Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lingkungan merupakan perpaduan antara keadaan fisik yang mencakup


sumberdaya alam seperti tanah, air, energi matahari, mineral, serta flora dan fauna
yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang
meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan
fisik tersebut (Sarinah, 2016). Lingkungan dapat juga disebut sebagai lingkungan
hidup. Hal ini tertulis di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 1 butir
ke-1 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi
lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain. Hal yang sama disampaikan oleh Emil Salim yang menyampaikan definisi
lingkungan yang mengacu kepada semua benda, keadaan, kondisi, dan juga
pengaruh yang berada dalam ruangan yang sedang kita tinggali dan hal tersebut
mempengaruhi kehidupan di sekitarnya baik hewan, tumbuhan, dan manusia. Dari
beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan
berisi beberapa komponen yang saling mempengaruhi satu sama lain. Lingkungan
juga merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan.

Lingkungan merupakan kesatuan dari komponen abiotik, biotik, dan sosial


budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain dan membentuk suatu sistem
kehidupan yang saling membutuhkan. Jika antar komponen berinteraksi secara
positif maka komponen lain akan merespon dengan aksi positif pula. Akan tetapi, jika
salah satu komponen berinteraksi atau memberikan pengaruh negatif, maka
komponen lain akan bereaksi negatif pula. Hal ini terlihat jelas pada beberapa
dampak yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Dampak yang dimaksud adalah
degradasi lingkungan yang kemudian dapat menurunkan kualitas lingkungan.

Salah satu permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas


manusia adalah kegiatan penambangan lempung untuk pembuatan genteng di
Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, DIY. Daerah ini sudah menjadi pusat
industri genteng sejak tahun 1925 hingga sekarang. Industri tersebut tersebar di

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 1 | P a g e


beberapa desa antara lain Sidoluhur dan Sidorejo. Jika ditinjau lebih dalam,
perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan penambangan
lempung dimungkinkan disebabkan karena kondisi lahan yang tidak subur. Kondisi
ini dimungkinkan juga disebabkan karena penggunaan pupuk dan pestisida sehingga
terjadi degradasi lahan pertanian.

1.2. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang dan fakta-fakta di lapangan, maka dapat


dirumuskan permasalahan seperti berikut ini.
(1) Bagaimanakah kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di Kecamatan
Godean, Kabupaten Sleman, DIY?
(2) Bagaimanakah kondisi sosial dan budaya masyarakat yang dimungkinkan
menimbulkan permasalahan lingkungan di Kecamatan Godean, Kabupaten
Sleman, DIY?
(3) Bagaimanakah upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan yang sudah
dilaksanakan di Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, DIY?

1.3. Tujuan

Berdasarkan pada rumusan masalah dan fakta-fakta di lapangan, maka


tujuan makalah ini adalah:
(1) mengetahui kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di Kecamatan Godean,
Kabupaten Sleman, DIY?
(2) mengetahui kondisi sosial dan budaya masyarakat yang dimungkinkan
menimbulkan permasalahan lingkungan di Kecamatan Godean, Kabupaten
Sleman, DIY?
(3) mengetahui upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan yang sudah
dilaksanakan di Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, DIY?

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 2 | P a g e


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Profil Wilayah Kecamatan Godean

Kecamatan Godean memiliki luas 26,84 km2 dan terdiri dari 7 desa dan 77
dusun. Bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Mlati dan Seyegan, bagian timur
dengan Kecamatan Mlati dan Gamping, bagian selatan dengan Kecamatan Moyudan
dan Kabupaten Bantul, dan bagian barat dengan Moyudan dan Minggir. Ada
beberapa sungai yang mengalir melalui Kecamatan Godean. Di desa Sidorejo dilalui
Sungai Soka, dan Selokan Van Der Wijk. Di Desa Sidoluhur dilalui Sungai Soka,
Sungai Rewulu. Di Desa Sidokarto dilalui Sungai Konteng. Desa Sidoarum dilalui
sungai Bedog. Sedangkan di Desa Sidomoyo dilalui Sungai Bedog, dan Konteng.
Jumlah hari hujan terbanyak dalam satu bulan selama tahun 2017 adalah 21 hari.
Rata-rata curah hujan tertinggi 228 mm (BPS Kabupaten Sleman, 2018). Peta
Administrasi Kecamatan Godean disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Peta Administrasi Kecamatan Godean


Sumber: www. godeankec.slemankab.go.id

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 3 | P a g e


Kecamatan Godean termasuk ke dalam wilayah aglomerasi Kota Yogyakarta,
sehingga di daerah tersebut banyak terdapat pusat pendidikan, perdagangan dan
jasa. Kecamatan Godean dapat dijadikan wilayah pengembangan industri dilihat dari
sumberdaya manusianya yang cukup besar yaitu 63.642 jiwa dan luas wilayah 2.684
ha (BPS, 2017). Selain itu perkembangan industri menengah dan besar di
Kecamatan Godean cukup mengalami peningkatan dari tahun 2000 sampai tahun
2017.
Secara geologi, Kecamatan Godean merupakan daerah dengan tinggian
terisolir yang terdiri dari beberapa bukit dengan kelerengan terjal (>40o), ketinggian
+231 m dpl, dilewati sungai-sungai yang relatif berarah ke Timur Laut - Barat Daya
dan bermuara di Kali Progo di sebelah barat. Morfologi tinggian Godean seperti
Gunung So (+173 m), Gunung Gede (+218 m), Gunung Wungkal (+187 m), Gunung
Butak (+154 m) dan Gunung Berjo (+ 175 m) disusun oleh litologi yang sangat keras
berupa batuan beku berkomposisi andesit porfiri–diorit mikro, batu lapili pumis dan
batu lapili tuf yang kaya kuarsa, dan sebagian besar batuan beku telah mengalami
pelapukan dan teralterasi menjadi tanah liat. Sedangkan material endapan Gunung
Merapi membentuk bentang alam dataran dengan ketinggian sekitar 100 - 150 m dpl
yang mengelilingi tinggian Godean. Formasi Sentolo yang tersingkap di desa
Kembang, Bantul (± 5 km) sebelah selatan daerah kajian berkedudukan U93oT/12o,
sedangkan sebaran di bagian barat daya dan timur laut relatif melengkung
melingkupi tinggian Godean (Hartono et al, 2017).

Kecamatan Godean merupakan salah satu kawasan dengan pengembangan


perkotaan. Hal ini didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang dituangkan
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012. Peraturan
tersebut mengatur bahwa Kecamatan Godean merupakan daerah dengan
pengembangan kawasan perkotaan kabupaten. Selain itu, Kecamatan Godean juga
merupakan pengembangan kawasan hutan rakyat, pertanian, perkebunan,
peternakan, dan pengembangan usaka kecil menengah.

2.2. Degradasi Lahan

Degradasi lahan merupakan proses penurunan produktivitas lahan yang


sifatnya sementara maupun tetap, dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan
biologi (FAO 1994; Kurnia 2001; Kusmaryono 2000). Degradasi fisik dapat berupa
pemadatan, pergerakan, ketidakseimbangan air, berkurangnya fungsi aerasi dan

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 4 | P a g e


drainase, dan kerusakan struktur tanah. Degradasi kimiawi terdiri dari asidifikasi,
pengurasan dan pencucian hara, ketidakseimbangan unsur hara dan keracunan,
salinization (salinisasi), acidification (pemasaman) dan alkalinization (alkanisasi),
serta polusi (pencemaran). Sedangkan, degradasi biologis meliputi penurunan
karbon organik tanah, penurunan keanekaragaman hayati tanah dan vegetasi, serta
penurunan biomasa karbon.

Menurut Arsyad (2010) kerusakan tanah atau degradasi tanah dapat


disebabkan oleh :
a. Hilangnya unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor seperti akibat perombakan cepat dari bahan
organik, pelapukan mineral, pencucian unsur hara yang cepat di daerah tropis
basah, terangkut saat panen, atau akibat pembakaran tanaman. Dalam jangka
panjang hal ini akan menyebabkan produktivitas tanah menjadi menurun hingga
kemudian mengakibatkan degradasi lahan.

b. Garam atau senyawa beracun terkumpul di daerah perakaran. Pada daerah


yang beriklim kering, musim kemarau akan menyebabkan garam-garam natrium
terakumulasi di bagian atas tanah. Pada daerah pasang surut, tanah umumnya
banyak mengandung liat asam, yang jika teroksidasi akan mengakibatkan pH
tanah menjadi sangat asam. Pada lahan yang banyak menggunakan herbisida,
logam berat seperti Fe, Al, dan Zn akan banyak terakumulasi di daerah
perakaran tanaman dan dapat membunuh organisme tanah di sekitarnya.

c. Penjenuhan tanah oleh air (water logging). Penjenuhan tanah oleh air bisa
disebabkan karena proses alami dan bisa juga disebabkan akibat aktivitas
manusia.

d. Erosi. Erosi didefinisikan sebagai berpindahnya tanah atau bagian permukaan


tanah ke tempat lain yang disebabkan oleh air atau angin

Atmojo (2006) memaparkan bahwa beberapa hal yang mengancam suatu


lahan mengalami degradasi lingkungan antara lain:

a. Erosi

Kegiatan alih fungsi lahan di bagian hulu dapat menimbulkan faktor penyebab
degradasi lahan, yaitu erosi. Peningkatan aktivitas yang tidak dapat dikendalikan
akan semakin memperparah kondisi kerusakan lingkungan di bagian hulu

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 5 | P a g e


maupun bagian hilir. Erosi dapat menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan
penurunan produktivitas tanah. Sedangkan di bagian hilir, dampak yang diterima
dari erosi adalah sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan saluran air.
Pendangkalan saluran air dapat mengakibatkan dampak lain seperti banjir di
musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau.

b. Pencemaran dari bahan agrokimia di bidang pertanian


Penggunaan pupuk kimia yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis yang
tinggi dalam kurun waktu yang panjang menyebabkan terjadinya kemerosotan
kesuburan tanah karena terjadi ketimpangan hara atau kekurangan hara lain,
dan semakin merosotnya kandungan bahan organik tanah. Penanaman varietas
padi unggul secara monokultur tanpa adanya pergiliran tanaman, akan
mempercepat terjadinya pengurasan hara sejenis dalam jumlah tinggi dalam
kurun waktu yang pendek. Hal ini dapat berakibat terjadinya defisiensi atau
kekurangan unsur hara tertentu di dalam tanah.

c. Pencemaran limbah dari beberapa industri


Limbah industri yang tidak dikelola dengan baik dapat bersifat membahayakan
bagi lingkungan, terutama lahan produktif. Cemaran logam berat seperti Pb, Ni,
Cd, Hg telah terbukti sebagai penyebab terjadinya degradasi lahan.

d. Pertambangan galian C
Usaha pertambangan besar sering dilakukan di atas lahan yang subur atau
hutan yang permanen. Dampak negatif pertambangan dapat berupa rusaknya
permukaan bekas penambangan yang tidak teratur, hilangnya lapisan tanah
yang subur, dan sisa ekstraksi (tailing) yang akan berpengaruh pada reaksi
tanah dan komposisi tanah. Sisa ektraksi ini bisa bereaksi sangat asam atau
sangat basa, sehingga akan berpengaruh pada degradasi kesuburan tanah.
Semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan bangunan terutama batubata
dan genteng, akan menyebabkan kebutuhan tanah galian juga semakin banyak
(galian C). Tanah untuk pembuatan batubata dan genteng lebih cocok pada
tanah subur yang produktif. Dengan dipicu dari rendahnya tingkat keuntungan
berusaha tani dan besarnya resiko kegagalan, menyebabkan lahan-lahan
pertanian banyak digunakan untuk pembuatan batubata, genteng dan tembikar.
Penggalian tanah sawah untuk galian C disamping akan merusak tata air
pengairan (irigasi dan drainase) juga akan terjadi kehilangan lapisan tanah

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 6 | P a g e


bagian atas (top soil) yang relatif lebih subur, dan meninggalkan lapisan tanah
bawahan (sub soil) yang kurang subur, sehingga lahan sawah akan menjadi
tidak produktif.

e. Alih fungsi lahan.


Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat merupakan salah satu
ancaman terhadap keberlanjutan pertanian. Salah satu pemicu alih fungsi lahan
pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya insentif bagi petani dalam
berusaha tani dan tingkat keuntungan berusaha tani relatif rendah. Selain itu,
usaha pertanian dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan
mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca, hama dan penyakit, tidak
tersedianya sarana produksi dan pemasaran. Alih fungsi lahan banyak terjadi
justru pada lahan pertanian yang mempunyai produktivitas tinggi menjadi lahan
non pertanian.

Penentuan degradasi lahan dapat didasarkan pada faktor lingkungan,


ekonomi, sosial dan legal (Borrow, 1991). Faktor tersebut antara lain peningkatan
jumlah populasi manusia, marjinalisasi tanah, kemiskinan, bencana alam (banjir,
kekeringan, longsor, gempa bumi, letusan gunung merapi, dan lain - lain),
ketidakstabilan politik dan masalah administrasi, kondisi sosial ekonomi, praktek
pertanian yang tidak tepat, serta aktivitas pertambangan dan industri. Akan tetapi,
hal yang paling sering menyebabkan degradasi lahan adalah kegiatan alih fungsi
lahan yang tidak tepat. Hal ini diperparah dengan kegiatan pemanfaatan dan
pengelolaan yang tidak mendukung keberlanjutan fungsi lahan.

Berdasarkan pada data Kementerian Kehutanan, telah terjadi alih fungsi


lahan hutan sebesar 1,6 juta ha per tahun sampai tahun 2003. Pada lahan pertanian
(lahan kering), faktor utama penyebab degradasi lahan adalah erosi tanah yang
dipercepat, penggunaan mesin pertanian, dan pemakaian bahan kimia pertanian
yang berlebihan. Kondisi lahan pertanian yang tidak subur akan menimbulkan
dampak secara ekonomi terhadap penurunan pendapatan petani. Kondisi ini justru
menimbulkan dampak lain seperti alih profesi petani menjadi penambang lempung
untuk kemudian dijadikan genteng seperti di Kecamatan Godean, Kabupaten
Sleman, DIY.

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 7 | P a g e


2.3. Penambangan Lempung (Tanah Liat) dalam Pembuatan Genteng

Penambangan lempung termasuk ke dalam jenis penambangan galian.


Secara umum, metode penambangan bahan galian terbagi ke dalam dua kelompok,
yaitu tambang terbuka dan tambang bawah tanah. Tambang terbuka merupakan
kegiatan penambangan yang dilakukan di atas permukaan bumi. Sedangkan
tambang bawah tanah adalah jenis kegiatan penambangan yang mineralnya diambil
dari bawah permukaan bumi. Kegiatan penambangan lempung dimulai dengan
pembersihan lahan yaitu menyingkirkan dan menghilangkan penutupan lahan
berupa vegetasi kemudian dilanjutkan dengan penggalian dan pengupasan tanah.
Setelah didapatkan bahan galian maka dilakukan proses pengangkutan kepada
konsumen. Proses akhir dari kegiatan penambangan adalah reklamasi dan
penutupan tambang.

Tanah lempung atau tanah liat adalah jenis tanah yang mempunyai ukuran
partikel yang lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm. Tanah liat dengan ukuran
mikrokonis sampai dengan submikrokonis ini terbentuk dari pelapukan unsur-unsur
kimiawi penyusun batuan (Bowles, 1991). Menurut Hardiyatmo (1999), tanah
lempung memiliki sifat antara lain:

a. Ukuran butir halus, kurang dari 0,002 mm


b. Permeabilitas rendah
c. Kenaikan air kapiler tinggi
d. Bersifat sangat kohesif
e. Kadar kembang susut yang tinggi
f. Proses konsolidasi lambat

Tanah lempung atau tanah liat memiliki manfaat untuk dijadikan sebagai
bahan baku berbagai kerajinan. Sebagai contoh adalah pemanfaatan tanah lempung
untuk pembuatan batu bata, tembikar, gerabah, genting maupun benda kerajinan
yang lain. Salah satu industri pemanfaatan tanah lempung menjadi genteng berada
di Dusun Berjo Desa Sidoluhur, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, DIY. Jenis
pengolahan tanah lempung dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 8 | P a g e


Gambar 2.2. Proses Awal Pembuatan Genteng di Kecamatan Godean

Industri genteng di Kecamatan Godean dimulai di Dusun Berjo Desa


Sidoluhur pada tahun 1950. Pembuatan genteng pada masa itu masih dilakukan
secara sederhana dan diwariskan turun temurun hingga sekarang. Pada awalnya,
usaha pembuatan genteng hanya dilakukan oleh beberapa orang saja. Akan tetapi,
industri tersebut terus berkembang hingga sekarang. Genteng pertama kali yang
dibuat bernama genteng Asto Gino. Versi lain menyebutkan bahwa industri genteng
telah dimulai pada tahun 1930. Genteng yang dibuat memiliki sebutan krupuk. Hal ini
disebabkan karena genteng tersebut memiliki ukuran kecil dan tipis serta mudah
pecah.

Penelitian lain menyebutkan bahwa industri genting di Kecamatan Godean


telah dimulai sejak tahun 1925. Pada waktu itu, seorang Wedono yang bernama
Joyodiningrat bersama tiga orang bawahannya, yaitu Atmodimejo, Kartoredjo dan
Soewito pergi ke Kebumen untuk belajar membuat genting Plam (genting slumpring).
Joyodiningrat selaku Wedono di Distrik Godean pada waktu itu mempunyai kebijakan
untuk membuat Gardu Perondan, Cakruk dan pemandian umum di Kreobounging
Tuk Sibedug di Dusun Mranggen, Desa Margodadi Kecamatan Seyegan (Kasihono,
1995).

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 9 | P a g e


BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Kondisi Kerusakan Lingkungan Akibat Penambangan Lempung di


Kecamatan Godean
Lahan kritis adalah kondisi lahan yang terjadi karena tidak sesuainya
kemampuan lahan dengan penggunaan lahannya, sehingga mengakibatkan
kerusakan lahan secara fisik, khemis, maupun biologis (Arsyad,1989). Lahan kritis
merupakan salah satu bentuk degradasi suatu lahan yang awalnya mampu
digunakan dan dimanfaatkan menjadi lahan yang rusak dan tidak mampu
dimanfaatkan. Menurut Bidang Kehutanan Dinas Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Sleman (2014), Kecamatan Godean memiliki lahan sangat
kritis sebesar 6.750 ha atau 2,51 % dari luas total keseluruhan. Hal ini dapat dilihat
dari perbandingan lahan kritis di wilayah Kabupaten Sleman seperti Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Sebaran Luas Lahan Kritis di Kabupaten Sleman


Kecamatan Kritis (Ha) Sangat Kritis (Ha)
Berbah 56,00 5,00
Cangkringan 206,50 127,00
Depok 0,00 3,50
Gamping 78,00 12,85
Godean 0,00 6,75
Kalasan 0,00 0,00
Minggir 7,95 18,50
Mlati 0,00 0,00
Moyudan 15,00 9,50
Ngaglik 0,00 4,50
Ngemplak 0,00 8,50
Pakem 0,00 21,45
Prambanan 18,80 22,80
Seyegan 5,35 7,85
Sleman 0,00 0,00
Tempel 12,50 18,45
Turi 0,00 22,50
Total 400,10 289,15
Sumber: Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kab. Sleman, 2014.
Sedangkan grafik yang menunjukkan perbandingan luasan lahan kritis di Kabupaten
Sleman disajikan pada Gambar 3.1 berikut.

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 10 | P a g e


250.00

200.00

150.00

100.00

50.00

0.00

Kritis (Ha) Sangat Kritis (Ha)

Gambar 3.1. Luas Lahan Kritis Per Kecamatan di Kabupaten Sleman


Sumber: Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kab. Sleman, 2014.

Data di atas menunjukkan bahwa luasan lahan kritis di Kecamatan Godean


masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan daerah lain seperti Kecamatan
Berbah, Cangkringan, Gamping, Minggir, Moyudan, Pakem, Prambanan, Sleman,
dan Turi. Beberapa hal yang menyebabkan lahan kritis di Kabupaten Sleman adalah
faktor alam seperti bencana karena erupsi gunung Merapi seperti di Kecamatan
Cangkringan maupun kegiatan masyarakat dalam pemanfaatan lahan tanpa
memperhatikan penggunaan, pengelolaan, dan fungsi kawasan yang telah
disyaratkan.
Alih fungsi lahan menjadi penyebab utama yang mengakibatkan terjadinya
degradasi lahan atau kerusakan lahan. Degradasi lahan dapat ditemukan di
beberapa bukit yang ada di Kecamatan Godean sebagai akibat adanya
penambangan lempung. Hal ini mengingat oleh adanya potensi sumberdaya tanah
lempung yang sangat melimpah karena beberapa bukit tersusun atas materi batuan
intrusi andesit porfiri. Dimana sebagian dari intrusi tersebut telah berubah menjadi
mineral lempung (Hendrawan et al., 2016). Ilustrasi kerusakan lahan akibat
penambangan lempung disajikan pada Gambar 3.2.

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 11 | P a g e


a b

Gambar 3.2. Ilustrasi Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Lempung di Godean (a) dan
Kabupaten Blora, Jawa Tengah (b)
Sumber: Hendrawan et al (2016) dan www.blorakab.go.id

Pada kegiatan penambangan dapat terjadi perubahan – perubahan


lingkungan, baik mengenai fisik, biologis maupun sosial/ ekonomi/ budaya.
Perubahan yang terjadi antara lain :
a. Polusi udara karena debu
b. Polusi suara karena deru truk/colt pengangkut bahan galian
c. Kenaikan suhu udara dan meningkatnya kegersangan
d. Hilangnya pucuk tanah dan kesuburan tanah
e. Terganggunya kandungan air tanah
f. Longsoran tebing
g. Perubahan/kerusakan bentang alam
h. Terjadinya genanga-genangan air berupa kolam-kolam bekas galian
i. Pada lingkungan masyarakat sekitarnya berupa perubahan demografi, pola
hidup dan ekonomi.
3.2. Kondisi Sosial dan Ekonomi Penyebab Degradasi Lahan di
Kecamatan Godean
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No. 12 tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011 - 2031, wilayah
Kecamatan Godean merupakan salah satu kawasan yang diperuntukan
pertambangan mineral bukan logam dan pertambangan batuan andesit, tanah liat
atau lempung (Pasal 38 ayat 1) serta kawasan peruntukan industri kecil dan mikro
(Pasal 39 ayat 3). Pertambangan batu andesit terdapat di Bukit Berjo, pertambangan
tanah liat atau lempung terdapat di Bukit Butak (telah habis), Bukit Wungkal, Bukit
Gayamsari dan Bukit Jering, sedangkan industri kecil dan mikro yang terdapat di

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 12 | P a g e


wilayah tersebut diantaranya adalah industri kecil genting dan batubata. Industri kecil
genting dan batubata terdapat di beberapa dusun di wilayah Kecamatan Godean.
Berdasarkan hal tersebut, Kecamatan Godean merupakan daerah yang
direncanakan dikembangkan menjadi kawasan pertambangan lempung. Akan tetapi,
kegiatan pemanfaatan yang tidak diimbangi dengan upaya pengelolaan dan
perlindungan lingkungan, pasti akan menimbulkan dampak seperti menurunnya
kualitas/ fungsi lingkungan.

Godean menjadi salah satu pusat kerajinan yang mengolah barang mentah
berupa tanah lempung menjadi berbagai produk seperti genting, batubata, tembikar,
dan lain – lain. Usaha yang berbahan dasar lempung seperti genting menjadi mata
pencaharian utama di Kecamatan Godean, khususnya di desa Sidoluhur. Syarif dan
Harini (200x), menemukan bahwa pendapatan dari usaha genteng mendominasi dari
keseluruhan usaha yang ada di desa Sidoluhur. Pendapatan pengusaha dari industri
genteng menjadi kemampuan andalan perekonomian pengusaha sebesar 78,75 %
dalam pendapatan total pengusaha. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari faktor
pendorong dan penarik seperti di Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Faktor Pendorong dan Penarik Industri Genteng


Jumlah Jumlah
Faktor Pendorong % Faktor Penarik %
Pengusaha Pengusaha
Mata pencaharian 108 85,71 Pemasaran lancar 42 33,33
utama
Usaha turun 13 10,32 Keuntungan cukup 66 52,38
temurun untuk memenuhi
kebutuhan
Usaha dirintis sendiri 5 3,97 Membuka lapangan 4 3,17
pekerjaan bagi
lingkungan sekitar
− − − Banyak pesanan 9 7,17
− − − Usaha dikerjakan 5 3,97
bebas tidak terikat
jam kerja
Jumlah 126 100 Jumlah 126 100
Sumber: Setywati et al., 2013

Data di atas menunjukkan bahwa terdapat beberapa motivasi masyarakat


yang mendorong untuk mendirikan usaha industri genteng. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa faktor yang menjadi pendorong utama adalah aspek mata
pencaharian pembuatan genteng. Sedangkan faktor penarik utama industri genteng
adalah keuntungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Beberapa faktor tersebut, berkembang di dalam masyarakat sebagai motivasi dan

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 13 | P a g e


alasan yang cukup kuat yang mampu menggerakkan seseorang untuk melakukan
kegiatan usaha berupa industri pengolahan lempung seperti genteng.

Penyerapan tenaga kerja pada sektor industri menengah dan besar di


Kecamatan Godean mengalami peningkatan dari tahun 2007 ke tahun 2010 yaitu
dari 8,14 % menjadi 8,47 % (BPS, 2010). Perkembangan industri di Kecamatan
Godean memungkinkan terjadinya peningkatan dari industri kecil menjadi industri
menengah sampai industri besar untuk beberapa tahun ke depan, terutama untuk
industri genteng, batubata maupun keramik. Hal tersebut dikarenakan melihat dari
potensi lahan di Kecamatan Godean yang mampu menyediakan bahan baku berupa
tanah lempung di daerah perbukitan denudasional dan bukit sisa seperti Gunung
Butak maupun Gunung Berjo dengan kualitas cukup baik. Faktor sumberdaya alam
inilah yang dipergunakan sebagai modal dasar untuk menarik para investor sehingga
industri mempunyai orientasi pemasaran yang lebih besar (Wahyuningrum, 2013).

Menurut Wahyuningrum (2013), usaha industri batubata juga berkembang


seiring dengan perkembangan usaha industri kerajinan genteng. Batubata pada saat
pembakaran genteng dalam tobong digunakan sebagai gili (landasan untuk
menyusun genteng di atas tungku api dalam tobong). Bahan baku pembuatan
genteng dan batubata adalah tanah lempung yang ditambang dari perbukitan wilayah
Kecamatan Godean dan Seyegan. Berdasarkan studi pendahuluan yang pernah
dilakukan, industri kerajinan batubata berkembang pesat sejak sepuluh tahun
terakhir. Hal ini terlihat semakin banyaknya perajin batubata di wilayah sekitar
perbukitan Godean dan Seyegan. Berdasarkan pada data Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, total unit usaha genteng di Kecamatan Godean sebanyak 527 buah
yang berada di desa Sidoluhur dan Sidorejo. Data jenis UMKM di Kecamatan
Godean disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Sebaran Jenis Usaha Kecil dan Mengengah Kecamatan Godean
Unit Tenaga Nilai
Nama Cabang
Desa KBLI Usaha Kerja Investasi Jumlah Satuan
Sentra Industri
(Unit) (Orang) (Rp.000)
Sidoarum Blangkon 18101 Industri 114 456 3.723.77 490.501 Buah
Sandang 8
dan Kulit
Sidoluhur Genteng 26323 Industri 440 1.315 16.483.2 68.917.5 Biji
Kimia dan 17 01
Bahan
Bangunan
Sidorejo Genteng 26323 Industri 87 174 2.183.70 9.064.70 Biji
Kimia dan 0 4

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 14 | P a g e


Unit Tenaga Nilai
Nama Cabang
Desa KBLI Usaha Kerja Investasi Jumlah Satuan
Sentra Industri
(Unit) (Orang) (Rp.000)
Bahan
Bangunan
Sidoarum Pasir 24323 Industri 90 360 4.529.16 4.560.00 Kobik
Semen Kimia dan 0 0
Bahan
Bangunan
Sidokarto Kuningan 28999 Industri 17 54 570.021 762.235 Buah
Logam dan
Elektronika
Sidomoyo Kerajinan 20291 Industri 116 116 274.996 441.000 Buah
Bambu Kerajinan
Sumber: www.gis.jogjaprov.go.id, 2018.

Faktor lain yang dapat menyebabkan degradasi lahan dapat berasal dari
aspek sosial seperti tingkat pendidikan dan pengalaman dari penambang lempung.
Anafiati (2013), di dalam penelitiannya mengenai Kajian Kerusakan Lingkungan
Akibat Penambangan Lempung di Desa Sidorejo Kecamatan Godean Kabupaten
Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, menyebutkan bahwa faktor yang
menyebabkan tingkat kerusakan lingkungan sedang adalah tingkat pendidikan
sedangkan tingkat kerusakan tinggi berasal dari lama menambang.
3.3. Rekomendasi dalam Upaya Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan di Kecamatan Godean

Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 menjelaskan bahwa perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/ atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Upaya ini juga
perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak dari sektor pemerintah, swasta,
maupun masyarakat. Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan tidak dapat
dilakukan hanya oleh satu pihak. Perlu adanya kerjasama yang terfokus dan terarah
dalam rangka penyelamatan lingkungan yang telah rusak.

Anafiati (2017) mengemukakan bahwa perbaikan lahan galian akibat


kerusakan karena penambangan lempung dapat dilakukan dengan pembuatan
jenjang dan revegetasi. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah reklamasi dengan
menggunakan teknik dan vegetatif. Hal ini dapat dilakukan pada kondisi lahan
dengan tingkat kerusakan sedang hingga kerusakan berat. Arahan teknik tambang
yang cocok dan mudah diterapkan oleh para pekerja tambang yaitu dengan
terasering dan arahan reklamasi yang cocok untuk lokasi bekas tambang lempung

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 15 | P a g e


yaitu dengan kombinasi antara reklamasi teknik dan vegetatif, berupa pengaturan
kontur lahan agar stabil, kemudian didukung dengan rekayasa biotis berupa
revegetasi menggunakan tanaman Sengon, Jati dan Mahoni.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan merupakan kewajiban setiap


masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pelaku usaha maupun pekerja
penambangan lempung. Arahan perbaikan lahan telah disesuaikan dengan kondisi
pada masing – masing lokasi tambang. Oleh karena itu, upaya ini perlu dilakukan
dengan segera ketika lokasi sudah tidak dapat lagi ditambang. Dengan demikian,
penyelamatan lingkungan dari kerusakan lahan/ degradasi lahan dapat dilakukan
sesegera mungkin agar tidak menimbulkan dampak negatif yang diterima oleh
masyarakat setempat.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil analisis yang telah dilakukan dalam upaya


perlindungan dan pengelolaan lingkungan pada lahan penambangan lempung untuk
pembuatan genteng, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

a. Secara umum, kondisi kerusakan lahan di Kecamatan Godean berada pada


tingkat sedang hingga berat. Degradasi lahan diperparah dengan adanya
kegiatan penambangan yang tidak memperhatikan fungsi kawasan dan belum
adanya kegiatan reklamasi pasca tambang.

b. Kondisi sosial dan ekonomi yang dimungkinkan menjadi faktor pendorong


kerusakan lahan di Kecamatn Godean adalah adanya keyakinan bahwa
kegiatan usaha industri genteng merupakan industri yang memiliki banyak
keuntungan. Selain itu, rencana tata ruang wilayah Kecamatan Godean
direkomendasikan untuk kegiatan pertambangan mineral bukan logam dan
pertambangan batuan andesit, tanah liat atau lempung.

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 16 | P a g e


c. Rekomendasi yang dapat diberikan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan lahan pasca penambangan lempung adalah reklamasi dan
revegetasi dengan tanaman kayu seperti Sengon, Jati, dan Mahoni.

4.2. Saran

Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan


kewajiban semua masyarakat. Untuk itu, upaya ini perlu dilakukan secara bersama
– sama dengan melibatkan semua pihak dari pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Upaya reklamasi lahan perlu dilakukan dengan segera agar tidak menimbulkan
permasalahan lingkungan yang lebih lanjut. Kerusakan lahan akibat penambangan
lempung dapat dicegah dengan beberapa teknik pertambangan. Kerusakan
lingkungan dengan tingkat sedang dapat dilakukan dengan metode side hill type.
Teknik ini merupakan bentuk penambangan dengan batuan atau bahan galian yang
terletak di lereng - lereng bukit (Anafiati, 2017). Medan kerja dibuat mengikuti arah
lereng – lereng bukit itu dengan ketentuan, yaitu :
a. Bila seluruh lereng bukit itu akan digali dari atas ke bawah, maka medan kerja
dapat dibuat melingkar bukit dengan jalan masuk (access road) berbentuk spiral.
b. Bila hanya sebagian lereng bukit saja yang akan ditambang atau bentuk bukit itu
memanjang, maka medan kerja dibuat memanjang pula dengan jalan masuk dari
salah satu sisinya atau dari depan yang disebut straight ramp.

Pengaturan bentuk lahan disesuaikan dengan kondisi topografi dan hidrologi


setempat yaitu pengaturan bentuk lereng dimaksud untuk mengurangi kecepatan air
limpasan, erosi dan sedimentasi serta longsor, dan pengaturan lereng untuk dibentuk
teras-teras.
Arahan penambangan dengan tingkat kerusakan berat pada tambang
terbuka dengan cara contour mining. Hal ini sangat sesuai diterapkan di daerah
penambangan yang tersingkap di lereng pegunungan atau bukit. Cara penambangan
diawali dengan pengupasan tanah penutup (overburden) di daerah singkapan di
sepanjang lereng mengikuti garis ketinggian (kontur), kemudian diikuti dengan
penambangan bahan galian. Penambangan dilanjutkan ke arah tebing sampai
dicapai batas endapan yang masih ekonomis bila ditambang (Anafiati, 2017).
Untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah dilakukan dengan
cara menghindari timbunan di bagian atas lereng maupun pengambilan pada dan
kaki lereng (toe), reklamasi pada lahan lereng, melakukan pengawaairan genangan

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 17 | P a g e


air (kolam, kubangan dan sebagainya) pada bagian atas lereng, meratakan lekukan
- lekukan yang memungkinkan timbulnya genangan, penggunaan material penahan
(tiang, tembok, wire mesh dan sebagainya), mengendalikan air permukaan sehingga
tidak terjadi erosi, pengaturan ruang dan tata guna tanah (Anafiati, 2017).

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 18 | P a g e


Daftar Pustaka

Anafiati I A. 2017. Kajian Kerusakan Lingkungan Fisik Akibat Penambangan


Lempung di Gunung Wungkal Desa Sidorejo Kecamatan Godean
Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Rekayasa
Lingkungan Vol. 17 No. 2.
Anonim. 2018. Daftar Sentra Industri Kecil dan Menengah Daerah Istimewa
Yogyakarta. www.gis.jogjaprov.go.id. Diakses pada tanggal 21 Mei 2019.
Anonim. 2019. Peta Administrasi Kecamatan Godean.
www.godeankec.slemankab.go.id. Diakses pada tanggal 21 Mei 2019.
Aryad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Edisi pertama, IPB Press. Bogor.
Aryad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua, IPB Press. Bogor.
Atmojo S.W. 2006. Degradasi Lahan dan Ancaman Pertanian. SOLO POS, Selasa
Pon, 7 Nopember 2006.
Bowles, J.E., 1991, Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah, Penerbit Erlangga, Jakarta
BPS. 2010. Kecamatan Godean dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Sleman.
BPS. 2017. Kecamatan Godean dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Sleman.
FAO. 1994. Land degradation in South Asia, its severity, causes, and effects upon
the people. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome,
Italy.
Hardiyatmo. 1999. Mekanika Tanah I. PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.
Hendrawan A, G.N.R. Bunga Naen, E. Damayanti, A.D. Titisari. 2016.Studi Petrologi
dan Petrografi pada Alterasi Bukit Berjo, Godean, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta – Penelitian Awal Mengenai Alterasi di Bukit Berjo. Proceeding
Seminar Nasional Kebumian ke 9. Peran Penelitian Ilmu Kebumian dalam
Pemberdayaan Masyarakat.
Kasihono. 1995. Industri Genting dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Total
Keluarga Petani Pengusaha Industri Genting di Kecamatan Godean
Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi: IKIP
Yogyakarta.
Koesmaryono. 2000. Pemanfaatan teknologi inderaja dan sistem informasi geografi
di bidang pertanian. Prosiding Seminar Intermational: Penginderaan Jauh
dalam Pengembangan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan di Hotel
Kartika Chandra Jakarta, 11-12 April 2000. Hlm 34-45. Pusat Pemanfaatan
Penginderaan Jauh, LAPAN Jakarta.
Kurnia, U. 2001. Standardisasi dan Penanggulangan Lahan Terdegradasi. Laporan
Akhir Bagian Proyek Sumberdaya Lahan dan Agroklimat.
No.18/Puslitbangatanak/2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan agroklimat.
Setywati S, Hastuti, dan Nurhadi. 2013. Karakteristik Perindustrian Genteng di Desa
Sidoluhur Kecamatan Godean Kabupaten Sleman. Geomedia Vol. 11 No.
2.

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 19 | P a g e


Wahyuningrum E. 2013. Analisis Kesesuaian Lahan untuk Penentuan Prioritas
Lokasi Industri Menengah dan Besar di Kecamatan Godean, Kabupaten
Sleman. Skripsis: Universitas Muhhamadiyah Surakarta.

Kesehatan dan Degradasi Lingkungan 20 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai