SOSIOLOGI HUKUM
“PROBLEMA HUKUM DI MASYARAKAT ”
Disusun Oleh:
Meidho Satriawan
B2A017044
M I H (Semeseter I)
UNIVERSITAS BENGKULU
PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM
2018
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum,Wr.Wb
Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala
berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat membuat makalah yang berjudul :
“Problema Hukum di Masyarakat” Dan juga penulis berterima kasih kepada Bapak Dr. Tito
Sofyan, S.H.,M.S. selaku dosen mata kuliah Sosiologi Hukum yang telah memberikan tugas
ini kepada penulis. penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Sosiologi Hukum. penulis juga
menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna.
Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan
Penulis
ii2
DAFTAR ISI
.............................................................................................................. 16
A. Kesimpulan .......................................................................................... 25
3
iii
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
hukum adalah suatu percobaan penerapan metode yuridis empiris untuk mengukur
kepatuhan hukum dalam menaati peraturan. Sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-
nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum
yang diharapkan ada, sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum
ditegakkan dan junjung tinggi agar efektifitas hukum sebagai alat yang menciptakan suatu
ketertiban dunia dapat berlaku sedemikian baiknya. Karenanya manusia sebagai selaku
pihak yang diuntungkan daripada hukum harus pula dapat menggunakannya dengan
tegaknya.
Adapun dalam menggunakan hukum tidaklah cukup dengan logika, karena logika
sewaktu-waktu tidak dapat mengakomodir dan menjamin hukum berjalan dengan jujur
dan adil. Sehingga dirasa hukum yang mereka jalani adalah suatu beban berat yang
mereka pikul, oleh karenanya berhukum dengan hati sangatlah diperlukan agar tidak ada
lagi beban atau suatu paksaan yang dirasakan manusia dalam berhukum. Hukum yang
sehingga apa saja yang diperbuat atau dilakukan manusia dalam menjalani system sosial
akan dengan sendirinya mentaati hukum. Bagi mereka yang melanggar ketentuan-
1
ketentuan hukum akan merasa malu dan penyesalan yang mendalam akan selalu
menghantuinya.1
Jepang adalah contoh negara yang berhukum dengan hati (kokoro). Mereka lebih
ketimbang hukum modern yang terlanjur masuk menerobos hukum mereka. Pada masa
pemerintahan Meiji ingin dengan cepat memodernisasi hukum jepang waktu itu. Sewaktu
jepang membuka pintu bagi masuknya bangsa barat kedalam negerinya, maka barat
beranggapan, bahwa hukum jepang itu kuno dan karena itu mereka tidak mengakui
yurisdiksi hukum jepang terhadap bangsa barat yang ada di jepang. Jepang yang sangat
model Eropa, yaitu menjiplak (copied) hukum Perancis dan Jerman. Maka jadilah
konstitusi Meiji yang terdiri dari 76 pasal; hukum perdata terdiri dari 1046 pasal; hukum
dagang, 689 pasal; hukum pidana, 264 pasal, hukum acara perdata, 805 pasal dan hukum
acara pidana, 334 pasal. Sekalian perundang-undangan tersebut diselesaikan kurang dari
Walaupun demikian prestasi yang perlu diakui, hukum modern Jepang tersebut
tidak dapat menyentuh prilaku orang Jepang. Menurut Robert Ozaki, hukum modern
tersebut lebih merupakan kosmetik atau hiasan daripada hukum yang benar-benar
dihayati dan dijalankan oleh bangsa Jepang. Bagi bangsa Jepang, hukum tersebut lebih
merupakan bunyi-bunyian asing, dimulai dari bahasa, ide-ide, filsafat dan logika
perundang-undangan itu adalah khas Eropa. Maka terbentang jurang keasingan antara
1
http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2015/09/peranan-hukum-dalam-kehidupan.html. Diunduh
pada tanggal 20 Mei 2018 pukul 12.00 wib.
2
menjadi berubah, melainkan mereka tetap berpegangan pada tradisi dan kaidah asli yang
Menurut Ozaki, selama ratusan tahun bangsa Jepang dikondisikan untuk hidup
dalam dan dengan hukum modern Jepang, tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam
kehidupan bangsa Jepang. Cara berfikir tradisional hanya bisa berubah sangat
lambat adalah jauh lebih mudah untuk membuat hukum baru daripada mengubah pikiran,
prilaku dan kebiasaan rakyat. Hukum modern Jepang yang banyak menjiplak Perancis
dan Jerman itu memperkenalkan tipe hukum, konsep serta asas-asas baru yang bertumpu
pada individualisme. Konsep hak-hak individual, hak asasi manusia diperkenalkan. Hal
ini sangat bertentangan dengan kosmologi Jepang dengan kehidupan sosial yang
kontekstual dan menjaga baik hubungan-hubungan sosial yang ada. Dalam suasana
masyarakat tidak mengizinkan orang untuk berfikir tentang hak-hak yang dimilikinya.
Dalam masyarakat tradisional, setiap usaha adalah bagaikan satu satuan keluarga. Pemilik
usaha tidak pernah berfikir tentang haknya untuk menyewa buruh, seperti juga seorang
ayah tidak pernah berfikir tentang haknya untuk menyuruh anak-anak mengerjakan tugas-
tugas kerumah tanggaan. Demikian pula seorang pekerja tidak pernah berfikir tentang
haknya untuk meminta upah. Imbalan yang diterimanya dianggap sebagai pernyataan
kebaikan hati, rasa kasih dan kemuliaan hati sang majikan. Tradisi seperti itu tidak mudah
untuk diubah melalui penggunaan hukum modern yang penuh dengan semangat
2
http://kemirilor.blogspot.co.id/2015/05/kurangnya-kesadaran-hukum-masyarakat.html. Diunduh
pada tanggal 20 Mei 2018 pukul 12.15 wib.
3
hati (kokoro). Perbedaan tersebut dicontohkan pada kejadian yang melibatkan orang
Amerika dan orang Jepang. Mereka berdua berdiri di pinggir jalan, menunggu
kesempatan menyeberang jalan, karena lampu lalu-lintas masih merah. Pada saat lalu-
lintas mobil sudah sepi, orang Amerika mengajak teman Jepangnya untuk menyeberang.
Jawab orang Jepang “Kalau lampu lalu-lintas masih merah lalu saya menyeberang, muka
saya ini mau saya taruh dimana?” Begitulah sedikit gambaran sederhana tentang hukum
yang dijalankan dengan hati seperti masyarakat Jepang. Maka patut kiranya apabila
system penerapan hukum yang dilakukan dan dijalankan orang Jepang diterapkan pula di
Indonesia, agar tercipta suatu budaya malu yang berdampak positif bagi hukum nasional.
Tatanan sosial di Indonesia adalah begitu majemuk dan kompleks, sehingga dibutuhkan
kearifan dan kehati-hatian tersendiri untuk merawatnya. Apabila peringatan tersebut tidak
diperhatikan, maka bagi banyak komunitas lokal, hukum nasional akan menjadi beban
3
http://sesukakita.wordpress.com/2011/10/29/upaya-meningkatkan-kesadaran-hukum-di-
masyarakat-dari-segi-culture/. Diunduh pada tanggal 20 Mei 2018 Pukul 12.10 wib.
4
B. Identifikasi Masalah
masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan dibahas dalam makalah ini,
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mendeskripsikan dan
serta mengetahui Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam efektifitas penerapan
hukum.
5
BAB II
PEMBAHASAN
pemenuhan kebutuhan tersebut. Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka
kebutuhan tertentu manusia. Agar kita bisa berbicara mengenai adanya suatu insttiusi
yang demikian itu, kebutuhan yang dilayaninya telebih dulu harus medapakan pengakuan
telah mulai memperhatikan suatu kebutuhan tertentu maka akan berusaha agar dalam
masyarakat dapat diciptakan suatu sarana untuk memnuhinya. Dari sinilah mulai
dilahirkan suatu institusi tersebut. Jadi institusi itu pada hakikatnya merupakan alat
Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya
diakui semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam
institusi yang namanya hukum, maka institusi hukum itu harus mampu untuk menjadi
saluran agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam masyarakat.
Beberapa ciri yang umumnya melekat pada institusi sebagai perlengkapan masyarakat :
4
Hartomo dan Aziz Arnicun. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara Windia, Wayan P, dkk.
2009. Hukum dan Kebudayaan. Denpasar:
6
1. Stabilitas. Di sini kehadiran institusi hukum menimbulkan suatu kemantapan dan
keteraturan dalam usaha manusia untuk memperoleh keadilan itu.
2. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat.
Di dalam ruang lingkup kerangka yangt telah diberikan dan dibuat oleh
masyarakat itu, anggota-anggota masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhanya.
3. Institusi menampilkan wujudnya dalam bentuk norma. Norma-norma inilah yang
merupakan sarana untuk menjamin agar anggota-anggota masyarakat dapat
dipenuhi kebutuhanya secara terorganisasi.
4. Jalinan antar institusi. Terjadinya tumpang tindih antara institusi.
keadilan dalam masyarakat. Sebagai suatu institusi sosial, maka penyelenggaraanya yang
demikian itu bekaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk
cara tertentu yang berbeda dengan masyarakat pada masyarakat yang lain. Perbedaan ini
berhubungan erat dengan persediaan perlengkapan yang terdapat dalam masyarakat untuk
penyelenggaraan keadilan itu dan hak ini berarti adanya berhubungan yang erat antara
kekuasaan itu tidak tebagi secara merata dalam masyarakat. Struktur pembagian yang
demikian itu menyebabkan, bahwa kekuasaan itu terhimpun pada sekelompok orang-
orang tertentu, sedangkan orang-orang lain tidak atau kurang memiliki kekuasaan itu.
Bagaimana stuktur yang berlapis-lapis itu bisa terbentuk banyak tergantung dari sistem
dalam masyarakat. Kekuasaan itu tidak terlepas dari penguasaan barang-barang dalam
masyarakat.
7
Oleh karena itu terjadinya perlapisan kekuasaan berhubungan erat dengan barang-
barang yang bisa dibagi-bagikan itu tentunya susah dibayangkan timbulnya perlapisan
hukum disebabkan oleh dampak dari adanya struktur yang demikian itu terhadap hukum,
Pada masyarakat mana pun juga, orang atau golongan yang bisa menjalankan
Para ahli sosiologi hukum memberikan perhatian besar terhadap hubungan antara
hukum dengan perlapisan sosial ini. Dengan terjadinya perlapisan sosial maka hukum pun
Perlapisan sosial ini merupakan kunci penjelasan mengapa hukum itu bersifat
tidaklah memihak. Dalam keadaan yang demikian ini pendapat yang berkuasapun akan
memihak, namun karena sudah sejak kelahirannya peraturan-peraturan itu tidak lempeng,
maka hukum pun bersifat memihak, keadaan yang demikian itu juga dijumpai pada
masalah penegakan hukum. Kalaulah kita sekarang sudah mengetahui betapa besar
kehidupan masyarakat, kita masih saja belum mengetahui benar apa yang dikehendaki
5
Elly M. Stiadi, dkk (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
8
oleh hukum tersebut. Apakah sekedar untuk menciptakan ketertiban atau lebih jauh dari
pada itu?
Pertanyaan atau masalah ini layak sekali untuk mendapatkan perhatian kita.
ketertiban, maka sebetulnya kita hanya berurusan dengan hal-hal yang bersifat dengan
hal-hal teknik. Melarang orang untuk melakukan pencurian dengan menciptakan suatu
hukum dengan sanksinya adalah suatu usaha yang bersifat teknik. Tetapi mengapa justru
mencuri itu yang dilarang? Jawabanya adalah, karena mencuri itu dianggap sebagai
perbuatan yang tercela oleh masyarakat. Dengan demikian, kita telah memasuki bidang
yang tidak teknik lagi sifatnya, melainkan sudah ideal. Pembicaraan ini diharapkan dapat
memberikan wawasan yang lebih sesuai dengan kenyataan dalam kita meninjau dan
mempelajari hukum, yaitu bahwa hukum itu hadir dalam masyarakat karena harus
harus ia terima sebagai suatu kenyataan. Karena hukum itu memberikan pembatasan-
pembatasan yang demikian itu maka institusi hukum itu hanya bisa berjalan dengan
seksama di dalam suatu lingkungan sosial dan politik yang bisa dikendalikan secara
efektif oleh hukum. Suatu masyarakat yang berkehendak untuk diatur oleh hukum tetapi
yang tidak bersedia untuk membiarkan penggunaan kekuasaannya dibatasi dan dikontrol,
Hukum Sebagai Sosial Kontrol, dimana setiap kelompok masyarakat selalu ada
problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang
standard dan yang parktis. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat
dicontohkan : pencurian, perzinahan hutang, membunuh dan lain-lain. Semua contoh ini
6
Rizachnial. 2013. Peran hukum Dalam Kehidupan manusia.
9
masyarakat, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang
modern. Dalam situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan problem
masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk
Ide tentang kesadaran warga-warga masyrakat sebagai dasar sahnya hukum positif
intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali
atas dasar kesadaran hukumnya. Hal tersebut merupakan salah satu aspek dari kesadaran
hukum, aspek lainnya adalah bahwa kesadaran hukum sering kali dikaitkan dengan
hukum, termasuk pula didalam ruang lingkup persoalan hukum dan niali-nilai sosial.
Apabila ditinjau dari teori-teori modern tentang hukum dan pendapat para ahli hukum
tentang sifat mengikat dari hukum, timbul bermacam permasalahan. Salah satu persoalan
yang timbul, adalah mengenai adanya suatu jurang pemisah antara asumsi-asumsi tentang
dasar keabsahan hukum tertulis, serta kenyataan dari pada dipatuhinya hukum tersebut.
tergantung pada keyakinan seseorang. Hal inilah yang dinamakan teori rechtsbewustzijn.
aturan hukum dengan pola prilaku dalam kaitannya dengan fungsi hukum dalam
10
masyrakat. Ajaran tradisional, pada umumnya bertitik tolak pada suatu anggapan bahwa
hukum secara jelas merumuskan perilakuan-perilakuan yang dilarang dan atau yang
diperbolehkan. Pun bahwa tersebut dengan sendirinya dipatuhi oleh sebagian besar warga
masyarakat. Ajaran ini terkenal dengan co-variance theory, yang berasumsi bahwa ada
kecocokan antara hukum dengan pola-pola perilakuan hukum (Berl Kutchinsky, 1973:
102). Ajaran lain menyatakan bahwa hukum efektif apabila didasarkan pada volkgeist
atau rechtsbewustzjin. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ajaran atau teori tersebut
dengan pola-pola perilakuan manusi didalam masyarakat baik secara individu maupun
kognitif dan persaan yang sering sekali dianggap sebagai faktor-faktor yang
masyarakat.7
perasaah hukum. perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbuln secara
serta merta dari masyakat dalam kaitannya dengan maslah keadilan. Kesadaran hukum
lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut,
yang telah dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan
kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau
tentang hukum yang diharapkan ada. Dengan demikian yang ditekankan dalam hal ini
adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan terhadap kejadian-kejadian yang
konkret dalam masyrakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijadikan oleh hukum
dalam masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut diats kepada masalah dasar dari
7
http://usmanunram.blogspot.co.id/2015/01/kesadaran-hukum.html. Diunduh pada tanggal 20 Mei
pukul 13.51 wib.
11
masyarakat.Sudikno Mertokusumo dalam buku Bunga Rampai Ilmu Hukum mengatakan
: Kesadaran hukum adalah kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau
perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang
hukum merupakan cara pandang masyarakat terhadap hukum itu, apa yang seharusnya
dilakukan dan tidak dilakukan terhadap hukum, serta penghormatan terhadap hak-hak
orang lain (tenggang rasa). Ini berarti bahwa dalam kesadaran hukum mengandung sikap
toleransi.
Kesadaran hukum dengan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali.
menyatakan bahwa sumber segala hukum adalah kesadaran hukum. Dengan begitu maka
yang disebut hukum hanyalah yang memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang,
maka undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan
kehilangan kekuatan mengikat. Dalam kenyataanya ada beberapa hal secara include perlu
1. Kesadaran tentang ‘apa itu hukum’ berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan
perlindungan kepentingan manusia. Karena pada prinsipnya hukum merupakan
kaedah yang fungsinya untuk melindungi kepentingan manusia.Pada hakekatnya
kesadaran hukum masyarakat tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang
hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu.Pandangan-pandangan yang hidup
di dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan produk
pertimbangan-pertimbangan menurut akal saja, akan tetapi berkembang di bawah
pengaruh beberapa faktor seperti agama, ekonomi poliitik dan sebagainya.
Sebagai pandangan hidup didalam masyarakat maka tidak bersifat perorangan
atau subjektif, akan tetapi merupakan resultante dari kesadaran hukum yang
bersifat subjektif.
2. Kesadaran tentang ‘kewajiban hukum kita terhadap orang lain’ berarti dalam
melaksanakan hak akan hukum kita dibatasi oleh hak orang lain terhadap hukum
12
itu. Dengan begitu dalam kesadaran hukum menganut sikap tenggang
rasa/toleransi, yaitu seseorang harus menghormati dan memperhatikan
kepentingan orang lain, dan terutama tidak merugikan orang lain.
3. Tentang adanya atau terjadinya ‘tindak hukum’ berarti bahwa tentang kesadaran
hukum itu baru dipersoalkan atau dibicarakan dalam media elektronik kalau
terjadi pelanggaran hokum seperti : pembunuhan, pemerkosaan, terorisme,KKN
dan lain sebagainya.
Hukum baru dipersoalkan apabila justru hukum tidak terjadi, apabila hukum tidak
ada (onrecht) atau kebatilan. Kalau segala sesuatu berlangsung dengan tertib maka tidak
akan ada orang mempersoalkan tentang hukum. Baru kalau terjadi pelanggaran, sengketa,
bentrokan atau “conflict of human interest”, maka dipersoalkan apa hukumnya, siapa
yang berhak, siapa yang benar dan sebagainya. Dengan demikian pula kiranya dengan
kesadaran hukum. Dengan demikian jelas bahwa kesadaran hukum pada hakekatnya
bukanlah kesadaran akan hukum, tetapi terutama adalah kesadaran akan adanya atau
terjadinya “tidak hukum” atau “onrecht” Memang kenyataannya ialah bahwa tentang
kesadaran hukum itu baru dipersoalkan atau ramai dibicarakan dan dihebohkan didalam
media massa kalau kesadaran hukum itu merosot atau tidak ada, kalau terjadi
1. Pengetahuan hukum
2. Pemahaman hukum
3. Sikap hukum
4. Pola prilaku hukum (soerjono soekanto, 1982: 140)
Setiap indikator menunjuk pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang
13
1. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku
tertentu yang diatur oleh hukum. sudah tentu bahasa hukum yang dimaksud disini
adalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitang
dengan prilaku yang dilarang ataupun prilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
Sebagaimana dapat dilihat di dalam masyarakat bahwa pada umumnya seseorang
mengetahui bahwa membunuh, mencuri, dan seterusnya dilarang oleh hukum.
Pengetahuan hukum tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat
dianggap mengetahui isi suatu peraturat manakala peraturan tersebut telah
diundangkan. Kenyataan asumsi tersebut tidak selalu benar, hal tersebut terbukti
dari berbagai penelitian yang dilakukan di berbagai negara. Ambil contoh
penelitian yang dilakukan di inggris oleh welker dan argrye pada tahun1964
tentang Suicide tahu bahwa sejak Suicide Act ada, percobaan untuk bunuh diri
bukanlah merupakan suatu kejahatan. Selebihnya, berpendapat bahwa percobaan
untuk bunuh diri merupakan tindak kejahatan.
2. Pemahaman hukum dalam arti disini adalah sejumlah informasi yang dimiliki
seseorang mengenai isi peraturan dari hukum tertentu. Dengan lain perkataan
pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu
peratuan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta
manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya tidak disyaratkan seseorang
harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur
sesuatu hal, akan tetapi yang dilihat disini adalah bagaimana persepsi mereka
dalam mengahadapi berbagai hal, dalam kaitannya dengan norma-norman yang
ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasa diwujudkan melalui sikap mereka
terhadap tingkah laku sehari-hari. Pemahaman hukum ini dapat diperolah bila
peraturan tersebut dapat atau mudah dimengerti oleh warga masyarakat. Bila
demikian, hal ini tergantung pula bagaimanakan perumusan pasal-pasal dari
peraturan perundang-undangan tersebut. Ambil contoh pas 4 UU No.1 tahun
1974 terdapat kalimat “istri tidak dapat menjalakan kewajibanya sebagai istri”.
Pasal tersebut tampak belum jelas bagi keseluruhan masyarakat yang memiliki
variasi pengetahuan yang berbeda-beda. Karena masalah dalam pasal tersebut
adalah mungkin terdapat perbedaan mengenai kewajiban seorang istri atau satu
orang dengan lainnya.
3. Sikap hukum adalah suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena adanya
penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau
14
menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sebagaimana terlihat di sini bahwa
kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat dimasyrakat. Suatu
sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap yang sesuai dengan nilai-
nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat menerima
hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.
4. Prilaku hukum, Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran
hukum karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam
masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam
masyarakat dapat dilihat dari pola prilaku hukum suatu masyarakat.
tersebut dapat dilihat bahwa kesadaran hukum banyak sekali berkaitan dengan aspek-
aspek kognitif dan perasaan yang seringkali dianggap faktor-faktor yang mempengaruhi
hubungan antara hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat. Ajaran
sebagai mediator antar hukum dengan perilaku manusia baik secara individual maupun
kolektif. Oleh karennya ajaran kesadaran hukum lebih menitik beratkan kepada nilai-nilai
untuk berproses yang bersifat psikologis, antara lain pola-pola berfikir yang menentukan
sikap mental manusia, sikap mental yang pada hakikatnya merupakan kecenderungan
pelanggaran hukum, sedangkan makin tinggi kesadaran hukum seseorang makin tinggi
manusia, maka menurunnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan karena orang tidak
melihat atau menyadari bahwa hukum melindungi kepentingannya, tidak adanya atau
kurangnya pengawasan pada petugas penegak hukum, sistem pendidikan yang kurang
15
Soerjono Soekanto, menambahkan bahwa menurunya kesadaran hukum masyarakat
disebabkan juga karena para pejabat kurang menyadari akan kewajibannya untuk
memelihara hukum dan kurangnya pengertian akan tujuan serta fungsi pembangunan.8
sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk di bahas dalam perspektif
efektifitas hukum. Artinya benarkah hukum yang tidak efektif atau pelaksana hukumkah
Pasamai, SH., MH., dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas
hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan
dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum
faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan hukum. Hal ini sejalan
dengan apa yang diungkapkan Ishaq, SH., MHum., dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu
Hukum yang menyebutkan dalam proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yang
mempengaruhi dan mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada
isi faktor tersebut. Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :
1. Hukumnya sendiri.
2. Penegak hukum.
3. Sarana dan fasilitas.
4. Masyarakat.
16
D. Kebudayaan.
A. Faktor Hukum
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi
keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum
merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu
kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang
dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan
hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low
sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata
diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-
undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi
setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan
peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya. Pada hakikatnya, hukum itu mempunyai
hukum adat, dan hukum ilmuwan atau doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus
harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal
antara perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang dipergunakan
harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga
17
masyarakat yang terkena perundang-undangan itu9. Mengenai faktor hukum dalam hal ini
dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya
maksimal hukuman. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok
perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu
memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang
baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan
hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J.
penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan.
penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan
dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.
hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk
mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan
dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan
9 Soekanto Soerjono, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Jakarta, Kurnia Esa, 1981.
18
wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang
melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan
wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak
hukum tersebut. Hal ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan, karena
Masalah peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala yang dialami
diberbagai instansi, tetapi khusus bagi aparat yang melaksanakan tugas wewenangnya
menyangkut hak asasi manusia (dalam hal ini aparat penegak hukum) seharusnya
mendapat prioritas. Walaupun disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu berkaitan erat
dengan anggaran lainnya yang selama ini bagi Polri selalu kurang dan sangat minim.
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat
keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima
oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam
pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini
masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi
dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus
diemban oleh polisi begitu luas dan banyak. Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah
sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Sebab apabila sarana fisik seperti
kertas tidak ada dan karbon kurang cukup dan mesin tik yang kurang baik, bagaimana
petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Menurut Soerjono
Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat
19
bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi
yang proporsional ? Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat
D. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian
mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum,
yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan
hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
yang bersangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak
mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan
hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya.
Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.
E. Faktor Kebudayaan
besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok
tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan,
dan apa yang dilarang. Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena
menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas
penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan
hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-
20
undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak
hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.
faktor mana yang sangat dominan berpengaruh atau mutlaklah semua faktor tersebut
harus mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Namun sistematika dari kelima
faktor ini jika bisa optimal, setidaknya hukum dinilai dapat efektif. Sistematika tersebut
sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta
kebudayaan yang terbangun. Dari apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto, tentu bukan
hanya kelima faktor tersebut, tetapi banyak faktor-faktor lainnya yang ikut mempengaruhi
efektifnya suatu hukum diterapkan. Salah satu inisialnya adalah faktor keadaan atau
Hukum disini bisa saja menjadi tidak menentu dan menjadi wilayah “abu-abu”
tidak jelas dan samar-samar bahkan kerapkali dipermainkan untuk kepentingan tertentu
sehingga tidaklah heran bila orang yang tidak bersalah sama sekali bisa di hukum dan
orang yang bersalah menjadi bebas. Di negeri ini telah banyak contoh-contoh kasus,
semisal kasus Ryan yang cukup menjadi sorotan karena dalam kasus pembunuhan ini
terjadi salah tangkap pelaku yang sebenarnya. Bisa dibayangkan bagaimana penegak
hukum bekerja tanpa bukti awal yang mengeratkan sehingga seseorang ditangkap lalu di
tahan. Mencermati kasus Ryan ini sungguh menarik membahasnya dalam ranah hukum,
dimana profesionalisme penegak hukum yang prosesnya diawali dari Polri, jaksa dan
Dalam hukum dikenal asas praduga tak bersalah sekaligus asas praduga bersalah. Polisi
10
Rahardjo Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1979.
21
dituntut untuk menjadikan asas ini sebagai suatu bekal dalam bertindak terutama dalam
melakukan penangkapan.
Tetapi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH. MH. membicarakan asas praduga ini
membicarakan asas praduga bersalah. Polisi dalam profesionalismenya bekerja bisa saja
menganut asas praduga bersalah karena mungkin telah cukup kuat bukti, namun dalam
proses hukum haruslah mengedepankan asas praduga tak bersalah. Prof. Dr. Achmad Ali,
SH., MH., dalam bukunya menjelajahi kajian empiris terhadap hukum, disebutkan
Polisilah yang berada pada Garda terdepan karena Polisi yang paling banyak
lainnya yang berada “dibalik tembok tinggi” perkantoran tempat mereka bekerja sehari-
hari. Oleh karena itu sikap dan keteladanan Personal Kepolisian menjadi salah satu faktor
dihargai atau tidaknya mereka oleh warga masyarakat terhadap penegak hukum, yang
cukup berpengaruh terhadap ketaatan mereka. Olehnya itu, kualitas dan keberdayaan
Polisi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan efektif atau tidaknya ketentuan hukum yang berlaku. Sehubungan dengan
persoalan efektivitas hukum, maka selain faktor-faktor tersebut, ada juga pandangan lain
Austin tentang wujud atau sifat hukum yang memodifikasi pendekatan positivisme itu
asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh Negara melalui peradilan. Hukum boleh
tumbuh di luar kebiasaan maupun dunia praktek, tetapi bagi Salmond, ia baru
memperoleh karakter hukum nanti pada saat ia diakui dan diterapkan oleh pengadilan
dalam putusan yang dijatuhkannya. Menurut Salmond, pengujian hukum yang sebenarnya
22
adalah ketika ia dilaksanakan oleh pengadilan. Salmond melalui definisi hukumnya yang
dikaitkan dengan Pengadilan, menuntut agar tujuan hukum ditukarkan pada jaminan
keadilan.
satu-satunya tujuan hukum. Dimasa moderen ini, tujuan hukum seperti yang tampak
Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan
itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-
masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di
rasakan adil bagi si Sangkala. Bahkan ada pula ilmuwan yang pernah mengungkapkan
suatu tulisan, bahwa seandainya Negara, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara tidak peduli
pada Penegakan Hukum, maka orang-orang yang cinta hukum tidak boleh putus asa. Hal
ini, diungkapkan Dr. Syamsuddin Pasamai, SH bahwa dalam bukunya Sosiologi dan
hubungan yang sangat erta dengan persoalan penerapan, pelaksanaan hukum dalam
masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara
Filosofis, Yuridis dan Sosiologis. Berkenaan dengan morfologi antara efektivitas hukum
tersebut, tidak jarang ditemukan ada warga masyarakat yang memvonis bahwa keadaan
pelaksanaan dan Penegakan hukum ternyata masih belum atau kurang efektif. Hal ini
23
disebabkan fungsi hukum belum dijalankan sebagaimana mestinya sehingga berakibat
mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai. Pandangan L.J. Van Apeldoorn ini,
memandang efektifnya suatu hukum dilihat dari output, bila di sana-sini masih saja terjadi
mana dengan berbagai modus operasional baru, maka disinilah hukum dipertanyakan,
walaupun dengan ini dapat saja dibantah bahwa bukan hanya hukumnya saja tetapi
termasuk pelaksanaan hukumnya. Pertanyaan yang patut untuk dijawab, karena masih
saja ada pelanggaran hukum, kenapa orang masih saja mencuri, kenapa orang masih saja
ada yang membunuh, kenapa masih saja saja orang melanggar lalu lintas, kenapa masih
saja ada yang korupsi dan sederet lagi pertanyaan-pertanyaan yang seakan tidak habis
Jawaban dari semua ini adalah bahwa efektivitas hukum hanya dapat terlaksana dengan
baik, manakala hukum dijunjung tinggi dan moralitas penegak hukumnya serta
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, adalah hukum sebagai sosial
control, dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social
enginnering, sebagai alat pengubah masyarakat adalah dianalogikan sebagai suatu proses
temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka
akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus
mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law). Oleh
karena itu, sekalipun hukum itu mempunyai otonomi tertentu, tetapi hukum juga harus
fungsional dan menempatkan peranan dari keadilan dalam konteks kehidupan hukum
Bahwa kesdaran hukum merupakan cara pandang masyarakat terhadap hukum itu,
apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan terhadap hukum, serta penghormatan
terhadap hak-hak orang lain (tenggang rasa). Ini berarti bahwa dalam kesadaran hukum
hukum, tetapi terutama adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya “tidak hukum” atau
suatu tahapan berikutnya, yaitu : Pengetahuan hukum, Pemahaman hukum, Sikap hukum,
Pola prilaku hukum (soerjono soekanto, 1982: 140). Kondisi suatu masyarakat terhadap
kesadaran hukum dapat kita kemukakan Dalam beberapa parameter, antara lain: ditinjau
25
dari segi bentuk pelanggaran, segi pelaksanaan hukum, segi jurnalistik, dan dari segi
dimaksudkan agar pembangunan tersebut berlangsung secara tertib dan teratur, sehingga
tujuan pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditetapkan. Adapun
cara untuk meningkatkan kesadarran hukum yaitu dapat berupa tindakan, dan pendidikan.
Tindakan berarti dengan memperberat ancaman hukuman atau dengan lebih mangetatkan
diantaranya yaitu:
a. Kaidah hukum. Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum itu berfungsi
Filosofis.
sosiologis dalam arti teori kekuasaan maka kaidah itu menjadi aturan
(insconstituenden).
26
b. Petugas Penegak Hukum. Penegak hukum atau orang yang bertugas
menyadari bahwa hukum atau aturan yang berlaku adalah untuk mengatur
27
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Elly M. Stiadi, dkk (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Hartomo dan Aziz Arnicun. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara Windia, Wayan
P, dkk. 2009. Hukum dan Kebudayaan. Denpasar:
Rahardjo Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1979.
Rizachnial. 2013. Peran hukum Dalam Kehidupan manusia.
Soekanto Soerjono, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Jakarta, Kurnia Esa,
1981.
soerjono soekanto, 1982: 140.
WEBSITE
http://usmanunram.blogspot.co.id/2015/01/kesadaran-hukum.html. Diunduh pada tanggal 20 Mei
pukul 13.51 wib.
http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2015/09/peranan-hukum-dalam-kehidupan.html. Diunduh
pada tanggal 20 Mei 2018 pukul 12.00 wib.
http://kemirilor.blogspot.co.id/2015/05/kurangnya-kesadaran-hukum-masyarakat.html. Diunduh
pada tanggal 20 Mei 2018 pukul 12.15 wib.
http://sesukakita.wordpress.com/2011/10/29/upaya-meningkatkan-kesadaran-hukum-di-
masyarakat-dari-segi-culture/. Diunduh pada tanggal 20 Mei 2018 Pukul 12.10 wib.
28
29