Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan perekonomian Indonesia dewasa ini, menunjukan kecenderungan
sektor swasta semakin menonjol. Terlebih lagi dengan adanya serangkaian deregulasi
ekonomi, peran swasta yang kebanyakan memilih badan usaha berupa Perseroan Terbatas
(PT) menjadi semakin dominan jika dibandingkan dengan bentuk usaha lainnya.

Kedudukan PT sebagai institusi adalah sebagai badan hukum, sehingga ia adalah


subyek hukum, pelaku ekonomi, yang mempunyai beberapa nilai lebih dibandingkan
dengan organisasi ekonomi yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PT
mempunyai nilai lebih baik ditinjau dari aspek ekonomi maupun aspek yuridisnya. Kedua
aspek tersebut saling mengisi satu dengan lainnya. Aspek hukum memberikan rambu agar
keseimbangan kepentingan semua pihak dapat diterapkan dengan baik dalam menjalankan
kegiatan ekonomi.

PT sebagai institusi kegiatan ekonomi memiliki struktur organisasi yang dianggap


memiliki kelebihan. Kelebihan tersebut terletak pada Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), Direksi dan Komisaris serta tanggung jawabnya terhadap pemegang saham dan
pihak ketiga sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Keberadaan RUPS sebagai organ tertinggi yang mempunyai wewenang tertentu dan
kewajiban direksi untuk meminta persetujuan RUPS dalam melakukan tindakan tertentu
dinilai merupakan bentuk perlindungan yang memadai bagi pemegang saham dan pihak
kreditur.

Pemilik modal sebagai pemegang saham dalam sebuah Perseroan Terbatas sangat
bervariatif seperti pemegang saham mayoritas atau pemegang saham minoritas, pemegang
saham mayoritas seringkali bergabung dalam suatu kelompok kekuatan yang kadang-
kadang membuat kedudukan para pemegang saham dalam kelompok tersebut tidak
berimbang. Terhadap pemegang saham mayoritas pada prinsipnya perlindungan hukum
kepadanya cukup terjamin terutama melalui mekanisme RUPS yang jika diambil
keputusan secara musyawarah, maka akan dipastikan kelompok pemilik saham mayoritas
cenderung mempengaruhi keputusan RUPS.

Dalam mekanisme pengambilan keputusan di perusahaan dapat dipastikan pemegang


saham minoritas ini akan selalu kalah dibanding pemegang saham mayoritas, sebab pola
pengambilan keputusan didasarkan atas besarnya prosentase saham yang dimiliki.
Keadaan demikian akan semakin parah, jika ternyata pemegang saham mayoritas
menggunakan peluang ini untuk mengendalikan perusahaan berdasarkan kepentingannya
saja dan tidak mengindahkan kepentingan pemegang saham minoritas. Benturan
kepentingan antara pemegang saham minoritas dan pemegang saham mayoritas seringkali
terjadi, tidak jarang Minority Shareholders hanya dijadikan sebuah pelengkap dalam
sebuah perusahaan. Untuk itu, agar terpenuhinya unsur keadilan, diperlukan suatu
keseimbangan sehingga pihak pemegang saham minoritas tetap dapat menikmati haknya.

Pemberlakuan prinsip keadilan dalam perseroan terbuka mengharuskan diberikan


kekuasaan tertinggi kepada RUPS dimana suara terbanyak yang akan menentukan arah
kebijakan perusahaan, tetapi kepada pihak pemegang saham minoritas seharusnya dijamin
pula keadilan dengan memberikan kepadanya hak-hak yang sesuai dengan asas Good
Corporate Governance.

Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG)
pada dasarnya adalah mengelola perusahaan secara amanah, akuntabel, transparan dan fair
untuk mencapai tujuan tercapainya nilai perusahaan jangka panjang seraya terlayaninya
semua kepentingan pihak yang berkepentingan dengan jalannya perusahaan (stakeholders).
Introduksi Good Corporate Governance secara formal oleh Organisatian for Economic
Coperation and Development (OECD) dan diterbitkannya pedoman Good Corporate
Governance oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).

Berdasarkan hal tersebut, maka penerapan prinsip-prinsip Good corporate governance


dalam pengelolaan perusahaan dapat memberikan suatu rasa aman bagi para pihak dalam
perusahaan, karena dengan prinsip-prinsip tersebut perusahaan dapat berjalan dengan baik.
Sebaliknya, para pihak dalam suatu perusahaan tidak akan mendapat kenyamanan dalam
perusahaannya bila pengelolaan perusahaan tidak dijalankan dengan prinsip-prinsip Good
Corporate Governance. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana penerapan Good
Corporate Governance dalam pengelolaan perusahaan sehingga dapat melindungi
kepentingan para pihak. Khususnya Kepentingan Pemegang Saham sebagai pihak yang
dirugikan bila terjadi benturan kepentingan.

Penilaian distrandarisasi dan dilakukan secara sistematis dan memasukkan


rekomendasi kebijakan dan country action plan. Sebagai respon terhadap hasil evaluasi,
banyak negara telah mulai melakukan reformasi hukum, peraturan dan tata kelola
kelembagaan. Penilaian berfokus pada tata kelola perusahaan yang terdaftar di bursa efek.
Penilaian dapat diperbarui untuk mengukur kemajuan selama kurun waktu tertentu.
Partisipasi suatu negara dalam proses penilaian dan publikasi laporan akhir bersifat
sukarela. Pada akhir Juni 2010, 75 penilaian telah selasai pada 59 negara di seluruh dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hasil penilaian tata kelola korporat Indonesia oleh Bank Dunia?
2. Bagaimana penilaian berdasarkan ASEAN CG Scorecard dari ASEAN Capital
Market Forum?
3. Bagaimana prinsip perlindungan terhadap hak pemegang saham?

C. TUJUAN
1. Mengetahui hasil penilaian tata kelola korporat Indonesia oleh Bank Dunia
2. Mengetahui penilaian berdasarkan ASEAN CG Scorecard dari ASEAN Capital
Market Forum
3. Mengetahui hak-hak dasar pemegang saham
4. Mengetahui cara penyelenggaraan RUPS yang transparan, wajar dan akuntabel
5. Mengetahui struktur kepemilikan saham
6. Mengetahui peran Investor institusi.
7. Mengetahui peran akuntan profesional dalam memfasilitasi pelaksanaan hak
pemegang saham.
BAB II
PEMBAHASAN

1. INSTRUMEN PENILAIAN DAN BUKTI EMPIRIS TERHADAP PRAKTIK


TATA KELOLA DI INDONESIA DAN ASEAN

Ada 3 (tiga) penilaian utama terhadap tata kelola perusahaan di Indonesia yang
dilakukan oleh lembaga internasional, yaitu :
a. Reports on the Observance of Standards and Codes (ROSC). The World Bank
dan International Monetary Fund (IMF) bekerja sama dalam melakukan penilaian
atas penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang disusun oleh
Organasation for Economic Co-operation and Development (OECD).
b. Credit Lyonnais Securities Asia (CLSA). CLSA merupakan asosiasi broker dan
grup investasi bersama-sama dengan the Asian Corporate Governance Association
(ACGA) secara periodik (dua tahun sekali) menerbitkan Corporate Governance
Watch yang merupakan survey atas praktik tata kelola korporat di Asia sejak tahun
2002. Dalam CG Watch tahun 2012, CLSA menilai tata kelola perusahaan di
beberapa negara di Asia-Pasifik, salah satunya adalah negara Indonesia
mendapatkan nilai yang cukup baik dalam aspek akuntansi dan auditing, namun
masih memerlukan perbaikan dalam aspek lainnya. Dari dua belas negara yang
dinilai, indonesia menempati urutan terbawah.
c. ASEAN CG Scorecard, diperkanalkan sebagai suatu alat untuk memeringkat
kinerja tata kelola perusahaan publik dan terbuka di ASEAN. Inisiatif ASEAN CG
Scorecard berasal dari ASEAN Capital Market Forum (ACMF), yang merupakan
kumpulan regulator pasar modal dari negara-negara anggora ASEAN. Scorecard
ini dikembangkan pada tahun 2011 dan bertujuna untuk mengukur dan
meningkatkan efektivitas dari implementasi prinsip-prinsip tata kelola perusahaan.
Indonesia bersama-sama dengan 5 (lima) negara anggora ACMF lainnya
(Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand, dan Vietnam) adalah negara-negara
yang mengembangkan scorecard tersebut dan menggunakannya untuk menilai
praktik CG perusahaan-perusahaan terbuka dengan kapitalisasi pasar besar di
masing-masing negara.

1.A Penilaian Tata Kelola Korporat Indonesia Oleh Bank Dunia (ROSC)
Corporate Governance telah diadopsi sebagai salah satu dari dua belas best-
practice standards oleh masyarakat keuangan internasional. Bank Dunia melakukan
penilaian atas praktik CG di suatu negara berdasarkan prinsip-prinsip Corporate
Governance OECD. Penilaiannya adalah bagian dari program Bank Dunia dan
International Monetary Fund (IMF) sehubungan Reports on the Observance of
Standards and Codes (ROSC). Tujuan dari inisiatif ROSC adalah untuk
mengidentifikasi kelemahan yang dapat menyebabkan kerentanan ekonomi dan
keuangan suatu negara. Penilaian Corporate Governance ROSC dilakukan dengan
mengevaluasi kerangka hukum dan peraturan suatu negara yang terkait dengan
prinsip-prinsip CG OECD, termasuk juga praktik dan kepatuhan dari perusahaan yang
terdaftar dan tingkat penegakan aturan-aturan tersebut. Penilaian distrandarisasi dan
dilakukan secara sistematis dan memasukkan rekomendasi kebijakan dan country
action plan. Sebagai respon terhadap hasil evaluasi, banyak negara telah mulai
melakukan reformasi hukum, peraturan dan tata kelola kelembagaan. Penilaian
berfokus pada tata kelola perusahaan yang terdaftar di bursa efek. Penilaian dapat
diperbarui untuk mengukur kemajuan selama kurun waktu tertentu. Partisipasi suatu
negara dalam proses penilaian dan publikasi laporan akhir bersifat sukarela. Pada
akhir Juni 2010, 75 penilaian telah selasai pada 59 negara di seluruh dunia.

Di Indonesia, pada tahun 2010 penilaian ini dilakukan berdasarkan disuksi teknis
dengan Bapepam-LK, Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Komite Nasional
Governance, Kementerian Negara BUMN, Indonesia Stock Exchange (IDX), Kamar
Dagang (KADIN), kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Departemen
Perdagangan, Asosiasi Reksa Dana Indonesia, Asosiasi Eminten Indonesia, Asosiasi
Notaris, dan Perwakilan dari perusahaan, bank, dan pelaku pasar. Indonesian Institute
for Corporate Directors (IICD) bertindak sebagai mitra lokal Bank Dunia dalam
melakukan penilaian. Selain dalam bentuk laporan, temuan dari ROSC ini juga
dinyatakan dalam Detailed Country Assesment (DCA) yang disajikan sebagai
lampiran terpisah. Sumber data untuk ROSC dan DCA adalah Corporate Governance
Score Cards tahun 2006, 2007, dan 2008 yang disiapkan oleh IICD dan juga hasil
survei kepada perusahaan publik dan focus groups yang diselenggarakan oleh IICD
yang memasukkan juga peserta dari pasar modal dan lokal.

1) Struktur Instrumen
Detailed Country Assesment (DCA) adalah alat yang dikembangkan oleh Bank
Dunia untuk melaksanakan penilaian Tata Kelola Perusahaan ROSC. DCA memberikan
latar belakang untuk Tata Kelola Perusahaan ROSC, dan menilai pelaksanaan masing-
masing Prinsip OECD Corporate Governance. DCA menggunakan OECD Metodologi
untuk menilai pelaksanaan prinsip Corporate Governance OECD. Pertanyaan disusun
menurut enam Bab Prinsip OECD dan dalam setiap Bab sesuai dengan 64 sub-prinsip
OECD. Dalam setiap prinsip, ada tiga bagian yaitu :
a. Legal anda rugulatory framework (hukum dan kerangka peraturan)
Pertanyaan-pertanyaan ini menilai kecukupan undang-undang termasuk aturan tata
kelola, undang-undang sekuritas dan peraturan perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan
hukum dan peraturan selanjutnya dipecah dengan terpisah “kriteria penting-
essential criteria (EC)”, sesuai metodologi tersebut.
b. Compliance and enforcement (kepatuhan dan penegakan)
Bagian kedua adalah menelaah kepatuhan dengan undang-undang dan regulasi dan
peraturan hukum serta peraturan (jika ada). Fokusnya adalah pada praktik yang
sebenarnya terjadi.
c. Comment and analysis (komentar dan analisis)

Bagian terakhir merangkum penilaian setiap prinsip berdasarkan pada isu-isu


utama pada masing-masing pertanyaan. Setiap pertanyaan dijawab berdasarkan hasil
penelaahan hukum/regulasi atau informasi yang dikumpulkan berdasarkan praktik-
praktik yang sebenarnya terjadi. Untuk setiap pertanyaan jawabannya adalah baik
“YA” (yang berarti bahwa ada sudah penuh atau hampir penuh sesuai dengan
pertanyaan itu), “SEBAGIAN’, atau “TIDAK” (yang berarti bahwa kerangka tata
kelola perusahaan umumnya tidak sesuai dengan pertanyaan spesifik).

2) Hasil Penilaian Terhadap Indonesia dan Perbandingannya Terhadap Negara


ASEAN Lainnya
Hasil penilaian terbagi menjadi empat hal, yaitu pencapaian, hambatan utama yang
dihadapi, penilaiandan langkah selanjutnya. Berikut penjelasannya :
a. Pencapaian
Menurut penilaian Bank Dunia (ROSC), pencapaian yang telah diraih Indonesia
adalah bahwa Bapepam-LK secara aktif terus mendorong penerapan berbagai
peraturan untuk memberi perlindungan yang lebih baik bagi investor. Pedoman
Good Corporate Governance (GCG) pertama kali diadopsi pada tahun 1999,
kemudian diamandemen padan tahun 2006. Pada tahun 2006, Bank Indonesia telah
mengeluarkan aturan tata kelola untuk bank. Kemudian tahun 2007 mulai
diberlakukan UU PT yang menyebutkan secara spesifik tugas dan tanggung jawab
dewan komisaris dan dewan direktur. Tahun 2012 Kementerian BUMN juga
melakukan reformasi tata kelola perusahaan yang signifikan dengan mengeluarkan
aturan untuk penerapan Good Corporate Governance pada BUMN.
Berdasarkan peraturan Bapepam-LK yang telah direvisi, transaksi yang
mengandung benturan kepentingan terlebih dahulu harus disetujui oleh para
Pemegang Saham Independen. Pada tahun 2007, UU PT memperluas hak-hak
pemegang saham sampai pada masalah ganti rugi private (private redress).
Keharusan dari regulator dan tuntutan dari publik telah meningkatkan
profesionalisme dewan komisaris dan direksi serta tingkat pengungkapan
informasi perusahaan. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah
menyatakan niat untuk mengadopsi standar akuntansi dan audit internasional.
Perusahaan telah menghasilkan laporan yang relatif tepat waktu dan lengkap.
Dewan komisaris lebih profesional sehubungan dengan tanggung jawab mereka
dan memiliki anggora dewan yang independen. Banyak anggota dewan komisaris
yang telah mengikuti pelatihan tentang tugas-tugas mereka dan bidang lainnya.

b. Hambatan
UU PT yang baru telah menjelaskan tugas pokok anggota dewan komisaris, namun
dewan komisaris masih belum melaksanakan berbagai fungsi penting yang
diisyaratkan oleh OECD CG Principles, antara lain dalam proses pemilihan Dewan
Komisaris dan Direksi. Dewan komisaris memiliki anggota yang belum berfungsi,
sebgaian disebabkan karena komisaris dianggap tidak memiliki keterampilan teknis
yang memadai. Pemegang saham minoritas hanya memiliki sedikit pengaruh pada
proses pemilihan anggota dewan komisaris.
Pada tahun 2010 Bank Dunia menilai bahwa proses pemilihan auditor eksternal di
Indonesia belum diatur dengan jelas, auditor eksternal tidak memiliki kewajiban
yang jelas kepada pemegang saham atau perusahaan. Namum sejak tahun 2011
telah berlaku UU No. 5 tengan Akuntan Publik yang khusus mengatur profesi
akuntan publik. UU ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian
hukum bagi masyarakat dan profesi akuntan publik. Pengawasan terhadap profesi
akuntansi dan audit terbagi pada Bapepam-LK dan PPAJP (sebuah divisi dari
Departemen Keuangan). Namun, PPAJP memiliki sumber daya yang terbatas
dibandungkan dengan jumlah kantor akuntan publik dan akuntan yang harus
ditanganinya.
Kelemahan signifikan lainnya adalah kurangnya pengungkapan kepemilikan
ultimat akhir dan kontrol. Pemegang saham memiliki hak yang terbatas untuk
mengakses informasi mengenai perusahaan dan banyak perusahaan hanya
menyajikan sedikit atau sama sekali tidak ada informasi yang relavan di situs WEB
mereka. Sementara itu, laporan tata kelola perusahaan yang diwajibkan cenferung
memiliki konten yang terbatas. Hak-hak pemegang saham dihormati, namum
pemegang saham miliki hak yang lemah untuk mengusulkan agenda atau
mengajukan pertanyaan dalam RUPS.
Peraturan tentang takeovers (pengambil-alihan) berubah pada bulan Juni 2008, dan
memerlukan batas yang lebih tinggi sebelum penawaran tender dibuat. Pelaku
pasar telah mencatat bahwa perubahaan ini telah membuat sulit bagi pemegang
saham besar untuk mengakumulasi saham dan melakukan delisting dari bursa.
Beberapa ketentuan mengenai CG telah diadopsi ke dalam peraturan namun
pengungkapan mengenai CG masih bersifat sukarela, perusahaan tidak diminta
untuk menjelaskan atau menyatakan bahwa perusahaan telah memenuhi kode CG,
seperti pedoman GCG dari KNKG. Hal ini menyebabkan kurangnya kesadaran dan
kepatuhan perusahaan terhadap aturan tersebut.
Pemegang saham jarang menggunakan hak ganti rugi (redress-right) mereka
terhadap hukum. Pengadilan berjalan lambat dan hanya sedikit tuntutan yang telah
diajukan terhadap perusahaan atau Direksi atau Dewan Komisaris.

c. Penilaian
Penilaian dilakukan berdasarkan hukum dan praktik di Indonesia dibandingkan
dengan prinsip OECD. Tabel berikut ini menyampaikan hasil penilaian Bank Dunia
terhadap praktik CG di Indonesia.
Asia Pacific
CG Principles 2009 2004
Region
Enforcement & Institusional Framework 72 - 68
Shareholder Rights 72 56 73
Equitable Treatment of Shareholders 75 60 62
Role of Stakeholders 70 60 71
Disclosure & Transparency 74 60 72
Responsibility of the Board 66 60 68

Skor Indonesia membaik sejak penilaian terakhir dilakukan pada tahun 2004.
Kenaikan terbesar adalah dalam hak pemegang saham, dimana rata-rata ketaatan
meningkat dari 56 ke 72, dan perlakuan yang adil bagi pemegang saham, naik dari
60 ke 75. Namun demikian, beberapa perbaikan yang masih harus dilakukan.
Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan asia pasifik (India, Malaysia,
Thailand, Philippines, Vietnam), Indonesia agak tertinggal di beberapa bidang
utama, tetapi mendekati beberapa negara yang menjadi benchmark di kawasan Asia
Pasifik, terutam India, Thailand, dan Malaysia.

d. Langkah Ke Depan
Berikut ini adalah sejumlah reformasi mendasar yang di rekomendasikan oleh
Bank Dunia :
o Regulasi yang lebih baik mengenai pengungkapan kepemilikan saham dan
pengungkapan non-keuangan lainnya;
o Mewajibkan hak-hak kunci pemegang saham dimasukkan ke dalam peraturan
perusahaan;
o Membuat komisaris independen dan komite audit menjadi lebih efektif;
o Mengamandemen hukum perusahaan agar semakin melindungi pemegang
saham;
o Memasukkan dan memperluas kekuasaan anggota dewan, dalam hukum
perusahaan dan CG;
o Mensyaratkan perusahaan untuk mengungkapkan kepatuhan mereka terhadap
CG;
o Memberikan suara lebih besar bagi pemegang saham minoritas pada proses
pemilihan dewan;
o Peningkatan kemampuan Bapepam-LK untuk mengawasi pengungkapan
perusahaan dan bidang utama lainnya;
o Mendorong pelatihan untuk dewan dan media.

Selain reformasi tersebut diatas, pemerintah juga harus meninjau mengenai


penawaran tender dan aturan delisting, serta peran PPAJP dan pengawasan
terhadap akuntansi dan auditing. Analisis yang lebih mendalam mengengai tata
kelola perusahaan pada BUMN juga harus dipertimbangkan.

1.B Penilaian Berdasarkan ASEAN CG Scorecard dari ASEAN Capital Market Forum
Inisiatif tata kelola perusahaan ASEAN adalah salah satu dari beberapa inisiatif
integrasi pasar modal regional dari ASEAN Capital Market Forum (ACMF). Enam
negara ASEAN adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan
Vietnam setuju untuk berpartisipasi dalam inisiatif ini. Selanjutnya enam ahli tata
kelola dari setiap negara terlibat untuk mengembangkan ASEAN CG Scorecard atas
dasar pengalaman nasional mereka, memvalidasinya terhadap praktik-praktik terbaik
pada dunia internasional dan akhirnya menerapkannya dengan menilai perusahaan
publik di negara masing-masing.

ASEAN CG Scorecard bertujuan untuk :


a. Meningkatkan standar-standar dan praktik-praktik tata kelola korporasi dari
perusahaan-perusahaan terbuka di ASEAN.
b. Menunjukkan perusahaan-perusahaan publik di ASEAN yang memiliki tata kelola
korporasi yang baik dan menunjukkan kepada investor global bahwa perusahaan-
perusahaan ASEAN adalah tempat yang menarik untuk berinvestasi.
c. Melengkapi inisiatif-inisiatif Forum Pasar Modal ASEAN (ACMF) lainnya untuk
mempromosikan ASEAN sebagi suatu kelompok aset berkelas.
Penilaian dilakukan terhadap 100 perusahaan publik terbuka di masing-masing
negara berdasarkan nilai kapitalisasi pasar. Perusahaan yang dinilai harus dapat
memberikan laporan tahunan dalam bahasa inggris. Ke depan, penilaian direncanakan
untuk diperluas ke lebih banyak perusahaan terbuka. ASEAN CG Scorecard adalah
suatu instrumen penilaian praktik CG perusahaan terbuka dan didasarkan pada
informasi publik, yang antara lain terkandung laporan tahunan dan situs web
perusahaan. Sumber informasi lain adalah pengumuman perusahaan, surat edaran,
anggaran dasar, notulen rapat pemegang saham, kebijkan tata kelola perusahaan, kode
etik, dan laporan keberlanjutan. Hanya informasi dalam bahasa inggris yang tersedia
untuk umum dan mudah diakses dan dipahami yang digunakan dalam penilaian.

A. Struktur Instrumen
Instrumen penilaian terbagi menjadi 2 level yaitu level 1 dan level 2. Level 1 terdiri
dari 185 item dan dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan prinsip-prinsip OECD
yaitu Rights of Shareholders (26 Items, bobot 10%), Equitable Treatment (17 Items,
bobot 15%), Role of Stakeholders (21 Items, bobot 10%), Disclosure and Transparency
(42 Items, bobot 25%), Responsiblities of the Board (79 Items, bobot 40%). Setiap item
atau pertanyaan dalam level 1 diberi jawab “Yes”, “No”, atau “Not Applicable” (NA)
dengan nilai satu jika menjalankan praktik GCG atau nol jika tidak menjalankannya.
Beberapa item mungkin mendapat nilai NA dengan nilai nol jika item tersebut tidak
berlaku bagi perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan yang tidak memiliki komite
nominasi akan memperoleh nilai NA untuk item-item yang berkaitan dengan komite
nominasi. Ketika sebuah praktik diwajibkan oleh hukum, regulasi, atau aturan listing di
negara tersebut, perusahaan diasumsikan mengadopsi praktik tersebut. Nilai
keseluruhan di setiap bagian dari level 1 kemudian dihitung dengan menambahkan
semua poin di bagian itu dan dinyatakan dalam persentasi, disesuaikan untuk item yang
NA untuk perusahaan.
Level 2 berisi 11 item bonus dan 23 item hukuman (penalty). Item-item dalam
bonus menunjukkan praktik-praktik CG yang sangat baik sehingga perusahaan yang
menjalankannya mendapat poin tambahan. Item penalti mengurangi nilai perusahaan
yang menjalankan praktik tata kelola yang buruk, seperti mendapat sanksi dari regulator
karena melanggar pelanggaran. Bonus dan denda item dimaksudkan untuk
meningkatkan robustness dari scorecard dalam menilai sejauh mana perusahaan
menerapkan semangat tata kelola yang baik. Total bonus dan denda poin ini kemudian
ditambah atau dikurangi dari skor total pada level 1 untuk mendapatkan skor final bagi
perusahaan.
B. Hasil Penilaian Terhadap Indonesia dan Perbandingannya Terhadap Negara
ASEAN Lainnya
Pada tahun 2012 IICD rata-rata nilai tata kelola perusahaan adalah 43,4 dengan
nilai maksimum sebesar 75,4 dan nilai minimum adalah 20,8. Pada tahun 2013, rata-
rata nilai menalami peningkatan menjadi 54,6 dengan nilai maksimum 82,3 dan nilai
minimum 31,4. Nilai rata-rata ini tergolong relatif rendah, menunjukkan bahwa
sebagian perusahaan terbuka di Indonesia belum mempraktekan prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan yang berbasis internasional, namum terjadi perbaikan yang
signifikan selama setahun terakhir. Ada beberapa alasan untuk skor yang rendah
tersebut :
a. Sebagian besar praktik tata kelola perusahaan yang tercakup dalam ASEAN
CG Scorecard bersifat sukarela, sedangkan perusahaan publik di Indonesia
cenderung hanya menerapkan item yang wajib saja, karenatidak ada
persyaratan “comply or explain” terhadap CG dalam aturan tata kelola
perusahaan di Indonesia, beberapa perusahaan publik mungkin tidak merujuk
sama sekali pada CG dan tidak mengetahui praktik tata kelola perusahaan yang
dapat di adopsi secara sukarela.
b. Beberapa praktik tata kelola perusahaan diwajibkan oleh regulator, tetapi tidak
semua perusahaan publik melaksanakan keharusan tersebut. Jadi, perusahaan
publik di Indonesia masih perlu meningkatkan kepatuhan mereka dengan
aturan.

Peningkatan rata-rata skor pada tahun 2013 terjadi karena pada tahun akhir
2012, Bapepam-LK mengeluarkan sejumlah aturan yang mengadopsi sebagian item-
item yang ada di ASEAN CG Scorecard. Selain itu, sosialisasi yang terus dilakukan
IICD melalui serangkaian lokakarya juga meningkatkan kesadaran perusahaan untuk
memperbaiki praktik CG mereka. Pada bulan Februari 2014, OJK menyampaikan
rencana penerbitan sejumlah aturan yang bertujuan meningkatkan praktik CG
perusahaan terbuka. Rencana ini dituangkan dalam dokumen Corporate Governance
Roadmap. Analisis lebih lanjut dari hasil penilaian ini mengungkapkan bahwa nilai
rata-rata tata kelola Bank (58,9) dan BUMN (62,2) secara signifikan lebih tinggi dari
nilai perusahaan non-bank (40,5) dan perusahaan swasta (39,9). Hal ini mungkin
disebabkan karena Bank dan BUMN diawasi ketat oleh Bank Sentral dan Kementerian
BUMN, selain oleh Bapepam-LK. Dengan demikian, monitoringi oleh regulator
memainkan peran penting dalam meningkatkan praktik tata kelola perusahaan di
Indonesia.
2. PRINSIP PERLINDUNGAN TERHADAP HAK PEMEGANG SAHAM

2.A Hak-hak Pemegang Saham dan Fungsi-fungsi Penting Kepemilikan Saham


A. Prinsip OECD tentang Tata kelola perusahaan

Prinsip OECD ini pada dasarnya menjelaskan bahwa kerangka corporate


governance harus melindungi dan menunjang pelaksanaan hak-hak pemegang saham.
Prinsip ini dibagi atas 7 sub prinsip:
a. Hak-hak dasar pemegang saham harus mencakup hak untuk: memperoleh cara
pendaftaran yang aman atas kepemilikan, menyerahkan atau mengalihkan saham,
memperoleh informasi yang relevan atau material tentang perusahaan secara teratur
dan tepat waktu, berpartisipasi dan memberikan hak suara dalam rapat umum
pemegang saham, memilih dan mengganti anggota pengurus, dan memperoleh hak
atas bagian keuntungan perusahaan.
b. Pemegang saham harus memiliki hak untuk berpartisipasi dalam, dan diberikan
informasi yang cukup atas keputusan-keputusan tentang perubahan-perubahan
penting perusahaan seperti: perubahan anggaran dasar, akte pendirian, otorisasi
saham tambahan, dan transaksi luar biasa.
c. Pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara efektif
dan memberikan hak suara dalam RUPS dan harus diberikan informasi tentang
aturan-aturannya, termasuk tata cara pemungutan suara, yang mengatur
penyelenggaraan RUPS.
d. Struktur dan komposisi permodalan yang memungkinkan pemegang saham tertentu
untuk memperoleh tingkat pengendalian yang tidak proporsional dengan
kepemilikan sahamnya harus diungkapkan.
e. Pengalihan pengendalian perusahaan harus diperbolehkan agar berfungsi secara
efisien dan transparan.
f. Pelaksanaan hak-hak atas kepemilikan oleh seluruh pemegang saham, termasuk
investor kelembagaan, harus difasilitasi.
g. Pemegang saham, termasuk pemegang saham institusi, harus diperbolehkan untuk
saling berkonsultasi tentang masalah-masalah berkenaan dengan hak-hak dasar
pemegang saham.

Hak-hak Pemegang Saham yang dimaksudkan adalah hak untuk


a. menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan,
b. mengalihkan atau memindahkan saham yang dimilikinya,
c. memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur,
d. ikut berperan dan memberikan suara dalam rapat umum pemegang saham, dan
e. memilih anggota Dewan Komisaris dan Direksi, serta memperoleh pembagian
keuntungan perusahaan.
Ke 5 hak pemegang saham tersebut harus dilindungi dan difasilitasi.

B. (Anotasi/ Catatan/ Keterangan Prinsip OECD tetang Tatakelola


Perusahaan)

Kerangka tata kelola perusahaan harus melindungi dan memfasilitasi


pelaksanaan hak pemegang saham.
Investor ekuitas memiliki hak kepemilikan tertentu.Misalnya, pembagian
saham di perusahaan publik dapat dibeli, dijual, atau ditransfer.Bagian ekuitas juga
memberi hak kepada investor untuk berpartisipasi dalam keuntungan perusahaan,
dengan kewajiban terbatas pada jumlah investasi.Selain itu, kepemilikan saham
memberikan hak atas informasi tentang perusahaan dan hak untuk mempengaruhi
perusahaan, terutama dengan berpartisipasi dalam rapat umum pemegang saham
dan dengan memberikan suara.
Namun, sebagai masalah praktis, korporasi tidak dapat dikelola oleh
referendum pemegang saham.Badan pemegang saham terdiri dari individu dan
institusi yang kepentingan, tujuan, cakrawala investasi dan kapabilitasnya berbeda-
beda.Apalagi, manajemen perusahaan harus bisa mengambil keputusan bisnis
dengan cepat.Mengingat kenyataan ini dan kompleksitas pengelolaan urusan
korporasi di pasar yang bergerak cepat dan selalu berubah, pemegang saham tidak
diharapkan untuk bertanggung jawab untuk mengelola aktivitas perusahaan.
Tanggung jawab untuk strategi dan operasi perusahaan biasanya ditempatkan di
tangan dewan direksi dan tim manajemen yang dipilih, termotivasi dan, jika perlu,
diganti oleh dewan direksi.
Hak pemegang saham untuk mempengaruhi pusat korporasi pada masalah
mendasar tertentu, seperti pemilihan anggota dewan, atau cara lain untuk
mempengaruhi komposisi dewan direksi, amandemen dokumen organik
perusahaan, persetujuan transaksi luar biasa, dan masalah dasar lainnya
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang perusahaan dan peraturan
perusahaan internal. Bagian ini dapat dilihat sebagai pernyataan hak-hak yang
paling mendasar dari pemegang saham, yang diakui oleh undang-undang di hampir
semua negara OECD.Hak tambahan seperti persetujuan atau pemilihan auditor,
pencalonan langsung anggota dewan, kemampuan untuk menjaminkan saham,
persetujuan distribusi keuntungan, dan lain-lain, dapat ditemukan di berbagai
yurisdiksi.
A. Hak pemegang saham dasar harus mencakup hak untuk:
1. mengamankan metode pendaftaran kepemilikan
2. menyampaikan atau mengalihkan saham
3. memperoleh informasi yang relevan dan material mengenai korporasi
secara tepat waktu dan teratur
4. berpartisipasi dan memilih dalam rapat umum pemegang saham
5. memilih dan menghapus anggota dewan
6. berbagi keuntungan perusahaan.
B. Pemegang saham harus memiliki hak untuk berpartisipasi, dan cukup
mendapat informasi, keputusan mengenai perubahan mendasar perusahaan
seperti:
1. amandemen undang-undang, atau barang dari penggabungan atau
dokumen pemerintah yang serupa
2. otorisasi saham tambahan
3. transaksi luar biasa, termasuk pengalihan semua atau sebagian besar
aset, yang mengakibatkan penjualan perusahaan.

Kemampuan perusahaan untuk membentuk kemitraan dan perusahaan terkait dan


untuk mentransfer aset operasional, hak arus kas dan hak dan kewajiban lainnya
kepada mereka penting untuk fleksibilitas bisnis dan untuk mendelegasikan
akuntabilitas dalam organisasi yang kompleks.Hal ini juga memungkinkan
perusahaan untuk melepaskan diri dari aset operasional dan hanya menjadi
perusahaan induk. Namun, tanpa checks and balances yang tepat, kemungkinan
semacam itu mungkin juga disalahgunakan.

C. Pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara


efektif dan memberikan suara dalam rapat umum pemegang saham dan harus
diberitahu mengenai peraturan, termasuk prosedur pemungutan suara, yang
mengatur rapat umum pemegang saham:
1. Pemegang saham harus dilengkapi dengan informasi yang cukup dan tepat
waktu mengenai tanggal, lokasi dan agenda rapat umum, serta informasi yang
lengkap dan tepat waktu mengenai hal-hal yang akan diputuskan pada
pertemuan tersebut.
2. Pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan
kepada dewan pengurus, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan audit eksternal tahunan, untuk menempatkan item dalam agenda rapat
umum, dan mengusulkan resolusi, sesuai dengan batasan yang wajar.
3. Partisipasi pemegang saham yang efektif dalam keputusan tata kelola
perusahaan yang penting, seperti pencalonan dan pemilihan anggota dewan,
harus difasilitasi. Pemegang saham harus dapat membuat pandangan mereka
diketahui mengenai kebijakan remunerasi bagi anggota dewan dan eksekutif
kunci.Komponen ekuitas skema kompensasi untuk anggota dewan dan
karyawan harus tunduk pada persetujuan pemegang saham.

4. Pemegang saham harus dapat memberikan suara secara langsung atau in


absentia, dan efek yang sama harus diberikan pada suara apakah pemain secara
langsung atau in absentia.

2.B Keputusan Material yang Membutuhkan Persetujuan Dalam RUPS


Pemegang saham perusahaan biasanya terdiri dari banyak individu atau institusi
sehingga tidak dapat memegang tanggung jawab untuk mengelola aktivitas perusahaan.
Tanggung jawab untuk strategi dan operasi perusahaan berada ditangan dewan dan
manajemen. Namun terdapat beberapa keputusan yang membutuhkan persetujuan dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Bebepam-LK mengeluarkan aturan mengenai transaksi material (IX.E.2) dan transaksi
yang mengandung benturan kepentingan (IX.E.1). transaksi material adalah transaksi
dengan nilai yang sama dengan atau lebih besar dari 20% ekuitas perusahaan. Untuk
transaksi dengan nilai antara 20% hingga 50% ekuitas, perusahaan wajib mengumumkan
ke public paling lambat 2 hari setelah perjanjian transaksi ditandatangani. Informasi yang
diungkapkan antara lain adalah ringkasan laporan penilaian yang meliputi diantaranya
pendapat mengenai kewajaran transaksi. Transaksi dengan nilai lebih besar dari 50%
ekuitas perusahaan harus dapat persetujuan RUPS dan diumumkan ke public sebagaimana
halnya transaksi dengan nilai lebih kicil dari 50%. Transaksi yang mengandung benturan
kepentingan harus mendapat persetujuan dari pemegang saham independen.
Dalam peraturab Bapepam-LK IX.E.1, selain diatur benturan kepentingan, juga diatur
mengenai transaksi afiliasi (transaksi pihak berelasi). Transaksi afiliasi harus dilaporkan ke
Bapepam-LK dan dilaporkan ke public paling lambat 2 hari setelah terjadinya transaksi,
sedangkan transaksi benturan kepentingan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan
pemegang saham independen atau wakil mereka dalam RUPS.

2.C Penyelenggaraan RUPS yang Transparan, Wajar dan Akuntabel


RUPS prinsip dasarnya sebagai organ perusahaan yang merupakan wadah para
pemegang saham untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan modal yang
ditanam dalam perusahaan, dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar dan
peraturan perundang-undangan.
Pengambilan keputusan RUPS harus dilakukan secara wajar dan transparan dengan
memperhatikan hal-hal yang diperlukan untuk menjaga kepentingan usaha perusahaan
dalam jangka panjang, termasuk tetapi tidak terbatas pada Anggota Dewan Komisaris dan
Direksi yang diangkat dalam RUPS harus terdiri dari orang-orang yang patut dan layak (fit
and proper) bagi perusahaan.

RUPS harus diselenggarakan sesuai dengan kepentingan perusahaan dan dengan


memperhatikan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, serta dengan persiapan
yang memadai, sehingga dapat mengambil keputusan yang sah. Penyelenggaraan RUPS
merupakan tanggungjawab Direksi. Penyelenggaraan RUPS yang transparan yaitu adanya
keterbukaan mengenai informasi perusahaan secara akurat dan tepat waktu yang harus
dilakukan dan mencakup informasi mengenai kinerja keuangan perusahaan, transaksi
benturan kepentingan, pengelolaan risiko, struktur pengelolaan dan kebijakan perusahaan.
Laporan keuangan harus diaudit oleh auditor independent, kompeten dan memiliki kualitas
yang tinggi.

2.D Pengungkapan Sruktur Kepemilikan


Kepemilikan Piramid
Kepemilikan piramida adalah kepemilikan secara tidak langsung terhadap suatu
perusahaan melalui perusahaan lain, baik melalui perusahaan publik maupun
perusahaan nonpublik (Claessens et al., 2000a; Claessens et al.,2000b). Ada dua hal
yang harus dipenuhi agar kepemilikan dapat dikategorikan sebagai kepemilikan
piramida yaitu :
1) Terdapat pemegang saham pengendali atau pemilik ultimat pada pisah batas hak
kontrol yang ditentukan.
2) Terdapat perusahaan lain yang dalam kepemilikan tersebut antara pemegang saham
pengendali dengan perusahaan publik yang dikendalikan.

Cash-Flow Right
Cash Flow Right Leverage merupakan deviasi hak aliran kas dari hak kontrol.
Semakin besar deviasi hak aliran kas dan hak kontrol menunjukkan semakin tinggi
peningkatan kontrol pemegang saham pengendali melebihi hak aliran kasnya.
Peningkatan kontrol tersebut diperoleh melalui beberapa mekanisme yang lazim
dilakukan seperti kepemilikan piramida.
Cash flow right leverage (selisih antara perbedaan hak kontrol dan hak aliran
kas) sering dijadikan alat ukur untuk mengetahui kemampuan pemegang saham
pengendali untuk mendapatkan manfaat privat atas kontrol yang dimilikinya.

Control Right (CR)


Control rights adalah persentase hak kendali yang dimiliki oleh pemegang
saham pengendali ultimat.

Hubungannya Dengan Insentif Untuk Ekspropriasi


Hubungannya dengan insentif untuk ekspropriasi ini terkait dengan Cash flow
right leverageyang menunjukkan tingginya insentif dan kemampuan pemegang saham
pengendali untuk melakukan ekspropriasi terhadap pemegang saham non pengendali.
Namun, apabila hak aliran kas juga tinggi, maka hak aliran kas ini dapat mengurangi
keinginan pemegang saham pengendali untuk melakukan ekspropriasi.

2.E Investor Institusional


Investor institusional merupakan investor yang bukan individu, melainkan investor yang
merupakan lembaga.
Cara investor institusional untuk berperan serta dalam mendorong penerapan GCG
adalah dengan investasi yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan investasi yang
bertanggung jawab adalah dengan membuat kebijakan hanya akan melakukan penempatan
investasi pada perusahaan-perusahaan yang menerapkan GCG, dan tentu secara konsisten
menerapkan kebijakan tersebut dalam melakukan investasi. Dengan cara ini, institusi
tersebut bertanggung jawab terhadap masyarakat karena penempatan yang salah menjadi
lebih keccil, dan di lain pihak perusahaan yang sahamnya menjadi lirikan investor dan
masuk dalam dafta saham yang desirable atau ingin dimiliki oleh investor, lebih jauh hal
ini akan menaikan nilai saham yang secara tidak langsung juga menaikan nilai perusahaan.
Tentu untuk bisa menerapkan investasi yang bertanggung jawab dibutuhkan usaha
tambahan oleh investor institusional, karena harus ada fungsi di dalam institusi tersebut
yang bertanggung jawab melakukan analisis secara berkesinambungan terhadap penerapan
GCG perusahaan-perusahaan target dengan menggunakan acuan yang benar sebagai dasar
penerapan GCG. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil jika memang sudah menjadi sebuah
itikad dalam melakukan investasi yang bertanggung jawab, dalam mengelola dana
masyarakat.
2.F Peran Akuntan Profesional dalam Memfasilitasi Pelaksanaan Hak Pemegang
Saham
a. Akuntan manajemen berperan dalam menyiapkan laporan keuangan perusahaan,
disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku. Dalam
laporan keuangan tersebut terdapat berbagai informasi yang berguna bagi
penggunanya, seperti informasi mengenai kinerja keuangan perusahaan, kebijakan
akuntansi, transaksi pihak berelasi, struktur kepemilikan. Informasi tersebut
disampaikan secara transparan, akurat dan tepat waktu ke pemegang saham.
b. Akuntan public berperan melakukan verifikasi atas informasi dalam laporan
keuangan. Akuntan profesional yang merupakan anggota komite audit mempunyai
peranan melakukan pengawasan atas hal tersebut.
c. Akuntan manajemen dan internal audit berperan dalam merancang dan
mengimplementasikan sistem informasi dan pengendalian terkait dengan
pelaksanaan prinsip-prinsip perlindungan terhadap pemegang saham. Akuntan
profesional yang merupakan anggota komite audit mempunyai peranan melakukan
pengawasan atas hal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai