Anda di halaman 1dari 11

MORFOLOGI DAN PATOGENITAS BAKTERI PENYEBAB INFEKSI KULIT

Mycobacterium Lepra

NAMA MAHASISWA : LESTYANI


NIM : AK816035
SEMESTER : IV
KELAS : IV A
MATA KULIAH :BAKTERIOLOGI III
PROGRAM STUDI :ANALIS KESEHATAN
DOSEN :PUTRI KARTIKA SARI, M.Si
MORFOLOGI DAN PATOGENITAS BAKTERI PENYEBAB INFEKSI KULIT

Mycobacterium Lepra

1.1. Morfologi

Mycobacterium leprae juga disebut Basillus Hansen, adalah bakteri yang


menyebabkan penyakit kusta (penyakit Hansen). Bakteri ini merupakan bakteri
intraselular. M. leprae merupakan gram-positif berbentuk tongkat. Mycobacterium
leprae merupakan pathogen intrasel obligat sehingga belum dapat dibiakkan invitro
(media tak hidup). Bakteri sering ditemukan pada sel endothelial pembuluh darah
atau sel mononuclear (makrofag) sebagai lingkungan yang baik untuk bertahan hidup
dan perkembangbiakan. Perkiraan waktu bagi bakteri ini bereplikasi adalah 10-12
hari . (Amirudin, 2003)
Basil lepra ini tahan terhadap degradasi intraseluler oleh makrofag, mungkin karena
kemampuannya keluar dari fagosom ke sitoplasma makrofag dan berakumulasi
hingga mencapai 1010 basil/gram jaringan pada kasus lepratype lepromatus.
Kerusakan syaraf perifer yang terjadi merupakan sebuah respon dari system imun
Karena adanya basil ini sebagai antigen. Pada lepra type tuberkuloid, terjadi
granuloma yang sembuh dengan sendirinya bersifar berisi sedikit basil tahan asam .
Bakteri Mycobacterium leprae berbentuk batang, langsing atau sedikit membengkok
dengan kedua ujung bakteri tumpul, tidak bergerak, tidak memiliki spora dan tidak
berselubung. Sel-sel panjang, ada kecenderungan untuk bercabang. Berukuran 1-7 x
0,2-0,5µm, bersifat gram positif, tahan asam, letak susunan bakteri tunggal atau
sering bergerombol serupa tumpukan cerutu sehingga sering disebut packed of
cigarette, atau merupakan kelompok padat sehingga tidak dapat dibedakan antara
bakteri yang satu dengan yang lainnya, kadang-kadang terdapat granulaBentuk-
bentuk M. leprae yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan mikroskopis adalah :

a. Bentuk utuh (solid): dinding sel bakteri tidak terputus, mengambil zat warna
secara sempurna. Jika terdapat daerah kosong/transparan ditengahnya juga dapat
dikatakan solid.

b. Bentuk globus: adalah bentuk solid yang membentuk kelompok, dapat dibagi 2,
yaitu :

1) Globus besar terdiri dari 200-300 bakteri

2) Globus kecil terdiri dari 40-60 bakteri

c. Bentuk pecah (fragmented): dinding bakteri biasanya terputus sebagian atau


seluruhnya, tidak menyerap zat warna secara merata.

d. Bentuk berbutir-butir (granuler): tampak seperti titik-titik yang tersusun


e. Bentuk clump adalah bentuk granuler yang membentuk kelompok tersendiri,
biasanya llebih dari 500 bakteri. (Haryadi, 2011)

1.1.1. Pengecatan

Pewarnaan bakteri Mycobacterium lepra menggunakan pengecatan Ziehl-


neelsen. Sampel yang diperoleh diapus ke kaca obyek. Dikeringkan Kemudian
difiksasi melewati nyala api sebanyak 3 kali. Kaca obyek yang telah difiksasi
diletakkan di atas rak pewarnaan. Pertama-tama, karbol fuchsin diteteskan
hingga menutupi apusan. Pada kondisi tersebut, api dilewatkan berkali-kali di
bawah kaca obyek hingga keluar uap. Pemanasan dihentikan pada saat uap
tersebut keluar dan didiamkan selama 5 menit. Apusan kemudian dicuci dengan
air mengalir dan kelebihan air dibuang dengan cara memiringkan kaca obyek.
Selanjutnya, larutan asam alkohol 3% diteteskan hingga warna menjadi pucat
dan kemudian dicuci dengan air mengalir. Setelah itu dilakukan pewarnaan
dengan methylene bluem dan dibiarkan selama 10 – 20 detik, dicuci dengan air
dan dibiarkan kering di udara (Aprizal. 2012)

Mycobacterium Leprae berbentuk basil atau batang dengan ukuran 3-8 µm x


0,5 µm merupakan bakteri tahan asam dan alkohol dan merupakan gram
positif. Bakteri ini tidak terlalu mudah menular dan memiliki waktu inkubasi
yang lama. DNA Plasmid Mycobacterium Leprae dapat menginfeksi sel syaraf
manusia. Plasmid ini dapat hidup terpisah dari kromosom bakteri dan tubuh
bakteri itu sendiri ketika meng’invasi’ sel tubuh manusia. Kurang dari 5 persen
orang yang terinfeksi Mycobacterium Leprae terkena penyakit kusta. Hal ini
disebabkan oleh faktor imun respon pada masing-masing individu. ( Graham, R.
2005)

1.1.2. Koloni dan Sifat Pertumbuhan

Micobakterium leprae adalah bakteri aerob obligat. Energi didapat dari


oksidasi senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang
pertumbuhan. Aktivitas biokimianya tidak khas, dan laju pertumbuhannya lebih
lambat dari bakteri lain. Waktu pembelahan adalah sekitar 18 jam. Suhu
pertumbuhan optimum 37º C. Koloni cembung, kering dan kuning gading.
(Kosasih. Dkk, 2005)

1.1.3. Struktur Sel

Penelitian dengan mikroskop electron tampak bahwa Mycobacterium lepra


mempunyai dinding yang terdiri atas 2 lapisan, yakni lapisan padat, terdapat
pada bagian dalam yang terdiri atas peptidoglikan dan lapisan transparan pada
bagian luar yang terdiri atas lipopolisakarida dan kompleks protein-
lipopolisakarida. Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan yang
diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 20 nm. (Aprizal. 2012)

1.2. PATOGENITAS

Predileksi Mycobacterium leprae di daerah yang relatif dingin. Patogenitas dan daya
invasifnya rendah, sebab penderita yang mengandung kuman jauh lebih banyak
belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh
respons imun yang berbeda yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat
atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif sehingga disebut sebagai
penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selulernya daripada intensitas infeksinya. Bagan patogenesis penyakit kusta:

Penderita yang terkena kontak dengan Mycobacterium leprae akan timbul infeksi
subklinik dan sembuh secara alamiah tanpa menunjukkan gejala atau tanda klinik.
Hal ini dapat ditunjukkan dengan tes imunologik yang merupakan respons normal
terhadap kontak seseorang dengan M. leprae sebagai tanda timbulnya imunitas.
Setelah M.leprae masuk tubuh, bergantung pada kerentanan orang tersebut, kalau
tidak rentan tidak akan sakit dan jika rentan setelah masa tunasnya dilampaui akan
timbul gejala penyakit. Tipe yang terjadi bergantung pada derajat CMI (Cell
Mediated Immunity) penderita terhadap M.leprae. Kalau CMI tinggi, ke arah
tuberkuloid dan kalau rendah kearah lepromatosa. (Aprizal. 2012)
Perjalanan alamiah penyakit kusta yang tidak diobati dapat dilihat pada diagram
berikut:

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan tambahan yaitu lesi yang diawali
dengan bercak putih bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian
membesar dan meluas. Bila saraf terkena, penderita mengeluh kesemutan/baal atau
sukar menggerakkan anggota badan, yang berlanjut dengan kekakuan sendi. Rambut
alispun rontok. (Amirudin, 2003)
Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah karena
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang
menggugah reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri
atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab
imunologik. Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.
(Depkes. RI. 2000).
Onsetlepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan mata.
Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, ginjal,
otot-otot halus, sistem retikulo- endotel dan endotelium pembuluh darah.
Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki
patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan
tanda-tanda penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah
memasuki tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel
Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel
endotelpembuluh darah. (Aprizal. 2012)

Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan
(sekitar 12-14 hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat
dibebaskan dari sel-sel hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil
berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh
sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang jaringan
terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan
saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila tidak
didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh
kekuatan respon imun pasien. (Amirudin, 2003)
Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra. Ketika
SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang
secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS
rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe
Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun tiba-tiba berubah baik setelah
pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan peradangan kulit dan
atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2). ( Ginting, E. M.
2006)


M. leprae

Masuk melalui saluran pernapasan

Sel Schwann di daerah yang dingin (nervus


cutaneus dan batang saraf perifer anggota tubuh
dan wajah) basil berkembang di sel Schwann

Respon SIS baik Respon SIS lemah

1. Tidak ada lesi kulit 1. Lepra tipe MB


atau saraf yang 2. Mengenai kulit dan
muncul atau saraf, mata, testis,
2. Lesi kulit atau saraf ginjal , otot halus atau
muncul diikuti oleh volunter, sistem
penyembuhan retikulo endotelial dan
spontan atau endotelium vaskular
3. Lepra tipe PB ikut terlibat
.

1.3. Reaksi Lepra


Reaksi lepra adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
kronik disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang menyerang kuman M. leprae.
Penderia lepra dapat mengalami reaksi hampir setiap saat yaitu sebelum pengobatan,
saat diagnosis ditegakkan, selama pengobatan maupun setelah pengobatan selesai.
Sebagian besar reaksi terjadi dalam satu tahun setelah diagnosis. Pada penderita tipe
MB, reaksi dapat timbul setiap saat selama pengobatan bahkan sampai dengan beberapa
tahun setelah pengobatan. (Depkes. RI. 2000).

Berikut ini adalah tanda-tanda terjadinya reaksi lepra:


1. Pada kulit: peradangan bercak kulit
2. Pada saraf: rasa sakit atau nyeri tekan pada saraf, timbul kehilangan rasa raba baru
dan timbul kelemahan otot baru
3. Pada mata: rasa sakit atau kemerahan pada mata, timbul penurunan daya
penglihatan yang baru, timbul kelemahan otot- otot penutup mata yang baru

Reaksi lepra dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu:

1. Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi reversal.


Reaksi tipe 1 ini disebabkan peningkatan aktivitas sistem kekebalan tubuh dalam
melawan basil lepra atau bahkan sisa basil yang mati. Peningkatan aktivitas ini
menyebabkan terjadi peradangan setiap terdapat basil lepra pada tubuh, terutama
kulit dan saraf. Penderita lepra dengan tipe MB maupun PB dapat mengalami reaksi
tipe 1. Sekitar seperempat dari seluruh penderita lepra kemungkinan akan
mengalami reaksi tipe 1. (Bakker, dkk. 2004)
Reaksi tipe 1 paling sering terjadi dalam enam bulan setelah mulai minum obat.
Beberapa penderita mengalami reaksi tipe 1 sebelum mulai berobat dimana belum
terdiagnosis. Reaksi merupakan tanda penyakit yang sering muncul pertama yang
menyebabkan penderita datang untuk berobat. Sebagian kecil penderita mengalami
reaksi lebih lambat, baik selama masa pengobatan maupun sesudahnya. (Bakker,
dkk. 2004)
2. Reaksi tipe 2 disebut juga reaksi Erythema Nodusum Leprosum (ENL).
Reaksi tipe 2 ini terjadi apabila basil leprae dalam jumlah besar terbunuh dan
secara bertahap dipecah. Protein dari basil yang mati mencetuskan reaksi alergi.
Reaksi tipe 2 akan mengenai seluruh tubuh dan menyebabkan gejala
sistemikkarena protein ini terdapat dialiran pembuluh darah. (Kresno. 2001)

Erythema nodusum leprosum hanya terjadi pada penderita tipe MB, terutama timbul
pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada tipe BL, serta pada ENL tidak terjadi
perubahan tipe, berarti bahwa semakin tinggi tingkat multibasilarnya semakin besar
kemungkinan timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun
humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae,
antibodi (IgM, IgG) dan komplemen, maka ENL termasuk didalam golongan penyakit
kompleks imun, karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik maka antibodi
dapat terbentuk. Kadar imunoglobulin penderita lepra lepromatosa lebih tinggi daripada
tipe tuberculoid. Hal ini terjadi oleh karena tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih
banyak daripada tipe tuberculoid. ENL lebih sering terjadi pada masa pengobatan. Hal
ini dapat terjadi karena banyak kuman lepra yang mati dan hancur, berarti banyak
antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem
komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya
dapat melibatkan berbagai organ. ( Ginting, E. M. 2006)
Tabel Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2.
No Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
1 Keadaan umum Umumnya baik, Ringan sampai
demam ringan berat disertai
(sub febris) atau kelemahan umum
tanpa demam dan demam tinggi
2 Peradangan di kulit Bercak kulit lama Timbul nodul
menjadi lebih kemerahan, lunak
meradang dan nyeri tekan.
(merah), dapat Biasanya pada
timbul bercak lengan dan
baru tungkai. Nodul
dapat pecah
(ulserasi)
3 Saraf Sering terjadi, Dapat terjadi
umumnya berupa
nyeri tekan saraf
dan atau
gangguan fungsi
saraf
4 Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada
organ lain mata, kelenjar
getah bening,
sendi, ginjal,
testis, dll
5 Waktu timbul Biasanya segera Biasanya saat
setelah pengobatan
pengobatan
6 Tipe lepra Dapat terjadi pada Hanya pada lepra
lepra tipe PB tipe MB
maupun MB
Tabel Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi lepra tipe 1 dan tipe 2
No Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
Ringan Berat Ringan Berat
1 Kulit Bercak: Bercak: Nodul: Nodul:
merah, merah, merah, merah, panas,
tebal, tebal, panas, nyeri yang
panas, panas, nyeri nyeri bertambah
nyeri* yang parah sampai
bertambah pecah
parah
sampai
pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri Nyeri pada
perabaan: perabaan: pada perabaan: (+)
(-) (+) perabaan:
(-)
Gangguan Gangguan Gangguan Gangguan
fungsi: (-) fungsi: (+) fungsi: (-) fungsi: (+)
3 Keadaan Demam: (-) Demam: ± Demam: Demam: (+)
umum ±
4 Gangguan - - - Terjadi
pada organ perdanngan
lain pada:
Mata:
Iridocyclitis
Testis:
epididimoorc
hitis
Ginjal:
nephritis
Kelenjar
limfe:
limfadenitis
Gangguan
pada tulang,
hidung dan
tenggorokan

*) Apabila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf dikategorikan sebagai reaksi berat.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, MD., Hakim, Z., Darwis, E., (2003), Kusta ; Diagnosis Penyakit Kusta,

2 ed., Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Pp. 12-31.

Aprizal. (2012) Analisis spasial dan faktor-faktor risiko kejadian kusta di Kabupaten
Lamongan Propinsi Jawa Timur. Thesis, Universitas Gadjah Mada.

Bakker, M. I., Hatta, M., Kwenang, A., Faber, W. R., Van Beers, S. M., Klatser, P. R. &
Oskam, L. (2004) Population survey to determine risk factors for Mycobacterium leprae
transmission and infection. International Journal of Epidemiology, 33(6): 1329-1336.

Bakker, M. I., Hatta, M., Kwenang, A., Klatser, P. R. & Oskam, L. (2002) Epidemiology of
leprosy on five isolated islands in the Flores Sea, Indonesia. Tropical Medicine &
International Health, 7(9): 780-787.

Depkes. RI. (2000). Evaluasi Kemajuan Program Eliminasi Kusta. Jakarta

Ginting, E. M. (2006) Analisis spasial penyakit kusta berbasis lingkungan di Kabupaten


Gresik tahun 2004-2005. Tesis, Universitas Gadjah Mada.

Graham, R. (2005) Dermatologi, Edisi 8 Penerbit Erlangga. Jakarta

Haryadi, Soebono, H (2011) Hubungan Status Vaksinasi BCG dengan Kejadian Kusta di
Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Tesis, Universitas Gadjah Mada.

Kosasih A, Made Wisnu I, Emmy S.J, Linuwih S. M, Kusta, dalam : Juanda, Adhi, Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, edisi IV, FKUI, Jakarta,2005;73-88.

Kresno S.B. (2001). Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai