Anda di halaman 1dari 17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka dipakai sebagai acuan terkait dengan penelitian berjudul “Pengaruh

Variasi Temperatur Terhadap Kekuatan Tarik dan Kekerasan Sambungan Difusi Logam Tak

Sejenis Antara Alumunium AL6061 dan Baja Karbon SS400”. Dalam hal ini, ada beberapa studi

yang dianggap relevan dan dijadikan acuan dalam kajian penelitian ini. Studi-studi tersebut

dijelaskan sebagai berikut :

Agus Hadi Hariyanto (2015) dalam Tesis yang berjudul “ Pengaruh Temperatur Lapisan

Intermetalik Terhadap Sifat Fisik Mekanik pada Sambungan Difusi Logam Tak Sejenis Antara

SS400 dengan AL6061, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Sebelas Maret Surakarta”. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur lapisan intermetalik terhadap sifat fisik

mekanik sambungan difusi logam tak sejenis antara SS400 dengan Al6061. Proses sambungan

difusi menggunakan furnace induksi dengan parameter variasi temperatur dan komposisi variasi

filler. Variasi temperatur yang digunakan 850°C, 875°C, 900°C dengan waktu tahan 1800 detik.

Filler yang digunakan serbuk ferro (Fe) dan copper (Cu), dengan komposisi variasi filler Fe :

70%, 75%, 80% dari volume tempat filler. Hasil penelitian menunjukan adanya pembentukan

lapisan intermetalik pada semua temperatur. Hasil Scanning Electron Microscop ( SEM ) daerah

interface terjadi ikatan antara baja dengan aluminium. Ikatan interface akan membentuk lapisan

intermetalik. Lapisan intermetalik yang terbentuk FeAl dan Fe3Al. Hasil distribusi kekerasan

yang paling keras terjadi pada temperatur 900⁰C dengan komposisi variasi filler ferro 75%. Hasil
pengujian geser tarik, nilai tegangan yang tinggi terjadi pada temperatur 900⁰C dengan komposisi

variasi filler ferro 75%.

Relevansi pada penelitian yang dilakukan oleh Agus Hadi Hariyanto terletak pada (1)

Material yang digunakan pada penelitian ini menggunakan 2 senyawa berbeda sebagai bahan

uji yaitu SS400 dengan AL6061. (2) Uji pada sifat Material dalam penelitian ini menjadikan 2

sifat antara dasar material mekanik yaitu sifat kekuatan Tarik dan kekerasan sebagai 2 sifat

pengaruh variasi temperature yang diujikan dalam memperoleh hasil pada sambungan logam 2

senyawa berbeda tersebut.

Perbedaan dalam penelitian ini terletak pada metode yang dilakukan pada saat difusi.

Pada penelitian ini menggunakan Metode Resistance Spot Welding (RSW) sebagai proses dalam

melakukan sambungan difusi antara SS400 dengan AL6061. Sedangkan dalam penelitian yang

peneliti lakukan menggunakan Metode Diffusi Bonding sebagai proses dalam melakukan

sambungan difusi antara SS400 dengan AL6061.

Jon Affi (2014) dengan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Temperatur Pemanasan

terhadap Kekuatan Geser Sambungan Diffusi Baja Aisi 1045 dengan Tembaga C10100

Menggunakan Tungku Perlakuan Panas, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Andalas Padang”.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh variasi temperatur pemanasan terhadap kekuatan

geser sambungan antara baja AISI 1045 dengan tembaga C10100 menggunakan metode

diffusion bonding.Penyambungan dilakukan dengan variasi temperatur pemanasan 760ºC, 810ºC

dan 860ºC menggunakan furnace perlakuan panas non-vakum, dengan holding time pemanasan

60 menit tanpa gas argon. Karakteristik sambungan diteliti dengan pengujian mekanik yaitu uji

geser dan pengamatan struktur mikro. Uji geser dilakukan menggunakan Universal Testing

Machine mini. Pengamatan struktur mikro pada sambungan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop optik dan Scanning Electron Microscope(SEM). Dari hasil penelitian diperoleh

kekuatan geser sambungan baja AISI 1045 dengan tembaga C10100 yang tertinggi yaitu 95 MPa,

dengan temperatur pemanasan penyambungan 810ºC atau 75% dari temperatur leleh tembaga

C10100, dengan tebal area difusi pada satu titik pengamatan yaitu sekitar 1,1 µm.

Relevansi penelitian yang dilakukan oleh Jon Affi terletak pada Metode yang digunakan

dalam menyambungkan 2 senyawa berbeda yaitu dengan metode diffusion bonding sebagai

landasan utama digunakan dalam proses difusi tersebut.

Perbedaan dalam penelitian ini terletak pada (1) Bahan senyawa yang ujikan, dalam

penelitian ini menggunakan Baja Aisi 1045 dengan Tembaga C10100 sedangkan untuk

penelitian yang peniliti lakukan menggunakan antara SS400 dengan AL606. (2) sifat material

yang diujikan dalam penelitian ini hanya mengujikan sifat material Kekuatan geser yang menjadi

acuan pengaruh pada sambungan 2 senyawa berbeda tersebut. Sedangkan, untuk penelitian yang

peneliti lakukan menjadikan 2 sifat antara dasar material mekanik yaitu sifat kekuatan Tarik dan

kekerasan sebagai 2 sifat pengaruh variasi temperature yang diujikan dalam memperoleh hasil

pada sambungan logam 2 senyawa berbeda tersebut.

Gunawan Dwi Haryadi (2006) dengan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Suhu Tempering

Terhadap Kekerasan, Kekuatan Tarik dan Struktur Mikro Pada BAJA K-460, Jurusan Teknik

Mesin, Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan

kekerasan logam yaitu baja k-460. Baja k-460 mempunyai kekerasan yang tinggi dan diharapkan

mempunyai keuletan. Dengan tempering baja akan menambah sifat sifatnya, seperti kekerasan,

keuletan dan tegangan tariknya. Hasil pengujian yang telah dilakukan setelah proses tempering

dengan variasi suhu telah merubah kekerasannya. Kekerasan baja setelah pemanasan menurun

ketika suhu tempering dinaikkan. Perubahan suhu tempering juga mempengaruhi nilai kekuatan
tarik. Pada suhu 100oC kekuatan tarik maksimumnya 2014,8 Mpa, dan pada suhu 200oC, 300oC,

dan 400oC masing-masing kekuatan tarik maksimumnya adalah 1671,1 Mpa, 1444,6 MPa dan

1023,3 MPa.Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kekerasan, kekuatan tarik dan

struktur mikro dipengaruhi oleh suhu tempering. Ketika suhu tempering dinaikkan kekerasan

dan kekuatan tariknya akan menurun.

Relevansi penelitian yang dilakukan oleh Gunawan Dwi Haryadi terletak pada sifat

material yag diujikan dalam mendapatkan variasi temperature dalam senyawa tersebut.

Perbedaan yang terdapat dalam penelitian ini terletak pada Jumlah senyawa yang diujikan dalam

penelitian ini hanya mengujikan satu senyawa yaitu: Baja k-460 sedangkan dalam penelitian

yang peneliti lakukan menggunakan 2 senyawa sambungan untuk diujikan tingkat pengaruh

temperature pada 2 senyawa tersebut.

2.2 Landasan Teori

Definisi pengelasan menurut DIN (Deutsche Industrie Norman) adalah ikatan metalurgi

pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair.

Dengan kata lain, las merupakan sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan

menggunakan energi panas.

Mengelas menurut Wiryosumarto (2008) adalah suatu aktifitas menyambung dua bagian

benda atau lebih dengan cara memanaskan atau menekan atau gabungan dari keduanya

sedemikian rupa sehingga menyatu seperti benda utuh. Penyambungan bisa dengan atau tanpa

bahan tambah (filler metal) yang sama atau berbeda titik cair maupun strukturnya.

Berdasarkan kedua teori tersebut Pengelasan dapat diartikan dengan proses

penyambungan dua buah logam sampai titik rekristalisasi logam, dengan atau tanpa
menggunakan bahan tambah dan menggunakan energi panas sebagai pencair bahan yang dilas.

Pengelasan juga dapat diartikan sebagai ikatan tetap dari benda atau logam yang dipanaskan.

Menurut (Wiryosutomo dan Okimura: 2004) Penggolongan jenis las dibedakan menjadi 2 bagian

yaitu:

1. Pengelasan cair (fusion welding) adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan

sampai mencair dengan sumber panas dari busur listrik atau sumber api gas yang terbakar. Yang

termasuk dalam fusion welding diantaranya las SMAW (Shielded Metal Arc Welding) , las

ARGON, las FCAW, las GMAW.

2. Pengelasan padat (solid state welding) merupakan kondisi pengelasan dimana logam yang

dilas tidak sampai mencair. Yang termasuk dalam Solid State Welding diantaranya

Diffusion Welding, Forge Welding, Cold Welding dan Friction Welding .

2.2.1 Daerah Pengelasan Fusi

Menurut Wiryosutomo dan Okumura (2004) Daerah pengelasan adalah daerah yang
terkena pengaruh panas pada saat pengelasan. Pengaruh panas tersebut menyebabkan perubahan
struktur mikro, sifat mekanik pada daerah daerah tertentu. Daerah pengelasan dibagi menjadi 4
yaitu: logam lasan, garis gabungan, daerah HAZ, dan logam induk.
Menurut Wiryosutomo dan Okumura ( 2004) Daerah lasan terdiri dari empat bagian:
1. Logam lasan (weld metal), yaitu daerah endapan las (weld deposit) logam disaat

melakukan pengelasan mencair dan kemudian membeku. Endapan las (weld deposit) ini

merupakan logam pengisi (filler metal) yang telah mencair.

2. Garis gabungan (fusion line), merupakan garis diantara logam lasan dan daerah yang

terkena panas (HAZ) yang bisa dilihat dengan mengetsa hasil penampang las. Daerah ini

merupakan daerah batas bagian cair dan padat dari sambungan lasan.
3. HAZ (Heat Affected Zone), yaitu merupakan daerah yang terkena pengaruh panas yang

dilakukan selama pengelasan mengalami pemanasan dan pendinginan dengan cepat.

4. Logam induk (parent metal), adalah bagian logam lasan yang tidak terkena pengaruh

panas karena proses pengelasan dan temperatur yang disebabkan saat pengelasan tidak

menimbulkan terjadinya perubahan struktur dan sifat dari logam induk tersebut. Hal ini

disebabkan karena temperatur yang terjadi pada logam induk belum mencapai temperatur

kritis.

2.2.2 Pengertian Difussion Welding ( Bonding)

Menurut Ashby M (2007:286) Diffusion Welding atau Diffusion Bonding termasuk

dalam proses solid state welding yaitu proses penyambungan yang dilakukan dengan tekanan

dan memanfaatkan peristiwa berpindahnya atom-atom antar material yang disambungkan, akibat

panas yang diberikan pada material. Pada saat pemanasan, atom-atom akan bergetar aktif dan

cenderung berpindah dari posisi awalnya sehingga, menimbulkan adanya kekosongan pada

posisi awal atom tersebut. Kekosongan ini akan diisi oleh atom lain yang juga berpindah dari

posisi awalnya mencari ruangan baru akibat panas yang diberikan. Pada sambungan akan

terbentuk ikatan atom baru pada daerah kontak sambungan, akibat perpindahan atom-atom

tersebut. Temperatur pemanasan untuk diffusion bonding adalah sekitar 50-80% dari

temperature leleh material yang disambung.

Menurut Dunkerton (1995) Diffusion bonding merupakan proses penyambungan antara

dua material dengan cara pemanasan dan penekanan, tanpa pencairan pada materialnya.

Penyambungan yang terjadi karenan adanya difusi atomantar material.Penekanan untuk

memberikan kontak dalam jarak interatomik sehingga difusi atom antara material dapat terjadi

lebih mudah.
Dari definisi tersebut dapat dijabarkan bahwa diffusion Welding (bonding) adalah suatu

proses penyambungan dua material atau lebih yang dapat dilakukan dengan atau tanpa tekanan,

dengan memanaskan bagian yang akan disambungkan hingga mendekati ataupun mencapai titik

leleh dari material, agar terjadi ikatan atom baru dan setelah sambungan didinginkan, maka dua

material dapat menjadi satu.

Menurut Dunkerton (1995) dalam bukunya yang berjudul Dunkerton (1995) dalam

bukumnya yang berjudul Procedure Development and Practice Consideration for Diffusion

Welding menyatakan tentang Karakteristik penyambungan dengan proses diffusion Welding

(bonding) adalah sebagai berikut:

1). Sambungan terjadi pada temperatur dibawah titik cair material yaitu 0,5 –0,8 Tm.

2) Penyatuan antar permukaan kontak dihasilkan dengan memberikan beban yang kecil

sehingga tidak terjadi deformasi plastis yang berlebihan.

3). Lapisan antar dapat diberikan untuk membantu meningkatkan aktivitas pembentukan

sambungan dalam proses bonding.

2.2.3 Mekanisme Diffusion Bonding

Menurut ( Ashby M: 2007) Parameter yang berpengaruh pada diffusion bonding adalah

kondisi lingkungan proses, kekasaran permukaan material, tekanan, temperatur pemanasan, dan

lamanya pemanasan. Diffusion bonding dapat dilakukan pada lingkungan yang dilindungi

dengan suatu gas pelindung seperti gas argon. Gas Argon berfungsi mengurangi terjadinya

oksidasi pada saat proses diffusion bonding berlangsung. Lebih baik lagi apabila diffusion

bonding dapat dilakukan pada kondis ilingkungan vakum yang bertekanan 10-1sampai 10-

3Pa.(Wiryosutomo dan Okimura: 2004) Mekanisme diffusion bonding dapat dibagi menjadi 4

tahap.
Gambar 2.1 Mekanisme diffusion bonding (modifikasi)

a). Pada tahap pertama, faktor kekasaran permukaan dan tekanan mempunyai peranan yang

penting. Permukaan benda kerja yang sebenarnya tidak pernah betul-betul halus dan rata.

Sehingga pada daerah kontak antar permukaan logam akan membentuk rongga-rongga akan

berkurang karena pada ujung kekasarannya terdeformasi. Secara ideal tahap pertama berjalan

penuh, bila menghasilkan hilangnya puncak kekasaran dan penyebaran void yang merata pada

daerah kontak

b). Pada tahap kedua, diffusion bonding terjadi pengurangan rongga-rongga pada permukaan

kontak. Pengurangan rongga-rongga ini dikarenakan adanya proses perpindahan masa menuju

rongga yang mengakibatkan ukuran rongga berubah mengecil. Dalam diffusion bonding proses

perpindahan masa berlangsung secara bersamaan berupa aliran plastis, difusi dari interface

menuju rongga melalui lattice, interface dan grain boundary.

Gambar 2.2 Skema bagian dari transfer material selama proses diffusion bonding (Hantoro,Tiwan,2005)
c). Lebih jelasnya bagian dari transfer massa dapat dilihat pad gambar.2 yang meliputi:

peluluhan plastis yang mendeformasi ujung kontak permukaan, difusi surface dari permukaan

menuju leher, difusi volume dari permukaan ke leher, penguapan dari permukaan mengembun

pada leher, difusi grain boundary dari antar muka menuju leher, difusi volume dari antar muka

menuju leher, power law creep Pada tahap ketiga, bagian difusi yang dominan adalah difusi

volume.

d). Pada tahap keempat seperti, pada Gambar 3 pergerakan atom dihentikan.Atom yang telah

berdifusi tersebut akan saling mengikat dan tidak dapat kembali ke material awalnya sehingga

terbentuk ikatan atom baru pada permukaan kontak. Dua material tersambung setelah kedua

material tersebut didinginkan. (Hantoro,Tiwan,2005)

2.2.4 Kelebihan dan Kekurangan dari Diffusion Bonding

Adapun kelebihan diffusion bonding adalah sambungan memiliki sifat-sifat yang sama

dengan logam induknya, lebih rapi, presisi, tidak terjadi perubahan dimensi yang berlebihan,

dapat menyambung dua material yang berbeda jenis yang tidak dapat disambung dengan proses

pengelasan biasa, serta minim cacat. Kekurangannya yaitu biaya peralatan yang mahal,

permukaan yang disambung memerlukan persiapan yang lebih rumit, serta kebutuhan penerapan

panas dan gaya tekan yang tinggi secara serentak dalam lingkungan vakum merupakan masalah

peralatan utama pada diffusion bonding. (Wiryosutomo dan Okimura: 2004).

2.2.5 Pengaruh temperature pada mekanika difusi

Menurut ( Hantoro, 2005) Pada fase padat atom akan bergetar disekitar posisinya karena

adanya energi termal. Energi termal ini muncul karena kenaikan tempertur. Getaran atom akan

meningkat dengan meningkatnya temperatur. Pada suatu saat akibat getaran yang hebat, akan

menmghasilkan lompatan atom. Sedangkan frekuensi lompatan ini berhubungan erat dengan
koefisien difusi. Atom intertisi pada posisi diam yaitu pada posisi energi potensial minimum.

Agar gerakan atom intertisi mampu mendorong atom sekitarnya maka kerja yang dilakukan

harus sebesar usaha yang menyebabkan naiknya energi bebas pada sistem sebesar ΔGm. Dimana

ΔGm dikenal sebagai energi aktivasi untuk pergerakan atom intertisi. Jika atom intertisi

bervibrasi dengan frekuensi rata υ dalam arah x, itu berarti usaha perdetiknya untuk menuju

tempat yang lain yaitu sebesar exp (ΔGm/RT).

2.3 MATERIAL

2.3.1 Baja Karbon Rendah SS 400

Baja jenis ini mempunyai kadar karbon kurang dari 0,30 %. Baja ini bersifat ulet dan tangguh

serta mempunyai mampu mesin (machineability), mampu bentuk (formability) dan mampu las

(weldability) yang lebih baik bila dibandingkan baja karbon sedang dan baja karbon tinggi. Baja

karbon rendah mempunyai kepekaan yang rendah terhadap retak las dibandingkan dengan baja

karbon lainnya karena kadar karbon yang paling rendah.

Massa Jenis 2.68 g/cc


Modulus Young 70,3 Gpa
Kekuatan Tarik Maksimum 228 Mpa
Kekuatan Luluh 193 Mpa
Poisson’s Ratio 0.33
Kekerasan Vickers 68 Hv
Tabel 2.3. Sifat Mekanik Baja SS400(Wiryosumarto dan Toshie, 2000)

Baja karbon rendah yang juga disebut baja lunak banyak sekali digunakan untuk konstruksi

umum, dengan ditambahkan sedikit unsur-unsur paduan. Penambahan unsur ini dapat meningkatkan

kekuatan baja tanpa mengurangi keuletannya. Plat baja SS400 merupakan baja karbon rendah dengan

kadar karbon kurang dari 0,30% dan dengan sedikit kandungan silikon. Beberapa hasil penelitian

menemukan bahwa kandungan silikonnya antara 0.06 dan 0.037%. Karakteristik baja SS400 dapat

dilihat pada Tabel 2.2. Baja karbon rendah dapat dilas dengan semua cara pengelasan yang ada di
dalam praktek dan hasilnya akan baik bila persiapannnya sempurna dan persyaratannya dipenuhi

(Wiryosumarto dan Toshie, 2000).

Plat baja SS 400 / Japanese Industrial Standard JIS G 3101 – ‘Rolled steel for general

structure’ merupakan baja carbon rendah (low carbon) yang paling umum digunakan di dunia

industry. Material jenis ini terdapat banyak ketersediaanya di pasar sebagai pelat, lembaran, flat,

bar, bagian dll. Baja SS 400 lebih sering di gunakan di industry karena kemampuanan mesinnya

(machinability) dan kemampuan lasnya (weldability).

2.3.2 Aluminium 6061 (Al-Mg-Si)

Aluminium merupakan logam ringan mempunyai ketahanan korosi yang baik dan

hantaran listrik yang baik. Adanya unsur tambahan Cu, Mg, Si, Mn, Zn, Ni dan sebagainya pada

aluminium dapat meningkatkan kekuatan mekaniknya (Surdia, 2000). Paduan aluminium –

magnesium – silikon termasuk kedalam jenis yang bisa diperlakukan panas dan memiliki sifat

mampu potong, mampu las, dan tahan karat yang cukup baik (Wiryosumarto, 2000). Apabila

magnesium dan silikon dipadukan dengan aluminium, maka terbentuklah magnesium silikat

(Mg2Si), kebanyakan paduan aluminium mengandung Si, sehingga penambahan magnesium

dibutuhkan untuk mendapatkan efek pengerasan dari Mg2Si. Tetapi sifat paduan ini akan

menjadi getas, sehingga untuk mengurangi hal tersebut, penambahan dibatasi antara 0,03% -

0,1%. Paduan logam murni dan coran yang diperlukan panas mempunyai beberapa fase yang

terlarut sehingga muncul dalam jumlah dan lokasi yang bervariasi didalam mikrostruktur yang

bergantung pada temperatur spesimen. Pada jenis paduan 6xxx, fase intermetalik yang umum

adalah Mg2Si. Aluminium paduan seri 6061 memiliki ketahanan korosi yang tinggi dikarenakan

terbentuknya lapisan oksida pada permukaannya. Logam ini sangat reaksif. Sehingga jika

bersentuhan dengan udara lapisan oksida terkelupas maka akan terbentuk lapisan yang baru. AA
6061 memiliki titik cair (melting point) 660°C, kekuatan tarik 12,6 kgf/mm², dan berat jenis

(density) 2,70 g/cm³.

2.4 Pengujian Tarik

Proses pengujian tarik bertujuan untuk mengetahui kekuatan tarik benda uji. Pengujian

tarik untuk kekuatan tarik daerah las dimaksudkan untuk mengetahui apakan kekuatan las

mempunyai nilai yang sama, lebih rendah atau lebih tinggi dari kelompok raw

materials.Pengujian tarik untuk kualitas kekuatan tarik dimaksudkan untuk mengetahui berapa

nilai kekuatannya dan dimanakah letak putusnya suatu sambungan las. Pembebanan tarik adalah

pembebanan yang diberikan pada benda dengan memberikan gaya tarik berlawanan arah pada

salah satu ujung benda.

Kurva tegangan-regangan rekayasa diperoleh dari hasil pengukuran benda uji tarik.

Tegangan yang diperlukan pada kurva diperoleh dengan cara membagi beban dengan luas awal.

penampang benda uji, persamaannya yaitu:

𝑃
S= (Sastranegara,2009)
𝐴0

Dimana :

S = Tegangan, psi (lb/in2) atau pascal (N/m2)

P = Beban, kg atau KN

A0 = Luas penampang awal, mm2

Regangan yang dipergunakan pada kurva diperoleh dengan cara membagi perpanjangan

ukur benda uji dengan panjang awal, persamaannya yaitu :

(Sastranegara,2009)
Dimana :

en = Regangan, %perpanjangan

L = Panjang ukur benda uji setelah patah, mm

L0 = Panjang awal benda uji, mm (sastarnegara,2009)

Kekuatan tarik (Tensile strength) Kekuatan tarik maksimum (Ultimate tensile strength)

adalah beban maksimum dibagi luas penampang awal benda uji, persamaannya adalah :

Dimana :

Su = Tegangan maksimum, pascal atau psi

Pmaks = Beban maksimum, kg atau KN (Sastranegara,2009)

2.5 Pengujian Kekerasan

Proses pengujian logam kekerasan logam dapat diartikan sebagai kemampuan suatu

bahan terhadap pembebanan dalam perubahan yang tetap. Harga kekerasan bahan tersebut dapat

dianalisis dari besarnya pembebanan yang diberikan terhadap luasan bidang yang menerima

pembebanan.

Pengujian kekerasan logam ini secara garis besar ada 3 jenis yaitu cara goresan,

penekanan, cara dinamik. Proses pengujian yang mudah dan cepat dalam memperoleh angka

kekerasan yaitu penekanan. Penentuan kekerasan penekanan ada 3 cara yaitu Brinell, Vickers,

dan Rockwell. Pada penelitian ini digunakan cara mikro Vickers dengan menggunakan penekan

berbentuk piramida intan. Besar sudut antara permukaan piramida yang saling berhadapan 136º.

Pada pengujian ini bahan ditekan dengan gaya tertentu dan terjadi cetakan pada bahan uji dari

intan. Pengujian ini sering dinamakan uji kekerasan piramida intan, karena menggunakan bentuk

piramida intan. Nilai kekerasannya disebut dengan Tegangan luluh Batas elastis Tegangan luluh
0,2% Regangan Tegangan kekerasan HV atau VHN (Vickers Hardness Number), didefinisikan

sebagai beban dibagi luas permukaan bekas penekanan.

Dimana: F = Beban (kg)

L = Panjang diagonal rata-rata (mm)

θ = Sudut piramida 136º (Sastranegara,2009)


2.6 Kerangka Berpikir

Penyambungan logam dilakukan dengan berbagai tujuan, diantaranya adalah untuk

membuat suatu barang yang tidak mungkin dilakukan dengan teknik lain,

memudahkan pekerjaan, serta dapat menekan biaya produksi.

Proses penyambungan logam, banyak digunakan dalam industri manufaktur adalah

las. Pengelasan logam merupakan pilihan yang cukup tepat. Pengelasan tidak membutuhkan

waktu yang lama, konstruksinya ringan

Definisi pengelasan menurut DIN (Deutsche Industrie Norman) adalah ikatan

metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer

atau cair. Dengan kata lain, las merupakan sambungan setempat dari beberapa batang logam

dengan menggunakan energi panas Pengelasan dapat dibedakanmenjadi dua jenis, yaitu Solid

State Welding dan Liquid State Welding. Solid StateWelding adalah proses

pengelasan dimana benda dalam keadaan padat dan biasanya dengan menggunakan tekanan

sehingga sering juga disebut dengan Pressure Welding. Yang termasuk dalam Solid State

Welding diantaranya Diffusion Welding ,Forge Welding, ColdWelding dan FrictionWelding.

Dengan diinginkannya kualitas sambungan material berbeda jenis yang lebih presisi,

teliti, minim cacat, serta mampu mempertahankan sifat mekanik material yang disambung,

maka metode penyambungan yang hasilnya sesuai salah satunya adalah diffusion bonding.

Diffusion bonding adalah proses penyambungan dengan cara menekan dua material dan

pemberian perlakuan panas secara serentak, sehingga terjadi suatu ikatan secara atomic akibat

migrasi atom pada permukaan kontak penyambungan.

Penyambungan dua material yang berbeda yaitu antara Alumunium 6160 dengan Baja

karbon ss400 bertujuan untuk mendapatkan dua sifat material dalam satu komponen. Maka
perlu perlu dilakukan penelitian untuk proses penyambungan dengan menggunakan metode

diffusion bonding antara Alumunium 6160 dengan Baja karbon ss400. Terdapat beberapa

parameter penting dalam proses diffusion bonding, namun temperature pemanasan menjadi

parameter terpenting dalam proses diffusion bonding. Karena masing-masing material

memiliki temperature leleh yang berbeda. Maka dilakukan penelitian untuk mengetahui

pengaruh temperature pada mekanik Tarik dan kekerasan sambungan difusi antara

Alumunium 6160 dengan Baja karbon ss400 dengan menggunakan metode diffusion bonding.

Alumunium
6061
Diffusion welding
(bonding)
material

Variasi
Pengelasan 2 Temperatur
senyawa tak sejenis

Baja Karbon
SS400

Uji kekuatan Tarik


Masalah:
Dan uji kekerasan
Adakah pengaruh temperature terhadap
kekuatan Tarik dan kekerasan sambungan
antara Alumunium 6160 dengan Baja karbon
ss400?

Berapa temperature yang tepat untuk dapat


menyambungkan sambungan antara Alumunium
6160 dengan Baja karbon ss400?
Hasil

Gambar 2.4. Kerangka berpikir


2.7 HIPOTESIS

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan

penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Adapun hipotesis dalam penelitian

ini adalah ada pengaruh variasi temperatur terhadap kekuatan tarik dan kekerasan difusi

logam antara Alumunium 6160 dengan Baja Karbon SS400.

Daftar pustaka:

Anda mungkin juga menyukai