Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN MODERAT COLANGITIS

1. DEFINISI

 Kolangitis (radang saluran empedu) adanya radang pada saluran empedu


 Kolangitis adalah peradangan akut pada dinding saluran empedu hampir selalu
disebabkan infeksi bakteri pada lumen steril
 Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang
tersumbat baik secara parsial atau total
 Kolangitis akut merupakan infeksi bakterial yang terjadi pada obstruksi saluran
billier terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu
 Tingkat keparahan kolangitis akut dapat diklaasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu
kelas 1 (mild,ringan), kelas 2 (moderate,sedang), kelas 3 (severe,berat) atas dasar
dua faktor klinis timbulnya disfungsi organ dan respon terhadap perawatan medis
awalTingkat keparahan kolangitis akut dapat diklaasifikasikan menjadi 3 kelas
yaitu kelas 1 (mild,ringan), kelas 2 (moderate,sedang), kelas 3 (severe,berat) atas
dasar dua faktor klinis timbulnya disfungsi organ dan respon terhadap perawatan
medis awal
Kolangitis adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu
yang tersumbat baik secara parsial atau total; sumbatan dapat
disebabkan oleh penyebab dari dalam lumen saluran empedu
misalnya batu koledokus, askaris yang memasuki duktus koledokus
atau dari luar lumen misalnya karsinoma caput pankreas yang
menekan duktus koledokus, atau dari dinding saluran empedu
misalnya kolangio-karsinoma atau striktur saluran empedu.

2. ETIOLOGI
 terjadi akibat obstruksi saluran empedu, terutama koledokolitiasis, dan penyebab
jarang seperti tumor, kateter, indwelling stents, pancreatitis akut, dan striktur
ringan. Bakteri (E. coli, klebsiella, clostridium, bacteroides, enterobacter,
streptococcus grup D) kemungkinan besar masuk ke sfingter oddi. Sebagian pula,
kolangitis parasit, misal, fasciola hepatica, skistosomiasis, dll
 Pada kolangitis sklerotik primer, pembentukan jaringan parut akan mempersempit
dan akhirnya menyumbat saluran, menyebabkan sirosis.
Penyebabnya tidak diketahui, tapi tampaknya berhubungan dengan kelainan
sistem kekebalan

3. TANDA DAN GEJALA


a. Penyakit ini biasanya dimulai secara bertahap dengan kelelahan
yang amat sangat, gatal-gatal dan jaudince.
b. Seringkali didapatkan nyeri hebat di epigastrium atau perut
kanan atas karena adanya batu koledokus. Nyeri ini bersifat
kolik, menjalar ke belakang atau ke skapula kanan, kadang-
kadang nyeri bersifat konstan
c. Terdapat pembesaran hati dan limpa, atau gejala-gejala sirosis.
d. Bisa juga terjadi hipertensi portal, asites dan kegagalan hati,
yang bisa berakibat fatal.
e. Pada sebagian kecil kasus ini tidak didapatkan ikterus, hal ini
dapat diterangkan karena batu di dalam duktus koledokus
tersebut masih mudah bergerak sehingga kadang-kadang aliran
cairan empedu lancar, sehingga bilirubin normal atau sedikit saja
meningkat
f. Kadang-kadang tidak jelas adanya demam, tetapi ditemukan
lekositosis.
g. Fungsi hati menunjukkan tanda-tanda obstruksi yakni
peningkatan yang menyolok dari GGT atau fosfatase alkali.
SGOT/SGPT dapat meningkat, pada beberapa pasien bahkan
dapat meningkat secara menyerupai menyerupai hepatitis virus
akut.

4. KLASIFIKASI

Klasifikasi kolangitis menurut Tokyo Guidelines (Wada et al, 2007):


Kriteria Mild (Grade I) Moderate (Grade Severe (Grade III)
II)
Disfungsi Organ Tidak Tidak Ya
Respon terhadap
Ya Tidak Tidak
terapi
1. Mild (Grade I) didefinisikan sebagai kolangitis yang dapat berespon terhadap
terapi
2. Moderate (Grade II) didefinisikan sebagai kolangitis yang tidak dapat berespon
dengan pengobatan dan tidak menimbulkan disfungsi organ
3. Severe (Grade III) didefinisikan kolangitis yang tidak dapat berespon dengan
pengobatan dan menimbulkan disfungsi organ seperti:
4. Kardiovaskuler: hipotensi
5. Saraf: penurunan kesadaran
6. Pernapasan: PaO2 < 300
7. Renal: Serum kreatinin > 2.0 mg/dl
8. Liver: PT-INR > 1.5
9. Hematology: Platelet count < 1000.000/ul

5. PATOFISIOLOGI

Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan stasis cairan empedu
dan apabila berlangsung lama maka akan terjadi kolonisasi bakteri dan pertumbuhan kuman
yang berlebihan. Bakteri ini berasal dari flora duodenum yang masuk melalui sfingter Oddi,
dapat juga dari penyebaran limfogen dari kandung empedu yang meradang akut (Nurman,
1999).Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi pada kolangitis akut yang sering dijumpai
adalah bakteri gram (-) enterik E. Coli, Klebsiella, Streptococcus faecalis dan bakteri
anaerob. Bakteri seperti Proteus,Pseudomonas dan Enterobacter enterococci juga tidak jarang
ditemukan (Malet, 1996).Kolangitis terjadi akibat kombinasi dari adanya hambatan dari
aliran cairan empedu yang berlangsung lama dan terjadi kolonisasi dan proliferasi bakteri.
Adanya tekanan yang tinggi dari saluran empedu yang tersumbat, bakteri akan
kembali (refluks) ke dalam saluran limfe dan aliran darah dan dapat mengakibatkan sepsis
(Nurman, 1999). Selain itu, beberapa dari efek serius kolangitis dapatdisebabkan oleh
endotoksemia yangdihasilkan oleh produk pemecahan bakterigram negatif. Endotoksin
diserap di ususlebih mudah bila terdapat obstruksi bilier, karena ketiadaan garam empedu
yangbiasanya mengeluarkan endotoksin sehinggamencegah penyerapannya.
Selanjutnyakegagalan garam empedu mencapaiintestin dapat menyebabkan perubahan flora
usus. Selain itu fungsi sel-sel Kupferyang jelek dapat menghambat kemampuanhati untuk
mengekstraksi endotoksin daridarah portal.Bilamana kolangitis tidak diobati, dapattimbul
bakteremia sistemik yang dapat menimbulkan abses hati (Malet, 1996).

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada sebagian


besar pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000. Lekopeni atau
trombositopenia kadang – kadang dapat ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah.
Sebagian besar penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin
yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase
dan transaminase serum juga meningkat yang menggambarkan proses kolestatik.
Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan kolangitis adalah:
1. Foto polos abdomen
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos
abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu
saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan gambaran radioopak yang
dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
hidrops, kandung empedu kadang juga dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura
hepatika.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada
duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus.
Dengan ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan
gaya gravitasi.
Gambar Menunjukkan ultrasonografi dari duktus
intrahepatik yang mengalami dilatasi

3. CT-Scan
CT Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis batu
kandung empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan pada kandung empedu
yang mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90 persen.

Gambar CT scan yang menunjukkan dilatasi duktus biliaris (panah hitam) dan
dilatasi duktus pankreatikus (panah putih), dimana keduanya terisi oleh musin
4. ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang menggunakan
lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro intestinal. Endoscope
Retrograde Cholangiopancreotography (ERCP) dapat lebih akurat menentukan
penyebab dan letak sumbatan serta keuntungannya juga dapat mengobati penyebab
obstruksi dengan mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.
5. Skintigraf
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi hati dan
kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas dan spesifitas
sekita 90% sampai 97%. Meskipun test ini paling bagus untuk melihat duktus
empedu dan duktus sistikus, namun skintigrafi bilier tidak dapat mengidentifikasi
batu saluran empedu atau hanya dapat memberikan informasi sesuai dengan letak
anatominya. Agent yang digunakan untuk melakukan test skintigrafi adalah derivat
99m
asam iminodiasetik dengan label Tc.
6. Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier melalui
prinsip kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi yang
lebih jelas. Pasien diberi pil kontras oral selama 12-16 jam sebelum dilakukan tes.
Kemudian kontras tadi diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar dan di
ekskresi ke dalam empedu dan dikirim ke kandung empedu.
7. Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien dengan
kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan untuk menentukan
patologi biliaris dan penyebab obstruksi saluran empedu sebelum terapi definitif.

7. TINDAKAN UMUM YANG DILAKUKAN


Penatalaksanaan berdasarkan derajat kolangitis (Erina et al, 2011):
a. Kolangitis grade I
Pemberian terapi medikamentosa direspon dengan baik oleh pasien. Setelah itu, dapat
dipertimbangkan untuk melakukan drainase bilier dengan menggunakan endoskopi,
perkuatneus, ataupun drainase terbuka.
b. Kolangitis grade II
Pada pasien ini tidak berespon baik dengan medikamentosa. Selain itu, muncul tanda-tanda
gagal organ. Pada pasien ini, dilakukan drainase bilier awal dengan menggunakan endoskopi
atau perkutaneus drainase. Terapi definitif dengan menghilangkan sumber sumbatan
dilakukan setelah kondisi klien stabil.
c. Kolangitis grade III
Pada pasien ini memerlukan terapi suportif seperti ventilator, obat-obatan inotropik,, terapi
medikamentosa. Drainase bilier dilakukan secepatnya segera setelah kondisi pasien stabil.

8. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian
a. Identitas
Cholangitis cukup jarang terjadi, biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain
yang menimbulkan obstruksi billier dan bactibilia misal setelah prosedur ERCP, 1-3%
pasien mengalami cholangitis.
b. Keluhan utama pada penderita cholangitis, klien mengeluh demam, ikterus dan nyeri
abdomen kuadran kanan atas. Nyeri ini bersifat kolik, menjalar ke belakang atau ke skapula
kanan, kadang-kadang nyeri bersifat konstan.
c. Riwayat penyakit
1. Riwayat penyakit dahulu
2. Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu, contohnya riwayat dari keadaan berikut
dapat meningkatkan resiko cholangitis
 Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
 Pasca cholecystectomy
 Manipula endoskopik atau ERCP cholangiogram
 Riwayat cholangitis sebelumnya
 Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan aids memliki ciri edema
bilier ekstrahepatik ulserasi dan obstruksi bilier
3. Riwayat penyakit sekarang
Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala klasik
tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh nyeri abdomen kuadran lateral atas. Gejala
lain yang dapat terjadi meliputi: jaundice, demam, menggigil dan kekakuan.
4. Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes mellitus,
hipertensi, anemia.
d. Pemeriksaan fisik
Sistem pernafasan
Inspeksi : pergerakan dinging dada simetris, pernafasan dangkal, klien tampak gelisah
Palpasi : vocal vremitus teraba merata
Perkusi : sonor
Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing)
Sistem kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaphoresis
Sistem neurologi
Tidak terdapat gangguan pada system neurologi
Sistem pencernaan
Inspeksi : tampak ada distensi abdomen diperut kanan atas klien mengeluh mual muntah
Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi
Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran kanan atas, nyeri tekan
epigastrium
Sistem eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat
Sistem integument
Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal
Sistem musculoskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP

9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko infeksi berhubungan dengan supresi respon inflamasi dan statis cairan empedu
2. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung empedu
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
muntah, nyeri abdomen dan kurang minat pada makanan
4. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
5. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah dan kehilangan
cairan aktif

10. INTERVENSI
N Diagnosa NIC NOC
o
1. resiko infeksi Tujuan : setelah dilakukan asuhan 1. Pantau tanda dan gejala
berhubung dengan keperawatan selama 1x24 jam nyeri infeksi
supresi respon 2. Kaji factor yang dapat
inflamasi dan statis berkurang
meningkatkan kerentanan
cairan empedu Kriteria hasil :
terhadap infeksi
 Tanda dan gejala infeksi
3. Pantau hasil laboratorium
berkurang/tidak ada 4. Amati penampilan praktek
 Memperlihatkan personal hygiene personal untuk
hygiene yang adekuat perlindungan terhadap
infeksi
5. Jelaskan pada pasien dan
keluarga mengapa sakit atau
terapi meningkatkan resiko
terhadap infeksi
6. Instruksikan untuk menjaga
personal hygiene
7. Ajarkan pasien dan keluarga
tehnik mencuci tangan yang
benar
8. Ajarkan kepada pengunjung
untuk mencuci tangan
sewaktu masuk dan
meninggalkan ruang pasien
9. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi factor
dilingkungan mereka, gaya
hidup atau praktik kesehatan
yang meningkatkan risiko
infeksi
10. Ajarkan keluarga bagaimana
membuang balutan luka yang
kotor dan sampah biologis
lainnya
2. Nyeri berhubungan Tujuan : setalah dilakukan asuhan 1. BHSP
2. Observasi, catat lokasi dan
dengan distensi keperawatan selama 1x24jam nyeri
skala nyeri dan karakter
kandung empedu berkurang
nyeri
Kriteria hasil :
3. Anjurkan pasien dalam
 Keadaan umum normal
posisi nyaman
pasien tampak nyaman 4. Anjurkan managemen nyeri
 Nyeri berkurang pasien distraksi relaksasi nafas
tampak rileks ditunjukkan dalam
5. Kolaborasi dengan tim
dengan skala nyeri 1-3
medis dalam pemberian
 Pasien melakukan analgesic
6. Observasi tanda tanda vital
managemen nyeri saat nyeri 7. Kaji respon pasien
kembali dating
 TTV dalam batas normal

3. Ketidakseimbangan Tujuan : setelah dilakukan asuhan 1. BHSP


2. Observasi tanda tanda vital
nutrisi kurang dari keperawatan selama 1x24jam
3. Anjurkan untuk makan
kebutuhan tubuh keseimbangan nutrisi terpenuhi
sedikit tapi sering
berhubungan Kriteria hasil : 4. Berkolaborasi dengan ahli
dengan mual  Asupan nutrisi kembali gizi dalam pemberian
muntah, nyeri seimbang program diet
5. Monitoring asupan gizi
abdomen dan  Pasien menunjukkan energy
pasien
kurang minat pada yang adekuat 6. Kaji respon pasien
makanan  TTV dalam batas normal
Mual muntah berkurang
4. Hipertermi Tujuan : setelah dilakukan asuhan 1. BHSP
2. Observasi tanda vital
berhubungan dengan keperawatan selama 1x24 jam suhu
3. Anjurkan menggunakan
proses inflamasi tubuh kembali normal
pakaian tipis dan minum air
Kriteria hasil :
putih
 Suhu tubuh kembali normal 4. Anjurkan untuk melakukan
pasien nyaman kompres dingin pada daerah
 Tanda vital dalam bats normal dada dan ketiak
5. Kolaborasi dalam pemberian
 Pasien dapat melakukan
antipiretik
tindakan untuk mengurangi 6. Kaji respon pasien
suhu tubuh
5. Risiko kekurangan Tujuan : setelah dilakukan tindakan 1. Timbang popok/pembalut jika
volume cairan keperawatan selama 1x24 jam, diperlukan
2. Pertahankan catatan intake
berhubungan dengan risiko kekurangan volume cairan
dan output yang akurat
mual muntah dan berkurang
3. Monitor status hidrasi
kehilangan cairan aktif Kriteria hasil :
( kelembaban membran
 Mempertahankan urine
mukosa, nadi adekuat,
output sesuai dengan usia dan
tekanan darah ortostatik ),
BB, BJ urine normal, HT
jika diperlukan
normal 4. Monitor vital sign
5. Monitor masukan makanan /
 Tekanan darah, nadi, suhu cairan dan hitung intake
tubuh dalam batas normal kalori harian
6. Lakukan terapi IV
 Tidak ada tanda tanda
7. Monitor status nutrisi
dehidrasi, Elastisitas turgor 8. Berikan cairan
9. Berikan cairan IV pada suhu
kulit baik, membran mukosa
ruangan
lembab, tidak ada rasa haus
10. Dorong masukan oral
yang berlebihan 11. Berikan penggantian
nesogatrik sesuai output
12. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
13. Tawarkan snack ( jus buah,
buah segar )
14. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul
meburuk
15. Atur kemungkinan tranfusi
16. Persiapan untuk tranfusi
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of Surgery, Eight


edition, New York ; McGraw-Hill, 2000, p : 1203-1213
Burkitt G, Quick C, Gatt D. Management of gallstone disease in essensial surgery, second
edition, New York ; Churchill Livingstone, 1996, P : 215-220
Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta, 1997, hal : 476-
479
De Jong, Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997 hal : 776-778.
Josh, J. Adams, Cholangitus, in http://www.emidiche.com 2006, p : 1-11
Kaminstein, David, MD, Cholangitis, in : http://www.healthatoz.com 2006, p : 1-8
Kiriyama, Seiki et al. 2012. New diagnostic criteria and severity assessment of acute cholangitis
in revised Tokyo guidelines. J Hepatobilliary Pancreat Sci (2012) 19: 548-556. Japan
Sabiston C, Davidm Textbook of Surgery, WB. Sauders company, 1968, p : 1154 – 1161
Shojamanes, Homayoun, Mo, Cholangitis, in : http:/www.emidicine.com7 2006, p : 1-10
Soetikno, Rista D. 2007. IMAGING PADA IKTERUS OBSTRUKSI. Bandung : Bagian/UPF
Radiologi FKUNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin

Anda mungkin juga menyukai