Anda di halaman 1dari 13

TUGAS FISIKA INTI

“DETEKTOR RADIASI”

OLEH:

NAMA : FADHLINA NOER

NIM : 16033049

PRODI : PENDIDIKAN FISIKA A

DOSEN : Dra. Hidayati, M.Si

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
DETEKTOR RADIASI
Detektor radiasi adalah alat yang digunakan untuk mendeteksi, melacak, atau
mengidentifikasi partikel berenergi tinggi, seperti yang dihasilkan oleh peluruhan nuklir,
radiasi kosmik, dan reaksi dalam akselerator partikel. Detektor modern juga digunakan
sebagai kalorimeter untuk mengukur energi radiasi terdeteksi. Mereka dapat juga
digunakan untuk mengukur atribut lainnya, seperti momentum, spin, dan bertanggung
jawab atas partikel.
Detektor radiasi merupakan tranducer (sensor) yang dapat mengenali adanya radiasi
nuklir, baik alfa, beta, maupun gamma. Pendeteksian radiasi ionisasi di alam sekitar
menjadi sangat penting karena tubuh manusia tidak mampu mengindera kehadiran radiasi
ionisasi. Konsep dasar pendeteksian radiasi ionisasi didasarkan atas interaksi partikel
radiasi dengan materi penyusun detektor, sehingga terjadi ionisasi.
1. Sifat Radiasi Nuklir
Radiasi adalah sebuah transfer energi yang melalui gelombang elektromagnetik atau
juga gerakan partikel yang berlangsung secara cepat yang melalui ruang hingga akhirnya
dapat diserap oleh benda lain atau Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi
atau ruang dalam bentuk panas, partikel atau gelombang elektromagnetik/cahaya (foton)
dari sumber radiasi. Dalam pengertian umum Segala sesuatu yang berkaitan dengan
nuklir adalah berhubungan dengan atom. Atom merupakan bagian terkecil dari suatu
benda yang terdiri atas proton, neutron dan elektron.
Nuklir merupakan inti atom yang tersusun dari proton dan neutron. Kejadian pada
kehidupan sehari-hari, fenomena alam, jarang sekali berkaitan dengan reaksi nuklir.
Hampir semuanya melibatkan gravitasi dan elektromagnetik. Keduanya adalah bagian dari
empat gaya dasar dari alam, dan bukanlah yang terkuat. Namun dua lainnya, gaya nuklir
lemah dan gaya nuklir kuat adalah gaya yang bekerja pada range yang pendek dan tidak
bekerja di luar inti atom. Inti atom terdiri dari muatan positif yang sesungguhnya akan
saling menjauhi jika tidak ada suatu gaya yang menahannya. Jadi radiasi nuklir merupakan
reaksi nuklir yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, masing-masing memberikan hasil
yang sangat berbeda. Reaksi nuklir adalah reaksi yang terjadi di inti atom.
Ada dua macam sifat radiasi yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan
sumber radiasi pada suatu tempat atau bahan, yaitu sebagai berikut: :
a. Radiasi tidak dapat dideteksi oleh indra manusia, sehingga untuk mengenalinya
diperlukan suatu alat bantu pendeteksi yang disebut dengan detektor radiasi. Ada
beberapa jenis detektor yang secara spesifik mempunyai kemampuan untuk
melacak keberadaan jenis radiasi tertentu yaitu detektor alpha, detektor gamma,
detektor neutron, dll.
b. Radiasi dapat berinteraksi dengan materi yang dilaluinya melalui proses ionisasi,
eksitasi dan lain-lain. Dengan menggunakan sifat-sifat tersebut kemudian
digunakan sebagai dasar untuk membuat detektor radiasi.
Besaran yang Diukur Secara definisi, radiasi merupakan salah satu cara perambatan
energi dari suatu sumber energi ke lingkungannya tanpa membutuhkan medium atau
bahan penghantar tertentu. Salah satu bentuk energi yang dipancarkan secara radiasi
adalah energi nuklir. Radiasi ini memiliki dua sifat yang khas, yaitu tidak dapat dirasakan
secara langsung oleh panca indra manusia dan beberapa jenis radiasi dapat menembus
berbagai jenis bahan. Sebagaimana sifatnya yang tidak dapat dirasakan sama sekali oleh
panca indera manusia, maka untuk menentukan ada atau tidak adanya radiasi nuklir
diperlukan suatu alat, yaitu pengukur radiasi yang merupakan suatu susunan peralatan
untuk mendeteksi dan mengukur radiasi baik kuantitas, energi, atau dosisnya.
a. Kuantitas radiasi
Kuantitas radiasi adalah jumlah radiasi per satuan waktu per satuan luas, pada suatu
titik pengukuran. Kuantitas radiasi ini berbanding lurus dengan aktivitas sumber
radiasi dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak (r) antara sumber dan sistem
pengukur.
b. Energi radiasi (E)
Energi radiasi merupakan ‘kekuatan’ dari setiap radiasi yang dipancarkan oleh
sumber radiasi. Bila sumber radiasinya berupa radionuklida maka tingkat atau nilai
energi radiasi yang dipancarkan tergantung pada jenis radionuklidanya. Kalau sumber
radiasinya berupa pesawat sinar-X, maka energi radiasinya bergantung kepada
tegangan anoda (kV). Tabel 1 menunjukkan contoh energi radiasi yang dipancarkan
oleh beberapa radionuklida.
Tabel 1. Probabilitas dan Energi Beberapa Jenis Isotop
Jenis radionuklida Energi probabilitas
Cd-109 88 keV 3,70 %
Cs-137 662 keV 85%
1173 keV dan 1332
Co-60 99% dan 100%
keV
c. Dosis radiasi
Dosis radiasi menggambarkan tingkat perubahan atau kerusakan yang dapat
ditimbulkan oleh radiasi. Nilai dosis ini sangat ditentukan oleh kuantitas radiasi, jenis
radiasi dan jenis bahan penyerap. Dalam proteksi radiasi pengertian dosis adalah
jumlah radiasi yang terdapat dalam medan radiasi atau jumlah energi radiasi yang
diserap atau diterima oleh materi. Penggunaan sistem pengukur radiasi dapat dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu untuk kegiatan proteksi radiasi dan untuk kegiatan
aplikasi/penelitian radiasi nuklir. Alat ukur radiasi yang digunakan untuk kegiatan
proteksi radiasi harus dapat menunjukkan nilai dosis radiasi yang mengenai alat
tersebut. Sedangkan alat ukur yang digunakan di bidang aplikasi radiasi dan penelitian
biasanya ditekankan untuk dapat menampilkan nilai kuantitas radiasi atau spektrum
energi radiasi yang memasukinya. Setiap alat ukur radiasi terdiri atas dua bagian utama
yaitu detektor dan peralatan penunjang.
Detektor merupakan suatu bahan yang peka terhadap radiasi, yang jadi bila dikenai
radiasi akan menghasilkan suatu tanggapan (response) tertentu yang lebih mudah
diamati sedangkan peralatan penunjang, biasanya merupakan peralatan elektronik,
berfungsi untuk mengubah tanggapan detektor tersebut menjadi suatu informasi yang
dapat diamati oleh panca indera manusia atau dapat diolah lebih lanjut menjadi
informasi yang berarti.
2. Jenis Detektor radiasi
Partikel alfa, beta, gamma, neutron atau proton yang dilepas dari bahan radioaktif
ataupun radiasi oleh alam, dapat diukur nilai parameter fisisnya hanya bila terdapat
instrumen yang dapat mendeteksi atau mengukur parameter radiasi itu. Instrumen itu
disebut detektor radiasi. Bentuk, bahan dan kepekaan dari setiap detektor disesuaikan
dengan kebutuhan pengguna. Telah dikenal beberapa jenis detektor, yaitu detektor isian
gas, detektor sintilasi, dan detektor semikonduktor (Jati dan Priyambodo, 2010: 307).
A. Detektor Isian Gas
Detektor isian gas adalah detektor yang paling banyak digunakan untuk mengukur
radiasi (Safitri, dkk, 2011). Detektor isian gas merupakan tabung tertutup yang berisi
gas dan terdiri dari 2 buah elektrode. Dinding tabung sebagai elektrode negatif
(katode) dan kawat yang terbentang di dalam tabung pada poros sebagai elektrode
positif (anode). Skema detektor isian gas disajikan pada gambar berikut (Surakhman
dan Sayono, 2009).
Gambar 1. Detektor isian gas
Radiasi yang memasuki detektor akan mengionisasi gas dan menghasilkan ion-ion
positif dan ion-ion negatif (elektron). Jumlah ion yang akan dihasilkan tersebut
sebanding dengan energi radiasi dan berbanding terbalik dengan daya ionisasi gas.
Daya ionisasi gas berkisar dari 25 eV s.d. 40 eV. Ion-ion yang dihasilkan di dalam
detektor tersebut akan memberikan kontribusi terbentuknya pulsa listrik ataupun arus
listrik. Adapun skema dari proses ionisasi disajikan pada gambar berikut

Gambar 2. Proses ionisasi


Ion-ion primer yang dihasilkan oleh radiasi akan bergerak menuju elektroda yang
sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut akan menimbulkan pulsa atau arus listrik.
Pergerakan ion tersebut di atas dapat berlangsung bila di antara dua elektroda terdapat
cukup medan listrik. Bila medan listriknya semakin tinggi maka energi kinetik ion-ion
tersebut akan semakin besar sehingga mampu untuk mengadakan ionisasi lain. Ion-ion
yang dihasilkan oleh ion primer disebut sebagai ion sekunder. Bila medan listrik di
antara dua elektroda semakin tinggi maka jumlah ion yang dihasilkan oleh sebuah
radiasi akan sangat banyak dan disebut proses avalanche.
Jumlah pasangan ion yang terbentuk bergantung pada jenis dan energi radiasinya.
 Radiasi alfa dengan energi 3 MeV misalnya, mempunyai jangkauan (pada tekanan
dan suhu standar) sejauh 2,8 cm dapat menghasilkan 4.000 pasangan ion per mm
lintasannya.
 Radiasi beta dengan energi kinetik 3 MeV mempunyai jangkauan dalam udara (pada
tekanan dan suhu standar) sejauh 1.000 cm dan menghasilkan pasangan ion sebanyak
4 pasang tiap mm lntasannya.

Terdapat tiga jenis detektor isian gas yang bekerja pada daerah yang berbeda yaitu
detektor kamar ionisasi, detektor proporsional, dan detektor Geiger Mueller (GM).
1) Detektor Kamar Ionisasi
Detektor kamar ionisasi beroperasi pada tegangan paling rendah. Jumlah elektron
yang terkumpul di anoda sama dengan jumlah yang dihasilkan oleh ionisasi primer.
Dalam kamar ionisasi ini tidak terjadi pelipat-gandaan (multiplikasi) jumlah ion oleh
ionisasi sekunder. Dalam daerah ini dimungkinkan untuk membedakan antara radiasi
yang berbeda ionisasi spesifikasinya, misalnya antara partikel alfa, beta dan gamma.
Namun, arus yang timbul sangat kecil, kira-kira 10-12 A sehingga memerlukan penguat
arus sangat besar dan sensitivitas alat baca yang tinggi (Hidayanto, 2009).
2) Detektor Proporsional
Salah satu kelemahan dalam mengoperasikan detektor pada daerah kamar ionisasi
adalah out put yang dihasilkan sangat lemah sehingga memerlukan penguat arus sangat
besar dan sensitivitas alat baca yang tinggi. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, tetapi
masih tetap dapat memanfaatkan kemampuan detektor dalam membedakan berbagai jenis
radiasi, maka detektor dapat dioperasikan pada daerah proporsional (Hidayanto, 2009).
Alat pantau proporsional beroperasi pada tegangan yang lebih tinggi daripada kamar
ionisasi. Daerah ini ditandai dengan mulai terjadinya multiplikasi gas yang besarnya
bergantung pada jumlah elektron mula-mula dan tegangan yang digunakan. Karena terjadi
multiplikasi maka ukuran pulsa yang dihasilkan sangat besar (Hidayanto, 2009).

Multiplikasi terjadi karena elektron-elektron yang dihasilkan oleh ionisasi primer


dipercepat oleh tegangan yang digunakan sehingga elektron tersebut memiliki energi yang
cukup untuk melakukan ionisasi berikutnya (ionisasi sekunder). Meskipun terjadi
multiplikasi, namun jumlah elektron yang dihasilkan tetap sebanding (proporsional)
dengan ionisasi mula-mula. Karena itu dinamakan alat pantau proporsional (Hidayanto,
2009).
Keuntungan dari alat pantau proporsional adalah bahwa alat ini mampu mendeteksi
radiasi dengan intensitas cukup rendah. Namun, memerlukan sumber tegangan yang super
stabil, karena pengaruh tegangan pada daerah ini sangat besar terhadap tingkat
multiplikasi gas dan juga terhadap tinggi pulsa out put (Hidayanto, 2009).
3) Detektor Geiger Mueller
Sejak ditemukan detektor radiasi pengion oleh Hans Geiger pada tahun 1908, kemudian
tahun 1928 disempurnakan oleh Walther Mueller menjadi tabung detektor Geiger-Mueller
yang konstruksinya sederhana dibandingkan dengan jenis detektor yang lain. Detektor
Geiger-Mueller terdiri dari suatu tabung logam atau gelas dilapisi logam yang biasanya
diisi gas seperti argon, neon, helium atau lainnya (gas mulia dan gas poliatomik) dengan
perbandingan tertentu (Safitri, dkk, 2011).
Detektor Geiger (Geiger Counter) merupakan alat ukur cacah radiasi yang berdasarkan
pada prinsip ionisasi atom-atom gas. Detektor ini berisi gas pada tekanan rendah, kawat
halus yang berfungsi sebagai anode, dan selubung silinder sebagai katode. Jika terdapat
partikel dari radiasi bahan radioaktif yang masuk melalui jendela (window) detektor, maka
partikel itu dipercepat oleh anode, sehingga dapat mengionisasi gas disekitar anode, dan
akibatnya diperoleh pulsa listrik. Cacah pulsa listrik itu sebanding dengan jumlah partikel
dari bahan radioaktif yang masuk detektor (Jati dan Priyambodo, 2010: 308).
B. Detektor Sintilasi
Detektor jenis ini merupakan alat ukur cacah radiasi oleh bahan radioaktif, atau radiasi
oleh alam pada berbagai nilai tenaga dari partikel atau foton yang dideteksi. Jika sinar
jatuh pada kristal scintilator (NaI) maka kristal berpendar. Hal ini disebabkan oleh
elektron atau atom dari kristal yang tereksitasi, dan kemudian kembali ke arah bawah
dengan mengemisi foton. Radiasi foton itu mengenai katode, dan selanjutnya katode
melepas elektron yang disebut radiasi fotokatode. Selanjutnya, kelajuan elektron
diperbesar dengan melewatkannya pada beda potensial bertingkat sehingga potensialnya
naik secara bertahap, serta diperkuat oleh tabung fotomultiplier. Detektor ini juga mampu
memberi informasi tenaga dari partikel atau foton yang ditangkap oleh detektor itu (Jati
dan Priyambodo, 2010: 308).
Detektor sintilasi terdiri dari dua bagian, yaitu bahan sintilator dan photomultiplier.
Bahan sintilator merupakan suatu bahan padat, cair maupun gas, yang akan menghasilkan
percikan cahaya bila dikenai radiasi pengion. Photomultiplier digunakan untuk mengubah
percikan cahaya yang dihasilkan bahan sintilator menjadi pulsa listrik.
a. intilator Cair (Liquid Scintillation)
Detektor ini sangat spesial dibandingkan dengan jenis detektor yang lain karena
berwujud cair. Sampel radioaktif yang akan diukur dilarutkan dahulu ke dalam sintilator
cair ini sehingga sampel dan detektor menjadi satu kesatuan larutan yang homogen. Secara
geometri pengukuran ini dapat mencapai efisiensi 100 % karena semua radiasi yang
dipancarkan sumber akan “ditangkap” oleh detektor. Metode ini sangat diperlukan untuk
mengukur sampel yang memancarkan radiasi b berenergi rendah seperti tritium dan C14.

Gambar 3. Sintilator Cair


Masalah yang harus diperhatikan pada metode ini adalah quenching yaitu berkurangnya
sifat transparan dari larutan (sintilator cair) karena mendapat campuran sampel. Semakin
pekat konsentrasi sampel maka akan semakin buruk tingkat transparansinya sehingga
percikan cahaya yang dihasilkan tidak dapat mencapai photomultiplier.
Proses sintilasi pada bahan ini dapat dijelaskan dengan gambar di bawah. Di dalam
kristal bahan sintilator terdapat pita-pita atau daerah yang dinamakan sebagai pita valensi
dan pita konduksi yang dipisahkan dengan tingkat energi tertentu. Pada keadaan dasar,
ground state, seluruh elektron berada di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong.
Ketika terdapat radiasi yang memasuki kristal, terdapat kemungkinan bahwa energinya
akan terserap oleh beberapa elektron di pita valensi, sehingga dapat meloncat ke pita
konduksi. Beberapa saat kemudian elektron-elektron tersebut akan kembali ke pita valensi
melalui pita energi bahan aktivator sambil memancarkan percikan cahaya.

Gambar 4. Proses Sintilasi


Jumlah percikan cahaya sebanding dengan energi radiasi diserap dan dipengaruhi oleh
jenis bahan sintilatornya. Semakin besar energinya semakin banyak percikan cahayanya.
Percikan-percikan cahaya ini kemudian ‘ditangkap’ oleh photomultiplier.
Berikut ini adalah beberapa contoh bahan sintilator yang sering digunakan sebagai
detektor radiasi.
1) Kristal NaI(Tl)
Detektor NaI(Tl) merupakan detektor jenis sintilasi. Bahan sintilator berupa kristal
tunggal Natrium Iodida yang didopping dengan sedikit Tallium. Sinar gamma yang
terdeteksi berinteraksi dengan atom-atom bahan sintilator berupa interaksi efek
fotolistrik, hamburan Compton, dan efek pembentukan pasangan. Elektron bebas
hasil interaksi selanjutnya akan mengalami proses ionisasi dan penetralan (excitasi).
2) Kristal ZnS(Ag)
3) Kristal LiI(Eu)
4) Sintilator Organik
b. Tabung Photomultiplier
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, setiap detektor sintilasi terdiri atas dua bagian
yaitu bahan sintilator dan tabung photomultiplier. Bila bahan sintilator berfungsi untuk
mengubah energi radiasi menjadi percikan cahaya maka tabung photomultiplier ini
berfungsi untuk mengubah percikan cahaya tersebut menjadi berkas elektron, sehingga
dapat diolah lebih lanjut sebagai pulsa / arus listrik.
Tabung photomultiplier terbuat dari tabung hampa yang kedap cahaya dengan
photokatoda yang berfungsi sebagai masukan pada salah satu ujungnya dan terdapat
beberapa dinode untuk menggandakan elektron seperti terdapat pada gambar 4.
Photokatoda yang ditempelkan pada bahan sintilator, akan memancarkan elektron bila
dikenai cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai. Elektron yang dihasilkannya akan
diarahkan, dengan perbedaan potensial, menuju dinode pertama. Dinode tersebut akan
memancarkan beberapa elektron sekunder bila dikenai oleh elektron.

Gambar 5. Tabung Photomultiplier


Elektron-elektron sekunder yang dihasilkan dinode pertama akan menuju dinode kedua
dan dilipatgandakan kemudian ke dinode ketiga dan seterusnya sehingga elektron yang
terkumpul pada dinode terakhir berjumlah sangat banyak. Dengan sebuah kapasitor
kumpulan elektron tersebut akan diubah menjadi pulsa listrik.
c. Kelebihan Detektor Sintilasi
1. Bekerja sangat cepat; yaitu dapat memberikan pulsa listrik dan kembali ke tahanan
semula, kemudian siap digunakan lagi dalam waktu yang sangat pendek (10-8 s).
2. Dapat dirancang untuk memberikan ukuran pulsa yang berbanding lurus dengan
kehilangan energy radiasi di dalam sintilator.
3. Mempunyai efisiensi pendeteksian terhadap sinar gamma lebih tinggi dibandingkan
pencacah isi gas.
C. Detektor Zat Padat
Berdasarkan daya hantarnya, bahan dibagi menjadi: konduktor, semikonduktor, dan
isolator.
Pada kristal, elektron berada pada tingkat-tingkat energi yang sangat berdekatan hingga
menyerupai pita energi.
Detektor ini menggunakan bahan utama semikonduktor yang merupakan gandengan
positif (P) dan negatif (N). Jika detektor tidak teradiasi, maka tidak mengalirkan arus
listrik, sedangkan apabila ada radiasi dapat memberikan lubang (hole) pada bahan
gabungan, sehingga muncul arus listrik. Alat ini cukup sederhana, hanya saja volume aktif
bahan yang dimiliki sangat kecil (Jati dan Priyambodo, 2010: 309).
Bahan semikonduktor, yang diketemukan relatif lebih baru daripada dua jenis detektor
di atas, terbuat dari unsur golongan IV pada tabel periodik yaitu silikon atau germanium.
Detektor ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu lebih effisien dibandingkan dengan
detektor isian gas, karena terbuat dari zat padat, serta mempunyai resolusi yang lebih baik
daripada detektor sintilasi.

Gambar 6. Bahan semikonduktor


Pada dasarnya, bahan isolator dan bahan semikonduktor tidak dapat meneruskan arus
listrik. Hal ini disebabkan semua elektronnya berada di pita valensi sedangkan di pita
konduksi kosong. Perbedaan tingkat energi antara pita valensi dan pita konduksi di bahan
isolator sangat besar sehingga tidak memungkinkan elektron untuk berpindah ke pita
konduksi ( > 5 eV ) seperti terlihat di atas. Sebaliknya, perbedaan tersebut relatif kecil
pada bahan semikonduktor ( < 3 eV ) sehingga memungkinkan elektron untuk meloncat ke
pita konduksi bila mendapat tambahan energi.
Energi radiasi yang memasuki bahan semikonduktor akan diserap oleh bahan sehingga
beberapa elektronnya dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Bila di antara
kedua ujung bahan semikonduktor tersebut terdapat beda potensial maka akan terjadi
aliran arus listrik. Jadi pada detektor ini, energi radiasi diubah menjadi energi listrik.

Gambar 7. Proses perubahan energi radiasi menjadi energi listrik


Sambungan semikonduktor dibuat dengan menyambungkan semikonduktor tipe N
dengan tipe P (PN junction). Kutub positif dari tegangan listrik eksternal dihubungkan ke
tipe N sedangkan kutub negatifnya ke tipe P seperti terlihat pada Gambar 7. Hal ini
menyebabkan pembawa muatan positif akan tertarik ke atas (kutub negatif) sedangkan
pembawa muatan negatif akan tertarik ke bawah (kutub positif), sehingga terbentuk
(depletion layer) lapisan kosong muatan pada sambungan PN. Dengan adanya lapisan
kosong muatan ini maka tidak akan terjadi arus listrik. Bila ada radiasi pengion yang
memasuki lapisan kosong muatan ini maka akan terbentuk ion-ion baru, elektron dan hole,
yang akan bergerak ke kutub-kutub positif dan negatif. Tambahan elektron dan hole inilah
yang akan menyebabkan terbentuknya pulsa atau arus listrik.
Oleh karena daya atau energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan ion-ion ini lebih
rendah dibandingkan dengan proses ionisasi di gas, maka jumlah ion yang dihasilkan oleh
energi yang sama akan lebih banyak. Hal inilah yang menyebabkan detektor
semikonduktor sangat teliti dalam membedakan energi radiasi yang mengenainya atau
disebut mempunyai resolusi tinggi. Sebagai gambaran, detektor sintilasi untuk radiasi
gamma biasanya mempunyai resolusi sebesar 50 keV, artinya, detektor ini dapat
membedakan energi dari dua buah radiasi yang memasukinya bila kedua radiasi tersebut
mempunyai perbedaan energi lebih besar daripada 50 keV. Sedang detektor
semikonduktor untuk radiasi gamma biasanya mempunyai resolusi 2 keV. Jadi terlihat
bahwa detektor semikonduktor jauh lebih teliti untuk membedakan energi radiasi.
Sebenarnya, kemampuan untuk membedakan energi tidak terlalu diperlukan dalam
pemakaian di lapangan, misalnya untuk melakukan survai radiasi. Akan tetapi untuk
keperluan lain, misalnya untuk menentukan jenis radionuklida atau untuk menentukan
jenis dan kadar bahan, kemampuan ini mutlak diperlukan.
Kelemahan dari detektor semikonduktor adalah harganya lebih mahal, pemakaiannya
harus sangat hati-hati karena mudah rusak dan beberapa jenis detektor semikonduktor
harus didinginkan pada temperatur Nitrogen cair sehingga memerlukan dewar yang
berukuran cukup besar.
Tabel berikut menunjukkan karakteristik beberapa jenis detektor secara umum
berdasarkan beberapa pertimbangan di atas.

Pemilihan detektor harus mempertimbangkan spesifikasi keunggulan dan kelemahan


sebagaimana tabel di atas. Sebagai contoh, detektor yang digunakan pada alat ukur
portabel (mudah dibawa) sebaiknya adalah detektor isian gas, detektor yang digunakan
pada alat ukur untuk radiasi alam (intensitas sangat rendah) sebaiknya adalah detektor
sintilasi, sedangkan detektor pada sistem spektroskopi untuk menganalisis bahan
sebaiknya detektor semikonduktor.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayanto, Eko. 2009. Detektor Radiasi. Diakses pada tanggal 15 April 2015
Http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/Dasar_04.htm. Diakses
pada tanggal 15 April 2015
Jati B. Murdaka Eka dan Priyambodo T. Kuntoro. 2010. Fisika Dasar untuk Mahasiswa
Ilmu-ilmu Eksakta dan Teknik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Safitri Irma, dkk. 2011. Jurnal Perbandingan Karakteristik Detektor Geiger-Mueller Self
Quenching dengan External Quenching. Diakses pada tanggal 15 April 2015.
Surakhman dan Sayono. 2009. Jurnal Pembuatan Detektor Geiger-Mueller Tipe Jendela
Samping dengan Gas Isian Argon –Etanol. Diakses pada tanggal 15 April 2015.
http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/Dasar_04.htm
http://henker17.blogspot.com/2014/07/detektor-radiasi.html

Anda mungkin juga menyukai