Anda di halaman 1dari 23

KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME

DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abad Pertengahan dalam bahasa Prancis disebut dengan Moyen-Âge atau

Médiévale yang berasal dari bahasa Latin medium aevum yang berarti era

pertengahan. Masa Abad Pertengahan berlangsung pada periode antara Zaman

Klasik (akhir masa lampau) sampai dengan Zaman awal Modern (Adams,

2007:4). Periode Abad Pertengahan di Eropa ditandai dengan masa jatuhnya

peradaban Romawi, yaitu pada akhir abad III hingga abad XVI, yaitu ketika

terjadi perpecahan dalam kekuasaan Gereja yang disusul dengan masa Revolusi

Prancis (Olla, 2008:61).

Masyarakat dalam Abad Pertengahan, terbagi dalam golongan-golongan

masyarakat yang memiliki kedudukan sosial yang berbeda-beda. Setidaknya

terdapat tiga golongan kelas sosial, yaitu golongan pejuang atau ksatria, golongan

petani, dan golongan rohaniawan. Pembagian strata inilah yang kemudian menjadi

kerangka kehidupan kerajaan Prancis selama berabad-abad (Lebrun & Carpentier,

2011:137). Adanya perbedaan kelas atau golongan yang telah disebutkan, pada

akhirnya menimbulkan ketimpangan dan kecemburuan sosial. Hal tersebut

disebabkan oleh perbedaan hak dan fasilitas yang mereka peroleh. Golongan atas

1
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

seperti rohaniawan dan ksatria mendapatkan hak-hak istimewa seperti seigneur1,

fief2, atau imunitas3. Sementara itu golongan bawah selalu dijadikan objek

penderita dan hidup dengan penuh kesengsaraan 4.

Abad Pertengahan yang juga disebut sebagai abad kegelapan ini,

didominasi oleh sebuah rezim kekuasaan yang sangat kuat, yaitu rezim gereja.

Segala aspek kehidupan diatur oleh gereja. Kekuasaan absolut yang dimiliki

gereja beserta otoritasnya menimbulkan sejumlah penyimpangan yang terjadi.

Para rohaniawan hidup dengan bergelimang harta dan selalu haus kekuasaan.

Uskup sebagai pemimpin gereja hidup layaknya raja. Gereja memiliki otoritas

penuh atas segala bidang kehidupan, termasuk mengontrol jalannya sistem hukum

dan politik pada masa itu. Otoritas gereja dapat menjatuhkan hukuman apapun

pada siapa saja, bahkan hukuman mati sekalipun. Para pemuka agama kerap

melakukan penyimpangan-penyimpangan, mulai dari korupsi, penjualan surat

pengampunan dosa, penyimpangan upacara sakramen suci, dan lain sebagainya

(Wongso, 2010: 76-79). Pastor sebagai bapak suci, kawin atau hidup bersama

perempuan di luar nikah. Sejumlah uskup merampas harta orang (Lebrun &

Carpentier, 2011:142). Berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh

gereja dan para pemuka agama lambat laun menimbulkan kritik dan

1
Bentuk kepemilikan harta tanah dan bangunan. Harta tersebut dapat dikelola langsung atau
diserahkan kepada petani untuk disewakan dengan memberikan pungutan iuran wajib. Pemilik
harta ini berasal dari komunitas keagamaan atau bangsawan, mereka berhak mengadili dan
mengawasi para petani yang menyewa tanah mereka.
2
Pemberian harta pemilik kepada bawaahannya untuk imbalan atas kewajiban yang telah ia
berikan. Pemberian tersebut berupa tanah atau kastil, kadang juga berupa hak atau pendapatan.
3
Hak istimewa yang dianugerahkan kepada komunitas tertentu, biasanya rohaniawan yang
memiliki tanah luas. Dengan hak ini, komunitas tersebut dibebaskan dari segala pengawasan yang
ada, seperti pajak, pengadilan, dsb.
4
Disarikan dari Jean Capentier & François Lebrun, Sejarah Prancis ( Jakarta:KPG, 2011).

2
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

pemberontakan. Protes terhadap ketidakadilan atau ketidakpuasan tersebut

dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya melalui karya sastra.

Karya sastra adalah seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala

macam kehidupannya, yang tidak saja merupakan suatu media untuk

menyampaikan suatu gagasan atau sistem berpikir, tetapi juga merupakan media

untuk menampung gagasan atau sistem berpikir manusia. Karya sastra dalam

pembuatan dan penciptaannya berhubungan erat dengan realitas kehidupan. Karya

sastra merupakan tanggapan penciptanya terhadap realitas sosial yang

dihadapinya. Dalam sebuah karya sastra terdapat pengalaman-pengalaman

subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang (fakta individu atau

libdinal), dan pengalaman sekelompok masyarakat atau fakta sosial (Sangidu,

2004: 41).

Di antara genre karya sastra, novellah yang dianggap paling dominan

dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan,

di antaranya: novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap,

memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan

yang juga paling luas, dan bahasa novel merupakan bahasa sehari-hari yang paling

umum digunakan dalam masyarakat (Ratna, 2004:335-336). Untuk itulah novel

kerap dijadikan alat untuk menyampaikan pesan atau aspirasi ketidakpuasan

terhadap suatu kondisi yang dianggap kurang benar dalam sebuah kehidupan

sosial. Meskipun demikian, cerita dalam novel tentu tidak sepenuhnya asli, hal

tersebut karena novel bersifat fiktif yang di dalamnya terdapat unsur-unsur

imajinasi. Salah satu novel yang memuat tentang kritik terhadap rezim kekuasaan

3
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

gereja pada masa Abad Pertengahan adalah novel Notre-Dame de Paris karya

Victor Hugo.

Victor Marie Comte Hugo lahir pada tanggal 26 Februari 1802, di

Besançon, Prancis. Seorang sastrawan besar Prancis yang memiliki prestasi. Ia

dianggap sebagai pelopor aliran romantisme 5. Selain dikenal sebagai sastrawan

besar, Victor Hugo juga dikenal sebagai aktivis dan kritikus. Dalam perjalanan

karirnya, ia kerap menentang kebijakan pemerintah terutama yang berhubungan

dengan hak asasi manusia dan keadilan. Ia juga menolak keras hukuman mati.

Akibat protes serta kritikan kerasnya terhadap pemerintah, ia diusir dan

diasingkan selama dua puluh tahun. Selama itu pula lah, ia menghasilkan

sejumlah karya sastra berupa puisi, drama, dan novel. Beberapa karya puisinya

seperti kumpulan puisi Odes et Poésies Diverses (1822) berhasil menarik simpati

publik. Kemudian disusul dengan Les Orientales (1828), Feuilles d’Automne

(1831), Les Voix Intérieurs (1828) dan Les Rayons et Les Ombres (1840).

Sejumlah drama yang telah ia hasilkan di antaranya adalah Cromwel (1827),

Hernani (1830), Le Roi S’amuse (1832), Marie Tudor (1833), dan Ruy Blas

(1838). Karya novelnya yang juga sangat populer di dunia adalah Notre-Dame de

Paris (1831) dan Les Misérables (1862). Tidak hanya novel saja, kumpulan

5
Sebuah aliran seni intelektual dari Eropa. Aliran ini muncul sebagai salah satu reaksi terhadap
revolusi industri yang ingin melepaskan diri dari norma-norma kebangsawanan yang mengekang
kebebasan berekspresi. Dalam karya sastra, aliran ini lebih menekankan ungkapan sebuah
perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang, sehingga pembaca dapat tersentuh
emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya.

4
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

puisinya seperti Les Châtiments (1853), Les Contemplations (1856), dan La

Légende des Siècles (1859) juga berhasil menuai pujian publik6.

Beberapa karya Victor Hugo berisi tentang isu-isu politik dan sosial. Hal

tersebut tampak dalam salah satu karya novelnya yang berjudul Notre-Dame de

Paris, sebuah novel yang dianggap sebagai maha karya terpenting pada masa itu.

Novel Notre-dame de Paris ditulis pada tahun 1831, merupakan salah satu karya

yang sangat terkenal dan fenomenal dalam kesastraan Prancis. Novel tersebut juga

mendapat sambutan yang luar biasa di dunia. Hal tersebut terbukti dari munculnya

novel Notre-Dame de Paris yang telah dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa,

difilmkan sebanyak sepuluh kali versi layar perak, empat kali untuk versi televisi,

dan diadaptasi ke dalam sejumlah drama6.

Novel Notre-Dame de Paris merupakan sebuah novel sejarah yang berlatar

waktu Abad Pertengahan. Novel tersebut berisi tentang kritik sosial-keagamaan.

Beberapa tokoh dalam cerita, merepresentasikan kekuasaan dan penyimpangan

agama yang terjadi pada masa Abad Pertengahan. Dalam novel tersebut,

dideskripsikan bagaimana kemunafikan seorang petinggi gereja terhadap

kesalehannya, yang direpresentasikan ke dalam tokoh Claude Frollo. Paradoks

kesucian dan kealiman Claude Frollo sebagai Wakil Uskup disandingkan dengan

nafsu seksual yang besar terhadap Esmeralda, tokoh perempuan yang

digambarkan sangat mempesona. Sebagai seorang rohaniawan yang seharusnya


6
http://www.biography.com/people/victor-hugo-9346557 diakses pada 05/10/2013 10.20 am dan
http://www.notablebiographies.com/Ho-Jo/Hugo-Victor.html diakses pada 05/10/2013 10.33 am

5
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

menjaga kesuciannya dan jauh dari perempuan, ternyata tokoh Claude Frollo

melakukan tindakan-tindakan menyimpang seperti percobaan tindakan asusila.

Hal-hal yang dianggap tabu dan tidak mungkin untuk dilakukan oleh orang alim,

dalam novel ini justru dilukiskan sebaliknya.

Novel Notre-Dame de Paris, menyiratkan sindiran atas kekuasaan gereja

yang terjadi pada masa Abad Pertengahan. Hal tersebut dapat dilihat melalui

penggambaran tradisi La fête des Fous atau festival kaum dungu yang begitu

ironis. La fête des Fous merupakan sebuah festival yang sangat populer di Eropa,

khususnya Prancis pada Abad Pertengahan. Festival ini merupakan sebuah parodi

yang ditujukan kepada para petinggi gereja yang kerap berebut kekuasaan dengan

raja. Stereotip alim dan suci yang direpresentasikan para pemimpin agama beserta

institusinya, yakni gereja dalam novel Notre-Dame de Paris diceritakan dengan

begitu kasar dan berbanding terbalik dengan realitas umumnya.

Dapat diketahui berdasarkan latar belakang cerita Notre-Dame de Paris,

Hugo mengutarakan pandangan kritiknya terhadap situasi sosial-keagamaan pada

zaman itu dengan menggunakan media sastra yang berupa novel. Sastra adalah

lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium dan bahasa yang

digunakan merupakan ciptaan sosial. Sebuah karya sastra tidak begitu saja turun

dari langit (Damono, 1984:1). Selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan

masyarakat. Untuk itu, karya sastra kerap digunakan pengarang sebagai alat untuk

menyampaikan pesan dalam sebuah peristiwa yang tejadi dalam masyarakat.

6
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

1.2 Permasalahan

Novel digunakan pengarang sebagai alat untuk menyampaikan ide,

pandangan, maupun kritik mengenai berbagai hal dalam kehidupan

bermasyarakat. Beberapa novel muncul dengan mengangkat tema-tema sosial

yang kerap menjadi polemik dalam masyarakat. Salah satu novel yang

mengangkat isu-isu sosial tersebut adalah novel Notre-Dame de Paris karya

Victor Hugo. Novel Notre-Dame de Paris merupakan sebuah novel sejarah yang

menggambarkan paradoks kekuasaan agama pada masa Abad Pertengahan, dalam

hal ini adalah kekuasaan gereja dan pemuka agama yang ada di dalamnya. Pada

umumnya, gereja adalah sebuah lembaga keagamaan yang dinilai sakral, suci,

terpercaya, dan jauh dari segala sesuatu yang bersifat negatif. Akan tetapi dalam

novel Notre-Dame de Paris, gereja dideskripsikan memiliki kekuasaan yang

cenderung bersifat semena-mena dan kerap menyalahgunakan kekuasaan kepada

pihak yang berada dalam kekuasaannya. Penyalahgunaan kekuasaan tersebut,

digambarkan pengarang dengan menggunakan teknik penceritaan dan gaya bahasa

yang unik. Teknik yang digunakan adalah teknik reflektif, yaitu suatu teknik

penggambaran cerita dengan mencerminkan kondisi sosial Abad Pertengahan

melalui sifat dan karakter tokoh dalam cerita. Untuk dapat memahami pesan yang

hendak disampaikan oleh pengarang, pembaca harus mengerti tentang teknik

reflektif tersebut.

Dalam mengungkapkan kritik mengenai kekuasaan agama pada Abad

Pertengahan, pengarang menggunakan sejumlah teknik dan gaya bahasa. Hal

tersebut juga digunakan pengarang sebagai cara untuk menyampaikan ide dan

7
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

pesan kepada pembaca. Teknik dan gaya bahasa yang digunakan pengarang dapat

mempermudah pembaca dalam memahami novel secara baik.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ditemukan dalam novel

Notre-Dame de Paris, dapat dirumuskan tiga masalah yang menjadi dasar

pembahasan penelitian ini.

1) Teknik yang digunakan pengarang dalam menyampaikan kritik beserta

fakta sosial dalam novel Notre-Dame de Paris.

2) Pengaruh penyimpangan kekuasaan agama yang terjadi pada Abad

Pertengahan dalam novel Notre-Dame de Paris.

3) Penggambaran kritik mengenai kekuasaan agama pada Abad

Pertengahan dalam novel Notre-Dame de Paris.

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Terdapat dua tujuan dalam penelitian ini, yaitu tujuan teoritis dan tujuan

praktis. Tujuan teoritis adalah tujuan yang berkaitan dengan pengembangan ilmu

pengetahuan yang bersangkutan dengan teori yang digunakan, sedangkan tujuan

praktis adalah tujuan yang berkaitan dengan maksud suatu analisis.

Tujuan teoritis penelitian ini adalah menyajikan kondisi masyarakat

beserta pengaruhnya saat rezim gereja berlangsung pada masa Abad Pertengahan

8
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dengan menerapkan teori sosiologi sastra Alan Swingewood, teori kekuasaan

Lord Acton, serta teori teokrasi St. Agustinus. Penelitian ini juga bertujuan untuk

mengembangkan penelitian-penelitian sebelumnya mengenai kritik yang

berhubungan dengan teori-teori kekuasaan dalam menganalisis karya sastra.

Tujuan praktis penelitian ini dimaksudkan untuk dapat menjadi salah satu

referensi yang dapat digunakan sebagai alternatif pengetahuan dalam meneliti

tentang kekuasaan. Hal tersebut disadari karena konsep mengenai kekuasaan

begitu luas dan beragam, sehingga teori-teori yang diterapkan dalam penelitian ini

dapat dijadikan sebagai tambahan khasanah pengetahuan.

1.5. Tinjauan Pustaka

Sebelum penelitian ini dilakukan, salah satu tahap yang harus dilalui ialah

melakukan tinjauan atau studi pustaka terhadap objek material penelitian yaitu

novel Notre-Dame de Paris serta objek formal penelitian, yaitu kekuasaan. Hal ini

dilakukan untuk menghindari plagiarisme dalam sebuah penelitian. Selain itu, hal

tersebut juga dimaksudkan untuk mengetahui topik-topik apa yang sudah pernah

diangkat dalam penelitian-penelitian sebelumnya.

Berdasarkan hasil pencarian dan pengamatan, penelitian dengan

menggunakan novel Notre-Dame de Paris sebagai objek material, sudah pernah

dilakukan oleh mahasiswa S1 di lingkungan UGM sebelumnya. Berikut beberapa

penelitian yang sudah pernah diteliti sebelumnya.

9
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Pada tahun 2010, Retno Dewanti melakukan penelitian dengan judul

Makna Simbolik Tindakan Kekerasan dalam Notre-Dame de Paris. Penelitian ini

memfokuskan pada bentuk-bentuk kekerasan yang diterima tokoh wanita dalam

novel tersebut yaitu Esmeralda. Kemudian pada tahun 2011, Olav Iban juga

melakukan penelitian terhadap novel ini dengan judul Aspek Arsitektur dan

Pengaruh Psikologis dalam Novel Notre-Dame de Paris Karya Victor Hugo

Analisis Psikologi Sastra. Pada penelitian ini, diungkapkan bagaimana suatu

bangunan dapat mempengaruhi kejiwaan orang yang tinggal di dalamnya dengan

melihat dari aspek psikologi arsitekturnya; kepribadian, arketipe, anatomi fisik,

dan karakter gender salah satu tokoh laki-laki yang bernama Quasimodo.

Selanjutnya di tahun 2012, Nurma Dwi Aprilia menulis sebuah skripsi yang

berjudul Resistensi dalam Novel Notre-Dame de Paris Karya Victor Hugo :

Tinjauan Feminisme. Penelitian ini membicarakan tentang bagaimana bentuk

ketidakadilan gender dapat menimbulkan sebuah perlawanan atau resistensi bagi

setiap manusia. Dari ketiga penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa

penelitian lebih membahas pada aspek-aspek tokoh beserta konflik yang ada pada

diri masing-masing tokoh.

Dari segi objek formal mengenai kekuasaan, penelitian yang

menggunakan objek formal ini juga sudah pernah dilakukan. Pada tahun 2011,

Ukhti Maryam Jamilah melakukan penelitian yang berjudul Simbolisasi dan

Kekuasaan Perempuan dalam Film 8 Femmes. Penelitian ini membicarakan

kekuasaan perempuan terhadap laki-laki dan kekuasaan perempuan terhadap

10
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

perempuan. Teori kekuasaan yang digunakan adalah teori kekuasaan dari Foucault

yang dipadukan dengan teori kekuasaan Hannah Arendt.

Pada tahun 2012, Faisal Amin Bukhori juga melakukan penelitian

mengenai kekuasaan yang berjudul Relasi Kekuasaan dalam Novel Les Trois

Mousquetaires Karya Alexandre Dumas. Digunakan teori Legitimate Power dari

French and Raven serta teori Social Dominance Orientation sebagai landasan

teorinya. Penelitian tersebut menjelaskan bagaimana relasi, bentuk-bentuk, serta

dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh tokoh kardinal dalam novel Les Trois

Mousquetaires.

Dari pengamatan hasil tinjauan pustaka yang telah dilakukan, dapat ditarik

kesimpulan bahwa penelitian terhadap novel Notre-Dame de Paris memang sudah

beberapa kali dilakukan. Hal ini tidak mengherankan mengingat novel Notre-

Dame de Paris merupakan novel klasik yang sangat populer dan memiliki cerita

yang sangat kompleks yang dapat banyak diteliti dan dikaji dengan berbagai

macam aspek pendekatan. Hal yang membedakan penelitian ini dengan

penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian ini lebih melihat hubungan

novel Notre-Dame de Paris dengan aspek kemasyarakatannya jika dilihat dengan

kaca mata sosiologi sastra.

11
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

1.6. Landasan Teori

Dalam sebuah penelitian, diperlukan adanya sebuah landasan kerja berupa

teori. Teori merupakan hasil perenungan yang mendalam, tersistem, dan

terstruktur terhadap gejala-gejala alam yang berfungsi sebagai pengarah terhadap

kegiatan penelitian. Teori berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan

bertujuan mencari jawaban secara ilmiah (Chamamah-Soeratno, 2011:65-67).

Untuk itu, penelitian ini akan menggunakan teori sosiologi sastra Alan

Swingewood, teori kekuasaan Lord Acton, serta teori Teokrasi St.Agustinus,

sebagai landasan dalam menganalisis permasalahan yang ada pada novel Notre-

Dame de Paris.

1.6.1. Teori Sosiologi Sastra Alan Swingewood

Adanya kehidupan sosial memicu lahirnya sebuah karya sastra, karena

sebuah karya sastra tidak begitu saja turun dari langit (Damono, 1984:1). Selalu

ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Sosiologi sastra melihat

bahwa sastra bersifat reflektif, yakni sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.

Seperti pendapat Glickberg, “all literature, however fantastic or mystical in

content, is animated by a profound social concern, and this is true of even the

most flagrant nihilistic work” (Glickberg, 1967:75). Pendapat tersebut

mengartikan bahwa seperti apa bentuk karya sastra baik fantastis maupun mistis,

tetap akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Dapat dikatakan karya

tersebut tetap menampilkan peristiwa atau kejadian yang ada di masyarakat.

12
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Penelitian sosiologi sastra meyakini bahwa sastra adalah ekspresi

kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya, sehingga sastra

merefleksikan lingkungan sosial budaya pengarang dengan situasi sosial yang

membentuknya, kemudian dikembangkanlah dalam karya sastra tersebut

(Endraswara, 2004:78). Itulah sebabnya penelitian sosiologi sastra banyak

mengasumsikan bahwa teks sastra dapat dikatakan menjadi sebuah pantulan

zaman, karena isi karya sastra tersebut terbentuk oleh situasi sosial suatu periode

tertentu, meskipun selalu ada aspek imajinasi dan manipulasi dalam sastra.

Konsep cermin dalam sosiologi sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan)

masyarakat, meskipun demikian sastra tetap diakui sebagai ilusi atau khayalan

dari kenyataan (Endraswara, 2004:78). Hall juga mengatakan bahwa “The

concept of literature a social referent is, however, perfectly viable since it takes

into account the writer’s active concern to understand hid society” (Hall,

1979:32). Bukan berarti sastra adalah jiplakan langsung dari kenyataan, namun

kenyataan itu direfleksikan dengan estetis, karena berdasarkan imajinasi, perasaan

dan intuisi.

Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature (1972), Alan

Swingewood juga mengatakan hal yang senada, bahwa karya sastra tidak dapat

lepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam teorinya,

Swingewood membagi tiga perspektif mengenai penelitian sosiologi sastra, yaitu

(1) “The most popular perspective adopts the documentary aspect of literatury,

arguin that is provides a mirror to the age” penelitian yang memandang karya

sastra sebagai dokumen sosial atau cermin zaman yang di dalamnya merupakan

13
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

refleksi situasi pada masa sastra itu diciptakan; (2) “The second approach to a

literary sociology moves aways from the emphasis to the social situation of the

writer” penelitian yang memandang sastra sebagai cermin situasi sosial penulis

atau pengarangnya; dan (3) “A third perspective, one demanding a high level of

skills, attempts to trace the ways in which a work of literature is actually received

by patricular society at a specific historical moment” penelitian yang memandang

sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan kedudukan sosial budaya.

Ketiganya dapat diaplikasikan sekaligus ataupun dipilih salah satunya dalam

meneliti sosiologi sastra (Swingewood, 1972:13-21).

Berdasarkan semua pandangan yang sudah dikemukan di atas, penelitian

ini akan menggunakan teori sosiologi sastra Alan Swingewood. Lebih khususnya,

penelitian ini akan mengaplikasikan pandangan Swingewood tentang penelitian

sosiologi sastra dengan perspektif yang ketiga, yaitu bahwa karya sastra memang

seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.

Pembahasan dalam penelitian akan difokuskan pada permasalahan

mengenai kekuasaan agama yang terjadi pada masa Abad Pertengahan di Prancis.

Cerita dalam novel tersebut banyak melukiskan bentuk-bentuk penyimpangan

kekuasaan agama yang terjadi ketika rezim gereja berkuasa pada masa Abad

Pertengahan. Agama dan rohaniawan dijadikan parodi sarkasme dalam

mendeskripsikan kesuciannya.

Pandangan Swingewood mengenai sastra terhadap kehidupan masyarakat,

diperkuat oleh pendapat K.M. Saini dalam bukunya Protes Sosial dalam Sastra.

14
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Ia mengungkapkan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan masyarakat, yaitu

sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Ketiganya terkait dengan fungsi

sastra bagi kehidupan sosial. Disebut sebagai pemekatan, karena sastra

menggambarkan kehidupan masyarakat. Akan tetapi tetap saja gambaran itu

bukan jiplakan kasar begitu saja, gambaran tersebut terkristalisasi ke dalam

imajinasi pengarang. Hal lainnya adalah penentangan, maksudnya adalah karya

sastra dimungkinkan untuk menentang kehidupan, misalnya pengarang tidak

setuju dengan kekuasaan di suatu rezim tertentu, alhasil muncullah karya yang

bertema demikian. Ini berarti bahwa karya sastra tersebut menjadi penentang

zaman dan aturan yang keliru. Lebih jauh lagi, karya sastra dibuat seakan-akan

mengolok-olok atau mengejek kehidupan. Dalam hal ini, pengarang sangat mahir

memainkan ironi, paradoks, parodi ke dalam karya sastranya. Untuk itu, karya

sastra seperti ini tanggap terhadap perkembangan situasi yang menindas (Saini

KM, 1986 : 14-15).

1.6.2. Teori Kekuasaan Lord Acton

Berbicara mengenai kekuasaan memang selalu tidak ada habisnya.

Dewasa ini, kekuasaan telah menjadi suatu istilah yang sangat populer dan kerap

dijadikan topik dalam berbagai isu-isu politik dan sosial. Konsep mengenai

kekuasaan dapat dilihat dalam berbagai macam perspektif, karena memang

kekuasaan memiliki arti yang sangat luas dan beragam. Akan tetapi, secara umum

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kuasa adalah kemampuan atau

15
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

kesanggupan untuk berbuat sesuatu, wewenang atas segala sesuatu untuk

menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu (Alwi, 2001:604).

Power atau kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok

manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain

sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan

tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan. Manusia mempunyai bermacam-

macam keinginan dan tujuan yang ingin sekali dicapainya. Untuk itu ia sering

merasa perlu untuk memaksakan kemampuannya atas orang atau kelompok lain

(Budiardjo, 2006:35). Dengan demikian, ketika proses kekuasaan sedang

berlangsung, ketika itu pula terjadi proses menguasai dan dikuasai. Artinya, ada

yang melaksanakan kuasa (penguasa) dan ada yang dikuasai atau menjadi objek

penguasa. Hubungan antara penguasa dan yang dikuasai ini secara otomatis akan

menimbulkan terjadinya perampasan kebebasan individu.

Dilihat dari asalnya, sumber kekuasaan dapat berasal dari berbagai macam

faktor. Kekuasaan dapat bersumber dari kekerasan fisik, kedudukan, kekayaan,

dan yang terakhir bersumber dari kepercayaan, contohnya seorang pendeta

terhadap umatnya (Budiardjo, 2006 : 36).

Banyak sekali tokoh penggagas mengenai konsep-konsep dan teori-teori

kekuasaan yang dapat ditemukan dalam ilmu sosial. Salah satu tokoh yang

berperan aktif dalam memberikan sumbangsih pemikiran mengenai kekuasaan

adalah Lord Acton. Bernama asli John Emerich Edward Dalberg-Acton, ia adalah

16
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

seorang moralis, penulis, politikus, sekaligus sejarawan Inggris yang banyak

mengulas mengenai kekuasaan, politik, dan pemerintahan (Dod, 1860:83).

Konsep kekuasaan versi Lord Acton lebih menekankan pada bagaimana

pengaruh dan akibat kekuasaan seseorang yang memiliki kuasa tidak terbatas. Hal

tersebut tercantum jelas melalui pernyataannya yang sangat terkenal, “Power

tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost

always bad men” (Figgis and Laurence, 1907:504). Manusia yang memiliki

kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan dan manusia yang

mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.

Hampir semua orang-orang besar adalah orang-orang yang jahat.

Pandangan Acton mengenai kekuasaan tersebut memiliki arti yang sangat

dalam. Ia mengisyaratkan bahwa sebuah kekuasaan dapat menjadi bumerang jika

tidak digunakan dengan semestinya. Seseorang yang sudah terlanjur merasa

nyaman dengan kekuasaan yang ia miliki, akan cenderung menyimpang dan

menyalahgunakannya. Terlebih lagi orang yang memiliki kekuasaan mutlak dan

tidak terbatas, pasti akan berkuasa di atas kepentingannya sendiri. Orang-orang

besar yang berkedudukan tinggi, biasanya adalah orang-orang jahat yang

bersembunyi dibalik kuasanya.

Ketika seorang penguasa memiliki jabatan dan wewenang yang tinggi, ia

akan merasa bahwa dirinya adalah seorang ‘Dewa’ yang dapat berkuasa dan

mengutus apapun dan siapapun untuk melaksanakan kemauannya. Hal tersebut

senada dengan kutipan berikut.

17
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

“Kekuasaan memang sesuatu yang sangat ajaib. Seseorang yang sedang


menggenggam kekuasaan, biasanya menjadi tokoh yang disegani,
dihormati, ditakuti, dan tidak jarang juga dibenci dan dicaci. Namun
selama kekuasaan itu masih melekat kuat pada diri seseorang, orang
tersebut punya kedigdayaan untuk berbuat banyak hal. Ia dapat memaksa
orang lain untuk menyatakan ketundukan dan kadang-kadang kepasrahan”
(Rais, 1999:35-36 ).

Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa seseorang yang memiliki

kekuasaan, cenderung dipatuhi dan ada kalanya memaksakan kekuasannya kepada

pihak yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pula dalam novel Notre-Dame

de Paris, para penguasa gereja bertindak semena-mena dan menyalahgunakan

kekuasaan yang dimilikinya.

1.6.3. Teori Teokrasi St.Agustinus

Pada tahun 410 M, Imperium Romawi jatuh ke tangan bangsa Barbar

Visigoth dan Alarik (Suhelmi, 2001:74). Bangsa Romawi yang begitu adidaya

dan termahsyur akhirnya mengalami keruntuhan. Membayangkan keruntuhan

Romawi pada saat itu seperti menganalogikan kejatuhan negara adidaya Amerika

pada zaman sekarang. Keruntuhan peradaban bangsa Romawi tentu meruntuhkan

pula ketatanegaraannya. Keadaan ini dimanfaatkan oleh agama Katolik untuk

menyebarkan dan mengembangkan ajarannya di Eropa. Segala pemikiran tentang

negara dan hukum seketika digantikan dengan ajaran yang selalu ditinjau dari segi

agama dan ketuhanan. Semakin kuatnya ajaran tersebut, timbullah susunan

organisasi gereja yang berhubungan dengan urusan keduniawian. Gereja sebagai

18
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

wadah institusi, dikepalai oleh Paus yang dianggap sebagai wakil Tuhan untuk

memerintah di dunia (Soehino, 2005: 44).

Menurut pandangan teokratis yang berkembang pesat pada masa Abad

Pertengahan menyatakan bahwa, asal atau sumber kekuasaan adalah dari Tuhan

(Soehino, 2005: 149-150). Segala sesuatu yang ada di dunia, termasuk negara ada

atas kehendak Tuhan. Segala-galanya harus tunduk terhadap perintah Tuhan, jika

terdapat perintah-perintah Tuhan yang kurang jelas, yang boleh menafsirkan

hanyalah pemimpin-pemimpin gereja, khususnya Paus ( Huda, 2010 : 88 ).

Selanjutnya, ajaran ini diteruskan dan dikembangkan oleh para Bapa

Gereja. Mereka merumuskan doktrin-doktrin politik yang kemudian menjadi pilar

intelektual dan teologis Abad Pertengahan. Salah satu doktrinnya menyebutkan

bahwa posisi negara berada di bawah Gereja. Gereja dinilai lebih sakral dan

memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki oleh negara. Gereja diperkenankan

mengintervensi negara, tetapi tidak sebaliknya, negara tidak diizinkan

mencampuri urusan gereja. Dengan status dan posisi yang seperti ini, keabsahan

kekuasaan negara tergantung dari ‘restu’ gereja (Suhelmi, 2001:69).

Salah satu pemikir politik agama ini adalah Santo Agustinus. Seorang

Bapa Gereja yang hidup pada tahun 354 - 430 M. Melalui pandangan-

pandangannya, ia menulis sebuah buku yang berjudul De Civita te Dei yang berisi

tentang Negara Tuhan. Menurut Agustinus, kedudukan gereja yang dipimpin oleh

seorang Paus lebih tinggi dibanding kedudukan negara yang dipimpin oleh Raja.

Negara yang ada di dunia hanya merupakan suatu organisasi yang mempunyai

19
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

tugas untuk memusnahkan perintang-perintang agama dan musuh-musuh gereja

(Soehino, 2005 : 51-52).

Pada Abad Pertengahan terdapat dua organisasi kekuasaan, yaitu negara

yang diperintah oleh raja, dan gereja yang dikepalai oleh Paus. Pada waktu itu

Gereja memiliki perangkat dan perlengkapan yang sama seperti yang dimiliki oleh

negara, seperti badan perundang-undangan, pengadilan, keuangan, dan

sebagainya. Keduanya, baik perangkat negara maupun gereja, memiliki sifat yang

mengikat dan jika tidak ditaati akan diberikan sanksi-sanksi tertentu. Mulai saat

itu, kekuasaan gereja beserta para pemimpin-pemimpinnya semakin lama menjadi

semakin absolut. Mulanya gereja dan Paus hanya mengurusi urusan keagamaan

saja, namun lama-kelamaan gereja mulai ikut mengatur urusan keduniawian.

1.7. Ruang Lingkup Penelitian

Target penelitian ini adalah mengungkapkan kekuasaan agama pada Abad

Pertengahan Prancis dengan menerapkan teori kekuasaan Lord Acton serta teori

teokrasi St. Agustinus melalui pendekatan sosiologi sastra. Penelitian novel

Notre-Dame de Paris hanya berfokus pada permasalahan kekuasaan agama

beserta akibatnya yang terjadi pada masa Abad Pertengahan. Pengumpulan data-

data tersebut dilakukan dengan cara mengutip permasalahan yang berhubungan

dengan tema penelitian. Pembatasan analisis dilakukan agar penelitian fokus

terhadap satu permasalahan dan tidak melebar ke aspek lain. Selain itu,

pembatasan terhadap ruang lingkup penelitian juga dapat dimanfaatkan oleh

20
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

peneliti lain yang ingin meneliti novel Notre-Dame de Paris dari aspek yang

berbeda.

1.8. Metode dan Analisis Data

Dalam melakukan penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah

metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang sifatnya alamiah dan

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang,

perilaku, atau data-data lainnya yang dapat diamati oleh peneliti (Sangidu,

2007:7). Untuk itu, penelitian ini akan diteliti secara sistematis sesuai dengan

langkah-langkahnya.

1. Menentukan novel yang diteliti yaitu novel Notre-Dame de Paris karya

Victor Hugo, yang kemudian digunakan sebagai objek material data

primer.

2. Melakukan proses pembacaan secara mendalam dan kritis untuk

menemukan permasalahan yang akan diteliti.

3. Menentukan kekuasaan agama sebagai topik permasalahan sekaligus objek

formal penelitian.

4. Mencari teori-teori yang dapat diterapkan dalam permasalahan yang telah

ditemukan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

Sosiologi Sastra dari Alan Swingewood, teori Kekuasaan dari Lord Acton

dan teori Teokrasi dari St. Agustinus.

21
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5. Melakukan pembahasan dengan menganalisis penelitian yang dilakukan

dengan tahapan berikut :

a) Mencatat data-data yang ditemukan dalam permasalahan dengan

cara mengutip.

b) Menerjemahkan kutipan-kutipan data dengan menggunakan alat

bantu seperti kamus serta alat pendukung lainnya, karena objek

material dari penelitian ini menggunakan bahasa Prancis.

Penerjemahan data dilakukan secara dinamis. Metode terjemah

dinamis adalah metode terjemah yang berusaha menyampaikan isi

amanat dalam bahasa sumber dengan ungkapan-ungkapan yang

lazim digunakan dalam bahasa terjemahan atau bahasa sasaran

(Basalamah, 1996:2).

c) Melakukan kategorisasi dengan melakukan klasifikasi

permasalahan guna mempermudah proses analisis.

d) Melakukan studi literatur mengenai topik kekuasaan yang diteliti.

Studi literatur ini dilakukan dengan mempelajari topik-topik yang

ditemukan dalam permasalahan dengan menggunakan alat bantu

seperti buku-buku teori, ensiklopedia, internet, dan sebagainya.

6. Menarik kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan dalam penelitian.

1.9. Sistematika Penyajian

Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari (1) latar belakang, (2)

permasalahan, (3) rumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (5) tinjauan pustaka,

22
KEKUASAAN AGAMA PADA MASA ABAD KEGELAPAN DI PRANCIS DALAM NOVEL NOTRE-DAME
DE PARIS
KARYA VICTOR HUGO (ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
AYU ANINDITA DWI LESTARI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

(6) landasan teori, (7) ruang lingkup penelitian, (8) metode pengumpulan dan

analisis data, dan (9) sistematika penyajian.

Bab II merupakan pembahasan yang disajikan dalam tiga subbab, yaitu (1)

teknik penceritaan reflektif dan kontradiktif novel Notre-Dame de Paris, (2)

pengaruh penyimpangan kekuasaan agama dalam novel Notre-Dame de Paris, (3)

kritik kekuasaan dalam novel Notre-Dame de Paris.

Bab III berisi kesimpulan yang disertakan pula résume, daftar pustaka dan

lampiran.

23

Anda mungkin juga menyukai