Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan yang multi dimensi, begitu pula

dengan aspek bahasa, agama, ras dan warna kulit sehingga aspek pluralitas menjadi

karakter dari bangsa ini. Dimensi keragaman di atas adalah perwujudan dari integritas

bangsa itu sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari aspek pluralitas dan multi

dimensi masyarakat Indonesia, untuk itu transformasi kearifan lokal melalui wadah

pendidikan menjadi sebuah alternatif untuk kembali membangun kemandirian bangsa di

era global sekarang ini. Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan

setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan

setempat (local genious). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan

suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang

memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah

dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif

terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.

Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui

pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya

sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan sebagai semacam filter

dalam menyeleksi pengaruh budaya lain. Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan

fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas bangsa.


Peran pendidikan yang secara esensi mengandung upaya “memanusiakan manusia”

merupakan sebuah perwujudan pembentukan karakter masyarakat yang lebih mandiri

dengan berangkat dari kearifan lokal masing-masing daerah.

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai

strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam

menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal pada

dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara

nasional. Pendidikan dalam arti luas tidak hanya terjebak pada terminologi pendidikan

formal, yang memiliki acuan perjenjangan yang jelas. Namun lebih dari itu pendidikan

baik formal maupun non-formal harus mampu melakukan transformasi local

wisdom dalam aktifitas pendidikan itu sendiri. Kerangka sederhana ini memungkinkan

adanya hubungan relasional antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan pendidikan

orang dapat berbudaya, dan melalui budaya persaingan di era global menjadi lebih

berarti.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang

nantinya akan menjadi obyek kajian dalam perumusan makalah ini, yang mencakup:

1. Memaknai kearifan lokal sebagai intisari dari kekayaan budaya yang ada di

Indonesia. Mampukah kekuatan local wisdom menjadi kekuatan dalam persaingan di

era global?
2. Bisakah Indonesia bersaing di dunia Internasional? Membaca ulang peran masyarakat

lokal dalam melestarikan pendidikan dan kebudayaan.

1.3 Tujuan

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kearifan lokal yang ada di Indonesia

akan menemukan eksistensinya jika ditopang oleh usaha mengintegrasikan antara

pendidikan dan kebudayaan, sehinggandiharapkan mampu memberi kontribusi kepada

masyarakat guna melestarikan dan mengembangkan local wisdom masing-masing untuk

bersaing di era globalisasi.

Berangkat dari kerangka di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Memaknai intisari kearifan lokal sebagai khasanah kekayaan bangsa, sehingga

kekuatan itu harus terus digali untuk membentuk kebudayaan yang mampu bersaing.

2. Mengetahui konsistensi masyarakat Indonesia dalam melestarikan dan

mengembangkan kebudayaan nasional melalui aspek pendidikan.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah:

1. Memberikan gambaran akan kekayaan budaya yang seharusnya menjadi kekuatan

untuk bersaing di dunia Internasional.


2. Menjadikan kekuatan menulis sebagai kultur intelektual untuk membangun peradaban

masyarakat Indonesia.

3. Memposisikan peranan penting pendidikan dalam membangun kekuatan kebudayaan.

1.5 Metode Penulisan

Proses penulisan makalah ini berangkat dari minat untuk melakukan riset secara

sederhana dalam lingkup literatur kepustakaan yang selanjutnya membentuk gagasan,

konsep maupun teori. Proses ini dilakukan melalui penelusuran dan menelaah referensi-

referensi yang ada kaitannya dengan tema yang penulis angkat. Sebagai layaknya studi

kualitatif yang sederhana proses bimbingan dan dialog secara intensif juga kami

lakukan dalam perumusan naskah ini kepada dosen pembimbing yang bersangkutan.

Karena proses penulisan ini menggunakan pola riset yang sederhana maka pola

pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan membaca serta mempelajari buku atau

karya yang telah dikelompokkan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer

merupakan buku-buku pendidikan dan kebudayaan yang kemudian dikorelasikan

dengan tema yang diangkat.

Sedangkan sumber sekunder adalah buku penopang yang lain. Begitu juga dengan

jurnal, dan data-data yang bisa dipertanggung jawabkan.

Dalam pengolahan data penulis menggunakan metode deskriptif-analitis.

Deskriptif dalam artian metode yang digunakan memakai pencarian data yang berkaitan

dengan tema yang diangkat dengan interpretasi yang jelas, tepat, akurat dan sistematis.
Sedangkan analitis dimaksudkan untuk menguraikan data secara kritis, cermat dan

terarah.

Untuk memperoleh analisis yang komprehensif, berikut akan diurai komposisi

penyusunan makalah ini yakni terdiri atas tiga bab yang terdiri dari: Bab Pertama,

merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang, rumusan maslah,

tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Bab Kedua, menjelaskan tentang pembahasan

dari tema yang sedang diangkat. Sedangkan Bab Ketiga, merupakan penutup yang

terdiri dari kesimpulan dan saran.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kearifan Lokal

Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local).

Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-

gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang

tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai

keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.

Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus

dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di

dalamnya dianggap sangat universal.

Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan

masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini,

kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan

alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat

istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah

dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya.

Wietoler dalam Akbar (2006)

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai

strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam

menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Sistem pemenuhan


kebutuhan masyarakat tersebut meliputi seluruh unsur-unsur kehidupan

Agama/Kepercayaan, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Ekonomi, Organisasi Sosial

(Hukum, Politik), Bahasa/Komunikasi serta Kesenian. Mereka mempunyai pemahaman,

program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki,

mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu dengan memperhatikan ekosistem (flora,

fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mareka sendiri.

Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan

kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan kita secara luas

adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa.

Budaya nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan lokal yang tidak

akan mati, karena semuanya merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak

dapat dihindari.

a) Landasan Historis

Kearifan lokal dapat bersumber dari kebudayaan masyarakat dalam suatu lokalitas

tertentu. Dalam perspektif historis, kearifan lokal dapat membentuk suatu sejarah lokal.

Sebab kajian sejarah lokal yaitu studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya

komunitas dari suatu lingkungan sekitar tertentu dalam dinamika perkembangannya

dalam berbagai aspek kehidupan. Wijda dalam (Koentjaraningrat, 1986).

Awal pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui

secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuk mulai sejak
masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara). Tradisi praaksara ini yang kemudian

melahirkan tradisi lisan.

Secara historis tradisi lisan banyak menjelaskan tentang masa lalu suatu masyarakat

atau asal-usul suatu komunitas. Perkembangan tradisi lisan ini dapat menjadi

kepercayaan atau keyakinan masyarakat. Dalam masyarakat yang belum mengenal

tulisan terdapat upaya untuk mengabadikan pengalaman masa lalunya melalui cerita

yang disampaikan secara lisan dan terus menerus diwariskan dari generasi ke genarasi.

Pewarisan ini dilakukan dengan tujuan masyarakat yang menjadi generasi berikutnya

memiliki rasa kepemilikan atau mencintai cerita masa lalunya. Tradisi lisan merupakan

cara mewariskan sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, dalam bentuk

pesan verbal yang berupa pernyataan yang pernah dibuat di masa lampau oleh generasi

yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini.

b) Landasan Psikologis

Secara psikologis pembelajaran berbasis kearifan lokal memberikan sebuah pengalaman

psikologis kepada siswa selaku pengamat dan pelaksana kegiatan. Dampak psikologis

bisa terlihat dari keberanian siswa dalam bertanya tentang ketidaktahuannya,

mengajukan pendapat, persentasi di depan kelas, dan berkomunikasi dengan

masyarakat. Dengan pemanfaatan lingkungan maka kebutuhan siswa tentang

perkembangan psikologisnya akan diperoleh. Karena lingkungan merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik

lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah


belajar. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik

yang berarti pengalaman.

c) Landasan Politik dan Ekonomi

Secara politik dan ekonomi pembelajaran berbasis kearifan lokal ini memberikan

sumbangan kompetensi untuk mengenal persaingan dunia kerja. Dari segi ekonomi

pembelajaran ini memberikan contoh nyata kehidupan sebenarnya kepada siswa untuk

mengetahui kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena pada akhirnya siswa

dididik dan disiapkan untuk menghadapi persaingan global yang menuntut memiliki

ketrampilan dan kompetensi yang tinggi di lingkungan sosial.

d) Landasan Yuridis

Secara yuridis pembelajaran berbasis kearifan lokal mengarahkan peserta didik untuk

lebih menghargai warisan budaya Indonesia. Sekolah Dasar tidak hanya memiliki peran

membentuk peserta didik menjadi generasi yang berkualitas dari sisi kognitif, tetapi

juga harus membentuk sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan tuntutan yang

berlaku. Apa jadinya jika di sekolah peserta didik hanya dikembangkan ranah

kognitifnya, tetapi diabaikan afektifnya. Tentunya akan banyak generasi penerus bangsa

yang pandai secara akademik, tapi lemah pada tataran sikap dan perilaku. Hal demikian

tidak boleh terjadi, karena akan membahayakan peran generasi muda dalam menjaaga

keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada di sekitar

sekolah dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran di Sekolah Dasar. Tak terkecuali dalam

pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Dengan diintegrasikannya

nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran di Sekolah Dasar diharapkan siswa akan
memiliki pemahaman tentang kerifan lokalnya sendiri, sehingga menimbulkan

kecintaan terhadap budayanya sendiri.

2.2 Pulau Sulawesi

Secara Etimologi, Sulawesi atau Pulau Sulawesi (atau sebutan lama dalambahasa

Inggris: Celebes) adalah sebuah pulau dalam wilayah Indonesia yang terletak di

antara PulauKalimantan disebelah barat dan Kepulauan Maluku disebelah timur.

Dengan luas wilayah sebesar 174.600 km², Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11di

dunia. Di Indonesia hanya luas pulau Sumatera, Kalimantan, dan pulau Papuasajalah

yang lebih luas wilayahnya daripada pulau Sulawesi, sementara dari segi populasi

hanya pulau Jawa dan Sumatera sajalah yang lebih besar populasinya daripada

Sulawesi.

Nama Sulawesi diperkirakan berasal dari kata dalam bahasa-bahasa di Sulawesi

Tengah yaitu kata sula yang berarti nusa (pulau) dan kata mesi yang berarti besi

(logam), yang mungkin merujuk pada praktik perdagangan bijih besi hasil produksi

tambang-tambang yang terdapat di sekitar Danau Matano, dekat Sorowako, Luwu

Timur. Sedangkan bangsa/orang-orang Portugis yang datang sekitar abad 14-15 masehi

adalah bangsa asing pertama yang menggunakan nama Celebes untuk menyebut pulau

Sulawesi secara keseluruhan.

Sedangkan berdasarkan letak geografisnya Sulawesi merupakan pulau terbesar

keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan dan Sumatera dengan luas daratan

174.600 kilometer persegi. Bentuknya yang unik menyerupai bunga mawar laba-laba
atau huruf K besar yang membujur dari utara ke selatan dan tiga semenanjung yang

membujur ke timur laut, timur dan tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Selat Makasar di

bagian barat dan terpisah dari Kalimantan serta dipisahkan juga dari Kepulauan Maluku

oleh Laut Maluku. Sulawesi berbatasan dengan Borneo di sebelah barat,Filipina di

utara, Flores di selatan, Timor di tenggara dan Maluku di sebelah timur.

Pada saat kemerdekaan Indonesia, Sulawesi berstatus sebagai propinsi dengan

bentuk pemerintahan otonom di bawah pimpinan seorang Gubernur. Propinsi Sulawesi

ketika itu beribukota di Makassar, dengan GubernurDR.G.S.S.J. Ratulangi. Bentuk

sistem pemerintahan propinsi ini merupakan perintis bagi perkembangan selanjutnya,

hingga dapat melampaui masa-masa di saat Sulawesi berada dalamNegara Indonesia

Timur (NIT) dan kemudian NIT menjadi negara bagian dari negarafederasiRepublik

Indonesia Serikat (RIS). Saat RIS dibubarkan dan kembali kepadaNegara Kesatuan

Republik Indonesia, Sulawesi statusnya dipertegas kembali menjadi propinsi.Status

Propinsi Sulawesi ini kemudian terus berlanjut sampai pada tahun 1960.

2.2.1 Sistem Pemerintahan

Pemerintahan di Sulawesi dibagi menjadi enam provinsi berdasarkan urutan

pembentukannya yaitu provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,Sulawesi

Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sulawesi Tengah

merupakan provinsi terbesar dengan luas wilayah daratan 68,033 kilometer persegi dan

luas laut mencapai 189,480 kilometer persegi yang mencakup semenanjung bagian

timur dan sebagian semenanjung bagian utara serta Kepulauan Togean di Teluk Tomini
dan pulau-pulau di Banggai Kepulauan di Teluk Tolo. Sebagian besar daratan di

provinsi ini bergunung-gunung (42.80% berada di atas ketinggian 500 meter dari

permukaan laut) dan Katopasa adalah gunung tertinggi dengan ketinggian 2.835 meter

dari permukaan laut.

2.2.2 Suku – Suku di Pulau Sulawesi

Pulau Sulawesi, berada di Indonesia Bagian Tengah, dan memiliki bermacam-

macam suku bangsa dengan corak budaya dan adat-istiadat yang memiliki keunikan

masing-masing. Beberapa suku di pulau Sulawesi memiliki keterkaitan sejarah asal-usul

dengan Formosa Taiwan, Filipina, Kalimantan dan Sumatra.

1. Sulawesi Utara

§ Minahasa

§ Tombulu

§ Tonsea

§ Tontemboan

§ Toulour

§ Tondano

§ Kakas

§ Tonsawang

§ Tombatu

§ Bantik
§ Babontehu

§ Pasan

§ Ratahan (Bentenan)

§ Ponosakan

§ Borgo

§ Mongondow

§ Sangir

§ Talaud

§ Bolango

§ Gorontalo

§ Gorontalo

§ Atinggola

§ Suwawa

§ Polahi

2. Sulawesi Tengah

§ Ampana

§ Balantak

§ Banggai:

- Banggai Kepulauan

- Sea-sea (Banggai Pegunungan)

§ Bobongko
§ Bungku:

- Ulumanda

§ Buol

§ Bajau (pulau Papan, pulau Milok dll)

§ Dampeles

§ Dampal

§ Daya di Buol Tolitoli (pegunungan)

§ Dondo

§ Kahumamahon

§ Kaili:

- Ado (daerah Sibalaya, Sibovi dan Pandere)

- Baras

- Bare'e (daerah Touna, Tojo, Unauna dan Poso)

- Bunggu (di Sulawesi Barat)

- Da'a

- Doi (daerah Pantoloan dan Kayumalue)

- Edo (daerah Pakuli dan Tuva)

- Ija (daerah Bora dan Vatunonju)

- Ledo

- Lindu (To Lindu)

- Moma (Ngata Toro)

- Pamona
o Bada

o Benggaulu

o Besoa (Behoa)

ü Orang Katu

o Napu

o Rampi (Leboni)

o Topoiyo

o Uma Pipikoro

ü Bana

o Onda'e

o Wingkendano

o Lage

o Pebato

o Lamusu

- Pekurehua (Napu)

- Rai

- Sarudu

- Sedoa

- Tado

- Tara (daerah Talise, Lasoani, Kavatuna dan Parigi)

- Tohulu

- Tolare
- Unde

§ Kulawi (To Kulawi)

- Peana (To Peana)

- Kalamanta

- Winatu (To Winatu).

- Kantewu (To Kantewu)

- Siwongi

§ Lore (To Lore)

§ Mori (To Mori)

- Moleta (Mori atas)

- Petasia (Mori bawah)

- Lembo (Mori bawah)

- Murungkuni

- Tovatu (Towatu)

- Musimbat

- Tomoki

- Toroda

- Molongkuni

- Mobahono

- Uluowoi

- Padoe (To Padoe)

- Karunsie (To Karunsi'e)


- Tambee (To Tambe'e)

§ Mamasa

§ Marena (To Marena)

§ Pakawa (To Pakava)

§ Pendau (kabupaten Tolitoli)

§ Saluan (Loinang)

§ Sinduru (Tuva)

§ Ta'a Uwemea Toili

§ Tau Ta'a Wana (To Wana)

- Burangas

- Kasiala

- Posangke

- Untunu Ue

§ Togean

§ Tojo (Tajio)

§ Tolaki

§ Tolitoli (kabupaten Tolitoli)

§ Tomini

- Tialo

- Lauje

§ Orang Tompu

§ Toro
§ To Rompoe

3. Sulawesi Selatan

§ Bentong

§ Bugis

§ Duri

§ Enrekang

§ Kalekaju (To Kalekaju)

§ Konjo, terdiri dari:

- Konjo Pesisir

- Konjo Gunung

- Konjo Hitam (Kajang)

§ Maiwa

§ Makassar

§ Mandar

§ Maroangin (Marowangin)

§ Massenrempulu

§ Rampi (To Rampi)

§ Pattinjo

§ Seko (To Seko, To Lemo)

§ Selayar (To Silajara)


§ Toala (Pannei)

§ To Balo

§ Tolotang (Towani Tolotang)

§ Toraja (To Raja, To Raya)

§ Wotu (suku Luwu)

§ distrik Nuha Luwu Timur:

- Weula (To Weula)

- Kondre (To Kondre)

- Taipa (To Taipa)

- Padoe (To Padoe)

- Karunsie (To Karunsi'e)

- Tambee (To Tambe'e)

- Tokinadu

- Routa (To Routa), pindah ke Sulawesi Tenggara

- Lamundre (To Lamundre), pindah ke Sulawesi Tenggara

4. Sulawesi Barat

§ Bunggu

§ Campalagian

§ Mamasa (To Mamasa)

§ Mamuju
§ Mandar

§ Pattae

§ Toraja

5. Sulawesi Tenggara

§ Cia-Cia

§ Kabaena

§ Moronene

§ Muna

§ Mekongga

§ Pancana

§ Tolaiwiw

§ Tolaki

§ Tukang Besi

§ Wakatobi

§ Wawonii

§ Wolio

§ Wosai

§ pulau Buton:

- Buton
- Wolio

- Kalisusu

- Katobengke

§ Proto Buton (penghuni pertama pulau Buton)

- Wambolebole

- Kombilo

- Wakarorondo (Wakaokili)

§ Proto Sulawesi Tenggara:

- Tokira

- Towuna

- Toala

- Towana

- Katobengke

- Moronene

- To Aere (Toaere)

- To Laiwoi (To Laiwuri)

- To Kudiho, (orang kerdil yang mendiami daerah Wundulako di kawasan lembah

pegunungan Tamosi, jauh sebelum kehadiran suku-suku di atas)

§ Kelompok Bajo:

- Bajo Kabaena
- Bajo Wakatobi

2.3 Suku Bugis

Suku Bugis, adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Sulawesi Selatan.

Populasi suku Bugis ini adalah yang terbesar di Sulawesi Selatan, dan diperkirakan

mencapai 6 juta orang pada sensus tahun 2000.

Orang Bugis adalah termasuk bangsa perantau dan pengembara. Populasi suku

Bugis tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, selain di Sulawesi Selatan, suku Bugis

juga tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur dan

Kalimantan Selatan. Komunitas suku Bugis juga ditemukan ada di provinsi Riau, tapi

pada umumnya sudah mengikuti adat-istiadat suku Melayu Riau, walaupun begitu

mereka tetap mengaku sebagai orang Bugis. Keturunan orang Bugis juga ditemukan di

Malaysia dan Brunei.

Agama Islam masuk ke kalangan orang Bugis pada abad 17, yang berkembang

dengan cepat, sehingga saat ini menjadi agama rakyat bagi masyarakat Bugis. Orang

Bugis mayoritas adalah pemeluk agama Islam.

Asal-usul suku Bugis pertama kali diperkirakan berasal dari daratan China

Selatan, menurut para peneliti dikatakan dari Yunnan, China Selatan, sekitar awal abad

Masehi, bersama kelompok deutro malayan, yang masuk dengan kelompok yang besar-

ke wilayah kepulauan Asia Tenggara ini. Menurut dugaan lain, bahwa orang Bugis ini

adalah penduduk penghuni daerah pesisir Indochina, di sekitar Burma dan Thailand,

yang terdesak oleh bangsa Arya yang menginvasi daerah pesisir Indochina. Mereka
sempat bertahan dan berperang melawan bangsa Arya ini, tapi karena mereka hanya

terdiri dari para petani dan nelayan dan kalah dalam persenjataan, akhirnya mereka pun

terpecah-pecah dan tersebar ke daerah kepulauan di Asia Tenggara dan salah satunya

mendarat ke daerah Sulawesi Selatan sekarang ini.

Di daerah baru ini, mereka berbaur dengan penduduk asli yang terlebih dahulu

berada di daerah ini. Tapi karena pertumbuhan mereka sangat pesat dengan budaya

yang mereka bawa, akhirnya penduduk asli terdesak masuk lebih ke pedalaman dan

menyingkir ke daerah lain.

Orang Bugis menyebut dirinya sebagai "To Ugi" yang berarti "orang Bugis".

Nama "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana,

kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi

menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya

sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi

adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari

Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan

beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan

jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan

di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi

masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk,

Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Seiring waktu berjalan, masyarakat Bugis purba ini tumbuh dan berkembang

selama beberapa abad, dan menjadi beberapa kelompok-kelompok kecil yang tersebar
ke segala penjuru pulau Sulawesi. Setelah beberapa abad berjalan, dalam

perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan.

Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan

pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone,

Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan

membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah

dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa kabupaten

yaitu Luwu, Bone,Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara

Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan.

Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.

Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang

kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di

Pangkajene Kepulauan).

Secara sejarah asal-usul orang Bugis masih satu rumpun dengan orang Makassar

dan orang Mandar. Banyak terdapat kemiripan dari segi adat-istiadat, budaya dan

bahasa antara ketiga suku bangsa ini. Selain banyak terlibat hubungan kekerabatan di

antara mereka.

Pemukiman masyarakat suku Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan

pesisir, kebanyakan masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata

pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat

Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.


2.4 Kearifan Lokal Suku Bugis

Pada masyarakat Bugis, kearifan lokal ternyata terdokumentasi dengan

baik dalamkarya sastra mereka dan tertuang dalam karya sastra Bugis klasik.

1. Bawaan Hati yang Baik (Ati Mapaccing)

Dalam bahasa Bugis, Ati Mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia’

madeceng (niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan

dari kata nia’ maja’ (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam

berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati,

bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik.

Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad

baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu

demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga

makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi.

Pertama, manusia menyucikan dan memurnikan hatinya dari segala nafsu- nafsu kotor,

dengki, iri hati, dan kepalsuan-kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang baik

diasosiasikan dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-

sifat tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang

sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum tercemar oleh noda-noda atau polusi.

Segala macam hal yang dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati,

sehingga baik perkataan maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik.


2. Konsep Pemerintahan yang Baik (good governance)

Istilah good governance tak bisa dilepaskan dari konteks perbincangan mengenai

politik dan paradigma pembangunan yang berkembang di dunia. Bila dilacak agak teliti,

penggunaan istilah ini belum lebih dari dua dekade. Diduga, good governance pertama

kali diperkenalkan sekitar tahun 1991 dalam sebuah resolusi The Council of the

European Community yang membahas Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan

Pembangunan.. Di dalam resolusi itu disebutkan, diperlukan empat prasyarat lain untuk

dapat mewujudkan Pembangunan yang berkelanjutan, yaitu mendorong penghormatan

atas hak asasi manusia, mempromosikan nilai demokrasi, mereduksi budget

pengeluaran militer yang berlebihan dan mewujudkan good governance. Sejak saat itu,

good governance mulai diperbincangkan dan diakomodasi dalam berbagai konvensi dan

resolusi yang berkaitan dengan pembangunan, baik dalam perbincangan pembangunan

di UNDP maupun di Lome Convention, Bantuan Pembangunan yang bersifat

Multilateral dan Bilateral.

Istilah good governance telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan

pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata pemerintahan yang baik

(UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada

juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (Effendi, 2005).

Dalam kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang

pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas yang tak terpisahkan antara satu dengan lainnya.

Keempat kualitas itu terungkap dalam ungkapan Bugis.

Maccai na Malempu;
Waraniwi na Magetteng

(Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian.)

Bila ungkapan di atas diurai maka ada empat karakteristik seorang pemimpin yang

diangap dapat memimpin suatu negeri, yaitu: cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam

pendirian. Ungkapan itu bermakna bahwa kepandaian saja tidak cukup. Kepandaian

haruslah disertai dengan kejujuran, karena banyak orang pandai menggunakan

kepandaiannya membodohi orang lain. Karerna itu, kepandaian haruslah disertai dengan

kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup. Keberanian haruslah disertai

dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh

dalam pendirian dapat terjerumus dalam kenekadan.

Syarat terselenggaranya pemerintahan negeri dengan baik terungkap dalam

Lontarak bahwa pemimpin negeri haruslah:

1. Jujur terhadap Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan sesamanya manusia.

2. Takut kepada Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan menghormati rakyatnya dan orang

asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya.

3. Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang biak rakyatnya, dan

mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat kerajaan dan rakyat.

4. Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya.

5. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendapat berita buruk (kritikan) dan berita baik

(tidak mudah terbuai oleh sanjungan).

6. Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat kerajaan.

7. Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya.


8. Jujur dalam segala keputusannya.

Kemudian, I Mangada’cina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang membuat pesan

yang isinya bahwa ada lima sebab yang menyebabkan negeri itu rusak, yaitu:

1. Kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati.

2. Kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu negara besar.

3. Kalau para hakim dan para pejabat kerajaan makan sogok.

4. Kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu negara.

5. Kalau raja tidak menyayangi rakyatnya.

3. Demokrasi (Amaradekangeng)

Kata amaradekangeng berasal dari kata maradeka yang berarti merdeka atau bebas.

Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan dalam Lontarak sebagai berikut:

Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:

Seuani, tenrilawai ri olona.

Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna.

Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao

ri awa

Demokrasi sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara

sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara

untuk dijalankan oleh pemerintah negara terungkap dalam sastra Bugis sebagai berikut:

Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya:

pertama, tidak dihalangi kehendaknya;

kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat;


ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah.

Itulah hak-hak kebebasan.

Rusa taro arung, tenrusa taro ade,

Rusa taro ade, tenrusa taro anang,

Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.

(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal

ketetapan kaum Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak).

Keamanaan, dan pelaksanaan pemerintahan negara (Said, 1998). Konsep di atas

sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan ada di

tangan rakyat. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat,

dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai

pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh

rakyat dan untuk rakyat.

Dalam ungkapan itu, jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segala-galanya bagi negara.

Raja atau penguasa hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan

untuk mengurus administrasi.

Dari kutipan itu, jelas tergambar bahwa kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di

tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau tentang volonte

generale atau kehendak umum dan volonte de tous atau kehendak khusus, jelas

tergambar bahwa teori Rousseau berkesesuaian dengan sistem pemerintahan yang

dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa dan
rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan rakyat

(umum).

Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha untuk bertindak secara

ekstra hati-hati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu

dipertimbangkan. Artinya, acuan utama dari setiap tindakan adalah rakyat. Hal tersebut

tertuang dalam Getteng Bicara (undang-undang) sebagai berikut. “Takaranku kupakai

menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah,

yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan di atas.”

Ketetapan hukum yang tergambar dalam getteng bicara di tanah Bugis

menunjukkan bahwa raja tidak akan memutuskan suatu kebijakan bila raja itu sendiri

tidak merasa nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran dan selalu berusaha

berbuat sepatutnya. Dari argumentasi itu, jelas tergambar bahwa negara adalah

sepenuhnya milik rakyat dan bukan milik raja. Raja tidak dapat berbuat sekehendak

hatinya kepada negara yang menjadi milik dari rakyat itu. Raja sama sekali tidak dapat

membuat peraturan dengan seenaknya, terutama menyangkut kepentingan dirinya atau

keluarganya. Semua peraturan yang akan ditetapkan oleh raja harus melalui persetujuan

dari kalangan wakil rakyat yang telah mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Jika raja

melanggar ketentuan itu, berarti raja telah melanggar kedaulatan rakyat.

Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut:

1. Mannganro ri ade’, memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk

mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau

panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.


2. Mapputane’, menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang

memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka

mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika

perseorangan, langsung menghadap raja.

3. Mallimpo-ade’, protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja,

dan karena usaha melalui mapputane’ gagal. Orang banyak, tetapi tanpa perlengkapan

senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan

tempat itu kecuali permasalahannya selesai.

4. Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipial

masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng oleh raja,

keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai

pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak,

rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.

5. Mallekke’ dapureng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini

dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam

negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: “Kamilah yang memecat

raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya”.(Mattulada,

1985)
4. Kesetiakawanan Sosial (assimellereng)

Konsep assimellereng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan

antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat

dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat

merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam

keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang

menimpa seseorang, dikenal dengan konsep “sipa’depu-repu” (saling memelihara).

Sebaliknya, orang yang tidak mempedulikan kesulitan sanak keluarganya, tetangganya,

atau orang lain sekali pun disebut bette’ perru. Dalam kehidupan sehari-hari,

manifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan Bugis:

“tejjali tettappere , banna mase-mase”.

Ungkapan tersebut biasanya diucapkan ketika seorang tuan rumah kedatangan

tamu. Maksunya adalah “kami tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada

tuan. Kami tidak mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang

kami miliki adalah kasih sayang.

Lontarak sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang

tinggi, rela berkorban menghormati hak-hak kemanusiaan seseorang, demi

kesetiakawanan atau solidaritas antara sesama manusia, berusaha membantu orang, suka

menolong orang menderita, berkorban demi meringankan penderitaan dan kepedihan

orang lain dan berusaha pula untuk membagi kepedihan itu ke dalam dirinya. Dalam

Lontarak disebutkan:

Iya padecengi assiajingeng:


- Sianrasa-rasannge nasiammase-maseie;

- Sipakario-rio;

- Tessicirinnaiannge ri sitinajae;

- Sipakainge’ ri gau’ patujue;

- Siaddappengeng pulanae.

Yang memperbaiki hubungan kekeluargaan yaitu:

- Sependeritaan dan kasih-mengasihi;

- Gembira menggembirakan;

- Rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar;

- Ingat memperingati dalam hal-hal yang benar;

- Selalu memaafkan.

Dorongan perasaan solidaritas untuk membela, menegakkan, memperjuangkan

harkat kemanusiaan orang lain atau perasaan senasib sepenanggungan di antara

keluarga, kerabat, dan masyarakat dilukiskan dalam ungkapan-ungkapan Lontarak

sebagai berikut:

Eppai rupanna padecengi asseajingeng:

- Sialurusennge’ siamaseng masseajing.

- Siadampengeng pulanae masseajing.

- Tessicirinnaiannge warangparang masseajing, ri sesena gau’ sitinajae.

- Sipakainge’ pulannae masseajing ri sesena gau’ patujue sibawa winru’ madeceng.

Empat hal yang mengeratkan hubungan kekeluargaan:

- Senantiasa kasih mengasihi sekeluarga.


- Maaf memaafkan sekeluarga.

- Rela merelakan sebagian harta benda sekeluarga dalam batas-batas yang layak.

- Ingat memperingati sekeluarga demi kebenaran dan tujuan yang baik.

5. Kepatutan (Mappasitinaja)

Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut.

Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara

wajar.

Bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila ia mampu

menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia

mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak-

hak orang lain, melainkan memahami hak-haknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat

memperlakukan orang lain pada tempatnya. Ia sadar bahwa orang lain mempunyai hak-

hak yang patut dihormati.

Perbuatan wajar atau patut, dalam bahasa Bugis biasa juga disebut mappasikoa.

Seorang yang berbuat wajar dalam arti mappasikoa berarti ia merasa cukup atas sesuatu

yang dimilikinya. Ia bertindak sederhana. Dicontohkan oleh Rahim (1985), tentang

sikap wajar Puang Rimaggalatung. Puang Rimaggalatung pernah berkali-kali menolak

tawaran rakyat Wajo untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara

Wajo III yang bernama La Pateddungi Tosamallangi. Bukannya beliau tidak mampu

memangku jabatan yang ditawarkan kepadanya, tetapi ia sadar bahwa jabatan itu

sungguh sulit untuk diembannya. Namun, karena Adat (para wakil rakyat) dan rakyat
Wajo sendiri merasa bahwa beliau pantas memimpin mereka, akhirnya tawaran itu

diterima.

Dua hal saling mencari lalu bersua, yakni perbuatan baik dan yang pantas. Barulah

baik bila keduanya berpadu. Cara memadukannya ialah:

1. Membiasakan diri berbuat baik meskipun sulit dilakukan.

2. Rendahkanlah dirimu sepantasnya.

3. Ambillah hati orang sepantasnya

4. Menghadapi semak-semak ia surut langkah

5. Melalui jalan ia berhati-hati dan menyandarkan diri kepada Tuhan

6. Berusahalah dengan benar.

Sebaliknya, lawan dari kata patut adalah berlebih-lebihan dan serakah. Watak

serakah diawali keinginan untuk menang sendiri. Keinginan untuk menang sendiri dapat

menghasilkan pertentangan-pertentangan dan menutup kemungkinan untuk

mendapatkan restu dari pihak lain. Manusia yang berbuat serakah, justru akan

menghancurkan dirinya sendiri karena orang lain akan menjauhinya. Dan apabila hati

manusia dipenuhi sifat serakah, maka tiada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari

manusia itu.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Kearifan Lokal dalam

kepustakaan Bugis masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu,

Kearifan Lokal sebagai jati diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi generasi

muda dalam percaturan global saat dan di masa datang. Dengan demikian, identitas

sebagai bangsa baik secara fisik maupun non fisik akan tetap terjaga.

3.2 Saran

Mengingat aspek kebudayaan yang ada di Indonesia begitu beragam, maka perlu

kiranya Perguruan Tinggi sebagai representasi dari dunia pendidikan yang ada

dimasing-masing daerah untuk lebih serius dalam melakukan eksperimen ilmiah

mengenai kekayaan etnisitas daerah masing-masing. Kemudian perhatian secara serius

dapat dilakukan dan dikampanyekan guna kembali menjadi kearifan lokal sebagai pilar

kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga aspek kebudayaan yang beragam tersebut mampu

diketahui, dikembangkan serta menjadi karakter masyarakat Indonesia yang terdiri dari

beragam etnis dan latar belakang budaya


DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Propinsi sulawesi, 1953, hal. 176-177

"Indonesia: Provinces, Cities & Municipalities". City Population. Diakses pada 30

november 2016.

“ “.2010. Kearifan lokal dalam sastra bugis klasik. Diakses pada 30 november

2016 pada situs http://lafinus.filsafat.ugm.ac.id/

“ “. Ceritaku. Diakses pada 1 Desember 2016 pada

situshttp://www.ahmadmaulana.com/tag/cerita-ku/

“ “. 2011. Makalah peran pendidikan. Diakses pada 1 Desember 2016 pada situs

http://hardysengawang.blogspot.com/

“ “.2012. Suku di Sulawesi. Diakses pada 1 2016 pada situs

http://protomalayans.blogspot.com/

“ “.2012. Makalah Kearifan Lokal. Diakses pada 12 Januari 2013 pada situs

http://erwinblog-erwinpermana12.blogspot.com/
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Rumah Adat Suku Bugis

Tari Adat Suku Bugis

Anda mungkin juga menyukai