Anda di halaman 1dari 9

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perairan umum daratan Indonesia biasanya ditaksir seluas 13,85 juta
hektar, terdiri atas 12,0 juta hektar sungai dan paparan banjiran, 1,8 juta hektar
danau alam dan 0,05 juta hektar waduk Indonesia memiliki sekitar 5.590 sungai
utama dengan panjang total mencapai 94.573 km dan sekitar 65.017 anak sungai.
Luas perairan umum daratan tersebut 65 % berada di Kalimantan, 23 % di
Sumatera, 7,8 % di Papua, 3,5 % di Sulawesi dan 0,7 % di Jawa, Bali dan Nusa
tenggara (Azrita, 2013).
Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki luas laut lebih besar
dari pada luas daratan, dengan panjang garis pantai 81.000 km. Wilayah laut
Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa terkenal memiliki kekayaan dan
keanekaragaman sumberdaya hayati dan non hayati laut. Wilayah pesisir yang
merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, memiliki potensi
sumberdaya alam yang sangat besar terutama pada tiga ekosistem utama yaitu
ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang (Nurzahraeni, 2014).
Salah satu perairan laut Indonesia memiliki zona intertidal. Wilayah
pesisir atau coastal adalah salah satu sistem lingkungan yang ada, dimana zona
intertidal merupakan zona yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan luas
area yang sempit antara daerah pasang tertinggi dan surut terendah. Zona
intertidal dapat juga diartikan sebagai bagian laut yang paling banyak dikenal
serta terdiri dari daerah pantai berbatu, pantai berpasir, dan pantai berlumpur serta
memiliki keragaman faktor lingkungan. Hanya zona inilah tempat penelitian
terhadap organism perairan dapat dilaksanakan secara langsung selama periode air
surut tanpa memerlukan peralatan khusus. Zona ini telah diamati oleh manusia
dalam waktu cukup lama (Novianty, dkk., 2012).
Perairan Indonesia memiliki wilayah intertidal atau litoral yang cukup
luas. Perairan litoral adalah daerah yang berada diantara pasang tertinggi dan surut
terendah. Daerah ini merupakan daerah yang langsung berbatasan dengan darat.
Radiasi matahari, variasi temperatur dan salinitas mempunyai pengaruh yang
lebih berarti untuk daerah ini dibandingkan dengan daerah laut lainnya. Daerah
pantai ini merupakan daerah yang kaya akan jenis organismenya khususnya
2

gastropoda. Dilihat dari substrat dasarnya pantai litoral terdiri atas substrat
berbatu, berpasir dan berlumpur. Pentingnya peranan ekologis ekosistem yang ada
di perairan litoral serta biota yang berasosiasi di dalamnya khususnya gastropoda
dan peranan penting gastropoda dalam rantai makanan di perairan. Keberadaan
gastropoda di perairan litoral belum mempunyai data informasi mengenai
keanekaragaman Gastropoda di perairan litoral (Putra, dkk., 2014).
Penggunaan dan pelanggaran atas zona estuari oleh aktifitas manusia saat
ini telah mencapai tingkat yang sangat kritis, sehingga amatlah penting untuk
lebih memasyarakatkan pemahaman tentang kekhususan dan fungsi dari perairan
ini. Karena apabila kecenderungan perusakan estuari ini tidak segera dikendalikan
atau dikelola secara cermat dan bijaksana, dikhawatirkan pemanfaatan
sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan estuari tidak akan berlangsung secara
berkelanjutan. Estuari dapat dianggap sebagai zona transisi (ekoton) antara habitat
laut dan perairan tawar, namun beberapa sifat fisis dan biologis pentingnya tidak
memperlihatkan karakteristik peralihan, lebih cenderung terlihat sebagai suatu
karakteristik perairan yang khas (unik) (Rositasari dan Rahayu, 2002).
Daerah intertidal terletak paling pinggir dari bagian ekosistem pesisir dan
laut dan berbatasan dengan ekosistem darat. Intertidal merupakan daerah pasang
surut (intertidal) yang dipengaruhi oleh kegiatan pantai dan laut. Kondisi
komunitas pasang surut tidak banyak perubahan kecuali pada kondisi ekstrim
tertentu dapat merubah komposisi dan kelimpahan organisme intertidal. Daerah
ini merupakan daerah yang paling sempit namun memiliki keragaman dan
kelimpahan organisme yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan habitat-
habitat laut lainnya. Daerah intertidal paling mudah di jangkau oleh manusia
sehingga rentan perubahan komunitas. Di dalam zona intertidal terdapat substrat
yang berbeda seperti pasir, batu, dan lumpur yang menyebabkan adanya fauna dan
struktur komunitas di daerah intertidal. Tampaknya oksigen bukan merupakan
faktor pembatas kecuali pada keadaan tertentu. Nutrient dan pH juga tidak penting
bagi organisme serta struktur komunitas di daerah intertidal
(Yulianda, dkk., 2013).
Keberadaan suatu organisme pada suatu habitat perairan memiliki arti
yang sangat penting karena menimbulkan hubungan timbal balik yang memberi
pengaruh pada lingkungannya. Secara tidak langsung, hubungan ini dapat
3

mengindikasikan kondisi perairan yang tengah terjadi, mengingat bahwa


organisme dan habitat merupakan subjek pengalir materi dan energi. Organisme
yang diketahui menempati habitat yang spesifik akan memudahkan dan
mengefisienkan sumber daya dalam menemukannya kelak. Di sisi lain, karakter
habitat menjadi salah satu informasi bermanfaat dalam mengevaluasi bentuk dan
fungsi tubuh suatu organisme. Dengan demikian, peran dan manfaat suatu
organisme pada habitatnya dapat dimaksimalkan ketika beberapa aspek dasar dari
preferensi habitat organisme, seperti karakteristik, pola sebaran, serta densitas dari
organisme dan habitatnya telah diketahui (Yanti, dkk., 2014).
Keragaman faktor lingkungannya dapat dilihat dari perbedaan (gradient)
dari faktor lingkungan secara fisik mempengaruhi terbentuknya tipe atau
karakteristik komunitas biota serta habitatnya. Sejumlah besar gradien ekologi
dapat terlihat pada wilayah intertidal yang dapat berupa daerah pantai berpasir,
berbatu maupun estuari dengan substrat berlumpur. Perbedaan pada seluruh tipe
pantai ini dapat dipahami melalui parameter fisika dan biologi lingkungan yang
dipusatkan pada perubahan utamanya serta hubungan antara komponen biotik
(parameter fisika-kimia lingkungan) dan komponen abiotik (seluruh komponen
makhluk atau organisme) yang berasosiasi di dalamnya. Dari keregaman factor
tersebut maka dibutuhkan suatu adaptasi khusus yang harus dimiliki oleh biota
yang berada pada daerah intertidal untuk dapat terus bertahan dalam kondisi
lingkungan yang cukup ekstrim dimana beberapa parameter lingkungan seperti
suhu, salinitas, kadar oksigen, dan habitat dapat berubah secara signifikan
(Muhaimin, 2013).

Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui karakteristik zona intertidal berpasir.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis biota di zona intertidal berpasir.
3. Untuk mengetahui interaksi biota dengan zona intertidal berpasir.

Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai sumber bagi pihak
yang membutuhkan, dan juga sebagai salah satu syarat untuk mengikuti kegiatan
praktikum selanjutnya.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Zona Intertidal Berpasir


Daerah pantai merupakan zona campuran atau perbatasan yang mengalami
perubahan, baik perubahan luas areal daratan karena sedimennya atau persen
pengurangan luas areal karena pengikisan. Zona dapat pula dicirikan menurut
kategori fisik (darat dan laut), biologi atau kultur (budaya masyarakat). Pantai
merupakan daerah interaksi antara laut dan daratan (daerah daratan yang termasuk
pantai yang masih dipengaruhi oleh daratan seperti pengaruh sedimentasi, sungai
dan salinitas yang relatif rendah (<32%) untuk daerah tropis). Dasar pembentukan
pantai berbeda-beda, ada yang terdiri dari batuan-batuan, lumpur, tanah liat, pasir
dan kerikil, atau campuran antara dua atau lebih tipe-tipe ini secara bersama-sama
(Muhaimin, 2013).
Pada umumnya pantai berpasir lebih banyak dikenal oleh manusia
dibanding dengan jenis pantai yang lain. Hal ini dikarenakan pantai berpasir
memiliki manfaat yang sangat banyak dibanding dengan pantai jenis yang lainnya.
Pada jenis pantai ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem lain seperti
ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang. Pantai berpasir adalah
pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm. Jenis pantai berpasir termasuk dalam
jenis pantai dengan partikel yang halus. Pantai berpasir dan bukit pasir, daerah
yang jumlahnya sekitar 20% daerah pantai diseluruh dunia, yang umumnya
terbentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari sungai atau yang terjadi
karena pengaruh ombak dan arus yang mengantarkan sedimen tersebut ke arah
pantai (Ruswahyuni, 2008).
Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah
terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun
(sea grass), pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprea, formasi
baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Pantai berpasir merupakan tempat yang
dipilih untuk melakukan berbagai aktivitas rekreasi. Pantai pasir kelihatan tidak
dihuni oleh kehidupan makroskopik. Organisme tentu saja tidak tampak karena
faktor-faktor lingkungan yang beraksi di pantai ini membentuk kondisi dimana
seluruh organisme mengubur dirinya dalam substrat (Nurzahraeni, 2014).
5

Pantai berpasir tebentuk dari bebatuan dan karang yang hancur karena
hantaman air laut lalu terseret oleh gelombang menuju tepi laut dan membentuk
Pantai Berpasir, selainitu, pasir juga dibawa oleh aliran sungai yang mengalir ke
tepi laut. Di pantai berpasir terdapat strandline. Strandline adalah serpihan puing
puing yang membentuk garis panjang yang tertinggal saat pantai surut. Ekosistem
pantai pasir, merupakan zona litoral yang terkena deburan ombak terus-menerus
dan terpaan cahaya matahari selama 12 jam. Vegetasinya membentuk
formasi prescaprae dan formasi baringtonia, sebagai suatu unit vegetasi yang
terbentuk karenahabitatnya dan diberi nama sesuai dengan nama vegetasi yang
mendominasi (Juandi, dkk., 2014).
Pantai berpasir ini dapat ditemui di daerah yang jauh dari pengaruh
sungai besar, atau dipulau kecil yang terpencil. Makroorganisme yang hidup disini
tidak sepadat dikawasan pantai berbatu, dan karena kondisi lingkungannya
organisme yangada cenderung menguburkan dirinya ke dalam substrat. Kawasan
ini lebih banyak dimanfaatkan manusia untuk berbagai aktivitas rekreasi. terdapat
di sepanjang garis pantai yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan
bentangan pantaiSulawesi dan Maluku di Laut Banda, dominan dengan kondisi
daerah pantai (foreshore) lebih terjal dan lebih dalam. Banyak terdapat pinggiran
pantai berkarang (Yulianda, dkk., 2013).
Menurut Muhaimin (2013) pada pantai berpasir dibagi dalam beberapa
zonasi yaitu:
1. Mean High Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada pasang
purnama. Zona ini berada pada bagian paling atas. Pada daerah ini berbatasan
langsung dengan daerah yang kering dan sering terekspose.
2. Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut. Zona ini merupakan
daerah yang paling banyak mengalami fluktuasi pasang surut. Pada daerah ini
juga dapat ditemukan berbagai ekosistem salah satunya ekosistem padang
lamun.
3. Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada pasang
surut purnama. Zona ini merupakan zona yang paling bawah. Pada daerah ini
fluktuasi pasang surut sangat sedikit yang berpengaruh karena daerah ini tidak
terkena fluktuasi tersebut. Daerah ini juga bisa ditemukan ekosistem terumbu
karang.
6

Biota Zona Intertidal Berpasir


Sekilas tidak banyak makhluk yang hidup di pantai berpasir. Akan tetapi,
ketika kita mengamatinya dengan lebih cermat, maka akan terlihat beberapa tanda
kehidupan. Di permukaan, akan terlihat lubang lubang kecil, liang, dan gundukan
yang merupakan tempat persembunyian cacing-cacing, seperti ada cacing rambut,
cacing rag, cacing kipas, serta cacing tanah juga terdapat disana. Selain itu,
terdapat kerang-kerangan, siput pasir, dan kepiting. Umang-umang juga terlihat di
daerah pantai yang agak kering. Mereka bersembunyi di bawah permukaan pasir
agar terlindung dari panas matahari, pemangsa, dan air pasang. Disana juga
ditemukan burung camar. Tumbuhan yang hidup ditepi pantai tidaklah beragam,
kita dapat melihat pohon kelapa (Zulfa, dkk., 2015).
Daerah pantai berpasir juga dipengaruhi oleh fenomena sedimentasi dan
menyebabkan banyaknya bentuk-bentuk sedimentasi yang terbentuk, salah
satunya adalah sedimen bar (pasir penghalang). Di dalam berbagai bentuk
sedimen bar inilah terdapat keanekaragaman organisme, khususnya
makrozoobentos. Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting
dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai organisme
kunci dalam jaring makanan. Selain itu tingkat keanekaragaman makrozoobenthos
di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran karena
hewan ini hidup menetap (sesile) dan daya adaptasinya bervariasi terhadap
kondisi lingkungan (Muhaimin, 2013).
Bivalvia terdiri atas berbagai jenis kerang, remis dan kijang. Kebanyakan
hidup di laut terutama di daerah litoral, beberapa di daerah pasang surut dan air
tawar. Beberapa jenis di laut hidup pada kedalaman sampai 5.000 m. Umumnya
terdapat di dasar perairan yang berlumpur atau berpasir, beberapa hidup pada
substrat yang lebih keras seperti lempung, kayu, dan batu. Bivalvia mempunyai
tiga cara hidup yakni: membuat lubang pada substrat contoh cacing kapal atau
ship worm (Teredo navalis), melekat langsung pada substrat dengan semen contoh
tiram (Crassostrea sp.) dan melekat pada substrat (Muflih, dkk., 2015).
Asteroidea yang biasa disebut dengan bintang laut merupakan kelas dari
filum Echinodermata yang memiliki tubuh simetri radial dan umumnya memiliki
lima atau lebih lengan. Asteroidea memiliki jumlah cukup banyak, yaitu sekitar
1.600 spesies. Hewan ini umumnya ditemukan pada daerah berpasir, padang
7

lamun dan terumbu karang. Salah satu daerah berpasir adalah zona intertidal yang
merupakan daerah strategis untuk habitat Asteroidea. Zona ini luasnya sangat
terbatas, tetapi banyak terdapat variasi faktor lingkungan yang terbesar
dibandingkan dengan daerah lautan lainnya (Zulfa, dkk., 2015).
Salah satu bagian dari ekosistem tersebut dan memiliki peranan penting
bagi kehidupan laut adalah bulu babi. Bulu babi yang tergolong fauna invertebrata
dapat ditemukan hampir diseluruh perairan pantai, mulai dari daerah pasang surut
sampai pada perairan dalam. Bulu babi lebih menyukai perairan yang jernih dan
airnya relatif tenang. Pada umumnya masing-masing jenis memiliki habitat yang
spesifik, seperti zona rataan terumbu karang, daerah pertumbuhan alga, padang
lamun, koloni karang hidup dan karang mati. Bulu babi adalah merupakan salah
satu komponen penting dalam hal keanekaragaman fauna di daerah terumbu
karang. Hal ini karena terumbu karang berperan sebagai tempat berlindung dan
sumber pakan bagi fauna Bulu babi. Secara ekologi fauna Bulu babi berperan
sangat penting dalam ekosistem terumbu karang, terutama dalam rantai makanan
(food web), karena biota tersebut umumnya sebagai pemakan detritus dan predator
(Yudasmara, 2013).
Teripang dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai, mulai dari
daerah pasang surut sampai perairan dalam. Teripang ini lebih menyukai perairan
yang jernih dan airnya relative tenang. Pada umunya masing-masing jenis
memiliki habitat yang spesifik, misalnya teripang jenis Holothuria scabra sering
ditemukan di daerah yang berpasir atau pasir berlumpur yang banyak ditumbuhi
lamun dengan kedalaman antara 0,5 meter sampai dengan 40 meter. Komunitas
teripang sangat tergantung kepada perkembangan factor substrat dan makanan. Di
perairan Indopasifik, masih sangat sedikit sekali yang melakukan penelitian
tentang teripang terutama pada jenis-jenis teripang yang mempunyai nilai
ekonomis di pasar nasional maupun internasional (Radjab, 2003).

Adaptasi Biota Pada Zona Intertidal Berpasir


Bentuk adaptasi adalah mencakup adaptasi struktural, adaptasi fisiologi,
dan adaptasi tingkah laku. Adaptasi struktural merupakan cara hidup untuk
menyesuaikan dirinya dengan mengembangkan struktur tubuh atau alat-alat tubuh
kearah yang lebih sesuai dengan keadaan lingkungan dan keperluan hidup.
Adaptasi fisiologi adalah cara makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan
8

lingkungan dengan cara penyesaian proses-proses fisiologis dalam tubuhnya.


Adaptasi tingkah laku adalah respon-respon hewan terhadap kondisi lingkungan
dalam bentuk perubahan tingkah laku (Novianty, dkk., 2012).
Pada pantai berpasir, kelompok yang tidak terdapat di pantai pasir adalah
tumbuhan besar. Hal ini mungkin disebabkan tidak ada tempat yang cocok untuk
menancapkan akar dan yang dapat menghindarkan mereka dari gerakan ombak.
Pantai pasir didominasi oleh tiga kelas invertebrata: cacing polikaeta, moluska
bivalva, dan krustasea. Adapun cara adaptasi organisme untuk mencegah dari
kekeringan, yaitu organisme pantai pasir biasanya mengubur diri kedalam
substrat. Adanya gerakan ombak yang membentuk substrat yang tidak stabil dan
terus bergerak, organisme di pantai berpasir mengembangkan cara adaptasinya
yaitu; menggali substrat sampai kedalaman yang tidak dapat lagi dipengaruhi oleh
gelombang yang lewat (misalnya kerang Pismo), mengembangkan cangkang yang
amat berat agar tetap dalam substrat, kemampuan menggali dengan cepat (pada
cacing anelida, kerang kecil, dan krustasea), memiliki cangkang yang amat licin
untuk mengurangi gesekan saat mengubur diri di pasir, memiliki duri yang
tereduksi untuk memudahkan mengubur diri di pasir. Selain itu, adaptasi untuk
mencegah penyumbatan permukaan alat pernapasan oleh pasir yang tersuspensi
yaitu dengan cara saluran pernapasan dilengkapi dengan berbagai penyaring atau
sekat, adanya rambut-rambut pada antena kepiting pasir (Korwa, dkk., 2013).
Pada pantai berpasir akan terlihat lubang lubang kecil dan gundukan yang
merupakan tempat persembunyian cacing-cacing, seperti cacing rambut, cacing
kipas, serta cacing tanah juga terdapat disana. Selain itu, terdapat kerang-
kerangan, siput pasir, dan kepiting. Umang-umang juga terlihat di daerah pantai
yang agak kering. Mereka bersembunyi di bawah permukaan pasir agar terlindung
dari panas matahari, pemangsa, dan air pasang. Disana juga ditemukan burung
camar. Tumbuhan yang hidup ditepi pantai tidaklah beragam, kita dapat melihat
pohon kelapa Bivalvia mempunyai tiga cara hidup yakni: membuat lubang pada
substrat contoh cacing kapal atau ship worm (Teredo navalis), melekat langsung
pada substrat dengan semen contoh tiram (Crassostrea sp.) dan melekat pada
substrat (Zulfa, dkk., 2015).
9

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Zona intertidal berpasir mempunyai substrat penyusunnya merupakan bagian
kecil batu/kerikil, atau partikel yang berukuran 0.002 – 2 mm yang mana
organisme dapat menggali kedalamnya dengan mudah. Ukuran partikel pasir
di pantai merupakan fungsi dari gerakan ombak di pantai itu. Jika gerakan
ombak kecil, partikel-partikel berukuran kecil pula, tetapi jika gerakan ombak
besar dan kuat, partikel akan menjadi kasar dan membentuk deposit kerikil.
Pasir yang kasar dan kerikil cepat mengalirkan air ketika surut.
2. Biota yang dominan di zona intertidal berpasir yaitu berbagai cacing, siput,
bulu babi, bintang laut, kerang darah, kepah, dan udang.
3. Kebanyakan biota yang menempati daerah berpasir menunjukkan adaptasi
dalam menggali dan melewati saluran yang permanen dalam substrat.
Kehadiran organisme ditunjukkan oleh adanya berbagai lubang di permukaan
dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Ketika organisme berada di dalam
substrat, mereka harus beradaptasi untuk hidup dalam keadaan anaerob atau
harus membuat beberapa jalan yang dapat mengalirkan air dari permukaan
yang mengandung oksigen ke bawah.

Saran
Saran dari praktikan adalah sebaiknya praktikan lebih kondusif dan
interaktif pada saat berjalannya praktikum agar praktikum dapat terlaksana dengan
baik dan efisien.

Anda mungkin juga menyukai