Anda di halaman 1dari 41

PROSES MANAJEMEN RISIKO BENCANA PARIWISATA

Oleh:
D-IV Keperawatan Tingkat III A Semester VI
Annisa Pratiwi (P07120216031)
Ketut Yuni Handayani (P07120216032)
Ida Ayu Putu Gayatri P (P07120216033)
Made Ayu Sista Utami (P07120216035)
Ni Putu Ayu Krisnayanti (P07120216036)
Putu Ayu Widyaningsih (P07120216037)
Ribka Oktafia Katiningrum (P07120216038)
I.A. Putu Mirah Kencanawati (P07120216039)
Gusti Ayu Triana Utari (P07120216040)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Proses
Manajemen Risiko Bencana Pariwisata”. Meskipun banyak tantangan dan
hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tetapi kami berhasil
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
meluruskan penulisan makalah ini, baik dosen maupun teman-teman yang secara
langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi positif dalam proses
pengerjaannya.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, diharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah kami ini
untuk ke depannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi peningkatan proses
belajar mengajar dan menambah pengetahuan kita bersama. Akhir kata kami
mengucapkan terima kasih.

Denpasar, 30 Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................ ii


Daftar Isi................................................................................................................. iii
Bab I Pendahuluan .................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 5
Bab II Pembahasan ................................................. Error! Bookmark not defined.
2.1 Pengertian Manajemen Risiko Bencana . Error! Bookmark not defined.
2.2 Tujuan Manajemen Resiko Bencana Pariwisata... Error! Bookmark not
defined.
2.3 Manfaat Proses Risiko Bencana Pariwisata .......... Error! Bookmark not
defined.
2.4 Proses Manajemen Resiko Bencana Pariwisata ... Error! Bookmark not
defined.
2.5 Proses Siklus Manajemen Risiko Bencana Pariwisata Error! Bookmark
not defined.
Bab III Penutup ..................................................................................................... 39
3.1 Simpulan ................................................................................................ 39
3.2 Saran ...................................................................................................... 39
Daftar Pustaka ........................................................ Error! Bookmark not defined.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini pariwisata menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan karena berkaitan erat dengan kegiatan sosial dan ekonomi yang
dapat dinikmati serta menjadi salah satu cara manusia melakukan sosialisasi.
Pariwisata identik dengan kegiatan memberikan kesenangan dan kenikmatan,
karena kegiatannya bertujuan memberikan beragam aktifitas secara santai dan
menyenangkan tanpa harus menguras tenaga. Pariwisata merupakan industri
perdagangan jasa yang memiliki mekanisme pengaturan yang kompleks karena
mencakup pengaturan pergerakan wisatawan dari Negara asalnya, di daerah
tujuan wisata hingga kembali ke Negara asalnya yang melibatkan berbagai hal
seperti ; transportasi, penginapan, restoran, pemandu wisata, dan lain-lain.
Oleh karena itu, industri pariwisata memegang peranan yang sangat penting
dalam pengembangan pariwisata. Pariwisata merupakan industri yang rentan
terhadap berbagai peristiwa bencana. Ia bisa menjadi “yang terdampak” dari
kemunculan bencana atau memicu kemunculan bencana itu sendiri. Selain
karena pengaruh multi-sektoral yang meliputi bidang penting kehidupan,
industri pariwisata perlu mendapat perhatian atas manajemen risiko bencana
(dan krisis) sebab melibatkan pergerakan dan jalinan yang luas secara
internasional, khususnya terkait manusia sebagai wisatawan, masyarakat lokal,
maupun pengelola destinasi – baik pemerintah atau sektor swasta.
Walaupun pariwisata identik dengan kesenangan, namun kegiatan
ini juga memiliki risiko. Berbagai obyek wisata yang disediakan oleh
pengelola tempat wisata tidak memberikan jaminan keamanan dan
keselamatan pengunjung sepenuhnya. Hal ini memungkinkan adanya
kecelakaan yang menimpa pengunjung wisata yang bisa menyebabkan cacat
fisik hingga meninggal dunia. Penyebab kecelakaan ini dapat terjadi karena
berbagai hal seperti bencana alam, pengelolaan tempat wisata, pengunjung dan
kejahatan pihak ketiga. Keempat ini dapat memiliki hubungan secara langsung
atas kecelakaan yang terjadi bagi pengunjung wisata.
Kecelakaan yang terjadi di tempat wisata menimbulkan kerugian
bersifat materi dan immaterial kepada pengelola dan pengunjung yang
merupakan korban. Pengelola mengalami dua kerugian sekaligus yaitu
mengganti kerugian kepada korban dengan sejumlah uang yang sudah
ditentukan dan kerugian bersifat immaterial yaitu reputasi (kerugian immateriil
bersifat jangka panjang yaitu kelangsungan tempat wisata untuk kembali
memulihkan image positif sehingga pengunjung akan melupakan kejadian
tersebut. Perbedaan karakter wisata akan membedakan potensi risiko antara
satu tempat dengan tempat lain sehingga menuntut pengelola wisata dapat
melakukan estimasi risiko secara mendalam. Estimasi ini akan menghitung
derajat resiko yang terbagai dalam tiga level yaitu tinggi, menengah dan
rendah. (Siahaan, 2007). Level ini dapat juga digunakan untuk menilai derajat
resiko tempat wisata menggunakan pendekatan manajemen resiko.
Manajemen resiko adalah salah satu cara meminimumkan kerugian
yang muncul di tempat wisata. Manajemen resiko menjadi alat untuk
meminimalisir kerugian bagi semua pihak yang terkait khususnya pengelola
sehingga memberikan dukungan pada organisasi dan pengendalian resiko
internal maupun eksternal yang lebih efektif. Saat ini pengelola wisata sudah
menggunakan pendekatan manajemen resiko dalam menyelenggarakan
kegiatan wisata meski skala penggunaannya masih jauh dibandingkan dengan
industri keuangan seperti perbankan dan asuransi.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1. Apa pengertian manajemen resiko bencana.?
1.2.2. Apa saja tujuan dari manajemen resiko bencana pariwisata.?
1.2.3. Apa saja manfaat dari manajemen resiko bencana pariwisata?
1.2.4. Bagaimana proses manajemen risiko bencana pariwisata.?
1.2.5. Bagaimana proses siklus manajemen resiko bencana pariwisata?

1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca
mengetahui, memahami, dan menambah wawasan mengenai Peran
Industri Pariwisata dalam Kesiapsiagaan Bencana.

1.3.2. Tujuan Khusus


a. pengertian manajemen resiko bencana.
b. Untuk mengetahui tujuan dari manajemen resiko bencana
pariwisata.
c. Untuk mengetahui tentang manfaat dari manajemen resiko
bencana.
d. Untuk memahami proses manajemen risiko bencana pariwisata.
e. Untuk mengetahui Proses siklus manajemen resiko bencana
pariwisata
BAB II
PEMBAHASAN

A. MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA


Undang – undang Nomor 24 Tahun 2007 mendefinisikan bencana adalah
“peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengncam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik faktor alam
dan atau faktor non alam maupun manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis”.
Manajemen penanggulangan bencana dapat didefinisikan sebagai segala
upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan
bencana yang dilakukan pada tahapan sebelum, saat, sesudah bencana.
Manajemen penanggulangan bencana merupakan suatu proses yang
dinamis, yang dikembangkan dari fungsi yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan pengawasan. Proses
tersebut juga melibatkan berbagai macam organisasi yang harus
bekerjasama untuk melakukan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
tanggap darurat dan pemulihan akibat bencana.

Gambar 1. Proses penanggulangan bencana

Dalam upaya menerapkan manajemen penanggulangan bencana,


dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahapan sebagai berikut:
1. Tahap pra-bencana yang dilaksanakan ketika sedang tidak terjadi
bencana dan ketika sedang dalam ancaman potensi bencana
2. Tahap tanggap darurat yang dirancang dan dilaksanakan pada saat
sedang terjadi bencana.
3. Tahap pasca bencana yang dalam saat setelah terjadi bencana.

B. PENGERTIAN MANAJEMEN RISIKO BENCANA


Risiko adalah bahaya, akibat atau konsekuensi yang dapat terjadi
akibat sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan
datang. Dalam bidang asuransi, risiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan
ketidakpastian, di mana jika terjadi suatu keadaan yang tidak dikehendaki
dapat menimbulkan suatu kerugian.
Definisi bencana menurut Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkanoleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Manajemen risiko adalah suatu proses mengidentifikasi, mengukur
risiko, serta membentuk strategi untuk mengelolanya melalui sumber daya
yang tersedia.
Menurut Krishna (2002), manajemen bencana merupakan
pengetahuan yang terkait dengan upaya untuk mengurangi risiko, yang
meliputi tindakan persiapan sebelum bencana terjadi, dukungan, dan
membangun kembali masyarakat saat setelah bencana terjadi. Lebih lanjut
Krishna mengungkapkan bahwa lingkaran manajemen bencana (disaster
management cycle) terdiri dari tigakegiatan besar. Pertama adalah sebelum
terjadinya bencana (pre event), kedua yaitu saat bencana dan ketiga adalah
setelah terjadinya bencana (post event).
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang dinyatakan dalam
hidup, status kesehatan,mata pencaharian, aset dan jasa, yang dapat terjadi
pada suatu komunitas tertentu ataumasyarakat dalam suatu kurun waktu
tertentu (UNISDR, 2009). Risiko bencana adalah potensi kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu
yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa
aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat.
Definisi risiko bencana mencerminkan konsep bencana sebagai hasil
dari hadirnya risiko secara terus menerus. Risiko bencana terdiri dari
berbagai jenis potensi kerugian yang sering sulit untuk diukur.Namun
demikian, dengan pengetahuan tentang bahaya, pola populasi, dan
pembangunansosial-ekonomi, risiko bencana dapat dinilai dan dipetakan,
setidaknya dalam arti luas.
Manajemen risiko bencana adalah pengaturan upaya
penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang
mengurangi risiko secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh
pada saat sebelum terjadinya bencana.
Jadi kesimpulan dari manajemen risiko bencana adalah upaya untuk
mengurangi bahaya atau konsekuensi yang dapat terjadi pada penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis dengan cara tindakan persiapan sebelum bencana terjadi,
dukungan, dan membangun kembali masyarakat saat setelah bencana
terjadi.

C. MANAJEMEN BENCANA PADA INDUSTRI PARIWISATA


Definisi bencana menurut Undang –Undang Nomor 24 Tahun 2007
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkanoleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sedangkan menurut Laws
(2005) bencana dalam industri pariwisata adalah “Crisis or disaster in
tourism industry usually refers to an event that leads to a shock resulting in
the sudden emergence of an adverse situation”. Berdasarkan sumbernya,
bencana menurut UU No 24 Tahun 2007 dapat dikelompokkan menjadi tiga
sumber yaitu:
1. Bencana Alam
Adalah bencana yang bersumber dari fenomena alam seperti banjir,
gempa bumi, dan letusan gunung berapi, tsunami dan lain-lain.
2. Bencana Non Alam
Adalah peristiwa yang disebabkan oleh faktor non alam antara lain
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah
penyakit.
3. Bencana Sosial
Adalah bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antar kelompok, antar komunitas masyarakat dan teror.

Rosyidie (2004) lebih lanjut mengungkapkan bahwa bencana dapat


terjadi dimana saja, kapan saja dan pada siapa saja. Frekuensi dan seberapa
kuat atau besar bencana tersebut pun susah untuk diprediksi. Melihat sifat
dari bencana tersebut, maka sering kali terjadi banyak kerugian dan korban
meninggal dunia maupun luka-luka.
Pengertian bencana menurut Undang –Undang Nomor 24 Tahun 2007,
terfokus pada asal dari gangguan tersebut, sedangkan pengertian Rosyidie
(2004) yang terfokus pada sifat dari bencana tersebut.
Berdasarkan definisi bencana menurut para ahli tersebut maka definisi
bencana dalam penelitian ini yaitu gangguan atau ancaman dari keadaan
normal hingga menyebabkan kerugian dari gangguan tersebut yang
bersumber dari alam, non alam dan sosial. Gangguan tersebut tidak dapat
diprediksi kapan, dimana dan kepada siapa terjadinya.
Bencana ini dapat terjadi di belahan dunia manapun dan pada bidang
apapun, termasuk di suatu industri pariwisata, yang mana industri pariwisata
menurut Yoeti (1985) adalah “kumpulan dari macam - macam perusahaan
yang secara bersama menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh
wisatawan pada khususnya dan traveller pada umumnya, selama dalam
perjalanan”. Menurut Spillane (1987) ada lima unsur industri pariwisata
yang sangat penting yaitu:
1. Attraction (daya tarik)
Attraction dapat digolongkan menjadi site attraction (seperti kebun
binatang, dan museum), event attraction(seperti festival, pameran atau
pertunjukkan kesenian daerah).
2. Facilities (fasilitas yang diperlukan).
Selama tinggal di tempat tujuan wisata,wisatawan memerlukan tidur,
makan, minum oleh karena itu diperlukan fasilitas penginapan. Selain
itu diperlukan pula industri penunjang seperti took sourvenir, jasa
laundry, dan jasa pemandu.
3. Infrastructure
Daya tarik dan fasilitas tidak dapat dicapai dengan mudah kalau belum
ada infrastruktur dasar. Pemenuhan atau penciptaan infrastruktur
adalah suatu cara untuk menciptakan suasana cocok bagi
perkembangan pariwisata.
4. Transportations (transportasi)
Dalam pariwisata kemajuan dunia transportasi sangat dibutuhkan
karena sangat menentukan jarak dan waktu dalam suatu perjalanan
wisata. Transportasi baik transportasi darat, laut dan udara merupakan
unsur utama langsung yang merupakan tahap dinamis gejala-gejala
pariwisata
5. Hospitality (keramahtamahan).
Wisatawan yang berada dalam lingkungan yang tidak mereka kenal
memerlukan kepastian jaminan keamanan. Kebutuhan dasar akan
keamanan dan perlindungan harus disediakan dan juga keuletan serta
keramahtamahan tenaga kerja wisata perlu dipertimbangkan supaya
wisatawan merasa aman dan nyaman selama melakukan perjalanan
wisata.
Berdasarkan definisi industri pariwisata tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa industri pariwisata merupakan kumpulan industri yang
menghasilkan barang ataupun jasa yang diperlukan oleh wisatawan dimulai
dari daerah asalnya hingga sampai di destinasi tujuan dan balik lagi ke
daerah asalnya. Adapun industri pariwisata yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah hotel yang merupakan tempat tinggal sementara wisatawan
selama melakukan perjalanan.
Untuk meminimalkan segala dampak yang disebabkan oleh bencana
tersebut, maka industri perhotelan perlu menerapkan sebuah manajemen
bencana, yang mana pengertian dari manajemen bencana yaitu:
Selain dengan menerapkan kegiatan manajemen bencana, untuk
mengurangi kerugian yang mungkin terjadi akibat bencana, diperlukan pula
beberapa upaya peningkatan keamanan sebagai berikut: menurut Pizam
(2010), untuk meningkatkan keamanan, hotel harus menginstal CCTV, fire
sprinklers, pendeteksi asap, dan pintu elektronik.
Sedangkan menurut Henderson, et.al. (2010) untuk meningkatkan
kemanan hotel memerlukan personel keamanan dan pelatihan kebencanaan.
Personel keamanan merupakan orang yang bertanggung jawab untuk
menjaga keamanan hotel, wisatawan, karyawan serta aset perusahaan.
Human Resource Department suatu hotel harus menunjuk dan
mempekerjakan personel keamanan yang professional, dengan pengalaman
yang baik terhadap penanganan suatu bencana. Karyawan secara umum, dan
personel keamanan khususnya, harus mengikuti workshop dan pelatihan
dari pemerintah mengenai penaganan pertama terhadap kecelakaan.
Bagaimanapun, mereka harus mendapatkan pelatihan pemadaman
kebakaran dan cara evakuasi apabila bencana terjadi.
Kegiatan lainnya yang dilakukan adalah dengan memasang rambu -
rambu keselamatan. Menurut Occupational Health and Safety Assessment
Series (OHSAS) (2012) rambu - rambu keselamatan adalah peralatan yang
bermanfaat untuk membantu melindungi kesehatan dan keselamatan
karyawan dan pengunjung yang sedang berada di tempat kerja. Adapun
jenis rambu dapat berupa: rambu dengan simbol, rambu dengan simbol dan
tulisan, dan rambu berupa pesan dalam bentuk tulisan.

D. TUJUAN MANAJEMEN RISIKO BENCANA PARIWISATA


Banyak pihak yang kurang menyadari pentingnya mengelola
bencana dengan baik. Saah satu faktor adalah karena bencana belum pasti
tejadinya dan tidak diketahui kapan akan terjadi. Sebagai akibatnya,
manusia sering kurang peduli, dan tidak melakukan langkah pengamanan
dan pencegahan terhadap berbagai kemungkinan yang dapat terjadi.
Untuk itu diperlukan sistem manajemen bencana yang bertujuan untuk:
1. Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang
tidak diinginkan.
2. Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak
suatu bencana atau kejadian.
3. Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau
organisasai tentang bencana sehingga terlibat dalam proses
penanganan bencana
4. Melindungi anggota masyarakat dari bahaya atau dampak bencana
sehingga korban dan penderitaan yang dialami dapat dikurangi.
5. Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana
6. Menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai
terhadap korban bencana
7. Mencapai pemulihan yang cepat dan efektif.

E. MANFAAT MANAJEMEN RISIKO BENCANA PARIWISATA


Menurut Pamungkas (2010), manejemen resiko/ bencana memiliki empat
manfaat, yang mana diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi dari program pengendali bencana akan dapat memberikan
gambaran mengenai keberhasilan dan kegagalan operasi perusahaan
2. Memberikan sumbangan bagi peningkatan keuntungan perusahaan
3. Ketenangan hati yang dihasilkan oleh manajemen bencana yang baik
akan membantu meningkatkan produktifitas dan kinerja
4. Menunjukkan tanggungjawab sosial perusahaan terhadap karyawan,
pelanggan dan masyarakat luas

F. TIM BENCANA
Tim bencana merupakan orang-orang yang mengkoordinir atau memiliki
tanggung jawab terhadap manajemen bencana. Tim bencana yang biasanya
digunakan di hotel biasanya adalah Emergency Responsible Team dan Fire
Brigade, sedangkan menurut BPBD Kota Denpasar beberapa jenis tim
bencana adalah Publict Save Community (PSC), Barisan Relawan Bencana
(BALANA), dan Search and Rescue (SAR). Adapun jenis - jenis tim
bencana tersebut adalah sebagai berikut:
1. Emergency Responsible Team
Emergency Responsible Team (ERT) didefinisikan oleh
Georgetown University (2014) sebagai berikut, ”The Emergency
Responsible Team (ERT) is responsible team for coordinating the
response to crises affecting the safety and operation of some
disaster. They will be called to assist inthe management of the
emergency situation”. Tim ini merupakan tim khusus yang
menangani masalah bencana, tim ini selain dibentuk oleh
Georgetown University juga dibentuk oleh berbagai organisasi
termasuk hotel.
2. Fire Brigade
Fire Brigade didefinisikan sebagai berikut “Fire Brigade is a private
or temporary organization of individual equipped to fight fires”.
Fire Brigade tersebut merupakan organisasi yang bertugas untuk
menanggulangi segala jenis bencana yang berhubungan dengan
kebakaran. Selain dari pemerintah, tim ini biasanya juga dibentuk
oleh hotel - hotel.
3. Public Save Community (PSC)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Public Save Community
merupakan petugas yang memberikan pelayanan kedaruratan
kepada masyarakat kota, dioperasikan oleh petugas khusus yang
dilengkapi dengan tiga mobil ambulance, dan siaga 24 jam di setiap
pos jaga. Petugas PSC bergerak mengikuti pergerakan mobil
pemadam pada saat terjadi kebakaran dan PSC setiap saat bertugas
mengevakuasi korban kecelakaan lalu lintas dan bencana lainya.
4. Search and Rescue (SAR)
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 43 Tahun
2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan,
Searh and Rescue (SAR) memiliki pengertian yaitu badan yang
berfungsi melaksanakan pembinaan, pengkoordinasian dan
pengendalian potensi Search and Rescue (SAR) dalam kegiatan
SAR terhadap orang dan material yang hilang atau dikhawatirkan
hilang, atau menghadapi bahaya dalam pelayaran dan atau
penerbangan, serta memberikan bantuan SAR dalam
penanggulangan bencana dan musibah lainnya sesuai dengan
peraturan SAR Nasional dan Internasional.
5. Barisan Relawan Bencana (BALANA)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Barisan Relawan Bencana
(BALANA) merupakan barisan relawan bencana yang direkrut dari
pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilingkungan
Pemerintah Kota Denpasar yang ditugaskan ikut serta menangani
bencana.

G. AKTIFITAS PADA SETIAP FASE SIKLUS MANAJEMEN


BENCANA (SMB)
Menurut Warfield, manajemen bencana mempunyai tujuan: (1)
Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana, (2) menjamin
terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana,
dan (3) mencapai pemulihan yang cepat dan efektif. Dengan demikian,
siklus manajemen bencana memberikan gambaran bagaimana rencana
dibuat untuk mengurangi atau mencegah kerugian karena bencana,
bagaimana reaksi dilakukan selama dan segera setelah bencana berlangsung
dan bagaimana langkah-langkah diambil untuk pemulihan setelah bencana
terjadi.
Secara garis besar terdapat empat fase manajemen bencana, yaitu:
1. Fase Mitigasi: upaya memperkecil dampak negative bencana. Contoh:
zonasi dan pengaturan bangunan (building codes), analisis kerentanan;
pembelajaran public.
2. Fase Preparadness: merencanakan bagaimana menaggapi bencana.
Contoh: merencanakan kesiagaan; latihan keadaan darurat, system
peringatan.
3. Fase respon: upaya memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh
bencana. Contoh: pencarian dan pertolongan; tindakan darurat.
4. Fase Recovery: mengembalikan masyarakat ke kondisi normal. Contoh:
perumahan sementara, bantuan keuangan; perawatan kesehatan.

Keempat fase manajemen bencana tersebut tidak harus selalu ada,


atau tidak secara terpisah, atau tidak harus dilaksanakan dengan urutan
seperrti tersebut diatas. Fase-fase sering saling overlap dan lama
berlangsungnya setiap fase tergantung pada kehebatan atau besarnya
kerusakan yang disebabkan oleh bencana itu. Dengan demikian, berkaitan
dengan penetuan tindakan di dalam setiap fase itu, kita perlu memahami
karakteristik dari setiap bencana yang mungkin terjadi.
1. Fase Mitigasi
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan
memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena
bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan
konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun
membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding
pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan
dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah
bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat
diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan
memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.
2. Preparedness
Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya
(penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan
tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan
tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan
evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tingkat
kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya
sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-
langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana.
Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang
menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona
bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan
untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan
melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).
3. Response
Jenis aktivitas respon emergensi
a. Evakuasi dan pengungsi (Evacuation and migration)
Melakukan evakuasi dan pengungsi ketempat evakuasi yang aman.
b. Pencarian dan Penyelamatan (Search and rescue – SAR)
Malakukan pencaharian baik korban yang meninggal dan korban
yang hilang.
c. Penilaian paska bencana (Post-disaster assessment)
Melakukan penilaian terhadap bencana yang terjadi
d. Respon dan Pemulihan (Response and relief)
Memberikan respond an pemulihan terhadap korban bencana
e. Logistik dan suplai (Logistics and supply)
Manyalurkan bantuan logistik kepada korban bencana
f. Manajemen Komunikasi dan Informasi (Communication and
information management)
Memberikan informasi dan komunikasi kepada media massa
mengenai jumlah kerugian korban bencana
g. Respon dan pengaturan orang selamat (Survivor response and
coping)
Melakukan mendata jumlah korban bencana yang selamat baik. Ibu
Hamil, anak-anak dan orang Manula
h. Keamanan (Security)
Mamberikan pelayanan keamanan terhadap korban jiwa, baik itu
harta benda dan yang lain.
i. Manajemen pengoperasian emergensi (Emergency operations
management)
Melakukan manajemen pengoperasian emergenci pada saat
terjadinya bencana
4. Recovery
Secara garis-besar, kegiatan-kegiatan utama pada tahap ini antara lain,
mencakup:
a. Pembangunan kembali perumahan dan lingkungan pemukiman
penduduk berbasis kebutuhan dan kemampuan mereka sendiri
dengan penekanan pada aspek sistem sanitasi lingkungan organik
daur-ulang.
b. Penataan kembali prasarana utama daerah yang tertimpa bencana,
khususnya yang berkaitan dengan sistem produksi pertanian.
c. Pembangunan basis-basis perekonomian desa dengan pendekatan
penghidupan berkelanjutan, terutama pada kedaulatan dan
keamanan pangan dan ketersediaan energi yang dapat diperbaharui
(renewable energy); serta perintisan model sistem kesehatan yang
terjangkau dan efektif.
d. Lembaga/Institusi (Pemerintah dan non-pemerintah, NGO) yang
aktif dalam PB dan pada Fase mana perannya yang paling menonjol.

Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama


oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana,
antara lain:
a. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau
mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna
tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana.
b. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang
kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana,
penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana,
perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan;
c. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif
masyarakat yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat
terwujud koordinasi kerja yang baik;
d. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang
merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat
preventif kebencanaan;
e. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam
setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.
Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam
kegiatan sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan
unit/lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada aparatnya serta
melakukan koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun
dengan tingkat nasional, mengingat bencana tidak mengenal
wilayah administrasi, sehingga setiap daerah memiliki rencana
penanggulangan bencana yang potensial di wilayahnya.

Contoh lembaga/Institusi (Pemerintah dan non-pemerintah, NGO) yang


aktif dalam PB antara lain adalah :
a. Dinas Sosial
Dinas Sosial terlibat di semua fase. Namun pada saat ini sendiri
sangat menonjol dalam fase response. Pada saat fase response yang
dilakukan oleh Dinas Sosial adalah :
1) Mengerahkan Taruna Siaga Bencana (TAGANA) untuk
sesegera mungkin mencari informasi dan data-data yang
dibutuhkan untuk tahap penyaluran bantuan.
2) Dari data dan informasi yang diterima, Dinas Sosial
mengeluarkan bantuan sesuai dengan bencana yang terjadi.
Diutamakan prinsip tepat waktu, tepat sasaran dan tepat
jumlah.
3) Bantuan kemudian disaluran sesegera mungkin dengan
kerjasama bersama Dinas Sosial Kab./Kota dan Tagana
setempat.
4) Untuk pengungsi, segera diarahkan menuju titik-titik
pengungsian dan segera dibangun tenda-tenda atau shelter.
b. TNI
Keterlibatan TNI sesuai Pasal 25 ayat 1 “Pada saat keadaan
darurat bencana, kepala BNPB dan kepala BPBD berwenang
mengerahkan sumber daya manusia, peralatan dan logistik dan
instansi lembaga dan masyarakat untuk melakukan tanggap
darurat”
Keterlibatan TNI lebih menonjol pada fase respon dan
recovery. Seperti melakukan evakuasi, pencarian mayat, pendirian
shelter-shelter, jembatan bailey, menembus daerah isolasi,
manajemen logistik pada saat tanggap darurat.

H. PROSES SIKLUS MANAJEMEN RISIKO BENCANA


PARIWISATA
1. Pra bencana
Tahapan manajemen bencana pada kondisi sebelum kejadian atau pra
bencana meliputi kesiagaan, peringatan dini dan mitigasi.
a. Kesiapsiagaan
Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiagaan adalah
tahapan yang paling strategis karena sangat menentukan ketahanan
anggota masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu bencana.
b. Peringatan dini
Peringatan dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak,
khususnya mereka yang potensi terkena bencana akan
kemungkinan datangnya suatu bencana di daerahnya masing-
masing. Peringatan didasarkan berbagai informasi teknis dan ilmiah
yang dimiliki diolah atau diterima dari pihak berwenang mengenai
kemungkinan datangnya suatu bencana.
c. Mitigasi
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008,
mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi
risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana.
Mitigasi adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi
dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. Upaya
memperkecil dampak negative bencana. Upaya mitigasi dapat
dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat
bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana,
seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi
untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun
struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan
lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam
bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah
bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang
dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta
dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.
Contoh: zonasi dan pengaturan bangunan (building codes), analisis
kerentanan; pembelajaran public.
Mitigasi harus dilakukan secara terencana dan komprehensif
melalui berbagai upaya dan pendekatan antara lain:
1) Pendekatan teknis
Secara teknis mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi
dampak suatu bencana misalnya membuat material yang tahan
terhadap bencana, dan membuat rancanagan pengaman, misalnya
tanggul banjir, lumpur dan lain sebagainya.
2) Pendekatan manusia
Pendekatan manusia ditujukan untuk membentuk manusia yang
paham dan sadar mengenai bahaya bencana. Untuk itu perilaku
dan cara hidup manusia harus dapat diperbaiki dan disesuaikan
dengan kondisi lingkungan dan potensi bencana yang
dihadapinya.
3) Pendekatan admisnistratif
Pemerintah atau pimpinan organisasi dapat melakukan
pendekatan administratif dalam manajemen bencana, khususnya
di tahap mitigasi sebagai contoh:

a) Penyususnan tata ruang dan tata lahan yang


memperhitungkan aspek risiko bencana
b) Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan
pembangunan industry berisiko tinggi.
c) Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi
tanggap darurat di setiap organisasi baik pemerintahan
maupun industry berisiko tinggi.

4) Pendekatan kultural
Pendekatan kultural diperlukan untuk meningkatkan kesadaran
mengenai bencana. Melalui pendekatan kultural, pencegahan
bencana disesuaikan dengan kearifan masyarakat lokal yang telah
mebudaya sejak lama.

2. Saat Bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat
bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan
dini, maupun tanpa peringatan atau terjadi secara tiba-tba. Oleh karena
itu diperlukan langkah-langkah seperti tanggap darurat untuk dapat
mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah korban
atau kerugian dapat diminimalkan.
a. Tanggap darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan sarana prasarana. Tindakan ini
dilakukan oleh Tim penanggulangan bencana yang dibentuk
dimasing-masing daerah atau organisasi.
Menurut PP No. 11, langkah-langkah yang dilakukan dalam kondisi
tanggap darurat antara lain:
1) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,
dan sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan
magnitude bencana, luas area yang terkena dan perkiraan tingkat
kerusakannya.
2) Penentuan status keadaan darurat bencana.
3) Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana
sehingga dapat pula ditentukan status keadaan darurat. Jika
tingkat bencana terlalu besar dan berdampak luas, mungkin
bencana tersebut dapat digolongkan sebagai bencana nasional.
4) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.

Langkah selanjutnya adalah melakukan penyelamatan dan evakuasi


korban bencana. Hal yang dapat dilakukan antara lain:
1) Pemenuhan kebutuhan dasar
2) Perlindungan terhadap kelompok rentan (anak-anak, lansia,
orang dengan keterbatasan fisik, pasien rumah sakit, dan
kelompok yang dikategorikan lemah)
3) Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital.

b. Penanggulangan bencana
Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan
adalah menanggulangi bencana yang terjadi sesuai dengan sifat dan
jenisnya. Penanggulangan bencana memerlukan keahlian dan
pendekatan khusus menurut kondisi dan skala kejadian.
Tim tanggap darurat diharapkan mampu menangani segala
bentuk bencana. Oleh karena itu Tim tanggap darurat harus
diorganisisr dan dirancang untuk dapat menangani berbagai jenis
bencana.
Contoh aktivitas pada fase ini :
1) Evakuasi dan pengungsi (Evacuation and migration) Melakukan
evakuasi dan pengungsi ketempat evakuasi yang aman.
2) Pencarian dan Penyelamatan (Search and rescue – SAR)
Malakukan pencaharian baik korban yang meninggal dan korban
yang hilang.
3) Penilaian paska bencana (Post-disaster assessment) Melakukan
penilaian terhadap bencana yang terjadi
4) Respon dan Pemulihan (Response and relief) Memberikan
respond an pemulihan terhadap korban bencana
5) Logistik dan suplai (Logistics and supply) Manyalurkan bantuan
logistik kepada korban bencana
6) Manajemen Komunikasi dan Informasi (Communication and
information management) Memberikan informasi dan
komunikasi kepada media massa mengenai jumlah kerugian
korban bencana
7) Respon dan pengaturan orang selamat (Survivor response and
coping)
Melakukan mendata jumlah korban bencana yang selamat baik.
Ibu Hamil, anak-anak dan orang Manula
8) Keamanan (Security) Mamberikan pelayanan keamanan
terhadap korban jiwa, baik itu harta benda dan yang lain.
9) Manajemen pengoperasian emergensi (Emergency operations
management) Melakukan manajemen pengoperasian emergenci
pada saat terjadinya bencana.

3. Pasca Bencana
Setelah bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati,
maka langkah berikutnya adalah melakukan rehabilitasi dan
rekonstruksi.
a. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan public atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajarsemua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
b. Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh
dan berkembangnya kegiatan perekonomian, social, dan budaya,
tegaknya hukum, dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada
wilayah pasca bencana.

I. IDENTIFIKASI DAN PENILAIAN RISIKO BENCANA


Unsur berikutnya dalam sistem manajemen bencana adalah
identifikasi dan penilaian risiko bencana. Identifikasi bencana mutlak
diperlukan sebelum mengembangkan sistem manajemen bencana.
Menurut PP No. 21 tahun 2008 , risiko bencana adalah potensi
kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun
waktu tertentu dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya
rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta. Dan gangguan
kegiatan masyarakat.
Persyaratan analisi risiko bencana sebagaimana ditetapkan dalam PP
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Tujuan identifikasi bencana adalah untuk mengetahui dan menilai
tingkat risiko dari suatu kondisi atau kegiatan yang dapat menimbulkan
bencana.
2. Persyaratan analisis risiko bencana disusun dan ditetapkan oleh kepala
BNPB dengan melibatkan instansi/lembaga terkait.
3. Persyaratan analisi bencana digunakan sebagai dasar dalam
penyususnan analisis mengenai dampak lingkungan, penaataan ruang
serta pengambilan tindakan pencegahan dan mitigasi bencana.
4. Pasal 12: setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana, wajib dilengkapi dengan analisis risiko
bencana.
5. Analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan
persyaratan analisis risiko bencana melalui penelitian dan pengkajian
terhadap suatu kondisi atau kegiatan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana.
6. Analisis risiko bencana dituangkan dalam bentuk dokumen yang
disahkan oleh pejabat pemerintahan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
7. BNPB atau BNBD sesuai dengan kewenangannya melakukan
pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksaan analisis risiko bencana.

Berdasarkan peraturan di atas, jelas terlihat bahwa setiap organisasi


atau kegiatan yang mengandung risiko bencana tinggi wajib melakukan
Analisis Risiko Bencana (ARISCANA). ARISCANA dilakukan dengan
tujuan untuk memperoleh informasi dan data mengenai potensi bencana
yang mungkin dapat terjadi dilingkungan masing-masing serta potensi atau
tingkat risiko atau keparahannya. Risiko adalah merupakan kombinasi
antara kemungkinan dengan tingkat keparahan bencana yang mungkin
terjadi. Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin
tinggi risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi
tingkat kerentanan masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula
tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan
masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dengan
menggunakan perhitungan analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran
risiko yang dihadapi oleh daerah yang bersangkutan.
Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah
pengenalan bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua
bahaya/ancaman tersebut diinventarisasi, kemudian di perkirakan
kemungkinan terjadinya (probabilitasnya) dengan rincian:

Jika probabilitas di atas dilengkapi dengan perkiraan dampaknya apabila


bencana itu memang terjadi dengan pertimbangan faktor dampak antara
lain:

1. jumlah korban;
2. kerugian harta benda;
3. kerusakan prasarana dan sarana;
4. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
5. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan,
Maka, jika dampak ini pun diberi bobot sebagai berikut:

Maka akan didapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini :

Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model lain


dengan tiga warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan prioritas
seperti berikut:
Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman
bahaya yang perlu ditangani.
Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan skala (3-1)

1. Bahaya/ancaman tinggi nilai 3 (merah)


2. Bahaya/ancaman sedang nilai 2
3. Bahaya/ancaman rendah nilai 1

Dari uraian di atas dapat disimpulkan proses manajemen bencana melalui


tiga langkah sebagai berikut:
1. Identifikasi Bencana
Identifikasi bencana dilakukan dengan melihat berbagai aspek yang ada
disuatu daerah atau perusahaan, seperti lokasi, jenis kegiatan, kondisi
geografis, cuaca, alam, aktivitas manusia, dan industry, sumberdaya
alam serta sumber lainnya yang berpotensi menimbulkan bencana.
Identifikasi bencana ini dapat didasarkan pada pengalaman bencana
sebelumnya dan prediksi kemungkinan suatu bencana yang dapat
terjadi.

2. Penilaian dan Evaluasi Risiko Bencana


Berdasarkan hasil identifikasi bencana dilakukan penilaian
kemungkinan dan skala dampak yang mungkin ditimbulkan oelh
bencana tersebut. Dengan demikian dapat diketahui, apakah potensi
sebuah bencana di suatu daerah tergolong tinggi atau rendah.
a Penilaian Risiko Bencana
Untuk menentukan tingkat risiko bencana tersebut, dapat dilakukan
melalui penilaian Risiko Bencana. Banyak metode yang dapat
dilakukan untuk menilai tingkat risiko bencana. Misalnya dengan
menggunakan sistem matriks seperti yang diuraikan di atas atau
dengan menggunakan teknik yang lebih kuantitatif missal dengan
permodelan risiko.
b Evaluasi Risiko
Berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut, selanjutnya ditentukan
peringkat risiko yang mungkin timbul dengan mempertimbangkan
kerentanan dan kemampuan menahan atau menanggung risiko.
Risiko tersebut di bandingkan dengan kriteria yang ditetapkan,
misalnya oleh pemerintah atau berdasarkan referensi yang ada.
3. Pengendalian Risiko Bencana
Hasil identifikasi dan analisa risiko yang telah dilakukan maka langkah
selanjutnya adalah menetapkan strategi pengendalian yang sesuai.
Pengendalian risiko bencana menurut konsep manajemen risiko dapat
dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
a Mengurangi kemungkinan
Strategi pertama adalah dengan mengurangi kemungkinan
terjadinya bencana. Semua bencana pada dasarnya dapat dicegah,
namun untuk bencana alam terdapat pengecualian.
b Mengurangi dampak atau keparahan
Jika kemungkinan bencana tidak dapat dikurangi atau dihilangkan,
maka langkah yang harus dilakukan adalah mengurangi keparahan
atau konsekuensi yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil identifikasi
bahaya, penilaian risiko bencana dan langkah pengendalaian
tersebut dapat disusun analisa risiko bencana yang terperinci dan
mendasar untuk selanjutnya dikembangkan program kerja
penerapannya.

J. MANAJEMEN BENCANA PARIWISATA DI BALI


1. Letak Geografis Pulau Bali

Pulau Bali terletak di sebelah timur Pulau Jawa, merupakan


bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112
km, berjarak sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara geografis, Bali
terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang
membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Luas
total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 km2 dengan panjang pantai
mencapai 529 km. Batas fisiknya adalah sebagai berikut, utara
berbatasan dengan Laut Bali, timur berbatasan dengan Selat Lombok
(Provinsi Nusa Tenggara Barat), selatan berbatasan dengan Samudera
Indonesia dan barat berbatasan dengan Selat Bali (Provinsi Jawa
Timur). Pulau Bali terdapat dua gunung api aktif yaitu Gunung Batur di
Kabupaten Bangli dan Gunung Agung di Kabupaten Karangasem.
Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Pulau Bali (3.142 mdpl)
dan termasuk dalam jajaran gunung berapi yang berbentuk
stratovolcano, dengan kawah yang cukup besar yang masih
mengeluarkan asap dan uap air. Kondisi Bali bagian utara memiliki
dataran yang sempit. Hal ini berbeda dengan Bali bagian selatan.
Dataran rendah di Bali selatan menghampar dari Kabupaten Jembrana
di barat sampai Kabupaten Karang Asem di timur. Di bagian ujung
selatan terdapat semenanjung yaitu Benoa. Di Bali terdapat beberapa
sungai, yang sebagian besar mengalir ke arah selatan dengan sungai
terpanjangnya yaitu sungai Ayung. Selain sungai, di Bali juga terdapat
danau yaitu danau Batur, Beratan, Buyan dan Tamblingan. Secara
administratif, Provinsi Bali terbagi atas sembilan kabupaten/kota, 57
kecamatan dan 716 desa/kelurahan. Kabupaten dan kota yang termasuk
dalam Provinsi Bali mencakup Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung,
Gianyar, Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota
Denpasar yang juga merupakan ibukota provinsi. Selain Pulau Bali,
Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau
Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan di wilayah
Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar, dan
Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Provinsi Bali terletak di
antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Dengan beragamnya kondisi
geografis, Pulau bali memiliki potensi bencana alam yang sangat besar.
Sektor pariwisata menjadi andalan utama penghidupan masyarakat Bali.
Sektor pariwisata menjadi lapangan usaha yang mendominasi kegiatan
ekonomi di Pulau ini, hal ini dapat dilihat pada gambar 1. Dari tahun
2010 hinggal tahun 2013, sub lapangan usaha perdagangan, hotel dan
restoran menjadi sektor utama lokomotif bagi ekonomi masyarakat
Pulau Bali. Sektor kedua yang unggul adalah pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan. Di Pulau Bali terdapat sekitar 54 lokasi
destinasi wisata yang tersebar di delapan kabupatennya. Di Kabupaten
Buleleng terdapat Pantai Lovina, makam Jayaprana, air panas
Banyuwedang, lingkungan Pura Pulaki, Pantai Kalibukbuk, pemandian
Air Saneh dan Pantai Ponjok Batu. Di Kabupaten Jembrana terdapat
Kebun Raya Bedugul, Danau Beratan, Tanah lot, air panas Penatahan,
Alas Kedaton, Musium Subak Bal dan Jati Luh. Di kabupaten Badung
terdapat Pura Uluwatu, Pura Taman Ayun, Alas Pala Sangeh, Pantai
Sanur, Pantai Kuta, Legian, Seminyak, Pantai Suluban, Pantai Nusa
Dua, Taman Penyu Pulau Serangan, Pantai Gangga, Museum Bali,
Museum Le Mayeur, Werdi Budaya (Art Center), Mandala Wisata, Lila
Ulangun, Oo-ngan dan monument Padang Galak. Di kabupaten
Klungkung terdapat Goa Lawah dan Taman Gili Kertagosa. Di
Kabupaten Karang Asem terdapat Pura Besakih, Bukit Putung, Desa
Tenganan, Candi Desa, Taman Ujung, Tirta Gangga, Puri Maskerdam,
Pantai Tulamben dan Bukit Jambul. Di Kabupaten Gianyar terdapat
Istana tampak siring, Museum Ratna Warta, Danau Kawi, Gunung Kawi
Sebatu, Taman Kemuda Saraswati, Wanara Wana Ubud dan Museum
Purbakala. Di kabupaten Bangli terdapat panomara Gunung Batur dan
Danau Batur, Desa Trunyan dan Sasana Budaya. Tak terkecuali di Kota
Denpasar memilik bangunan kuno dengan arsitektur Bali yang menarik
wisatawan. (Sumber: BPS Bali, 2015)

Perbandingan jumlah kunjungan wisata ke Bali terhadap


kunjungan wisata ke seluruh Indonesia, berkisar antara 22-37% dan
kontribusi tersebut meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2000 share
wisatawan Bali terhadap wisatawan seluruh Indonesia adalah 26 persen.
Tiga belas tahun kemudian pada tahun 2013 share kunjungan wisatawan
ke Bali terhadap total kunjungan wisatawan seluruh Indonesia adalah 37
persen. Peningkatan tersebut cukup signifikan yaitu 10% dalam 13
tahun, kendati demikian Bali juga menghadapi situasi yang sulit pada
tahun 2001 – 2003 yang mengakibatkan penuruna wisatwan hingga 1
juta pengunjung. Hal ini terkait dengan kejadian terorisme di Indonesia
yang kala itu menyasar Bali sebagai target operasi.
2. Potensi Bencana Pulau Bali

Bencana menurut UU 24 Tahun 2007, meliputi bencana alam


dan non alam. Bencana alam dapat diklasifikasikan menjadi bencana
akibat fenomena geologi (seperti gempa bumi, tsunami, gerakan tanah,
dan gunung api), dan bencana akibat faktor biologi (seperti epidemic
dan wabah penyakit), bencana akibat kondisi hidrometerologi (seperti
banjir, tanah longsor, kekeringan, dan angin topan). Bencana non alam
dapat terjadi akibat ulah manusia, seperti konflik sosial dan kegagalan
teknologi. Pulau Bali memiliki beberapa potensi kejadian bencana yaitu
gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, puting beliung, gunung
meletus dan cuaca ekstrim. Namun kejadian bencana yang sering terjadi
adalah akibat cuaca esktrim. Hal ini karena dipengaruhi posisi geografis
yang telah dijelaskan sebelumnya. Fenomena cuaca ekstrim pada
dasarnya tidak akan menjadi kendala ketika tidak ada aktivitas manusia.
Kendati demikian, hal tersebut hampir tidak mungkin karena manusia
selalu berinteraksi dengan lingkungan dalam segala aktivitasnya.
Kejadian cuaca ekstrim dapat menimbulkan bencana lanjutan yang
terkadang memberikan kerugian yang lebih besar. Hasil kajian
identifikasi potensi bencana alam di Bali yang dilakukan Bappeda Bali
dan PPLH Universitas Udayana pada tahun 2006 yang dimuat dalam
dokumen Penyusunan Dokumen Managemen Mitigasi Bencana,
dijelaskan daerah yang berpotensi bencana dan rawan bencana. Daerah-
daerah tersebut dipetakan dalam peta potensi angin kencang dan peta
rawan angin kencang, peta potensi banjir dan peta rawan banjir, peta
potensi kekeringan dan dan rawan kekeringan, peta potensi longsor dan
rawan longsor. Potensi tinggi terkena angina kencang 151.835,49 ha,
kekeringan 12.947,12 ha, banjir 17.495,82 ha.

3. Sertifikasi Kesiapsiagaan Bencana bagi Penyedia Jasa Industri


Pariwisata
Dalam upaya menanggulangi dan meningkatan kesiapsiagaan di
bidang pariwisata, pemerintah mencanangkan program sertifikasi
kesiapsiagaan bencana bagi penyedia jasa industri pariwisata dan jasa
lainya. Sejak awal tahun hingga bulan Oktober 2014, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali telah
melaksanakan Verifikasi Kesiapsiagaan Bencana di beberapa hotel
berbintang (bintang 4 & 5) di Bali. Sebelumnya BPBD telah melakukan
sosialisasi kepada 130 hotel yang ingin mendapat sertifikasi. Namun
hasilnya hanya 15 hotel yang lolos uji sertifikasi untuk tahun 2014.
Khusus di kawasan Pantai Kuta, hanya tiga saja yang menerima piagam
sertifikasi. Ketiga hotel tersebut adalah Patra Jasa Bali Resort, Hard
Rock Hotel dan Discovery Kartika Plaza. Acara penyerahan sertifikat
“Kesiapsiagaan Bencana” tersebut diserahkan langsung oleh Kepala
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali. Hotel-
hotel tersebut dinyatakan aman dan nyaman dengan segala sarana dan
prasarana yang dimiliki. Pada saat acara penyerahan sertifikat
kesiapsiagaan bencana, dihadiri oleh beberapa asosiasi pariwisata
seperti PHRI Bali, BHA, dan beberapa perwakilan hotel penerima
sertifikat. Adapun hotel-hotel yang menerima Sertifikat Kesiapsiagaan
Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali
untuk tahun 2014, sebanyak 15 hotel, sebagai berikut :
a. The Patra Jasa Bali Resort & Villas (Kategori Utama/Gold)
b. Hard Rock Hotel (Kategori Utama/Gold)
c. Nusa Dua Beach Hotel & Spa (Kategori Utama/Gold)
d. Novotel Bali Nusa Dua Hotel & Residences (Kategori
Utama/Gold)
e. Intercontinental Bali Resort (Kategori Utama/Gold)
f. The Westin Resort Nusa Dua Bali (Kategori Utama/Gold)
g. Conrad Bali (Kategori Utama/Gold)
h. Four Seasons Resort Bali at Jimbaran Bay (Kategori
Utama/Gold)
i. Melia Bali Villas & Spa Resort Nusa Dua (Kategori
Utama/Gold)
j. Sanur Paradise Plaza Hotel (Kategori Utama/Gold)
k. The Laguna Resort & Spa (Kategori Utama/Gold)
l. Le Meridien Bali Jimbaran (Kategori Utama/Gold)
m. Discovery Kartika Plaza (Kategori Utama/Gold)
n. Ayodya Resort Bali (Kategori Utama/Gold)
o. The St. Regis Bali Resort (Kategori Utama/Gold)

Pada periode berikutnya, oleh Tim Verifikasi Kesiapsiagaan


Bencana, yang terdiri dari beberapa instansi dan stakeholders
pariwisata, akan dilaksanakan verifikasi kesiapsiagaan bencana di
beberapa hotel khususnya hotel bintang empat dan bintang lima,
sehingga diharapkan hotel-hotel sebagai salah satu perangkat
kepariwisataan (akomodasi) memiliki standar serta kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana.

4. Teknis pelaksanaan Sertifikasi


Tujuan sertifikasi adalah memberikan penghargaan kepada sektor
swasta yang telah melaksanakan kegiatan peningkatan kesiapsiagaan
bagi perusahaannya dan telah sesuai dengan parameter yang ditetapkan.
Dalam melaksanakan kegiatan ini, dilandasi oleh ketentuan-ketentuan
sebagai berikut: (1) UU Nomor 24/Tahun 2007 Bab VI, pasal 28 tentang
Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa Penanggulangan bencana
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari
ancaman bencana dan melibatkan unsur Pemerintah, unsur masyarakat
dan unsur swasta, (2) Peraturan Menteri Pariwisata dan ekonomi kreatif
RI Bab II pasal 2 (Sistem Manajemen Pengamanan (SMP) hotel
bertujuan untuk; mencegah dan mengurangi kerugian akibat
ancamangangguan dan/atau bencana di hotel dan mewujudkan
kenyamanan, keamanan dan keselamatan di hotel.
Selain Undang-Undang kebencanaan, dalam Rencana
Pennggulangan Bencana Provinsi Bali juga sangat jelas mengisyaratkan
bahwa peningkatan kapasitas menjadi prioritas program yang harus
dilaksanakan. Dilatar belakangi pemikiran tersebut, Gubernur propinsi
Bali menurunkan Surat Keputusan Nomor: 1849/04-1/HK/2013 yang
isinya adalah pembentukan dan susunan keanggotaan tim verifikasi
kesiapsiagaan bencana. Tim verifikasi ini dibentuk untuk melaksanaan
pembinaan dan penilaian kesiapsiagaan sesuai dengan standard dan
kritaria penanggulangan bencana. Tim ini juga mempuyai tugas sebagai
berikut :
a. Menyusun indikator atau parameter kesiapsiagaan menghadapi
bencana;
b. Menyusun standar operating procedure (SOP) pelaksanaan
pembinaan dan penilaian;
c. Melaksanakan proses identifikasi risiko bencana;
d. Melaksanakan penilaian kesiapsiagaan sesuai dengan indikator atau
parameter yang telah ditentukan;
e. Merekomendasikan hasil penilaian kepada Kepala Pelaksanan
Badan
f. Penanggulangan Bencana Provinsi Bali;
g. Melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Gubernur melalui
Kepala Pelaksana

5. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali


Tim Verikasi melibatkan berbagai instansi seperti Gubernur Bali,
Kepala BPBD Provinsi Bali, Kepala Pelaksana BBPD Provinsi Bali,
Kepala UPT Pusat Pengendalian Operasional Penanggulan Bencana
BPBD Provinsi Bali, Korem 163/Wirasatya, Polda Bali, PHRI, Dinas
Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali, Dinas Sosial Provinsi
Bali, Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah III
Denpasar, Setda Provinsi Bali, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Bali, Forum Pengurangan Resiko Bencana Provinsi Bali,
Kantor SAR Denpasar, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, PMI Provinsi
Bali, Sekretaris BPBD provinsi Bali, Bidang Kedaruratan dan logistik
BPBD Provinsi Bali, Bidang rehabilitasi dan Rekonsyruksi BPBD
Provinsi Bali, Bidang Kesiapsiagaan Bencana BPBD Provinsi Bali, staf
Pusdalops BPBD Provinsi Bali. Tugas tim ini adalah menyusun
petunjuk pelaksaan teknis yang akan digunakan oleh tim perusahaan
swasta, bisnis dan sektor swasta dan penyedia jasa lainnya mencakup
perencanaan kegiatan, aspek/parameter penilaian kesiapsiagaan
bencana, mekanisme kerja, dan metode sesuai dengan kaidah majamen
bencana, siklus bencana dan bagaimana mekanisme pembuatan
proposal sertifikasi kepada BPBD Provinsi Bali. Petunjuk teknis ini
berisi hal-hal sebagai berikut: Pendahuluan, Pengertian dan Prinsip,
Aspek-aspek penilaian, Persiapan dan Pengorganisasian, Kelengkapan
Administrasi, Kelengkapan piranti keras, Mekanisme pengajuan
sertifikasi, Dana/Pembiayaan. Aspek penilaian meliputi komponen
penilaian, tingkat penilaian, Pembobotan nilai dan tingkat sertifikasi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Industri pariwisata merupakan industri yang dikembangkan dan
diandalkan sebagai salah satu sektor pendorong pertumbuhan ekonomi,
dikarenakan sektor pariwsiata berpengaruh signifikan terhadap perekonomian
masyarakat. Pariwisata ini merupakan industri yang rentan terhadap berbagai
peristiwa bencana. Ia bisa menjadi “yang terdampak” dari kemunculan
bencana atau memicu kemunculan bencana itu sendiri. Bencana sendiri
merupakan suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat,
sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia baik
dari segi materi, ekonomi atau lingkungan.
Oleh karena industri pariwisata sangat rentan terhadap berbagai
peristiwa bencana, maka diperlukan suatu manajemen untuk menghadapi
resiko dari terjadinya bencana itu sendiri. Tahapan proses manajemen resiko
bencana pariwisata antara lain meliputi pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
aksi tanggap (response), dan pemulihan. Pencegahan terhadap bencana dengan
menggunakan tahapan tersebut dilakukan dengan kolaborasi seluruh pihak
baik pihak pemerintah, swasta, masyarakat, pemilik industri pariwisata dan
juga BNPB maupun BPBD setempat.
Untuk mendapatkan sertifikasi kesiapsiagaan dalam industri
pariwisata, terdapat beberapa aspek yang akan dinilai. Aspek – aspek tersebut
meliputi pengetahuan mengenai kebencanaan, partisipasi dari pengusaha di
bidang pariwisata dalam mengikuti kegiatan kebencanaan, mitigasi struktural
dan non struktural dari perusahaan, kesiapsiagaan dan kapasitas respon yang
dimiliki untuk menghadapi bencana serta persiapan dan pengorganisasian yang
ada.

3.2 Saran
Bencana merupakan suatu peristiwa yang dapat terjadi kapan saja dan
dimana saja, oleh karena itu penulis menyarankan agar para masyarakat pada
umumnya dan pemilik industri pariwisata khususnya agar tetap bersiaga
terhadap bahaya bencana untuk mengurangi resiko dampak yang akan
ditimbulkan. Kesiapsiagaan dapat dilakukan dengan cara mengadakan
sosialisasi mengenai pendidikan kebencanaan kepada masyarakat sehingga
masyarakat dapat mengetahui langkah-langkah penanggulangan bencana dan
diharapkan dengan pendidikan yang telah di dapat, masyarakat dapat
mengurangi ancaman, mengurangi dampak, menyiapkan diri secara tepat
apabila terjadi bencana, dapat memulihkan diri, dan memperbaiki kerusakan
yang terjadi akibat adanya bencana.
DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. 2014. Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia.


(online.available). from:
http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/14057/3930/
diakses pada 23 Mei 2017

Eka. 2015. Pengurangan Risiko Bencana. Available On :


http://www.ecoflores.org/id/pengurangan+risiko+bencana/ Diakses
pada tanggal 23 Mei 2017
Ika.P. 2015. Perihal. Available on : https://ikafkmuj12.wordpress.com/perihal/
Diakses pada tanggal 23 Mei 2017.

Ismayanti. 2009. Pengantar Pariwisata. Jakarta : Grasindo


Jatna Supriatna. 2008.Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta : IKAPI.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan bencana. 2008. Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai