Anda di halaman 1dari 13

Pendahuluan

Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada kehamilan
dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan perkembangan
plasenta, dimana digambarkan disuatu kehamilan hanya terdapat trofoblas namun tidak terdapat
jaringan fetus (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti,
jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. Telah dinyatakan bahwa
pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase kedua invasi trofoblas
saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan normal bertanggung jawab
dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri spiralis. Seiring dengan kemajuan kehamilan,
kebutuhan metabolik fetoplasenta makin meningkat. Bagaimanapun, karena invasi abnormal
yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan
yang makin meningkat tersebut, hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara klinis
sebagai preeklampsia.

Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia meliputi 3


elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang menetap ≥
140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria ( didefinisikan
sebagai › 300 mg/24 jam atau ≥ +2 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan
onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan bahwa edema
tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.

Preeklampsia dapat menyebabkan komplikasi. Beberapa komplikasi preeklampsia, yaitu


eklampsia, sindroma HELLP (hemolisis, elevasi enzim hati, penurunan platelet), ruptur hepar,
edema pulmonal, gagal ginjal, koagulopati intravaskular diseminasi, kedaruratan hipertensi dan
hipertensi ensefalopati serta kebutaan kortikal

EKLAMPSIA
Eklampsia ditandai dengan terjadinya kejang umum dan atau koma pada preeklampsia tanpa
adanya kondisi neurologik lainnya. Dahulu, eklampsia dikatakan sebagai hasil akhir dari
preeklampsia, sesuai dengan asal katanya. Penyebab pasti dari kejang pada wanita dengan
eklampsia tidak diketahui. Penyebab yang dikemukakan meliputi vasospasme serebral dengan
iskemia lokal, hipertensi ensefalopati dengan hiperperfusi, edema vasogenik dan kerusakan
endotelial. Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam deteksi dan penatalaksanaan,
preeklampsia/eklampsia tetap menjadi penyebab umum kematian ibu yang kedua di Amerika
Serikat, sekitar 15 % dari seluruh kematian. Bahkan, diperkirakan 50.000 kematian maternal di
seluruh dunia disebabkan oleh eklampsia.

Epidemiologi dan insiden

Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna, nulipara, dan golongan sosial ekonomi
rendah. Insiden tertinggi pada usia remaja atau usia awal 20-an, tetapi prevalensinya meningkat
pada wanita diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi pada usia kehamilan dibawah 20 minggu,
dapat meningkat pada kehamilan mola atau sindroma antifosfolipid.

Insiden eklampsia secara keseluruhan relatif stabil, 4-5 kasus /10.000 kelahiran hidup di negara
maju. Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100/ 10.000 kelahiran hidup.
Manifestasi klinis dan diagnosis

Diagnosis klinis eklampsia didasarkan pada timbulnya kejang umum dan atau koma pada wanita
dengan preeklampsia tanpa adanya kondisi neurologis lainnya. Kejang eklampsia hampir selalu
hilang sendiri dan jarang terjadi lebih dari 3-4 menit. Kejang eklamptic secara klinis dan
elektroensefalografik tidak dapat dibedakan dari kejang tonik klonik umum lainnya. Secara umum,
wanita dengan kejang eklamptik tipikal tanpa defisit neurologik fokal atau koma yang berlangsung
lama, tidak dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan elektroensefalografik atau pencitraan
serebral. Kondisi klinis selain eklampsia yang dapat dipertimbangkan ketika melakukan evaluasi
pada wanita hamil yang mengalami kejang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Diagnosis banding dari eklampsia

Sekitar separuh dari seluruh kasus eklampsia terjadi sebelum aterm, lebih dari 20% terjadi
sebelum kehamilan 31 minggu. Tiga perempat dari kasus terjadi pada kehamilan aterm,
berkembang saat intrapartum atau selama 48 jam postpartum. Kejang karena eklampsia dapat
muncul kembali pada saat postpartum. Sering selama beberapa jam sampai beberapa hari post
partum. Diuresis (> 4 L/ hari) diyakini sebagai indikator klinis yang paling akurat dari pulihnya
preeklampsia atau eklampsia, tetapi hal ini tidak menjamin tidak berulangnya kejang. Dapat pula
terjadi eklampsia postpartum lanjut (kejang eklamptik yang berkembang > 48 jam postpartum,
namun < 4 minggu postpartum) pada 25% kasus postpartum dan > 16% dari seluruh kasus
eklampsia.

Penatalaksanaan
Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah komplikasi eklampsia
terhadap ibu dan janin selama periode peripartum. Cara terbaru pada penatalaksanaan wanita
dengan eklampsia meliputi beberapa aspek, yaitu mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah
kejang dan mengontrol tekanan darah, mencegah kejang berulang dan evaluasi untuk persalinan.
Bila terjadi kejang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jalan nafas tetap
terbuka dan mencegah terjadinya aspirasi. Ibu berbaring miring ke kiri dan penahan lidah
diletakkan di dalam mulutnya.

A. Mengontrol Kejang

Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4 menit, obat anti kejang
dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obat-obat terpilih untuk mengatasi kejang pada
eklampsia adalah magnesium sulfat (MgSO4). Pada wanita yang telah mendapat pengobatan
MgSO4 profilaksis, kadar magnesium plasma harus dipertahankan dengan pemberian infus
MgSO4 1-2 gram secara cepat. Pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan profilaksis
tersebut, harus diberikan infus 2-6 gram MgSO4 secara cepat, diulang setiap 15 menit. Dosis
awal ini memungkinkan untuk diberikan pada ibu-ibu dengan insufisiensi renal. Sedangkan
mekanisme kerja MgSO4 dalam mereduksi kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa
mekanisme kerja MgSO4 adalah memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah
otak juga memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal bebas,
mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan atau memiliki efek antagonis
kompetitif terhadap reseptor glutamat N-metil-D–aspartat (yang merupakan fokus epileptogenik).

Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan kejang eklampsia.
Diazepam memasuki susunan saraf pusat secara cepat dimana efek anti konvulsan akan tercapai
dalam waktu 1 menit dan efek diazepam ini akan mengontrol kejang >80% pasien dalam waktu
5 menit. Akan tetapi saat ini banyak peneliti menganjurkan untuk tidak menggunakan
benzodiazepin karena sangat berpotensi untuk menyebabkan depresi pada janin. Secara klinis,
efek ini menjadi bermakna ketika dosis total benzodiazepin pada ibu > 30 mg.

B. Penatalaksanaan Hipertensi

Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian pada eklampsia. Risiko
terjadinya strok hemoragik memiliki hubungan secara langsung dengan derajat peningkatan
tekanan darah sistolik dan sedikit berhubungan dengan tekanan darah diastolik. Terapi
emergensi pada keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah tersebut masih belum jelas.
Sebagian besar peneliti menganjurkan untuk menggunakan anti hipertensi yang poten untuk
mengatasi tekanan darah diastolik pada kadar 105-110 mmHg dan tekanan darah sistolik > 160
mmHg, walaupun hal ini belum diuji secara prospektif. Pada wanita yang telah mengalami
hipertensi kronik, pembuluh darah otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah sistolik yang
lebih tinggi tanpa terjadinya kerusakan pada pembuluh darahnya, sedangkan pada orang dewasa
dengan tekanan darah yang normal atau rendah mungkin akan menguntungkan jika terapi dimulai
pada kadar tekanan darah yang lebih rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat dan
persisten (>160/110 mmHg) harus diatasi untuk mencegah perdarahan serebrovaskular.
Penatalaksanaannya termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV, diikuti dengan pemberian 5-10 mg
bolus sesuai kebutuhan dalam waktu 20 menit) atau labetalol (10-20 mg IV, diulang setiap 10-20
menit dengan dosis ganda, namun tidak lebih dari 80 mg pada dosis tunggal, dengan dosis
kumulatif total 300 mg). Pada keadaan yang tidak menunjukkan perbaikan dengan segera setelah
mendapat terapi untuk kejang dan hipertensinya atau mereka yang memiliki kelainan neurologis
harus dievaluasi lebih lanjut.

C. Pencegahan kejang berulang

Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang walaupun telah ditanggulangi
secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa wanita dengan eklampsia membutuhkan
terapi anti konvulsan untuk mencegah kejang dan komplikasi dari berulangnya aktivitas kejang
tersebut, seperti: asidosis, pneumoni aspirasi, edema pulmonal, neurologik dan kegagalan
respirasi. Namun, pemilihan jenis obat untuk keadaan ini masih kontroversial. Ahli obstetrik telah
lama menggunakan MgSO4 sebagai obat pilihan untuk mencegah berulangnya eklampsia,
sementara ahli neurologi memilih anti konvulsan tradisional yang digunakan pada wanita yang
tidak hamil seperti fenitoin atau diazepam.

Evaluasi pada persalinan

Terapi definitif eklampsia adalah persalinan yang segera, tanpa memandang usia kehamilan
untuk mencegah komplikasi pada ibu dan anak. Tetapi ini tidak perlu menghalangi dilakukannya
induksi persalinan. Setelah dilakukan stabilisasi terhadap ibu, terdapat beberapa faktor yang
harus dipertimbangkan sebelum menentukan cara yang paling sesuai untuk persalinan.
Diantaranya usia kehamilan, nilai Bishop, keadaan dan posisi janin. Secara umum, kurang dari
sepertiga wanita dengan preeklampsia berat / eklampsia berada pada kehamilan preterm (< 32
minggu kehamilan) dengan serviks yang belum matang untuk dapat melahirkan pervaginam.
Pada keadaan ini, obat-obat untuk mematangkan serviks dapat digunakan guna meningkatkan
nilai Bishop, namun induksi yang terlalu lama harus dihindari.

Bradikardi pada janin yang berlangsung sedikitnya 3 sampai 5 menit merupakan keadaan yang
sering dijumpai selama dan segera setelah kejang eklampsia, dan hal ini tidak memerlukan
tindakan seksio sesar emergensi. Tindakan stabilisasi ibu dapat membantu janin dalam uterus
pulih kembali dari efek hipoksia ibu, hiperkarbia dan hiperstimulasi uterus. Akibat kejang pada ibu
sering berhubungan dengan takikardi janin kompensata bahkan dengan deselerasi denyut
jantung janin sementara yang akan pulih kembali dalam waktu 20 sampai 30 menit.

Prognosis

Komplikasi pada ibu dengan eklampsia dapat terjadi hingga 70 % kasus, meliputi DIC, gagal
ginjal akut, kerusakan hepatoselular, ruptura hati, perdarahan intraserebral, henti jantung paru,
pneumonitis aspirasi, edema paru akut, dan perdarahan pasca persalinan. Kerusakan
hepatoselular, disfungsi ginjal, koagulopati, hipertensi dan abnormalitas neurologi akan sembuh
setelah melahirkan. Akan tetapi kerusakan serebrovaskular akibat perdarahan atau iskemia akan
mengakibatkan kerusakan neurologi yang permanen.

Tingkat kematian ibu dilaporkan berkisar antara 0-13,9%. Satu penelitian retrospektif terhadap
990 kasus eklampsia menemukan angka kematian ibu secara keseluruhan adalah 13,9%
(138/990). Risiko paling tinggi (12/54 [22%]) dijumpai pada subkelompok wanita dengan
eklampsia pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Tingkat kematian ibu dan komplikasi yang
berat paling rendah dijumpai pada wanita yang melakukan asuhan prenatal yang teratur pada
dokter yang berpengalaman pada fasilitas kesehatan tersier. Satu penelitian otopsi yang
dilakukan segera setelah kematian pada wanita eklampsia menunjukkan bahwa lebih dari 50%
dari wanita yang meninggal dalam waktu 2 hari akibat kejang pada otaknya menunjukkan
perdarahan dan perlunakan serebral. Perdarahan kortikal petekie merupakan yang paling sering
dijumpai, khususnya meliputi lobus occipitalis. Edema serebral yang difus dan perdarahan masif
lebih jarang dijumpai. Trombosis vena serebral sering dijumpai pada wanita dengan eklampsia
paska persalinan.

Angka kematian perinatal pada kehamilan eklamptik adalah 9-23% dan berhubungan erat dengan
usia kehamilan. Angka kematian perinatal pada satu penelitian terhadap 54 parturien dengan
eklampsia sebelum usia kehamilan 28 minggu adalah 93%; angka ini hanya sebesar 9% pada
penelitian lain dengan rata-rata usia kehamilan pada saat melahirkan 32 minggu. Kematian
perinatal terutama diakibatkan oleh persalinan prematur, solusio plasenta dan asfiksia intrauterin.

Kehamilan berikutnya

Eklampsia dapat timbul kembali pada kehamilan berikutnya. Risiko tersebut dapat dikurangi
dengan pemantauan ibu yang ketat dan intervensi segera jika terjadi preeklampsia. Tetapi belum
ada cara yang efektif untuk mencegah terjadinya preeklampsia. Tingkat rekurensia eklampsia
diperkirakan berkisar sekitar 2%.

Kehamilan berikutnya pada wanita dengan riwayat preeklampsia berat / eklampsia juga
meningkatkan risiko komplikasi obstetri lainnya dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat
tersebut, termasuk solusio plasenta (2,5-6,5% berbanding 0,8%), persalinan preterm (15-21%
berbanding 7-8%), pertumbuhan janin terhambat (12-23% berbanding 10%) dan peningkatan
tingkat kematian perinatal (4,6-16,5% berbanding 1-3%). Wanita dengan riwayat
preeklampsia/eklampsia pada kehamilan < 28 minggu, memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya
komplikasi tersebut. Risiko tersebut tampaknya sama, baik pada preeklampsia berat maupun
eklampsia.

Hubungan antara hipertensi, gejala dan tanda dari iritabilitas kortikal (sakit kepala, gangguan
penglihatan, mual, muntah, demam, hiperrefleksia) dan kejang-kejang masih belum jelas.
Analisis retrospektif terhadap 383 kasus eklampsia di Inggris menemukan hanya 59% wanita
eklampsia menunjukkan satu atau lebih gejala prodromal – sakit kepala, gangguan penglihatan
(skotomata, amaurosis, pandangan kabur, diplopia, hemianopsia homonimus), atau nyeri
epigastrium – sebelum terjadinya kejang eklampsia. Selanjutnya, besarnya peningkatan tekanan
darah tampaknya tidak dapat memprediksi terjadinya eklampsia, walaupun keadaan tersebut
berhubungan erat dengan insidensi terjadinya gangguan serebrovaskular. Analisis retrospektif
menunjukkan bahwa eklampsia merupakan manifestasi pertama dari penyakit hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan pada 20-38% kasus. Temuan yang sama juga dilaporkan pada
penelitian di Swedia, Skotlandia dan Amerika Serikat. Pada salah satu dari penelitian tersebut,
faktor-faktor tersebut paling tidak secara parsial bertanggung jawab terhadap gagalnya
pencegahan terhadap eklampsia (179 kasus) merupakan kesalahan dokter (36%), kegagalan
magnesium (13%), onset pada paska persalinan lanjut (12%), onset dini sebelum kehamilan 21
minggu (3%), onset mendadak (18%) dan asuhan antenatal yang kurang (19%). Oleh karena itu,
banyak kasus-kasus eklampsia tampaknya tidak dapat dicegah, walaupun pada wanita-wanita
dengan asuhan prenatal yang teratur.

Pencegahan terhadap kejang eklampsia pertama

Walaupun tidak semua kasus eklampsia dapat diprediksi, pemberian terapi anti kejang terhadap
parturien risiko tinggi dapat mencegah terjadinya kejang pertama pada wanita dengan
preeklampsia berat. Dua penelitian besar telah menunjukkan keunggulan magnesium sulfat
dibandingkan dengan fenitoin dalam mencegah eklampsia, Kelompok rumah sakit Parkland
secara acak memberikan magnesium atau fenitoin terhadap 2138 wanita preeklampsia. Kejang
eklamptik timbul pada 10 dari 1089 wanita yang menerima fenitoin dibandingkan dengan tidak
ada satupun kejang eklamptik dari 1049 wanita yang menerima magnesium (P = 0,004). Keluaran
ibu dan neonatus adalah sama pada kedua kelompok.

Terapi anti kejang secara umum dimulai selama kehamilan atau pada saat memberikan terapi
kortikosteroid antenatal atau obat untuk mematangkan serviks sebelum perencanaan persalinan
pada wanita dengan preeklampsia berat. Terapi harus dilanjutkan hingga 24 sampai 48 jam
pascapersalinan dan risiko terjadinya kejang adalah rendah. Regimen magnesium sulfat yang
paling sering digunakan adalah dosis awal 4 sampai 6 g diberikan intravena lebih dari 20 menit,
diikuti dengan 2 sampai 3 g / jam sebagai infus kontinyu.

TABEL 2. Pencegahan kejang berulang pada wanita dengan eklampsia

GAGAL GINJAL

Gagal ginjal akut ditandai dengan pelepasan reduksi pada filtrasi glomerular, yang mengarah
kepada eksesif retensi urea dan air sama halnya dengan sejumlah elektrolit dan gangguan
keseimbangan asam basa. Gagal ginjal akut adalah salah satu komplikasi yang jarang terjadi
pada preeklampsia, tetapi keadaan yang sebenarnya tetap tidak bisa ditentukan. Berdasarkan
pengalaman pada satu senter, 18% dari semua kasus gagal ginjal akut berasal dari kasus
obstetri. Diantara pasien tersebut, 20,9% dari semua kasus terjadi dengan didahului oleh
preeklampsia. Kondisi lain yang harus dipertimbangkan meliputi sindroma hemolisis uremia,
penyakit renovaskuler primer dan solusio plasenta.

Etiologi dan Patogenesis

Karakteristik histologis pada lesi renal pada preeklampsia adalah adanya endoteliasis
glomerulus, dimana glomerulus besar dan membengkak dengan sel-sel endotel bervakuola.
Gambaran histologis ini, berpasangan dengan vasokonstriksi umum yang menandai
preeklampsia, menyebabkan penurunan sebesar 25-30% dari aliran plasma ginjal dan glomerular
filtrasi dibandingkan dengan kehamilan normal. Bagaimanapun, kerusakan fungsional pada ginjal
dibandingkan dengan preeklampsia secara umum bersifat ringan dan mengalami perbaikan
sempurna setelah persalinan. Sebagai contoh, gagal ginjal akut pada wanita preeklampsia yang
secara klinis bermakna jarang terjadi.

Penyebab dari terjadinya gagal ginjal akut dapat dibagi dalam 3 kategori besar; prerenal (yang
dihubungkan dengan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan parenkim), intraarenal (yang
mengakibatkan kerusakan instrinsik pada parenkim ginjal), dan postrenal (yang berimplikasi pada
obstruktif uropati). Keadaan patologis prerenal dan intrarenal (akut tubular nekrosis) sekitar 83-
90% dari semua kasus gagal ginjal akut pada preeklampsia.

Kerusakan ginjal sekunder dengan perubahan patologi seperti ini terlihat paling umum pada
preeklampsia dan biasanya mengalami perbaikan sempurna setelah persalinan. Sebaliknya,
nekrosis korteks renal bilateral, berkisar 10-29% dari kasus-kasus gagal ginjal akut pada
kehamilan, adalah kondisi yang jauh lebih serius dan dihubungkan dengan angka kematian
maternal dan angka kematian perinatal beserta komplikasinya.Hal ini paling umum terlihat pada
wanita dengan latar belakang hipertensi kronik dan superimposed preeklampsia, dikenal sebagai
penyakit parenkim ginjal, solusio plasenta atau DIC.

Prognosis

Angka kematian maternal adalah 10 % (3/31). Secara keseluruhan 14 dari 31 pasien (46,6%)
memerlukan dialisis, dan tidak ada perbedaan dalam presentase antara wanita yang memerlukan
dialisis untuk preeklampsia (50%) dan hipertensi kronik dengan superimpos preeklampsia (42%).
Dari ke-18 pasien dengan gagal ginjal akut yang didahului oleh preeklampsia mengalami akut
tubular nekrosis, dengan resolusi lengkap dari fungsi ginjal setelah melahirkan. Sebaliknya 3 dari
13 pasien dengan hipertensi kronik dan superimpos preeklampsia mengalami nekrosis korteks
bilateral, 9 dari 11 (81,8%) pasien yang hidup memerlukan dialisis jangka panjang, dan 4 pasien
mengalami kematian karena gagal ginjal terminal sebelum publikasi. Berdasarkan hal ini dapat
disimpulkan bahwa identifikasi dini dan penanganan yang tepat dari gagal ginjal akut pada
parturien yang sebelumnya sehat dengan preeklamsia tidak berakhir dengan kerusakan ginjal
residual jangka panjang.

Penelitian yang sama dari Memphis, Tennessee, sebelumnya melaporkan pengalaman mereka
dengan sindroma HELLP dan gagal ginjal akut. Dari semua kasus gagal ginjal akut yang didahului
oleh sindroma HELLP adalah 7,3 %. Pada penelitian kohort mereka, didapatkan angka kematian
maternal sebesar 13 % dan angka kematian perinatal sebesar 34%. Sebagian besar dari 32
pasien dengan sindroma HELLP dan gagal ginjal akut terjadi saat pascapersalinan. Analisis lebih
lanjut mengatakan bahwa keadaan dengan latar belakang hipertensi kronik berhubungan dengan
keluaran hasil persalinan yang kurang begitu baik diharapkan dan prognosis jangka panjang yang
lebih baik.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari gagal ginjal akut yang didahului oleh preeklamsia harus difokuskan pada
penyingkiran diagnosis lain, khususnya kondisi-kondisi yang mungkin bersifat reversibel (misal
dehidrasi atau obstruktif uropati). Terapi suportif meliputi kontrol tekanan darah, pengaturan
posisi pasien untuk meningkatkan aliran darah ginjal, koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit,
dan mempertahankan nutrisi yang adekuat. Bila dialisis diperlukan selama masa kehamilan,
maka hemodialisis yang dianjurkan bukan dengan dialisis peritoneal.

KEDARURATAN HIPERTENSI

Kedaruratan hipertensi dapat menjadi komplikasi dari preeklampsia sebagaimana yang terjadi
pada hipertensi kronik. Walaupun patofisiologinya mungkin berbeda pendekatan evaluasi akut
dan penatalaksanaanya adalah sama, dengan tujuan utama untuk mencegah terjadinya
hipertensi ensefalopati dan serangan serebrovaskular (CVA). Sampai sekarang yang belum jelas
apakah tekanan darah yang terkontrol secara agresif dapat menurunkan terjadinya eklampsia.
Walaupun jarang, CVA sebagai akibat dari hipertensi akut merupakan salah satu penyebab
terjadinya kematian maternal dari preeklampsia.

Diagnosis banding

Hipertensi akut mungkin juga merupakan salah satu hasil dari berbagai macam kelainan ini.
Walaupun etiologinya tampak jelas, pertimbangan harus diberikan untuk berbagai kemungkinan
diagnosa selain dari eklampsia, jika manifestasi kliniknya atipikal. Diagnosia alternatif yang
mungkin antara lain : kromositoma, trombosis vena renalis, gejala rebound pada pemberian
klonidin, penyalahgunaan kokain dan metamfetamin, hiperemi akut pada kulit akibat penyakit
kolagen vaskuler. Dalam berbagai kasus, yang melatarbelakangi terjadinya hipertensi akut
adalah hipertensi esensial yang memburuk atau eksaserbasi akut dari preeklampsia.

Patofisiologi

Mengapa kedaruratan hipertensi terjadi pada beberapa pasien sedangkan yang lainnya tampak
tidak jelas? Beberapa ahli telah berusaha untuk mendifinisikan ambang parameter dari krisis
hipertensi dan mengeluarkan pernyataan bahwa tekanan darah diastolik harus lebih dari 115
mmHg dan/ atau sistolik lebih dari 200 mmHg untuk menetapkan diagnosis hipertensi krisis.
Namun dari pengalaman klinik menunjukkan bahwa CVA dapat terjadi pada wanita dengan
tekananan darah yang konsisten dibawah parameter diatas. Para ahli yang lain mengajukan
pendapat bahwa angka rata-rata telah berubah dibandingkan dengan pengukuran yang absolut
yang bertanggungjawab terjadinya kerusakan otak.

Krisis hipertensi dapat mempengaruhi berbagai sistim organ. Ablasio retina dan atau perdarahan
pada retina, gagal jantung kongestif, infark miokard, gagal ginjal, gagal hati, solusio plasenta, dan
ensefalopati hipertensi dimana semuanya ini dapat terjadi akibat hipertensi akut yang tidak
terkontrol. Bukti-bukti klinis dari akibat kerusakan pada organ akhir tersebut harus segera
mendapat perhatian dan penanganan yang segera yang mengacu pada pengontrolan tekanan
darah.

Sebagian besar pasien dirawat tanpa menggunakan pengawasan hemodinamik yang invasif, tapi
pasien-pasien dengan kasus atipikal yang berat sebaiknya dirawat pada pusat rujukan tersier
dengan dibawah pengawasan dokter-dokter yang memiliki keahlian dalam bidang kedaruratan
medik (critical care medicine).

Penatalaksanaan

Kedaruratan hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu tantangan klinis yang sangat
bermakna. Langkah pertama yang terpenting dalam penatalaksanan hipertensi krisis adalah
untuk menurunkan tekanan darah, namun menurunkan tekanan darah secara tiba- tiba harus
dihindari. Idealnya penurunan tekanan darah yang pertama kali adalah 20 %, dengan target untuk
sistolik 140-150 mmHg dan diastolic 90-100 mmHg, sehingga hasilnya akan sangat membantu
dalam memperbaiki keadaan pasien. Hipertensi yang refrakter dalam terapi klinis merupakan
indikasi penting untuk melakukan terminasi kehamilan, dan untuk kasus-kasus yang ekstrim,
seksio sesarea perimortem perlu dilakukan.

Pada hipertensi akut dengan komplikasi hipertensi ensefalopati penatalaksanaanya harus


dilakukan dengan menggunakan fasilitas ICU. Pemberian sodium nitropruside merupakan obat
pilihan utama antihipertensi pada keadaan ini. Pada dosis yang melebihi dari 8 μg/kg/menit, hati-
hati terjadinya akumulasi sianida dan tiosianat pada janin . Dianjurkan dilakukan pengawasan
ketat dari kadar sianida pada pasien-pasien yang mendapat sodium nitropruside dosis tinggi.

TABEL 3. Penatalaksanaan farmakologi krisis hipertensi akut


Penatalaksanaan definitif dari hipertensi krisis yang disebabkan preeklampsia adalah terminasi
kehamilan. Anestesi analgesik regional lebih sering dipakai pada keadaan ini jika tidak ada bukti-
bukti terjadinya koagulopati dan tidak ada kontraindikasi untuk dilakukannya anestesi regional.
Pada pasien-pasien ini penting untuk mencegah terjadinya hipotensi. Jika dibutuhkan anestesi
umum maka diperlukan pengawasan tekanan darah dan diperlukan premedikasi untuk mencegah
peningkatan tekanan darah yang seringkali dijumpai pada fase induksi dari anestesi umum.

HIPERTENSI ENSEFALOPATI DAN BUTA KORTIKAL

Buta kortikal diketahui sebagai komplikasi dari preeklampsia berat. Manifestasi optalmologi dari
preeklampsia antara lain : ablasio retina, vasospasme arteriola retina dan trombosis arteri-arteri
sentralis retina. Insiden dari buta kortikal yang merupakan manifestasi dari ensefalopati hipertensi
pada preeklampsia berat adalah 1-15 %.

Patofisiologi

Otak secara normal dilindungi dari tekanan darah yang ekstrim oleh suatu sistim autoregulasi
yang mengatur perfusi konstan pada tekanan sistemik yang mempunyai rentang yang bervariasi.
Untuk penatalaksanaan hipertensi sistemik, arteriol-arteriol serebral perlu dilebarkan untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat, dimana pembuluh-pembuluh mengalami penyempitan
sebagai respon dari tingginya tekanan sistemik. Diatas dari batas tertinggi dari autoregulasi,
dapat terjadi ensefalopati hipertensi . Hipertensi ensefalopati merupakan suatu sindroma
neurologik subakut yang ditandai dengan sakit kepala, kejang, penurunan penglihatan dan
gangguan-gangguan neurologik lainnya (perubahan status mental, gejala-gejala fokal neurologik)
pada keadaan tekanan darah yang meningkat. Walaupun sindroma ini bersifat reversibel jika
hipertensi yang terjadi diobati secara dini, namun tetap menjadi fatal jika gejala-gejala ini tidak
dikenali atau jika pengobatan ini tertunda. Penemuan klinis bersifat tidak spesifik dan
diagnosisnya mungkin sulit untuk ditegakkan terutama pada pasien-pasien yang menderita
penyakit lainnya. Kondisi-kondisi neurologi yang bervariasi seperti CVA, trombosis vena,
ensefalitis dapat menutupi gejala klinis dari hipertensi ensefalopati. MRI berguna dalam
menegakkan diagnosa pada kasus-kasus klinik yang sesuai.

Studi –studi otopsi klasik dari Sheehan dan Lynch tahun 1960 menghasilkan suatu pendapat
bahwa preeklampsia dan eklampsia lebih sering dihubungkan dengan meluasnya edema
serebral. Lesi yang paling sering dijumpai adalah perdarahan petekie multipel pada daerah
kortek, subkortek, substansia alba dan otak bagian tengah. Karena perdarahan petekie berkaitan
dengan adanya trombus kapiler, maka para ahli menyimpulkan bahwa lesi-lesi tersebut
disebabkan oleh suatu gangguan vaskuler yang menyebabkan lokal iskemik. Kadang-kadang
edema difus yang berat tampak pada eklampsia, namun semakin spesifik lesi, maka edem otak
semakin terlokalisir pada jaringan penghubung substansia alba dan grisea pada lobus oksipital.
Kerentanan dari sirkulasi posterior pada lesi hipertensi ensefalopati sudah dikenal, tapi fenomena
terjadinya masih belum banyak dimengerti. Satu penjelasan yang mungkin adalah terdapatnya
hubungan dengan heterogenitas regional dari penemuan simpatis vaskuler.

Pada studi eksperimental, persarafan-persarafan simpatis dari arteriol-arteriol intrakranial telah


terbukti untuk melindungi otak dari peningkatan tekanan darah yang bermakna. Kemudian , studi-
studi ultrastruktural telah menunjukkan bahwa sistim karotis interna mendapat suplai yang lebih
baik dengan inervasi simpatis jika dibandingkan dengan sistim vertebrobasiler. Hipertensi akut
menurut hipotesa ini dapat menstimulasi saraf-saraf simpatis perivaskuler, yang dapat melindungi
bagian anterior tapi tidak inervasi bagian posterior yang sirkulasinya lebih sedikit. Hipotesa
tersebut dapat menghasilkan suatu hipotesa baru dengan edema yang sebagian besar terdapat
pada lobus oksipital yang bermanifestasi klinis pada mata.

Dua teori yang telah diajukan untuk menghitung kelainan-kelainan klinis dan radiologis pada
hipertensi ensefalopati dan buta kortikal. Postulat I menyatakan bahwa hipertensi ensefalopati
disebabkan karena adanya spasme dari vaskular serebral sebagai respon dari hipertensi akut,
yang juga dapat menyebabkan kerusakan iskemik, nekrosis arteriol, dan edema sitotoksik.
Hipotesis alternatif yang terbaru adalah sindrom-sindrom yang berasal dari rusaknya autoregulasi
dengan overdistensi pasif dari arteriol-arteriol serebral, yang mengacu pada peningkatan
permeabilitas kapiler dengan kebocoran cairan dan protein sampai disekeliling jaringan,
menghasilakan edema vasogenik ( hidrostatik). Pada kedua contoh diatas hasil akhir dari
progresifitas penyakit adalah edema serebral fokal. Terdapatnya edema serebral pada hasil
CTscan dan MRI kepala, tidak membantu dalam mendefinisikan mekanisme yang
melatarbelakangi terjadinya hipertensi ensefalopati. Peningkatan neuroimaging mungkin
dilakukan, termasuk SPECT (single photon emission computed tomography), yang dapat
membedakan baik area hiper/hipoperfusi, yang telah memungkinkan dilakukannya penyelidikan
secara lebih terperinci dari respon vaskuler serebral pada hipertensi.

Pada tahun 1992, Schwarts dkk melaporkan pada penggunaan CT MRI dan SPECT pada 14
pasien dengan ensefalopati hipertensi, termasuk 8 diantaranya menderita preeklampsia. Semua
pasien mempunyai lesi-lesi hipodens pada lobus oksipital yang tampak pada CT, yang berkaitan
dengan lesi-lesi dari peningkatan intensitas sinyal yang terdapat pada T2 weighted MRI . SPECT
yang dilakukan pada 2 pasien dalam episode hipertensi pada area yang terbuka akan
meningkatkan perfusi serebral, yang berkaitan dengan lesi-lesi yang ditemukan pada CT-scan
dan MRI. Data-data ini menunjang konsep yang menyatakan bahwa ensefalopati hipertensi
merupakan hasil primer dari peningkatan permeabilitas vaskuler yang memacu timbulnya edema
vasogenik. Jika vasospasme dan resultan iskemia merupakan hal-hal yang penting, penurunan
perfusi serebral pada SPECT mungkin akan lebih diawasi dengan infark yang mungkin terjadi.
Namun infark ini jarang terjadi baik secara klinis maupun secara eksperimental.

Penatalaksanaan

Buta kortikal dan manifestasi lainnya dari ensefalopati hipertensi merupakan suatu kontraindikasi
untuk dilakukannya perawatan dari preeklampsia dalam kehamilan. Kelahiran bayi dan plasenta
merupakan satu-satunya terapi yang kuratif. Tanggung jawab lainnya dari penatalaksanan ini
termasuk menyingkirkan penyebab lainnya dari kebutaan (mis : perdarahan oksipital, dan ablasio
retina) dan pengontrolan tekanan darah . Buta kortikal akan sembuh secara sempurna sesudah
kelahiran walaupun masa penyembuhannya mungkin memakan waktu beberapa minggu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Barrilleaux PS, Martin JN. Hypertension therapy during pregnancy. Clin Obstet Gynecol 2002 ; 45: 22-34
2. Norwitz ER, Hsu CD, Repke JT. Acute complications of preeclampsia. Clin Obstet Gynecol 2002 ; 45: 308-329
3. Yankowitz, Niebyl JR. Drug therapy in pregnancy. 3rd ed. Philadelphia.Baltimore.New
York.London.Hongkong.Tokyo: Lippincot Williams & Wilkins, 2001:101
th
4. Briggs GG, Freeman RK. Drug in pregnancy and lactation. 6 ed. Philadelphia.Baltimore.New
York.London.Hongkong.Tokyo: Lippincot Williams & Wilkins, 2002:995
5. American College of Obstetricians and Gynecologists. Hypertension in pregnancy. ACOG Technical Bulletin
No. 219. Washington, DC: ACOG, 1996
rd
6. Gilstrap LC, 3 , Cunningham FG, Whalley PJ. Mangement of pregnancy-induced hypertension in the
nulliparous patient remote from term. Semin Perinatol. 1978;2:73
7. Campbell DM, Templeton AA. Is eclampsia preventable? In: Bonnar J, MacGillivray I, Symonds ED, eds.
Pregnancy Hypertension. Baltimore: University Park Press, 1980:483
8. Lucas MJ, Leveno KJ. Cunningham FG. A comparison of magnesium sulfate with phenytoin for the prevention
of eclampsia. N Eng J Med. 1995;333:201
9. Hall DR, Odendaal HJ, Smith M. Is the prophylactic administration of magnesium sulphate in women with
preeclampsia indicated prior the labour? Br J Obstet Gynaecol. 2000;107:903
10. Sibai BM, Villar MA, Mabie BC. Acute renal failure in hypertensive disorders of pregnancy: Pregnancy
outcome and remote prognosis in thirty-one consecutive cases. Am J Obstet Gynecol. 1990;162:777-783
11. Stratta P, Canavese C, Colla L, et al. Acute renal failure in preeclampsia-eclampsia. Gynecol Obstet Invest.
1987;24:225-231
12. Sibai BM, Ramadhan MK. Acute renal failure in pregnancies complicated by hemolysis, elevated liver
enzymes, and low platelets. Am J Obstet Gynecol. 1993;168:1682-1687
13. Apollon KM, Robinson JN, Schwartz RB, et al. Cortical blindness in severe preeclampsia: Computed
tomography, magnetic resonance imaging and single-photon emisson computed tomography findings. Obstet
Gynecol. 2000;95:1017-1019
14. Nag S, Robertson DM, Dinsdale HB. Cerebral cortical changes in acute hypertension: An ultrastructural study.
Lab Invest. 1977;39:150-161

Anda mungkin juga menyukai