Anda di halaman 1dari 62

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam Deklarasi Millenium (Millenium Development Goals 2015), terdapat

delapan tujuan umum, yaitu mencakup kemiskinan, pendidikan, kesetaraan gender,

angka kematian bayi, kesehatan ibu, beberapa penyakit menular, lingkungan,

permasalahan global, bantuan, dan uang. Tujuan umum tersebut salah satunya adalah

lingkungan. Lingkungan sangat berperan dalam penyebaran penyakit menular seperti

sanitasi umum, polusi udara, dan kualitas air. (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2008).1

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini

termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 6 Tahun

1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah

menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat meninggalkan wabah

(Widodo, 2006). 2 Penyakit ini masih sering dijumpai secara luas di berbagai negara

berkembang terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropik (Pramitasari, 2013).3

Demam tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan

masyarakat kita, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat

kaitannya dengan higiene pribadi dan sanitasi lingkungan seperti hygiene perorangan

yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum (rumah

makan, restoran) yang kurang serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk

1
hidup sehat. Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan akan

menimbulkan peningkatan kasus-kasus penyakit menular, termasuk tifoid ini.4

2
BAB II
GAMBARAN UMUM PUSKESMAS

A. Gambaran Umum Puskesmas Pattingaloang Geografi

Letak geografis Puskesmas Pattingalloang terletak di Jalan Barukang VI No.

15, Kelurahan Pattingalloang Baru, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, Sulawesi

Selatan. Wilayah kerja meliputi 4 kelurahan yaitu Pattingalloang, Pattingalloang Baru,

Cambaya dan Camba Berua yang terdiri dari rumah penduduk, kantor pemerintahan,

tempat beribadah dll.

Batas Wilayah

Sebelah Utara : Selat Makassar

Sebelah Timur : Kelurahan Kaluku Bodoa

Sebelah Selatan : Kelurahan Pannampu dan Tabaringan

Sebelah Barat : Kelurahan Gusung

Luas Wilayah

Puskesmas Pattingalloang terdiri dari 4 kelurahan dengan luas wilayah 22,26 km2

dan jarak tempuh yang paling jauh sekitar 1 km2 dengan waktu tempuh sekitar

15 menit.

B. Demografi

Jumlah penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Pattingalloang

sebanyak 20196 jiwa yang terdiri dari :

3
No Kelurahan Ʃ pddk RW RT Ʃ KK

1 Pattingalloang 5.611 5 15 1282

2 Pattingalloang Baru 2.863 3 13 558

3 Cambaya 6.878 5 22 1390

4 Camba Berua 4.844 4 18 832

Total 20.196 17 68 4062

C. VISI DAN MISI

1. VISI

Visi Puskesmas Pattingalloang adalah : Terwujudnya Puskesmas

Pattingalloang yang Prima dalam Pelayanan dan Berwawasan

Lingkungan.

2. MISI

Misi Puskesmas Pattingalloang :

1. Memberikan pelayanan paripurna dalam peningkatan kesehata individu,

keluarga dan masyarakat

2. Peningkatan SDM yang profesional

3. Peningkatan upaya Promotif dan Preventif dalam pemeliharaan kesehatan

yang komprehensif

4
4. Peningkatan sistem organisasi yang Prima dalam pemberian pelayanan

kesehatan

5. Peningkatan kerjasama Lintas Sektor dan Partisipasi masyarakat

6. Menciptakan lingkungan yang sehat yang bersih, indah, hijau, aman dan

nyaman

7. Memantapkan kemandirian Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) melalui

Partisipasi Masyarakat.

D. Upaya Kesehatan

Dalam upaya pelaksanaan program kesehatan Puskesmas, ada dua upaya

kesehatan Puskesmas, yaitu :

1. Upaya Kesehatan Wajib

a. Promosi Kesehatan

b. Kesehatan Ibu dan Anak

c. Perbaikan Gizi Masyarakat

d. Pemberantasan Penyakit

e. Penyehatan Lingkungan

f. Pengobatan

2. Upaya Kesehatan Pengembangan

a. Upaya Kesehatan Lansia

b. Upaya Kesehatan Jiwa

5
c. UKS, UKGM

d. Program penyakit tidak menular

e. Kesehatan Olahraga

E. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas Tahun 2018

Berikut distribusi penyakit rawat inap umum teratas tahun 2018 dalam bentuk

table dan grafik.

Tabel 1. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas Tahun 2018

No Nama Penyakit
1 Demam Thypoid
2 GEA
3 Dispepsia
4 Pharingitis
5 Hipertensi
6 Diare
7 Gastritis akut
8 ISPA
9 Vertigo
10 ISK

6
Grafik 1. Distribusi Penyakit Rawat Inap Teratas Tahun 2018

180

160

140

120

100

80

60

40

20

0
Category 1

Thypoid GEA Dispepsia Pharingitis Hipertensi


Diare Gastritis Akut ISPA Vertigo Column1

F. Perhitungan BOR (Bed Occupancy Rate) Pasien Rawat Inap Tahun 2018

Berkaitan dengan visi misi Puskesmas Pattingalloang, tingkat pelayanan pasien

di puskesmas dapat pula dilihat dari pemanfaatan sarana pelayananan, mutu pelayanan

dan tingkat efisiensi pelayanan. salah satu indikatornya adalah perhitungan BOR (Bed

Occupancy Rate). BOR dapat mengggambarkan tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan

tempat tidur (persentasi pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu tertentu).

Menurut Barber Jhonson nilai ideal BOR adalah 75-85%, sedangkan menurut Dinas

Kesehatan RI nilai ideal BOR sebesar 60-85%.

7
Jumlah hari perawatan
Rumus BOR : x 100%
Jumlah tem pat tidur x jumlah hari 1 periode

Berikut merupakan angka perhitungan BOR rawat inap tahun 2018, yaitu:

52,83%. Angka tersebut menunjukkan angka BOR Puskesmas Pattingalloang tahun

2018 belum mencapai standar ideal BOR.

Tabel 2. Indikator Pelayanan di Puskesmas Rawat Inap

Puskesmas Pattingalloang Januari s/d Desember Tahun 2018.

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR%
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 13 631 2500 1871 52,83%
Pattingalloang

13 631 2500 1871 52,83%


Jumlah

8
G. Distribusi Penyakit Terbanyak Januari 2019

Berdasarkan data puskesmas, didapatkan pula data penyakit terbanyak rawat

inap bulan Januari 2019, yaitu :

Tabel 3. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas Januari 2019

No Penyakit Jumlah (orang)

1 Demam Thypoid 7
2 Dyspepsia 2
3 Hipertensi 1
4 GEA 1
5 Pharingitis 1
6 Febris 1
7 ISPA 1

Grafik 2. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas Januari 2019

8
7
6
5
4
3
2
1
0
Category 1

Thypoid Dispepsia Hipertensi GEA Pharingitis Febris ISPA

9
H. Perhitungan BOR (Bed Occupancy Rate) Pasien Rawat Inap Januari 2019

Tabel 4. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Umum Puskesmas

Pattingalloang Januari Tahun 2019

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 13 18 85 67 21,79%
Pattingalloang
Jumlah 13 18 85 67 21,79%

Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap bulan januari

2019, yaitu: 21,79%. Angka tersebut menunjukkan angka BOR Puskesmas

Pattingalloang bulan januari 2019 belum mencapai standar ideal BOR. Artinya

pemanfaatan tempat tidur tidak efisien.

Tabel 5. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Persalinan Puskesmas

Pattingalloang Januari Tahun 2019

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR%
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 13 7 35 28 9,61
Pattingalloang
Jumlah 13 7 35 28 9,61

10
Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap persalinan bulan

januari 2019, yaitu: 9,61 %. Angka tersebut menunjukkan angka BOR pelayanan

pasien persalinan di Puskesmas Pattingalloang bulan januari 2019 belum mencapai

standar ideal BOR. Artinya jumlah pasien perawatan persalinan belum sebanding

dengan tempat tidur.

I. Distribusi Penyakit Terbanyak Februari 2019

Dari data puskesmas, didapatkan pula data penyakit terbanyak rawat inap bulan

Februari 2019, yaitu :

Tabel 6. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas Februari 2019

No Penyakit Jumlah (orang)

1 Demam Thypoid 9

2 ISPA 3

3 Pharingitis 2

4 Vomiting 2

5 GEA 1

6 Dispepsia 1

11
Grafik 3. Distribusi Penyakit Terbanyak Bulan Februari 2019

10

0
Category 1

Thypoid ISPA Pharingitis Vomiting GEA Dispepsia

J. Perhitungan BOR (Bed Occupancy Rate) Pasien Rawat Inap Februari 2019

Tabel 7. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Umum Puskesmas

Pattingalloang Februari Tahun 2019

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 13 57 104 67 26,66
Pattingalloang
Jumlah 13 57 104 67 26,66

Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap bulan februari

2019, yaitu: 26,66%. Angka tersebut menunjukkan angka pelayanan Puskesmas

12
Pattingalloang bulan februari 2019 belum memenuhi standar ideal BOR yang berarti

pasien perawatan umum puskesmas patingalloang belum sebanding dengan jumlah

tempat tidur.

Tabel 8. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Persalinan Puskesmas

Pattingalloang Februari Tahun 2019

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR%
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 13 8 26 18 7,1
Pattingalloang
Jumlah 13 8 26 18 7,1

Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap persalinan bulan

februari 2019, yaitu: 7,1 %. Angka tersebut menunjukkan angka BOR pelayanan pasien

persalinan di Puskesmas Pattingalloang bulan februari 2019 belum mencapai standar

BOR. Artinya jumlah pasien perawatan persalinan belum sebanding dengan tempat

tidur.

13
K. Distribusi Penyakit Terbanyak Maret 2019

Dari data puskesmas, didapatkan pula data penyakit terbanyak rawat inap bulan

Maret 2019, yaitu :

Tabel 9. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas Maret 2019

No Penyakit Jumlah (orang)

1 Demam Thypoid 37

2 GEA 16

3 Febris 10

4 Pharingitis 6

5 ISPA 5

6 Hipertensi 5

7 Dispepsia 4

8 Vomiting 3

9 Kejang Demam 2

10 Diare 1

14
Grafik 4. Distribusi Penyakit Terbanyak Bulan Maret 2019

40

35

30

25

20

15

10

0
Category 1

Thypoid GEA Febris Pharingitis ISPA


Hipertensi Diispepsia vomiting Kejang demam Diare

L. Perhitungan BOR (Bed Occupancy Rate) Pasien Rawat Inap Maret 2019

Tabel 10. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Umum Puskesmas

Pattingalloang Maret Tahun 2019

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 13 81 355 274 91,02
Pattingalloang
Jumlah 13 81 355 274 91,02

Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap umum bulan

maret 2019, yaitu: 91,02%. Angka tersebut menunjukkan angka pelayanan Puskesmas

15
Pattingalloang bulan maret 2019 melebihi standar ideal BOR yang berarti pelayanan

masih kurang efisien karena jumlah pasien tidak sebanding dengan tempat tidur yang

disediakan.

Tabel 11. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Persalinan Puskesmas

Pattingalloang Maret Tahun 2019

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR%
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 13 19 68 49 18,68
Pattingalloang
Jumlah 13 19 68 49 18,68

Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap persalinan bulan

maret 2019, yaitu: 18,68 %. Angka tersebut menunjukkan angka BOR pelayanan

pasien persalinan di Puskesmas Pattingalloang bulan maret 2019 belum mencapai

target BOR. Artinya jumlah pasien perawatan persalinan tidak sebanding dengan

tempat tidur pasien.

16
M. Distribusi Penyakit Terbanyak April 2019

Dari data puskesmas, didapatkan pula data penyakit terbanyak rawat inap bulan

April 2019, yaitu :

Tabel 12. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas April 2019

No Penyakit Jumlah (orang)

1 Demam Thypoid 21

2 GEA 20

3 Dispepsia 18

4 Febris 10

5 Vomiting 8

6 ISPA 6

7 Pharingitis 3

8 Kejang demam 1

Grafik 5. Distribusi Penyakit Terbanyak Bulan April 2019

25

20

15

10

0
Category 1

Thypoid GEA Dispepsia Febris


Vomiting ISPA Pharingitis Kejang demam

17
N. Perhitungan BOR (Bed Occupancy Rate) Pasien Rawat Inap April 2019

Tabel 13. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Umum Puskesmas

Pattingalloang April Tahun 2019

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 13 73 292 219 32,96
Pattingalloang
Jumlah 13 73 292 219 32,96

Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap umum bulan

april 2019, yaitu: 32,96 %. Angka tersebut menunjukkan angka pelayanan Puskesmas

Pattingalloang bulan april 2019 melebihi standar ideal BOR yang berarti pelayanan

masih kurang efisien karena jumlah pasien tidak sebanding dengan tempat tidur yang

disediakan.

Tabel 14. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Persalinan Puskesmas

Pattingalloang April Tahun 2019

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR%
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 13 30 120 90 32,96
Pattingalloang
Jumlah 13 30 120 90 32,96

18
Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap persalinan bulan

april 2019, yaitu: 32,96 %. Angka tersebut menunjukkan angka BOR pelayanan pasien

persalinan di Puskesmas Pattingalloang bulan april 2019 melebihi standar BOR.

Artinya jumlah pasien perawatan persalinan belum sebanding dengan tempat tidur

pasien.

Berdasarkan data penyakit yang diperoleh diatas dapat dilihat bahwa penyakit

Demam Thypoid tidak pernah lepas dari 10 penyakit teratas tahun 2018 dan 2019

sehingga pada refarat ini penulis akan membahas penyakit Demam Thypoid yang ada

di Puskesmas Pattingalloang.

19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh

bakteri Salmonella enterica, yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan

kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi

cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain.

Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak

membentuk spora, dan tidak berkapsul.1

B. Epidemiologi

Penyakit menular ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan

jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan menyebabkan 216.000–600.000

kematian. Studi yang dilakukan di daerah urban di beberapa negara Asia pada anak

usia 5–15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif mencapai

180–194 per 100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5–15 tahun sebesar 400–500 per

100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100–200 per 100.000 penduduk, dan di Asia

Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 penduduk.2

Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, karena

penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat. Permasalahannya

semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier (carrier) atau relaps dan

resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga menyulitkan upaya pengobatan

20
dan pencegahan. Pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan

sebesar 81,7 per 100.000 penduduk, dengan sebaran menurut kelompok umur

0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun), 148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun),

180,3/100.000 (5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini menunjukkan

bahwa penderita terbanyak adalah pada kelompok usia 2-15 tahun.2

Hasil telaahan kasus di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan adanya

kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid dari tahun ke tahun dengan rata-rata

kesakitan 500/100.000 penduduk dan kematian diperkirakan sekitar 0,6–5%.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi demam

tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5–

14 tahun (1,9%), usia 1–4 tahun (1,6%), usia 15–24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun

(0,8%). Tifoid dapat menurunkan produktivitas kerja, meningkatkan angka

ketidakhadiran anak sekolah, karena masa penyembuhan dan pemulihannya yang

cukup lama, dan dari aspek ekonomi, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.2

C. Etiologi Demam Tifoid

Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella

memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella

enterica terbagi dalam enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica subsp. enterica;

II. Salmonella enterica subsp. salamae;IIIa. Salmonella enterica subsp. arizonae;IIIb.

Salmonella enterica subsp. diarizonae;IV. Salmonella enterica subsp. hotenae;V.

Salmonella enterica subsp.indica.3

21
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe, beberapa

diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin, Salmonella

Enteritis, Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella Heidelberg,

Salmonella Infantis, Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi, Salmonella

Typhimurium, dan Salmonella Genrus.10 Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi

adalah bakteri penyebab demam tifoid.3

Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil,

berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di

alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan

pemanasan (suhu 66o C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.4

Gambar 1. Struktur antigenik Salmonellae.4

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :5

22
1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman.

Bagian ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga

endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak

tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari

kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap

formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat

melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan

menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut agglutinin.

D. Mekanisme Penularan dan Patogenesis Demam Tifoid

Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia

melalui makanandan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita

tifoid.6

Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :

1. Penderita Demam Tifoid, yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia

yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia

sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa

penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di

dalam kandung empedu dan ginjalnya.

23
2. Karier Demam Tifoid, penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya

(feses atau urin)mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam

tifoid, tanpa disertaigejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah

sembuh setelah 2 –3 bulanmasih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di

feces atau urin. Penderita inidisebut karier pasca penyembuhan. Pada demam

tifoid sumber infeksi dari karierkronis adalah kandung empedu dan ginjal

(infeksi kronis, batu atau kelainananatomi). Oleh karena itu apabila terapi

medika-mentosa dengan obat anti tifoidgagal, harus dilakukan operasi untuk

menghilangkan batu atau memperbaiki kelainananatominya. Karier dapat

dibagi dalam beberapa jenis, yaitu :

a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya

tidak pernahmenampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis

akan tetapi mengandungunsur penyebab yang dapat menular pada orang

lain, seperti pada penyakitpoliomyelitis, hepatitis B dan

meningococcus.

b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa

tunas, tetapitelah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/

sebagai sumber penularan,seperti pada penyakit cacar air, campak dan

pada virus hepatitis.

c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru

sembuh daripenyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber

penularan penyakittersebut untuk masa tertentu, yang masa

24
penularannya kemungkinan hanya sampaitiga bulan umpamanya

kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.

d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup

lama sepertipada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.

Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam tubuh

manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian

kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan

selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang

baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel usus dan selanjutnya ke lamina propia.

Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama

makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesenterika.4

25
Gambar 2. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .6

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag

ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang

asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama

hati dan limpa. Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu,kuman

bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian meninggalkan makrofag dan kemudian

berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi

mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala

penyakit infeksi sistemik.4

Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten.

26
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi

setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag

telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi

pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.)

yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,

malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan

koagulasi.4

Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi

hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan

saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang

sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di

dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan

otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi usus.4

E. Manifestasi Klinis Demam Tifoid

Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting untuk

membantu mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14

hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari

asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga

kematian.4

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Pada

minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut

umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,

27
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.3 Karakteristik

demamnya adalah demam yang meningkat secara perlahan-lahan berpola seperti anak

tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan

tinggi terutama pada sore hingga malam hari. Pada akhir minggu pertama, demam akan

bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien akan menunjukkan gejalarose spots, yang

warnanya seperti salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm lebardanjumlahnya kurang dari

5; dan akan menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh

bakteri di dermis.5

Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas, berupa

demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti peningkatan

denyut nadi 8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor

ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,

meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau

psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi karier asimptomatik dan memiliki potensi

untuk menyebarkan kuman untuk jangka waktu yang tidak terbatas.3

F. Diagnosis Demam Tifoid

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang

diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan

berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk

mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid

secara menyeluruh.Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis

28
demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2)

pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4)

pemeriksaan kuman secara molekuler.6

1. Pemeriksaan Darah Tepi

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,

bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis

biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan

limfositosis.12 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah

dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas

dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita

demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosismenjadi

dugaan kuat diagnosis demam tifoid.6

2. Uji Serologis

a. Uji Widal

Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman

Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap

Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, orang yang pernah

tertular Salmonella Typhi,dan orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.

Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah

dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan

adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.5

29
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :

(1) Titer aglutinin O yang tinggi (>160) menunjukkan adanya infeksi akut.

(2) Titer aglutinin H yang tinggi (>160) menunjukkan sudah pernah

mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.

(3) Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.

b. Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana

dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi

dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella

Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai

reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak

memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai

fasilitas laboratorium yang lengkap.8

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar

69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan

dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar

94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid

mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.

c. Uji Typhidot®

Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh

Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif apabila

didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi

30
kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini

memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.

3. Identifikasi Kuman secara Molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella Typhi dalam darah

dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA.

G. Terapi Demam Tifoid

1. Non-Medikamentosa

a. Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien

harusdiedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5

b. Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat

adalahyang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun

tidakmemperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat)

untukmencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid,

basanyadiklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.

c. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral.Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada

komplikasi,penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus

31
mengandung elektrolitdan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus

setara dengan kebutuhancairan rumatannya.

d. Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu

tubuhyaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan

memberikansinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika

reseptor yang pekaterhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor

mengeluarkan sinyal yangmemulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.

Perubahan ukuran pembuluh darahdiatur oleh pusat vasomotor pada medulla

oblongata dari tangkai otak, dibawahpengaruh hipotalamik bagian anterior

sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinyavasodilatasi ini menyebabkan

pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulitmeningkat (berkeringat),

diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehinggamencapai keadaan

normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yangdikemukakan oleh Aden

(2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu(thermoregulator) di

hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusatpengaturan suhu berusaha

menurunkannya begitu juga sebaliknya.

2. Medikamentosa

a. Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik.

Bilamungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini

32
adalahParacetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin

untukmenghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi

salurancerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan

untukdiperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral

dapatdiberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang

mengandungMethamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.4,5

b. Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah :

1.1 Kloramfenikol

Merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi demam tifoid

terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100mg/kg/hari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup50 mg/kg/hari.

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian

Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis esterini tidak dapat

diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau

didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai21 hari. Kelemahan

dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.4

1.2 Cotrimoxazole

Merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika Trimetoprim

danSulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10

mg/kg/haridan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk

pemberiansecara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum

33
seharidiberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian

antibiotikagolongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti

Anemiamegaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa

Negaraantibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.4

1.3 Ampicillin dan Amoxicillin

Memiliki kemampuan yang lebih rendahdibandingkan dengan

kloramfenikol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-anakgolongan obat ini

cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yangdiberikan untuk anak 100-

200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2minggu. Penurunan demam

biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapikloramfenikol.4

1.4 Sefalosporin Generasi Ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime)

Merupakanpilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih

dariChloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap

Salmonellatyphi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 50-100

mg/kg/hariper IV dibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari.

Atau dapatdiberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila

mampuuntuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama

10 hari.4

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma

sampaisyok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30

menituntuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk

demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang

34
diperlukantranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera

dilakukanlaparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.4

H. Program Pengendalian dan Pencegahan Demam Tifoid

Tujuan pengendalian tifoid di Indonesia, yaitu:9

1. Meningkatkan upaya pencegahan tifoid terutama pada kelompok

masyarakat berisiko tinggi

2. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang tifoid

3. Menurunkan angka kesakitan dan kematian.

Secara umum pengendalian tifoid didasari oleh 3 pilar:9

1. Peran pemerintah melalui pengembangan dan penguatan kegiatan

pokok pengendalian tifoid

2. Peran masyarakat sipil melalui pengembangan dan penguatan jejaring

kerja pengendalian tifoid

3. Peran masyarakat melalui pengembangan dan penguatan kegiatan

pencegahan dan penanggulangan tifoid berbasis masyarakat.

Kegiatan pokok pengendalian tifoid, meliputi:9

1. Melaksanakan review dan memperkuat aspek legal pengendalian tifoid

2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi termasuk Komunikasi,

Informasi dan Edukasi (KIE)

3. Melaksanakan kegiatan pencegahan karier, relaps dan resistensi tifoid

35
4. Melaksanakan kegiatan perlindungan khusus (vaksinasi tifoid)

5. Melaksanakan deteksi dini karier tifoid

6. Melaksanakan pengamatan tifoid

7. Memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM)

8. Memperkuat pengelolaan logistik pengendalian tifoid

9. Melaksanakan supervisi dan bimbingan teknis

10. Melaksanakan montoring dan evaluasi

11. Melaksanakan kegiatan pencatatan dan pelaporan

Untuk penanganan penderita tifoid antara lain mengacu pada Kepmenkes

Nomor 365/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid dan

Buku Pedoman Pengobatan di Puskesmas.9

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat

agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer

dapat dilakukandengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain

Salmonella typhi yangdilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :

1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul

yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan.

Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam,

sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.

2. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin

yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in

36
activated-Phenol preserved). Dosisuntuk dewasa 0,5 ml, anak 6 –12

tahun 0,25 ml dan anak 1 –5 tahun 0,1 ml yangdiberikan 2 dosis dengan

interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyerikepala, lesu,

bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi

demam,hamildan riwayat demam pada pemberian pertama.

3. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin

diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun.

Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan

anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi

daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan

petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,

memberikanpendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat

dengan carabudaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan

higiene makanandan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih

dalam pengolahandan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai

penyajian untukdimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.

Pencegahan sekunder dapat berupa :

1. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha

surveilansdemam tifoid.

2. Perawatan umum dan nutrisi

37
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di

rumahsakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.Penderita yang

dirawatharus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama

perdarahandan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit

membaik,maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan

penderita.

Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet.Penderita

harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi

penurunankesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan

kalori yangoptimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup.

Sebaiknyarendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita

tifoidbiasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.

1. Pemberian anti mikroba (antibiotik)

Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat.

Kloramfenikolmasih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga.

Kekurangannya adalahjangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering

menimbulkan karier danrelaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita

hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta

janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada

wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.

38
I. Komplikasi

Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam

nyawa, terggantung dari faktor inang (terapi imunosupresi, terapi antasida, riwayat

vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Perdarahan

gastrointestinal (10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu

ke-3 dan minggu ke-4. Perdarahan gastrointestinal dan perforasi intestinal terjadi akibat

hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri ileocecal. Kedua komplikasi ini dapat

mengancam nyawa dan membutuhkan resusistasi cairan segera dan intervensi bedah

dengan pemberian antibiotik spektrum luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi

neurologikal dapat ditemukan pada 2-40% berupa, meningitis, guillain-barre

syndrome, neuritits dan gejala neuropsikiatrik.10

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular

coagulation, hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis, orkitis,

glomerulonefritis, pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis. Namun

komplikasi ini sudah jarnag terjadi akibat pemberian antibiotik yang tepat.

Gambar 3. Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi

39
J. Prognosis Demam Tifoid

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

kesehatansebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi

antibiotik yangadekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka

mortalitasnya >10%, biasanyakarena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan

pengobatan. Munculnya komplikasi, sepertiperforasi gastrointestinal atau perdarahan

hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,mengakibatkan morbiditas dan

mortalitas yang tinggi.6

Relaps dapat timbul beberapa kali. Ind bulan setelah infeksi umumnya menjadi

karier kronis.Resiko menjadi karier pada anak –anak rendah dan meningkat sesuai usia.

Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruhpasien demam tifoid.6

40
BAB IV

LAPORAN KASUS

A. Anamnesis

1. Identitas Pasien

a. Nama Lengkap : An. AW

b. Jenis Kelamin : Perempuan

c. Umur : 7 tahun

d. Pekerjaan : Pelajar

e. Alamat : Jl. Barukang Utara Lr. 10

f. Tanggal Masuk : 13 Mei 2019

2. Riwayat Penyakit Sekarang

a. Keluhan Utama : Demam

b. Anamnesis Terpimpin :

Pasien masuk melalui UGD Puskesmas Patingngaloang dengan keluhan

demam sejak 6 hari yang lalu, timbul hilang, terutama pada sore dan malam

hari. Pola demam yang dirasakan adalah dimulai dengan badan terasa dingin,

kemudian panas dalam beberapa menit dan menggigil, kemudian berkeringat

diikuti penurunan suhu tubuhnya. Pola demam ini terjadi 3-5 kali dalam sehari.

Pasien juga mengeluh nyeri kepala, seperti tertusuk-tusuk, diseluruh

kepala yang muncul terutama saat pasien demam. pasien juga mengeluh mual

41
atau seperti ingin muntah, rasa tidak nyaman diperut dan nyeri pada uluhati.

Pasien juga mengeluh BAB encer dengan frekuensi ±7 kali disertai ampas.

3. Riwayat Pengobatan

Karena keluhan demam yang dialami pasien, pada tanggal 09/05/19

pasien datang ke dokter praktek, dengan keluhan demam, mual dan BAB encer.

Pasien diberikan terapi paracetamol tab 3 x 1/2 tab dan cefadroxyl syr 2 x 1 cth.

Setelah berobat di dokter praktek pasien tidak mengalami perubahan

sehingga pasien diantar oleh keluarga ke UGD Puskesmas Pattingaloang pada

tanggal 13/05/19 dan dianjurkan untuk rawat inap.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya dan

tidak memiliki riwayat penyakit lainnya.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Diketahui adik kandung pasien yang berusia 6 tahun dan serumah

dengan pasien pernah mengalami keluhan demam dan BAB encer pada 1 bulan

yang lalu.

6. Riwayat Lingkungan Sosial

Pasien saat ini merupakan pelajar di sekolah dasar. Pasien mengatakan

hampir setiap hari jajan di lingkungan sekolah, pasien mengatakan bahwa salah

satu dari teman kelasnya juga memiliki keluhan yang sama.

42
B. Pemeriksaan Fisik

1. Status Present

a. Keadaan Umum : tampak sakit sedang

b. Kesadaran : Compos mentis

c. Berat Badan : 22 kg

d. Tinggi Badan : 124 cm

e. Tekanan darah : 90/60 mmHg

f. Nadi : 105 x/m

g. Suhu : 38,5 oC

h. Pernafasan : 20 x/m

2. Status Generalis

a. Kepala

1) Bentuk : Normal, simetris

2) Wajah : Simetris

3) Rambut : Hitam, lurus

4) Mata : Bulat Simetris

5) Telinga : Konjungtiva anemis (-), sklera an-ikterik, Refleks cahaya

(+/+)

6) Hidung : liang telinga lapang, sekret (-), serumen (-)

7) Mulut : Bibir kering (+), sianosis (-), lidah kotor (+), perdarahan gusi

(-), faring hiperemis (-)

43
b. Leher

1) Trakhea : Di tengah

2) KGB : Tidak membesar

3) JVP : Tidak dievaluasi

c. Thoraks

1) Bentuk : Simetris

2) Retraksi : Tidak ada

d. Jantung

1) Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

2) Palpasi : Iktus kordis teraba sela iga IV garis midclavicula kiri

3) Perkusi : Batas atas sela iga II garis parasternal kiri; batas kanan sela IV

garis para sternal kanan; batas kiri sela iga IV garis midclavicula kiri

4) Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, reguler, murmur (-),

e. Paru

1) Inspeksi : bentuk pergerakan hemithoraks kanan dan kiri simetris

2) Palpasi : vokal premitus simetris, krepitasi (-)

3) Perkusi : Sonor

4) Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), Ronchi (-/-),

Wheezing (-/-)

f. Abdomen

1) Inspeksi : Datar, simetris

2) Palpasi : hepar dan lien tidak teraba; nyeri tekan (-) daerah epigastrium

44
3) Perkusi : Timpani

4) Auskultasi : Bising usus (+) normal

g. Gentalia eksternal

Tidak dievaluasi

h. Ektremitas

1) Superior : Akral dingin, Rumple leed test (-)

2) Inferior : Akral dingin

C. Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)

Tanggal Jenis Hasil


Hemoglobin 11 g/dl
Leukosit 6500 sel/mm3
14/05/2019
Trombosit 169.000 sel/mm3
Widal test/Salmonella Positif

D. Resume

Pasien masuk melalui UGD Puskesmas Patingngaloang dengan keluhan

demam sejak 6 hari yang lalu, timbul hilang, terutama pada sore dan malam hari. Pola

demam yang dirasakan adalah dimulai dengan badan terasa dingin, kemudian panas

dalam beberapa menit dan menggigil, kemudian berkeringat diikuti penurunan suhu

tubuhnya. Pola demam ini terjadi 3-5 kali dalam sehari.

Pasien juga mengeluh nyeri kepala, seperti tertusuk-tusuk, diseluruh kepala

yang muncul terutama saat pasien demam. pasien juga mengeluh mual atau seperti

45
ingin muntah, rasa tidak nyaman diperut dan nyeri pada uluhati. Pasien juga mengeluh

BAB encer dengan frekuensi ±7 kali disertai ampas.

Hasil pengukuran tanda-tanda vital dalam batas normal, kecuali suhu tubuh

38,5oC (febris). Pada pemeriksaan fisik didapatkan bibir kering (+), lidah kotor (+),

tidak ada pembesaran hepar, lien atau kelenjar regional. Auskultasi bising usus (+)

kesan normal.

Ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratoium yaitu Salmonella test

didapatkan hasil positif.

Riwayat keluarga didapatkan adanya anggota keluarga yaitu adik kandung

pasien yang memiliki keluhan yang sama. Riwayat sosial juga didapatkan pasien sering

mengkonsumsi makanan di sekitar lingkungan sekolah yang tidak dijamin

kebersihannya dan teman sekelas pasien yang menderita keluhan yang sama.

E. Diagnosis

Berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium maka

pasien didiagnosis dengan Demam Thypoid Klinis (Probable Case).

F. Diagnosis Banding

1. Demam Berdarah Dengue

2. ISPA

3. Febris Pro Evaluasi

46
G. Terapi

1. IVFD RL 20 tpm mikrodrips

2. Paracetamol 500 mg 4 x ½ tab

3. Cefadroxil 250 ml syr 2 x 2½ cth

4. Biovitan syr 1 x 1 cth

5. Tirah baring

6. Diet lunak tinggi kalori dan tinggi protein

7. Observasi suhu dan keadaan umum

H. Edukasi

1. Diet, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat sebaiknya diperhatikan

dan dilakukan dengan rutin dan teratur

2. Perbaikan sanitasi lingkungan

3. Peningkatan higiene makanan dan minuman

4. Peningkatan higiene perorangan

47
I. Follow Up

PERJALANAN HASIL TERAPI


TANGGAL
PENYAKIT LABORATORIUM
13/05/2019 KU : Demam (+) 6 hari, Darah Rutin: - Ivfd RL 20
menggigil (+), nyeri kepala - HB : 11 gr% tpm
(+), mual (+), muntah (+), - Leukosit : 6.500 (mikrodrips)
nyeri ulu hati (+) sel/mm3 - Paracetamol
Bab : BAB encer frekensi 7 - Trombosit 500mg 4x½
kali dalam sehari 169.000 sel/ mm3 tab
BAK : lancar Rapid test IgM - Cefadroxyl syr
PF : TD : 90/60 anti-salmonella : 125 ml 2 x 2½
N : 80x/i - Positif cth
P : 20x/i - Biovitan syr 1
S : 38.50C x 1 cth
Lidah kotor (+)
Bising usus (+) kesan
normal
Nyeri tekan (+) epigastric
D/ : Demam typhoid

14/05/2019 KU : Demam (+),nyeri - Ivfd RL 20


kepala (+), batuk (+), mual tpm
(+), muntah (+), nyeri ulu (mikrodrips)
hati (-) - Paracetamol
Bab : baik 500mg 4x½
Bak : lancar tab
PF : TD : 90/60 - Cefadroxyl syr
N : 103x/i 125 ml 2 x 2½
P : 20x/i cth
S : 380C - Biovitan syr 1
Lidah kotor (+) x 1 cth
Bising usus (+) kesan
normal
Nyeri tekan (+) epigastric
D/ : Demam typhoid
15/05/2017 KU : Demam (+), nyeri - Ivfd RL 20
kepala (+), mual (+), tpm
muntah (+), nyeri ulu hati (mikrodrips)
(-) - Paracetamol
Bab : baik 500mg 4x½
Bak : lancar tab

48
PF : TD : 90/60 - Cefadroxyl syr
N : 100x/i 125 ml 2 x 2½
P : 20x/i cth
S : 37.7 C - Biovitan syr 1
Lidah kotor (+) x 1 cth
Bising usus (+) kesan - CTM 3 x ½tab
normal - GG 3 x ½tab
Nyeri tekan (-) epigastric
D/ : Demam typhoid
16/05/2019 KU : Demam (-), nyeri - Aff infus
kepala (-), batuk (+), mual - Paracetamol
(-), muntah (-), nyeri ulu 500mg 4x½
hati (-) tab
Bab : baik - Cefadroxyl syr
Bak : lancar 125 ml 2 x 2½
PF : TD : 90/600 cth
N : 102x/i - Biovitan syr 1
P : 20x/i x 1 cth
S : 37 C - CTM 3 x ½tab
Lidah kotor (-) - GG 3 x ½tab
Bising usus (+) kesan
normal
Nyeri tekan (-) epigastric
D/ : Demam typhoid
17/05/2019 KU : Demam (-), nyeri - Paracetamol
kepala (-), batuk (+), mual 500mg 4x½
(-), muntah (-), nyeri ulu tab
hati (-) - Cefadroxyl syr
Bab : baik 125 ml 2 x 2½
Bak : lancar cth
PF : TD : 90/60 - Biovitan syr 1
N : 100x/i x 1 cth
P : 20x/i - CTM 3 x ½tab
S : 36.60C - GG 3 x ½tab
Lidah kotor (-)
Bising usus (+) kesan
normal
Nyeri tekan (+) epigastric
D/ : Demam typhoid
18/05/2019 KU : Demam (-), nyeri - Paracetamol
kepala (-), batuk (+) mual 500mg 4x½
tab

49
(-), muntah (-), nyeri ulu - Cefadroxyl syr
hati (-) 125 ml 2 x 2½
Bab : baik cth
Bak : lancar - Biovitan syr 1
PF : TD : 90/60 x 1 cth
N : 100x/i - CTM 3 x ½tab
P : 20x/i - GG 3 x ½tab
S : 36.60C Pasien boleh
Lidah kotor (-) pulang
Bising usus (+) kesan
normal
Nyeri tekan (+) epigastric
D/ : Demam typhoid

50
BAB V

PEMBAHASAN

Pasien masuk melalui UGD pada tanggal 13/05/19 di Puskesmas

Patingngaloang dengan keluhan demam sejak 6 hari yang lalu, timbul hilang, terutama

pada sore dan malam hari. Pola demam yang dirasakan adalah dimulai dengan badan

terasa dingin, kemudian panas dalam beberapa menit dan menggigil, kemudian

berkeringat diikuti penurunan suhu tubuhnya. Pola demam ini terjadi 3-5 kali dalam

sehari. Pasien juga mengeluh nyeri kepala, seperti tertusuk-tusuk, diseluruh kepala,

pasien mengeluh mual, rasa tidak nyaman diperut dan nyeri pada uluhati. Pasien juga

mengeluh belum BAB encer dengan frekuensi ±7 kali disertai ampas.

Pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 90/60, nadi 105x/menit,

regular, suhu 38oC (febris), dan pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya bibir kering,

lidah kotor, nyeri tekan epigastrium.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosa sebagai

suspek demam typhoid karena adanya gejala demam dan gangguan saluran cerna, serta

nyeri epigastrium, lidah kotor timbulnya diare yang merupakan tanda khas dari demam

typhoid. Ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu rapid test IgM anti-

Salmonella didapatkan hasil positif. Sehingga pada pasien tersebut dapat di diagnosis

sebagai demam typhoid klinis (Probable Case).

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan rapid test IgM anti-Salmonella

disebabkan keterbatasan alat pemeriksaan widal test. Namun, dengan menggunakan

51
rapid test IgM anti-salmonella dalam menunjang diagnosis demam tifoid lebih sensitif

dan spesifik dibandingkan dengan widal test.11

Salmonella typhi dan paratyphi dari genus Salmonella merupakan basil

penyebab demam thypoid. Basil ini adalah gram negative, bergerak, tidak berkapsul,

tidak membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif.

Ukuran antara (2-4) x 0,6 µm. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 370C dengan PH

antara 6-8. Perlu diingat bahwa basil ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam

bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Sedangkan reservoir satu-satunya

adalah manusia yaitu seseorang yang sedang sakit atau karier.

Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi

makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh komponen feses

atau urin dari pengidap typhoid. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat

berperan, pada penularan adalah :

1. Hygiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak

terbiasa.

2. Hygiene makanan dan minuman yang rendah

Faktor ini paling berperan pada penularan typhoid. Banyak sekali contoh

untuk ini diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang

terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang

dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu,

sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak, dan sebagainya.

52
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran

dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan

4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai

5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat

6. Pasien atau karier typhoid yang tidak diobati secara sempurna

Dari beberapa cara penularan diatas pada pasien ini ditemukan riwayat penyakit

yang sama dalam keluarga dan lingkungan tempat kerja nya. Ini menunjukkan terdapat

pola penularan dari orang yang ada disekitarnya. Pola penularannya dapat didapatkan

dari makanan, maupun dari keadaan lingkungan pasien. Kondisi tersebut menjadi salah

satu faktor terjadinya penularan demam typhoid. Selain itu, gaya hidup pasien juga

diketahui lebih sering mengkonsumsi makanan yang dibeli sehingga hygenitas dari

makanan yang di konsumsi tidak terjamin.

Setelah pasien keluar dari perawatan di Puskesmas, Kami melakukan

kunjungan ke rumah pasien. Kunjugan rumah ini dimaksudkan untuk melihat

bagaimana keadaan lingkungan di rumah pasien, sehingga pada kunjungan rumah yang

kami lakukan, didapatkan :

1. Lokasi rumah pasien berada di lorong yang padat dan sempit.

2. Sumber air yang digunakan untuk mandi, cuci, kakus adalah air sumur bor

dan untuk memasak air minum menggunakan air PAM yang terbatas

3. Penyediaan jamban tidak memenuhi kriteria jamban sehat karena kamar

mandi, jamban serta tempat mencuci peralatan makan dilakukan ditempat

yang sama.

53
4. Keluarga pasien sering mengkonsumsi sayur namun jarang mengkonsumsi

buah

Beberapa hal diatas dapat menjadi faktor penyebab yang mendukung terjadinya

penularan bakteri Salmonella ke makanan dan minuman yang akan dikonsumsi

anggota keluarga. Dan nantinya akan menimbulkan gejala klinis Demam Tifoid.

Penatalaksanaan yang dilakukan puskesmas terhadap pasien tersebut berupa

terapi farmakologi dan nonfarmakologi.

1. Terapi farmakologi :

a. IVFD RL 28 tpm

b. Paracetamol 3x 500 mg

c. Antasida 3x 1 tablet

d. Thyamphenicol 3x 500mg

e. Vitamin B-comp 2x1 tablet

2. Terapi non farmakologi :

a. Tirah baring

b. Diet lunak tinggi kalori dan tinggi protein

3. Edukasi

a. Diet, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat sebaiknya diperhatikan

dan dilakukan dengan rutin dan teratur

b. Perbaikan sanitasi lingkungan

c. Peningkatan higiene makanan dan minuman

d. Peningkatan higiene perorangan

54
1. Terapi Farmakologis

Terapi pada pasien ini dimulai dengan pemberian cairan Ringer laktat 20

tetes per-menit mikrodrips, karena pada pasien thypoid harus mendapatkan cairan

yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Dosis cairan parenteral adalah

sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Cairan harus mengandung

elektrolit dan kalori yang optimal. Adapun terapi simptomatik yang diberikan untuk

perbaikan keadaan umum penderita adalah paracetamol sebagai antipiretik, serta

biovitan yang membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

Anti mikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah

dapat ditegakkan baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun

suspek. Berdasarkan kasus diatas diagnosis dapat ditegakkan dengan gejala klinis

yang khas dan pemeriksaan rapid test IgM anti-salmonella yang memberikan hasil

positif. Pasien diberikan terapi cefadroxyl sirup disebabkan pasien telah

mengkonsumsi obat tersebut setelah pasien berobat ke praktek dokter mandiri.

Sehingga penggunaan obat cefadroxyl pada pasien ini dilanjutkan, untuk

mengurangi kejadian resistensi antibiotik. Penggunaan cefadroxyl juga telah

menunjukkan keluhan demam menurun sejak hari keempat perawatan dan

berangsur membaik pada hari kelima dan keenam perawatan.

55
2. Terapi Non-farmakologis

Terapi non-farmakologis yang paling awal harus dilakukan adalah tirah baring

dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Jika

keadaan umum pasien membaik maka akan dilakukan mobilisasi secara bertahap,

sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Selain itu pemberian diet yang sesuai dengan

keadaan umum pasien juga mendukung pemulihannya, pada pasien ini ditemukan

adanya keluhan gastrointersinal berupa mual, muntah dan nyeri uluhati, sehingga diet

yang diberikan berupa diet lunak. Makanan yang diberikan harus mengandung kalori

dan protein yang tinggi.

Puskesmas Patingaloang sebagain fasilitas kesehatan bagi pasien tersebut

memiliki Program pemberantasan penyakit menular. Sebagai langkah preventif

terhadap penularan penyakit demam tifoid ini, maka diberikan penyuluhan kepada

pasien dan keluarga saat kunjungan rumah, demi memutus rantai penularan dan

mencegah kekambuhan adalah dengan perbaikan sanitasi lingkungan; perbaikan

hygiene makanan dan minuman; serta perbaikan hygiene personal.

a. Usaha perbaikan sanitasi lingkungan

Usaha perbaikan sanitasi lingkungan yang dapat pasien lakukan di tempat

tinggalnya dan sekitarnya adalah:

1) Menyediakan air bersih untuk aktifitas keluarga sehari-hari, seperti mencuci

pakaian, mandi, memasak, dll. Air bersih tersebut tidak boleh

terkontaminasi dengan lingkungan, sebagainya menggunakan air PAM

yang terjamin kebersihannya.

56
2) Selalu rutin membersihkan jamban dengan cairan pembersih, disikat dan

disiram dengan air bersih, sehingga tidak terkontaminasi dengan lalat dan

serangga lain.

3) Mengelola air limbah, kotoran dan sampah dengan benar, dengan rutin

membersihkan selokan sekitar rumah dan membuang sampah rumah tangga

pada tempatnya sehingga dengan mudah diangkut oleh bak sampah, tidak

dihinggap oleh lalat atau serangga lain, dan tidak mencemari lingkungan.

4) Membuat lorong sehat

b. Usaha perbaikan hygiene makanan dan minuman

Karena transmisi utama basil salmonella melalui air minum dan

makanan, maka hygiene makanan dan minum sangat penting dijaga pasien saat

dirumah ataupun saat bekerja, disesuaikan dengan ketentuan WHO yaitu

“Golden rule of WHO”, maka yang harus dilakukan pasien dan keluarga adalah:

1) Memilih air minum yang terjamin kebersihannya seperti air gallon/air

miniral yang terjamin atau air PAM yang dimasak sampai mendidih terlebih

dahulu sebelum dikonsumsi.

2) Mencuci bahan makanan dengan air mengalir dan bersih, memisahkan

bahan makanan mentah dengan makanan yang sudah dimasak, memasak

makanan sampai matang dan panaskan kembali dengan benar, serta

melindungi makanan dari serangga terutama lalat dan binatang pengerat

seperti tikus.

3) Rutin membersihkan dapur dan membersihkan alat masak dengan benar.

57
4) Memilih bahan makanan yang terjamin kebersihannya.

c. Usaha Peningkatan Higiene Perorangan

Pilar ke-3 dalam program pencegahan penularan tifoid adalah hygiene

perorangan. Dalam hai ini, pasien harus semakin meningkatkan kebersihan dirinya

sendiri untuk melindungi dirinya terhadapa kontaminasi kembali basil salmonella,

dengan selalu mencuci tangan dengan benar, menggunakan sabun dan air mengalir,

saat ingin makan, sesudah makan, setelah memegang sampah, setelah bekerja, dan

setelah aktivitas-aktivitas lain yang melibatkan kontaminasi tangan dengan

lingkungan.

Diharapkan dengan meningkatkan dan melakukan 3 pilar upaya pemberantasan

penularan demam thypoid tersebut, maka dapat memutus mata rantai penularan,

menurunkan angka kejadian kasus baru demam tifoid dan pasien karier yang kembali

relaps.

58
BAB VI

KESIMPULAN

Berdasarkan data penyakit yang diperoleh bahwa penyakit Demam Thypoid

menjadi penyakit rawat inap teratas pada tahun 2018 dan 2019.

Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella

enteric serotype typhi (Salmonella typhi). Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

fisik, pasien didiagnosa sebagai suspek demam typhoid. Ditunjang dengan hasil

pemeriksaan laboratorium yaitu widal test didapatkan hasil positif pada beberapa titer.

Sehingga pasien dalam pembahasan ini dapat di diagnosis sebagai demam typhoid

klinis (Probable Case).

Pada pasien ditemukan riwayat penyakit yang sama dalam keluarga dan

lingkungan tempat kerjanya. Selain itu, gaya hidup pasien juga diketahui lebih sering

mengkonsumsi makanan yang dibeli sehingga hygenitas dari makanan yang di

konsumsi tidak terjamin. Hal ini yang menjadi faktor terjadinya penularan demam

typhoid pada pasien.

Pada kunjungan ke rumah pasien, lingkungan tempat tinggal pasien seperti

lokasi, sumber air, penyediaan jamban, dan makanan yang dikonsumsi memang

mendukung terjadinya penularan bakteri Salmonella ke makanan dan minuman yang

akan dikonsumsi anggota keluarga.

59
Penatalaksanaan terapi farmakologi pada pasien ini sesuai dengan penanganan

fasilitas kesehatan primer, sehingga pemberian obat sangat efektif terhadap

perkembangan kesembuhan pasien. Hal ini terbukti dengan pemberian hari ke-5

tiamfenikol, pasien bebas demam. Begitu juga terapi non farmakologi yang diberikan

pada pasien ini.

Puskesmas Patingaloang sebagai fasilitas kesehatan bagi pasien tersebut

memiliki Program pemberantasan penyakit menular. Sebagai langkah preventif

terhadap penularan penyakit demam tifoid ini, maka diberikan penyuluhan kepada

pasien dan keluarga saat kunjungan rumah, demi memutus rantai penularan dan

mencegah kekambuhan adalah dengan perbaikan sanitasi lingkungan; perbaikan

hygiene makanan dan minuman; serta perbaikan hygiene personal.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Judarwanto W. Penanganan Terkini Demam Tifoid. 2014. Available from


https://jurnalpediatri.com/2014/03/20/penanganan-terkini-demam-tifoid-tifus/
2. Ivan E. P., Toni W, Naning N, Stephen N, dan Nyoman K. Program Pengendalian
Demam Tifoid di Indonesia: tantangan dan peluang. 2016. Media Litbangkes,
Vol. 26 ( 2).
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan Dasar
2007 Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia;2008.
4. Tumbelaka AR. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update, Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2003.
5. Soedarmo SS et al. Demam tifoid dalam Buku ajar infeksi & pediatri tropis, Ed.
2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2008.
6. Vollaard AM et al. Risk factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta,
Indonesia. JAMA. 2004; 291: 2607-15.
7. World Health Organization [internet]. 2014. Available from :
www.who.int/immunization/topics/typhoid/en/index.html. Diakses tanggal 13
September 2018.
8. Alladany N. Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Kesehatan terhadap
kejadian Demam Tifoid di kota Semarang. Skripsi. Semarang: Universitas
Diponegoro; 2010.
9. Purba IE, Wandra T, Nugrahini N, Nawawi S, Kandun N. Program Pengendalian
Demam Tifoid di Indonesia: Tantangan dan Peluang. Medan. Jun 2016: 26(2);
99-108.
10. Vani R, Keri L. Review: Manajemen Terapi Demam Tifoid: Kajian Terapi
Farmakologis Dan Non Farmakologis. 2018. Available from
http://journal.unpad.ac.id/farmaka/article/view/17445/pdf 17445

61
11. Aprilia Nasri, Harun Nurrachmat, Aprilia Indra Kartika. Prosiding Seminar

Nasional: Uji Konfirmasi Widal Positif O Titer 1/640 Dengan Rapid Igm Anti-

Salmonella Typhi Pada Penderita Suspek Demam Tifoid. Universitas

Muhammadiyah Semarang. Vol. 1, 2018. e-ISSN: 2654-766X. (diakses pada

tanggal 17 Mei 2019).

62

Anda mungkin juga menyukai