Mycobacterium Lepra
Mycobacterium Lepra
1.1. Morfologi
a. Bentuk utuh (solid): dinding sel bakteri tidak terputus, mengambil zat warna
secara sempurna. Jika terdapat daerah kosong/transparan ditengahnya juga dapat
dikatakan solid.
b. Bentuk globus: adalah bentuk solid yang membentuk kelompok, dapat dibagi 2,
yaitu :
1.1.1. Pengecatan
1.2. PATOGENITAS
Predileksi Mycobacterium leprae di daerah yang relatif dingin. Patogenitas dan daya
invasifnya rendah, sebab penderita yang mengandung kuman jauh lebih banyak
belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh
respons imun yang berbeda yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat
atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif sehingga disebut sebagai
penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selulernya daripada intensitas infeksinya. Bagan patogenesis penyakit kusta:
Penderita yang terkena kontak dengan Mycobacterium leprae akan timbul infeksi
subklinik dan sembuh secara alamiah tanpa menunjukkan gejala atau tanda klinik.
Hal ini dapat ditunjukkan dengan tes imunologik yang merupakan respons normal
terhadap kontak seseorang dengan M. leprae sebagai tanda timbulnya imunitas.
Setelah M.leprae masuk tubuh, bergantung pada kerentanan orang tersebut, kalau
tidak rentan tidak akan sakit dan jika rentan setelah masa tunasnya dilampaui akan
timbul gejala penyakit. Tipe yang terjadi bergantung pada derajat CMI (Cell
Mediated Immunity) penderita terhadap M.leprae. Kalau CMI tinggi, ke arah
tuberkuloid dan kalau rendah kearah lepromatosa. (Aprizal. 2012)
Perjalanan alamiah penyakit kusta yang tidak diobati dapat dilihat pada diagram
berikut:
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan tambahan yaitu lesi yang diawali
dengan bercak putih bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian
membesar dan meluas. Bila saraf terkena, penderita mengeluh kesemutan/baal atau
sukar menggerakkan anggota badan, yang berlanjut dengan kekakuan sendi. Rambut
alispun rontok. (Amirudin, 2003)
Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah karena
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang
menggugah reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri
atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab
imunologik. Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.
(Depkes. RI. 2000).
Onsetlepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan mata.
Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, ginjal,
otot-otot halus, sistem retikulo- endotel dan endotelium pembuluh darah.
Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki
patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan
tanda-tanda penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah
memasuki tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel
Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel
endotelpembuluh darah. (Aprizal. 2012)
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan
(sekitar 12-14 hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat
dibebaskan dari sel-sel hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil
berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh
sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang jaringan
terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan
saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila tidak
didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh
kekuatan respon imun pasien. (Amirudin, 2003)
Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra. Ketika
SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang
secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS
rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe
Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun tiba-tiba berubah baik setelah
pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan peradangan kulit dan
atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2). ( Ginting, E. M.
2006)
ᄃ
M. leprae
Erythema nodusum leprosum hanya terjadi pada penderita tipe MB, terutama timbul
pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada tipe BL, serta pada ENL tidak terjadi
perubahan tipe, berarti bahwa semakin tinggi tingkat multibasilarnya semakin besar
kemungkinan timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun
humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae,
antibodi (IgM, IgG) dan komplemen, maka ENL termasuk didalam golongan penyakit
kompleks imun, karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik maka antibodi
dapat terbentuk. Kadar imunoglobulin penderita lepra lepromatosa lebih tinggi daripada
tipe tuberculoid. Hal ini terjadi oleh karena tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih
banyak daripada tipe tuberculoid. ENL lebih sering terjadi pada masa pengobatan. Hal
ini dapat terjadi karena banyak kuman lepra yang mati dan hancur, berarti banyak
antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem
komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya
dapat melibatkan berbagai organ. ( Ginting, E. M. 2006)
Tabel Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2.
No Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
1 Keadaan umum Umumnya baik, Ringan sampai
demam ringan berat disertai
(sub febris) atau kelemahan umum
tanpa demam dan demam tinggi
2 Peradangan di kulit Bercak kulit lama Timbul nodul
menjadi lebih kemerahan, lunak
meradang dan nyeri tekan.
(merah), dapat Biasanya pada
timbul bercak lengan dan
baru tungkai. Nodul
dapat pecah
(ulserasi)
3 Saraf Sering terjadi, Dapat terjadi
umumnya berupa
nyeri tekan saraf
dan atau
gangguan fungsi
saraf
4 Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada
organ lain mata, kelenjar
getah bening,
sendi, ginjal,
testis, dll
5 Waktu timbul Biasanya segera Biasanya saat
setelah pengobatan
pengobatan
6 Tipe lepra Dapat terjadi pada Hanya pada lepra
lepra tipe PB tipe MB
maupun MB
Tabel Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi lepra tipe 1 dan tipe 2
No Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
Ringan Berat Ringan Berat
1 Kulit Bercak: Bercak: Nodul: Nodul:
merah, merah, merah, merah, panas,
tebal, tebal, panas, nyeri yang
panas, panas, nyeri nyeri bertambah
nyeri* yang parah sampai
bertambah pecah
parah
sampai
pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri Nyeri pada
perabaan: perabaan: pada perabaan: (+)
(-) (+) perabaan:
(-)
Gangguan Gangguan Gangguan Gangguan
fungsi: (-) fungsi: (+) fungsi: (-) fungsi: (+)
3 Keadaan Demam: (-) Demam: ± Demam: Demam: (+)
umum ±
4 Gangguan - - - Terjadi
pada organ perdanngan
lain pada:
Mata:
Iridocyclitis
Testis:
epididimoorc
hitis
Ginjal:
nephritis
Kelenjar
limfe:
limfadenitis
Gangguan
pada tulang,
hidung dan
tenggorokan
*) Apabila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf dikategorikan sebagai reaksi berat.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, MD., Hakim, Z., Darwis, E., (2003), Kusta ; Diagnosis Penyakit Kusta,
2 ed., Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Pp. 12-31.
Aprizal. (2012) Analisis spasial dan faktor-faktor risiko kejadian kusta di Kabupaten
Lamongan Propinsi Jawa Timur. Thesis, Universitas Gadjah Mada.
Bakker, M. I., Hatta, M., Kwenang, A., Faber, W. R., Van Beers, S. M., Klatser, P. R. &
Oskam, L. (2004) Population survey to determine risk factors for Mycobacterium leprae
transmission and infection. International Journal of Epidemiology, 33(6): 1329-1336.
Bakker, M. I., Hatta, M., Kwenang, A., Klatser, P. R. & Oskam, L. (2002) Epidemiology of
leprosy on five isolated islands in the Flores Sea, Indonesia. Tropical Medicine &
International Health, 7(9): 780-787.
Haryadi, Soebono, H (2011) Hubungan Status Vaksinasi BCG dengan Kejadian Kusta di
Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Tesis, Universitas Gadjah Mada.
Kosasih A, Made Wisnu I, Emmy S.J, Linuwih S. M, Kusta, dalam : Juanda, Adhi, Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, edisi IV, FKUI, Jakarta,2005;73-88.