Anda di halaman 1dari 2

18-08-2019 1/2 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Artikel ini diambil dari : www.depkes.go.id

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK BIJAK DAN RASIONAL KURANGI BEBAN PENYAKIT INFEKSI


DIPUBLIKASIKAN PADA : RABU, 05 AGUSTUS 2015 00:00:00, DIBACA : 76.143 KALI

Jakarta, 5 Agustus 2015

Persoalan antibiotika tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga secara global yang menjadi
satu persoalan yang cukup pelik dan harus segera diatasi bersama sama. Penggunaan
antibiotika yang bijak dan rasional dapat mengurangi beban penyakit, khususnya penyakit
infeksi. Sebaliknya, penggunaan antibiotika secara luas pada manusia dan hewan yang
tidak sesuai indikasi, mengakibatkan meningkatnya resistensi antibiotika secara signifikan.

Demikian disampaikan Menkes Prof. dr. Nila F. Moeloek, Sp.M (K), ketika membuka
seminar Cegah Resistensi Antibiotik, di Jakarta (5/8). Seminar yang diadakan atas
kerjasama Kemenkes, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) dan WHO tersebut bertujuan
untuk memberikan pemahaman bahaya Anti Microbial Resistance (AMR) pada masyarakat
dan menyusun rekomendasi bersama sebagai dasar memerangi Resistensi Antimikrobia.

Dalam hal ini, lanjut Menkes, pertama tama perlu adanya surveilans atau penelitian. Sering sekali diagnosis penyakit tidak menggambarkan resistensi dari obat,
khususnya anti biotika. Kedua, kita semua menyadari, begitu kita masuk RS tentu kuman kuman nosokomial ini dapat mengancam kita

Dan kalau boleh kita mengaku, coba di hitung ada berapa sekarang kapsul antibiotika kita di rumah kita masing masing yang masih bersisa dan tidak kita
habiskan pemakaiannya, seloroh Menkes

dr. Hari Paraton, Sp.OG (K) selaku Ketua Komita Pengendalian resistensi Antimikroba (KPRA) dalam kesempatan yang sama juga menyayangkan data terkait
angka kematian akibat AMR di Indonesia masih sangat minim.

Angka kematian, terselip dari kasus kasus kematian di rumah sakit, seperti meninggal karena serangan jantung, struk, pneumoni. Kalau di lacak di rekam medik
ternyata ada kuman resisten yang tidak dilaprokan, karena sistem pelaporan belum mengacu kepada mikroba. Cita cita kami untuk menghimpun data secara
nasional seberapa besar prevalansi AMR, bagaimana profile antibiotik di Indonesia , ujarnya

Penjualan antibiotik secara bebas di apotik, kios atau warung, juga menyimpan antibiotik cadangan di rumah, hingga memaksa dokter untuk minta dituliskan resep
antibiotik, merupakan masalah yang terjadi di masyarakat. Ini dapat mendorong terjadinya resistensi antibiotika pada manusia.

Adanya resistensi Antibiotik, menyebabkan penurunan kemampuan antibiotik tersebut dalam mengobati infeksi dan penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan.

1
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2/2 18-08-2019

Lebih lanjut, hal ini menyebabkan terjadinya masalah seperti: Meningkatnya angka kesakitan dan menyebabkan kematian, Meningkatnya biaya dan lama
perawatan, Meningkatnya efek samping dari penggunaan obat ganda dan dosis tinggi.

Berdasarkan Laporan terakhir dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam Antimicrobial Resistance: Global Report on Surveillance menunjukkan bahwa Asia
Tenggara memiliki angka tertinggi dalam kasus resistensi antibotik di dunia, khususnya infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus yang resisten
terhadap Methicillin, sehingga mengakibatkan menurunnya fungsi antibiotik tersebut.

Penelitian Anti Microbial Resistance


Hasil penelitian Antimicrobial Resistance in Indonesia, pada tahun 2000-2004 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUP dr. Kariadi Semarang, membuktikan
bahwa sudah terdapat kuman multi-resisten seperti MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcusaureus) dan bakteri penghasil ESBL (Extended Spectrum Beta
Lactamases).

Selain itu di temukan 30% sampai dengan 80% penggunaan antibiotik tidak berdasarkan indikasi. Hal ini tidak hanya merupakan ancaman bagi lingkungan yang
berkaitan tetapi juga bagi masyarakat luas. Sedangkan menurut data WHO, pada tahun 2013 terdapat 480.000 kasus baru multidrug-resistent tuberculosis (MDR-
TB) di dunia. Data ini menunjukan bahwa resistensi antimikroba memang telah menjadi masalah yang harus segera diselesaikan.

Menjawab permasalah yang ada, Kementerian Kesehatan telah membentuk KPRA, yang terdiri dari pengambil kebijakan bidang kesehatan, organisasi profesi,
dan Lembaga Swadaya Masyarakat, untuk dapat selalu bekerja sama menjadi penjuru dalam mengembangkan dan mengawal Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba secara luas, baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di masyarakat.

Turut hadir sebagai pengisi materi: WHO Representative Indonesia, dr. Kancit Limpakarjanarat dan Ketua YOP, dr. Purnawati Sujud, Sp.A (K). Selain itu ada
pemberian testimoni terkait resistensi mikroba dari Mantan Menkes dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH dan Guru Besar Farmakologi FKUI Prof. DR. Dr. Rianto
Setiabudy, Sp.FK

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes
melalui nomor hotline <kode lokal> 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia - 2 - Printed @ 18-08-2019 19:08

Anda mungkin juga menyukai