Anda di halaman 1dari 10

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KETIDAKTUNTASAN BELAJAR 12 TAHUN PADA


PENDUDUK USIA 18 TAHUN KEATAS DI PROVINSI
PAPUA BARAT BERDASARKAN HASIL SUSENAS TAHUN
2011 PROVINSI PAPUA BARAT
Yaya Setiadi1, Robert Kurniawan2, dan Galuh Diantoro3

Abstrak : Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia untuk belajar
dan memahami demi kehidupan yang lebih baik. Ketuntasan wajib belajar merupakan masalah
yang perlu diperhatikan agar seluruh masyarakat dapat memenuhi syarat minimal mengenyam
pendidikan di bangku sekolah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pendidikan di Provinsi Papua Barat serta
mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan ketidaktuntasan belajar 12 tahun pada penduduk
usia 18 tahun ke atas di Provinsi Papua Barat berdasarkan hasil susenas tahun 2011 yang
dilaksanakan Badan Pusat Statistik.
Metode penelitian menggunakan regresi biner logistik untuk menganalisis faktor-faktor yang
berpengaruh signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa , dari 8065 sampel individu usia 18
tahun ke atas, didapatkan angka ketuntasan belajar 12 tahun ada sebanyak 3182 yang tuntas atau
39,45 %, sementara sisanya tidak memiliki ijazah SMA. Analisis faktor-faktor yang menyebabkan
ketidaktuntasan belajar 12 tahun di Papua Barat menunjukkan bahwa ketidaktuntasan belajar 12
tahun tersebut dipengaruhi oleh faktor geografi, jenis kelamin, ekonomi dan juga faktor jenis
kelamin kepala rumah tangga.

Keywords:Pendidikan, Ketidaktuntasan, Putus Sekolah, Logistik

1. Pendahuluan
Pembangunan sumber daya manusia mempunyai peranan yang sangat penting bagi
kesuksesan dan kesinambungan pembangunan. Oleh karena itu pembangunan dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia perlu dilakukan untuk menciptakan sumber daya manusia yang
berkualitas. Pendidikan merupakan jalan yang paling diharapkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Pendidikan merupakan pilar penting dalam pembangunan, dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, termaktub di dalamnya salah satu tujuan
Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam pelaksanaan amanat undang-
undang tersebut, pemerintah menerapkan berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan, salah
satunya adalah wajib belajar. Bukti nyata semua rencana adalah program wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun yang dicanangkan pada tanggal 2 mei 1994 . Sebenarnya, sejak tahun
1984, tepatnya pada masa Menteri Pendidikan Nugroho Notosusanto pendidikan wajib belajar 9
tahun sudah ditetapkan. Namun pada waktu itu pendidikan belum dapat dinikmati oleh seluruh
anak Indonesia. Guna menyiapkan generasi emas Indonesia pada 2045, mulai tahun ini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan program Pendidikan
Menengah Universal (PMU) atau wajib belajar 12 tahun(Metrotvnews).
Program wajar 12 tahun memberikan isyarat pada seluruh lapisan masyarakat secara
umum bahwa warga negara Indonesia diwajibkan menyelesaikan pendidikan minimal berijazah
kualifikasi SMA sederajat. Jika program perpanjangan wajib belajar ini diterapkan dengan
sukses, maka penduduk muda Indonesia akan mendapat manfaat dari peningkatan akses
pendidikan. Anak-anak ini membawa peluang yang sangat besar. Ketika mereka bergerak
menuju pasar tenaga kerja, mereka memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan per-kapita
nasional sebelum usia penduduk mengalami penuaan dan tingkat ketergantungan
meningkat.Salah satu indikator untuk melihat kesiapan dalam merealisasikan program wajib

1
Pengajar dan peneliti di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta. Email: setiadi@stis.ac.id
2 Pengajar dan peneliti di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta. Email: robertk@stis.ac.id
3 Mahasiswa peminatan Statistika Sosial Kependudukan, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta. Email :

11.6675@stis.ac.id
belajar 12 tahun adalah jumlah atau persentase penduduk yang berusia 18 tahun keatas yang
mampu menamatkan pendidikan hingga SMA atau sederajat.
Dalam informasi yang di dapatkan di website Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pemerintah memiliki perhatian yang besar terhadap
pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat, utamanya pada sektor Pendidikan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui unit utamanya, memiliki berbagai program
prioritas untuk mencapai kemajuan dan percepatan pembangunan pendidikan di kedua provinsi
tersebut.
Dari data susenas Provinsi Irian Jaya Barat tahun 2011, dari 8065 sampel individu usia
18 tahun ke atas yang valid, didapatkan angka ketuntasan belajar 12 tahun ada sebanyak 3182
yang tuntas atau 39,45 % dari total sampel yang ada. Hal tersebut menunjukkan bahwa lebih dari
setengah penduduk usia 18 tahun keatas tidak memiliki ijazah SMA sederajat. Tingginya angka
ketidaktuntasan belajar 12 tahun tersebut dapat disebabkan berbagai faktor.
Ketuntasan wajib belajar erat kaitannya dengan putus sekolah. Penelitian yang
dilakukan oleh Weni Yusrida yang dilakukan di kecamatan Kutapanjang Kabupaten Gayo
Luwes, Sumatera Utara pada tahun 2013 menunjukkan bahwa ketidaktuntasan wajib belajar
dipengaruhi oleh faktor geografi, ekonomi dan budaya.Penelitian lain yang dilakukan oleh Nur
Ika Choiriyah dkk. yang dilaksanakan di wilayah Surabaya Utara menyatakan bahwa salah satu
faktor ketidak tuntasan belajar adalah jenis kelamin.
Berdasarkan referensi dan informasi dari berbagai media dan penelitian-penelitian yang
dilakukan sebelumnya, masalah yang ingin diperoleh jawaban dari penelitian ini adalah apa saja
faktor yang mempengaruhi ketuntasan belajar 12 tahun pada penduduk usia 18 tahun keatas
berdasarkan hasil susenas tahun 2011. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan untuk perumusan kebijakan dalam dalam hal pendidikan berdasarkan analisis faktor-
faktor yang mempengaruhi ketidaktuntasan belajar 12 tahun di provinsi Papua Barat.

2. Tinjauan Pustaka
Provinsi Papua Barat.
Provinsi Papua Barat beribukota di Kabupaten Manokwari. Secara administratif,
Provinsi Papua Barat terdiri dari 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kotamadya, yaitu Kabupaten
Fak-fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Teluk Bintuni,
Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Sorong, Kabupaten Raja Ampat,
dan Kotamadya Sorong. Terdiri dari 124 Kecamatan, 48 Kelurahan, dan 1173
Kampung(www.papuabaratprov.go.id).

Putus Sekolah
Menurut konsep dan definisi yang digunakan BPS, angka putus sekolah adalah proporsi
anak menurut kelompok usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak
menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu. Adapun kelompok umur yang dimaksud adalah
kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Sehingga putus sekolah adalah
keadaan dimana seseorang tidak bersekolah lagi atau tidak menamatkan suatu jenjang
pendidikan tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh Olvrias Tenisa Ajis dkk. di Lampung menyatakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi putus sekolah adalah faktor ekonomi, ukuran keluarga
atau jumlah anak, lingkungan sosial, dan keinginan sekolah yang rendah karena lebih memilih
membantu bekerja orang tua.
Putus sekolah secara langsung berkaitan dengan ketuntasan wajib belajar 12 tahun.
Ketika seseorang tidak melanjutkan sekolah lagi, maka orang tersebut tidak dapat menamatkan
atau menuntaskan wajib belajar 12 tahunnya.

Angka Partisipasi Sekolah


BPS merumuskan bahwa konsep Angka Partisipasi Sekolah (APS) adalah proporsi dari
semua anak yang masih sekolah pada satu kelompok umur tertentu terhadap penduduk dengan
kelompok umur yang sesuai. Sejak tahun 2009, Pendidikan Non Formal (Paket A, Paket B dan
Paket C) turut diperhitungkan.APS yang tinggi menunjukkan terbukanya peluang yang lebih
besar dalam mengakses pendidikan secara umum. Pada kelompok umur mana peluang tersebut
terjadi dapat dilihat dari besarnya APS setiap kelompok umur.
Rata-rata lama Sekolah
Jumlah tahun belajar penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah diselesaikan dalam pendidikan
formal (tidak termasuk tahun yang mengulang).Tingginya angka Rata-rata Lama Sekolah (MYS)
menunjukkan jenjang pendidikan yang pernah/sedang diduduki oleh seseorang. Semakin tinggi
angka MYS maka semakin lama/tinggi jenjang pendidikan yang ditamatkannya.
Regresi Logistik
Regresi logistik adalah bagian dari analisis regresi yang digunakan untuk menganalisis variabel
dependen yang berupa kategorik dan variabel independen bersifat kategorik, kontinu, atau
gabungan dari keduanya. Analisis regresi logistik digunakan untuk memperoleh probabilitas
terjadinya variabel dependen.

exp⁡(𝛽0 + 𝛽1 𝑥1𝑖 + 𝛽2 𝑥2𝑖 + ⋯ + 𝛽𝑝 𝑥𝑝𝑖 )


𝜋(𝑥𝑖 ) = ⁡,⁡⁡⁡𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛⁡𝑖 = 1, 2, … , 𝑛
1 + (𝛽0 + 𝛽1 𝑥1𝑖 + 𝛽2 𝑥2𝑖 + ⋯ + 𝛽𝑝 𝑥𝑝𝑖 )

Dimana𝜋(𝑥𝑖 ) merupakan peluang terjadinya variabel dependen Y.


Selanjutnya dilakukan pengujian apakah model yang kita bangun sudah sesuai untuk
meramalkan, pengujian yang kita lakukan menggunakan goodness of fit test, atau Hosmer and
Lemeshow Test.
Hipotesis pengujiannya adalah

exp⁡(𝛽0 +𝛽1 𝑥1𝑖 +𝛽2 𝑥2𝑖 +⋯+𝛽𝑝 𝑥𝑝𝑖 )


Ho : 𝐸(𝑌) = atau dengan kata lain model sesuai
1+(𝛽0 +𝛽1 𝑥1𝑖 +𝛽2 𝑥2𝑖 +⋯+𝛽𝑝 𝑥𝑝𝑖 )

exp⁡(𝛽0 +𝛽1 𝑥1𝑖 +𝛽2 𝑥2𝑖 +⋯+𝛽𝑝 𝑥𝑝𝑖 )


H1 : 𝐸(𝑌) = atau dengan kata lain model tidak sesuai
1+(𝛽0 +𝛽1 𝑥1𝑖 +𝛽2 𝑥2𝑖 +⋯+𝛽𝑝 𝑥𝑝𝑖 )

Statistik Hosmer-Lemeshow mengikuti distribusi Chi-square dengan df = g − 2 dimana g adalah


banyaknya kelompok, dengan rumus :
𝑔
2
(𝑂𝑖 − 𝑁𝑖 𝜋̅𝑖 )2
𝜒ℎ𝑖𝑡 =∑
𝑁𝑖 𝜋̅𝑖 (1 − 𝜋̅𝑖 )
𝑖=1
dimana:
Ni : Total frekuensi pengamatan kelompok ke-i
Oi : Frekuensi pengamatan kelompok ke-i
𝜋̅𝑖 : Rata-rata taksiran peluang kelompok ke-i
Untuk menguji kecocokan model, nilai Chi-square yang diperoleh dibandingkan dengan nilai
2 2
Chi-square pada table Chi-square dengan df = g − 2. Jika 𝜒ℎ𝑖𝑡 < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka keputusannya
adalah terima H0 yang artinya model sesuai dan dapat digunakan untuk peramalan dan
dilanjutkan uji selanjutnya.
Uji selanjutnya yang dilakukan adalah pengujian parameter regresi, apakah berpengaruh
signifikan atau tidak. Pengujian dapat dilakukan secara simultan atau secara single.
Pengujian secara simultan (serentak seluruh parameter) dilakukan dengan hipotesis
sebagai berikut
H0 : 𝛽1 = 𝛽2 = ⋯ = 𝛽𝑖 = 0⁡(Model tidak berguna)
H1 : minimal ada satu 𝛽𝑖 ≠ 0⁡(Model berguna)
Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut

𝑙0
𝐺 = −2 log ( ) = −2[log(𝑙0 ) − log(𝑙1 )] = −2(𝐿0 − 𝐿1 )
𝑙1
dimana :
l0: Nilai maksimum fungsi kemungkinan untuk model di bawahhipotesis nol
l1: Nilai maksimum fungsi kemungkinan untuk model di bawah hipotesis alternatif
L0: Nilai maksimum fungsi log kemungkinan untuk model di bawah hipotesis nol
L1: Nilai maksimum fungsi log kemungkinan untuk model di bawah hipotesis alternatif

Nilai G akan mengikuti distribusi Chi-Square dengan derajat bebas p dengan p adalah jumlah
2
parameter regresi dikurangi 1. Terima Ho jika 𝐺 < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yang artinya model tidak berguna
karena tidak ada variabel independent yang berpengaruh signifikan. Sebaliknya, jika tolak Ho
maka model berguna karena ada minimal satu variabel independen yang berpengaruh signifikan.
Untuk itu biasanya dilanjutkan dengan uji single atau parsial parameter regresi untuk mengetahui
variabel mana yang signifikan atau yang tidak sehingga dapat dikeluarkan dari model.
Uji signifikansi parameter secara individual dilakukan dengan menggunakan Wald Test dengan
hipotesis sebagai berikut:

H0 : 𝛽𝑖 = 0, 𝑖 = 1, 2, … , 𝑝
H1 : 𝛽𝑖 ≠ 0
Statistik uji yang digunakan adalah uji Wald
𝑏𝑖
𝑊2 = [ ]
𝑆𝑒(𝑏𝑖 )

Nilai kuadrat W diatas akan mengikuti distribusi Chi-square dengan derajat bebas 1. Tolak Ho
jika nilai statistik kuadrat W lebih dari nilai Chi-square yang kita dapatkan di tabel, yang berarti
variabel tersebut memiliki pengaru yang signifikan.

3. Pembahasan

Kondisi pendidikan di Provinsi Papua Barat


Kondisi pendidikan di Papua Barat berdasarkan Papua Barat Dalam Angka Tahun 2012 adalah
sebagai berikut

Tabel 1.Banyaknya Sekolah, Guru, Murid, danRatio Murid pada Taman Kanak-kanak menurut
Kabupaten/Kota
Number of School, Teachers, Students, and Students Ratio ofKindergarten by
Regency/Municipality
Rasio murid terhadap guru di Papua Barat paling besar adalah Kabupaten Tambrauw.
Semakin tinggi nilai rasionya, diduga akan semakin berkurang pengawasan/perhatian guru
terhadap murid sehingga kualitas pengajaran akan cenderung semakin rendah (BPS). Sementara
itu rasio paling kecil adalah kabupaten Raja Ampat dengan rasio sebesar 6,20 yang artinya
seorang guru memiliki 6 sampai 7 murid sekolah yang perlu diawasi.

Sementara itu jumlah gedung sekolah yang paling banyak adalah di kabupaten Teluk
Bintuni dengan 54 sekolah, namun rasio murid terhadap sekolah paling kecil adalah kabupaten
Raja Ampat dengan rasio 25,33 dimana setiap sekolah memiliki rata-rata 25 sampai 26 murid.
Jumlah sekolah ini yang sedikit akan berdampak pada jauhnya jarak tempuh ke sekolah,
terutama untuk daerah perdesaan, sehingga diperlukan usaha dan waktu untuk mencapai tempat
pendidikan tersebut.
Berdasarkan hasil susenas tahun 2011 yang dilakukan oleh BPS, angka partisipasi
sekolah di Provinsi Papua Barat adalah sebagai berikut

Tabel 2.Angka Partisipasi Murni (APM) menurut Kabupaten/Kota dan Kelompok Umur
School Enrollment Ratio by Regency/Municipality and Age Group
Tahun / Years 2009 – 2011

Sumber : Papua Barat Dalam Angka 2012, BPS Papua Barat


Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan angka
partisipasi sekolah semakin menurun. Pada tahun 2011 di Papua Barat, APM untuk SD adalah
88,28, kemudian turun ketika jenjang SMP menjadi 57,66, dan ketika jenjang SMA hanya 47,88.
Hal ini menunjukkan adanya putus sekolah yang menyebabkan tidak tuntasnya wajib belajar 12
tahun.
Sementara itu, tren dari 2009 sampai 2011 menunjukkan adanya peningkatan angka
partisipasi sekolah setiap jenjang pendidikan, kecuali pada jenjang SD yaitu pada tahun 2011
mengalami penurunan dari 91,91 menjadi 88,28. Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang
serius agar partisipasi sekolah dapat meningkat lagi, dengan kata lain penduduk yang bersekolah
lebih banyak lagi sehingga pendidikan dapat menjangkau semua penduduk.

Tabel 3.Angka Putus Sekolah (APTS) menurut Kabupaten/Kota umur 16-18


School Enrollment Ratio by Regency/Municipality age 16-18

Sumber : Papua Barat Dalam Angka 2012, BPS Papua Barat

Angka putus sekolah di Papua Barat pada umur 16-18 tahun cukup kecil, namun di
beberapa kabupaten masih cukup besar, seperti di kabupaten Teluk Bintuni dimana angka putus
sekolah mecapai 9,72 % . Sementara itu antara laki-laki dan perempuan, persentase yang putus
sekolah lebih banyak penduduk perempuan yaitu 3,23 %, sementara angka putus sekolah untuk
laki-laki adalah 2,63 %. Hal ini mungkin terkait faktor lain misalnya budaya dimana perempuan
biasanya lebih banyak menikah muda dibanding laki-laki. Data berikut adalah hasil susenas
2011, dari 8821 sampel penduduk yang berusia 18 tahun ke atas, ada sebanyak 745 yang
menikah dibawah usia 18 tahun dan seluruhnya adalah perempuan.

Tabel 4. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin yang menikah dan tidak menikah dibawah
18 tahun 2011

kawinpertama
Tidak kawin dibawah 18 kawin
tahun dibawah 18 tahun Total
JK Laki-laki 4501 0 4501
Perempuan 3575 745 4320
Total 8076 745 8821
Sumber : Susenas 2011 Provinsi Papua Barat

Indikator lain yang dihasilkan susenas yang dapat memotret keadaan pendidikan di Papua Barat
adalah rata-rata lama sekolah.

Tabel 5. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin yang menikah dan tidak menikah dibawah 18
tahun 2011
Secara umum rata-rata lama sekolah di Papua Barat adalah 8,26 tahun. Sementara itu
pemerintah sejak tahun 1994 mencanangkan program pendidikan dasar 9 tahun, dan hingga
tahun 2011 program itu belum terlaksana. Berdasarkan jenis kelamin, perempuan memiliki rata-
rata lama sekolah yang lebih rendah, yaitu hanya 7,78 tahun sementara laki-laki 8,74 tahun.
Dengan rata-rata lama sekolah dibawah 9 tahun, dapat dikatakan banyak penduduk yang tidak
menyelesaikan pendidikan hingga SMP, sementara pada tahun 2013 pemerintah memiliki
program baru yaitu memperpanjang wajib belajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi pihak terkait dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya
manusia di Provinsi Papua Barat melalui pendidikan.

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaktuntasan belajar

Dari beberapa variabel yang diduga mempengaruhi ketidaktuntasan belajar 12 tahun


pada penduduk usia 18 tahun ke atas provinsi Papua Barat berdasarkan hasil susenas tahun 2011
Provinsi Papua Barat, selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan regresi logistik.
Akhirnya didapat model yang signifikan adalah yang mengandung variabel independen faktor
geografi yaitu perkotaan dan perdesaan, jenis kelamin, dan faktor ekonomi serta jenis kelamin
kepala rumah tangga.
Uji yang pertama kali dilakukan adalah pengujian model dengan uji Hosmer dan lemeshow.
Pengujian dilakukan dengan SPSS sehingga di dapatkan output sebagai berikut
:
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 11.411 6 .076

Signifikansi menunjukkan angka 0,076. Dengan penelitian yang menggunakan α


sebesar 5% maka model tersebut dapat diterima. Artinya, model yang kita bangun dapat
meramalkan dengan baik.
Dari output SPSS model summary, kita dapat melihat koefisien determinasi Negelkerke
R-Square yaitu sebesar 13,4 %. Artinya, variabel-variabel yang ada di model regresi yang kita
bangun mampu menjelaskan variasi dari peluang ketidaktuntasan belajar 12 tahun adalah 13,4
%, sementara sisanya adalah variabel selain faktor geografi, gender, ekonomi dan jenis kelamin
kepala rumah tangga.

Model Summary
-2 Log Cox & Snell R Nagelkerke R
Step likelihood Square Square
a
1 9977.359 .099 .134
a. Estimation terminated at iteration number 4 because
parameter estimates changed by less than .001.

Langkah selanjutnya adalah menguji secara overall atau serentak seluruh parameter
regresi yang kita gunakan dalam model regresi. Dengan menggunakan SPSS kita dapatkan
seperti berikut ini.

Omnibus Tests of Model Coefficients


Chi-square df Sig.
Step 1 Step 841.636 4 .000
Block 841.636 4 .000
Model 841.636 4 .000

Dari tabel uji omnibus diatas dapat kita lihat bahwa seluruh signifikansinya adalah 0
sehingga dapat kita simpulkan Tolak Ho atau dengan kata lain variabel penelitian yang kita
gunakan secara signifikan mempengaruhi variabel dependen. Dalam penelitian ini artinya adalah
variabel geografi, jenis kelamin, ekonomi, dan jenis kelamin kepala rumah tangga memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap ketidaktuntasan nelajar 12 tahun pada penduduk usia 18
tahun keatas di Provinsi Papua Barat.
Pengujian omnibus diatas adalah untuk melihat apakah seluruh variabel secara bersama-
sama mempengaruhi ketidaktuntasan belajar 12 tahun, untuk menguji apakah masing-masing
variabel geografi, jenis kelamin, ekonomi dan jenis kelamin kepala rumah tangga memiliki
pengaruh yang signifikan dapat kita gunakan uji wald. Hasil pengujian dengan menggunakan
software SPSS didapatkan hasil pengujian sebagai berikut.

Variables in the Equation


B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
a
Step 1 B1R5 .955 .054 316.639 1 .000 2.600
JK .420 .049 73.922 1 .000 1.522
miskin 1.009 .065 239.259 1 .000 2.743
JKKRT -.266 .086 9.676 1 .002 .766
Constant -.632 .051 155.678 1 .000 .531
a. Variable(s) entered on step 1: B1R5, JK, miskin, JKKRT.

Dari hasil pengujian tersebut dapat dilihat bahwa nilai signifikansi seluruh variabel
independent adalah 0 atau lebih kecil dari taraf signifikan yang kita tentukan yaitu 0,05 sehingga
keputusannya adalah tolak Ho. Kesimpulan yang kita dapatkan adalah faktor geografi yaitu
perbedaan desa dan kota memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketidaktuntasan belajar 12
tahun, dimana penduduk yang tinggal di perdesaan 2,6 kali peluangnya tidak menamatkan
pendidikan hingga SMA dibanding penduduk yang tinggal perkotaaan. Hal ini kemungkinan
terjadi karena fasilitas pendidikan yang kurang memadai di pedesaan, misalnya sekolah yang
jauh sehingga penduduk enggan untuk melanjutkan sekolah hingga tamat SMA.
Jenis kelamin juga signifikan mempengaruhi ketidaktuntasan belajar 12 tahun. Penduduk
perempuan 1,5 kali lebih besar peluangnya tidak tuntas belajar 12 tahun dibandngkan laki-laki.
Selanjutnya faktor kemiskinan juga signifikan mempengaruhi penduduk Papua Barat untuk
menamatkan pendidikan hingga SMA. Penduduk yang berasal dari rumah tangga miskin
memiliki peluang 2,743 kali lebih besar daripada penduduk yang berasal dari rumah tangga tidak
miskin. Jenis kelamin kepala rumah juga mempengaruhi ketidaktuntasan belajar hingga tuntas 12
tahun.

4. Kesimpulan
a) Secara umum pendidikan di Papua Barat memerlukan perhatian yang lebih, dapat dilihat
dari angka partisipasi murni pada tahun 2011 yang hanya mencapai angka 47,88 pada
tingkat SMA. Artinya penduduk usia SMA yang bersekolah di SMA hanya 47,88 %,
sementara lebih dari setengahnya tidak melanjutkan pendidikannya di SMA. Rata-rata lama
sekolah penduduk Papua Barat juga masih rendah, dan secara umum dibawah 9 tahun.
Sementara pada tahun 2013 pemerintah mulai mencanangkan program wajib belajar 12
tahun.
b) Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaktuntasan belajar 12 tahun di Papua Barat pada
penduduk usia 18 tahun ke atas berdasarkan susenas tahun 2011 provinsi Papua Barat
adalah faktor geografi, jenis kelamin, ekonomi rumah tangga, dan jenis kelamin kepala
rumah tangga, dimana faktor ekonomi merupakan penyebab yang paling besar.

5. Saran
a) Berdasarkan hasil pengujian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaktuntasan
belajar 12 tahun yang telah dilakukan, maka perlu program pendidikan yang dapat
membantu masyarakat miskin untuk bersekolah hingga menamatkan SMA, karena faktor
yang paling berpengaruh adalah faktor ekonomi. Program tersebut bisa berupa beasiswa
kepada penduduk miskin, bantuan fasilitas pendidikan seperti seragam, buku, alat tulis dan
lainnya.
b) Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan terutama di pedesaan, tidak hanya
membangun gedung baru namun juga tenaga pengajar yang kompeten. Hal ini
dimaksudkan agar tercapai pemerataan sehingga penduduk di pedesaan memiliki peluang
yang sama dengan daerah perkotaan untuk menuntaskan belajar hingga minimal tingkat
SMA.
c) Memberikan sosialisasi dan pemahaman bahwa pendidikan itu penting tidak hanya untuk
laki-laki. Perempuan juga harus memiliki peluang yang sama untuk menamatkan
pendidikan hingga bangku SMA, serta memberi pemahaman agar berkurang proporsi
penduduk yang kawin muda, terutama perempuan.
Daftar pustaka

BPS.(2012).Laporan MDGs Provinsi Papua Barat Tahun 2011.Manokwari:Badan Pusat


Statistik Papua Barat
BPS.(2012).Papua Barat Dalam Angka Tahun 2012.Manokwari:Badan Pusat Statistik Papua
Barat

Choiriyah, N.I., dkk. (2009). Karakteristik Siswa Putus Sekolah Tingkat SD dan SMP di
Kawasan Surabaya Utara<http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-9313-
Paper.pdf>
Draper, N.R., Smith, H.(1998).Applied Logistic Regression Third Edition. John Wiley
and Sons, Inc. USA.

Haloho, Oktani et all.(2013).Penerapan Analisis Regresi Logistik Pada Pemakaian Alat


Kontrasepsi Wanita
<http://jurnal.usu.ac.id/index.php/smatematika/article/view/1294>
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/06/25/3/163936/Kemendikbud-Luncurkan-
Wajib-Belajar-12-Tahun diakses pada hari Selasa Tanggal 28 januari 2014 pukul
13:55 WIB
http://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/node/3099 diakses pada hari Rabu Tanggal 28 januari
2014 pukul 13:53 WIB
http://papuabaratprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=49&Itemid=57
diakses pada hari Rabu Tanggal 29 Januari 2014 pukul 09:20 WIB
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/JPG/article/view/1119 diakses pada hari Rabu Tanggal 29
Januari 2014 pukul 10:42 WIB
Kuther, Michael H., dkk. (2005). Applied Linear Statistical Models: Fifth Edition. New York:
McGraw-Hill/Irwin.
UNICEF.(2012).Indonesia Laporan Tahunan.Jakarta:UNICEF
Yusrida,Weni.(2013). Studi Tentang Ketuntasan Wajib Belajar Sembilan Tahun Di Kecamatan
Kutapanjang Kabupaten Gayo
Lues<http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/viewFile/869/844>

Anda mungkin juga menyukai