STUDI KASUS
HIPERTENSI DAN HIPERLIPIDEMIA
KELOMPOK : 2
II. EPIDEMIOLOGI
Pada saat ini kebanyakan pengidap hipertensi tinggal di negara-negara
berkembang. WHO menyebutkan juga bahwa 40% penduduk negara-negara
berkembang di dunia mengalami hipertensi, sedangkan di negara-negara maju,
penduduk yang mengalami hipertensi sekitar 35%. Wilayah Afrika menempati posisi
pertama dengan jumlah penduduk penderita hipertensi sebesar 46%. Sedangkan,
Amerika menempati urutan paling bawah dengan penduduk yang mengalami
hipertensi sebesar 35%. Sedangkan, bagian Asia Tenggara memiliki persentase
sebesar 36% penduduk yang mengalami hipertensi. Hipertensi telah membunuh
sebanyak 1,5 juta jiwa setiap tahunnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa satu dari tiga
orang di Indonesia yang mengalami penyakit hipertensi.
Hipertensi lebih besar ditemukan pada pria, daerah perkotaan, daerah pantai
dan orang gemuk. Pada usia setengah baya dan muda, hipertensi ini lebih banyak
menyerang pria dari pada wanita. Pada golongan umur 55-64 tahun penderita
hipertensi pada pria dan wanita sama banyak. Pada usia 65 tahun keatas penderita
hipertensi pada wanita lebih banyak dari pada pria (Depkes, 2006). Berdasarkan hasil
pengukuran tekanan darah prevalensi pada penduduk umur 18 tahun keatas tahun
2007 di Indonesia adalah sebesar 31,7% menurut prevalensi provinsi hipertensi
tertinggi di Kalimantan selatan (39,6%) dan terendah di papua barat 20,1%.
Dibandingkan dengan tahun 2013 terjadi penurunan sebesar 5,9% dari 31,7% menjadi
25,8%. Prevalensi tertinggi di provinsi Bangka Belitung 30,9% dan Papua yang
terendah 16,8% .
III. Patofisiologi
Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah dapat berpotensi menyebabkan
hipertensi, seperti RAAS, ketidakseimbangan natrium, kalsium.
Tekanan darah = Cardiac output x total peripheral resistance
Cardiac output = stroke volume x heart rate
Faktor-faktor berperan dalam mekanisme tekanan darah:
a. Mekanisme Humoral
Beberapa abnormalitas humoral yang terlibat dalam perkembangan hipertensi
adalah sebagai berikut:
1. Renin-Angiotensin-Aldosteron System ( RAAS)
Aktivasi dan regulasi RAAS diatur oleh ginjal. Renin merupakan enzim yang
disimpan pada sel juxtaglomerular pada atreriol eferen ginjal. Sistem ini mengatur
keseimbangan natrium, kalium dan keseimbangan cairan. Sistem ini memiliki peran
paling penting dalam regulasi homeostasis tekanan darah. Gangguan dalam tubuh
yang meningkatkan aktivasi RAAS dapat menyebabkan hipertensi
2. Hormon Natriuretik
Hormon ini menghambat kalium dan natrium ATP, serta mempengaruhi transpor
natrium melalui membran sel. Peningkatan konsentrasi hormon natriuretik dalam
sirkulasi meningkatkan eksresi air dan natrium melalui urin. Gangguan dalam
kemampuan ginjal mengeliminasi natrium dapat meningkatkan volume darah. Bila
eksresi natrium menurun, terjadi peningkatan tonus vascular dan tekanan darah.
3. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia
Peningkatan konsentrasi insulin dapat menyebabkan hipertensi karena terjadi
peningkatan retensi natrium pada ginjal dan peningkatan aktivitas saraf simpatik.
Insulin juga meningkatkan kalsium intraseluler sehingga resistensi vaskular
meningkat.
b. Regulasi Saraf
Sistem saraf pusat dan otonom berperan dalam mengontrol tekanan darah.
Banyak reseptor yang dapat menginduksi/menghambat pelepasan norepinefrin seperti
reseptor α (alfa) dan β (beta).
1. Stimulasi α1: vasokonstriksi arteri dan vena
2. Stimulasi β1 di jantung: meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas
3. Stimulasi β2 di arteri dan vena: vasodilatasi
Sistem baroreseptor terletak di dinding arteri besar (terutama arteri karotid dan
lengkung aorta). Sistem ini aktif saat TD berubah, mengakibatkan reflex
vasokontriksi, meningkatkan denyut jantung dan kontraksi jantung. Gangguan
patologi yang mempengaruhi komponen utama regulasi ini (saraf otonom, reseptor
adrenergik, baroreseptor, Sistem Saraf Pusat (SSP)) dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah.
c. Komponen autoregulasi perifer
Ginjal menjaga tekanan darah normal melalui mekanisme adaptasi volume dan
tekanan darah. Ketika tekanan darah rendah, ginjal meningkatkan retensi air dan
natrium sehingga volume plasma meningkat yang akan menyebabkan kenaikan
tekanan darah, begitu juga sebaliknya. Kerusakan intrinsik pada mekanisme adaptif
ini dapat menyebabkan peningkatan volume dan aliran darah ke jaringan perifer
meskipun tekanan darah sedang normal. Jaringan autoregulasi local akan melakukan
vasokonstriksi untuk meningkatkan aliran darah, selanjutnya dapat terjadi
peningkatan resistensi vaskular perifer dan penebalan dinding arteri.
d. Mekanisme Endothelial Vaskular
Defisiensi substansi vasodilatasi (prostasiklin, bradikinin) atau kelebihan
substansi vasokonstriksi (angiotensin I dan angiotensin II) berkontribusi dalam
perkembangan hipertensi primer. Selain itu, defisiensi nitrit oksida intrinsik yang
berperan sebagai vasodilator kuat juga dapat menyebabkan hipertensi
e. Elektrolit
Kelebihan asupan natrium dalam diet diduga berhubungan dengan peningkatan
hormon natriuretik yang akan menyebabkan peningkatan reaktivitas vascular dan
tekanan darah. Kekurangan kalsium dalam diet menyebabkan peningkatan resistensi
perifer. Kekurangan kalium diduga juga menyebabkan peningkatan resistensi perifer.
(Pharmacotherapy - A Pathophysiologic Approach 8th Ed)
IV. FAKTOR RESIKO
Pasien yang memiliki salah satu atau lebih kondisi di bawah ini beresiko lebih
tinggi menderita penyakit kardiovaskular.
1. Usia (≥ 55 tahun untuk pria dan ≥65 tahun untuk wanita)
2. Diabetes mellitus
3. Dislipidemia
4. Mikroalbuminuria
5. Riwayat keluarga penyakit kardiovaskuler dini (<55 tahun untuk pria dan <65
tahun untuk wanita)
6. Obesitas (indeks massa tubuh ≥ 30 kg/m2)
7. Minim aktivitas fisik
8. Merokok
(Pharmacotherapy - A Pathophysiologic Approach 8th Ed)
Ada berbagai faktor yang dapat meningkatkan resiko hipertensi, antara lain
kondisi kesehatan, gaya hidup, serta riwayat keluarga. Beberapa faktor resiko seperti
riwayat keluarga tidak dapat dikontrol, namun adapula faktor resiko yang dapat
dikontrol seperti aktivitas fisik serta diet yang dapat mengurangi kemungkinan
seseorang terkena hipertensi.
Faktor Resiko yang Dapat Dikontrol Faktor Resiko yang Tidak Dapat Dikontrol
1. Berat badan berlebih/obesitas 1. Usia
2. Gaya hidup (kurang aktivitas 2. Ras
fisik) 3. Riwayat keluarga
3. Merokok
4. Diet yang tidak sehat (tinggi
garam)
5. Penggunaan alkohol
6. Stres
7. Sleep apnea
8. Diabetes
(Bell, Kayce et al., 2015).
V. MANIFESTASI KLINIS
a. Gejala
Kebanyakan pasien tidak memiliki gejala hipertensi (asimptomatik).
b. Tanda penyakit
Tekanan darah sebelumnya ada dalam kategori prehipertensi atau hipertensi
kategori 1
(Pharmaceutical Care untuk Hipertensi)
c. Diagnosis utama
Pemeriksaan tekanan darah, meskipun begitu pemeriksaan kesehatan secara
lengkap direkomendasikan untuk pasien hipertensi, untuk :
1. mengdentifikasi penyebab sekunder hipertensi
2. mengidentifikasi faktor resiko kardiovaskular lain atau komorbid lain
3. mengidentifikasi ada/tidaknya kerusakan organ akibat hipertensi
(Dipiro ed. 8 ebook)
Dalam upaya penegakkan diagnosis, data diperoleh melalui anamnesis
mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit terdahulu dan penyakit keluarga,
pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur diagnostik lainnya.
Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar, pemeriksaan
funduskopi, perhitungan BMI (body mass index), pemeriksaan lengkap jantung dan
paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra
abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi ektremitas bawah untuk melihat
adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis.
Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai
terapi antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit; kalium,
kreatinin, dan kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 – 12 jam) termasuk HDL,
LDL, dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional termasuk
pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin / kreatinin. Pemeriksaan yang
lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi tidak diindikasikan
kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai.
Untuk mendeteksi kerusakan organ target dapat melalui anamnesis mengenai
riwayat penyakit atau penemuan diagnostic sebelumnya guna membedakan penyebab
yang mungkin, apakah sudah ada kerusakan organ target sebelumnya atau disebabkan
hipertensi.
(Pharmaceutical Care untuk Hipertensi)
(The Seventh Report of The Joint National Committee (JNC 7), hal 8)
B. Terapi Farmakologi
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya morbiditas
dan mortalitas akibat TD tinggi. Ini berarti TD harus diturunkan serendah
mungkin yang tidak mengganggu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas
hidup, sambil dilakukan pengendalian faktor-faktor risiko kardiovaskular
lainnya. Telah terbukti bahwa makin rendah TD diastolik dan sistolik, makin
baik prognosisnya. Pada umumnya, sasaran TD pada penderita muda adalah
<140/90 mmHg (sampai 130/85 mmHg), sedangkan pada penderita usia lanjut
sampai umur 80 tahun < 160/90 mmHg (sampai 145 mm Hg sistolitik bila dapat
ditolerasi).
Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII.
• Kebanyakan pasien < 140/90 mm Hg
• Pasien dengan diabetes < 130/80 mm Hg
• Pasien dengan penyakit ginjal kronis < 130/80 mm Hg
Ada 9 kelas obat antihipertensi (Tabel 7). Diuretik, penyekat beta, penghambat
enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB),
dan antagonis kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB) dianggap sebagai obat
antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus
digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti
menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini
(misalnya diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana
perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan
klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat
adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien
tertentu disamping obat utama.
Tabel 7. Obat-obat hipertensi yang Utama (Depkes RI, 2006)
Kelas Keterangan
- Penahan kalium Pemberian pagi dan sore untuk mencegah diuresis malam
hari; diuretik lemah, biasanya dikombinasi dengan diuretik
tiazid untuk meminimalkan hipokalemia; karena hipokalemia
dengan dosis rendah tiazid tidak lazim, obatobat ini diberikan
pada pasien yang mengalami hipokalemia akibat diuretik;
hindari pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (±
ClCr<30ml/min) ; dapat meyebabkan hiperkalemia, terutama
kombinasi dengan ACEI, ARB, atau supplemen kalium
ACE inhibitor Dosis awal harus dikurangi 50% pada pasien yang sudah
dapat diuretik, yang kekurangan cairan, atau sudah tua sekali
karena resiko hipotensi; dapat menyebabkan hiperkalemia
pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau pasien yang
juga mendapat diuretik penahan kalium, antagonis
aldosteron, atau ARB; dapat menyebabkan gagal ginjal pada
pasien dengan renal arteri stenosis; jangan digunakan pada
perempuan hamil atau pada pasien dengan sejarah
angioedema
ARB Dosis awal harus dikurangi 50% pada pasien yang sudah
dapat diuretik, yang kekurangan cairan, atau sudah tua sekali
karena resiko hipotensi; dapat menyebabkan hiperkalemia
pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau pasien yang
juga mendapat diuretik penahan kalium, antagonis
aldosteron, atau ACEI; dapat menyebabkan gagal ginjal pada
pasien dengan renal arteri stenosis; tidak menyebabkan batuk
kering seperti ACEI,; jangan digunakan pada perempuan
hamil
Obat
Indikasi khusus Antagonis
Diu BB ACEI ARB CCB
aldosterone
Gagal jantung * * * * *
Infark miokard * * *
Resiko penyakit jantung koroner * * * *
Diabetes mellitus * * * * *
Penyakit ginjal kronik * *
Pencegahan kekambuhan stroke * *
Keterangan: ACEI = Angiotensin Converting Enzym inhibitor, ARB = Angiotensin
Reseptor II Blocker, CCB = Calcium Channel Blocker, BB = Beta Blocker, Diu =
Diuretik.
III. PATOFISIOLOGI
Tidak semua kolesterol meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung.
Kolesterol yang dibawa oleh LDL (disebut juga kolesterol jahat) menyebabkan
meningkatnya resiko penyakit jantung, sedangkan kolesterol yang dibawa oleh HDL
(disebut juga kolesterol baik) menyebabkan menurunnya resiko penyakit jantung dan
menguntungkan. Idealnya, kadar kolesterol LDL tidak boleh lebih dari 130 mg/dL
dan kadar kolesterol HDL tidak boleh kurang dari 40 mg/dL. Kadar HDL harus
meliputi lebih dari 25 % dari kadar kolesterol total (Neal, 2006). Terdapat 4 jenis
utama lipoprotein, yaitu :
1. Kilomikron
2. VLDL (Very Low Density Lipoproteins)
3. LDL (Low Density Lipoproteins)
4. HDL (High Density Lipoproteins) (Katzung, 2002).
V. DIAGNOSIS
Hiperlipidemia umumnya tidak memiliki gejala. Skrining dilakukan dengan
tes darah sederhana untuk mengukur kadar kolesterol dan trigliserida. Berdasarkan
National Cholestrol Education Program Guidelines, orang dewasa yang sehat harus
disaring setiap lima tahun sekali dimulai pada usia 20. Jika Anda memiliki riwayat
keluarga dengan kolesterol tinggi atau faktor risiko lain Anda mungkin perlu lebih
awal atau skrining lebih sering (Robert, 2005).
Anamnese
Evaluasi riwayat hidup pasien meliputi umur, jenis kelamin, dan status
menstrual dan jika wanita diperhatikan status menstrual dan estrogennya (Sukandar et
al., 2008).
Pemeriksaan Fisik
Riwayat hidup lengkap dan pemeriksaan fisik harus menggambarkan
(Sukandar et al., 2008) :
1. Ada atau tidaknya faktor resiko penyakit jantung atau menjelaskan penyakit
jantung dalam perseorangan.
2. Sejarah keluarga penyakit jantung prematur atau gangguan lipid.
3. Ada atau tidaknya faktor sekunder hiperlipidemia, termasuk pengobatan
bersamaan.
4. Ada atau tidaknya xantoma, nyeri abdominal, atau sejarah pakreatitis,
penyakit ginjal atau hati, penyakit pembuluh darah perifer, aneurisme aortik
abdominal, atau penyakit pembuluh darah perifer, aneurisme aortik
abdominal, atau penyakit pembuluh darah otak (bruits karotid, stroke,
serangan iskemik, transient).
Pemeriksaan laboratorium
1. Jenis pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis hiperlipidemia adalah
(Judajana, 2011) :
a. Kolesterol total
b. Kolesterol HDL
c. Kolesterol LDL
d. Trigliserida
e. ApoB
f. Lp(a)
2. Pemeriksaan penyaring dianjurkan pada semua orang dewasa berumur lebih
dari 45 tahun. Pemeriksaan penyaring meliputi kadar kolesterol total dan
trigliserida. Bila hasilnya normal, maka dianjurkan pemeriksaan ulang setiap
lima tahun. Bila hasilnya abnormal diperlukan pemeriksaan profil lipid
lengkap yang meliputi kolesterol Total, LDL-C, HDL-C dan trigliserida serta
kadar glukosa darah. Pemeriksaan profil lengkap harus dijalankan sedini
mungkin pada mereka yang beresiko tinggi terkena atherosclerosis (Judajana,
2011).
3. Dilakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar kolesterol total. Profil
lipoprotein puasa termasuk kolesterol total, LDL, HDL, dan trigliserida
seharusnya diukur pada semua orang dewasa berumur 20 tahun atau lebih,
setidaknya setiap 5 tahun sekali.
4. Beberapa persyaratan untuk pengambilan bahan (darah) agar hasilnya
mencerminkan keadaan yang sebenarnya dan dapat dibandingkan dari waktu
ke waktu (pada pengobatan) (Judajana, 2011):
a. Untuk mengukur kadar kolesterol LDL, HDL dan trigliserida, sebaiknya
penderita berpuasa dulu minimal selama 12 jam. Hal ini dikarenakan
trigliserida dapat meningkat pada seseorang yang tidak puasa.
b. Dianjurkan selama 2 minggu sebelumnya tidak makan obat yang
mempengaruhi kadar lipid.
c. Tidak ada perubahan berat badan.
d. Sekurang kurangnya 3 bulan sebelumnya tidak sakit berat, infark miokard
atau operasi.
e. Serum segera dipisahkan atau bila dipakai plasma maka digunakan
antikoagulan EDTA.
f. Pemeriksaan dilakukan sebanyak dua kali, 1 sampai 8 minggu secara
terpisah, dengan pasien dalam kondisi asupan makanan yang stabil dan
tidak memiliki penyakit akut, dianjurkan untuk meminimalisir keragaman
sehingga didapatkan data dasar yang akurat. Jika kolesterol total lebih
besar dari 200 mg/dl, pemeriksaan kedua dianjurkan untuk dilakukan
(Katzung, 2002).
g. Jika pemeriksaan fisik dan evaluasi riwayat hidup tidak cukup untuk
mendiagnosis penyakit familial, maka dilakukan uji elektroforesis
lipoprotein gel-agarosa yang berguna untuk menentukan tipe mana yang
mempengaruhi lipoprotein (Katzung, 2002).
h. Diagnosis defisiensi lipoprotein lipase berdasarkan kurang atau hilangnya
aktivitas enzim pada plasma normal manusia atau apolipoprotein C-II
yang merupakan kofaktor enzim (Katzung, 2002).
i. Kelainan metabolisme lemak sebenarnya merupakan hasil interaksi
berbagai/ banyak faktor, dan memerlukan beberapa jenis pemeriksaan
laboratorium lainnya untuk melengkapi yaitu Small Dense LDL,
Lipoproteinn A (Lpa), Apolipoprotein A1, Apolipoprotein A2,
Apolipoprotein B
j. Tes diagnostik lain, meliputi : Lipoprotein (a), homosistein, serum amiloid
a, dan LDL tebal/padat (pola B). Berbagai skrining tes untuk manifestasi
dari penyakit pembuluh (index mata kaki berkenaan dengan lengan,
latihan pengujian, Magnetis Resonansi Imaging) dan diabetes (glukosa
puasa, uji toleransi glukosa oral).
JNC VIII. 2014. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood
Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth
Joint National Committee Katzung, B. G. 2002. Farmakologi: Dasar dan
Klinik, Buku 2, Edisi 8, Penerjemah: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Salemba Medika. Jakarta.
Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. edisi 8. buku 2. Penerbit
Salemba Medika : Jakarta. 441-444
Neal, M.J. 2006. At Glance Farmakologi Medis. ed.5. Penerrbit Erlangga: Jakarta.
46-47