INTERNET GAMING DISORDER : PSIKOPATOLOGI ERA MODERN
Disusun Oleh : Nurul Insaniyah Marwan Nurul Khafifah Nurul Mughny Herman
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2019 Teknologi adalah perkembangan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia, keberadaan teknologi diharapkan berbanding lurus dengan ilmu pengetahuan (Ngafifi, 2014). Teknologi dapat menciptakan serta memberikan manfaat positif bagi kehidupan sehingga harus dikembangkan secara berkelanjutan, kemajuan teknologi memberikan kontribusi positif dalam kemudahan aktivitas (Ngafifi, 2014). Manfaat positif dari teknologi untuk menghilangkan kebosanan, memenuhi kebutuhan financial, dan mengisi waktu luang (Yoo Hong Sik & Hwang Jae, 2016) Selain manfaat positif, teknologi dapat berdampak buruk dan membuat kita terlena dengan penemuan-penemuannya (Ngafifi, 2014). Salah satu contoh penemuan yang banyak diperbincangkan adalah online game. Online game atau biasa disebut internet gaming adalah suatu fenomena permainan yang amat popular sejak tahun 2012 dan dimainkan lebih dari satu milyar orang (Anggarani, 2015). Diperkirakan populasi pengguna internet disetiap belahan dunia terdapat lima juta pemain dan meningkat setiap tahunnya (Anggarani, 2015). Sebuah penelitian menunjukkan sekitar (27,0%) dari sekolah menengah atas, (35,5%) dari umur 20-29 tahun, dan (20%) dari umur 40-49 tahun (Rho et al., 2018). Dari data tersebut menunjukkan bahwa pemain online game bukan hanya dialami oleh remaja, tapi juga anak- anak dan orang dewasa (Anggarani, 2015). Frekuensi bermain online game dari setiap pengguna berbeda, dimana 7% anak usia awal belasan tahun menghabiskan waktu bermian online game paling sedikit 30 jam per minggu. (Tobing, 2015). Sedangkan remaja, pada hari biasa menghabiskan waktu rata-rata 2 jam, dan 25% remaja laki-laki menghabiskan waktu bermain online game selama 4 jam sehari atau lebih. (Tobing, 2015). Pada umumnya, waktu normal dalam menatap layar hiburan seperti smartphone adalah <1 hingga 2 jam perhari (Gentile et al., 2017). Meningkatnya frekuensi yang dialami oleh anak-anak dan remaja akan bermain online game, ditakutkan akan menjadi dampak negative yang menjadikan anak menjadi gelisah, depresi, fobia sosial serta melakukan kekerasan (Tobing, 2015). Sehingga bermain online game berlebih dapat membahayakan psikis serta fisik anak, remaja bahkan orang dewasa. Bermain Online game secara berlebihan dapat meningkatkan gejala disfungsional yang mengakibatkan efek merusak yang parah pada area fungsional dan sosial kehidupan (Gentile et al., 2017). Kebiasaan tersebut kehidupan seseorang menjadi terpuruk seperti dipecat dari pekerjaannya, tidak menyelesaikan pendidikan, dan juga pengangguran (Yoo Hong Sik & Hwang Jae, 2016). Efek lain dari sering bermain game, dapat mengakibatkan seseorang mengidap penyakit mental Internet Gaming Disorder (IGD) (Wartberg, Kriston, & Thomasius, 2017). Pada tahun 2018, Internet Gaming Disorder (IGD) telah diklasifikasikan kedalam Internasional Classification of Disease-11 (ICD-11) (Yoo Hong Sik & Hwang Jae, 2016). Penyakit IGD ini banyak ditemukan di negara Korea, Hong Kong, dan Iran (Rho et al., 2018). Sehingga sudah banyak orang dari negara maju maupun berkembang yang terindikasi mengalami IGD. Negara maju menggunakan terobosan dibidang internet, dikembangkan dan ditransformasikan sehingga dapat menghasilkan teknologi tinggi (Sampogna et al., 2018). Salah satunya Korea, telah dilakukan peneliatan melibatkan 3568 responden dari umur 20-49 tahun, ditemukan sekitar 481 mengidap IGD (13,48%) yang didominasi oleh pria, dan 3087 dinyatakan normal (86,52%) (Rho et al., 2018). Di Hong Kong , dilakukan penelitian dimana 503 siswa dari dua sekolah menengah, 94% menggunakan video atau game internet secara teratur , dan hamper 16% memenuhi criteria untuk kecanduan game yang mungkin terjadi sesuai dengan skala ketergantungan game (Kong et al., 2014). Sedangkan di negara berkembang seperti Iran, dilakukan penelitian terhadap 564 siswa kelas tujuh, dimana 17% diklasifikasikan sebagai kecanduan game komputer (Kheradmand, Zamani, Hedayati, Cheshomi, & Abedi, 2012). Banyak studi menyelidiki mengenai dasar neurobiologis IGD khususnya mengenai perubahan aktivitas otak penderita mengenai impulsif, kompulsif, dan sensitivitasnya terhadap Kalah dan Menang dalam Game (Lim et al., 2016). Sebuah penelitian membandingkan pasien IGD dan pengguna narkoba, keduanya memiliki gangguan pada kontrol diri yang dimana dicirikan sebagai ciri khas perilaku adiktif dan gangguan kontrol impuls (Lim et al., 2016). Sehingga IGD memiliki persamaan dengan pengguna narkoba termasuk peningkatan impulsif, dan disfungsi koognitif (Lim et al., 2016). Namun disfungsi koognitif belum diketahui apakah merupakan faktor yang memang sudah ada sebelumnya atau bentuk perkembangan dari penggunaan internet yang berlebihan (Lim et al., 2016). Identifikasi IGD dapat dilakukan dengan menggunakan the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), yang terdiri dari 5 atau 9 kriteria dalam 12 bulan. Kriteria ini meliputi kesibukan dengan permainan, cepat marah, cemas, atau sedih, toleransi dimana pengidap membutuhkan lebih banyak waktu untuk bermain game, upaya yang gagal untuk mengurangi partisipasi dalam permainan, kehilangan minat pada hubungan kehidupan nyata, terus menggunakan game secara berlebihan meskipun memiliki pengetahuan tentang masalah psikososial, telah menipu anggota keluarga, terapis atau orang lain mengenai jumlah permainan, gunakan permainan untuk melarikan diri, kehilangan hubungan sosial, pekerjaan atau kesempatan pendidikan atau karier yang signifikan dikarenakan adanya prestasi dalam permainan (Gentile et al., 2017). IGD memberi dampak psikologis bagi penderita. Namun, di setiap lingkungan memiliki perbedaan dalam penyebab dari IGD seperti interaksi antara satu sama lain itu tidak sama (Yoo Hong Sik & Hwang Jae, 2016). Kemudian dampak yang diberikan kepada setiap individu dalam satu lingkungan itu berbeda dengan yang lainnya. Dimana, perbedaan tersebut disebabkan oleh Budaya, dan kepuasan akan hidup masing-masing individu (Yoo Hong Sik & Hwang Jae, 2016). Dampak IGD terhadap tubuh yaitu kurangnya minat untuk mengkonsumsi makanan hilangnya nafsu makan pada penderita sehingga terjadinya ketidak seimbangan energi dalam tubuh. Dimana di dalam tubuh manusia ada hormon yang dilepaskan dari sel-sel lemak disebut Leptin (Yoo Hong Sik & Hwang Jae, 2016). Leptin inilah yang mengatur terjadinya nafsu makan dan ketidakseimbangan energi dalam tubuh (Yoo Hong Sik & Hwang Jae, 2016). Ada sebuah studi yang dilakukan terhadap 11 penderita IGD, dimana kadar hormon Leptin mereka tidak mengalami perubahan sehingga tidak merasakan nafsu makan (Yoo Hong Sik & Hwang Jae, 2016). Dampak negatif dari IGD terhadap penderita dilihat dari psikologis dan sosial, seperti ketidakstabilan suasana hati yang menyebakan penderita mudah marah dan tersinggung, gangguan terhadap pola tidur, mengalami isolasi sosial, terganggunya hubungan antara penderita dan keluarganya, serta masalah financial (Yoo Hong Sik & Hwang Jae, 2016) Pengobatan paling baik untuk IGD masih jadi pertanyaan bagi kita semua karena kurangnya penelitian yang ada (Gentile et al., 2017). Tetapi ada solusi lain agar prevalensi dari pengidap IGD menurun, yaitu dengan pendekatan terapi perilaku kognitif. Pendekatan lainnya seperti terapi keluarga dan wawancara motivasi (Gentile et al., 2017). Pencegahan yang dilakukan terhadap IGD harus sesuai dengan Policy Statement of the America Academy of Pediatrics mengenai penggunaan media secara umum (Gentile et al., 2017). Untuk anak-anak, pencegahan yang dilakukan dengan cara tidak menempatkan media seperti smartphone dikamar tidur anak, menetapkan batasan, dan orang tua selalu mengontrol penggunaan media pada anak mengingat bahwa akses dan jumlah waktu yang meningkat dalam bermain game cenderung menjadi factor resiko untuk IGD, namun untuk remaja, pencegahan dilakukan dengan mengajarkan pada anak kapan dan bagaimana cara berhenti misalnya melakukan kesepakatan waktu kapan dan dimana harus berhenti bermain games (Gentile et al., 2017). Orang dewasa, teknik menempatkan media dalam kamar tidur dan tidak memulai game dalam waktu setengah jam sebelum tidur adalah bentuk pencegahan (Yoo Hong Sik & Hwang Jae, 2016). Secara umum, orang tua harus menetapkan model penggunaan media yang tepat dan hari bebas media, karena menurut penelitian longitudinal mengungkapkan bahwa membatasi jumlah dan konten media adalah faktor pelindung yang kuat bagi anak- anak (Gentile et al., 2017). Teknologi memberikan manfaat positif dan negatif tergantung cara pengguna mengaplikasikan dalam kehidupannya. Peranan orang tua, lingkungan, dan pendidikan sangat mempengaruhi dampak yang ditimbulkan dari teknologi. DAFTAR PUSTAKA
Anggarani, F. K. (2015). Internet gaming disorder: Psikopatologi budaya modern.
Buletin psikologi, 23(1), 1–12. https://doi.org/10.22146/bpsi.10572 Gentile, D. A., Bailey, K., Bavelier, D., Brockmyer, J. F., Cash, H., Coyne, S. M., … Young, K. (2017). Internet gaming disorder in children and adolescents. Pediatrics, 140(Supplement 2), S81–S85. https://doi.org/10.1542/peds.2016- 1758H Kheradmand, A., Zamani, B., Hedayati, N., Cheshomi, M., & Abedi, A. (2012). P-45 - Comparing the social skills of students addicted to computer games with normal students. European Psychiatry, 27(3), 1. https://doi.org/10.1016/S0924-9338(12)74212-8 Kong, H., Pilot, A. A., Wang, C., Chan, C. L. W., Mak, K., & Ho, S. (2014). Prevalence and correlates of video and internet gaming addiction among prevalence and correlates of video and internet gaming addiction among Hong Kong Adolescents : A Pilot Study, 2014(June). https://doi.org/10.1155/2014/874648 Lim, J. A., Lee, J. Y., Jung, H. Y., Sohn, B. K., Choi, S. W., Kim, Y. J., … Choi, J. S. (2016). Changes of quality of life and cognitive function in individuals with Internet gaming disorder: A 6-month follow-up. Medicine (United States), 95(50), e5695. https://doi.org/10.1097/MD.0000000000005695 Ngafifi, M. (2014). Advances in technology and patterns of human life in socio- cultural perspective. Kemajuan teknologi dan pola hidup manusia, 2(1), 33– 47. https://doi.org/10.21831/JPPFA.V2I1.2616 Rho, M. J., Lee, H., Lee, T. H., Cho, H., Jung, D. J., Kim, D. J., & Choi, I. Y. (2018). Risk factors for internet gaming disorder: Psychological factors and internet gaming characteristics. International Journal of Environmental Research and Public Health, 15(1), 1–11. https://doi.org/10.3390/ijerph15010040 Sampogna, G., Del Vecchio, V., Luciano, M., Giallonardo, V., Palummo, C., Pocai, B., … Fiorillo, A. (2018). Is Internet gaming disorder really a new form of mental disorder? A critical overview. Journal of Psychopathology, 24(3), 141–147. https://doi.org/10.1038/ngeo979 Tobing, I. D. L. (2015). Hubungan durasi dan frekuensi bermain game online dengan masalah mental emosional pada remaja di SMP Negeri 1 Medan TA 2015/2016. Wartberg, L., Kriston, L., & Thomasius, R. (2017). The prevalence and psychosocial correlates of Internet gaming disorder - Analysis in a nationally representative sample of 12- to 25-year-olds. Deutsches Arzteblatt International, 114(25), 419–424. https://doi.org/10.3238/arztebl.2017.0419 Yoo Hong Sik & Hwang Jae. (2016). A Study on Adolescent Internet Game Intoxication Rate and Major Symptoms according to the Diagnostic Criteria of 'Internet Gaming Disorder' of the American Psychiatric Association. Yoo Hong Sik & Hwang Jae, 16(1), 153–182. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.10736.10242