Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

SOSIOLOGI HUKUM
“PROBLEMA HUKUM DI MASYARAKAT ”

Disusun Oleh:
Meidho Satriawan
B2A017044
M I H (Semeseter I)

UNIVERSITAS BENGKULU
PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM
2018

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum,Wr.Wb
Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala

berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat membuat makalah yang berjudul :

“Problema Hukum di Masyarakat” Dan juga penulis berterima kasih kepada Bapak Dr. Tito

Sofyan, S.H.,M.S. selaku dosen mata kuliah Sosiologi Hukum yang telah memberikan tugas

ini kepada penulis. penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka

menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Sosiologi Hukum. penulis juga

menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata

sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan

makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang

sempurna.

Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang

berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan

makalah ini di waktu yang akan datang.

Bengkulu, 20 Mei 2018

Penulis

ii2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ..........................................................................

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................

A. Peranan Hukum Dalam Kehidupan Bermasyarakat ............................ 6

B. Kesadaran Hukum Dalam Masyarakat ................................................ 10

C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Penerapan Hukum .....

.............................................................................................................. 16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 25

3
iii

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prof. DR. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. memberikan pengertian kesadaran

hukum adalah suatu percobaan penerapan metode yuridis empiris untuk mengukur

kepatuhan hukum dalam menaati peraturan. Sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-

nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum

yang diharapkan ada, sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum

dan bukan suatu penilaian terhadap hukum. Peraturan-peraturan hukum haruslah

ditegakkan dan junjung tinggi agar efektifitas hukum sebagai alat yang menciptakan suatu

ketertiban dunia dapat berlaku sedemikian baiknya. Karenanya manusia sebagai selaku

pihak yang diuntungkan daripada hukum harus pula dapat menggunakannya dengan

sebaik-baiknya dan menjunjung tinggi setinggi-tingginya serta menegakkan setegak-

tegaknya.

Adapun dalam menggunakan hukum tidaklah cukup dengan logika, karena logika

sewaktu-waktu tidak dapat mengakomodir dan menjamin hukum berjalan dengan jujur

dan adil. Sehingga dirasa hukum yang mereka jalani adalah suatu beban berat yang

mereka pikul, oleh karenanya berhukum dengan hati sangatlah diperlukan agar tidak ada

lagi beban atau suatu paksaan yang dirasakan manusia dalam berhukum. Hukum yang

dijalankan dengan hati akan menimbulkan kesadaran manusia dengan hukumnya,

sehingga apa saja yang diperbuat atau dilakukan manusia dalam menjalani system sosial

akan dengan sendirinya mentaati hukum. Bagi mereka yang melanggar ketentuan-

1
ketentuan hukum akan merasa malu dan penyesalan yang mendalam akan selalu

menghantuinya.1

Jepang adalah contoh negara yang berhukum dengan hati (kokoro). Mereka lebih

mengutamakan hukum yang berkembang dalam masyarakatnya yang menggunakan hati

ketimbang hukum modern yang terlanjur masuk menerobos hukum mereka. Pada masa

pemerintahan Meiji ingin dengan cepat memodernisasi hukum jepang waktu itu. Sewaktu

jepang membuka pintu bagi masuknya bangsa barat kedalam negerinya, maka barat

beranggapan, bahwa hukum jepang itu kuno dan karena itu mereka tidak mengakui

yurisdiksi hukum jepang terhadap bangsa barat yang ada di jepang. Jepang yang sangat

terpukul oleh keadaan tersebut cepat-cepat memodernisasi hukumnya dengan mengikuti

model Eropa, yaitu menjiplak (copied) hukum Perancis dan Jerman. Maka jadilah

konstitusi Meiji yang terdiri dari 76 pasal; hukum perdata terdiri dari 1046 pasal; hukum

dagang, 689 pasal; hukum pidana, 264 pasal, hukum acara perdata, 805 pasal dan hukum

acara pidana, 334 pasal. Sekalian perundang-undangan tersebut diselesaikan kurang dari

sepuluh tahun (1890-1898)

Walaupun demikian prestasi yang perlu diakui, hukum modern Jepang tersebut

tidak dapat menyentuh prilaku orang Jepang. Menurut Robert Ozaki, hukum modern

tersebut lebih merupakan kosmetik atau hiasan daripada hukum yang benar-benar

dihayati dan dijalankan oleh bangsa Jepang. Bagi bangsa Jepang, hukum tersebut lebih

merupakan bunyi-bunyian asing, dimulai dari bahasa, ide-ide, filsafat dan logika

perundang-undangan itu adalah khas Eropa. Maka terbentang jurang keasingan antara

sekalian undang-undang tersebut dengan substansi kehidupan Jepang, terutama diwilayah

pedesaan. Sejak introduksi perundang-undangan Meiji, bukannya masyarakat Jepang

1
http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2015/09/peranan-hukum-dalam-kehidupan.html. Diunduh
pada tanggal 20 Mei 2018 pukul 12.00 wib.

2
menjadi berubah, melainkan mereka tetap berpegangan pada tradisi dan kaidah asli yang

mengatur kehidupan Jepang ratusan tahun itu.

Menurut Ozaki, selama ratusan tahun bangsa Jepang dikondisikan untuk hidup

dalam dan dengan hukum modern Jepang, tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam

kehidupan bangsa Jepang. Cara berfikir tradisional hanya bisa berubah sangat

lambat adalah jauh lebih mudah untuk membuat hukum baru daripada mengubah pikiran,

prilaku dan kebiasaan rakyat. Hukum modern Jepang yang banyak menjiplak Perancis

dan Jerman itu memperkenalkan tipe hukum, konsep serta asas-asas baru yang bertumpu

pada individualisme. Konsep hak-hak individual, hak asasi manusia diperkenalkan. Hal

ini sangat bertentangan dengan kosmologi Jepang dengan kehidupan sosial yang

kontekstual dan menjaga baik hubungan-hubungan sosial yang ada. Dalam suasana

Jepang tradisional, orang tidak mempertanyakan kewajiban-kewajibannya, sedang

masyarakat tidak mengizinkan orang untuk berfikir tentang hak-hak yang dimilikinya.

Dalam masyarakat tradisional, setiap usaha adalah bagaikan satu satuan keluarga. Pemilik

usaha tidak pernah berfikir tentang haknya untuk menyewa buruh, seperti juga seorang

ayah tidak pernah berfikir tentang haknya untuk menyuruh anak-anak mengerjakan tugas-

tugas kerumah tanggaan. Demikian pula seorang pekerja tidak pernah berfikir tentang

haknya untuk meminta upah. Imbalan yang diterimanya dianggap sebagai pernyataan

kebaikan hati, rasa kasih dan kemuliaan hati sang majikan. Tradisi seperti itu tidak mudah

untuk diubah melalui penggunaan hukum modern yang penuh dengan semangat

individualisme, hak-hak individual dan sebagainya.2

Perbedaan bangsa Amerika yang menggunakan akal pikiran/logika, sebagaimana

umumnya negara-negara di barat dan Jepang yang berhukum didasarkan pada

2
http://kemirilor.blogspot.co.id/2015/05/kurangnya-kesadaran-hukum-masyarakat.html. Diunduh
pada tanggal 20 Mei 2018 pukul 12.15 wib.

3
hati (kokoro). Perbedaan tersebut dicontohkan pada kejadian yang melibatkan orang

Amerika dan orang Jepang. Mereka berdua berdiri di pinggir jalan, menunggu

kesempatan menyeberang jalan, karena lampu lalu-lintas masih merah. Pada saat lalu-

lintas mobil sudah sepi, orang Amerika mengajak teman Jepangnya untuk menyeberang.

Jawab orang Jepang “Kalau lampu lalu-lintas masih merah lalu saya menyeberang, muka

saya ini mau saya taruh dimana?” Begitulah sedikit gambaran sederhana tentang hukum

yang dijalankan dengan hati seperti masyarakat Jepang. Maka patut kiranya apabila

system penerapan hukum yang dilakukan dan dijalankan orang Jepang diterapkan pula di

Indonesia, agar tercipta suatu budaya malu yang berdampak positif bagi hukum nasional.

Tatanan sosial di Indonesia adalah begitu majemuk dan kompleks, sehingga dibutuhkan

kearifan dan kehati-hatian tersendiri untuk merawatnya. Apabila peringatan tersebut tidak

diperhatikan, maka bagi banyak komunitas lokal, hukum nasional akan menjadi beban

daripada menciptakan ketertiban dan kesejahteraan.3

3
http://sesukakita.wordpress.com/2011/10/29/upaya-meningkatkan-kesadaran-hukum-di-
masyarakat-dari-segi-culture/. Diunduh pada tanggal 20 Mei 2018 Pukul 12.10 wib.

4
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan deskripsi diatas maka penulis merasa perlu meengidentifikasi

masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan dibahas dalam makalah ini,

yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana peranan hukum dalam kehidupan bermasyarakat ?


2. Sejauh mana kesadaran hukum didalam masyarakat ?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektifitas penerapan hukum
dimasyarakat ?
C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mendeskripsikan dan

menjelaskan bagaimana peranan hukum dalam masyarakat,kesadaran hukum masyarakat,

serta mengetahui Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam efektifitas penerapan

hukum.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peranan hukum dalam kehidupan bermasyarakat

Di dalam masyarakat dijumpai berbagai institusi yang masing-masing diperlukan

oleh masyarakat itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan mempelancar jalanya

pemenuhan kebutuhan tersebut. Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka

masyarakat sangat membutuhkan kehadiran institusi tesebut. Institusi bergerak di sekitar

kebutuhan tertentu manusia. Agar kita bisa berbicara mengenai adanya suatu insttiusi

yang demikian itu, kebutuhan yang dilayaninya telebih dulu harus medapakan pengakuan

masyarakat. Pengakuan di sini diartikan, bahwa masyarakat di situ memang telah

mengakui pentingnya kebutuhan tersebut bagi kehidupan manusia. Apabila masyarakat

telah mulai memperhatikan suatu kebutuhan tertentu maka akan berusaha agar dalam

masyarakat dapat diciptakan suatu sarana untuk memnuhinya. Dari sinilah mulai

dilahirkan suatu institusi tersebut. Jadi institusi itu pada hakikatnya merupakan alat

perlengkapan masyarakat untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat

dapat dipenuhi secara seksama.4

Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya

diakui semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam

institusi yang namanya hukum, maka institusi hukum itu harus mampu untuk menjadi

saluran agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam masyarakat.

Beberapa ciri yang umumnya melekat pada institusi sebagai perlengkapan masyarakat :

4
Hartomo dan Aziz Arnicun. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara Windia, Wayan P, dkk.
2009. Hukum dan Kebudayaan. Denpasar:

6
1. Stabilitas. Di sini kehadiran institusi hukum menimbulkan suatu kemantapan dan
keteraturan dalam usaha manusia untuk memperoleh keadilan itu.
2. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat.
Di dalam ruang lingkup kerangka yangt telah diberikan dan dibuat oleh
masyarakat itu, anggota-anggota masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhanya.
3. Institusi menampilkan wujudnya dalam bentuk norma. Norma-norma inilah yang
merupakan sarana untuk menjamin agar anggota-anggota masyarakat dapat
dipenuhi kebutuhanya secara terorganisasi.
4. Jalinan antar institusi. Terjadinya tumpang tindih antara institusi.

Hukum merupakan institusi sosial yang tujuannya untuk menyelenggarakan

keadilan dalam masyarakat. Sebagai suatu institusi sosial, maka penyelenggaraanya yang

demikian itu bekaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk

melaksanakannya. Oleh karena itu suatu masyarakat akan menyelengarakannya dengan

cara tertentu yang berbeda dengan masyarakat pada masyarakat yang lain. Perbedaan ini

berhubungan erat dengan persediaan perlengkapan yang terdapat dalam masyarakat untuk

penyelenggaraan keadilan itu dan hak ini berarti adanya berhubungan yang erat antara

institusi hukum suatu masyarakat dengan tingkat perkembangan organisasi sosialnya.

Suatu pengamatan terhadap masyarakat sacara sosiologis memeperlihatkan, bahwa

kekuasaan itu tidak tebagi secara merata dalam masyarakat. Struktur pembagian yang

demikian itu menyebabkan, bahwa kekuasaan itu terhimpun pada sekelompok orang-

orang tertentu, sedangkan orang-orang lain tidak atau kurang memiliki kekuasaan itu.

Keadaan seperti inilah yang menimbulkan perlapisan sosial di dalam masyarakat.

Bagaimana stuktur yang berlapis-lapis itu bisa terbentuk banyak tergantung dari sistem

perekonomian suatu masyarakat. Terjadinya penumpukan kekuasaan di tangan

sekelompok orang-orang tertentu berhubungan dengan sistem pembagian sumber daya

dalam masyarakat. Kekuasaan itu tidak terlepas dari penguasaan barang-barang dalam

masyarakat.

7
Oleh karena itu terjadinya perlapisan kekuasaan berhubungan erat dengan barang-

barang yang bisa dibagi-bagikan itu tentunya susah dibayangkan timbulnya perlapisan

sosial dalam masyarakat. Kondisi pengadaan barang-barang menetukan apakah dalam

suatu masyarakat akan menjumppai struktur kekuasaan yang berlapis-lapis itu.

Pentingnya pembicaraan mengenai perlapisan sosial dalam rangka pembicaraan tentang

hukum disebabkan oleh dampak dari adanya struktur yang demikian itu terhadap hukum,

baik itu di bidang pembuatan hukum, pelaksanaan, maupun penyelesaian sengketanya.

Pada masyarakat mana pun juga, orang atau golongan yang bisa menjalankan

kekuasaannya secara efektif adalah mereka yang mampu mengontrol institusi-institusi

politisi dan ekonomi dalam masyarakat.5

Para ahli sosiologi hukum memberikan perhatian besar terhadap hubungan antara

hukum dengan perlapisan sosial ini. Dengan terjadinya perlapisan sosial maka hukum pun

susah untuk memperhatikan netralitas atau kedudukannya yang tidak memihak.

Perlapisan sosial ini merupakan kunci penjelasan mengapa hukum itu bersifat

distriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri, maupun melalui penegakannya.

Para ahli tersebut di muka berpendapat, bahwa peraturan-peraturan hukumnya sendiri

tidaklah memihak. Dalam keadaan yang demikian ini pendapat yang berkuasapun akan

menentukan bagaimana isi peraturan hukum di situ.

Dengan demikian, bagaimanapun diusahakan agar penegakan hukum itu tidak

memihak, namun karena sudah sejak kelahirannya peraturan-peraturan itu tidak lempeng,

maka hukum pun bersifat memihak, keadaan yang demikian itu juga dijumpai pada

masalah penegakan hukum. Kalaulah kita sekarang sudah mengetahui betapa besar

peranan hukum di dalam membantu menciptakan ketertiban dan kelencaran dalam

kehidupan masyarakat, kita masih saja belum mengetahui benar apa yang dikehendaki

5
Elly M. Stiadi, dkk (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

8
oleh hukum tersebut. Apakah sekedar untuk menciptakan ketertiban atau lebih jauh dari

pada itu?

Pertanyaan atau masalah ini layak sekali untuk mendapatkan perhatian kita.

Apabila kita mengatakan, bahwa hukum-hukum itu bermaksud untuk menciptakan

ketertiban, maka sebetulnya kita hanya berurusan dengan hal-hal yang bersifat dengan

hal-hal teknik. Melarang orang untuk melakukan pencurian dengan menciptakan suatu

hukum dengan sanksinya adalah suatu usaha yang bersifat teknik. Tetapi mengapa justru

mencuri itu yang dilarang? Jawabanya adalah, karena mencuri itu dianggap sebagai

perbuatan yang tercela oleh masyarakat. Dengan demikian, kita telah memasuki bidang

yang tidak teknik lagi sifatnya, melainkan sudah ideal. Pembicaraan ini diharapkan dapat

memberikan wawasan yang lebih sesuai dengan kenyataan dalam kita meninjau dan

mempelajari hukum, yaitu bahwa hukum itu hadir dalam masyarakat karena harus

melayani kebutuhan-kebutuhan tertentu dan harus mengolah bahan-bahan tertentu yang

harus ia terima sebagai suatu kenyataan. Karena hukum itu memberikan pembatasan-

pembatasan yang demikian itu maka institusi hukum itu hanya bisa berjalan dengan

seksama di dalam suatu lingkungan sosial dan politik yang bisa dikendalikan secara

efektif oleh hukum. Suatu masyarakat yang berkehendak untuk diatur oleh hukum tetapi

yang tidak bersedia untuk membiarkan penggunaan kekuasaannya dibatasi dan dikontrol,

bukan merupakan lingkungan yang baik bagi berkembangnya institusi hukum.6

Hukum Sebagai Sosial Kontrol, dimana setiap kelompok masyarakat selalu ada

problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang

standard dan yang parktis. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat

dicontohkan : pencurian, perzinahan hutang, membunuh dan lain-lain. Semua contoh ini

adalah bentuk prilaku yang menyimpang yang menimbulkan persoalan didalam

6
Rizachnial. 2013. Peran hukum Dalam Kehidupan manusia.

9
masyarakat, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang

modern. Dalam situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan problem

untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan

eksistensinya. Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan

mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah

masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk

mempertahankan eksistensi kelompok masyarakat tersebut. Hukum yang berfungsi

demikian adalah merupakan instrument pengendalian social.

B. Kesadaran Hukum didalam masyarakat

Ide tentang kesadaran warga-warga masyrakat sebagai dasar sahnya hukum positif

tertulis ditemukan dalam ajaran-ajaran tentang rechtsgeful atau rechtsbewustzjin yang

intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali

atas dasar kesadaran hukumnya. Hal tersebut merupakan salah satu aspek dari kesadaran

hukum, aspek lainnya adalah bahwa kesadaran hukum sering kali dikaitkan dengan

pentaatan hukum, pembentukan hukum dan efektivitas hukum. Masalah kesadaran

hukum, termasuk pula didalam ruang lingkup persoalan hukum dan niali-nilai sosial.

Apabila ditinjau dari teori-teori modern tentang hukum dan pendapat para ahli hukum

tentang sifat mengikat dari hukum, timbul bermacam permasalahan. Salah satu persoalan

yang timbul, adalah mengenai adanya suatu jurang pemisah antara asumsi-asumsi tentang

dasar keabsahan hukum tertulis, serta kenyataan dari pada dipatuhinya hukum tersebut.

Terdapat suatu pendapat yang menyatakan bahwa mengikatnya hukum terutama

tergantung pada keyakinan seseorang. Hal inilah yang dinamakan teori rechtsbewustzijn.

Kutchinsky mengemukakan suatu gambaran tentang keterkaitan antara aturan-

aturan hukum dengan pola prilaku dalam kaitannya dengan fungsi hukum dalam

10
masyrakat. Ajaran tradisional, pada umumnya bertitik tolak pada suatu anggapan bahwa

hukum secara jelas merumuskan perilakuan-perilakuan yang dilarang dan atau yang

diperbolehkan. Pun bahwa tersebut dengan sendirinya dipatuhi oleh sebagian besar warga

masyarakat. Ajaran ini terkenal dengan co-variance theory, yang berasumsi bahwa ada

kecocokan antara hukum dengan pola-pola perilakuan hukum (Berl Kutchinsky, 1973:

102). Ajaran lain menyatakan bahwa hukum efektif apabila didasarkan pada volkgeist

atau rechtsbewustzjin. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ajaran atau teori tersebut

mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum

dengan pola-pola perilakuan manusi didalam masyarakat baik secara individu maupun

kolektif. Sebenarnya, kesadaran hukum tersebut banyak sekali menyangkut aspek-aspek

kognitif dan persaan yang sering sekali dianggap sebagai faktor-faktor yang

mempengaruhi hubungan antar hukum dengan pola-pola perikelakuan manusia dalam

masyarakat.7

Didalam ilmu hukum, adakalanya dibedakan antara kesadaran hukum dengan

perasaah hukum. perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbuln secara

serta merta dari masyakat dalam kaitannya dengan maslah keadilan. Kesadaran hukum

lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut,

yang telah dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan

kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau

tentang hukum yang diharapkan ada. Dengan demikian yang ditekankan dalam hal ini

adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan terhadap kejadian-kejadian yang

konkret dalam masyrakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijadikan oleh hukum

dalam masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut diats kepada masalah dasar dari

viliditas hukum yang berlaku, yang akhirnya dikembalikan pada nilai-nilai

7
http://usmanunram.blogspot.co.id/2015/01/kesadaran-hukum.html. Diunduh pada tanggal 20 Mei
pukul 13.51 wib.

11
masyarakat.Sudikno Mertokusumo dalam buku Bunga Rampai Ilmu Hukum mengatakan

: Kesadaran hukum adalah kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau

perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang

lain. Kesadaran hukum mengandung sikap toleransi.Dapat disimpulkan bahwa kesdaran

hukum merupakan cara pandang masyarakat terhadap hukum itu, apa yang seharusnya

dilakukan dan tidak dilakukan terhadap hukum, serta penghormatan terhadap hak-hak

orang lain (tenggang rasa). Ini berarti bahwa dalam kesadaran hukum mengandung sikap

toleransi.

Kesadaran hukum dengan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali.

Kesadaran hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum. Bahkan Krabbe

menyatakan bahwa sumber segala hukum adalah kesadaran hukum. Dengan begitu maka

yang disebut hukum hanyalah yang memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang,

maka undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan

kehilangan kekuatan mengikat. Dalam kenyataanya ada beberapa hal secara include perlu

ditekankan dalam pengertian kesadaran hukum;

1. Kesadaran tentang ‘apa itu hukum’ berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan
perlindungan kepentingan manusia. Karena pada prinsipnya hukum merupakan
kaedah yang fungsinya untuk melindungi kepentingan manusia.Pada hakekatnya
kesadaran hukum masyarakat tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang
hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu.Pandangan-pandangan yang hidup
di dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan produk
pertimbangan-pertimbangan menurut akal saja, akan tetapi berkembang di bawah
pengaruh beberapa faktor seperti agama, ekonomi poliitik dan sebagainya.
Sebagai pandangan hidup didalam masyarakat maka tidak bersifat perorangan
atau subjektif, akan tetapi merupakan resultante dari kesadaran hukum yang
bersifat subjektif.
2. Kesadaran tentang ‘kewajiban hukum kita terhadap orang lain’ berarti dalam
melaksanakan hak akan hukum kita dibatasi oleh hak orang lain terhadap hukum

12
itu. Dengan begitu dalam kesadaran hukum menganut sikap tenggang
rasa/toleransi, yaitu seseorang harus menghormati dan memperhatikan
kepentingan orang lain, dan terutama tidak merugikan orang lain.
3. Tentang adanya atau terjadinya ‘tindak hukum’ berarti bahwa tentang kesadaran
hukum itu baru dipersoalkan atau dibicarakan dalam media elektronik kalau
terjadi pelanggaran hokum seperti : pembunuhan, pemerkosaan, terorisme,KKN
dan lain sebagainya.

Hukum baru dipersoalkan apabila justru hukum tidak terjadi, apabila hukum tidak

ada (onrecht) atau kebatilan. Kalau segala sesuatu berlangsung dengan tertib maka tidak

akan ada orang mempersoalkan tentang hukum. Baru kalau terjadi pelanggaran, sengketa,

bentrokan atau “conflict of human interest”, maka dipersoalkan apa hukumnya, siapa

yang berhak, siapa yang benar dan sebagainya. Dengan demikian pula kiranya dengan

kesadaran hukum. Dengan demikian jelas bahwa kesadaran hukum pada hakekatnya

bukanlah kesadaran akan hukum, tetapi terutama adalah kesadaran akan adanya atau

terjadinya “tidak hukum” atau “onrecht” Memang kenyataannya ialah bahwa tentang

kesadaran hukum itu baru dipersoalkan atau ramai dibicarakan dan dihebohkan didalam

media massa kalau kesadaran hukum itu merosot atau tidak ada, kalau terjadi

pelanggaran-pelanggaran hukum, seperti: pemalsuan ijazah, pembunuhan, korupsi,

pungli, penodongan dan sebagainya.

Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan

suatu tahapan berikutnya, yaitu :

1. Pengetahuan hukum
2. Pemahaman hukum
3. Sikap hukum
4. Pola prilaku hukum (soerjono soekanto, 1982: 140)

Setiap indikator menunjuk pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang

terendah sampai dengan yang tertinggi.

13
1. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku
tertentu yang diatur oleh hukum. sudah tentu bahasa hukum yang dimaksud disini
adalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitang
dengan prilaku yang dilarang ataupun prilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
Sebagaimana dapat dilihat di dalam masyarakat bahwa pada umumnya seseorang
mengetahui bahwa membunuh, mencuri, dan seterusnya dilarang oleh hukum.
Pengetahuan hukum tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat
dianggap mengetahui isi suatu peraturat manakala peraturan tersebut telah
diundangkan. Kenyataan asumsi tersebut tidak selalu benar, hal tersebut terbukti
dari berbagai penelitian yang dilakukan di berbagai negara. Ambil contoh
penelitian yang dilakukan di inggris oleh welker dan argrye pada tahun1964
tentang Suicide tahu bahwa sejak Suicide Act ada, percobaan untuk bunuh diri
bukanlah merupakan suatu kejahatan. Selebihnya, berpendapat bahwa percobaan
untuk bunuh diri merupakan tindak kejahatan.
2. Pemahaman hukum dalam arti disini adalah sejumlah informasi yang dimiliki
seseorang mengenai isi peraturan dari hukum tertentu. Dengan lain perkataan
pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu
peratuan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta
manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya tidak disyaratkan seseorang
harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur
sesuatu hal, akan tetapi yang dilihat disini adalah bagaimana persepsi mereka
dalam mengahadapi berbagai hal, dalam kaitannya dengan norma-norman yang
ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasa diwujudkan melalui sikap mereka
terhadap tingkah laku sehari-hari. Pemahaman hukum ini dapat diperolah bila
peraturan tersebut dapat atau mudah dimengerti oleh warga masyarakat. Bila
demikian, hal ini tergantung pula bagaimanakan perumusan pasal-pasal dari
peraturan perundang-undangan tersebut. Ambil contoh pas 4 UU No.1 tahun
1974 terdapat kalimat “istri tidak dapat menjalakan kewajibanya sebagai istri”.
Pasal tersebut tampak belum jelas bagi keseluruhan masyarakat yang memiliki
variasi pengetahuan yang berbeda-beda. Karena masalah dalam pasal tersebut
adalah mungkin terdapat perbedaan mengenai kewajiban seorang istri atau satu
orang dengan lainnya.
3. Sikap hukum adalah suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena adanya
penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau
14
menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sebagaimana terlihat di sini bahwa
kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat dimasyrakat. Suatu
sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap yang sesuai dengan nilai-
nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat menerima
hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.
4. Prilaku hukum, Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran
hukum karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam
masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam
masyarakat dapat dilihat dari pola prilaku hukum suatu masyarakat.

Terdapat kaitan atara kesadaran hukum dengan kebudayaan hukum. keterkaitan

tersebut dapat dilihat bahwa kesadaran hukum banyak sekali berkaitan dengan aspek-

aspek kognitif dan perasaan yang seringkali dianggap faktor-faktor yang mempengaruhi

hubungan antara hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat. Ajaran

kesadaran hukumn lebih banya mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap

sebagai mediator antar hukum dengan perilaku manusia baik secara individual maupun

kolektif. Oleh karennya ajaran kesadaran hukum lebih menitik beratkan kepada nilai-nilai

yang berlaku pada masyrakat. Sistem nilai-nilai akan menghasilkan patokan-patokan

untuk berproses yang bersifat psikologis, antara lain pola-pola berfikir yang menentukan

sikap mental manusia, sikap mental yang pada hakikatnya merupakan kecenderungan

untuk bertingkah laku , membentuk pola-pola perilaku maupun kaidah-kaidah.

Menurut Sudikno Mertokusumo, kesadaran hukum yang rendah cenderung pada

pelanggaran hukum, sedangkan makin tinggi kesadaran hukum seseorang makin tinggi

ketaatan hukumnya. Mengingat bahwa hukum adalah perlindungan terhadap kepentingan

manusia, maka menurunnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan karena orang tidak

melihat atau menyadari bahwa hukum melindungi kepentingannya, tidak adanya atau

kurangnya pengawasan pada petugas penegak hukum, sistem pendidikan yang kurang

menaruh perhatiannya dalam menanamkan pengertian tentang kesadaran hukum.

15
Soerjono Soekanto, menambahkan bahwa menurunya kesadaran hukum masyarakat

disebabkan juga karena para pejabat kurang menyadari akan kewajibannya untuk

memelihara hukum dan kurangnya pengertian akan tujuan serta fungsi pembangunan.8

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penerapan Hukum

Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif

sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk di bahas dalam perspektif

efektifitas hukum. Artinya benarkah hukum yang tidak efektif atau pelaksana hukumkah

sesungguhnya yang berperan untuk mengefektifkan hukum itu? Sebenarnya pada

hakikatnya persoalan efektifitas hukum seperti yang diungkapkan Dr. Syamsuddin

Pasamai, SH., MH., dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas

hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan

dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum

benar-benar berlaku secara filosofis, juridis dan sosiologis.

Untuk menmbahas ketidak efektifan hukum, ada baiknya juga memperhatikan

faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan hukum. Hal ini sejalan

dengan apa yang diungkapkan Ishaq, SH., MHum., dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu

Hukum yang menyebutkan dalam proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yang

mempengaruhi dan mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada

isi faktor tersebut. Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :

1. Hukumnya sendiri.
2. Penegak hukum.
3. Sarana dan fasilitas.
4. Masyarakat.

8 soerjono soekanto, 1982: 140

16
D. Kebudayaan.

A. Faktor Hukum

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi

keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum

merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu

kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang

dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan

hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low

enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum

sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata

yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat

diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-

undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi

setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan

peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya. Pada hakikatnya, hukum itu mempunyai

unsur-unsur antara lain hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis,

hukum adat, dan hukum ilmuwan atau doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus

harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal

antara perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang dipergunakan

harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga

17
masyarakat yang terkena perundang-undangan itu9. Mengenai faktor hukum dalam hal ini

dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya

mencantumkan maksimumnya saja, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk

menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas

maksimal hukuman. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok

perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu

penghambat dalam penegakan hukum tersebut.

B. Faktor Penegakan Hukum

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum

memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang

baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan

hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J.

E. Sahetapy yang mengatakan “Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi

penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan.

Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka

penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan

dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.

Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak

hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk

mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan

dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan

9 Soekanto Soerjono, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Jakarta, Kurnia Esa, 1981.

18
wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang

melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan

wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak

hukum tersebut. Hal ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan, karena

kurang pemahaman terhadap hukum, sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang dalam

melakukan tugas penyidikan dan tugas kepolisian lainnya.

Masalah peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala yang dialami

diberbagai instansi, tetapi khusus bagi aparat yang melaksanakan tugas wewenangnya

menyangkut hak asasi manusia (dalam hal ini aparat penegak hukum) seharusnya

mendapat prioritas. Walaupun disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu berkaitan erat

dengan anggaran lainnya yang selama ini bagi Polri selalu kurang dan sangat minim.

C. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat

keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima

oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam

banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah

pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini

masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi

dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus

diemban oleh polisi begitu luas dan banyak. Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah

sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Sebab apabila sarana fisik seperti

kertas tidak ada dan karbon kurang cukup dan mesin tik yang kurang baik, bagaimana

petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Menurut Soerjono

Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat

19
bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi

yang proporsional ? Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat

penting di dalam penegakan hukum.

D. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian

di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya

mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum,

yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan

hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum

yang bersangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak

mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan

hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya.

Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.

E. Faktor Kebudayaan

Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal

kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat

besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti

bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka

berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok

tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan,

dan apa yang dilarang. Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena

menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas

penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan

hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-

20
undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak

hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.

Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidaklah disebutkan

faktor mana yang sangat dominan berpengaruh atau mutlaklah semua faktor tersebut

harus mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Namun sistematika dari kelima

faktor ini jika bisa optimal, setidaknya hukum dinilai dapat efektif. Sistematika tersebut

artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan

bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana

sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta

kebudayaan yang terbangun. Dari apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto, tentu bukan

hanya kelima faktor tersebut, tetapi banyak faktor-faktor lainnya yang ikut mempengaruhi

efektifnya suatu hukum diterapkan. Salah satu inisialnya adalah faktor keadaan atau

kondisi yang melingkupi penerapan suatu hukum.

Hukum disini bisa saja menjadi tidak menentu dan menjadi wilayah “abu-abu”

tidak jelas dan samar-samar bahkan kerapkali dipermainkan untuk kepentingan tertentu

sehingga tidaklah heran bila orang yang tidak bersalah sama sekali bisa di hukum dan

orang yang bersalah menjadi bebas. Di negeri ini telah banyak contoh-contoh kasus,

semisal kasus Ryan yang cukup menjadi sorotan karena dalam kasus pembunuhan ini

terjadi salah tangkap pelaku yang sebenarnya. Bisa dibayangkan bagaimana penegak

hukum bekerja tanpa bukti awal yang mengeratkan sehingga seseorang ditangkap lalu di

tahan. Mencermati kasus Ryan ini sungguh menarik membahasnya dalam ranah hukum,

dimana profesionalisme penegak hukum yang prosesnya diawali dari Polri, jaksa dan

hakim (penegak hukum), dituntut untuk menjunjung tinggi hukum.10

Dalam hukum dikenal asas praduga tak bersalah sekaligus asas praduga bersalah. Polisi

10
Rahardjo Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1979.

21
dituntut untuk menjadikan asas ini sebagai suatu bekal dalam bertindak terutama dalam

melakukan penangkapan.

Tetapi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH. MH. membicarakan asas praduga ini

haruslah berhati-hati karena masyarakat bisa saja keliru memahami, khususnya

membicarakan asas praduga bersalah. Polisi dalam profesionalismenya bekerja bisa saja

menganut asas praduga bersalah karena mungkin telah cukup kuat bukti, namun dalam

proses hukum haruslah mengedepankan asas praduga tak bersalah. Prof. Dr. Achmad Ali,

SH., MH., dalam bukunya menjelajahi kajian empiris terhadap hukum, disebutkan

Polisilah yang berada pada Garda terdepan karena Polisi yang paling banyak

berhubungan langsung dengan warga masyarakat, dibandingkan dengan Penegak Hukum

lainnya yang berada “dibalik tembok tinggi” perkantoran tempat mereka bekerja sehari-

hari. Oleh karena itu sikap dan keteladanan Personal Kepolisian menjadi salah satu faktor

dihargai atau tidaknya mereka oleh warga masyarakat terhadap penegak hukum, yang

cukup berpengaruh terhadap ketaatan mereka. Olehnya itu, kualitas dan keberdayaan

Polisi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., merupakan salah satu faktor yang sangat

menentukan efektif atau tidaknya ketentuan hukum yang berlaku. Sehubungan dengan

persoalan efektivitas hukum, maka selain faktor-faktor tersebut, ada juga pandangan lain

seperti ajaran realisme yaitu pengindentikan hukum dengan proses pengadilan.

Salmond, misalnya memperbaiki pandangan kaum positivis, khususnya uraian

Austin tentang wujud atau sifat hukum yang memodifikasi pendekatan positivisme itu

menjadi pendekatan yang realistis. Salmon mendefinisikan hukum sebagai sekumpulan

asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh Negara melalui peradilan. Hukum boleh

tumbuh di luar kebiasaan maupun dunia praktek, tetapi bagi Salmond, ia baru

memperoleh karakter hukum nanti pada saat ia diakui dan diterapkan oleh pengadilan

dalam putusan yang dijatuhkannya. Menurut Salmond, pengujian hukum yang sebenarnya

22
adalah ketika ia dilaksanakan oleh pengadilan. Salmond melalui definisi hukumnya yang

dikaitkan dengan Pengadilan, menuntut agar tujuan hukum ditukarkan pada jaminan

keadilan.

Pandangan-pandangan Salmond ini di kecam dan di bantah bahwa keadilan bukan

satu-satunya tujuan hukum. Dimasa moderen ini, tujuan hukum seperti yang tampak

diterima, secara universal adalah terjaminnya ketertiban di dalam masyarakat, kebahagian

sebesar-besarnya warga masyarakat dan merekonsiliasi atau penyesuaian antara keinginan

seseorang dengan kebebasan orang lain.

Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan

itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-

masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di

rasakan adil bagi si Sangkala. Bahkan ada pula ilmuwan yang pernah mengungkapkan

kekecewaannya selama mengamati pelaksanaan penegakan hukum di Negara yang

berlambang Burung Garuda ini, dengan lantang mempublikasikan pernyataannya dalam

suatu tulisan, bahwa seandainya Negara, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara tidak peduli

pada Penegakan Hukum, maka orang-orang yang cinta hukum tidak boleh putus asa. Hal

ini, diungkapkan Dr. Syamsuddin Pasamai, SH bahwa dalam bukunya Sosiologi dan

Sosiologi Hukum, dimana pada hakikatnya persoalan efektivitas hukum mempunyai

hubungan yang sangat erta dengan persoalan penerapan, pelaksanaan hukum dalam

masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara

Filosofis, Yuridis dan Sosiologis. Berkenaan dengan morfologi antara efektivitas hukum

dengan persoalan-persoalan di sekitar penerapan pelaksanaan dan penegakan hukum

tersebut, tidak jarang ditemukan ada warga masyarakat yang memvonis bahwa keadaan

Pemerintah (arti luas) di Indonesia, secara empiric mencerminkan bahwa penerapan

pelaksanaan dan Penegakan hukum ternyata masih belum atau kurang efektif. Hal ini

23
disebabkan fungsi hukum belum dijalankan sebagaimana mestinya sehingga berakibat

tidak dapatnya diwujudkan tujuan-tujuan postif dari hukum.

Menurut L.J. Van Apeldoorn, bahwa efektivitas hukum berarti keberhasilan

keberhasilan, kemajemukan atau kekujaraban hukum atau Undang-Undang untuk

mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai. Pandangan L.J. Van Apeldoorn ini,

memandang efektifnya suatu hukum dilihat dari output, bila di sana-sini masih saja terjadi

berbagai pelanggaran-pelanggaran hukum, kriminalitas masih marak dilakukan di mana-

mana dengan berbagai modus operasional baru, maka disinilah hukum dipertanyakan,

walaupun dengan ini dapat saja dibantah bahwa bukan hanya hukumnya saja tetapi

termasuk pelaksanaan hukumnya. Pertanyaan yang patut untuk dijawab, karena masih

saja ada pelanggaran hukum, kenapa orang masih saja mencuri, kenapa orang masih saja

ada yang membunuh, kenapa masih saja saja orang melanggar lalu lintas, kenapa masih

saja ada yang korupsi dan sederet lagi pertanyaan-pertanyaan yang seakan tidak habis

untuk dipertanyakan, sementara hukumnya yang mengatur jelas dengan sangsi-sangsinya.

Jawaban dari semua ini adalah bahwa efektivitas hukum hanya dapat terlaksana dengan

baik, manakala hukum dijunjung tinggi dan moralitas penegak hukumnya serta

masyarakat yang mensupport ke arah itu.

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, adalah hukum sebagai sosial

control, dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social

enginnering, sebagai alat pengubah masyarakat adalah dianalogikan sebagai suatu proses

mekanik. Terlihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang

memperkenalkan nilai-nilai baru, dengan melakukan “interprestasi”, ditegaskan dengan

temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka

akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus

dilindungi, dan unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam

mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law). Oleh

karena itu, sekalipun hukum itu mempunyai otonomi tertentu, tetapi hukum juga harus

fungsional dan menempatkan peranan dari keadilan dalam konteks kehidupan hukum

secara lebih seksama.

Bahwa kesdaran hukum merupakan cara pandang masyarakat terhadap hukum itu,

apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan terhadap hukum, serta penghormatan

terhadap hak-hak orang lain (tenggang rasa). Ini berarti bahwa dalam kesadaran hukum

mengandung sikap toleransi.Pada hakikatnya kesadaran hukum bukanlah kesadaran akan

hukum, tetapi terutama adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya “tidak hukum” atau

“onrecht”. Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan

suatu tahapan berikutnya, yaitu : Pengetahuan hukum, Pemahaman hukum, Sikap hukum,

Pola prilaku hukum (soerjono soekanto, 1982: 140). Kondisi suatu masyarakat terhadap

kesadaran hukum dapat kita kemukakan Dalam beberapa parameter, antara lain: ditinjau

25
dari segi bentuk pelanggaran, segi pelaksanaan hukum, segi jurnalistik, dan dari segi

hukum. Terdapat faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum yaitu

compliance, identification, internalization. Peranan hukum dalam pembangunan

dimaksudkan agar pembangunan tersebut berlangsung secara tertib dan teratur, sehingga

tujuan pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditetapkan. Adapun

cara untuk meningkatkan kesadarran hukum yaitu dapat berupa tindakan, dan pendidikan.

Tindakan berarti dengan memperberat ancaman hukuman atau dengan lebih mangetatkan

pengawasan ketaatan warga negara terhadap undang-undang sehingga diupayakan semua

masyarakat patuh. Kemudian pendidikan berarti berarti mengajarkan bahwa setiap

manusia diupayakan memiliki kesadaran hukum tentang bagaimana menjadi warga

negara yang baik , baik di laksanakan dipendidikan formal ataupun nonformal.

Faktor – faktor dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat,

diantaranya yaitu:

a. Kaidah hukum. Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum itu berfungsi

maka setiap kaidah hukum harus memenuhi beberapa unsur yaitu :

1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis.

2. Kaidah hukum berlaku secara Sosiologis.Kaidah hukum berlaku secara

Filosofis.

3. Mungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati, kalau hanya berlaku

sosiologis dalam arti teori kekuasaan maka kaidah itu menjadi aturan

pemaksa dan apabila hanya berlaku secara filosofis kemungkinannya

kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita – citakan

(insconstituenden).

26
b. Petugas Penegak Hukum. Penegak hukum atau orang yang bertugas

merupakan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas sebab

menyangkut petugas pada strata atas, menengah, dan bawah. Artinya

dalam melaksanakan tugas – tugas penerapan hukum, petugas harus

memiliki suatu pedoman yaitu peraturan tertulis tertentu yang mencakup

ruang lingkup tugas – tugasnya.

c. Warga Masyarakat. Adalah salah satu faktor penting untuk mengefektifkan

suatu peraturan yaitu kesadaran masyarakat untuk mematuhi suatu

peraturan perundang – undangan apabila warga masyarakat telah

menyadari bahwa hukum atau aturan yang berlaku adalah untuk mengatur

kehiupan masyarakat sehingga akan tercipta suatu keseimbangan antara

hak dan kewajiban.

27
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Elly M. Stiadi, dkk (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Hartomo dan Aziz Arnicun. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara Windia, Wayan
P, dkk. 2009. Hukum dan Kebudayaan. Denpasar:
Rahardjo Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1979.
Rizachnial. 2013. Peran hukum Dalam Kehidupan manusia.
Soekanto Soerjono, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Jakarta, Kurnia Esa,
1981.
soerjono soekanto, 1982: 140.

WEBSITE
http://usmanunram.blogspot.co.id/2015/01/kesadaran-hukum.html. Diunduh pada tanggal 20 Mei
pukul 13.51 wib.

http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2015/09/peranan-hukum-dalam-kehidupan.html. Diunduh
pada tanggal 20 Mei 2018 pukul 12.00 wib.

http://kemirilor.blogspot.co.id/2015/05/kurangnya-kesadaran-hukum-masyarakat.html. Diunduh
pada tanggal 20 Mei 2018 pukul 12.15 wib.

http://sesukakita.wordpress.com/2011/10/29/upaya-meningkatkan-kesadaran-hukum-di-
masyarakat-dari-segi-culture/. Diunduh pada tanggal 20 Mei 2018 Pukul 12.10 wib.

28
29

Anda mungkin juga menyukai