Anda di halaman 1dari 10

Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 24 Tahun

2008 Tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan Di Tingkat Desa
Ditulis pada 14 Apr 2018
Oleh: Ahmad Rofik, SS, M.Kesos dan Al-Amin (Tenaga Ahli P3MD Kab Magelang)

1. Subjek Pengaturan
Pasal 115 huruf (b) dan (e) UU Desa memberikan mandat kepada Pemerintah Kabupaten dalam
kerangka pembinaan dan pengawasan, antara lain berupa: (a) Memberikan pedoman penyusunan
Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa; (b) Melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan
Desa. Perihal pedoman penyusunan Peraturan Desa ini kemudian ditegaskan pada Peraturan
Pemerintah No. 43/2014 (pasal 89) yang kemudian direvisi oleh PP No. 47/2015 pada pasal yang
sama; bahwa pedoman teknis mengenai peraturan di Desa diatur dengan peraturan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri. Selanjutnya, walaupun
Permendagri No. 111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan Di Desa, telah terbit sebelum PP No.
47/2015; pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan teknis lebih lanjut mengenai tata
cara penyusunan peraturan di desa diatur dalam Peraturan Bupati/Walikota.
Keberadaan Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 24 Tahun 2008 Tentang Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di Tingkat Desa menjabarkan Mandat UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sudah kehilangan konteks. UU Pemerintah daerah sendiri
pada saat ini sudah dicabut, dan dikembangkan menjadi tiga yaitu: UU Tentang Desa, UU tentang
Pemerintah Daerah dan UU Pemilihan Kepala Daerah. Dengan demikian keberadaan Perda tersebut
perlu ditinjau ulang. Mengikuti logika pengaturan tentang tata cara penyusunan peraturan di
desa sebagaimana diuraikan di atas maka perihal tersebut lebih relevan untuk diatur melalui Peraturan
Bupati.
2. Aspek Substansi Pengaturan
2.1. Urgensi Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Di Desa
Pasal 5 Permendagri No. 111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan Di Desa menyebutkan bahwa
“Lembaga kemasyarakatan, lembaga adat dan lembaga desa lainnya di desa dapat memberikan
masukan kepada Pemerintah Desa dan atau BPD untuk rencana penyusunan rancangan Peraturan
Desa”. 
Pasal ini memberikan pintu bagi partisipasi masyarakat dalam penyusunan regulasi tingkat
desa.

Hal tersebut diperkuat dengan pasal-pasal lain, titik kritisnya bahwa rancangan peraturan tidak cukup
hanya “disosialisasikan” namun bahkan “dikonsultasikan”; point tersebut ditemukan pada regulasi
terkini. Aspek penting dari point ini adalah jaminan kepastian bahwa rancangan regulasi desa tersebut
sampai dan terjangkau oleh masyarakat yang akan terkena dampak dan kelompok masyarakat terutama
masyarakat miskin yang selama ini tidak memiliki akses pada pengambilan kebijakan. Secara
berjenjang perihal partisipasi masyarakat tersebut dikemukakan oleh regulasi sebagai berikut:

 Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 24 Tahun 2008, Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3):
 Rancangan Peraturan Desa terlebih dahulu harus disosialisasikan untuk mendapatkan
tanggapan dari masyarakat.
 Rancangan Peraturan Desa yang telah mendapatkan tanggapan masyarakat dibahas secara
bersama oleh Pemerintah Desa dan BPD.
 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 69 ayat (9) dan ayat (10)
 (9) Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa.
 (10) Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa.
 Peraturan-pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, pasal 83, ayat (3)
 (3) Rancangan peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
dikonsultasikan kepada masyarakat Desa untuk mendapatkan masukan.
 Permendagri No. 111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan Di Desa, pasal 6, ayat (2), ayat
(3), ayat (4), ayat (5)
 (2) Rancangan Peraturan Desa yang telah disusun, wajib dikonsultasikankepada masyarakat
desa dan dapat dikonsultasikan kepada camat untuk mendapatkan masukan.
 (3) Rancangan Peraturan Desa yang dikonsultasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diutamakan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat yang terkait langsung dengan
substansi materi pengaturan.
 (4) Masukan dari masyarakat desa dan camat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan
Pemerintah Desa untuk tindaklanjut proses penyusunan rancangan Peraturan Desa.
 (5) Rancangan Peraturan Desa yang telah dikonsultasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan Kepala Desa kepada BPD untuk dibahas dan disepakati bersama.
Pelaksanaan UU Desa terkendala Perilaku Elit Desa. Refleksi 3 tahun pelaksanaan UU Desa baik yang
dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri, LSM IRE, Kelompok Kerja Masyarakat Sipil Desa
Membangun Indonesia (Kementerian Desa PDTT) menyimpulkan bahwa kelemahan implementasi
UU Desa adalah belum melindungi warga masyarakat dari perilaku buruk elit desa (lihat lampiran
1). Fakta-fakta lapangan, dari diskusi dengan pendamping desa, menunjukkan bahwa belum semua
desa melibatkan masyarakat dalam pembahasan Rencana Pemerintahan Desa (RKP) Desa, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa); bahkan terdapat perilaku elit desa yang sengaja tidak
memberitahukan (nilapke) keberadaan pendamping dan masyarakat dalam aktivitas pengambilan
kebijakan desa (wawancara pendamping desa, Nov-Desember 2017). Kondisi ini semakin hari
semakin membaik namun juga masih menyisakan desa yang belum partisipatif terhadap usulan dan
aspirasi masyarakat.
2.2. Keterbukaan Desa Atas Informasi Publik yang Dikelola
Kunci pertama dari partisipasi masyarakat adalah transparansi terhadap informasi. Transparansi ini
terutama berkaitan dengan hasil-hasil kebijakan yang diproduksi. Keterbukaan merupakan salah satu
aspek penting penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Mandat Transparansi ini dapat ditemukan pada
UU Desa bagian penjelasan pasal 24. Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan tetap memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pemberian informasi kepada warga juga dimandatkan UU Desa antara lain:

 Pasal 26 ayat (4) huruf (p); Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa berkewajiban: … (p) memberikan informasi kepada masyarakat Desa;
 Pasal 27 huruf (d); Dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib: … (d) memberikan dan/atau menyebarkan
informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir
tahun anggaran.
 Pasal 68 ayat 1 huruf (a); Masyarakat Desa berhak: a. meminta dan mendapatkan informasi dari
Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;
 Pasal 82 ayat 4; Pemerintah Desa wajib menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum
dan melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun sekali;
 Pasal 68 ayat (5) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh
Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan;
Mandat transparansi desa kembali ditegaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa pasal ayat (4) dan
(5), sebagai berikut:

 (4) Peraturan Desa yang telah diundangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
kepada bupati/Walikota sebagai bahan pembinaan dan pengawasan paling lambat 7 (tujuh) Hari
setelah diundangkan.
 (5) Peraturan Desa wajib disebarluaskan oleh Pemerintah Desa.
Kondisi keterbukaan informasi desa atas produk-produk kebijakan dan dokumen pembangunan pada
saat ini masih terhambat pada belum adanya standar layanan informasi untuk desa.[1] Dampaknya
desa akan selalu kebingungan mana kala ada permintaan informasi atas produk produk kebijakan desa,
terutama jika permintaannya adalah berasalah dari luar desa. Walaupun demikian terhadap permintaan
informasi yang berasal dari dalam desa pun kadang tidak diberikan. Dokumen tentang Rencana
Anggaran Belanja (RAB) Kegiatan Pembangunan yang semestinya ditransparansikan, namun masih
ada desa yang tidak memberikan bahkan kepada pendamping desa. Berikut ringkasan survei oleh
Tenaga Ahli Pendamping Desa P3MD Kab. Magelang (Desember, 2017) terhadap kondisi keterbukaan
informasi desa atas produk-produk regulasi yang dihasilkan.

Survey 1
Survey 2

Survey 3

Mencermati hal di atas maka pengaturan tentang Pembentukan Peraturan di Desa penting untuk
menegaskan aspek transparansi baik pada saat perencanaan maupun setelah kebijakan desa tersebut
ditetapkan.

2.3. Peraturan Bersama Kepala Desa (PERMAKADES)


Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 24 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan Di Tingkat Desa belum memuat tentang Permakades. Hal ini tampak
pada pasal 3 Perda Nomor 24 Tahun 2008; Jenis peraturan perundangan-undangan di tingkat desa
meliputi : (a) Peraturan Desa;
(b) Peraturan Kepala Desa; dan (c) Keputusan Kepala Desa. Sementara
UU Desa memandatkan jenis peraturan perundangan-undangan tingkat antar desa yang disebut
Peraturan Bersama Kepala Desa, seperti:

 Pasal 69 ayat (1):


 (1) Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan
Peraturan Kepala Desa.
 Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2):
 (1) Peraturan bersama Kepala Desa merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa
dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melakukan kerja sama antar-Desa. 
 .
 (2) Peraturan bersama Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perpaduan
kepentingan Desa masing-masing dalam kerja sama antar-Desa.
 Pasal 92 ayat (2) dan ayat (3):
 (2) Kerja sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa melalui
kesepakatan musyawarah antar-Desa.
 (3) Kerja sama antar-Desa dilaksanakan oleh badan kerja sama antar-Desa yang dibentuk
melalui Peraturan Bersama Kepala Desa.

Jenis peraturan di desa yang mengikat kerja sama dua desa atau lebih ini juga diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 43/2014 pasal 88 dan pasal 143.

 Pasal 88 ayat (1), ayat (2), ayat (3)


 (1) Peraturan bersama kepala Desa merupakan peraturan kepala Desa dalam rangka kerja sama
antar-Desa.
 (2) Peraturan bersama kepala Desa ditandatangani oleh kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih
yang melakukan kerja sama antar-Desa.
 (3) Peraturan bersama kepala Desa disebarluaskan kepada masyarakat Desa masing-masing.
 Pasal 143 ayat (1), ayat (2),
 (1) Kerja sama Desa dilakukan antar-Desa dan/atau dengan pihak ketiga.
 (2) Pelaksanaan kerja sama antar-Desa diatur dengan peraturan bersama kepala Desa.
Pengaturan lebih detail tentang Permakades termuat dalam Permendagri No. 111/2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan Di Desa, sebagai berikut:

 Pasal 1 huruf (7): Peraturan Bersama Kepala Desa adalah Peraturan yang ditetapkan oleh dua
atau lebih Kepala Desa dan bersifat mengatur.
 Pasal 2: Jenis Peraturan di desa meliputi:
 Peraturan Desa;
b. Peraturan Bersama Kepala
Desa; dan c. Peraturan Kepala Desa.
 Pasal 4 ayat (2):
 Peraturan bersama Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b berisi materi kerja
sama desa
 Pasal 21 ayat (1), dan ayat (2)
 (1) Perencanaan penyusunan rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa ditetapkan bersama
oleh dua Kepala Desa atau lebih dalam rangka kerja sama antar-Desa.
 (2) Perencanaan penyusunan rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah mendapatkan rekomendasi dari musyawarah desa.
 Pasal 22: 
Penyusunan rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa dilakukan oleh Kepala Desa
pemrakarsa.
 Pasal 23 ayat (1), dan ayat (2)
 (1) Rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa yang telah disusun, wajib dikonsultasikan
kepada masyarakat desa masing-masing dan dapat dikonsultasikan kepada camat masing-
masing untuk mendapatkan masukan.
 (2) Masukan dari masyarakat desa dan camat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
Kepala Desa untuk tindaklanjut proses penyusunan rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa.
 
Pasal 24: 
Pembahasan rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa dilakukan oleh 2 (dua)
Kepala Desa atau lebih.
 Pasal 25 ayat (1)
 (1) Kepala Desa yang melakukan kerja sama antar-Desa menetapkan Rancangan Peraturan Desa
dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
disepakati.
2.4. Organisasi Pemerintah Desa
Organisasi Pemerintah Desa termasuk objek peraturan di desa yang perlu mendapatkan evaluasi dari
Bupati. Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 24 Tahun 2008, terutama Pasal 11 tidak
memasukkan Organisasi Pemerintah Desa sebagai objek peraturan desa yang harus dievaluasi oleh
Bupati, sebagai berikut:

Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, Pungutan, dan
Penataan Ruang yang telah disetujui bersama dengan BPD sebelum ditetapkan oleh Kepala Desa
paling lama 3 (tiga) hari disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk
untuk dievaluasi.
Perihal Organisasi Pemerintah Desa sebagaimana dinyatakan UU Desa Pasal 69 ayat (4) menjadi
objek yang harus dievaluasi oleh Bupati:
Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang,
dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum
ditetapkan menjadi Peraturan Desa.
Aspek organisasi dan kemudian diikuti oleh pengangkatan perangkat desa baik yang masuk di SOTK
maupun yang staf yang diangkat sendiri oleh desa (seperti Office boy, petugas komputer dll.) erat
kaitannya dengan Kebijakan Penganggaran terutama Alokasi Dana Desa (ADD). Pada tahun 2018
sebagai dampak dari naiknya tunjangan kepala desa dan perangkat, sementara tidak diikuti oleh
Peningkatan jumlah ADD berakibat pada tidak terpenuhinya Ketentuan tentang Penghasilan
Pemerintah Desa (Pasal 81 Peraturan Pemerintah No. 43/2014). Hal ini karena akumulasi penghasilan
tetap Pemerintahan Desa dibebani dengan penghasilan tetap staf desa baik berasal perangkat yang di
staf-kan, maupun staf yang diangkat secara mandiri oleh desa. Banyak desa yang mengeluhkan
tunjangan tidak bisa dipenuhi menurut ketentuan secara optimal. Kepala desa dan perangkat merasa
dirugikan karena dihadapkan pada 2 pilihan kebijakan yang merugikan yaitu: (a) memaksimalkan
tunjangan namun tidak genap 12 bulan; atau (b) menurunkan pemenuhan pagu maksimal tunjangan
agar bisa mencukupi 12 bulan. Dengan Demikian Keputusan Kepala Desa yang berdampak pada
belanja SILTAP dan tunjangan seperti staf di luar SOTK, juga penting mendapatkan perhatian.

Pengaturan organisasi Pemerintahan Desa juga dinilai merugikan desa yang memiliki wilayah luas;
karena hanya bisa mengangkat perangkat sesuai ketentuan. Hal ini berkonsekuensi persentase 30%
APBDesa untuk: SILTAP, Operasional Pemerintahan dan Tunjangan BPD, serta insentif RT /RW,
tidak bisa terserap lebih banyak. Sementara desa tersebut menanggung beban kerja yang lebih tinggi
karena wilayah dan warga yang lebih banyak namun jumlah perangkat yang dibatasi.
2.5. Pengundangan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa
UU Desa memandatkan pengundangan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa melalui Lembar
Desa dan Berita Desa. Sementara Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 24 Tahun 2008
memerintahkan pengundangannya melalui Berita Daerah, sebagaimana termaktub pada Pasal 15 ayat
(1) dan ayat (2), sebagai berikut:

(1) Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa dimuat dalam Berita Daerah.

(2) Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa sejak dimuat dalam Berita Daerah, dinyatakan mulai
berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan
Desa tersebut.

Hal tersebut bertentangan dengan sejumlah regulasi terbaru, yaitu:

 UU Desa Pasal 69 ayat (11):


 (11) Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam Lembaran Desa dan Berita
Desa oleh sekretaris Desa.
 Peraturan Pemerintah no. 43/2014 pasal 84 ayat (3):
 (3) Peraturan Desa dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
sejak diundangkan dalam lembaran Desa dan berita Desa oleh sekretaris Desa.
 Permendagri No. 111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan Di Desa pasal 1 angka 11:
 Pengundangan adalah penempatan Peraturan di desa dalam Lembaran Desa atau Berita Desa.
 Permendagri No. 111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan Di Desa pasal 11 ayat (1) dan
ayat (2):
 (1) Rancangan Peraturan Desa yang telah dibubuhi tanda tangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Sekretaris Desa untuk diundangkan.
 (2) Dalam hal Kepala Desa tidak menandatangani Rancangan Peraturan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Rancangan Peraturan Desa tersebut wajib diundangkan dalam
Lembaran Desa dan sah menjadi Peraturan Desa.
 Permendagri No. 111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan Di Desa pasal 12 ayat (1) dan
ayat (2):
 (1) Sekretaris Desa mengundangkan peraturan desa dalam lembaran desa.
 (2) Peraturan Desa dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
sejak diundangkan.
2.6. Hak dan Kewajiban Desa Menyusun Peraturan Desa Dalam Hal Kabupaten tidak
Menerbitkan Regulasi
Seiring dengan pelaksanaan UU Desa dimana desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus desanya terdapat keraguan desa mana kala tidak ada regulasi tingkat daerah. Hal ini perlu
mendapatkan penegasan. Terdapat dua jenis objek pengaturan berkaitan dengan hal ini. Pertama,
terhadap aturan yang UU Desa memandatkan kepada kabupaten untuk menerbitkan aturan namun
sampai kurun waktu yang ditentukan aturan tersebut tidak segera diterbitkan. Apakah desa bisa
menerbitkan Peraturan Desa untuk melindungi penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan
urusan bersama desa, seperti: Perbup Kewenangan Desa. Kedua, terhadap urusan yang kabupaten
tidak diberikan mandat oleh UU Desa dan turunannya untuk menyusun regulasi, namun desa
membutuhkan aturan tersebut untuk melindungi penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan
urusan bersama desa, misalnya Pengembangan Desa Adaptif Perubahan Iklim, Desa Peduli
Lingkungan, dll.
Permendagri No. 111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan Di Desa pasal 4 ayat (1) menyatakan:

 Peraturan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a berisi materi pelaksanaan
kewenangan desa dan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Pasal ini mengandung interpretasi bahwa desa dapat menyusun Kebijakan Desa selama menyangkut
materi pelaksanaan kewenangan desa dan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi. Hanya saja perlu mendapatkan perhatian pada kebijakan yang secara spesifik
diperintahkan UU Desa agar pemerintah kabupaten terlebih dahulu menyusunnya.

2.7. Jenis Peraturan Lain yang Diterbitkan oleh Lembaga Desa dan atau BUM Desa
BUM Desa memiliki sejumlah kewenangan, antara lain: mendirikan Perusahaan Terbatas, mengangkat
karyawan, pengembangkan usaha (termasuk di dalamnya investasi), serta kerja sama dengan BUM
Desa lain dan pihak ketiga. Hal tersebut tertuang dalam Permendesa Nomor 4/2015 tentang Pendirian,
Pengurusan Dan Pengelolaan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.

Pendirian unit usaha ber-badan hukum, seperti Perseroan Terbatas, merupakan kebijakan yang
mestinya dituangkan dalam regulasi tingkat Desa. Kewenangan ini dijabarkan pada Permendesa
Nomor 4/2015 Pasal 7 ayat (1) dan (2):

 (1) BUM Desa dapat terdiri dari unit-unit usaha yang berbadan hukum.
 (2) Unit usaha yang berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
lembaga bisnis yang kepemilikan sahamnya berasal dari 
BUM Desa dan masyarakat.
Kewenangan ini lebih tegas lagi dituangkan dalam Permendesa Nomor 4/2015 Pasal 8:

BUM Desa dapat membentuk unit usaha meliputi:

1. Perseroan Terbatas sebagai persekutuan modal, dibentuk berdasarkan perjanjian, dan melakukan
kegiatan usaha dengan modal yang sebagian besar dimiliki oleh BUM Desa, sesuai dengan
peraturan perundang- undangan tentang Perseroan Terbatas; dan
2. Lembaga Keuangan Mikro dengan andil BUM Desa sebesar 60 (enam puluh) persen, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan tentang lembaga keuangan mikro
Kewenangan BUM Desa untuk mengangkat karyawan juga dituangkan dengan Regulasi tingkat Desa
oleh BUM Desa. Dalam kaitannya dengan karyawan maka kontrak kerja juga mengandung
konsekuensi hukum. Kewanangan tersebut tertuang dalam Permendesa Nomor 4/2015 Pasal 13 ayat
(1) dan ayat (2) sebagai berikut:

 (1) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Pelaksana
Operasional dapat menunjuk Anggota Pengurus sesuai dengan kapasitas bidang usaha,
khususnya dalam mengurus pencatatan dan administrasi usaha dan fungsi operasional bidang
usaha.
 (2) Pelaksana Operasional dapat dibantu karyawan sesuai dengan kebutuhan dan harus disertai
dengan uraian tugas berkenaan dengan tanggung jawab, pembagian peran dan aspek pembagian
kerja lainnya.
Kewenangan tersebut berkaitan dengan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Permendesa Nomor 4/2015,
sebagai berikut:

 (1) Pelaksana Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf mempunyai tugas
mengurus dan mengelola BUM Desa sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga.
 (2) Pelaksana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkewajiban:
melaksanakan dan mengembangkan BUM Desa agar menjadi lembaga yang melayani kebutuhan
ekonomi dan/atau pelayanan umum 
masyarakat Desa; menggali dan memanfaatkan potensi usaha
ekonomi Desa untuk meningkatkan Pendapatan Asli Desa; dan 
melakukan kerja sama dengan
lembaga-lembaga perekonomian Desa 
lainnya.

Dalam kaitannya dengan pengembangan usaha, sangat dimungkinkan BUM Desa juga melakukan:
pembelian aset seperti tanah untuk pengembangan usaha dengan memanfaatkan dana desa dan
prosedur pembelian layaknya badan usaha. Sementara pada lokus Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa pembelian tanah hanya dilakukan dengan menempatkan kegiatan pembelian tanah pada bidang
Penyelenggaraan Pemerintahan dan mengikuti aturan pemerintah kabupaten.

BUM Desa juga berwenang membangun kerja sama dengan BUM Desa lain dan pihak ketiga seperti
tertuang Permendesa Nomor 4/2015 Pasal 28:

 (1) BUM Desa dapat melakukan kerja sama antar 2 (dua) BUM Desa atau lebih.
 (2) Kerja sama antar 2 (dua) BUM Desa atau lebih dapat dilakukan dalam satu kecamatan atau
antar kecamatan dalam satu kabupaten/kota.
 (3) Kerja sama antar 2 (dua) BUM Desa atau lebih harus mendapat persetujuan masing-masing
Pemerintah Desa.
Sejumlah Kewenangan BUM Desa tersebut tertuang dalam kebijakan tingkat desa dan sekaligus
menjadi Kewenangan operasional BUM Desa, bukan dalam kewenangan Pemerintah Desa secara
langsung; walaupun untuk yang berhubungan dengan pihak luar desa harus berkonsultasi kepada
pemerintahan desa.

Oleh karena itu perlu diantisipasi atas konsekuensi yang dihasilkan dari Kewenangan dan kebijakan
yang dikeluarkan oleh BUM Desa dan mungkin juga Lembaga Desa lainnya.

3. Kesimpulan
a. Tata cara penyusunan peraturan di desa lebih relevan untuk diatur melalui Peraturan Bupati.
b. Pokok pokok pengaturan yang relevan antara lain, meliputi:

 Urgensi Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Di Desa dalam rangka


menguatkan/menyeimbangkan peran komponen masyarakat/warga dan membatasi perilaku elit
yang menghambat pelaksanaan UU Desa
 Keterbukaan Desa Atas Informasi Publik yang Dikelola sebagai langkah membangun
transparansi desa menuju partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan tata
kelola desa
 Organisasi Pemerintah Desa sebagai objek yang harus direview oleh Bupati karena berdampak
strategis.
 Pengundangan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa agar menyesuaiakan dengan
kebijakan terkini.
 Hak dan Kewajiban Desa Menyusun Peraturan Desa Dalam Hal Kabupaten tidak Menerbitkan
Regulasi agar terdapat kepastian hukum bagi desa yang ingin berinisiatif memajukan desanya.
 Jenis Peraturan Lain yang Diterbitkan oleh Lembaga Desa dan atau BUM Desa yang
berkonsekuensi hukum dan berdampak kepada lain namun belum termasuk dalam pembiacaraan
pada peraturan daerah sebelumnya.
[1] Standard Layanan Informasi adalah istilah yang dikenalkan oleh UU no. 4/2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Sebagian kalangan menyatakan bahwa desa juga bagian dari Badan
Publik yang dimaksud UU KIP karena mendapatkan dana dari APBn, APBD dan menyelenggarakan
Urusan Pemerintahan; sebagian kelompok memberikan penasfsiran bahwa UU KIP berhenti di tingkat
pemerintah daerah Karena UU ini merupakan bagian darti rezim desentralisasi. Desa patuh pada rezim
UU Desa, sehingga transparansi desa tidak bermodel pada desain transparansi ala UU KIP.

Anda mungkin juga menyukai