Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonatus (bayi berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium
tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin dan menyerang sistem saraf pusat.
Spora kuman tersebut masuk ke dalam tubuh bayi melalui pintu masuk satu-
satunya, yaitu tali pusat yang dapat terjadi pada saat pemotongan tali pusat ketika
bayi lahir maupun pada saat perawatan sebelum terlepasnya tali pusat.4

2.2 Etiologi

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk


batang dengan sifat :

1. Basil Gram-Positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti


pemukul genderang
2. Obligat Anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat menggunakan flagella
3. Menghasilkan eksotoksin yang kuat
4. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam
suhu tinggi, kekeringan, dan desinfektans.
Gambar 2.1 Bakteri Clostridium Tetani12

Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama tanah di daerah
pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana – mana, mencemari
lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang
tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan anaerob dapat
berubah menjadi bentuk vegetative yang akan menghasilkan eksotoksin.5

2.3 Epidemiologi

Tetanus neonatorum saat ini merupakan suatu penyakit yang dapat dikatakan
langka di banyak negara maju dan berkembang, di mana proses partus yang steril
dan pemberian vaksin tetanus secara umum telah disosialisasikan dan
dilaksanakan sebagai suatu prosedur kesehatan wajib. Amerika Serikat memilki
insiden tetanus neonatorum yang sangat rendah yaitu 0,01/1000 kelahiran sejak
tahun 1967.1
Tetanus neonatorum terjadi sama banyaknya baik pada laki-laki maupun wanita
(1:1), usia ibu yang paling sering mengalami tetanus maternal adalah antara usia
20-30 tahun (berbanding lurus dengan usia melahirkan terbanyak). 90 % kasus
tetanus neonatorum dan tetanus maternal terjadi pada partus yang dilakukan di luar
fasilitas kesehatan (di rumah, dukun, dsb).6

4
Tetanus neonatorum memilki tingkat morbiditas yang tinggi, dimana > 50%
kasus tetanus neonatorum berakhir dengan kematian. Menurut data UNICEF,
setiap 9 menit, seorang bayi meninggal akibat penyakit ini.WHO menyatakan
bahwa tetanus neonatorum merupakan poenyebab dari 14 % kematian neonatus di
seluruh dunia.7,8
Tetanus neonatorum dan tetanus maternal merupakan suatu kesatuan dan
dengan dieliminasinya tetanus neonatorum, maka tetanus pada ibu melahirkan
secara tidak langsung juga dieliminasi. Pada tahun 1989, WHO mencanangkan
suatu program dengan target pada tahun 1995, penyakit tetanus pada maternal-
neonatus dapat dieliminasi dan pada tahun 2005 penyakit ini bukan lagi sebuah
masalah kesehatan masyarakat dunia. Eliminasi dianggap tercapai jika jumlah
kasus tetanus neonatorum <1 kasus / 1000 kelahiran. Program ini meliputi program
vaksin toxoid tetanus dan penyediaan fasilitas kesehatan yang memenuhi standard
dan sosialisasi tentang penyakit ini di seluruh dunia.2
Penurunan drastis kematian neonatus akibat tetanus berhasil dicapai sejak
diberlakukannya program WHO tersebut, di mana pada tahun 1980, menurut data
WHO dilaporkan 800.000 neonatus meninggal akibat tetanus, dan kemudian pada
tahun 2002 menurun menjadi 180.000 neonatus yang meninggal akibat penyakit
ini. Kasus tetanus neonatorum berkurang drastis setiap tahunnya dan pada tahun
2009, jumlah kematian neonatus akibat tetanus adalah 61.000.8,9
Hingga saat ini, Maternal-Neonatal Tetanus (MNT) masih belum berhasil
dieliminasi secara menyeluruh, di mana pada tahun 2009, penyakit ini masih
merupakan suatu masalah kesehatan 57 negara di dunia, terutama di Asia dan
Afrika, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Sekitar 1 juta kasus tetanus
dilaporkan dari seluruh dunia pada tahun 2010, dan lebih dari 50 % kematian
akibat penyakit ini terjadi pada neonatus.10

5
Gambar 2.2 Perkiraan WHO tentang Eliminasi Tetanus Neonatorum Dunia1

Indonesia walaupun belum berhasil mengeliminasi tetanus neonatorum ini,


juga telah berhasil menekan secara drastis jumlah kasus penyakit ini. Pada tahun
1980, jumlah kematian akibat tetanus neonatorum di Indonesia adalah 71.000 (8
% dari total kematian akibat tetanus neonatorum di seluruh dunia pada saat
itu).Pada tahun 2010, WHO menyatakan bahwa daerah Jawa dan Bali (59 % dari
populasi Indonesia) telah berhasil bebas dari tetanus neonatorum. Survey pada
daerah-daerah lainnya masih dalam proses, dan diharapkan pada tahun 2015,
Indonesia secara keseluruhan sudah bebas dari penyakit ini.9,10

2.4 Patofisiologi

Masa inkubasi pada bayi lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu berkisar
antara 3-10 hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau awal

6
minggu ke dua pasca persalinan sehingga sering kali disebut sebagai penyakit hari
ke tujuh (disease of the seventh day). Hal ini membantu membedakan tetanus
neonatorum dengan penyakit lain pada neonatus, di mana pada penyakit lain akan
muncul gejala pada 2 hari pertama kehidupan.11
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau
sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan
dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat
yang tidak steril. Pada tetanus neonatorum, C. tetani masuk melalui luka tali pusat,
karena perawatan atau tindakan yang tidak memenuhi syarat kebersihan, misalnya
memotong tali pusat dengan bambu/ gunting yang tidak steril, atau setelah tali
pusat dipotong dibubuhi abu, tanah, minyak, daun-daunan dan sebagainya.12,13
Spora Clostridium tetani yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai
dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi
bentuk vegetative dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi
inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh
sel vegetative yang sedang tumbuh. Clostridium tetani menghasilkan dua
eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin yang dihasilkan
bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini dengan merusak jaringan-
jaringan yang belum nekrosis dan mengoptimalkan suasana anaerob yang
terbentuk pada situs luka selain itu juga menyebabkan hemolisis tetapi tidak
berperan dalam penyakit ini. Tetanospasmin sebagai neurotoksin kemudian
menjadi agen penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada tetanus.14
Dalam kondisi normal, sistem musculoskeletal akan bereaksi sesuai dengan
sinyal (aktif potensial) yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan
inhibitorik). Sel-sel neuron akan bereaksi terhadap suatu sinyal dengan
menghasilkan neurotransmiter dan dikeluarkan menggunakan suatu protein
membran (synaptobrevin) menuju saraf motorik. Neurotransmiter tersebut

7
kemudian menyampaikan sinyal tersebut dan saraf motorik akan merangsang serat
otot untuk bereaksi.14
Pada kontraksi otot skeletal, neuron eksitatorik akan mengeluarkan
neurotransmiter sperti asetilkolin untuk menyampaikan sinyal eksitatorik ke motor
neuron yang merangsang otot untuk berkontraksi, sementara itu neuron inhibitorik
juga akan menghasilkan neurotransmitter seperti GABA untuk membatasi gerakan
dan menodulasi kontraksi yang terjadi, di mana pada saat satu bagian otot
berkontraksi, pada saat bersamaan terdapat otot lain yang relaksasi (antagonis
refleks). Infeksi Clostridium tetani menyebabkan neuron inhibitorik gagal
mengeluarkan neurotransmitter inhibitori, sehingga kontraksi yang terjadi tidak
diimbangi dengan inhibisi otot yang lain. Akibatnya baik otot agonis maupun
antagonis mengalami kontraksi dan tidak terkontrol sehingga terjadi spasme otot
yang menjadi gambaran khas pada tetanus.14
Tetanospasmin selain merusak refleks antagonis pada sistem musculoskeletal,
pada tahap lanjut, juga mengganggu refleks antagonis sistem saraf simpatik,
sehingga pada kondisi tersebut, pelepasan katekolamin storm atau disebhiper-
adrenergik.16
Masa inkubasi pada bayi lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu berkisar
antara 3-10 hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau awal
minggu ke dua pasca persalinan sehingga sering kali disebut sebagai penyakit hari
ke tujuh (disease of the seventh day). Hal ini membantu membedakan tetanus
neonatorum dengan penyakit lain pada neonatus, di mana pada penyakit lain akan
muncul gejala pada 2 hari pertama kehidupan.16

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat ketika
bayi malas minum dan menangis yang terus menerus. Bayi kemudian akan
kesulitan hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya mengalami gangguan
menyusu. Hal tersebut menjadi tanda khas onset penyakit ini. Kekakuan rahang

8
(trismus) mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan akhirnya
berhenti. Mulai terjadi kekakuan pada wajah (bibir tertarik kearah lateral, dan alis
tertarik ke atas) yang disebut risus sardonicus. Kaku kuduk, disfagia dan kekakuan
pada seluruh tubuh akan menyusul dalam beberapa jam berikutnya.16
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu oleh
rangsangan-rangsangan sensoris (suara atau sentuhan). Kemudian kejang akan
terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus. Spasme dan kejang berulang
atau terus menerus yang terjadi akan mempengaruhi sistem saraf simpatik
sehingga terjadi vasokonstriksi pada saluran napas dan akan terjadi apneu dan bayi
menjadi sianosis. Hal ini merupakan penyebab kematian terbesar pada kasus
tetanus neonatorum.16
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan fleksi
pada siku dan tertarik ke arah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan
kaki akan mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung menyebabkan
punggung tertarik menyerupai busur panah (opisthotonos).16
Jarak antara gejala pertama muncul sampai muncul gejala berikutnya pada
kasus neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan penting dalam
menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode onset, semakin buruk
prognosisnya. Periode onset pada neonatus lebih pendek dibandingkan dengan
anak atau dewasa di mana lebih ke arah beberapa jam dari pada beberapa hari
seperti pada dewasa. Hal ini mungkin disebabkan jarak akson yang lebih pendek
sehingga infeksi lebih cepat mencapai sistem saraf pusat.16

9
DERAJAT MANIFESTASI KLINIS
I : Ringan Inkubasi > 14 hari, Onset 6 hari, Trismus ringan, Tidak terdapat
disfagia, kekakuan local, kejang sebentar.
II : Sedang Inkubasi 10-14 hari, Onset 3-6 hari, Trismus sedang, disfagia
ringan, Kekakuan umum, Kejang lebih sering dan berat tanpa
menyebabkan dispnue dan sianosis.
III : Berat Inkubasi < 10 hari, Onset < 3 hari, Trismus berat, disfagia
berat, kekakuan umum yang menyebabkan sulit bernafas,
kejang cepat memberat dan menyebabkan kegagalan
pernafasan dan spasme laring.
Tabel 2.1. Klasifikasi Cole dan Youngman untuk Derajat Manifestasi Klinis17

2.6 Penegakkan Diagnosis


Anamnesis
 Bayi kesulitan hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya mengalami
gangguan menyusu
 Kekakuan rahang (trismus) dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang
hingga akhirnya berhenti
 Terdapat kekakuan tubuh yang dipicu oleh rangsangan-rangsangan seperti
suara atau sentuhan. Kemudian kejang akan terjadi secara spontan dan
akhirnya terus menerus.12

Pemeriksaan Fisik

 Tali pusat bayi dapat ditemukan dalam kondisi kotor dan berbau merupakan
tanda port d’entrée Clostridium tetani.

10
Gambar 2.3. Kondisi tali pusat pada tetanus neonatorum.6

 Mulut mencucu seperti mulut ikan (karpermond)


 Kekakuan pada wajah dimana bibir tertarik ke arah lateral, dan alis tertarik
ke atas yang disebut risus sardonicus. Ekspresi muka yang khas akibat
kekakuan otot-otot mimik, dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak
menyipit, sudut mulut keluar dan ke bawah.

Gambar 2.4. Risus sardonicus.6

 Kaku kuduk hingga epistotonus akibat kekakuan otot leher, otot punggung,
otot pinggang, semua trunk muscle.

11
Gambar 2.5. Epistotonus.6

 Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan untuk mendeteksi dini


penyakit ini. Hasil positif ditunjukan ketika spatula menyentuh orofaring lalu
terjadi spasme pada otot maseter dan bayi menggigit spatula lidah. Uji
spatula memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi (94%).13

Gambar 2.6 Uji Spatula.6

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus, beberapa
hasil pemeriksaan penunjang dibawah ini dapat ditemui pada kasus tetanus,
antara lain:

12
a) Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka
tetanus, namun demikian, kuman Clostridium tetani dapat ditemukan
di luka pada orang yang tidak mengalami tetanus dan seringkali tidak
dapat dikultur pada pasien tetanus.
b) Nilai hitung leukosit dapat tinggi
c) Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang
normal
d) Kadar antitoksin didalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap
sebagai imunisasi bukan tetanus
e) Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat
meningkat.
f) EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus
menerus dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang
normal yang diamati setelah potensial aksi.14

2.7 Penatalaksanaan
Suportif
1. Mencegah terjadinya aspirasi, segera setelah pemberian antikonvulsan
dipasang sonde lambung, lambung dikosongkan, posisi kepala
dimiringkan.
2. Penderita diisoloasi dan dijauhkan dari rangsangan terutama cahaya yang
berubah mendadak, bunyi dan sentuhan.
3. Makanan diberikan dalam jumlah sedikit tetapi sering, untuk mencegah
terjadinya regurgitasi.
4. Oksigen apabila terdapat gangguan oksigenasi17

Medikamentosa
1. ATS pada hari 1 20.000 IU diberikan perdrip dengan diencerkan 20 kali
dengan Nacl fisiologis. Sebelum pemberian harus dilakukan tes kulit

13
terlebih dahulu, bila positif maka dilakukan desentasi dengan cara
besredka. Pada hari ke 2 ATS 20.000 IU diberikan IM.
2. Antibiotika Penicilin Procain 50.000 U/kgBB/kali IV, kemudian
diteruskan dengan 4-8mg/kgBB/hari diberikan secara IV dalam 12 kali
pemberian.
3. Antikonvulsan :
a. Fenobarbital dosis awal 100 mg IM dan Largactil dosis awal 30 mg
IM dilanjutkan oral Fenobarbital 6x30 mg/hari dan Largactil 2-5
mg/kgBB/hari dibagi 6 dosis.
b. Diazepam dengan dosis inisial 0.2 mg/kgBB/kali IV, kemudian
diteruskan dengan 4-8 mg/kgBB/hari diberikan secara IV dalam 12
kali pemberian.
c. Dosis antikonvulsan diturunkan secara bertahap sesuai dengan
perbaikan klinis.
4. Antiseptik H2O2 3% unutk pencucian luka.17

2.8 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang ditemui pada tetanus neonatorum dapat ditemui saat terjadinya
tetanus dan memperburuk keadaan bayi atau dapat pula berupa komplikasi jangka
panjang, adapun komplikasi yang dapat ditemui pada tetanus neonatorum antara
lain :
1. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan atau otot pernapasan
menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama
kematian pada kasus tetanus neonatorum.
2. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot
berlebihan yang terus menerus. Terutama pada neonatus, dimana
pembentukan dan kepadatan tulang masih belum sempurna.
3. Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saraf otonom yang
dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat

14
menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Merupakan penyebab
kematian neonatus yang sudah distabilkan jalan napasnya.
4. Sepsis akibat infeksi nosokomial, infeksi sekunder (cth:
Bronkopneumonia)
5. Pneumonia aspirasi, sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun
minuman yang diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung.16
Komplikasi jangka panjang dapat ditemukan defisit neurologis pada sebagian
penderita tetanus neonatorum yang selamat. Gejala yang muncul dapat berupa
cerebral palsy, gangguan perkembangan intelektual maupun gangguan perilaku.
Gejala tersebut didapatkan pada anak-anak berusia 7-12 tahun. Hal ini
diperkirakan terjadi akibat anoksia yang terjadi semasa kejang yang terjadi.16
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari
inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya
gejala hingga spasme tetanik yang pertama. Statistik terbaru menunjukkan tingkat
mortalitas pada tetanus ringan-sedang mencapai 6%. Sedangkan tetanus berat
memiliki tingkat mortalitas 60%.16

15
Factor Score

Incubation Time

< 48 hours 5

2-5 days 4

5-10 days 3

10-14 days 2

> 14 days 1

Site of infection

Internal and umbilical 5

Head, neck, and body wall 4

Peripheral proximal 3

Peripheral distal 2

Unknown 1

State of protection

None 10

Possibly some or maternal immunisation in neonatal patients 8

Protected > 10 years ago 4

Protected < 10 years ago 2

Complete protection 0

Complicating factors

Injury or life threatening illness 10

Severe injury or illness not immediately life threatening 8

Injury or non life threatening illness 4

Minor injury or illness 2

ASA Grade 1 0

Tabel 2.2 Prognostic Scoring Systems in Tetanus Phillips Score15

Interpretasi :
 Skor < 9 = Tetanus ringan
 Skor 9 – 16 = Tetanus sedang
 Skor > 16 = Tetanus berat

16

Anda mungkin juga menyukai