemoglobin, dan kapasitas angkut oksigen pada janin
lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa. Demikian juga halnya dengan curah
jantung dan kecepatan arus darah lebih besar daripada orang dewasa. Dengan
demikian penyaluran oksigen melalui plasenta kepada janin dan jaringan perifer dapat
terselenggara dengan relatif baik. Sebagai hasil metabolisme oksigen akan terbentuk
asam piruvat, sementara CO2 dan air diekskresi melalui plasenta. Bila plasenta
mengalami penurunan fungsi akibat dari perfusi ruang intervilli yang berkurang, maka
penyaluran oksigen dan ekskresi CO2 akan terganggu yang berakibat penurunan pH
atau timbulnya asidosis. Hipoksia yang berlangsung lama menyebabkan janin harus
mengolah glukosa menjadi energi melalui reaksi anaerobik yang tidak efisien, bahkan

10
menimbulkan asam organik yang menambah asidosis metabolik. Pada umumnya
asidosis janin disebabkan oleh gangguan arus darah uterus atau arus darah tali pusat.
3. Bradikardi janin tidak harus berarti merupakan indikasi kerusakan jaringan akibat
hipoksia, karena janin mempunyai kemampuan redistribusi darah bila terjadi hipoksia,
sehingga jaringan vital ( otak dan jantung) akan menerima penyaluran darah yang
lebih banyak dibandingkan jaringan perifer. Bradikardia mungkin merupakan
mekanisme perlindungan agar jantung bekerja lebih efisien sebagai akibat hipoksia.
Etiologi

Gawat janin dapat disebabkan oleh bermacam-macam hal. Beberapa penyebab yang
umum dan sering terjadi:

- Kontraksi
Pengencangan otot uterus secara involunter untuk melahirkan bayi. Kontraksi secara
langsung mengurangi aliran darah ke plasenta dan dapat mengkompresi tali pusat
sehingga penyaluran nutrisi terganggu. Hal ini dapat terjadi pada keadaan:

o persalinan yang lama ( kala II lama)


o penggunaan oksitosin
o uterus yang hipertonik ( otot-otot menjadi terlalu tegang dan tidak dapat
berkontraksi ritmis dengan benar)
- Infeksi
- Perdarahan
- Abrupsi plasenta
Plasenta terlalu dini memisahkan diri dari fetus

- Tali pusat prolaps


- Hipotensi
Bila tekanan darah ibu menurun selama persalinan, jumlah aliran darah ke fetus akan
berkurang. Hipotensi dapat disebabkan oleh:

o anestesi epidural
o posisi supine
Hal tersebut terjadi karena adanya pengurangan jumlah aliran darah dari vena cava ke
jantung

- Masalah pernafasan janin

11
- Posisi dan presentasi abnormal dari fetus
- Kelahiran multipel
- Kehamilan prematur atau postmatur
- Distosia bahu
Penyebab yang paling utama dari gawat janin dalam masa antepartum adalah insufisiensi
uteroplasental. Faktor yang menyebabkan gawat janin dalam persalinan/ intrapartum adalah
kompleks, contohnya seperti: penyakit vaskular uteroplasental, perfusi uterus yang
berkurang, sepsis pada janin, pengurangan cadangan janin, dan kompresi tali pusat.
Pengurangan jumlah cairan ketuban, hipovolemia ibu dan pertumbuhan janin terhambat
diketahui mempunyai peranan.

Faktor Resiko

Ada beberapa faktor resiko yang diduga berhubungan dengan kejadian gawat janin:

- Wanita hamil usia > 35 tahun


- Wanita dengan riwayat:
o Bayi lahir mati
o Pertumbuhan janin terhambat
o Oligohidramnion atau polihidramnion
o Kehamilan ganda/ gemelli
o Sensitasi rhesus
o Hipertensi
o Diabetes dan penyakit-penyakit kronis lainnya
o Berkurangnya gerakan janin
o Kehamilan serotinus

Tanda dan Gejala

Gejala yang dirasakan oleh ibu adalah berkurangnya gerakan janin. Ibu dapat
melakukan deteksi dini dari gawat janin ini, dengan cara menghitung jumlah tendangan janin/
’kick count’. Janin harus bergerak minimal 10 gerakan dari saat makan pagi sampai dengan
makan siang. Bila jumlah minimal sebanyak 10 gerakan janin sudah tercapai, ibu tidak harus
menghitung lagi sampai hari berikutnya. Hal ini dapat dilakukan oleh semua ibu hamil, tapi
penghitungan gerakan ini terutama diminta untuk dilakukan oleh ibu yang beresiko terhadap

12
gawat janin atau ibu yang mengeluh terdapat pengurangan gerakan janin. Bila ternyata tidak
tercapai jumlah minimal sebanyak 10 gerakan maka ibu akan diminta untuk segera datang ke
RS atau pusat kesehatan terdekat untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Tanda-tanda gawat janin:

 Mekonium kental berwarna hijau terdapat di cairan ketuban pada letak kepala
 Takikardi/ bradikardi/ iregularitas dari denyut jantung janin
Untuk mengetahui adanya tanda-tanda seperti di atas dilakukan pemantauan
menggunakan kardiotokografi

 Asidosis janin
Diperiksa dengan cara mengambil sampel darah janin.

RUPTURA UTERI (ROBEKAN RAHIM)

Definisi

Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan


atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum visceral. Yang dimaksud
dengan ruptur uteri komplit adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi
hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum viserale dan
kantong ketuban keduanya ikut ruptur dengan demikian sebagian janin atau seluruh tubuhnya
telah keluar oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum peritonei atau rongga
abdomen. Pada ruptur uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih dibatasi oleh
peritoneum viserale. Pada keadaan yang demikian janin belum masuk ke dalam rongga
peritoneum. Apabila pada ruptur uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut robek, hal
tersebut dinamakan ruptur uteri komplit. Pada dehisens (regangan) dari parut bekas bedah
sesar ketuban juga belum robek, tetapi jika kantong ketuban ikut robek maka disebut telah
terjadi ruptur uteri pada parut. Dehisens bisa berubah jadi ruptur pada waktu partus atau
akibat manipulasi pada rahim yang berparut, biasanya bekas bedah sesar yang lalu. Dehisens
terjadi perlahan, sedangkan ruptur uteri terjadi secara dramatis. Pada dehisens perdarahan
minimal atau tidak berdarah, sedangkan pada ruptur uteri perdarahannya banyak yang
berasal dari pinggir parut atau robekan baru yang meluas.1,3

13
Epidemiologi

Terjadinya ruptur uteri pada seseorang ibu hamil atau sedang bersalin masih merupakan
suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian ibu dan anak karena
ruptur uteri masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang tinggi kita jumpai di negara-
negara yang sedang berkembang, seperti Asia dan Afrika. Angka ini dapat diperkecil bila ada
pengertian dari para ibu dan masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping
fasilitas pengangkutan yang memadai dari daerah-daerah perifer dan penyediaan darah yang
cukup juga merupakan faktor yang penting.

Frekwensi ruptur uteri di rumah sakit- rumah sakit besar di Indonesia berkisar antara
1:92 sampai 1:294 persalinan. Angka-angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan
negara-negara maju (antara 1:1250 dan 1:2000 persalinan). Hal ini disebabkan karena rumah
sakit –rumah sakit di Indonesia menampung banyak kasus darurat dari luar.

Etiologi
Ruptur uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada sebelumnya,
karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Paling sering
terjadi pada rahim yang telah diseksio sesarea pada persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika
pada uterus yang demikian dilakukan partus percobaan atau persalinan dirangsang dengan
oksitosin atau sejenisnya.

Pasien yang berisiko tinggi antara lain :

 Persalinan yang mengalami distosia, grande multipara, penggunaan oksitosin atau


prostaglandin untuk mempercepat persalinan.
 Pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah seksio sesarea atau
operasi lain pada rahimnya.
 Riwayat histerorafi.
 Pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien riwayat seksio sesarea sebelumnya.
Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio sesarea klasik
berlaku adagium Once Sesarean Section always Sesarean Section. Pada keadaan tertentu seperti
ini dapat dipilih elective cesarean section (ulangan) untuk mencegah ruptur uteri dengan
syarat janin sudah aterm.2,4

14
Gambar 1. Insisi klasik dan low transverse pada bedah sesar4

Klasifikasi

1. Menurut tingkat robekan :


a. Ruptur uteri komplit, bila robekan terjadi pada seluruh lapisan dinding uterus.
b. Ruptur uteri inkomplit, bila robekan hanya sampai miometrium, disebut juga
dehisensi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan eksplorasi dinding rongga
uterus setelah janin dan plasenta lahir.
c. Ruptur uteri imminens, bila baru ada gejala akan terjadi ruptur. Penderita merasa
kesakitan terus menerus baik waktu his maupun di luar his. Teraba ligamentum
rotundum menegang. Teraba cincin Bandle setinggi pusat. Segmen bawah rahim
menipis. Urine kateter kemerahan.
2. Menurut etiologinya:
a. Ruptur uteri spontan
Yaitu bila ruptur uteri terjadi secara spontan pada uterus tanpa parut (utuh) dan tanpa
adanya manipulasi dari penolong. Faktor pokok disini ialah bahwa persalinan tidak maju
karena rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosepalus, janin dalam letak lintang dan
sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin meregang. Faktor yang
merupakan predisposisi terhadap terjadinya rupture uteri adalah multiparitas, disini
ditengah – tengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat yang menyebabkan
kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga regangan lebih mudah menimbulkan

15
robekan. Oleh banyak penulis dilaporkan pula bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh
dukun – dukun memudahkan timbulnya ruptur uteri. Pada persalinan yang kurang lancar,
dukun – dukun biasanya melakukan tekanan keras kebawah terus – menerus pada fundus
uteri, hal ini dapat menambah tekanan pada segmen bawah uterus yang sudah meregang
dan mengakibatkan terjadinya ruptur uteri. Pemberian oksitosin dalam dosis yang
terlampau tinggi dan atau atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula menyebabkan ruptur
uteri

b. Ruptur uteri traumatika


Ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan
seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap saat
dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma
dari luar. Yang lebih sering terjadi adalah ruptur uteri yang dinamakan ruptur uteri
violenta.

Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan usaha vaginal
untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptur uteri. Hal itu misalnya terjadi
pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat
untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan
embriotomi. Berhubung dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut diatas dan juga
setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri
dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptur uteri. Gejala-gejala ruptur uteri
violenta tidak berbeda dari ruptur uteri spontan.

c. Ruptur uteri pada parut uterus


Ruptur uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio sesarea,
peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk mengangkat mioma
(miomektomi) dan lebih jarang lagi pada uterus dengan parut karena kerokan yang
terlampau dalam. Di antara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang terjadi ssesudah
seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptur uteri daripada parut bekas seksio
sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada
segmen bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dalam masa nifas
dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio
bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga
terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi

16
robekan secara mendadak, melainkan lambat laun jaringan disekitar bekas luka menipis
untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptur uteri. Disini biasanya peritoneum
tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptur uteri inkompleta.

Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteria besar terbuka dan timbul perdarahan
yang untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya
janin masih tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada. Sementara itu
penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat bekas luka. Jika arteria
besar luka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok, janin dalam uterus
meninggal pula.

3. Menurut waktu terjadinya:


a. Ruptur Uteri Gravidarum, terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus
b. Ruptur Uteri Durante Partum, Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada
SBR. Jenis inilah yang terbanyak.
4. Menurut lokasi:
a. Korpus uteri, biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi,
seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
b. Segmen bawah rahim (SBR), biasanya pada partus sulit dan lama (tidak maju). SBR
tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur.
c. Servik uteri, biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep atau versi dan
ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
d. Kolpoporeksis-kolporeksis, robekan-robekan diantara servik dan vagina.

17
18
Faktor Risiko

Faktor risiko ruptur uteri meliputi riwayat histerotomi sebelumnya (seksio sesarea,
myomektomi, reseksi cornual), trauma (kecelakaan lalu lintas, ekstraksi forcepal),
overdistensi uterus (hidramnion, gemelli, makrosomia), anomali uterus, plasenta perkreta,
choriocarsinoma.

19
Patofisiologi
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding korpus uteri atau
segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya
tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke dalam segmen bawah rahim. Segmen
bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik
keatas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran
retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin
tidak dapat turun oleh karena suatu sebab (misalnya : panggul sempit atau kepala besar) maka
volume korpus yang bertambah mengecil pada waktu ada his harus diimbangi perluasan segmen
bawa rahim ke atas. Dengan demikian lingkaran retraksi fisiologis semakin meninggi kearah
pusat melewati batas fisiologis menjadi patologis yang disebut lingkaran bandl (ring vanbandl).

Ini terjadi karena, rahim tertarik terus menerus kearah proksimal tetapi tertahan dibagian
distalnya oleh serviks yang dipegang ditempatnya oleh ligamentum-ligamentum pada sisi
belakang (ligamentum sakrouterina), pada sisi kanan dan kiri ( ligamentum cardinal) dan pada sisi
dasar kandung kemih (ligamentum vesikouterina). Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi
bagian terbawah janin tidak kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama
semakin tinggi dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi sangat
tipis. Ini menandakan telah terjadi ruptur uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada saat
dinding segmen bawah rahim robek spontan dan his berikutnya datang, terjadilah perdarahan
yang banyak (ruptur uteri spontanea).2,5

Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada parut bekas
seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas seksio sesarea profunda. Hal ini disebabkan
oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang tenang pada saat nifas memiliki kemampuan
sembuh lebih cepat sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio klasik juga lebih
sering terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai sedangkan pada bekas seksio
profunda lebih sering terjadi saat persalinan. Ruptur uteri biasanya terjadi lambat laun pada
jaringan-jaringan di sekitar luka yang menipis kemudian terpisah sama sekali. Disini biasanya
peritoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi ruptur uteri inkompleta. Pada peristiwa ini perdarahan
banyak berkumpul di ligamentum latum dan sebagian lainnya keluar.3,5

20
Diagnosis
Ruptur uteri iminens mudah dikenal pada ring van Bandl yang semakin tinggi, segmen
bawah rahim yang tipis, dan keadaan ibu yang gelisah, cemas, atau takut karena nyeri abdomen
atau his kuat yang berkelanjutan disertai tanda-tanda gawat janin. Gambaran klinik ruptur uteri
adalah khas sekali. Oleh sebab itu, pada umumnya tidak sukar menetapkan diagnosisnya atas
dasar tanda-tanda klinik yang telah diuraikan. Untuk menetapkan apakah ruptur uteri itu komplit
perlu dilanjutkan dengan periksa dalam.

Gambar 2. Ring van Bandl4

Pada ruptur uteri komplit jari-jari tangan pemeriksa dapat menemukan beberapa hal
berikut :

 Jari jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut yang licin.
 Dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di segmen bawah
rahim.
 Dapat memegang usus halus atau omentum melalui robekan.
 Dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung-ujung jari-jari tangan dalam
sehingga ujung jari-jari tangan luar saling mudah meraba ujung jari-jari tangan dalam
Diagnosis ruptur uteri harus segera ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik sebagai berikut

1) Riwayat Penyakit Sekarang


 Nyeri Abdomen : dapat tiba-tiba, tajam dan seperti disayat pisau. Apabila terjadi
ruptur sewaktu persalinan, konstruksi uterus yang intermitten, kuat dapat berhenti
dengan tiba-tiba. Pasien mengeluh nyeri uterus yang menetap.

21
 Perdarahan Pervaginam : dapat simptomatik karena perdarahan aktif dari pembuluh
darah yang robek.
 Berhentinya persalinan dan tanda-tanda syok
 Nyeri bahu dapat berkaitan dengan perdarahan intraperitoneum.

2) Riwayat Penyakit Dahulu


 Ruptur uteri harus selalu diantisipasi bila pasien memberikan suatu riwayat paritas
tinggi, pembedahan uterus sebelumnya, seksio sessaria atau miomektomi.

3) Pemeriksaan Umum
 Takikardi dan hipotensi merupakan indikasi dari kehilangan darah akut. Biasanya
perdarahan eksterna dan perdarahan intra abdomen.

4) Pemeriksaan Abdomen
 Sewaktu persalinan, kontur uterus yang abnormal atau perubahan kontur uterus
yang tiba-tiba dapat menunjukkan adanya ekstrusi janin.
 Kontraksi uterus dapat berhenti dengan mendadak dan bunyi jantung janin tiba-tiba
menghilang.
 Sewaktu atau segera melahirkan, abdomen sering teraba sangat lunak disertai
dengan nyeri lepas mengindikasikan adanya perdarahan intraperitoneum.

5) Pemeriksaan Pelvis
 Menjelang kelahiran, bagian presentasi mengalami regresi dan tidak lagi
terpalpasi melalui vagina bila janin telah mengalami ekstrusi kedalam rongga
peritoneum.
 Perdarahan pervaginam mungkin hebat.
 Ruptur uteri setelah melahirkan dikenali melalui eksplorasi manual segmen
uterus bagian bawah dan kavum uteri. Segmen uterus bagian bawah merupakan
lokasi yang paling sering untuk terjadinya ruptur.3,5

22
Pembahasan

Pada pasien ini di diagnosis G2P1A0 parturien serotinus kala 1 fase aktif dengan Gawat Janin
dan Impending Rupture karena ditemukan:

a. Anamnesis
- G2P1A0: Anak yang sedang dikandung merupakan anak ke dua, pasien tidak pernah
keguguran.
- Parturien: karena pasien sudah dalam keadaan inpartu (terdapat his yang semakin
lama semakin kuat dan dirasakan dari bagian belakang ke depan, keluar cairan dan
lendir, serta sudah pecah ketuban).
- Serotinus: Didapatkan HPHT pasien 2 Mei 2014, yang berarti usia kehamilannya
sekarang 43-44 minggu.
- Gawat Janin: Gerakan janin dirasakan pasien dari awal masuk RS sampai sekarang hanya
7x gerakan.

- Impending Ruptur: Pasien mengeluh nyeri perut mendadak. Pasien juga memiliki
riwayat mengkonsumsi rumput fatimah.
b. Pemeriksaan luar
Gawat Janin: Didapatkan BJA irregular (80-120-100x/menit)
Impending rupture: Uterus teraba tipis, ring van Bandl (+), Urin: Hematuria
c. Pemeriksaan dalam
PD: vulva/vagina: t.a.k

Portio: tipis, lunak

Pembukaan: 7-8 cm

Ketuban: (-) sisa cairan meconium

Kepala: station +1 ubun-ubun depan

2. Bagaimana manajemen pada pasien ini?

PENANGANAN GAWAT JANIN


Tabel 4. Kriteria Tata Laksana Untuk Pola Denyut Jantung Janin yang Meragukan8

Tindakan berikut harus dicatat dalam rekam medis:

1. Reposisi pasien

23
2. Hentikan stimulansia uterus dan koreksi hiperstimulasi uterus
3. Pemeriksaan vaginal
4. Koreksi hipotensi ibu yang berhubungan dengan anestesi regional
5. Pemberitahuan tenaga anestesi dan perawat untuk kebutuhan persalinan darurat
6. Monitor denyut jantung janin – dengan monitor janin elektronik atau auskultasi –
di ruang operasi sebelum menyiapkan kelahiran per abdominal
7. Adanya tenaga kompeten yang hadir untuk resusitasi dan penanganan neonatus
8. Pemberian oksigen ke ibu

2.6.1. Tokolitik

Injeksi subkutan atau intravena tunggal dari 0.25 mg terbutalin sulfat diberikan untuk
relaksasi uterus telah dijelaskan sebagai tindakan sementara dari penanganan denyut jantung
yang meragukan selama persalinan. Inhibisi kontraksi uterus dapat meningkatkan oksigenasi
janin, dan menghasilkan resusitasi intrauterus. Cook dan Spinato ( 1994) menjabarkan
pengalaman mereka menggunakan tokolitik terbutalin untuk resusitasi intra uterus pada 368
kehamilan selama 10 tahun. Resusitasi seperti ini dapat meningkatkan nilai pH darah dari
kulit kepala janin, dan terbukti menolong keadaan seperti disebutkan di atas. Dosis kecil
nitrogliserin intravena ( 60 sampai dengan 180 μg) juga dilaporkan dapat memberikan
keuntungan.8

2.6.2. Amnioinfusion

Gabbe dkk. melakukan percobaan pada monyet dengan cara mengeluarkan cairan
amnion yang ternyata menghasilkan deselerasi variabel dan penggantian dengan cairan
fisiologis menghilangkan deselerasi tersebut. Miyazaki dan Taylor ( 1983) memasukkan
cairan fisiologis melalui kateter bertekanan pada wanita melahirkan yang mengalami
deselerasi variabel atau deselerasi lama berhubungan dengan terjepitnya tali pusat. Terapi ini
terbukti meningkatkan pola denyut jantung pada setengah dari jumlah sampel yang diteliti.

Berdasarkan laporan-laporan terdahulu, amnioinfusion transvaginal kini digunakan untuk:

 Penanganan deselerasi variabel atau deselerasi lama

24
 Profilaksis kaus-kasus oligohidroamnion, seperti ketuban pecah dini
 Usaha untuk mengencerkan atau ’mencuci’ mekonium yang kental.
Protokol pemberiannya sendiri masih belum ada ketentuan baku hingga sekarang. 500 sampai
800 ml bolus cairan fisiologis hangat diikuti dengan infus kontinyu 3 ml per menit. Pada
penelitian lain, Rinehart dkk menyarankan cukup hanya dengan pemberian 500 ml bolus
cairan fisiologis dalam temperatur ruangan, atau 500 ml bolus ditambah infus kontinyu 3 ml
per menit.8

Tabel 4. Komplikasi Amnioinfusion Berdasarkan Survei dari 186 Pusat Pelayanan


Obstetri8

Komplikasi Jumlah laporan ( %)

Hipertonus uterus 27

Denyut jantung janin abnormal 17 ( 9)

Amnionitis 7 ( 4)

Prolaps tali pusat 5 ( 2)

Ruptur uterus 4 ( 2)

Kompensasi respiratorius atau jantung 3 ( 2)


maternal

Abrupsi plasenta
2 ( 1)
Kematian ibu
2 ( 1)

Tata laksana umum untuk keadaan gawat janin:15

 Reposisi pasien ke sisi kiri


 Hentikan pemberian oksitosin
 Identifikasi penyebab maternal ( demam ibu, obat-obatan), dan diterapi sesuai dengan
penyebab

25
 Jika penyebab ibu tidak ada tetapi denyut jantung tetap abnormal minimal 3 kontraksi,
lakukan pemeriksaan vaginal
o Perdarahan dengan nyeri konstan atau intermiten, curigai solusio plasenta
o Tanda infeksi ( demam, sekret vagina berbau), berikan antibiotik sesuai
dengan penatalaksanaan amnionitis
o Bila tali pusat di bawah bagian yang terendah, atau ada di vagina, tangani
sesuai dengan penanganan tali pusat prolaps
 Jika denyut jantung abnormal menetap atau ada tanda tambahan gawat janin,
rencanakan persalinan:
o Jika serviks terdilatasi penuh dan kepala janin tidak lebih dari 1/5 di atas
simfisis pubis atau ujung tulang terendah dari kepala pada stasion 0, lahirkan
dengan ekstraksi vakum atau forsep.
o Jika serviks tidak terdilatasi penuh atau kepala janin lebih dari 1/5 di atas
simfisi pubis atau ujung tulang terendah dari kepala di atas stasion 0, lahirkan
dengan seksio sesarea.

PENANGANAN RUPTUR UTERI


Untuk mencegah timbulnya ruptur uteri pimpinan persalinan harus dilakukan dengan
cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan distosia, dan pada wanita yang
pernah mengalami sectio sesarea atau pembedahan lain pada uterus. Pada distosia harus
diamati terjadinya regangan segmen bawah rahim, bila ditemui tanda-tanda seperti itu,
persalinan harus segera diselesaikan.

Jiwa wanita yang mengalami ruptur uteri paling sering bergantung pada kecepatan dan
efisiensi dalam mengoreksi hipovolemia dan mengendalikan perdarahan. Perlu ditekankan
bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali dengan cepat sebelum
perdarahan arteri dapat dikendalikan, karena itu keterlambatan dalam memulai pembedahan
tidak akan bisa diterima.

Bila sudah diagnosa dugaan ruptur uteri sudah ditegakkan maka tindakan yang harus
diambil adalah segera memperbaiki keadaan umum pasien ( resusitasi cairan dan persiapan
tranfusi ) dan persiapan tindakan laparotomi atau persiapan rujukan ke sarana fasilitas yang
lebih lengkap.

26
Sebagai bentuk tindakan definitif maka bila robekan melintang dan tidak mengenai
daerah yang luas dapat dipertimbangkan tindakan histerorafia ; namun bila robekan uterus
mengenai jaringan yang sangat luas serta sudah banyak bagian yang nekrotik maka tindakan
terbaik adalah histerektomi
Histerektomi dianjurkan pada pasien yang sudah cukup anak, sedangkan yang masih
ingin hamil dilakukan repair uterus. Pemberian antibiotika diperlukan pada kasus risiko
infeksi. Tidak disebutkan jenis antibiotika tertentu yang dianjurkan di sini.

Angka kematian maternal akibat ruptur uteri mencapai 4,2%, sedangkan angka
kematian perinatal mencapai 46%. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi: perdarahan, syok,
infeksi postoperasi, kerusakan ureteral, tromboflebitis, emboli air ketuban, DIC (disseminated
intravascular coagulation), dan kematian.

27
SKEMA PENATALAKSANAAN RUPTUR UTERI

Ruptura uteri

Imminens Inkomplit Komplit

Kepala Kepala Tepi luka Luka compang-

belum masuk sudah masuk lurus/baik camping

Janin hidup Janin mati Laparatomi

histerorafi

Ekstraksi forsep Embriotomi

KU jelek KU baik

28
Histerorafi Amputasi uteri/

histerektomi total

Bedah sesarea Cukup anak Tubektomi

Pengelolaan pada pasien ini:

1. Pada ny. S dilakukan SC cito dengan teknik SCTP atas indikasi gawat janin dan
impending ruptur. Dilakukan SC karena serviks belum terdilatasi penuh dan kepala
janin belum masuk PAP (5/5).

3.Bagaimana prognosis pada pasien ini?

Angka mortalitas yang ditemukan dalam berbagai penelitian berkisar dari 50 hingga
75%, tetapi jika janin masih hidup pada saat terjadinya peristiwa tersebut, satu-satunya
harapan untuk mempertahankan jiwa janin adalah dengan persalinan segera, yang paling
sering dilakukan lewat laparotomi, kalau tidak keadaan hipoksia baik sebagai keadaan
terlepasnya plasenta ataupun hipovolemi maternal tidak akan terhindari, jika tidak diambil
tindakan, kebanyakan wanita akan meninggal karena perdarahan atau mungkin pula karena
infeksi yang terjadi kemudian, kendati penyembuhan spontan pernah juga ditemukan pada
kasus yang luar biasa.

Diagnosa cepat, tindakan operasi segera, ketersediaan darah dalam jumlah besar dan
terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi wanita
dengan ruptur pada uterus yang hamil.

Prognosis pada pasien ini:

1. Quo ad vitam: ad bonam karena keadaan klinik pasien dari hari ke hari menjadi lebih
baik dibandingkan dengan saat pertama kali datang ke rumah sakit.
2. Quo ad functionam: ad bonam karena ibu masih bisa melahirkan pervaginam kecuali
ada kontraindikasinya

29
3. Quo ad sanationam: ad bonam karena pasien masih dapat melakukan fungsi sosialnya
seperti keadaan sebelumnya, yaitu ibu rumah tangga.

Pada pasien ini tidak dilakukan KB berupa tubektomi sesuai teori karena pasien menolak
karena merasa belum memiliki cukup anak.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Arulkumaran S., Gibb. Fetal Monitoring in Practice, Oxford: Butterworth-


Heinemann Ltd, 1992:1-146

2. Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam: Ilmu


Kebidanan, edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2006:1:4-10

3. Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam: Ilmu Bedah
Kebidanan, edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2006:6:52-60

4. Cleveland. Fetal Distress. Cleveland: Department of Patient Education and Health


Information. 2007. Diakses di http://www.clevelandclinic.org/health/health-
info/docs/3800/3896.asp?index=12401

5. Hayley Willacy. Fetal Disress. UK: PatientPlus. Diakses di


http://www.patient.co.uk/showdoc/40000220/

6. Steele, Wanda F., What are the signs of fetal distress? In: SheKnows Pregnancy and
Baby. Pennsylvania. 2007. Diakses di
http://pregnancyandbaby.com/pregnancy/baby/What-are-the-signs-of-fetal-distress-
5960.htm

7. Hayley Willacy. Meconium Stained Liquor. US: PatientPlus. Diakses di


http://www.fetal.freeserve.co.uk/meconium.html

8. Cunningham, Garry F., M. D. et al: Antepartum Assesment, Williams Obstetrics,


22nd ed, Connecticut: Appleton & Lange, 2002:40:1095-1108

11. Sofie Rifayani Krisnadi, Johanes C. Mose, Jusuf S. Effendi. Pedoman Diagnosis
dan Terapi Obstetri dan Ginekologi. Bandung: Rumah Sakit Hasan Sadikin.
2005:7-1

12. Sean Kavanagh. Fetal Monitoring. UK. Diakses

31
di http://www.patient.co.uk/showdoc/40000245/

13. Hidayat Wijayanegara. Dalam: Makalah Lengkap Kursus Dasar Ultrasonografi


Kardiotokografi. Malang: RSUD DR. Saiful Anwar.2002:VIII1-5

14. Children’s Hospital of The King’s Daughters. Biophysical Profile. Diakses dari
http://www.chkd.org/highriskpregnancy/bpp.htm

15. World Health Organization. Fetal Distress in Labour.2003. Diakses di


http://www.who.int/reproductive-health/impac/Symptoms/Fetal_distress_S95_S96.html

32

Anda mungkin juga menyukai