Anda di halaman 1dari 34

DAFTAR ISI

Halaman Judul ..............................................................................................ii


Kata Pengantar ..............................................................................................iii
Daftar Isi .......................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .........................................................................1


1.2 Bahan Kajian ............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kejang Demam .......................................................3


2.2 Anatomi Fisiologi Sistem Syaraf ..............................................4
2.3 Etiologi .................................................................................... 9
2.4 Patofisiologi .............................................................................10
2.5 Pathway / WOC ........................................................................12
2.6 Manifestasi klinik ..................................................................... 13
2.7 Penatalaksanaan ........................................................................ 14
2.8 Komplikasi .............................................................................. 16
2.9 Pemeriksaan Penunjang ............................................................. 17
2.10 Penatalaksanaan Kejang Demam .............................................. 18

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

a. Pengkajian ................................................................................ 22
b. Analisa ..................................................................................... 29
c. Diagnosa Keperawatan ............................................................ 30
d. Intervensi ................................................................................. 31

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ............................................................................... 36

4.2 Saran ......................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Kejang demam merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling sering
dijumpai pada bayi dan anak. Dari penelitian oleh beberapa pakar didapatkan bahwa
sekitar 2,2%-5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai
umur 5 tahun. Penelitian di jepang bahkan mendapatkan angka kejadian (inseden) yang
lebih tinggi, yaitu Maeda dkk, 1993 mendapatkan angka 9,7% (pada pria 10,5% dan
pada wanita 8,9% dan Tsuboi mendapatkan angka sekitar 7%.
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% da Amerika Serikat, Amerika Selatan
dan Eropa Barat. Di Asia lebih tinngi kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam
komplek.Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu
kejang demam sederhana yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang
demam komplek yang berlangsung lebih dari dari 15 menit, fokal atau multifel (lebih
dari 1 kali kejang demam dalam 24 jam) (Arif Manajer, 2000).
Kejang demam bisa diakibatkan oleh infeksi ekstrakranial seperti ISPA, radang
telinga, campak, cacar air. Dalam keadaan demam, kenaikan suhu tubuh sebesar 10C pun
bisa mengakibatkan kenaikan metabolisme basal yang mengakibatkan peningkatan
kebutuhan oksigen jaringan sebesar 10 – 15 % dan otak sebesar 20 %. Apabila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka anak akan kejang. Umumnya kejang tidak akan
menimbulkan dampak sisa jika kejang tersebut berlangsung kurang dari 5 menit tetapi
anak harus tetap mendapat penanganan agar tidak terjadi kejang ulang yang biasanya
lebih lama frekuensinya dari kejang pertama. Timbulnya kejang pada anak akan
menimbulkan berbagai masalah seperti resiko cidera, resiko terjadinya aspirasi atau yang
lebih fatal adalah lidah jatuh ke belakang yang mengakibatkan obstruksi pada jalan
nafas.
Hemiparesis biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama
(berlangsung lebih dari setengah jam) baik bersifat umum maaupun fokal,
kelumpuhannya sesuai dengan kejang vokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhannya
bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu spasitisitas. Milichap (1998) melaporkan dari
1990 anak menderita kejang demam, hanya 0,2 % saja yang mengalami hemiparese
sesudah kejang lama.

1
dengan melihat latar belakang tersebut, masalah atau kasus ini dapat ditangani
melalui manajemen kegawatdaruratan optimal yang diberikan sedini mungkin pada anak.
Dan perlu diingat bahwa masalah penanggulangan kejang demam ini bukan hanya
masalah di rumah sakit tetapi mencakup permasalahan yang menyeluruh dimulai dari
individu anak tersebut, keluarga, kelompok maupun masyarakat.

b. Bahan Kajian
A. Bagaimana konsep dasar penyakit kejang demam ?
B. Bagaimana pathway kejang demam ?
C. Bagaimana pengkajian survey primer dan sekunder klien dengan kejang demam ?
D. Bagaimana manajemen kegawatdaruratan dalam asuhan keperawatan kejang demam
?

c. Tujuan Penulisan
1 Tujuan umum :
Untuk memperoleh informasi mengenai asuhan keperawatan gawat darurat tentang
penyakit kejang demam pada anak.
2 Tujuan khusus:
Untuk mengetahui :
1. Konsep dasar penyakit kejang demam
2. Pathway kejang demam
3. Pengkajian survey primer dan sekunder klien dengan kejang demam
4. Manajemen kegawatdaruratan dalam asuhan keperawatan kejang demam

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Kejang Demam


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Biasanya kejang terjadi
pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, bila anak usia kurang 6 bulan atau lebih 5 tahun
mengalami kejang didahului oleh demam, kemungkinan lainya, misalnya mengalami
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak yang mengalami kejang tanpa

2
demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk kejang demam. Kejang
disertai demam pada bayi usia kurang lebih 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam
(Garna & Nataprawira, 2005).
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam antara lain :
infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis media akut,
bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai
pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
diatas 38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak
adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. Insiden
terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun.
Hampir 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam.
Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki dari pada perempuaan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki (Judha & Rahil, 2011).
Kejang demam terjadi jarang sebelum umur 9 bulan dan sesudah umur 5 tahun.
Kejang demam sering terjadi sekitar usia 14 sampai 18 bulan. Kejadian kejang demam
menunjkan fenomena kecenderungan faktor genetik. Resiko kejang demam meningkat
jika ada riwayat kejang demam pada keluarga (orang tua & saudara kandung) (Behrman,
Robert , Kliegman, Arvin, 2000).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam adalah
bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering dijumpai pada
anak usia di bawah umur 5 tahun.Dari pengertian diatas maka penulis menyimpulkan
bahwa yang di maksud kejang demam adalah perubahan potensial listrik cerebral yang
berlebihan akibat kenaikan suhu dimana suhu rectal diatas 38°C sehingga mengakibatkan
renjatan kejang yang biasanya terjadi pada anak dengan usia 3 bulan sampai 5 tahun.

2.2 Anatomi Fisiologi Sistem Syaraf

3
1. Otak
Otak terdiri dari otak besar yaitu disebut cerebrum, otak kecil disebut
cerebellum dan batang otak disebut brainstem.Beberapa karakteristik khas otak
orang anak yaitu mempunyai berat lebih kurang 2 % dari berat badan dan mendapat
sirkulasi darah sebanyak 20 % dari cardiac output dan membutuhkan kalori sebesar
400 kkal setiap hari.
Otak mempunyai jaringan yang paling banyak menggunakan energi yang
didukung oleh metabolisme oksidasi glukosa.Kebutuhan oksigen dan glukosa otak
relatif konstan, hal ini disebabkan oleh 10 metabolisme otak yang merupakan proses
yang terus menerus tanpa periode istirahat yang berarti.Bila kadar oksigen dan
glukosa kurang dalam jaringan otak maka metabolisme menjadi terganggu dan
jaringan saraf akan mengalami kerusakan. Secara struktural,cerebrum terbagi
menjadi bagian korteks yang disebut korteks cerebri dan sub korteks yang disebut
struktural subkortikal.Korteks cerebri terdiri atas korteks sensorik yang berfungsi
untuk mengenal,interpretasi inpuls sensorik yang diterima sehingga individu
merasakan,menyadari adanya suatu sensasi rasa/indera tertentu.Korteks sensorik
juga menyimpan sangat banyak data memori sebagai hasil rangsang sensorik selama
manusia hidup.Korteks motorik berfungsi untuk memberi jawaban atas rangsangan
yang diterimanya.
Struktur Sub Kortikal :

4
a. Basal ganglia: melaksanakan fungsi motorik dengan merinci dan mengkoordinasi
gerakan dasar, gerakan halus atau gerakan trampil dan sikap tubuh.
b. Talamus : merupakan pusat rangsang nyeri.
c. Hipotalamus: pusat tertinggi integrasi dan koordinasi sistem syaraf otonom dan
terlibat dalam pengolahan perilaku insting. Seperti makan,minum,seks,dan
motivasi.
d. Hipofise: bersama hipotalamus mengatur kegiatan sebagian besar kelenjar
endokrin dalam sintesa dan pelepasan hormon.
Cerebrum terdiri dari dua belahan yang disebut hemispherium cerebri dan
keduanya dipisahkan oleh fisura longitudinalis. Hemisperium cerebri terbagi
hemisper kanan dan kiri. Hemisper kanan dan kiri ini dihubungkan oleh bangunan
yang disebut corpus callosum. Hemisper cerebri dibagi menjadi lobus-lobus yang
diberi nama sesuai dengan tulang diatasnya, yaitu:
a. Lobus Frontalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang frontalis
b. Lonbus Parietalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang parietalis
c. Lobus Occipitalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang occipitalis
d. Lobus Temporalis, bagian cerebrum yang berada di bawah tulang temporalis.
Cerebelum (otak kecil) terletak di bagian belakang kranium menempati fosa
cerebri posterior dibawah lapisan durameter tentorium cerebelli. Dibagian depannya
terletak batang otak. Berat cerebellum sekitar 150 gr atau 88 % dari berat batang
otak seluruhnya. Cerebellum dapat dibagi menjadi hemisper cerebelli kanan dan kiri
yang dipisahkan oleh Vermis. Fungsi cerebellum pada umumnya adalah
mengkoordinasikan gerakan-gerakan otot sehingga gerakan dapat terlaksana dengan
sempurna.
Batang otak atau brainstern terdiri atas diencephalon, mid brain,pons dan
medullan oblongata merupakan tempat berbagai macam pusat vital seperti pusat
pernapasan,pusat vasomotor ,pusat pengatur kegiatan jantung dan pusat muntah.

2. Medula Spinalis
Medula spinalis merupakan perpanjangan modulla oblongata ke arah kaudal di
dalam kanalis vertebralis cervikalis I memanjang hingga setinggi cornu vertebralus
lumbalias I-II. Terdiri dari 31 segmen yang setiap segmenya terdiri dari satu pasang
saraf spinal.Dari medulla spinallis bagian cervical keluar 8 pasang, dari bagian
thorakal 12 pasang, dari bagian lumbal 5 pasang dan dari bagian sakral 5 pasang
5
serta dari coxigeus keluar 1 pasang saraf spinalis. Seperti halnya otak, medula
spinalis pun terbungkus oleh selaput meninges yang berfungsi melindungi saraf
spinal dari benturan atau cedera.
Gambaran penampang medula spinalis memperlihatkan bagian-bagian
substansi grissea dan substansia alba.Substansia grissea ini mengelilingi canalis
centralis sehingga membentuk columna dorsalis, columna lateralis dan columna
ventralis. Massa grissea dikelilingi oleh substansia alba atau badan putih yang
mengandung serabut-serabut saraf yang diselubungi oleh myelin. Substansi alba
berisi berkas-berkas saraf yang membawa impuls sensorik dari sistem saraf tepi
(SST) menuju sistem saraf pusat (SSP) dan impuls motorik sistem saraf pusat (SSP)
menuju sistem saraf tepi (SST). Substansia grissea berfungsi sebagai pusat
koordinasi yang berpusat di medula spinalis. Di sepanjang medula spinalis terdapat
jaras saraf yang berjalan dari medula spinalis menuju otak yang disebut jaras
acenden dan dari otak menuju medula spinalis yang disebut sebagai jaras desenden.
Substansia alba berisi berkas-berkas saraf yang berfungsi membawa impuls sensorik
dari sistem tepi saraf tepi otak ke otak dan impuls motorik dari otak ke saraf tepi.
Substansi grissea berfungsi sebagai pusat koordinasi reflek yang berpusat di medulla
spinalis.
Refleks-refleks yang berpusat di sistem saraf pusat yang bukan medulla
spinalis,pusat koordinasi tidak disubstansi grisea medulla spinalis.Pada umumnya
penghantaran impuls sensorik di substansi alba medula spinalis berjalan menyilang
garis tengah.Impuls sensorik dari tubuh sisi kiri akan dihantarkan ke otak sisi kanan
dan sebaliknya. Demikian juga dengan impuls motorik.Seluruh impuls motorik dari
otak yang dihantarkan ke saraf tepi melalui medula spinalis akan menyilang.
Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal dari
korteks serebri atau batang otak yang seluruhnya(dengan serat saraf-sarafnya ada di
dalam sistem saraf pusat. Lower Motor Neuron (LMN) adalah neuron-neuron
motorik yang berasal dari sistem saraf pusat tetapi serat-serat sarafnya keluar dari
sistem saraf pusat dan membentuk sistem saraf tepi dan berakhir di otot
rangka.Gangguan fungsi UMN maupun LMN menyebabkan kelumpuhan otot
rangka,tetapi sifat kelumpuhan UMN berbeda sifat dengan kelumpuhan
LMN.Kerusakan LMN menimbulkan kelumpuhan otot yang lemas ketegangan otot
(tonus) rendah dan sukar untuk merangsang refleks otot rangka (hiporefleksia). Pada
kerusakan UMN, otot lumpuh (paralisa/paresa) dan kaku (rigid), ketegangan otot
6
tinggi (hiperrefleksia). Berkas UMN bagian internal tetap berjalan pada sisi yang
sama sampai berkas lateral ini tiba di medulla spinalis. Di segmen medula spinalis
tempat berkas bersinap dengan neuron LMN. Berkas tersebut akan
menyilang,sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan
kelumpuhan pada otot-otot sisi yang berlawanan.
Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah sebagai
pusat refleks. Fungsi tersebut diselenggarakan oleh substansi grisea medula spinalis.
Refleks adalah jawaban individu terhadap rangsang melindung tubuh terhadap
berbagai perubahan yang terjadi baik di lingkungan eksternal.Kegiatan refleks
terjadi melalui suatu jalur tertentu yang disebut lengkung refleks.
Fungsi medula spinalis:
a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu di kornu motorik atau kornu ventralis.
b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan reflek tungkai
c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

Fungsi Lengkung Reflek:


a. Reseptor : penerima rangsang
b. Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem saraf pusat(ke
pusat refleks)
c. Pusat Refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis : substansia grisea )
tempat terjadinya sinap(hubungan antara neuron dengan neuron dimana terjadi
pemindahan /penerusan impuls)
d. Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel efektor. Bila sel
efektornya berupa otot,maka eferen disebut juga neuron motorik (sel
saraf/penggerak)
e. Efektor : sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai jawaban
refleks.Dapat berupa sel otot (otot jantung ,otot polos atau otot rangka),sel
kelenjar.

3. Sistem Saraf Tepi


Kumpulan neuron di luar jaringan otak dan medula spinalis membentuk sistem
saraf tepi(SST). Secara anatomik di golongkan ke dalam saraf-saraf otak sebanyak

7
12 pasang dan 31 pasang saraf spinal. Secara fungsional, SST di golongkan ke
dalam :
1 Saraf sensorik (aferen) somatik : membawa informasi dari kulit,otot rangka dan
sendike sistem saraf pusat
2 Saraf motorik (eferen) somatik : membawa informasi dari sistem saraf pusat ke
otot rangka
3 Saraf sensorik (aferen) viseral : membawa informasi dari dinding visera ke sistem
saraf pusat
4 Saraf motorik (aferen) viseral : membawa informasi dari sistem saraf pusat ke otot
polos,otot jantung dan kelenjar.
5 Saraf eferen viseral di sebut juga sistem saraf otonom.Sistem saraf tepi terdiri atas
saraf otak ( s.kranial) dan saraf spinal. (Pearce, 2006)

2.3 Etiologi
Peranan infeksi pada sebagian besar kejang demam adalah tidak spesifik dan
timbulnya serangan terutama didasarkan atas reaksi demamnya yang terjadi
(Lumbantobing, 2004).
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan yang
tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat misalnya
tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis(Judha & Rahil, 2011).
Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang
mengenai jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi,
Sujono & Sukarmin, 2009)
Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukan penyebab
organik seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan pengamatan menyeluruh.
Tanggung jawab dokter yang paling penting adalah menentukan penyebab demam dan
mengesampingkan meningitis. Infeksi saluran pernapasan atas, dan otitis media akut
adalah penyebab kejang demam yang paling sering (Behrman, Robert , Kliegman, Arvin,
2000).

2.4 Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu
lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
8
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K⁺) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na⁺) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl⁻). Akibatnya konsentrasi ion
K⁺ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na⁺ rendah, sedang di luar sel neuron
terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran
dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan
potensial membran ini dapat dirubah oleh: Perubahan konsentrasi ion di ruang
ekstraselular. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya dan Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena
penyakit atau keturunan.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan konsentrasi
ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri
karena penyakit atau keturunan.Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu kenaikan suhu
tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan
listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “ neurotransmitter” dan terjadi
kejang. Kejang demam yang berlangsung lama biasanya disertai apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi,
artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang
disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak
meningkat (Judha & Rahil, 2011).
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis media
akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang
dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh melalui hematogen
maupun limfogen.

9
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan
menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami bahaya
secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan
suhu di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi
otot.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan disertai
pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran mediator
kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron . Peningkatan
potensial inilah yang merangsang perpindahan ion natrium, ion kalium dengan cepat dari
luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa inilah yang diduga dapat menaikkan fase
depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang.
Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan
kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma sehingga
anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan
spasma bronkus (Price, 2005).

2.5 Pathway / WOC


Infeksi bakteri, virus,
Rangsang mekanik
dan parasit
dan biokimia

Reaksi Inflamasi Perubahan konsentrasi ion


di ruang ekstraseluler

Keseimbangan potensial
Proses
membrane ATPASE
demam

Difusi Na+ dan K+

Resiko kejang Kejang Aktivitas otot


meningkat
berulang

Kurang informasi Kurang dari Lebih dari


Metabolisme
15 menit 15 menit
pengobatan perawatan : meningkat10
kondisi, prognosis, lanjut,
dan diet.
Tidak menimbulkan Perubahan suplay
2.6 Manifestasi klinik
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang muncul
pada penderita kejang demam :
1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.
2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik.
Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi
beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persarafan.
3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya
(penurunan kesadaran) Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut
Livingstone juga dapat kita jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik
kejang demam.

Ada 7 kriteria antara lain:


1 Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
2 Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
3 Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang saja ).
4 Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5 Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
6 Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih
setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan

11
7 Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali. Serangan kejang
biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik. Umumnya
kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun
sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan
saraf. (Judha & Rahil, 2011)

2.7 Penatalaksanaan
Menurut, Judha & Rahil (2011), menyatakan bahwa dalam penanggulangan
kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan yaitu : Pemberantasan kejang secepat
mungkin, apabila seorang anak datang dalam keadaan kejang, maka :
1. Segera diberikan diazepam dan pengobatan penunjang
2. Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah semua pakaian ketat dibuka, posisi
kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung, usahakan agar jalan
napas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen, pengisapan lendir harus dilakukan
secara teratur dan diberikan oksigen.
3. Pengobatan rumat Fenobarbital dosis maintenance : 8-10 mg/kg BB dibagi 2 dosis per
hari pertama, kedua diteruskan 4-5 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari berikutnya.
4. Mencari dan mengobati penyebab Penyebab kejang demam adalah infeksi
respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang adekuat
untuk mengobati penyakit tersebut. Pada pasien yang diketahui kejang lama
pemeriksaan lebih intensif seperti fungsi lumbal, kalium, magnesium, kalsium,
natrium dan faal hati. Bila perlu rontgen foto tengkorak, ensefalografi.

Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan bahwa penatalaksanaan yang
dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain:
1. Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan
dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75
mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis ratarata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg
BB/ kali pemberian dengan maksimal dosis pemberian 5 mg pada anak kurang dari 5
tahun dan maksimal 10 mg pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian
tidak boleh melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih
timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena

12
dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka ditunggu 15 menit lagi kemudian
diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskuler.
2. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring,
pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan
intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
3. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
4. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam
pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake dan
output cairan selama 24 jam 23 perlu dilakukan, karena pada penderita yang beresiko
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat
penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan intraklanial
juga pemberian cairan yang mengandung natrium perlu dihindari.
Kebutuhan cairan rata-rata untuk anak terlihat pada tabel sebagai berikut :
Umur BB (kg) Kebutuhan Cairan (kg)
0-3 hari 3 150
3-10 hari 3,5 125-150
3 bulan 5 140-160
6 bulan 7 135-155
9 bulan 8 125-145
1 tahun 9 120-135
2 tahun 11 110-120
4 tahun 16 100-110
6 tahun 20 85-100
10 tahun 28 70-85
14 tahun 35 50-60

5. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode


konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke benda yang
mempunyai derajat yang lebih rendah (kain kompres). Kompres diletakkan pada
jaringan penghantar panas yang banyak seperti kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan
paha, serta area pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat
dikombinasikan dengan pemberian antipiretik seperti prometazon 4- 6 mg/kg BB/hari
(terbagi dalam 3 kali pemberian).

13
6. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-obatan
untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai
keadaan membaik.Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh
yang lain dengan craa menaikan tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih
15° (posisi tubuh pada garis lurus)
7. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca pemberian
diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada
neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan1tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas
dengan tehnik pemberian intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan
fenobarbital dengan dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali
pemberian) hari berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian.
8. Pengobatan penyebab. Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah
kenaikan suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil maka
pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang lain untuk
mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi sangat perlu
dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih jenis antibiotik yang cocok
diberikan pada pasien anak dengan kejang demam.

2.8 Komplikasi
Komplikasi pada kejang demam anak menurut Garna & Nataprawira (2005) :
1. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya
serangan yang bersifat spontan dan berkala. Bangkitan kejang yang terjadi pada
epilepsi kejang akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf
pusat.
2. Kerusakan jaringan otak terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang
aktif sewaktu kejang melepaskan glutamat yang mengikat resptor M Metyl D Asparate
(MMDA) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang merusak sel
neuoran secara irreversible.
3. Retardasi mental dapat terjadi karena defisit neurologis pada demam neonatus.
4. Aspirasi lidah jatuh kebelakang yang mengakibatkan obstruksi jalan napas.
5. Asfiksia keadaan dimana bayi saat lahir tidak dapat bernafas secra spontan atau
teratur.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


14
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya meliputi:
1. Darah
A. Glukosa darah:hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<200mq/dl)
B. BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
C. Elektrolit: Kalium, natrium. Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi
kejang.
D. Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)
E. Natrium (N 135-144 meq/dl)
2 Cairan serebro spinal: mendeteksi tekanan abnormal dari CCS infeksi, pendarahan
akibat kejang.
3 X Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4 Transiluminasi : suatu cara yang dilakukan pada bayi dengan UUB masih terbaik
(dibawah 2 tahun) dikamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
5 EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
6 CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma, cerebral
oedema,trauma,abses,tumor dengan atau tanpa kontras.
2.10 Penatalaksanaan Kejang Demam
Tatalaksana pasien kejang meliputi :
1. Tindakan awal adalah melakukan tindakan standar kedaruratan berupa ABC
(Airway, Breathing, Circulation), oksigenasi dan penilaian tekanan darah, nadi,
saluran napas, penilaian suhu. Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan
kejang sebelum cedera neuron terjadi (teoritis antara 20 menit sampai 1 jam).

2. Baringkan pasien di tempat yang rata, kepala dimiringkan dan pasangkan sudip
lidah bila perlu yang telah dibungkus kasa untuk mencegah aspirasi dan lidah
tergigit

3. Longgarkan pakaian dan singkirkan benda-benda yang mengganggu pernapasan

4. Pasang IV line

5. Koreksi kelainan metabolik yang ada (hiponatremia, hipoglikemia, hipokalsemia,


dll)

15
6. Bila aktivitas kejang pasien tidak mereda di UGD setelah tindakan ABC dilakukan,
maka untuk pasien yang berada dalam status epileptikus atau sianotik epilepticus,
intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan.

7. Pemberian obat antikonvulsan dan obat antipiretik

8. Lakukan pemeriksaan laboratorium terkait kadar glukosa dan pemeriksaan darah


lainnya. Selain itu, dapat dilakukan pula EEG.

Penatalaksanaan medis kejang demam anak :

Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu
memberantas kejang secepat mungkin, pengobatan penunjang, memberikan pengobatan
rumat, mencari dan mengobati penyebab.

1. Memberantas kejang secepat mungkin

16
Bila pasien datang dalam keadaan status konvulsif, obat pilihan utama adalah diazepam
yang diberikan secara intravena. Diazepam diberikan langsung tanpa pelarut harus
perlahan kira-kirs 1 ml/menit dan pada bayi 1 mg diberikan dalam 1 menit. Efek
terapeutiknya sangat cepat, yaitu kira-kira 30 detik sampai 5 menit secara perlahan dan
dosis tidak melebihi 50 mg per suntikan.
Dosis Diazepam IV :
<10 kgBB = 0,5 - 0,75 mg/kgBB dengan minimal dalam spuit 7,5 mg
>20 kgBB = 0,5 mg/kgBB.
Dosis Diazepam Rektal :
<10 kgBB = 5 mg
>10 kgBB = 10 mg
Rata-rata pemakaian 0,4-0,6 mg/kgBB.

Dosis rata-rata yang dipakai 0,3 mg/kgBB/kali dengan maksimum 5 mg pada anak
usia <5 tahun, dan 10 mg pada anak yang lebih besar

Setelah suntikan pertama secara IV ditunggu 15 menit, jika masih kejang diulangi
suntikan kedua dengan dosis yang sama. Setelah suntikan kedua masih kejang,
berikan suntikan ketiga dengan dosis yang sama dengan IM dan diharapkan kejang
berhenti. Bila belum dapat diberikan fenobarbital secara IV.
2. Pengobatan Penunjang
Sebelum memberantas kejang tidak boleh dilupakan perlunya pengobatan
penunjang yaitu semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala sebaiknya miring untuk
mencegah aspirasi isi lambung, usahakan jalan napas bebas dan diberikan oksigen.
Tanda-tanda vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi
jantung diawasi secara ketat. Begitu pula dengan pengawasan cairan dan elektrolit.
Untuk mencegah edema otak diberikan kortikosteroid dengan dosis 20-30
mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis atau dexametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam
sampai keadaan membaik.
3. Pengobatan Rumatan
Setelah kejang diatasi pasien harus diberikan obat antiepileptik dengan daya kerja
lebih lama dibanding diazepam agar tidak terjadi kejang susulan misalnya

17
fenobarbital atau defenilhidantoin. Fenobarbital 9-10 mg/kgBB, dibagi dalam 2 dosis.
Dan hari berikutnya fenobarbital 4-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis.
4. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab kejang demam sederhana biasanya terjadi karena infeksi respiratorius
bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang adekuat perlu untuk
mengobati penyakit tersebut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan antara lain pungsi
lumbal untuk mengetahui apakah ada infeksi, pemeriksaan darah lengkap, gula
darah, kalium, magnesium, kalsium, natrium, faal hati, EEG dan lain-lain.

18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Pengkajian umum
Kondisi umum Klien nampak sakit berat
2. Penggolongan Triage
Kasus ini adalah emergensi karena dapat mengancam jiwa dan akan mati
tanpa tindakan dalam 0 menit. Untuk itu maka kejang termasuk dalam P1 (Urgent)
3. Pengkajian kesadaran
Pada kasus kejang demam kesadaranya adalah antara Unrespon sebab klien
tidak sadar terhadap penyakitnya. Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU
meliputi :
a. Alert (A) : Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingx
b. Respon Verbal (V) : Klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat
c. Respon Nyeri (P) : Klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
d. Tidak berespon (U) : Klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri
ketika dicubit dan ditepuk wajahnya.
4. Pengkajian Primer
a. Airway : Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d gerakan mulut dan lidah tidak
terkontrol. Jalan nafas tidak efektif karena pada kasus kejang demam Inpuls-
inpuls radang dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu
tubuh Hipotalamus menginterpretasikan impuls menjadi demam Demam yang
terlalu tinggi merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan , sehingga
jaringan otak tidak dapat lagi mengkoordinasi persyarafan-persyarafan pada
anggota gerak tubuh. wajah yang membiru, lengan dan kakinya tesentak-sentak
tak terkendali selama beberapa waktu. Gejala ini hanya berlangsung beberapa
detik, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat membahayakan keselamatan anak
balita. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi kejang demam adalah gerakan

19
mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika tergigit, dan atau berbalik
arah lalu menyumbat saluran pernapasan.
Tindakan yang dilakukan :
1) Semua pakaian ketat dibuka
2) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
3) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
4) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
Evaluasi :
1) Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
2) Jalan nafas bersih dari sumbatan
3) RR dalam batas normal
4) Suara nafas vesikuler
b. Breathing : Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan jalan
nafas. Pola nafas tidak efektif karena pada kejang yang berlangsung lama
misalnya lebih 15 menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2
dan energi meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia
dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Tindakan yang dilakukan :
1) Mengatasi kejang secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam
keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang
diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena.
Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3
dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang
akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau
paraldehid 4 % secara intravena.
2) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :
1) RR dalam batas normal
2) Tidak terjadi asfiksia
3) Tidak terjadi hipoxia
c. Circulation : Perfusi Perifer tidak efektif berhubungan dengan tidak efektif
pertukaran O2 dan C02 dalam darah. Karena gangguan peredaran darah
mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan
20
timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan
pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi
serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama
dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi
Tindakan yang dilakukan :
1) Mengatasi kejang secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam
keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang
diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena.
Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3
dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang
akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau
paraldehid 4 % secara intravena.
2) Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
a) Semua pakaian ketat dibuka
b) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung
c) UsahakaN agarjalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan
oksigen
d) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen
Evaluasi :
1) Tidak terjadi gangguan peredaran darah
2) Tidak terjadi hipoxia
3) Tidak terjadi kejang
4) RR dalam batas normal
5. Pengkajian sekunder
 S (sign and symptom) : Perubahan tonus otot, leher terasa kaku, sakit kepala.
 A (allergies) : Kaji apakah pasien mempunyai riwayat alergi
 M (Medication) : Kaji riwayat pengobatan pasien
 P (Pentinant past medical histori) :Kaji Riwayat dahulu pasien
 L (Last oral intake solid liquid) : kaji kejadian sebelum kejang

21
 E (Event leading to injuri ilmes)
a. Pemeriksaan fisik (Head to Toe)
1) Kepala
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk
kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun
besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum.
2) Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Klien
dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan
seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada
Klien.
3) Muka/ Wajah.
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis tertinggal
bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat.
Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan
nervus cranial ?
4) Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan
ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
5) Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi
seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan
dari telinga, berkurangnya pendengaran.
6) Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas ?
Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya?
7) Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah?
Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi
?
8) Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring,
cairan eksudat ?
9) Leher
22
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah
pembesaran vena jugulans ?
10) Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,
frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi
Intercostale ? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
11) Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi
tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
12) Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana
turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah
pembesaran lien dan hepar ?
13) Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah
terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?
14) Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang?
Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
15) Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda
infeksi ?
b. TTV
1) Tekanan darah : Menurun
2) Suhu : tinggi di atas 38 °C
3) Respirasi : Meningkat
4) Nadi : Meningkat
c. Risiko jatuh
Tabel skala jatuh Humpty Dumpty dapat dilihat dibawah ini :

Parameter Kriteria Nilai Skor


Usia < 3 Tahun 4
3 – 7 tahun 3

23
7 – 13 tahun 2
≥ 13 tahun 1
Jenis Kelamin Laki – laki 2
Perempuan 1
Diagnosis Diagnosis neurologi 4
Perubahan oksigenasi (diagnosis respiratorik, 3
dihaidrasi, anemia, anoreksia, Sinkop,
Pusing, dll
Gangguan prilaku / psikiatri 2
Diagnosis lainnya 1
Gangguan Kognitif Tidak menyadari keterbatasan lainnya 3
Lupa akan adanya keterbatasan 2
Orientasi baik terhadap diri sendiri 1
Faktor Lingkungan Riwayat jatuh / bayi diletakkan ditempat tidur 4
dewasa
Pasien menggunakan alat bantu / bayi 3
diletakkan dalam tempat tidur bayi / perabot
rumah.
Pasien diletakkan pada tempat tidur 2
Area diluar rumah sakit 1
Pembedahan / Dalam 24 jam 3
sedasi/ anestesi Dalam 48 jam 2
>48 jam dan tidak menjalani pembedahan / 1
sedasi / anastesi.
Penggunaan medika Penggunaan multiple sedative, obat hypnosis, 3
mentosa barbiturate, fenotiazi, antidepresan, pencahar,
diuretic, narkose.
Penggunaan obat salah satu diatas 2
Penggunaan medikasi lainnya / atau tidak ada 1
medikasi.
Jumlah Skor Humpty Dumpty

24
Berdasarkan nilai dari table diatas nanti kita akan dapat mengklasifikasikan atau
mendapatkan nilai sehingga kita dapat menentukan tingkat resiko Jatuh dari pasien yang kita
nilai :

Dengan ketentuan skala Humpty Dumpty dibawah ini :


Skor Penilaian Resiko jatuh (skor minimum 7, Skor maksimum 25)
Skor 7 – 11 Resiko Rendah
Skor ≥ 12 Resiko Tinggi

3.2 Analisa Data


No Data Fokus Etiologi Masalah
1 Ds:- Kejang Bersihan jalan
Do: Suhu tubuh↑, ↓ nafas Tidak Efektif
wajah tampak Terjadi kerusakan sel (D.0001)
kebiruan, lengan dan otak
kakinya tesentak- ↓
sentak tak terkendali, Gerakan mulut dan lidah
lidah tergigit tidak terkontrol

Ketidakefektipan
bersihan jalan nafas
2 Ds:- Kejang Pola nafas Tidak
Do: Hipoksia, RR↑, ↓ Efektif (D.0005)
penggunaan otot nafas Terjadi kerusakan sel
bantu. otak

Gerakan mulut dan lidah
tidak terkontrol

Ketidakefektipan
bersihan jalan nafas

Pola nafas tidak efektif

3 Ds:- Na↑, O2↑ (tdk terpenuhi) Perfusi Perifer


Do: RR↑, Hipoksia, ↓ Tidak Efektif
badan terlihat kakum, Hipoksia (D.0009)
suhu tubuh↑. ↓
Perfusi Perifer Tidak
Efektif
4 Ds:- Infeksi bakteri virus dan Hipertermia
Do: Klien tampak parasit (D.0130)
berkeringat dan ↓
kepanasan. Suhu reaksi inflamasi

25
tubuh meningkat. ↓
Proses demam

Hipertermi
5 Ds: - Suhu tubuh Hipovolemia
Do: bibir Klien ↓ (D.0023)
tampak kering, Klien Gangguan pemenuhan
tampak berkeringat. cairan
Suhu: 38°C, ↑Denyut ↓
nadi, ↓Tekanan darah Hipovolemia
6. Ds: - Kejang Risiko Infeksi
Do: Klien tampak ↓ (D.0142)
tidak sadar, GCS: 12 Kesadaran menurun

Resiko Infeksi
7 Ds : - Kejang Risiko jatuh
Do: Klien tampak ↓
tidak sadar, GCS: 12 Kurang kesadarn ( D.0143 )

Inkordinasi konstraksi
otot mulut dan lidah

Risiko jatuh

8. Ds :- Infeksi bakteri virus dan Risiko Kejang


Do : Suhu tubuh parasit Berulang
meningkat 38o , Mata ↓
mengarah ke atas, reaksi inflamasi
Tekanan darah ↓
menurun, pasien Proses demam berulang
berkeringat, napas ↓
cepat lebih dari 20x Risiko kejang Berulang

3.3 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif berhubungan dengan gerakan mulut dan lidah
tidak terkontrol (D.0001)
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan jalan nafas (D.0005)
3. Perfusi Perifer Tidak Efektif berhubungan dengan tidak efektif pertukaran O2 dan
C02 dalam darah (D.0009)
4. Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan (D.0130)
5. Hipovolemia berhubungan dengan output berlebihan (dehidrasi) (D.0023)
6. Risiko Infeksi berhubungan dengan kejang (D.0142)

26
7. Risiko Jatuh ( D.0143 )
8. Risiko Kejang berulang berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh.

3.4 Intervensi
Diagnosa 1 : Bersihan jalan napas berhubungan dengan gerakan
mulut dan lidah tidak terkontrol
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 15 menit
diharapkan Jalan napas klien lancar/normal.
Kriteria hasil :
1. Menunjukkan batuk yang efektif.
2. Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
3. Klien nyaman.
Intervensi Rasional
1 Letakkan klien pada posisi Meningkatkan aliran (drainase)
miring, permukaan datar, secret, mencegah lidah jatuh
miringkan kepala selama sehingga menyumbat jalan napas
serangan kejang
2 Tanggalkan pakaian pada Untuk memfasilitasi usaha
daerah leher, dada, dan bernapas
abdomen
3 Masukkan spatel lidah/ jalan Mencegah tergigitnya lidah dan
napas buatan atau gulungan memfasilitasi saat melakukan
benda lunak sesuai indikasi penghisapan lender. Jalan napas
buatan mungkin diindikasikan
setelah meredanya aktivitas kejang
jika Klien tersebut tidak sadar dan
tidak dapat mempertahankan posisi
lidah yang aman

Diagnosa 2 : Pola napas tidak efektif berhubungan dengan


penyumbatan jalan nafas

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2 x 60 menit diharapkan pola nafas


klien efektif
Kriteria Hasil : Mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan
napas paten.

Intervensi Rasional
1. Anjurkan pasien untuk 1. Menurunkan resiko aspirasi
mengosongkan mulut dari atau masuknya benda asing ke
benda/zat tertentu/gigi palsu faring
atau alat lainnya jika fase aura
terjadi dan untuk menghindari
rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala

27
awal
2. Letakkan pasien pada posisi 2. Meningkatkan aliran (drainase)
miring, permukaan datar, secret, mencegah lidah jatuh
miringkan kepala selama sehingga menyumbat jalan
serangan kejang napas
3. Tanggalkan pakaian pada 3. Untuk memfasilitasi usaha
daerah leher, dada, dan bernapas
abdomen
4. Masukkan spatel lidah/ jalan 4. Mencegah tergigitnya lidah dan
napas buatan atau gulungan memfasilitasi saat melakukan
benda lunak sesuai indikasi penghisapan lender. Jalan napas
buatan mungkin diindikasikan
setelah meredanya aktivitas
kejang jika Klien tersebut tidak
sadar dan tidak dapat
mempertahankan posisi lidah
yang aman
5. Berikan tambahan oksigen/ 5. Dapat menurunkan hipoksia
ventilasi manual sesuai serebral sebagai akibat dari
kebutuhan pada fase posiktal sirkulasi yang menurun atau
oksigen sekunder terhadap
spasme vaskuler selama
serangan kejang
6. Siapkan/bantu melakukan 6. Munculnya apneu yang
intubasi jika ada indikasi berkepanjangan pada fase
posiktal membutuhkan

Diagnosa 3 : Perfusi Perifer Tidak Efektif berhubungan dengan tidak


efektif pertukaran O2 dan C02 dalam darah

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2 x 60 menit diharapkan perfusi


jaringan lebih efektif
Kriteria Hasil : akral tidak dingin, tidak terjadi sianosis pada jaringan
perifer.

Intervensi Rasional
1. Atur posisi kepala dan leher 1. Untuk mempertahankan ABC
untuk mendukung airway (jaw dan mencegah terjadi
thrust). Jangan memutar atau obstruksi jalan napas
menarik leher ke belakang
(hiperekstensi),
mempertimbangkan pemasangan
intubasi nasofaring.
2. Atur suhu ruangan 2. Untuk menurunkan keparahan
dari poikilothermy.
3. Tinggikan ekstremitas bawah 3. Meningkatkan aliran balik
vena ke jantung.
4. Gunakan servikal collar, 4. Stabilisasi tulang servikal

28
imobilisasi lateral kepala,
meletakkan papan di bawah
tulang belakang.

Diagnosa 4 : Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan

Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 menit . diharapkan


hipertermi tidak terjadi.
Kriteria Hasil : suhu tubuh normal (360c – 370c), klien bebas dari
demam.

Interverensi Rasional
1. Beri kompres hangat Dapat membantu mengurangi demam

2. Beri dan anjurkan


Semakin banyak minum akan dapat antu
klien banyak minum
menurunkan demam
3. Anjurkan klien istirahat Istirahat yang baik akan dapat sedikit
dengan tirah membantu penyembuhan

4. Anjurkan klien untuk Pakaian yang tipis akan memudahkan


memakai pakaian tipis dan sirkulasi dalam dan luar tubuh
menyerap keringat
Suhu ruangan harus diubah untuk
5. Ciptakan suasana yang
mempertahankan suhu mendekati normal
nyaman (atur ventilasi)

Diagnosa 5 : Hipovolemia berhubungan dengan output berlebihan


(dehidrasi )
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 menit
diharapkan devisit voleme cairan tidak terjadi
Kriteria Hasil : menunjukkan keseimbangan cairan, tanda-tanda vital dalam
batas normal

Interverensi Rasional
1. kaji perubahan tanda- tanda peningkatan suhu atau
vital memanjangnya demam
meningkatnya laju metabolic dan
kehilangan cairan melalui evaporasi

2. kaji turgor kelembapan Indikator langsung keadekuatan


membrane mukosa ( bibir dan voleme cairan meskipun membran
lidah ) mukosa mulut mungkin kering
karena napas mulut dan oksigen
tambahan.

29
adanya gejala ini menurunkan
3. catat laporan mual masukan oral
atau muntah
4. pantau masukan dan keluaran memberikan informasi tentang
keadekuatan volume cairan dan
kebutuhan pengganti
pemenuhan kebutuhan dasar
5. tekankan cairan sedikitnya cairan, menurunkan risiko
2500 ml/hari atau sesuai dehidrasi
kondisi individual.

Diagnosa 6 : Risiko Infeksi berhubungan dengan kejang

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 menit


diharapkan resiko infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil : lingkungan yang aman dan tidak berisiko bagi pasien.

Intervensi Rasional
1. Identifikasi risiko biologis, Mencegah terjadinya cidera yang
lingkungan dan perilaku. dapat berakibat fatal bagi pasien

2. Dokumentasikan temuan risiko Mengobservasi risiko jatuh pasien,


secara akurat. sebagai uapay pencegaha terjadinya
cidera
3. Pasang side-rail tempat tidur. Mempertahankan keamanan
lingkungan pasien
Diaharapkan dapat menghentikan
4. Kolaborasi pemebrian kejang, sebagai status biologis untuk
antikonvulasan, jika perlu mencegah terjadinya cidera akibat
kejang.

Diagnosa 7 : Risiko Cidera

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 menit


diharapkan resiko cidera dapat diatasi
Kriteria hasil : Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan
pengobatan, meningkatkan keamanan lingkungan

Intervensi Rasional
1. Hindarkan anak dari benda- Tindakan ini dapat membantu
bendayang membahayakan menurunkan injuri

30
dapat melindungi klien dari
2. Gunakan alat pengaman bahaya injuri

3. Bila terjadi kejang, pasang Agar lidah tidak tergigit atau


sudip Lidah lidah menutup jalan napas.
Diharapkan dapat mempercepat
4. Kolaborasi pemberian obat anti proses penyembuhan dan juga
kejang dengan memantau efek samping
secara dini jika timbul efek
samping.

Diagnosa 8 : Risiko Kejang Berulang


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 menit .
diharapkan hipertermi tidak terjadi.
Kriteria Hasil : suhu tubuh normal (360c – 37 0c), klien bebas dari
demam
1. Beri kompres hangat Dapat membantu
mengurangi demam
2. Beri dan anjurkan klien Semakin banyak minum akan
banyak minum dapat antu menurunkan
demam
3. Anjurkan klien istirahat dengan Istirahat yang baik akan
tirah dapat sedikit membantu
penyembuhan
4. Anjurkan klien untuk Pakaian yang tipis akan
memakai pakaian tipis dan memudahkan sirkulasi dalam
menyerap keringat. dan luar tubuh

Suhu ruangan harus diubah


5. Ciptakan suasana yang nyaman untuk mempertahankan suhu
(atur ventilasi) mendekati normal

4. Implementasi
Sesuai dengan intervensi
5. Evaluasi
1. Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan
2. Menemtukan apakah tujuan keperawatan telah tercai atau belum
3. Mengkaji ulang penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai
BAB IV
PENUTUP

31
4.1 Kesimpulan
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Biasanya kejang terjadi
pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, bila anak usia kurang 6 bulan atau lebih 5 tahun
mengalami kejang didahului oleh demam, kemungkinan lainya, misalnya mengalami
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak yang mengalami kejang tanpa
demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk kejang demam. Kejang
disertai demam pada bayi usia kurang lebih 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam
(Garna & Nataprawira, 2005).
Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang
mengenai jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi,
Sujono & Sukarmin, 2009).
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan konsentrasi
ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri
karena penyakit atau keturunan.Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu kenaikan suhu
tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan
listrik.

4.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat menjadi referensi bagi pembahasan kejang demam
pada anak selanjutnya.

32
DAFTAR PUSTAKA

Ngastiyah. 1995. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Greene, et all.2005. Pertolongan pertama untuk anak, alih bahasa susi Spurwoko. Gramedia.
Jakarta

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta : EGC

Ismael, Sofyan,dkk. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Ikatan Dokter


Anak Indonesia

http://idai.or.id/wpcontent/uploads/2013/02/Kejang-Demam-Neurology-2012.pdf (Diakses
tanggal 15 juli 2019, Pukul 15.00 WITA)

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-avidbintar-6716-2-babii.pdf
(Diakses tanggal 15 juli 2019, Pukul 16.30 WITA)

https://www.perawatkitasatu.com/2018/10/asuhan-keperawatan-kejang-demam-anak.html
(Diakses tanggal 16 Juli 2019, Pukul 18.34 WITA)

33

Anda mungkin juga menyukai