Adistiar Prayoga
Program Pascasarjana Manajemen Bisnis, Sekolah Bisnis - Institut Pertanian Bogor.
adistiarprayoga@gmail.com
PENDAHULUAN
Wilayah perdesaan merupakan tempat bermukim bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Data BPS
(2010) menunjukkan bahwa sebanyak 119 juta jiwa atau 50,21 persen penduduk Indonesia tinggal di
perdesaan. Jika dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan dan pembangunan wilayah, kawasan perdesaan
relatif masih tertinggal dibandingkan dengan perkotaan. Hal itu dapat dilihat dari sebaran jumlah penduduk
miskin yang terkonsentarasi di perdesaan. Sebanyak 24,6 juta jiwa (68,14 persen) penduduk miskin tinggal
di perdesaan, sedangkan sisanya sebanyak 11,5 juta jiwa (31,86 persen) berasal dari perkotaan (BPS, 2010).
Sebagian besar penduduk perdesaan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian atau dengan
kata lain sektor pertanian menjadi tumpuan utama. Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian
merupakan penampung tenaga kerja terbesar bagi penduduk perdesaan. Pangsa tenaga kerja di perdesaan
untuk sektor pertanian mencapai 67,7 persen. Sayangnya tingginya serapan tenaga kerja sektor pertanian
tidak diimbangi dengan kontribusinya terhadap pendapatan nasional. Secara nasional sektor pertanian
menampung 46,3 persen dari 90,8 juta penduduk yang bekerja, akan tetapi sumbangannya terhadap
pembentukan PDB hanya 15 persen. Hal ini mengakibatkan produktikvitas sektor pertanian relatif rendah
karena ketidakseimbangan antara kontribusi yang diberikan dengan beban jumlah penduduk yang bekerja
didalamnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sektor pertanian menjadi penyumbang penduduk miskin
terbesar di Indonesia.
Bagi Indonesia, kemiskinan merupakan suatu fenomena yang erat kaitannya dengan kondisi sosial
ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya. Oleh sebab itu, fenomena
kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena kemiskinan di
perdesaan atau sektor pertanian (Kementrian Pertanian, 2013). Penduduk di sektor pertanian pada umumnya
selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber utama pendapatannya dari sektor-sektor lainnya,
terutama industri manufaktur, keuangan, dan perdagangan. Menguatnya desakan alih fungsi lahan dari
pertanian menjadi non pertanian semakin menurunkan produktivitas tenaga kerja di perdesaan dengan
meningkatnya rumah tangga petani gurem.
Jumlah penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2012 mencapai 6.028.503 jiwa
(Kementrian Pertanian, 2013). Sebanyak 62,97 persen atau 3.795.976 jiwa dari jumlah tersebut bekerja pada
sub sektor tanaman pangan, sedangkan sisanya, yaitu sebanyak 340.615 jiwa yang bekerja pada sub sektor
hortikultura, 1.401.721 jiwa pada sub sektor perkebunan dan 490.190 orang yang bekerja pada sub sektor
peternakan. Data ini menegaskan bahwa permasalahan kemiskinan pada sektor pertanian merupakan
permasalahan yang penting dan perlu dicari solusinya.
Suryawati (2005) mengidentifikasi bahwa penyebab kemiskinan di Indonesia khususnya di daerah
perdesaan karena keterbatasan aset yang dimiliki. Aset tersebut terbagi menjadi:
a. Natural assets, seperti tanah dan air. Penguasaan lahan sebagian besar masyarakat perdesaan di
Indonesia kurang memadai untuk menunjang penghidupan. Rata-rata kepemilikan lahan produktif petani
di Indonesia hanya 0,8 ha. Jayaputra (2009) menyatakan bahwa ketergantungan terhadap lahan bagi
petani di perdesaan bersifat mutlak, sedangkan jumlah lahan yang mereka kuasai terbatas. Akibatnya
produksi usahatani yang dihasilkan dari lahan tersebut rendah dan berdampak pada rendahnya
pendapatan petani.
1
Ide Besar Pembangunan Indonesia #2
b. Human assets, menyangkut kualitas sumberdaya manusia. Jika dibandingkan dengan masyarakat
perkotaan, kualitas sumberdaya manusia (tingkat pendidikan, keterampilan maupun tingkat kesehatan
dan penguasaan teknologi) masyarakat perdesaan relatif lebih rendah.
c. Physical assets, akses masyarakat perdesaan ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan,
listrik, dan komunikasi relatif masih rendah.
d. Financial assets, sebagian besar masyarakat perdesaan masih memiliki keterbatasan untuk mengakses
lembaga keuangan, baik dalam bentuk tabungan (saving) ataupun pembiayaan (financing). Kelangkaan
modal yang dimiliki petani dan rendahnya akses petani terhadap sumber permodalan dari luar ditengarai
menjadi pemicu inefisiensi usahatani yang dijalankan (Hendayana dan Bustaman, 2007). Menurut Ashari
(2006), dalam jangka panjang permasalahan ini dapat menjadi titik awal terjadinya siklus rantai
kemiskinan pada masyarakat petani di perdesaan yang akan sulit untuk diputus.
e. Social assets, dalam hal ini berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan
bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.
Inefisensi usahatani ditengarai menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas pertanian yang
kemudian berpangkal kepada kemiskinan bagi sebagian besar petani di perdesaan. Ashari (2006) menyatakan
bahwa penyebab rendahnya produktivitas pertanian adalah keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani.
Ketidakmampuan petani membiayai kegiatan usahataninya dengan modal sendiri mengakibatkan ouput yang
dihasilkan tidak optimal. Hal ini diperparah dengan rendahnya kemampuan petani untuk mengakses sumber
pembiayaan atau permodalan dari luar, terutama yang berasal dari perbankan. Oleh karena itu, peningkatan
akses petani terhadap sumber pembiayaan dari luar diharapkan dapat mengatasi permasalahan keterbatasan
modal. Kondisi ini didukung dengan semakin berkembanganya lembaga keuangan mikro di perdesaan,
terutama yang berbentuk lembaga keuangan mikro syariah (LKMS).
2
Ide Besar Pembangunan Indonesia #2
memperbaiki kondisi perekonomian mereka. Sebagian besar (80 persen) responden mengaku ekonomi
mereka tidak berubah dari sebelumnya, bahkan 20 persen responden menyatakan lebih buruk dari tahun
sebelumnya. Lebih lanjut, Ashari (2006) mengkaji tentang program pengentasan kemiskinan yang bersifat
fasilitasi modal, dimana hasilnya menunjukkan bahwa capaian dari program tersebut belum optimal. Syaukat
(2011) menjelaskan bahwa salah satu penyebab ketidakberhasilan pelaksanaan berbagai program tersebut
adalah adanya masalah moral hazard pada masyarakat miskin selaku penerima program. Permasalahan ini
timbul karena, (1) sebagian masyarakat menganggap bahwa program pemerintah bersifat bantuan, sehingga
tidak perlu dikembalikan; (2) sebagian kelompok penerima program didirikan secara mendadak, sehingga
kurang memiliki pengalaman operasi yang baik; dan (3) pembagian dana program hanya terbatas pada
anggota kelompok penerima bantuan.
Untuk mengoptimalkan berbagai program pengentasan kemiskinan tersebut, Jayaputra (2009)
menyatakan diperlukan adanya model strategi yang berbasis institusi lokal. Pengentasan kemiskinan berbasis
institusi lokal diartikan sebagai program yang bertumpu kepada kekuatan komunitas lokal dengan
mengandalkan organisasi sosial yang telah ada. Tujuannya agar komunitas lokal dan tokoh masyarakat
pelaku berperan aktif dalam upaya pengentasan kemiskinan. Orang miskin sebagai pelaku utama dan pihak
lain sebagai mitra. Partisipasi diperlukan mulai dari tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan pemeliharaan. Dengan konsep ini diharapkan program tersebut dapat lebih efektif dan berdampak nyata
dalam mereduksi angka kemiskinan di perdesaan.
3
Ide Besar Pembangunan Indonesia #2
4
Ide Besar Pembangunan Indonesia #2
Tabel 1. Jumlah debitur dan pembiayaan sektor pertanian BMT Surya Abadi
Sektor Usaha JumlahKreditur JumlahPembiayaan Presentasi
Pertanian (orang) (Rp) (persen)
Cabai 38 384.524.00 1,62
Jagung 80 873.035.552 3,68
Kakao 2 10.000.000 0,04
Karet 59 770.630.994 3,25
Kelapa Sawit 5 84.200.000 0,36
Padi 389 2.752.848.393 11,62
Sayuran 61 464.292.000 1,96
Semangka 37 387.283.000 1,63
Ubi kayu 1.710 15.140.820.554 63,89
Unggas 30 569.515.000 2,40
Kambing 21 238.913.000 1,01
Sapi/Kerbau 46 758.987.000 3,20
Perikanan Budidaya 60 1.012.956.000 4,27
Udang 4 59.455.000 0,25
Lainnya 11 189.040.000 0,80
Jumlah 2.553 23.696.500.493 100,00
Sumber: BMT Surya Abadi, 2013 dalam Yoko (2015)
Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa sektor pertanian merupakan primadona bagi
BMT Surya Abadi. Hal ini tentu dipengaruhi oleh faktor dominasi sektor pertanian sebagai sektor
perekonomian utama di Lampung Tengah. Data dari Puskopsyah Lampung (2013) menunjukkan bahwa rata-
rata penyaluran pembiayaan pertanian oleh BMT bagi sektor pertanian di Kabupaten Lampung Tengah
mencapai 67 persen. Pembiayaan tersebut digunakan oleh petani sebagai modal untuk pembelian berbagai
input usahatani, seperti pupuk dan pembayaran tenaga kerja.
Pembiayaan yang diterima oleh petani dari BMT diarahkan sebagai pembiayaan produktif untuk
memperkuat permodalan. Dengan adanya pembiayaan ini diharapkan petani mampu meningkatkan
penggunaan input produksi menjadi lebih efisien, sehingga produksi dan produktivitas usahatani dapat
meningkat dan pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatannya. Untuk melihat peranan dari pembiayaan
pertanian BMT terhadap peningkatan pendapatan petani dilakukan analisis perbandingan pendapatan antara
petani yang mengakses pembiayaan dari BMT dan petani yang tidak mengakses pembiayaann dari BMT.
Analisis ini menggunakan data lapangan dari Yoko (2015), dimana petani yang dijadikan sampel adalah
petani padi di Lampung Tengah.
Hasil analisis keuntungan usahatani padi antara dua kelompok responden, yaitu petani yang
mengakses dan tidak mengakses pembiayaan dari BMT disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa
penerimaan yang diperoleh petani yang mendapatkan pembiayaan dari BMT lebih besar dibandingkan petani
yang tidak memperoleh pembiayaan. Jika dilihat dari struktur biaya, tenaga kerja merupakan komponen
biaya terbesar dari usahatani padi, yaitu mencapai 64,02 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi
di Lampung Tengah masih sarat tenaga kerja (labour intensive). Berdasarkan hasil analisis, keuntungan rata-
rata per hektar yang diperoleh petani penerima pembiayaan dari BMT sebesar Rp 10.465.787,14. Nilai
keuntungan ini lebih besar jika dibandingkan petani yang tidak menerima pembiayaan. Hasil analisis R/C
ratio pun menunjukkan hal serupa. Nilai R/C ratio untuk petani yang memperoleh pembiayaan lebih tinggi
dibandingkan petani yang tidak memperoleh pembiayaan. Hasil ini menunjukkan bahwa petani yang
memperoleh pembiayaan dari BMT memiliki kemampuan manajerial yang cukup baik, terutama yang terkait
dengan pengelolaan modal usahatani. Dengan adanya tambahan modal petani mampu meningkatkan
produksi usahataninya sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan.
5
Ide Besar Pembangunan Indonesia #2
Tabel 2. Analisis Pendapatan Usahatani Padi per Hektar di Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2014
Uraian Pembiayaan BMT Non Pembiayaan
Rata-rata (Rp/ha) Rata-rata (Rp/ha)
Penerimaan 19.761.617,65 18.739.010,99
Total Biaya Tunai 6.598.148,93 6.575.043,94
Total Biaya Diperhitungkan 2.697.681,58 2.773.610,88
Total Biaya 9.295.830,51 9.308.654,82
Keuntungan atas Biaya Tunai 13.163.468,72 12.163.967,04
Keuntungan atas Biaya Total 10.465.787,14 9.430.356,17
R/C atas biaya tunai 2,99 2,85
R/C atas biaya total 2,12 1,98
Sumber: Yoko, 2015 (diolah)
Dari temuan tersebut, terlihat bahwa keberadaan dan pertumbuhan BMT di Kabupaten Lampung
Tengah memiliki pengaruh yang positif dalam meningkatkan pendapatan petani. Di sisi lain, BMT sebagai
lembaga keuangan yang menyediakan fasilitas pembiayaan bagi petani tetap memperoleh keuntungan serta
dapat tumbuh dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan aset maupun unit layanan. Kondisi ini
menjadi fakta menarik sekaligus pembuktian bahwa sektor pertanian tetap dapat mendatangkan keuntungan
bagi lembaga keuangan yang terlibat di dalamnya. Selain itu, kinerja BMT khususnya pada sektor pertanian
di Lampung Tengah menjadi antitesis dengan berbagai pernyataan yang menyatakan bahwa sektor pertanian
tidak mampu memberikan keuntungan bagi lembaga keuangan karena anggapan sektor pertanian memiliki
risiko yang tinggi (high risk) serta petani selaku objek tidak memenuhi persyaratan (unbankable).
PENUTUP
Perkembangan BMT di Indonesia, baik dilihat dari jumlah (unit) maupun aset menunjukkan
pertumbuhan yang signifikan. BMT memiliki potensi yang besar untuk terus berkembang di tengah
masyarakat perdesaan, bahkan pada masa yang akan dating diharapkan dapat menjadi referensi sumber
permodalan utama dan penggerak aktivitas perekonomian masyarakat perdesaan. Dari studi kasus di
Kabupaten Lampung Tengah dapat disimpulkan bahwa pembiayaan yang diperoleh petani dari BMT mampu
meningkatkan pendapatan usahataninya. Akses pembiayaan dapat memperkuat sisi permodalan petani,
sehingga jumlah dan kualitas input usahatani yang digunakan dapat diperbaiki. Perbaikan kualitas dan
kuantitas input akan mendorong peningkatan produksi. Pada asumsi tingkat harga yang sama, peningkatan
produksi dari petani yang mengakses pembiayaan dari BMT akan mengakibatkan mereka memperoleh
pendapatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani yang tidak mengakses pembiayaan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, dapat disampaikan beberapa saran, yaitu:
1. Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia dapat di awali dari masyarakat perdesaan. Oleh karena itu,
perlu dirancang strategi khusus terkait daya saing industri BMT di perdesaan Indonesia. Program dan
kegiatan dari rancangan strategi tersebut harus dilakukan secara terus menerus dan bertahap (sustainable
development) sesuai tipologi perdesaan di Indonesia.
2. Untuk merealisasikan upaya pembangunan industri keuangan yang berkelanjutan, khususnya untuk
lembaga keuangan mikro perdesaan, diperlukan kemitraan yang terintegrasi antara pemerintah dan
swasta sebagai pelaku bisnis (investor). Program yang disusun hendaknya mampu menguntungkan
swasta sehingga menjadi bisnis yang prospektif namun tetap memiliki eksternalitas positif jangka
panjang khususnya bagi masyarakat petani di perdesaan, hingga tahap terbentuknya rantai nilai (shared
value) perusahaan.
3. Perlu pengkondisian, komitmen, dan konsistensi terhadap kepentingan jangka panjang antara para pihak
yang terkait, mulai dari pengelola BMT, Asosiasi BMT, organisasi kemasyarakatan, pusat
pengembangan keilmuan (perguruan tinggi), pemerintah, serta pihak-pihak lainnya sebagai pemangku
kepentingan (stakeholders).
6
Ide Besar Pembangunan Indonesia #2
KEPUSTAKAAN
Ashari. 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan
Kebijakan Pengembangannya. PSEKP. 4(2):146-164.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2010 Analisis Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan Distribusi Pendapatan.
Jakarta: BPS.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2013. Evaluasi Paruh Waktu Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 -2014. Jakarta: Bappenas.
Buchori NS. 2012. Koperasi Syariah. Tangerang Selatan: Pustaka Aufa Media.
Hendayana R, Bustaman S. 2006. Fenomena Lembaga Keuangan Mikro Dalam Perspektif Pembangunan
Ekonomi Pedesaan. [Working Paper]
Pusat Koperasi Syariah Lampung (Puskopsyah). 2013. Daftar Anggota Puskopsyah Lampung. Metro:
Puskopsyah.
Syaukat Y. 2011. Mengembangkan Pembiayaan Syariah Pertanian. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456
789/53629. [22 Jul 2013].
Kementrian Pertanian. 2013. Analisis Pendududk dan Kemiskinan Sektor Pertanian. Jakarta: Kementerian
Pertanian.
Suryawati, C. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensi. Jurnal Agroekonomi Vol. 08(03)
September 2005
Jayaputra, A. 2009. Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya Berbasis Institusi Lokal dan
Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah di Provinsi Sumatera Barat. [Working Paper]
Yoko, Budi. 2015. Akses Petani Pada Pembiayaan Pertanian Mikro Syariah dan Pengaruhnya terhadap
Efisiensi Usaha Tani Padi di Kabupaten Lampung Tengah. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.