PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan perekonomian Indonesia dewasa ini, menunjukan kecenderungan
sektor swasta semakin menonjol. Terlebih lagi dengan adanya serangkaian deregulasi
ekonomi, peran swasta yang kebanyakan memilih badan usaha berupa Perseroan Terbatas
(PT) menjadi semakin dominan jika dibandingkan dengan bentuk usaha lainnya.
Pemilik modal sebagai pemegang saham dalam sebuah Perseroan Terbatas sangat
bervariatif seperti pemegang saham mayoritas atau pemegang saham minoritas, pemegang
saham mayoritas seringkali bergabung dalam suatu kelompok kekuatan yang kadang-
kadang membuat kedudukan para pemegang saham dalam kelompok tersebut tidak
berimbang. Terhadap pemegang saham mayoritas pada prinsipnya perlindungan hukum
kepadanya cukup terjamin terutama melalui mekanisme RUPS yang jika diambil
keputusan secara musyawarah, maka akan dipastikan kelompok pemilik saham mayoritas
cenderung mempengaruhi keputusan RUPS.
Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG)
pada dasarnya adalah mengelola perusahaan secara amanah, akuntabel, transparan dan fair
untuk mencapai tujuan tercapainya nilai perusahaan jangka panjang seraya terlayaninya
semua kepentingan pihak yang berkepentingan dengan jalannya perusahaan (stakeholders).
Introduksi Good Corporate Governance secara formal oleh Organisatian for Economic
Coperation and Development (OECD) dan diterbitkannya pedoman Good Corporate
Governance oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).
C. TUJUAN
1. Mengetahui hasil penilaian tata kelola korporat Indonesia oleh Bank Dunia
2. Mengetahui penilaian berdasarkan ASEAN CG Scorecard dari ASEAN Capital
Market Forum
3. Mengetahui hak-hak dasar pemegang saham
4. Mengetahui cara penyelenggaraan RUPS yang transparan, wajar dan akuntabel
5. Mengetahui struktur kepemilikan saham
6. Mengetahui peran Investor institusi.
7. Mengetahui peran akuntan profesional dalam memfasilitasi pelaksanaan hak
pemegang saham.
BAB II
PEMBAHASAN
Ada 3 (tiga) penilaian utama terhadap tata kelola perusahaan di Indonesia yang
dilakukan oleh lembaga internasional, yaitu :
a. Reports on the Observance of Standards and Codes (ROSC). The World Bank
dan International Monetary Fund (IMF) bekerja sama dalam melakukan penilaian
atas penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang disusun oleh
Organasation for Economic Co-operation and Development (OECD).
b. Credit Lyonnais Securities Asia (CLSA). CLSA merupakan asosiasi broker dan
grup investasi bersama-sama dengan the Asian Corporate Governance Association
(ACGA) secara periodik (dua tahun sekali) menerbitkan Corporate Governance
Watch yang merupakan survey atas praktik tata kelola korporat di Asia sejak tahun
2002. Dalam CG Watch tahun 2012, CLSA menilai tata kelola perusahaan di
beberapa negara di Asia-Pasifik, salah satunya adalah negara Indonesia
mendapatkan nilai yang cukup baik dalam aspek akuntansi dan auditing, namun
masih memerlukan perbaikan dalam aspek lainnya. Dari dua belas negara yang
dinilai, indonesia menempati urutan terbawah.
c. ASEAN CG Scorecard, diperkanalkan sebagai suatu alat untuk memeringkat
kinerja tata kelola perusahaan publik dan terbuka di ASEAN. Inisiatif ASEAN CG
Scorecard berasal dari ASEAN Capital Market Forum (ACMF), yang merupakan
kumpulan regulator pasar modal dari negara-negara anggora ASEAN. Scorecard
ini dikembangkan pada tahun 2011 dan bertujuna untuk mengukur dan
meningkatkan efektivitas dari implementasi prinsip-prinsip tata kelola perusahaan.
Indonesia bersama-sama dengan 5 (lima) negara anggora ACMF lainnya
(Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand, dan Vietnam) adalah negara-negara
yang mengembangkan scorecard tersebut dan menggunakannya untuk menilai
praktik CG perusahaan-perusahaan terbuka dengan kapitalisasi pasar besar di
masing-masing negara.
1.A Penilaian Tata Kelola Korporat Indonesia Oleh Bank Dunia (ROSC)
Corporate Governance telah diadopsi sebagai salah satu dari dua belas best-
practice standards oleh masyarakat keuangan internasional. Bank Dunia melakukan
penilaian atas praktik CG di suatu negara berdasarkan prinsip-prinsip Corporate
Governance OECD. Penilaiannya adalah bagian dari program Bank Dunia dan
International Monetary Fund (IMF) sehubungan Reports on the Observance of
Standards and Codes (ROSC). Tujuan dari inisiatif ROSC adalah untuk
mengidentifikasi kelemahan yang dapat menyebabkan kerentanan ekonomi dan
keuangan suatu negara. Penilaian Corporate Governance ROSC dilakukan dengan
mengevaluasi kerangka hukum dan peraturan suatu negara yang terkait dengan
prinsip-prinsip CG OECD, termasuk juga praktik dan kepatuhan dari perusahaan yang
terdaftar dan tingkat penegakan aturan-aturan tersebut. Penilaian distrandarisasi dan
dilakukan secara sistematis dan memasukkan rekomendasi kebijakan dan country
action plan. Sebagai respon terhadap hasil evaluasi, banyak negara telah mulai
melakukan reformasi hukum, peraturan dan tata kelola kelembagaan. Penilaian
berfokus pada tata kelola perusahaan yang terdaftar di bursa efek. Penilaian dapat
diperbarui untuk mengukur kemajuan selama kurun waktu tertentu. Partisipasi suatu
negara dalam proses penilaian dan publikasi laporan akhir bersifat sukarela. Pada
akhir Juni 2010, 75 penilaian telah selasai pada 59 negara di seluruh dunia.
Di Indonesia, pada tahun 2010 penilaian ini dilakukan berdasarkan disuksi teknis
dengan Bapepam-LK, Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Komite Nasional
Governance, Kementerian Negara BUMN, Indonesia Stock Exchange (IDX), Kamar
Dagang (KADIN), kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Departemen
Perdagangan, Asosiasi Reksa Dana Indonesia, Asosiasi Eminten Indonesia, Asosiasi
Notaris, dan Perwakilan dari perusahaan, bank, dan pelaku pasar. Indonesian Institute
for Corporate Directors (IICD) bertindak sebagai mitra lokal Bank Dunia dalam
melakukan penilaian. Selain dalam bentuk laporan, temuan dari ROSC ini juga
dinyatakan dalam Detailed Country Assesment (DCA) yang disajikan sebagai
lampiran terpisah. Sumber data untuk ROSC dan DCA adalah Corporate Governance
Score Cards tahun 2006, 2007, dan 2008 yang disiapkan oleh IICD dan juga hasil
survei kepada perusahaan publik dan focus groups yang diselenggarakan oleh IICD
yang memasukkan juga peserta dari pasar modal dan lokal.
1) Struktur Instrumen
Detailed Country Assesment (DCA) adalah alat yang dikembangkan oleh Bank
Dunia untuk melaksanakan penilaian Tata Kelola Perusahaan ROSC. DCA memberikan
latar belakang untuk Tata Kelola Perusahaan ROSC, dan menilai pelaksanaan masing-
masing Prinsip OECD Corporate Governance. DCA menggunakan OECD Metodologi
untuk menilai pelaksanaan prinsip Corporate Governance OECD. Pertanyaan disusun
menurut enam Bab Prinsip OECD dan dalam setiap Bab sesuai dengan 64 sub-prinsip
OECD. Dalam setiap prinsip, ada tiga bagian yaitu :
a. Legal anda rugulatory framework (hukum dan kerangka peraturan)
Pertanyaan-pertanyaan ini menilai kecukupan undang-undang termasuk aturan tata
kelola, undang-undang sekuritas dan peraturan perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan
hukum dan peraturan selanjutnya dipecah dengan terpisah “kriteria penting-
essential criteria (EC)”, sesuai metodologi tersebut.
b. Compliance and enforcement (kepatuhan dan penegakan)
Bagian kedua adalah menelaah kepatuhan dengan undang-undang dan regulasi dan
peraturan hukum serta peraturan (jika ada). Fokusnya adalah pada praktik yang
sebenarnya terjadi.
c. Comment and analysis (komentar dan analisis)
b. Hambatan
UU PT yang baru telah menjelaskan tugas pokok anggota dewan komisaris, namun
dewan komisaris masih belum melaksanakan berbagai fungsi penting yang
diisyaratkan oleh OECD CG Principles, antara lain dalam proses pemilihan Dewan
Komisaris dan Direksi. Dewan komisaris memiliki anggota yang belum berfungsi,
sebgaian disebabkan karena komisaris dianggap tidak memiliki keterampilan teknis
yang memadai. Pemegang saham minoritas hanya memiliki sedikit pengaruh pada
proses pemilihan anggota dewan komisaris.
Pada tahun 2010 Bank Dunia menilai bahwa proses pemilihan auditor eksternal di
Indonesia belum diatur dengan jelas, auditor eksternal tidak memiliki kewajiban
yang jelas kepada pemegang saham atau perusahaan. Namum sejak tahun 2011
telah berlaku UU No. 5 tengan Akuntan Publik yang khusus mengatur profesi
akuntan publik. UU ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian
hukum bagi masyarakat dan profesi akuntan publik. Pengawasan terhadap profesi
akuntansi dan audit terbagi pada Bapepam-LK dan PPAJP (sebuah divisi dari
Departemen Keuangan). Namun, PPAJP memiliki sumber daya yang terbatas
dibandungkan dengan jumlah kantor akuntan publik dan akuntan yang harus
ditanganinya.
Kelemahan signifikan lainnya adalah kurangnya pengungkapan kepemilikan
ultimat akhir dan kontrol. Pemegang saham memiliki hak yang terbatas untuk
mengakses informasi mengenai perusahaan dan banyak perusahaan hanya
menyajikan sedikit atau sama sekali tidak ada informasi yang relavan di situs WEB
mereka. Sementara itu, laporan tata kelola perusahaan yang diwajibkan cenferung
memiliki konten yang terbatas. Hak-hak pemegang saham dihormati, namum
pemegang saham miliki hak yang lemah untuk mengusulkan agenda atau
mengajukan pertanyaan dalam RUPS.
Peraturan tentang takeovers (pengambil-alihan) berubah pada bulan Juni 2008, dan
memerlukan batas yang lebih tinggi sebelum penawaran tender dibuat. Pelaku
pasar telah mencatat bahwa perubahaan ini telah membuat sulit bagi pemegang
saham besar untuk mengakumulasi saham dan melakukan delisting dari bursa.
Beberapa ketentuan mengenai CG telah diadopsi ke dalam peraturan namun
pengungkapan mengenai CG masih bersifat sukarela, perusahaan tidak diminta
untuk menjelaskan atau menyatakan bahwa perusahaan telah memenuhi kode CG,
seperti pedoman GCG dari KNKG. Hal ini menyebabkan kurangnya kesadaran dan
kepatuhan perusahaan terhadap aturan tersebut.
Pemegang saham jarang menggunakan hak ganti rugi (redress-right) mereka
terhadap hukum. Pengadilan berjalan lambat dan hanya sedikit tuntutan yang telah
diajukan terhadap perusahaan atau Direksi atau Dewan Komisaris.
c. Penilaian
Penilaian dilakukan berdasarkan hukum dan praktik di Indonesia dibandingkan
dengan prinsip OECD. Tabel berikut ini menyampaikan hasil penilaian Bank Dunia
terhadap praktik CG di Indonesia.
Asia Pacific
CG Principles 2009 2004
Region
Enforcement & Institusional Framework 72 - 68
Shareholder Rights 72 56 73
Equitable Treatment of Shareholders 75 60 62
Role of Stakeholders 70 60 71
Disclosure & Transparency 74 60 72
Responsibility of the Board 66 60 68
Skor Indonesia membaik sejak penilaian terakhir dilakukan pada tahun 2004.
Kenaikan terbesar adalah dalam hak pemegang saham, dimana rata-rata ketaatan
meningkat dari 56 ke 72, dan perlakuan yang adil bagi pemegang saham, naik dari
60 ke 75. Namun demikian, beberapa perbaikan yang masih harus dilakukan.
Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan asia pasifik (India, Malaysia,
Thailand, Philippines, Vietnam), Indonesia agak tertinggal di beberapa bidang
utama, tetapi mendekati beberapa negara yang menjadi benchmark di kawasan Asia
Pasifik, terutam India, Thailand, dan Malaysia.
d. Langkah Ke Depan
Berikut ini adalah sejumlah reformasi mendasar yang di rekomendasikan oleh
Bank Dunia :
o Regulasi yang lebih baik mengenai pengungkapan kepemilikan saham dan
pengungkapan non-keuangan lainnya;
o Mewajibkan hak-hak kunci pemegang saham dimasukkan ke dalam peraturan
perusahaan;
o Membuat komisaris independen dan komite audit menjadi lebih efektif;
o Mengamandemen hukum perusahaan agar semakin melindungi pemegang
saham;
o Memasukkan dan memperluas kekuasaan anggota dewan, dalam hukum
perusahaan dan CG;
o Mensyaratkan perusahaan untuk mengungkapkan kepatuhan mereka terhadap
CG;
o Memberikan suara lebih besar bagi pemegang saham minoritas pada proses
pemilihan dewan;
o Peningkatan kemampuan Bapepam-LK untuk mengawasi pengungkapan
perusahaan dan bidang utama lainnya;
o Mendorong pelatihan untuk dewan dan media.
1.B Penilaian Berdasarkan ASEAN CG Scorecard dari ASEAN Capital Market Forum
Inisiatif tata kelola perusahaan ASEAN adalah salah satu dari beberapa inisiatif
integrasi pasar modal regional dari ASEAN Capital Market Forum (ACMF). Enam
negara ASEAN adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan
Vietnam setuju untuk berpartisipasi dalam inisiatif ini. Selanjutnya enam ahli tata
kelola dari setiap negara terlibat untuk mengembangkan ASEAN CG Scorecard atas
dasar pengalaman nasional mereka, memvalidasinya terhadap praktik-praktik terbaik
pada dunia internasional dan akhirnya menerapkannya dengan menilai perusahaan
publik di negara masing-masing.
A. Struktur Instrumen
Instrumen penilaian terbagi menjadi 2 level yaitu level 1 dan level 2. Level 1 terdiri
dari 185 item dan dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan prinsip-prinsip OECD
yaitu Rights of Shareholders (26 Items, bobot 10%), Equitable Treatment (17 Items,
bobot 15%), Role of Stakeholders (21 Items, bobot 10%), Disclosure and Transparency
(42 Items, bobot 25%), Responsiblities of the Board (79 Items, bobot 40%). Setiap item
atau pertanyaan dalam level 1 diberi jawab “Yes”, “No”, atau “Not Applicable” (NA)
dengan nilai satu jika menjalankan praktik GCG atau nol jika tidak menjalankannya.
Beberapa item mungkin mendapat nilai NA dengan nilai nol jika item tersebut tidak
berlaku bagi perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan yang tidak memiliki komite
nominasi akan memperoleh nilai NA untuk item-item yang berkaitan dengan komite
nominasi. Ketika sebuah praktik diwajibkan oleh hukum, regulasi, atau aturan listing di
negara tersebut, perusahaan diasumsikan mengadopsi praktik tersebut. Nilai
keseluruhan di setiap bagian dari level 1 kemudian dihitung dengan menambahkan
semua poin di bagian itu dan dinyatakan dalam persentasi, disesuaikan untuk item yang
NA untuk perusahaan.
Level 2 berisi 11 item bonus dan 23 item hukuman (penalty). Item-item dalam
bonus menunjukkan praktik-praktik CG yang sangat baik sehingga perusahaan yang
menjalankannya mendapat poin tambahan. Item penalti mengurangi nilai perusahaan
yang menjalankan praktik tata kelola yang buruk, seperti mendapat sanksi dari regulator
karena melanggar pelanggaran. Bonus dan denda item dimaksudkan untuk
meningkatkan robustness dari scorecard dalam menilai sejauh mana perusahaan
menerapkan semangat tata kelola yang baik. Total bonus dan denda poin ini kemudian
ditambah atau dikurangi dari skor total pada level 1 untuk mendapatkan skor final bagi
perusahaan.
B. Hasil Penilaian Terhadap Indonesia dan Perbandingannya Terhadap Negara
ASEAN Lainnya
Pada tahun 2012 IICD rata-rata nilai tata kelola perusahaan adalah 43,4 dengan
nilai maksimum sebesar 75,4 dan nilai minimum adalah 20,8. Pada tahun 2013, rata-
rata nilai menalami peningkatan menjadi 54,6 dengan nilai maksimum 82,3 dan nilai
minimum 31,4. Nilai rata-rata ini tergolong relatif rendah, menunjukkan bahwa
sebagian perusahaan terbuka di Indonesia belum mempraktekan prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan yang berbasis internasional, namum terjadi perbaikan yang
signifikan selama setahun terakhir. Ada beberapa alasan untuk skor yang rendah
tersebut :
a. Sebagian besar praktik tata kelola perusahaan yang tercakup dalam ASEAN
CG Scorecard bersifat sukarela, sedangkan perusahaan publik di Indonesia
cenderung hanya menerapkan item yang wajib saja, karenatidak ada
persyaratan “comply or explain” terhadap CG dalam aturan tata kelola
perusahaan di Indonesia, beberapa perusahaan publik mungkin tidak merujuk
sama sekali pada CG dan tidak mengetahui praktik tata kelola perusahaan yang
dapat di adopsi secara sukarela.
b. Beberapa praktik tata kelola perusahaan diwajibkan oleh regulator, tetapi tidak
semua perusahaan publik melaksanakan keharusan tersebut. Jadi, perusahaan
publik di Indonesia masih perlu meningkatkan kepatuhan mereka dengan
aturan.
Peningkatan rata-rata skor pada tahun 2013 terjadi karena pada tahun akhir
2012, Bapepam-LK mengeluarkan sejumlah aturan yang mengadopsi sebagian item-
item yang ada di ASEAN CG Scorecard. Selain itu, sosialisasi yang terus dilakukan
IICD melalui serangkaian lokakarya juga meningkatkan kesadaran perusahaan untuk
memperbaiki praktik CG mereka. Pada bulan Februari 2014, OJK menyampaikan
rencana penerbitan sejumlah aturan yang bertujuan meningkatkan praktik CG
perusahaan terbuka. Rencana ini dituangkan dalam dokumen Corporate Governance
Roadmap. Analisis lebih lanjut dari hasil penilaian ini mengungkapkan bahwa nilai
rata-rata tata kelola Bank (58,9) dan BUMN (62,2) secara signifikan lebih tinggi dari
nilai perusahaan non-bank (40,5) dan perusahaan swasta (39,9). Hal ini mungkin
disebabkan karena Bank dan BUMN diawasi ketat oleh Bank Sentral dan Kementerian
BUMN, selain oleh Bapepam-LK. Dengan demikian, monitoringi oleh regulator
memainkan peran penting dalam meningkatkan praktik tata kelola perusahaan di
Indonesia.
2. PRINSIP PERLINDUNGAN TERHADAP HAK PEMEGANG SAHAM
Cash-Flow Right
Cash Flow Right Leverage merupakan deviasi hak aliran kas dari hak kontrol.
Semakin besar deviasi hak aliran kas dan hak kontrol menunjukkan semakin tinggi
peningkatan kontrol pemegang saham pengendali melebihi hak aliran kasnya.
Peningkatan kontrol tersebut diperoleh melalui beberapa mekanisme yang lazim
dilakukan seperti kepemilikan piramida.
Cash flow right leverage (selisih antara perbedaan hak kontrol dan hak aliran
kas) sering dijadikan alat ukur untuk mengetahui kemampuan pemegang saham
pengendali untuk mendapatkan manfaat privat atas kontrol yang dimilikinya.