Case - Bronkopneumonia Izzy
Case - Bronkopneumonia Izzy
BRONKOPNEUMONIA
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik
di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSMH Palembang
Oleh:
Pembimbing:
dr. K. Yangtjik, Sp.A(K)
Laporan Kasus
Topik
BRONKOPNEUMONIA
Oleh
Izzy Vikrat, S.Ked 04054821820054
Pembimbing
dr. K. Yangtjik, Sp.A(K)
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Univesitas Sriwijaya / Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
periode 15 April – 23 Juni 2019.
Segala puji syukur kepada Allah swt, karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan topik
“Bronkopneumonia”. Di kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. K. Yangtjik, Sp.A(K) selaku pembimbing yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Laporan kasus ini
merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI-RSUP Dr. Moh. Hoesin
Palembang.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dan semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini, sehingga
laporan kasus ini dapat diselesaikan oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini,
semoga bermanfaat, amin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Bronkopenumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang terjadi
pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumonia lebih sering
dijumpai pada anak kecil dan bayi, biasanya sering disebabkan oleh bakteri
streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza yang sering ditemukan pada
dua pertiga dari hasil isolasi. Berdasarkan data WHO, kejadian infeksi pneumonia
di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10-20% pertahun.1
Sampai saat ini, penyakit pneumonia merupakan penyebab utama
kematian balita di dunia. Di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari
seluruh penyakit pada anak di bawah umur 2 tahun. Insiden pneumonia pada anak
≤5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara
berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5
juta kematian pertahun pada anak balita dinegara berkembang.2
Insiden penyakit ini pada negara berkembang termasuk indonesia hampir
30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan risiko kematian yang tinggi.
Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian anak diakibatkan oleh
pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria dan tuberkulosis. Di
Indonesia, pneumonia juga merupakan urutan kedua penyebab kematian pada
balita setelah diare. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan bahwa
kejadian pneumonia sebulan terakhir (period prevalence) mengalami peningkatan
pada tahun 2007 sebesar 2,1 ‰ menjadi 2,7 ‰ pada tahun 2013. Kematian balita
yang disebabkan oleh pneumonia tahun 2007 cukup tinggi, yaitu sebesar 15,5%.
2,3 Demikian juga hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), yang
melaporkan bahwa prevalensi pneumonia dari tahun ke tahun terus meningkat,
yaitu 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007.3
Terjadinya pneumonia ditandai dengan gejala batuk dan atau kesulitan
bernapas seperti napas cepat, dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.4
Selain itu Bronkopneumonia ini juga dapat dikategorikan berdasarkan tanda dan
gejalanya, seperti Bronkopneumonia ringan, bronkopneumonia berat dan
bronkopneumonia sangat berat.5
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : An. MA
b. Umur : 2 bulan
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Nama Ayah : Anwar binti Junaidi
e. Nama Ibu : Evi Sintia
f. Bangsa : Indonesia
g. Alamat : Jl. Masawa Darat, 14 Ilir, Palembang
h. Dikirim Oleh : IGD
i. MRS Tanggal : 3 Mei 2019
II. ANAMNESIS
Tanggal : 6 Mei 2019
Diberikan Oleh : Ibu pasien
2. Riwayat Makanan
ASI : Sejak lahir hingga sekarang
Susu Botol : Belum
Bubur Nasi : Belum
Nasi biasa : Belum
C. RIWAYAT IMUNISASI
Imunisasi Dasar
Umur Umur Umur
BCG 1 DPT 2 - DPT 3 -
bulan
DPT 1 - Hepatitis B - Hepatitis B -
2 3
Hepatitis B - Hib 2 - Hib 3 -
1
Hib 1 - Polio 2 - Polio 3 -
Polio 1 1 Polio 4 -
bulan
Campak -
Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), capillary refill <2 detik, akral
hangat (+)
X. TATALAKSANA
A. Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan darah rutin, AGD, foto thorax AP/lateral
B. Non-farmakologis
Pemasangan nasal kanul 2 lpm
C. Farmakologis
- IVFD D5 ¼ NS 14-20 cc / jam
- Inj Ampisilin 3x 500 mg IV 4 kali pemberian
- Inj Gentamisin 25 mg IV
- Paracetamol 50 mg iv drop bila suhu diatas 38.5 C
D. Diet
ASI 8 x 30 cc diberikan bertahap
E. Edukasi
- Bila anak demam, beri minum ASI yang cukup, di kompres dan beri
obat penurun panas
- Pada saat menyusui, posisi anak harus setengah duduk, tidak boleh
sambil ibu berbaring atau anak berbaring
- Bila anak bertambah sesak (RR > 50x/menit) maka sementara anak
dipuasakan telebih dahulu dan dipasang NGT
XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Bronkopneumonia
didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal
bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris,
sakus alveolaris, dan alveoli.6
2.2 Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak
balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika
dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka
kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
system respiratori, terutama pneumonia.5
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak
di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di
Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada
anak di bawah umur 2 tahun Insiden pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di negara
maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20
kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian
pertahun pada anak balita di negara berkembang.5
2.3. Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S.
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae 5
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human
metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens
global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia
dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan
tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV,
99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas
kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia
anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.5
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber
dari data di Negara maju dapat dilihat di tabel.
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara
maju.
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir - 20 hari Bakteri Bakteri
E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus grup B Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 miggu – 3 bulan Bakteri Bakteri
Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza tipe B
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylococcus aureus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMV
4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus Neisseria meningitides
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
tahun – remaja Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza / Parainfluenza
2.4. Klasifikasi
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan
retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang.
Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak
malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut: 5
2.5. Patogenesis6,7
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat
timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas
dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain:
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah
infeksi yang terdiri dari:
1. Susunan anatomis rongga hidung.
2. Jaringan limfoid di nasofaring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan
sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk.
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang
bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan
dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler
dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh
dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak
ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
Gambar 1. Patofisiologi7
2.6. Patofisiologi
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak
rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru
2.10. Diagnosis
Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Kriteria napas cepat:
- pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: > 50 kali/menit
- pada anak umur 1 tahun – 5 tahun: > 40 kali/menit
Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut:
- Kepala terangguk – angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas,
konsolidasi, dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini:
- Napas cepat:
o Anak umur < 2 bulan: > 60 kali /menit
o Anak umur 2 – 11 bulan: > 50 kali/menit
o Anak umur 1 – 5 tahun: > 40 kali/menit
o Anak umur > 5 tahun: > 30 kali/menit
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar:
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
- Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
- Kejang, letargis atau tidak sadar
- Sianosis
- Distres pernapasan berat
2.12. Penatalaksanaan
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.
2.13. Komplikasi
Komplikasi dari pneumonia adalah:
Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps
paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga
pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
Infeksi sitemik
-Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
-Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
2.14. Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang
terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi
berat dapat memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja
sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif
yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi
apabila berdiri sendiri.
2.15. Pencegahan
Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita
atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya
tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup
sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang
cukup, rajin berolahraga, dan lainnya. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat
mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.
Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan
diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali,
namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2
bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan
cukup 1 kali.
BAB IV
ANALISIS MASALAH
Pasien MA, bayi laki-laki usia 2 bulan masuk rumah sakit melalui IGD
tanggal 3 Mei 2019 dengan keluhan utama sesak yang bertambah berat sejak
kisaran 4 hari yang lalu. Pasien juga menderita demam subfebril, mendapat terapi
farmakologis ampicillin. BAK dan BAB tidak ada kelainan. Riwayat menderita
penyakit yang sama sebelumnya disangkal. tidak ada riwayat kontak dengan orang
dengan batuk lama sebelumnya. Keluarga ada yang merokokdisekitar pasien yaitu
ayah nya. Pasien baru pertama kali MRS, sebelumnya tidak pernah sakit seperti
ini. Dari riwayat penyakit keluarga tidak ada yang menderita asma, kejang
maupun riwayat atopi.
Pasien didiagnosa dengan pneumonia karena pada pasien didapatkan dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan gejala klinis pada penyakit
pneumonia pada anak. Secara umum tampak gejala infeksi pada anak, yaitu
didapatkan pada pasien anak ini peningkatan suhu subfebris, gelisah. Gejala
gangguan respiratori juga terjadi pada pasien anak ini, seperti batuk, pilek, sesak
napas, takipnea dan napas cuping hidung. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nafas
cuping hidung, retraksi dinding dada dan pada auskultasi dinding dada didapatkan
suara ronkhi basah halus seluruh lapang paru. Dari kasus ini dapatkan peningkatan
leukosit perdominan sehingga mengarahkan kecurigaan penyebabnya adalah
bakteri.
Penatalaksanaan pada pasien ini antara lain yaitu terapi oksigen , pemberian
cairan sesuai kebutuhan, dan jika terdapat sekresi hidung yang berlebihan maka
dapat dikoreksi dengan nebulisasi normal saline. Selain itu juga perlu dilakukan
koreksi asam basa elektrolit. Untuk terapi antibiotik, diberikan berdasarkan umur,
keadaan umum penderita dan etiologi penyakit yang di evaluasi setiap 48-72 jam.
Antibiotik diberikan sesuai protokol rekomendasi UKK respirologi untuk
terapi pneumonia pada pasien 0-2 bulan yakni diberikan kombinasi antibiotik
Ampisilin-gentamicin. Ampisilin (50-100 mg/kgBB) diberikan 4 kali sehari
Gentamisin (5-7 mg/kgBB) diberikan 1-2 kali sehari. Jika terdapat demam, maka
diberikan paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali. Jika dalam 3 hari tidak
terdapat perbaikan, maka diberikan kloramfenikol dengan dosis 50-100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 kali pemberian. Atau dengan menggunakan lini
kedua yaitu ceftriaxone dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2 kali
dosis pemberian. Lama pemberian antibiotik diberikan tergantung pada kemajuan
klinis penderita, evluasi hasil pemeriksaan penunjang (darah dan foto thoraks) dan
jenis kuman penyebab, pada umumnya membutuhkan waktu 10-14 hari, kecuali
untuk kuman staphylococcus dapat diberikan selam 6 minggu. Atasi penyakit
penyerta yang lain jika ada.
Prognosis pada pneumonia ini adalah sembuh total, mortalitas kurang dari
1%, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan
malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Penyakit pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
terjadinya pneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan
meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas
seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga
kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi
juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hood A, Wibisono MJ, Winariani. Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabaya:
Graha Masyarakat Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga; 2004.
2. Latief A. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit standar WHO. Jakarta:
Depkes; 2009.
3. Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional, Departemen Kesehatan. Survei demografi dan kesehatan
Indonesia 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan; 2013.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengendalian infeksi
saluran pernafasan akut. Jakarta: Direktorat Jenderal PengendalianPenyakit
dan Pengendalian Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2012.
5. Hegar, Badriul. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI.
6. Garna, Herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi. Bandung: UNPAD
7. Price, Sylvia Anderson.1994. Pathophysiology: Clinical Concepts Of
Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta: EGC
8. Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi 1. Jakarta:
IDAI