Laprak Evgiz Kerusakan Minyak
Laprak Evgiz Kerusakan Minyak
Laprak Evgiz Kerusakan Minyak
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pengolahan bahan pangan minyak goreng berfungsi sebagai media
penghantar panas, di dalam makanan sebagian besar berupa trigliserida.Apabila
minyak goreng digunakan berulang kali maka akan terjadi kerusakan dalam
minyak, hal ini sering ditandai dengan terjadinya perubahan bau dalam minyak
yaitu berupa bau tengik. Salah satu parameter terpenting dalam pengukuran
tingkat kerusakan minyak adalah dengan menentukan angka peroksida dan
bilangan asam. Kerusakan minyak dapat terjadi karena berbagai faktor salah satu
diantaranya adalah suhu atau panas.
Lemak dengan adanya pengaruh oksigen, cahaya dan logam berat dapat
membentuk peroksida, aldehid dan keton yang mampu membentuk polimer-
polimernya, teridentifikasi dengan timbulnya ketengikan dan peningkatan
kekentalan minyak/ lemak tersebut. Angka peroksida adalah nilai terpenting untuk
menentukan derajat kerusakan minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh
mengikat oksigen pada ikatan rangkanya sehingga membentuk peroksida.
Peroksida yang ada mampu memecahkan ikatan kalium iodida.
Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi
dan hidrolitik, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Di antara kerusakan
minyak yang mungkin terjadi ternyata kerusakan karena autooksidasi yang paling
besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang diakibatkan oksidasi lemak
antara lain peroksida, asam lemak, aldehid dan keton. Bau tengik terutama
disebabkan oleh aldehid dan keton. Untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak
dapat dinyatakan sebagai angka peroksida atau angka asam.
B. Tujuan
Untuk mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada minyak goreng
pada berbagai cara penggorengan bahan makanan
II. TINJAUAN PUSTAKA
Minyak
Lemak dan minyak adalah bahan bahan yang tidak larut dalam air yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Lemak dan minyak yang digunakan
dalam makanan sebagian besar adalah trigliserida yang merupakan ester dari
gliserol dan berbagai asam lemak. Komponen-komponen lain yang mungkin
terdapat, meliputi fosfolipid, sterol, vitamin dan zat warna yang larut dalam lemak
seperti klorofil dan karotenoid. Istilah lemak (fat) biasanya digunakan untuk
campuran trigliserida yang berbentuk padat pada suhu ruangan, sedangkan
minyak (oil) berarti campuran trigliserida cair pada suhu ruangan (Buckle, 2013).
Minyak dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu (1) minyak nabati,
contohnya minyak jagung, minyak zaitun, minyak kedelai, minyak kacang tanah,
minyak biji wijen, minyak kelapa, dan minyak kelapa sawit. (2) minyak hewani,
contohnya : mentega, minyak sardin, lemak sapi, dan minyak babi (Winarno,
2004).
Ketaren (2012), mengklasifikasikan minyak nabati menurut sifat fisiknya
(sifat mengering dan sifat cair) menjadi tiga : (1) minyak mengering (drying oil),
yaitu minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi dan
akan berubah menjadi tebal, bersifat kental, dan membentuk sejenis selaput jika
dibiarkan pada udara terbuka, contoh:minyak kedelai. (2) minyak setengah
mengring (semi drying oil) yaitu minyak yang mempunyai daya mengering lebih
lambat, contoh : minyak jagung dan minyak biji bunga matahari, dan (3) minyak
tidak mengring (non drying oil) contoh minyak kelapa, minyak sawit, minyak
zaitum dan minyak kacang tanah.
Minyak goreng adalah minyak yang telah mengalami proses pemurnian
meliputi (1) degumming adalah proses pemisahan getah atau atau lendir berupa
fosfatida, air, protein, residu dan karbohidrat tanpa mengurangi jumlah asam
lemak bebas. (2) netralisasi adalah proses pemisahan asam lemak bebas dari
minyak dengan cara mereaksikannya dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga
membentuk sabun. (3) pemucatan adalah proses penghilangan zat zat warna yang
tidak disukai dalam minyak. (4) deodorasi adalah proses penghilangan bau dan
rasa yang tidak enak dalam minyak (Ketaren, 2012).
Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan
minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan
rasa gatal pada tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak
jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak
goreng tersebut. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol
bebas. Minyak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun,
karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu untuk menekan
terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada
suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya (Winarno, 2004).
Standar mutu minyak goreng menurut SNI 3741-1995 ialah
Karakteristik Kisaran Keterangan
Bilangan Peroksida
2 Maksimal
(meq/kg)
Titik Asap (oC) 200 Minimal
Bilangan Penyabunan 196-206 -
Bilangan Iodin 45-46 -
Berat Jenis (g/ml) 0,921 Maksimal
Indeks Bias 1,465-1,4585 -
Cita rasa dan Bau Tidak berbau -
Sumber : SNI 3741-1995
Kerusakan Minyak
Kerusakan utama minyak adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan
kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA), bilangan
iodium, angka peroksida, TBA, angka karbonil, timbulnya kekentalan minyak,
terbentuknya busa yang digunakan dan dari bahan yang digoreng. Semakin sering
digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi. Penggunaan minyak
berkali-kali akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan
meningkatkan warna coklat atau flavor yang tidak disukai pada bahan makanan
yang digoreng (Wijana et al., 2005).
Proses pemanasan minyak pada suhu tinggi dengan adanya oksigen akan
mengakibatkan rusaknya asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat di dalam
minyak, seperti asam oleat dan asam linoleat. Kerusakan minyak akibat
pemanasan dapat diamati dari perubahan warna, kenaikan kekentalan,
peningkatan kandungan asam lemak bebas, kenaikan bilangan peroksida, dan
kenaikan urea adduct forming esters. Selain itu, dapat dilihat terjadinya
penurunan bilangan iod dan penurunan kandungan asam lemak tak jenuh
(Febriansyah, 2007).
Selama proses penggorengan, sejumlah besar minyak goreng dipanaskan
pada suhu tinggi dan bahan pangan terendam di dalamnya. Minyak goreng akan
digunakan secara kontinu selama periode yang cukup panjang. Suhu yang tinggi
pada operasi penggorengan yang kontinu ini menghasilkan asam lemak bebas
pada minyak goreng. Keberadaan asam lemak bebas dalam minyak goreng
menyebabkan rasa yang tidak diinginkan pada produk akhir. Peningkatan
kandungan asam lemak bebas menyebabkan penurunan titik asap (Andarwulan,
1997).
Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak mampu menyerap sejumlah
iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap
menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh. Bilangan iod
dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh 100 gram minyak yang
mana titik akhir titrasi dinyatakan dengan hilangnya warna biru dengan indikator
amilum. Bilangan iod dapat menyatakan derajat ketidakjenuhan dari minyak dan
dapat dipergunakan untuk menggolongkan jenis minyak pengering, setengah
pengering dan minyak bukan pengering. Minyak pengering adalah minyak yang
mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi dan berubah menjadi
lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di
udara terbuka.Minyak pengering mempunyai bilangan iodin yang lebih dari 130.
Minyak setengah pengering adalah minyak yang mempunyai daya mengering
lebih lambat dan bilangan iodnya antara 100 sampai 130 (Ketaren, 2012).
Kerusakan lemak dapat terjadi karena oksidasi, baik secara oto-oksidasi
(enzimatis) maupun secara non enzimatik. Pemeriksaan kerusakan lemak dapat
dikerjakan dengan memeriksa kandungan peroksidanya atau jumlah monaldehida
yang bisanya dinyatakan sebagai angka TBA (thiobarbituric acid) (Ketaren,
2012).
Perubahan Mutu Minyak Goreng
Pada umumnya senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh panas,
sehingga lemak yang telah dipanaskan hanya mengandung sejumlah kecil
peroksida. Dalam jangka waktu yang cukup lama peroksida dapat mengakibatkan
destruksi beberapa macam vitamin dalam bahan pangan berlemak (misalnya
vitamin A, C, D, E, K dan sejumlah kecil vitamin B).
Peroksida akan membentuk persenyawaan lipoperoksida secara non
enzimatis dalam otot usus dan mitochondria. Lipoperoksida dalam aliran darah
mengakibatkan denaturasi lipoprotein yang mempunyai kerapatan rendah.
Lipoprotein dalam keadaan normal mempunyai fungsi aktif sebagai alat
transportasi trigliserida, dan jika lipoprotein mengalami denaturasi akan
mengakibatkan deposisi lemak dalam pembuluh darah (aorta) sehingga
menimbulkan gejala atherosclerosis. (Ketaren, 2012).
Bilangan peroksida didefinisikan sebagai jumlah miliequivalen peroksida
dalam setiap 1000 g minyak atau lemak. Bilangan peroksida >20 menunjukkan
kualitas minyak yang sangat buruk, biasanya teridentifikasi dari bau yang tidak
enak (Rahman, 2007 dalam Dwi Krisna Fatoni, 2012). Bilangan peroksida
merupakan nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau
lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya
sehingga membentuk peroksida (Ketaren, 2012).
Bilangan peroksida menyatakan terjadinya oksidasi dari minyak. Bilangan
peroksida berguna untuk penentuan kualitas minyak setelah pengolahan dan
penyimpanan. Peroksida akan meningkat sampai pada tingkat tertentu selama
penyimpanan sebelum penggunaan, yang jumlahnya tergantung pada waktu, suhu,
dan kontaknya dengan cahaya dan udara. Tingginya bilangan peroksida
menandakan oksidasi yang berkelanjutan, tetapi rendahnya bilangan peroksida
bukan berarti bebas dari oksidasi. Pada suhu penggorengan, peroksida meningkat,
tetapi menguap dan meninggalkan sistem penggorengan pada temperatur yang
tinggi (Sinaga,2010).
Bilangan asam adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk
menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak. Bilangan
asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat
dalam minyak atau lemak. Caranya adalah dengan jalan melarutkan sejumlah
minyak atau lemak dalam alkoholeter dan diberi indikator phenolphthalein.
Kemudian dititrasi dengan larutan KOH sampai terjadi perubahan warna merah
jambu yang tetap. Besarnya bilangan asam tergantung dari kemurnian dan umur
dari minyak atau lemak tersebut (Ketaren, 2012).
Menurut Abdullah (2007), angka asam yang besar menunjukkan asam
lemak bebas yang besar. Asam lemak ini berasal dari hidrolisa minyak ataupun
karena proses pengolahan yang kurang baik. Makin tinggi angka asam maka
makin rendah kualitasnya.
III. METODE PRAKTIKUM
A. Hasil
Tabel Angka Peroksida
Angka Asam
Asam lemak bebas merupakan dasar untuk mengetahui umur minyak,
kemurnian minyak, dan tingkat hidrolisa. Asam lemak bebas dengan kadar 0,2%
dari berat minyak yang tidak disukai dan bersifat meracuni tubuh (Aisyah et al.,
2010). Analisa asam lemak bebas pada minyak dilakukan dengan metode titrasi
asam basa. Sejumlah minyak dilarutkan dalam alkohol, penggunaan pelarut
alkohol yang polar ini dimaksudkan agar asam lemak bebas yang bersifat non
polar dapat larut dalam minyak pada fase yang sama dengan KOH. Larutan KOH
ini bersifat polar, sehingga pada saat titrasi asam lemak bebas dengan KOH dapat
berinteraksi kemudian dilakukan pemanasan agar larut sempurna dan
ditambahkan indikator PP selanjutnya dititrasi dengan 0,1N KOH hingga
terbentuk warna merah jambu yang tidak hilang selama 30 detik. Terbentuknya
warna merah jambu setelah dititrasi dengan sejumlah KOH menunjukkan KOH
telah bereaksi sempurna dengan asam lemak bebas. Nilai angka asam dinyatakan
sebagai ml KOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas dalam 1
gram minyak.
Berdasarkan perhitungan hasil praktikum, didapatkan nilai angka asam
pada sampel kontrol/segar yaitu 0,19 ml/gr. Sedangkan pada sampel minyak bekas
penggorengan kerupuk 2,78 ml/gr pada penggorengan 1x, 0,376 ml/gr pada
penggorengan 2x dan 0,09 ml/gr pada penggorengan 3x. Kemudian pada sampel
minyak bekas penggorengan tempe diperoleh angka asam sebesar 0,925 ml/gr
pada penggorengan 1x, 0,71 ml/gr pada penggorengan 2x serta 0,37 ml/gr pada
penggorengan 3x. Sampel minyak bekas penggorengan ayam menghasilkan angka
asam sebesar 0,13 ml/gr pada penggorengan 1x, 0,05 ml/gr pada penggorengan
2x, dan 0,02 ml/gr pada penggorengan 3x. Sampel minyak bekas penggorengan
tahu menghasilkan angka asam sebesar 0,092 ml/gr pada penggorengan 1x, 0,027
ml/gr pada penggorengan 2x dan 0,018 ml/gr pada penggorengan 3x. Sampel
minyak bekas penggorengan ubi menghasilkan angka asam sebesar 0,186 ml/gr
pada penggorengan 1x, 0,093 ml/gr pada penggorengan 2x, dan 0,074 ml/gr pada
penggorengan 3x. Sampel minyak bekas penggorengan ikan menghasilkan angka
asam sebesar 0,45 ml/gr pada penggorengan 1x, 0,224 ml/gr pada penggorengan
2x dan 0,14 ml/gr pada penggorengan 3x.
Hasil analisa menunjukkan bahwa penggunaan minyak goreng berulang
berpengaruh terhadap persentase kadar asam lemak bebas. Terdapat penurunan
angka asam dengan semakin seringnya minyak digunakan. Hal ini dapat dilihat
dari angka asam yang ditunjukan oleh sampel minyak pada setiap kali
penggorengan. Menurut data semakin sering minyak digunakan untuk
menggoreng maka nilai angka asamnya semakin rendah. Dapat kita lihat bahwa
nilai angka asam dari minyak yang digunakan untuk menggoreng sebanyak 1x
lebih tinggi dibandingkan dengan minyak yang digunakan untuk menggoreng
sebanyak 3x. Penurunan nilai angka asam tersebut menunjukkan bahwa
kandungan asam lemak bebas dari minyak yang digunakan untuk menggoreng
sebanyak 1x jauh lebih banyak dibandingkan dengan kandungan asam lemak
bebas yang terdapat pada minyak yang digunakan untuk menggoreng sebanyak
3x. Hal tersebut tidak sesuai apabila dibandingkan dengan literature. Menurut
Abdullah (2007), angka asam yang besar menunjukkan asam lemak bebas yang
besar. Asam lemak ini berasal dari hidrolisa minyak ataupun karena proses
pengolahan yang kurang baik. Makin tinggi angka asam maka makin rendah
kualitasnya. Semakin lama penggunan minyak untuk menggoreng semakin tinggi
pula kandungan asam lemak bebas yang terbentuk. Hal ini sesuai dengan hasil
studi tentang kerusakan minyak yang menyatakan bahwa komposisi bahan pangan
yang digoreng mempengaruhi kerusakan minyak.
Adanya ketidaksesuaian data dengan literature disebabkan oleh
ketidaktelitian praktikan pada saat titrasi sampel dengan sejumlah milligram
KOH. Pada saat titrasi mungkin praktikan terlalu terburu-buru dan menyimpulkan
bahwa telah terjadi perubahan warna sampel menjadi merah jambu. Padahal
seharusnya titrasi dilakukan hingga terbentuk warna merah jambu yang tidak
hilang selama 30 detik. Kesalahan data juga dapat disebabkan oleh kurang
pahamnya praktikan mengenai praktikum kerusakan minyak ini, seharusnya
praktikan menguasai materi sebelum dilaksanakannya praktikum agar
meminimalisir adanya human error.
Bilangan atau angka asam adalah jumlah milligram KOH yang dibutuhkan
untuk menetralkan asam lemak dalam 1 gram lemak/minyak. Sampel dititrasi
dengan KOH 0,1N hingga berubah warna menjadi merah muda (titik akhir titrasi).
Penambahan indikator bertujuan untuk menandai kapan titik akhir atau titik
ekivalen titrasi terjadi. Indikator phenolftalein pada larutan yang asam akan
berwarna bening atau tidak berwarna dan jika larutan sudah basa atau mendekati
basa, larutan akan menjadi merah muda Penentuan bilangan asam dipergunakan
untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam lemak. Semakin
besar angka ini berarti kandungan asam lemak bebas semakin tinggi, sementara
asam lemak bebas yang terkandung dalam sampel dapat berasal dari proses
hidrolisis ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik. Karena proses
hidrolisis dapat berlangsung dengan penambahan asam dan dibantu oleh panas.
Melton (1994) dan White (1991) melaporkan bahwa selama proses
penggorengan, terjadi kenaikan kosentrasi FFA (kandungan asam lemak bebas)
dalam minyak akibat terjadinya reaksi oksidasi dan hidrolisa minyak selama
proses penggorengan. Sebagian asam lemak bebas (FFA) yang terbentuk selama
penggorengan akan berubah menjadi senyawa lain selama penggorengan
berlangsung. Selama asam lemak bebas yang terbentuk lebih banyak daripada
asam lemak bebas yang terurai atau menjadi senyawa lain, maka kandungan asam
lemak bebas pada minyak akan naik. Akan tetapi bila jumlah asam lemak bebas
yang berubah menjadi senyawa lain lebih banyak daripada asam lemak bebas
yang terbentuk, maka kandungan asam lemak bebas minyak akan menurun. Nilai
angka asam yang diperbolehkan menurut SNI-04-7182-2006, yaitu 0,8 mg
KOH/gram minyak. Apabila bilangan asam melebihi batas yang ditetapkan oleh
SNI, maka minyak tersebut sudah tidak layak pakai.
Kerusakan yang terjadi pada minyak goreng yang digunakan berulang kali
dalam proses penggorengan disebabkan adanya reaksi kompleks yang terjadi pada
saat bahan pangan digoreng (Ketaren, 2012). Adanya kandungan air dan udara
pada bahan pangan semakin meningkatkan kerusakan yang terjadi pada minyak
yang dapat dianalisa dengan menghitung kadar asam lemak bebas dari minyak
tersebut. Kerusakan minyak dapat dipercepat oleh adanya air, protein, karbohidrat
dan bahan lain (Dewandari, 2001). Sampel minyak yang memiliki angka asam
tertinggi ialah sampel minyak yang digunakan untuk menggoreng kerupuk yaitu
2,78 ml/gr, kemudian diikuti oleh sampel minyak bekas penggorengan tempe
yaitu 0,925 ml/gr, sampel minyak bekas penggorengan ikan yaitu 0,45 ml/gr,
sampel minyak bekas penggorengan ubi yaitu 0,186 ml/gr, sampel minyak bekas
penggorengan ayam yaitu 0,13 ml/gr, serta sampel minyak bekas penggorengan
tahu yaitu 0,092 ml/gr.
Hal ini juga tidak sesuai dengan literature, dimana seharusnya sampel
minyak yang memiliki kadar asam lemak bebas tinggi ialah sampel minyak yang
digunakan untuk menggoreng bahan-bahan yang mengandung air, protein ataupun
karbohidrat yang tinggi. Ketidaksesuaian ini disebabkan adanya faktor human
error dimana pada saat titrasi menggunakan KOH 0,1N praktikan terlalu banyak
mentitrasi sehingga warna sampel menjadi terlalu ungu. Kerupuk menurut SII
0272 – 1990 memiliki kadar air yang rendah yaitu maks 12% (b/b) dan protein
min 5% (b/b).
Angka kenaikan kadar asam terbesar setelah kerupuk adalah tempe, hal ini
dapat disebabkan oleh tingginya kadar air dan protein dalam tempe. Minyak yang
dipanaskan dalam keadaan ada air dengan suhu tinggi dapat menyebabkan
terjadinya reaksi hidrolisis menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Ketaren,
1986). Angka asam lemak bebas meningkat cukup tinggi, yang menunjukkan
bahwa minyak bekas tersebut telah mengalami kerusakkan. Meski nilai kenaikan
bilangan asam belum melewati batas mutu yang ditetapkan SII 0062-1975 namun
kenaikan jumlah asam lemak bebas sudah cukup tinggi dan dapat meracuni tubuh.
Menurut Ketaren (2012), minyak dengan kadar asam lebih dari 1 % dari berat
lemak akan menyebab bau yang tidak diinginkan dan dapat meracuni tubuh.
Secara keseluruhan, bilangan asam masing-masing gorengan untuk setiap
kali penggorengan berbeda nyata. Artinya jenis gorengan mempengaruhi
bilangan asam minyak dan intensitas penggorengan akan meningkatkan kadar
asam minyak.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam penggunaannya, minyak goreng mengalami perubahan kimia akibat
oksidasi dan hidrolisis, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada
minyak goreng tersebut. Indikator kerusakan minyak antara lain adalah
angka peroksida dan asam lemak bebas. Angka peroksida menunjukkan
bnyaknya kandungan peroksida di dalam minyak akibat proses oksidasi dan
polimerisasi. Asam lemak bebas menunjukkan sejumlah asam lemak bebas
yang dikandung oleh minyak yang rusak terutama karena peristiwa oksidasi
dan hidrolisis.
Sampel minyak bekas penggorengan kerupuk, tempe, ayam, tahu, ubi dan
ikan secara nyata meningkatkan bilangan peroksida untuk setiap kali
penggorengan. Artinya jenis gorengan mempengaruhi bilangan peroksida
minyak dan intensitas penggorengan akan meningkatkan kadar peroksida
minyak. Peningkatan bilangan peroksida tertinggi terdapat pada sampel
minyak bekas penggorengan ikan yaitu 49,4 ml/gr.
Sampel minyak bekas penggorengan kerupuk, tempe, ayam, tahu, ubi dan
ikan seharusnya meningkatkan bilangan asam minyak untuk setiap kali
penggorengan. Akan tetapi data menunjukan penurunan nilai angka asam
tersebut untuk setiap kali penggorengan. Perbedaan data dengan literature
disebabkan karena adanya faktor human error dimana praktikan terlalu
cepat menyimpulkan adanya perubahan warna sampel menjadi merah jambu
pada saat titrasi menggunakan KOH 0,1 N.
B. Saran
Sebaiknya dalam pengujian angka asam dilakukan secara teliti dan sabar
agar dihasilkan data yang tepat dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S., E.Yulianti, A.G. Fasya. 2010. Penurunan Angka Peroksida dan Asam
Lemak Bebas (FFA) pada Proses Bleaching Minyak Goreng Bekas oleh
Karbon Aktif Polong Buah Kelor (Moringa oliefera Lamk) dengan
Aktivasi NaCl. Jurnal ALCHEMY Vol 1. No. 2. UIN Maliki. Malang.
Melton, S.L., Jafar, S. Sykes, D., dan Trigiano, M.K. 1994. Review of stability
measurements for frying oils and fried food flavor. JAOCS, 71: 1301-
1308.
Wijana, S. Arif dan Nur. 2005. Teknopangan: Mengolah Minyak Goreng Bekas.
Trubus Agrisarana. Surabaya.
White, P. J. 1991. Methods for measuring changes in deep fat frying oils. Food
Technology 45: 75-80.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM EVALUASI GIZI
ACARA 1
KERUSAKAN MINYAK
Kelompok 5
Rombongan 1
Penanggung Jawab :
Fitri Wulandari A1M012003
Annisa Fauziyyah A1M012038