Anda di halaman 1dari 84

DRAFT

IND

BUKU PEDOMAN
PELAYANAN KESEHATAN JIWA
DI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN DASAR

DEPARTEMEN KESEHATAN
DITJEN BINA PELAYANAN MEDIK
DIREKTORAT BINA PELAYANAN KESEHATAN JIWA
JAKARTA 2006

ii
DRAFT
DAFTAR PENYUSUN

Penasihat:
1. Dr. Farid. W. Husain.
2. Dr. G. Pandu Setiawan, SpKJ.

Tim Penyusun:
1. Dr. Jonli Indra, SpKJ.
2. Dr. Jusni Ichsan Solichin, SpKJ.
3. Dr. Dan Hidayat, SpKJ.

Editor:
1. Dr. Jonli Indra. SpKJ
2. Dr. Jusni I. Solichin, SpKJ
3. Dr. Eka Viora, SpKJ

ii
DRAFT

Pembahas:
1. Dr. Albert Maramis, SpKJ. (Konsultan WHO)
2. Dr. Eka Viora, SpKJ. (Ditkeswamas)
3. Dr. Dahsriati, SpKJ. (Ditkeswamas)
4. Dr. Laurentius Panggabean, SpKJ. (Ditkeswamas)
5. Dr. Agus Supratman, M.Kes. (Ditkeswamas)
6. Dra. Assandimitra Djojodipoero (Ditkeswamas)
7. Reny Yuliani, Psi. (Ditkeswamas)

iii
DRAFT

SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL BINA PELAYANAN MEDIK

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Satu di antara 10 strategi Pembangunan Indonesia pada


pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan M.
Jusuf Kalla adalah HAK RAKYAT UNTUK MEMPEROLEH AKSES
DAN KEBUTUHAN KESEHATAN. Ini dituangkan dalam agenda
dan program ekonomi dan kesejahteraan yaitu meningkatkan
akses rakyat terhadap layanan kesehatan yang lebih berkualitas.
Sesuai dengan definisi Kesehatan oleh WHO bahwa kesehatan
meliputi FISIK, MENTAL dan SOSIAL, jadi Kesehatan Jiwa
adalah bagian integral dari kesehatan, karena TIDAK ADA
KESEHATAN TANPA KESEHATAN JIWA

Untuk itu program dan kebijakan yang akan diambil antara lain
meningkatkan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas.

Peran Kesehatan jiwa dalam meningkatkan kualitas dan pelayanan


yang diberikan Puskesmas adalah tersedianya pelayanan kesehatan
jiwa dan psikofarmaka di pelayanan kesehatan dasar. Hal ini sesuai
dengan rekomendasi WHO pada World Health Report tahun
2001, karena sekitar 30% dari seluruh penderita yang dilayani
oleh dokter di pelayanan kesehatan dasar adalah penderita
gangguan jiwa. Dalam Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan
Minimal (KW-SPM) Kabupaten/Kota untuk Bidang Kesehatan,
pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan dasar menjadi
bagian dari KW-SPM tersebut.

Program berikutnya adalah MENINGKATKAN KUANTITAS DAN


KUALITAS SDM MEDIS. Dalam meningkatkan kualitas SDM di
pelayanan kesehatan dasar agar mereka mampu melakukan deteksi
dini dan penatalaksanaan masalah kesehatan jiwa pada pasien yang
datang berobat ke pelayanan kesehatan dasar, telah dilakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan tenaga baik dokter
maupun perawat lewat pelatihan-pelatihan bagi dokter dan perawat
yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan dasar tersebut.

iv
DRAFT

Namun belum semua petugas di fasilitas tersebut mendapat


kesempatan mengikuti pelatihan dimaksud, selain masih adanya
berbagai kendala yang dihadapi oleh petugas dalam memberikan
pelayanan kesehatan jiwa. Oleh karena itu untuk mengatasi keadaan
ini diperlukan buku pedoman pelayanan kesehatan jiwa yang dapat
dipergunakan di fasilitas pelayanan kesehatan dasar.

Saya menyambut baik terbitnya buku pedoman Pelayanan


Kesehatan Jiwa di Pelayanan Kesehatan Dasar ini dengan harapan
mudah-mudahan dapat bermanfaat dan dilaksanakan bagi petugas
kesehatan di puskesmas maupun fasilitas kesehatan dasar lainnya
dalam melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa dasar. Saya juga
mengucapkan terima kasih atas jerih payah tim penulis, tim
pembahas, panitia dan seluruh peserta yang telah berpartisipasi
dalam revisi buku ini sehingga buku ini dapat diterbitkan.

Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik


Departemen Kesehatan RI

Dr. Farid W. Husain


NIP. 130 808 593

v
DRAFT

KATA PENGANTAR

Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Kesehatan Umum, telah


diterbitkan tahun 1995 oleh Ditjen Pelayanan Medik kemudian direvisi
menjadi Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di Puskesmas tahun
2004 oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Ditjen Binkesmas.

Dari masukan-masukan para pengguna buku pedoman ini di lapangan,


ternyata ada beberapa hal dari buku pedoman tersebut yang perlu direvisi
kembali antara lain format pelaporan yang lama masih menggunakan ICD-
8 sementara Rumah Sakit Umum sudah menggunakan ICD-10 sehingga
sulit mengambil besaran masalah kesehatan jiwa yang datang ke sarana
kesehatan di daerah tersebut.

WHO-Indonesia merespon positif pengadaan buku pedoman ini karena


sejalan dengan rekomendasi WHO sendiri untuk mengintegrasikan
pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan dasar dan bersedia
membantu penggunaannya.

Dengan adanya peluang ini, dalam dinamika perubahan yang juga begitu
cepat, khususnya pasca Tsunami, maka perhatian terhadap kesehatan
jiwa menjadi besar. Untuk itu kita perlu menyesuaikan dengan pelaporan
di negara lain sehingga dapat melakukan perbandingan.

Dengan dasar tersebut di atas, maka dilakukanlah revisi buku Pedoman


Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar si Puskesmas 2004 ini dengan judul
Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Pelayanan Kesehatan Dasar yang
dapat digunakan baik di Puskesmas maupun fasilitas pelayanan
kesehatan dasar lainnya.

Semoga buku pedoman ini dapat bermanfaat dalam pelayanan kesehatan


jiwa, khususnya bagi petugas kesehatan yang berada di Fasilitas
Kesehatan Dasar,

Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik


Direktur Bina Kesehatan Jiwa

Dr. G. Pandu Setiawan, SpKJ.


NIP 140 058 259

vi
DRAFT

DAFTAR ISI

DAFTAR PENYUSUN ii
SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BINA PELAYANAN
KESEHATAN iv

KATA PENGANTAR vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan dan sasaran 2
1.3. Integrasi kesehatan jiwa di pelayanan
kesehatan dasar 3
1.4. Pengertian 5
1.5. Landasan Dasar Upaya Kesehatan jiwa 8

BAB II PEDOMAN ANAMNESIS PEMERIKSAAN DAN


DIAGNOSIS PASIEN DI PELAYANAN KESEHATAN
DASAR
2.1. Persiapan 9
2.2. Prosedur 10
2.3. Anamnesis 11
2.4. Pemeriksaan dengan metode 2 menit 12
2.5. Penggolongan diagnosis gangguan jiwa di fasilitas
kesehatan dasar 14

BAB III DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA DAN


PENATALAKSANAANNYA DI PELAYANAN
KESEHATAN DASAR
3.1.Gangguan Mental Organik 16
3.2.Gangguan Penyalahgunaan NAPZA 18
3.3. Skizofrenia dan Gangguan Psikotik Kronik lain 24
3.4. Gangguan Psikotik Akut 26
3.5. Gangguan Bipolar 27
3.6. Gangguan Depresi 29
3.7. Gangguan Neurotik 32
3.8. Gangguan Seksual 41

vii
DRAFT
3.9. Retardasi Mental 45
3.10. Gangguan Kesehatan jiwa Anak dan Remaja 47
3.11. Epilepsi 52

BAB IV PEDOMAN PEMBERIAN PSIKOTROPIKA


4.1. Antipsikotik 54
4.2. Antidepresan 59
4.3. Antiansietas 64

BAB V POLA RUJUKAN


6.1.Batasan dan pengertian 67
6.2.Pola rujukan berdasarkan sistem
Kesehatan nasional 67
6.3. Jenjang institusi rujukan 68
.
BAB VI PEDOMAN PENCATATAN DAN PELAPORAN
6.1. Tujuan 70
6.2. Batasan operasional 70
6.3. Jenis-jenis 71

KEPUSTAKAAN 73

LAMPIRAN

viii
DRAFT
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Gangguan jiwa dan perilaku, menurut The World Health Report 2001, dialami kira-
kira 25% dari seluruh penduduk pada suatu saat dalam hidupnya dan lebih dari
40% di antaranya didiagnosis secara tidak tepat sehingga menghabiskan biaya
untuk pemeriksaan laboratorium dan pengobatan yang tidak tepat. Gangguan jiwa
dan perilaku dialami pada suatu ketika oleh kira-kira 10% populasi orang dewasa.
Dalam laporan itu dikutip juga penelitian yang menemukan bahwa 24% dari
pasien yang mengunjungi dokter pada pelayanan kesehatan dasar ternyata
mengalami gangguan jiwa. Enam puluh sembilan persen (69%) dari pasien
tersebut datang dengan keluhan-keluhan fisik dan banyak di antaranya ternyata
tidak ditemukan gangguan fisiknya.

Indonesia telah menghadapi berbagai transformasi dan transisi di berbagai bidang


yang mengakibatkan terjadinya perubahan gaya hidup, pola perilaku dan tata nilai
kehidupan. Dalam bidang kesehatan terjadi transisi epidemiologik di masyarakat
dengan bergesernya kelompok penyakit menular ke kelompok penyakit tidak
menular termasuk berbagai jenis gangguan akibat perilaku manusia dan
gangguan jiwa.

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yang dilakukan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI
dengan menggunakan rancangan sampel dari Susenas-BPS (Badan Pusat
Statistik) terhadap 65.664 rumah tangga, menunjukkan bahwa prevalensi
gangguan jiwa per 1000 anggota rumah tangga adalah sebagai berikut:
♦ Gangguan Mental Emosional (15 tahun atau lebih): 140/1000
♦ Gangguan Mental Emosional (5 – 14 tahun): 104/1000

Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) oleh Bahar dkk, pada
tahun 1995 yang dilakukan pada penduduk di 11 Kota di Indonesia, menunjukkan
bahwa 185/1000 penduduk rumah tangga dewasa menunjukkan adanya gejala
gangguan kesehatan jiwa. Prevalensi di atas 100 per 1000 anggota rumah tangga
dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian
(priority public health problem).

Dari hasil penelitian tahun 2002 di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (daerah
konflik) di 20 puskesmas dari 10 kabupaten/kota terhadap pasien yang pertama
kali datang berobat, ternyata ditemukan 51,10% mengalami gangguan kesehatan
jiwa. Penelitian terakhir di Jawa Barat tahun 2002 (point prevalence; unpublished),

1
DRAFT
ditemukan 36% pasien yang datang berobat ke puskesmas mengalami gangguan
kesehatan jiwa.

Dari aspek “kesejahteraan sosial” dan “kualitas hidup masyarakat”, status


kesehatan jiwa masyarakat dapat ditinjau dengan menggunakan indikator Human
Development Index (HDI) yang diterbitkan oleh United Nation Development
Program (UNDP). Pada tahun 1999, Indonesia berada pada peringkat ke 105 di
antara 180 negara di dunia. Tahun 2000 turun jadi 108 dan tahun 2002 posisi
Indonesia berada pada peringkat 112.

Masalah kesehatan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun


akan menyebabkan penderitaan berkepanjangan baik bagi individu, keluarga,
masyarakat dan negara karena penderitanya menjadi tidak produktif dan
bergantung pada orang lain. Dari hasil penelitian WHO bekerja sama dengan
World Bank tahun 1996, beban akibat gangguan kesehatan jiwa yang diukur
dengan DALY (disability-adjusted life years) pada tahun 2000 diperkirakan
mencapai 12,3%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka penyakit
jantung iskemik, penyakit serebrovaskuler dan tuberkulosis.

Masalah kesehatan jiwa juga menimbulkan dampak sosial antara lain


meningkatnya angka kekerasan, kriminalitas, bunuh diri, penganiayaan anak,
perceraian, kenakalan remaja, penyalahgunaan zat, HIV/AIDS, perjudian,
pengangguran dan lain-lain. Oleh karena itu masalah kesehatan jiwa perlu
ditangani secara serius.

Gangguan jiwa dalam pandangan masyarakat masih identik dengan “gila”


(psikotik) sementara kelompok gangguan jiwa lain seperti ansietas, depresi dan
gangguan jiwa yang tampil dalam bentuk berbagai keluhan fisik kurang dikenal.
Kelompok gangguan jiwa inilah yang banyak ditemukan di masyarakat. Mereka ini
akan datang ke pelayanan kesehatan umum dengan keluhan fisiknya, sehingga
petugas kesehatan sering kali terfokus pada keluhan fisik, melakukan berbagai
pemeriksaan dan memberikan berbagai jenis obat untuk mengatasinya. Masalah
kesehatan jiwa yang melatarbelakangi keluhan fisik tersebut sering kali
terabaikan, sehingga pengobatan menjadi tidak efektif.

1.2. TUJUAN DAN SASARAN

1.2.1. TUJUAN:

TUJUAN UMUM:
Tertanganinya kasus kesehatan jiwa pada pasien yang datang berobat ke
pelayanan kesehatan dasar.

2
DRAFT
TUJUAN KHUSUS:
Buku pedoman ini sebagai pegangan bagi tenaga kesehatan agar mereka
mampu:
1. Mendeteksi secara dini kasus kesehatan jiwa yang datang ke pelayanan
kesehatan dasar.
2. Menangani kasus kesehatan jiwa yang datang ke pelayanan kesehatan
dasar sesuai dengan kompetensi masing-masing tenaga kesehatan.
3. Melakukan rujukan pada saat yang tepat bila diperlukan.

1.2.2. SASARAN:
Sasaran dari buku pedoman ini adalah dokter, perawat, bidan dan tenaga
kesehatan lainnya yang bekerja di pelayanan kesehatan dasar.

1.3. INTEGRASI KESEHATAN JIWA DI PELAYANAN


KESEHATAN DASAR (STRATA I MENURUT SISTEM
KESEHATAN NASIONAL)

Dengan meningkatnya masalah kesehatan jiwa, maka kebutuhan akan pelayanan


kesehatan jiwa juga semakin meningkat. Jangkauan pelayanan kesehatan jiwa
harus dapat mencapai masyarakat yang jauh dan bukan hanya yang bertempat
tinggal di kota besar saja. Hal ini merupakan upaya pemerataan pelayanan
kesehatan. Upaya ini tidak mungkin bisa dilaksanakan jikalau pelayanan
kesehatan jiwa hanya diberikan oleh RSJ (Rumah Sakit Jiwa) saja yang
jumlahnya terbatas dan umumnya berada di ibu kota provinsi (belum semua
provinsi memiliki rumah sakit jiwa).

Pelayanan kesehatan jiwa yang memadai yang dapat menjangkau seluruh


masyarakat belum dapat dilaksanakan disebabkan oleh:
1. Jumlah tenaga kesehatan jiwa masih sangat terbatas dan pada umumnya
berada di kota besar.
2. Masalah kesehatan jiwa sering kali bermanifestasi dalam bentuk keluhan
fisik, sehingga tidak terdeteksi dan tidak teratasi dengan baik.
3. Pengertian tentang kesehatan jiwa masih kurang dan stigma terhadap
gangguan jiwa masih besar, sehingga mereka tidak datang ke pelayanan
kesehatan jiwa, tapi banyak yang pergi ke pengobat tradisional atau
pemuka agama.
4. Penduduk pedesaan (rural) sulit menjangkau fasilitas kesehatan jiwa dan
membutuhkan biaya yang cukup besar.
5. Adanya otonomi daerah yang membuat daerah menjadi penentu kebutuhan
masing-masing, menyebabkan masalah pelayanan kesehatan jiwa belum
tentu dianggap sebagai kebutuhan prioritas.

3
DRAFT
Atas dasar ini, maka perlu dikembangkan upaya pelayanan kesehatan jiwa
dengan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang sudah ada dan merupakan “ujung
tombak” dari sistem pelayanan kesehatan, yakni pelayanan kesehatan dasar di
Puskesmas atau pelayanan kesehatan dasar lainnya.

WHO sangat mendorong terintegrasinya pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan


kesehatan dasar. Manfaat integrasi pelayanan kesehatan jiwa ke pelayanan
kesehatan dasar itu sendiri antara lain:

1. Membantu mengatasi kekurangan tenaga kesehatan jiwa.


2. Pengenalan dini gangguan jiwa pada pasien dengan keluhan somatik.
3. Mengurangi stigma dan dapat diterima oleh masyarakat.
4. Mudah diakses, biaya rendah dan tenaga kesehatan lebih mengenal
masyarakatnya sehingga mudah melakukan pembinaan.
5. Adanya kesempatan keterlibatan masyarakat.
6. Tanggung jawab berada pada daerah masing-masing.

Pada tahun 1976 mulai dikembangkan integrasi pelayanan kesehatan jiwa di


Puskesmas dan pada tahun 1980 integrasi pelayanan kesehatan jiwa di RSU
kelas D dan C. Tenaga kesehatan jiwa dari RSJ pembina datang ke Puskesmas
atau RSU pada hari tertentu dan membuka poliklinik jiwa di sana, tanggung jawab
pelayanan berada pada RSJ. Program ini hanya dapat menjangkau Puskesmas
dan RSU yang terletak berdekatan dengan RSJ, sedangkan yang terletak jauh
masih belum tertangani, pelayanannya pun sangat terbatas (sekali dalam
seminggu atau dua minggu). Sampai dengan tahun 1990 pelayanan kesehatan
jiwa di tingkat pelayanan kesehatan dasar tersebut masih dilaksanakan melalui
kegiatan Integrasi Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa ke Puskesmas dan RSU.
Integrasi ini telah berjalan di beberapa provinsi.

Pada tahun 1991 dilakukan perubahan cara pelayanan kesehatan jiwa yaitu
dengan cara melatih tenaga puskesmas dan RSU kelas D dan C (diutamakan
yang terletak jauh dari RSJ) dalam deteksi dini dan penanganan masalah
kesehatan jiwa. Dengan cara ini diharapkan pelayanan kesehatan jiwa dapat
dilakukan setiap hari secara terintegrasi dengan pelayanan kesehatan umum.
Pada saat itu kerja sama dilakukan dengan Kantor Wilayah Kesehatan dan kurang
melibatkan Dinas Kesehatan, sehingga peningkatan deteksi kasus jiwa tidak
diikuti dengan penyediaan obat psikotropika serta peningkatan kasus yang besar
dianggap “KLB” (“Kejadian Luar Biasa”) dan meresahkan. Program integrasi yang
selama ini telah dilaksanakan lebih dari 10 tahun, ternyata rata-rata cakupan
pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas seluruh Indonesia masih kurang dari 1%.

Rendahnya cakupan pelayanan kesehatan jiwa tersebut, antara lain karena:


- Belum semua puskesmas mendapat kesempatan untuk dilatih.
- Tingginya mobilitas dokter puskesmas sehingga program yang sudah
dilaksanakan menjadi tidak berkesinambungan.

4
DRAFT
- Penegakan diagnosis dalam sistem pencatatan dan pelaporan di puskesmas
berdasarkan keluhan utama, sementara umumnya pasien yang datang ke
fasilitas kesehatan umum, keluhan utamanya adalah keluhan fisik disamping
keluhan-keluhan mental emosional, sehingga diagnosis yang ditulis adalah
diagnosis penyakit fisik.

Dengan terbitnya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan


Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonom, terjadi perubahan dalam
sistem pemerintahan. Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan
termasuk kesehatan jiwa, maka disusun Standar Pelayanan Minimal dan
Kewenangan Wajib yang berlaku untuk kabupaten/kota (Kepmenkes
1457/Menkes/SK/X/2003). Dengan demikian maka tanggung jawab pelayanan
kesehatan jiwa berada di kabupaten/kota dengan puskesmas sebagai ujung
tombak pelayanan dan RSJ sebagai pusat rujukan.

Agar pelayanan kesehatan jiwa dasar pada puskesmas ini dapat terselenggara,
pelatihan-pelatihan yang dulu telah dimulai hendaknya terus dilanjutkan. Dalam
pelatihan tenaga medis dan perawat di pelayanan kesehatan dasar, lebih
diutamakan untuk memberi perhatian pada faktor emosional sebagai penyebab
gangguan kesehatan fisik yang justru sering diabaikan oleh tenaga kesehatan
umum. Jadi pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan umum tidak hanya
dititikberatkan pada gangguan jiwa seperti psikosis, tetapi justru lebih pada
gangguan kesehatan jiwa yang tampil dalam bentuk berbagai keluhan fisik.
Jika faktor mental emosional yang melatarbelakangi keluhan fisik ini diabaikan
dapat berakibat:
1. Pelayanan kesehatan umum menjadi kurang efektif karena pasien
sering dan berulang kali datang berobat dengan keluhan yang sama,
tetapi hanya mendapat pengobatan untuk keluhan fisiknya saja,
sehingga terapi menjadi kurang memadai dan biaya menjadi lebih
mahal akibat pemeriksaan dan pengobatan yang sebenarnya tidak
dibutuhkan.
2. Hubungan dokter dengan pasien kurang diperhatikan, faktor pribadi dan
lingkungan psikososial keluarga tidak memperoleh perhatian
secukupnya sehingga menyebabkan mutu pelayanan kurang memadai.

1.4. PENGERTIAN

1.4.1. Kesehatan Jiwa (UU No. 23 tahun 1992 Ps 24, 25, 26 dan 27): adalah
suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan
produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup seseorang dengan
memperhatikan semua segi kehidupan manusia.

5
DRAFT
Orang yang sehat jiwa mempunyai ciri:
• Menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya.
• Mampu menghadapi stres kehidupan yang wajar.
• Mampu bekerja produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
• Dapat berperan serta dalam lingkungan hidup.
• Menerima baik dengan apa yang ada pada dirinya.
• Merasa nyaman bersama dengan orang lain.

1.4.2. Psikiatri (ilmu kedokteran jiwa) adalah cabang spesialistik dari ilmu
kedokteran yang mempelajari perilaku manusia baik dalam keadaan sehat
maupun sakit serta meneliti genesis, diagnosis, terapi, rehabilitasi dan
prevensi gangguan jiwa serta promosi kesehatan jiwa.

1.4.3. Pendekatan eklektik-holistik adalah pandangan yang memandang


manusia dan juga perilakunya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit,
sebagai kesatuan yang utuh dari unsur-unsur organo-biologis, psiko-
edukatif dan sosio-kultural. Jadi dalam melihat kondisi manusia (termasuk
perilakunya), baik dalam kondisi sehat maupun sakit, kita harus meninjau
ketiga unsur tersebut secara rinci, namun selektif (eklektik) dan tetap
menyadari bahwa ketiga aspek itu saling berkaitan merupakan satu sistem
yang tak dapat dipisahkan satu sama lain (holistik).

Penerapan pendekatan eklektik holistik dalam kesehatan jiwa akan


tercermin dalam kegiatan seperti:

- Hubungan dokter pasien (yang tidak mengabaikan faktor psiko-sosial).

- Mencari etiologi (yang bersifat multikausal).

- Pemeriksaan pasien (bersifat fisik, mental dan sosial).

- Diagnosis (yang bersifat biaksial, yaitu diagnosis fisik dan diagnosis


mental emosional).

- Terapi (yang memperhatikan prioritas dalam penggunaan terapi obat,


psikoterapi dan/sosioterapi terhadap pasien tertentu).

- Rehabilitasi (yang meliputi rehabilitasi medik, edukasional, vokasional


dan sosial).

1.4.4. Pelayanan komprehensif: adalah pelayanan dengan jenis pelayanan


yang luas, meliputi upaya yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif serta mencakup seluruh jenjang pelayanan yaitu pelayanan
kesehatan jiwa spesialistik, pelayanan kesehatan jiwa integratif, dan
pelayanan kesehatan jiwa yang berbasis masyarakat.

6
DRAFT
1.4.5. Ruang Lingkup Kesehatan Jiwa

Masalah kesehatan jiwa meliputi:

- Masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan


kualitas hidup, yaitu masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan
siklus kehidupan, mulai dari anak dalam kandungan sampai usia lanjut.

- Masalah psikososial yaitu setiap perubahan dalam kehidupan individu


baik yang bersifat psikologis ataupun sosial yang mempunyai pengaruh
timbal balik dan dianggap berpotensi cukup besar sebagai faktor
penyebab terjadinya gangguan jiwa (atau gangguan kesehatan) secara
nyata, atau sebaliknya masalah kesehatan jiwa yang berdampak pada
lingkungan sosial, misalnya: tawuran, kenakalan remaja,
penyalahgunaan NAPZA, masalah seksual, tindak kekerasan, stres
pasca trauma; pengungsian/migrasi, usia lanjut yang terisolir, masalah
kesehatan jiwa di tempat kerja, penurunan produktivitas; gelandangan
psikotik, pemasungan, anak jalanan.

- Gangguan jiwa yaitu suatu perubahan pada fungsi jiwa yang


menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan
penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan
peran sosial.

Jenis-jenis gangguan jiwa antara lain: gangguan mental dan perilaku


akibat penggunaan NAPZA, alkohol dan rokok; depresi; ansietas;
gangguan somatoform (psikosomatik); gangguan afektif; gangguan
mental organik; skizofrenia; gangguan jiwa anak dan remaja serta
retardasi mental.

1.4.6. Pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan dasar adalah


pelayanan kesehatan jiwa yang dilaksanakan oleh dokter, perawat, bidan
atau tenaga kesehatan lainnya di Puskesmas dan pelayanan kesehatan
dasar lainnya secara terintegrasi sesuai dengan kompetensi bidang
masing-masing. Jadi sambil memeriksa kesehatan fisik, juga dilakukan
deteksi dini dan penanganan masalah kesehatan jiwa. Untuk itu Dinas
Kesehatan setempat perlu melakukan pelatihan tenaga pelayanan
kesehatan dasar (dokter, perawat dan bidan) untuk deteksi dini dan
penanganan masalah kesehatan jiwa serta penyediaan obat psikotropika
sesuai dengan kebutuhan. Mungkin pula diperlukan penambahan tenaga di
pelayanan kesehatan dasar.

Dalam hal ini tenaga kesehatan jiwa bertindak sebagai konsultan atau
pembina, pelatih dan melakukan supervisi berkala terhadap pelayanan
kesehatan jiwa. RSJ adalah tempat rujukan pasien yang sulit ditangani di
pelayanan kesehatan dasar.
7
DRAFT
1.5. LANDASAN DASAR UPAYA KESEHATAN JIWA

1.5.1. Landasan ilmiah:


Dasar ilmiah yang terutama adalah ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) yang
merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran pada
mulanya merupakan ilmu yang berorientasi klinis, namun dalam
perkembangannya telah berorientasi pula pada kemasyarakatan yang
merupakan ilmu terapan yang bersifat multidisipliner yang menggabungkan
antara ilmu biologi, ilmu perilaku dan ilmu sosial. Dengan demikian ilmu
kedokteran jiwa modern merupakan ilmu terapan yang bersifat multidisipliner.

1.5.2. Landasan hukum:

1. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (Pasal 1 ayat 1)


2. UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
3. UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika.
4. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
5. UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1457/ MENKES/ SK/X/2003 tentang
Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
di Kabupaten/Kota.
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 128/ MENKES/ SK/II/2004 tentang
Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat.

8
DRAFT
BAB II
PEDOMAN ANAMNESIS, PEMERIKSAAN DAN
DIAGNOSIS PASIEN DI PELAYANAN
KESEHATAN DASAR

Cara anamnesis dan pemeriksaan ini merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan secara umum di Pelayanan Kesehatan
Dasar. World Health Report tahun 2001 menyebutkan bahwa 24% pasien yang
datang ke Pelayanan Kesehatan Dasar menderita gangguan kesehatan fisik yang
disebabkan oleh faktor mental emosional. Oleh karena itu pengetahuan dan
keterampilan petugas di bidang kesehatan jiwa akan membantu meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan dasar tersebut. Prosedur ini sebenarnya merupakan
prosedur lege artis dalam pelayanan kesehatan.

2.1. PERSIAPAN

Prosedur ini akan lebih berhasil apabila dilakukan persiapan sebelumnya sebagai
berikut:
1. Aturlah jadwal pemeriksaan, sehingga pasien dapat bergilir diperiksa
secara tertib. Dengan demikian Puskesmas membiasakan “budaya antre”
pada masyarakat. Caranya disesuaikan dengan kondisi Puskesmas dan
masyarakat.
2. Aturlah arus pasien yang akan diperiksa, sehingga pelayanan berjalan
dengan lancar dan pasien tidak bergerombol. Hal ini membantu
meningkatkan kerahasiaan pasien.
3. Aturlah ruangan dan tata letak meja/kursi/ tempat tidur periksa, agar cara
pemeriksaan dapat dilakukan menurut urutan yang benar (anamnesis,
pemeriksaan, diagnosis, terapi). Hal ini untuk meningkatkan kenyamanan
petugas dan pasien.
4. Hendaknya para petugas kesehatan di Puskesmas (petugas loket, perawat,
dokter, petugas apotek, dan lain-lain) merupakan satu tim kerja yang baik.
5. Tingkatkan kenyamanan suasana dan lingkungan, agar pasien merasa
betah.
6. Petugas yang ramah dan memperhatikan kebutuhan pasien secara
menyeluruh, akan mempermudah hubungan yang terbuka dan lancar
antara pasien dengan petugas.
7. Apabila diperlukan wawancara yang lebih lama, ditentukan waktu tersendiri
agar pasien lain tidak terlalu lama menunggu (misalnya buat perjanjian
setelah selesai pemeriksaan pasien di poliklinik).

9
DRAFT
2.2. PROSEDUR (Lihat skema)

1. Gunakan kartu status yang biasa dipakai di Puskesmas.

2. Anamnesis dilakukan pada semua pasien (anak/dewasa; baru/lama) oleh


perawat/orang yang bertugas melakukan anamnesis pertama (intake worker)
dan atau dokter.

3. Pasien dipersilakan duduk di kursi yang disediakan disamping meja petugas.

4. Pada pasien dewasa (18 tahun ke atas ) dan usia lanjut:


a. Tanyakan keluhan utama pasien, catat pada status dengan
menggunakan bahasa pasien;
b. Golongkan keluhan tersebut apakah termasuk: Keluhan fisik murni
(Fm); keluhan fisik disertai keluhan mental emosional atau fisik ganda
(Fg); keluhan Psiko-Somatik (PS); atau keluhan Mental-Emosional
(ME), dan beri kode.
c. Bila keluhan utama termasuk PS, ME atau Fg, lanjutkan dengan
pertanyaan (aktif).
d. Beri paraf di bawahnya; dan lanjutkan dengan pemeriksaan rutin lain
(tekanan darah, dan lain-lain)

5. Pada pasien anak dan remaja (di bawah 18 tahun):


a. Tanyakan keluhan utama pada anak/pengantar, catat pada status.
b. Keluhan fisik murni (Fm); keluhan fisik disertai keluhan mental
emosional (Fg); keluhan Psiko-Somatik (PS); atau keluhan Mental-
Emosional (ME), dan beri kode di sampingnya.
c. Selalu ditanyakan adanya keluhan Mental-Emosional dan status
perkembangan anak.
d. Lanjutkan dengan pertanyaan nomor 3 (dari pertanyaan aktif).
e. Beri paraf di bawahnya.

6. Dokter memeriksa kembali hasil anamnesis dengan melihat keadaan pasien


secara menyeluruh dan menanyakan kembali hal-hal yang meragukan, atau
menanyakan hal-hal lainnya.

7. Setelah pemeriksaan fisik dan mental, lalu tetapkan diagnosis baik fisik
maupun mental serta cantumkan kode diagnosisnya.

8. Pada kolom terapi cantumkan resep obat yang diberikan dan beri paraf.

9. Setelah selesai, pasien dengan gangguan mental, dapat ditindaklanjuti pada


hari lainnya secara khusus.

10. Pada kunjungan berikutnya, ikuti prosedur yang sama seperti di atas.

10
DRAFT

11. Jika telah memahami prosedur di atas, petunjuk anamnesis dan pemeriksaan
ini (skema) dapat diletakkan di atas meja periksa.

2.3. ANAMNESIS

Anamnesis dapat dilakukan pada pasien (autoanamnesis) atau pada yang


menemani pasien (alloanamnesis). Keluhan utama yang dikemukakan secara
spontan oleh pasien atau pengantarnya merupakan alasan berobat ke
Puskesmas.

Keluhan utama dapat berupa:


a. Keluhan fisik (Fm) yaitu keluhan yang bersifat fisik murni dan tidak jelas
berlatar belakang mental emosional, biasanya membutuhkan terapi
farmakologik. Contoh: panas, batuk, pilek, mencret, muntah, borok, luka,
perdarahan.

b. Keluhan fisik ganda (Fg) yaitu keluhan fisik murni disertai dengan keluhan
mental emosional. Contoh: luka karena kecelakaan disertai dengan
kecanduan alkohol, keluhan batuk kronis disertai dengan keluhan cemas
atau putus asa karena tak kunjung sembuh.

c. Keluhan psikosomatik (PS) yaitu keluhan fisik/jasmani yang diduga


berkaitan dengan masalah kejiwaan (mental emosional). Contoh:
berdebar-debar, tengkuk pegal, tekanan darah tinggi (gejala
kardiovaskular); ulu hati perih, kembung, gangguan pencernaan (gejala
gastrointestinal); sesak napas, mengik (gejala respiratorius); gatal, eksem
(gejala dermatologi); encok, pegal-pegal, kejang, sakit kepala (gejala
muskuloskeletal); gangguan haid, keringat dingin disertai debar-debar
(gejala hormonal-endokrin); migren, sering lupa (pikun), kesemutan,
kram, kelumpuhan anggota gerak, gangguan kesadaran (gejala
serebrovaskuler).

d. Keluhan mental emosional (ME) yaitu keluhan yang berkaitan dengan


masalah kejiwaan (alam perasaan, pikiran dan perilaku). Contoh:
mengamuk, bicara kacau, mendengar bisikan, melihat bayangan iblis,
telanjang di depan umum (gejala psikotik); cemas/ takut tanpa sebab
yang jelas, gelisah, panik, pikiran dan/atau perilaku yang berulang,
gagap (gejala neurotik dengan afek cemas); murung, tak bergairah, putus
asa, ide kematian (gejala depresi); penyalahgunaan atau ketergantungan
terhadap alkohol, rokok dan NAPZA (gejala gangguan penggunaan zat
psikoaktif); ayan, bengong, kejang-kejang (gejala gangguan epilepsi);
gejala pada anak-anak dan remaja seperti kesulitan belajar, tak bisa
mengikuti pelajaran di sekolah, gangguan fungsi sosial (gejala gangguan
11
DRAFT
retardasi mental), gangguan perkembangan, gejala psikotik pada anak,
gejala autisme pada kanak, gejala gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas, enuresis.

Keluhan PS dan keluhan ME yang disertai dengan distres (penderitaan pada


pasien dan/atau keluarga/lingkungan), dan/atau gangguan pada fungsi
pekerjaan/akademik, fungsi sosial, fungsi sehari-hari (disabilitas) merupakan
petunjuk bahwa yang bersangkutan memang menderita gangguan jiwa.

2.4. PEMERIKSAAN DENGAN METODE 2 MENIT

Pasien datang ke pusat pelayanan kesehatan dasar, mendaftar ke loket, di sana


dicatat identitas pasien pada kartu berobat.
Pasien dengan membawa kartu berobat menuju kamar periksa, di sana pasien
diterima oleh perawat yang akan melakukan anamnesis dan pemeriksaan tanda-
tanda vital.
Bila pasien datang dengan keluhan fisik murni, di kartu berobat pasien diberi
tanda Fm; bila pasien datang dengan keluhan fisik murni disertai keluhan mental-
emosional diberi tanda Fg (fisik ganda) (komorbiditas); bila datang dengan
keluhan psikosomatik diberi tanda PS; dan bila dengan keluhan mental emosional
diberi tanda ME.

Untuk keluhan PS, di samping hal-hal yang berkaitan dengan organ tubuh
mengenai sistem respiratorius, sistem kardiovaskuler, sistem muskuloskeletal,
sistem urogenital, sistem gastrointestinal, sistem dermatologi, sistem
endokrinologi, sistem serebrovaskuler, ditanyakan juga mengenai:
1. Kesadaran seperti penurunan kesadaran, perubahan kesadaran.
2. Daya ingat.
3. Kemampuan mengarahkan, memusatkan, mempertahankan dan
mengalihkan perhatian.
4. Kejang: kejang umum, kejang fokal yang berulang.

Khusus untuk keluhan ME ditanyakan hal-hal yang berkaitan dengan:


1. Gejala psikotik seperti halusinasi, waham, inkoherensi, perilaku katatonik
atau perilaku kacau lainnya.
2. Gejala ansietas seperti was-was, cemas, takut, panik.
3. Gejala depresi seperti murung, sedih, tak bergairah, tak bersemangat.
4. Gejala manik seperti gembira, semangat tinggi, tak kenal risiko, kebutuhan
tidur berkurang.
5. Gejala retardasi mental seperti kecerdasan yang kurang, kurang bisa
beradaptasi dengan lingkungan.
6. Gejala kejiwaan pada anak dan remaja seperti sulit berinteraksi sosial,
hiperaktif, kurang dapat memusatkan perhatian, gangguan tingkah laku,
mengompol pada usia 5 tahun atau lebih.
12
DRAFT

Setelah itu diajukan pertanyaan:


1. Apakah ada stresor organobiologik seperti penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan SSP, termasuk penggunaan NAPZA.
2. Apakah ada distres/penderitaan dari pihak pasien atau keluarga.
3. Apakah ada gangguan fungsi pekerjaan/akademik, fungsi sosial dan fungsi
sehari-hari.

Kemudian dibuatlah diagnosis:


1. Demensia: gangguan daya ingat dengan stresor organobiologik seperti
usia lanjut, degenerasi, gangguan serebrovaskular.
2. Delirium: penurunan kesadaran/kesadaran berkabut disertai kemampuan
mengarahkan, memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian
yang berkurang.
3. Gangguan Penggunaan NAPZA: adanya riwayat penggunaan zat psikoaktif
termasuk alkohol.
4. Skizofrenia: gejala psikotik yang berlangsung lebih dari satu bulan.
5. Gangguan Psikotik Akut: gejala psikotik yang berlangsung kurang dari satu
bulan.
6. Gangguan Bipolar: gejala manik dengan/atau tanpa gejala depresi.
7. Gangguan Depresi: gejala depresi.
8. Gangguan Fobik: gejala fobia terhadap sesuatu atau situasi.
9. Gangguan Panik: gejala ansietas yang memuncak.
10. Gangguan Ansietas menyeluruh: gejala utama cemas.
11. Gangguan Campuran ansietas dan depresi: gejala campuran cemas dan
depresi.
12. Gangguan Obsesi kompulsif: ada gejala obsesif yaitu pikiran yang terpaku
dan perilaku yang harus dilakukan berulang-ulang.
13. Gangguan penyesuaian: Gejala ansietas dan atau depresi karena
perubahan situasi atau lingkungan.
14. Gangguan Somatoform: Gejala fisik tanpa kelainan struktural yang
dilatarbelakangi oleh gejala ansietas atau depresi.
15. Retardasi Mental: gejala kecerdasan yang kurang disertai kemampuan
adaptasi yang kurang pada anak dibawah usia 18 tahun.
16. Gangguan Perkembangan Pervasif (Autisme pada anak): gejala psikotik
pada anak.
17. Gangguan hiperkinetik: gejala kemampuan memusatkan perhatian yang
berkurang, disertai dengan hiperaktivitas.
18. Gangguan tingkah laku pada anak dan remaja: kenakalan remaja.
19. Enuresis: gejala mengompol pada anak di atas 5 tahun.
20. Epilepsi: gejala kejang/tanpa kejang, penurunan kesadaran/perubahan
kesadaran/bengong yang berulang.
21. Gangguan disfungsi seksual.

13
DRAFT
Pada dua menit pertama dapat dibuat diagnosis sementara/ diagnosis kerja, dan
pada pertemuan berikutnya (dua menit ke dua) diteliti lebih lanjut untuk
mendapatkan diagnosis yang pasti; bila perlu dikonsulkan ke psikiater pembina.

2.5. PENGGOLONGAN DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA DI


PELAYANAN KESEHATAN DASAR.

Penggolongan Diagnosis ini merujuk ke ICD-10 (International Classification of


Diseases, 10th Revision) dari WHO tahun 1992:
1. F00# Gangguan Mental Organik
Demensia (F00#)
Delirium (F05)
2. F10# Gangguan penggunaan NAPZA
Gangguan penggunaan alkohol (F10)
Gangguan penggunaan zat (F11#)
Gangguan penggunaan tembakau (F17.1)
3. F20# Skizofrenia dan gangguan psikotik kronik lain
4. F23 Gangguan psikotik akut
5. F31 Gangguan bipolar
6. F32# Gangguan depresif
7. F40# Gangguan neurotik
Gangguan fobik (F40)
Gangguan panik (F41.0)
Gangguan ansietas menyeluruh (F41.1)
Gangguan campuran ansietas & depresi (F41.2)
Gangguan obsesif kompulsif (F42)
Gangguan penyesuaian (F43.2)
Gangguan Somatoform (F45)
8. F52 Gangguan seksual pada laki-laki dan wanita
9. F70 Retardasi mental
10. F80-90# Gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja
Gangguan perkembangan pervasif (F84)
Gangguan hiperkinetik (F90)
Gangguan tingkah laku (F91#)
Enuresis (F98.8)
11. G40# Epilepsi

14
DRAFT
ANAMNESIS & PEMERIKSAAN
Keluhan Utama (spontan)

FISIK (F) PSIKOSOMATIK (PS) MENTAL EMOSIONAL (ME)


Keluhan fisik jelas. Keluhan fisik diduga ada Keluhan mengenai gangguan
Dapat disertai keluhan mental hubungannya dengan masalah perasaan, pikiran dan perilaku.
emosional. kejiwaan. Gangguan:
Keluhan mengenai: 1. Tidur
FISIK MURNI FISIK 1. Jantung 2. Perilaku
(Fm) GANDA (Fg) 2. Perut/gastrointestinal 3. Emosi
3. Pernapasan 4. Pikiran
Gambaran Didapati 4. Kulit 5. Persepsi
utama hanya keluhan fisik 5. Otot
keluhan fisik. dan keluhan 6. Endokrin
mental 7. Urogenital
emosional. 8. Serebrovaskuler
(Komorbiditas)

Pertanyaan aktif (>1):


1. >3 bulan/>1 kali per bulan
2. Ada peristiwa pemicu keluhan, banyak pikiran
3. Menurunnya semangat belajar, kerja, seks
4. Gangguan fungsi (keluarga, pekerjaan, sekolah, masyarakat)
5. Ada pemakaian rokok, alkohol, NAPZA
6. Gejala mental emosional (sedih, cemas, mudah tersinggung dll.)

DIAGOSIS GANGGUAN FISIK GMO-F00# Skizofrenia & gangguan psikotik


Gangguan penggunaan NAPZA- kronik lain-F20#
F10# Gangguan bipolar-F31
Gangguan seksual-F52 Gangguan depresi-F32#
Retardasi Mental-F70 Gangguan neurotik-F40#
Epilepsi-G40# Gangguan kesehatan jiwa anak
Gangguan somatoform-F45 & remaja-F80-90#

Gambar 2-1. Skema alur pemeriksaan.

15
DRAFT
BAB III
DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA DAN
PENATALAKSANAANNYA DI PELAYANAN
KESEHATAN DASAR

3.1. GANGGUAN MENTAL ORGANIK

3.1.1. DEMENSIA (F00#)

Keluhan:
Keluarga mencari pertolongan awalnya karena kegagalan daya ingat,
perubahan kepribadian atau perilaku. Pada tahap lebih lanjut dari penyakitnya,
mereka mencari pertolongan karena kebingungan, keluyuran atau
inkontinensia. Kebersihan diri yang buruk pada pasien usia lanjut bisa
mengindikasikan hilangnya daya ingat.

Pedoman diagnostik:
¾ Penurunan daya ingat mengenai hal yang baru terjadi (recent memory),
daya pikir dan penilaian, orientasi dan kemampuan berbahasa.
¾ Pasien sering tampak apatis atau acuh tak acuh, tapi bisa juga tampak
siaga walaupun daya ingatnya buruk.
¾ Penurunan daya fungsi sehari-hari (berpakaian, mencuci/mandi,
memasak).
¾ Kehilangan kendali emosional, mudah bingung, menangis atau mudah
tersinggung.
¾ Lazim pada usia lanjut >60 tahun (demensia senilis), jarang pada usia
lebih muda (demensia presenilis).

Pemeriksaan daya ingat dan berpikir dapat meliputi:


¾ Kemampuan untuk mengingat nama 3 benda yang umum secara cepat
dan mengulanginya kembali setelah 3 menit.
¾ Kemampuan untuk menyebut nama hari dalam seminggu dalam urutan
terbalik.

Penanganan:
¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa kehilangan daya ingat
biasanya berkembang lambat, tetapi perjalanannya sangat bervariasi.
Kehilangan daya ingat dan kebingungan bisa menyebabkan problem
perilaku, misalnya agitasi, curiga dan letupan emosional.
¾ Hindari menempatkan pasien di tempat atau situasi yang asing.
¾ Agitasi yang tak terkendali mungkin memerlukan perawatan di rumah
sakit.
16
DRAFT
¾ Penggunaan obat sedatif atau hipnotik (misalnya Benzodiazepin) harus
hati-hati, karena dapat meningkatkan kebingungan.

Medikasi:
¾ Untuk mengendalikan agitasi, gejala psikotik dan agresi diperlukan
antipsikotik dosis rendah (misalnya Haloperidol 2 x 0,5-1 mg atau
Risperidon 2 X 0,5–1 mg). Waspadai efek samping obat
(parkinsonisme, efek antikolinergik) dan interaksi obat.

Konsultasi ke spesialis:
¾ Bila kehilangan daya ingat terjadi secara mendadak atau agitasi tak
terkendali.
¾ Demensia akibat penyakit fisik yang memerlukan pengobatan
spesialistik (misalnya sifilis, hematoma subdural).
¾ Jika dibutuhkan perawatan intensif, rawat di rumah sakit.

3.1.2. DELIRIUM (F05)

Keluhan:
¾ Keluarga mungkin minta pertolongan sebab pasien bingung/bicara
kacau atau agitatif.
¾ Pasien mungkin tampak tidak kooperatif atau ketakutan.

Pedoman diagnostik:
Onset mendadak:
¾ Kebingungan (pasien tampak bingung, berusaha memahami
sekelilingnya).
¾ Pikiran atau kesadaran berkabut atau menurun, yang ditandai dengan
ketidakmampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan
dan mengalihkan perhatian terhadap stimulus eksternal (auditorik,
olfaktorik dan sensorik).
Sering kali ditandai oleh:
daya ingat lemah, kekacauan emosional, perhatian mudah beralih, menarik
diri, curiga, agitasi, kehilangan orientasi, gangguan tidur atau pola tidur
terbalik, halusinasi auditorik atau visual atau ilusi (salah persepsi).
Gejala sering kali berkembang dengan cepat dan berubah dari waktu ke waktu.

Penyebab:
¾ Intoksikasi atau putus alkohol atau zat/obat lain.
¾ Infeksi berat.
¾ Perubahan metabolik (penyakit hati, dehidrasi, hipoglikemia).
¾ Trauma berat.
¾ Hipoksia.

17
DRAFT
Penanganan:
¾ Informasikan kepada keluarga bahwa perilaku atau pembicaraan yang
aneh merupakan gejala suatu penyakit.
¾ Jaga agar pasien tidak mencederai dirinya sendiri atau orang lain,
misalnya singkirkan benda berbahaya, bila perlu fiksasi pasien.
¾ Kontak dengan orang yang dikenal, dapat mengurangi kebingungan.
¾ Obati penyakit fisik, bila perlu dirawat di rumah sakit.
¾ Penggunaan obat sedatif atau hipnotik (misalnya Benzodiazepin) harus
hati-hati, karena dapat meningkatkan kebingungan.

Medikasi:
¾ Untuk mengendalikan agitasi, gejala psikotik dan agresi diperlukan
antipsikotik dosis rendah (misalnya Haloperidol 2 x 0,5-1 mg atau
Risperidon 2 X 0,5 – 1 mg).

Konsultasi ke spesialis bila:


- Penyakit fisik yang memerlukan pengobatan fisik.
- Agitasi yang tak terkendali.

3.2. GANGGUAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

3.2.1. GANGGUAN PENGGUNAAN ALKOHOL (F10)

Keluhan:
¾ Pasien dapat memperlihatkan gejala: murung, gugup, insomnia,
komplikasi fisik (ulkus ventrikuli, gastritis, perlemakan hati, sirosis
hepatis), akibat kecelakaan atau cedera, daya ingat atau konsentrasi
menurun.
¾ Mungkin pasien menghadapi problem hukum dan sosial akibat
penggunaan alkohol (misalnya masalah perkawinan, kehilangan
pekerjaan).
¾ Pasien dapat pula datang dengan gejala putus alkohol (berkeringat,
tremor, mual pada pagi hari dan halusinasi).

Pedoman diagnostik:

Penggunaan alkohol yang merugikan:


¾ Penggunaan alkohol yang berlebihan (misalnya minum lebih dari 6
kaleng bir sehari).
¾ Penggunaan alkohol yang berlebihan menyebabkan gangguan
kesehatan fisik (misalnya penyakit hepar, perdarahan gastrointestinal),
gangguan psikologis (misalnya depresi dan ansietas) atau

18
DRAFT
menyebabkan konsekuensi sosial yang merugikan (misalnya kehilangan
pekerjaan).

Ketergantungan alkohol:
¾ Terus menggunakan alkohol walaupun merugikan.
¾ Kesulitan dalam mengendalikan penggunaan alkohol.
¾ Ada keinginan yang kuat untuk menggunakan alkohol.
¾ Toleransi (minum alkohol dalam jumlah banyak tanpa mengalami
intoksikasi).
¾ Sindrom putus alkohol (ansietas, tremor, banyak berkeringat setelah
berhenti minum).

Penanganan:
¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa ketergantungan
adalah suatu penyakit dengan konsekuensi yang berat. Kebiasaan
minum alkohol dapat merugikan bayi dalam kandungan.
¾ Berhenti secara mendadak dapat menimbulkan gejala putus alkohol,
maka diperlukan pengawasan secara medis.

Bagi pasien yang ingin segera berhenti minum:


¾ Tetapkan suatu hari untuk berhenti.
¾ Diskusikan strategi untuk menghindari atau untuk mengatasi situasi
risiko tinggi (misalnya situasi sosial tertentu atau situasi yang
menimbulkan stres).
¾ Buat rencana khusus untuk menghindari minum alkohol lagi (misalnya,
cara menghadapi stres tanpa minum alkohol, cara menolak tawaran
untuk minum dari teman yang masih mempunyai kebiasaan minum
alkohol).
¾ Bantu pasien mengidentifikasi anggota keluarga atau teman yang
mendukung untuk berhenti minum alkohol.
¾ Bicarakan gejala dan penatalaksanaan putus alkohol.

Bagi pasien yang bertujuan hanya mengurangi minum alkohol:


¾ Bicarakan satu sasaran yang jelas untuk mengurangi penggunaan
alkohol (misalnya tidak lebih dari 2 sloki wiski perhari atau 2 hari bebas
alkohol setiap minggu).
¾ Diskusikan strategi untuk menghindari atau mengatasi situasi dengan
risiko tinggi (misalnya situasi sosial atau kejadian yang menyebabkan
stres).
¾ Perkenalkan prosedur swapantau dan perilaku minum yang aman
(misalnya pembatasan waktu, minum ditunda-tunda).

Bagi pasien yang belum mau berhenti atau mengurangi minum saat ini:
¾ Jangan bersikap menolak atau menyalahkan pasien.
¾ Jelaskan tentang problem medis, psikologis dan sosial akibat alkohol.

19
DRAFT
¾ Buat perjanjian untuk menilai kembali kondisi kesehatan dan
penggunaan alkohol.

Bagi pasien yang tidak berhasil berhenti menggunakan alkohol atau yang
kambuh:
¾ Cari dan beri penghargaan untuk setiap keberhasilan pasien.
¾ Bicarakan situasi yang menyebabkan kambuh.
¾ Mulai lagi dengan langkah lebih awal seperti telah disebutkan di atas.
¾ Organisasi tolong diri sesama pengguna alkohol, seperti Alcoholic
Anonymous, sering kali sangat menolong. Mereka mengadakan
pertemuan yang teratur untuk saling mengungkapkan perasaan,
problem dan saling memberi dukungan agar tetap tidak menggunakan
alkohol untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

Medikasi:
¾ Putus alkohol perlu diberi Benzodiazepin jangka pendek, misalnya
Klordiazepoxid 25 – 100 mg sekali atau dua kali sehari. Pasien rawat
jalan harus dipantau dengan cermat. Putus alkohol yang berat (dengan
halusinasi atau instabilitas saraf otonom) perlu rawat inap dan dosis
Benzodiazepin yang lebih besar.
¾ Untuk mempertahankan abstinensi dari alkohol, Disulfiram atau
Metronidazol 3 x 500 mg sehari dapat membantu pada beberapa kasus,
tetapi penggunaan yang rutin tidak diperlukan.

Konsultasi ke spesialis:
Yang sesuai dengan kelainan yang dijumpai.

3.2.2. GANGGUAN PENGGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF (F11#)

Keluhan:
¾ Pasien mungkin datang dengan keluhan murung, gugup, insomnia, ada
komplikasi fisik akibat penggunaan zat psikoaktif, mungkin pula
mengalami kecelakaan atau cedera akibat penggunaan zat psikoaktif.
¾ Mungkin juga dijumpai: perubahan perilaku/ penampilan atau fungsi
sehari-hari, keluhan rasa nyeri atau langsung minta resep narkotika atau
obat lain.
¾ Problem hukum atau sosial akibat penggunaan zat psikoaktif (problem
perkawinan, kehilangan pekerjaan).
¾ Menyangkal menggunakan zat psikoaktif.
¾ Sering kali keluarga yang terlebih dahulu minta pertolongan (misalnya
karena pasien mudah tersinggung, kehilangan pekerjaan).

Mungkin dijumpai gejala putus zat psikoaktif:


¾ Pada penggunaan opiat: mual, banyak berkeringat, tremor.
20
DRAFT
¾ Pada penggunaan sedatif: ansietas, tremor, halusinasi.
¾ Pada penggunaan stimulansia: depresi, murung.

Pedoman diagnostik:
¾ Terdapat penggunaan yang berat atau sering dari zat psikoaktif.
¾ Penggunaan zat psikoaktif telah menyebabkan kerugian fisik (misalnya
cedera atau adanya komplikasi pada fisik), atau adanya dampak sosial
yang merugikan (misalnya kehilangan pekerjaan, masalah di sekolah,
masalah keluarga yang berat).
¾ Kesulitan dalam mengendalikan penggunaan zat psikoaktif.
¾ Hasrat yang kuat untuk menggunakan zat psikoaktif.
¾ Toleransi (dapat menggunakan zat dengan jumlah besar tanpa adanya
gejala intoksikasi).
¾ Terdapat sindrom putus zat psikoaktif (ansietas, tremor atau gejala lain
setelah berhenti menggunakan zat psikoaktif).

Penanganan:
¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa tujuan yang ingin
dicapai adalah abstinensi (menghentikan penggunaan zat
psikoaktif), pasien dan keluarga harus memusatkan perhatian pada
tujuan tersebut. Penggunaan zat psikoaktif selama kehamilan akan
merugikan bayi dalam kandungan.
¾ Penggunaan zat secara intravena mempunyai risiko terjangkit atau
menularkan penyakit HIV, hepatitis atau penyakit lain yang menular
melalui darah. Diskusikan sikap waspada (jangan memakai ulang
jarum suntik, pakai kondom bila berhubungan seksual).

Bagi pasien yang ingin segera berhenti menggunakan zat psikoaktif:


¾ Tetapkan satu hari tanpa zat psikoaktif.
¾ Diskusikan strategi untuk menghindari atau untuk mengatasi situasi
risiko tinggi, misalnya situasi sosial tertentu atau situasi yang
menimbulkan stres.
¾ Buat rencana khusus untuk menghindari penggunaan zat psikoaktif,
misalnya bagaimana menyikapi teman yang masih menggunakan zat
psikoaktif.
¾ Bantu pasien mengidentifikasi anggota keluarga atau teman yang
mendukung untuk berhenti menggunakan zat psikoaktif.
¾ Bicarakan gejala dan penatalaksanaan putus zat psikoaktif.

Bagi pasien yang bertujuan hanya mengurangi penggunaan zat


psikoaktif:
¾ Bicarakan satu sasaran yang jelas untuk mengurangi penggunaan zat
psikoaktif, misalnya tidak lebih dari sebatang rokok ganja perhari, bebas
ganja setiap minggu.
¾ Diskusikan strategi untuk menghindari atau mengatasi situasi risiko
tinggi, misalnya situasi sosial atau kejadian yang menyebabkan stres.
21
DRAFT
¾ Perkenalkan prosedur pantau-diri dan perilaku penggunaan zat
psikoaktif yang lebih aman, misalnya pembatasan waktu, pengurangan
penggunaan.

Bagi pasien yang belum mau berhenti/mengurangi zat psikoaktif


sekarang:
¾ Jangan bersikap menolak atau menyalahkan pasien.
¾ Jelaskan tentang problem medis, psikologis dan sosial akibat
penggunaan zat psikoaktif.
¾ Buat perjanjian untuk menilai kembali kondisi kesehatan pasien dan
mendiskusikan penggunaan zat psikoaktif.

Bagi pasien yang tidak berhasil berhenti menggunakan zat psikoaktif


atau yang kambuh:
¾ Cari dan beri penghargaan untuk setiap keberhasilan pasien.
¾ Bicarakan situasi yang menyebabkan kambuh.
¾ Mulai lagi dengan langkah lebih awal seperti telah disebutkan di atas.
¾ Organisasi tolong diri sesama pengguna opiat, seperti Narcotic
Anonymous, sering kali sangat menolong. Mereka mengadakan
pertemuan yang teratur untuk saling mengungkapkan perasaan dalam
usahanya untuk berhenti menggunakan opiat, saling memberi dukungan
agar tetap tidak menggunakan opiat.

Medikasi:
¾ Putus sedativa mungkin perlu diberi Benzodiazepin (misalnya
Klordiazepoxid 25 – 100 mg sampai 4 x sehari). Pasien rawat jalan
harus dipantau dengan cermat. Putus sedativa yang berat (dengan
halusinasi atau instabilitas saraf otonom) perlu rawat inap dan dosis
Benzodiazepin yang lebih besar.
¾ Putus stimulansia, kokain atau opiat sangat menimbulkan penderitaan
dan perlu pengawasan medis.

Konsultasi ke spesialis:
Program konseling spesialistik untuk ketergantungan zat psikoaktif perlu
dipertimbangkan bila ada fasilitas.

3.2.3. GANGGUAN PENGGUNAAN TEMBAKAU (F17)

Keluhan:
¾ Pasien mengeluh: bau tak menyenangkan di mulut, batuk, berdahak,
sering menderita infeksi saluran napas, tekanan darah tinggi, nyeri
dada, problem kesehatan jantung, letih dan merasa kurang sehat.
¾ Banyak perokok ingin berhenti merokok dan menyambut baik bantuan
untuk berhenti merokok.
22
DRAFT

Pedoman diagnostik:
¾ Penggunaan yang merugikan (penggunaan tembakau telah
menyebabkan kerugian fisik dan psikologis).
¾ Keterangan:
F17.1 Terus menggunakan walaupun merugikan.
F17.2 Tak mampu menghentikan dan mengendalikan penggunaan.
F17.3 Gejala putus tembakau.
¾ Beberapa perokok, bisa ketergantungan tembakau (menggunakan
tembakau dalam jumlah banyak, sukar mengendalikan penggunaan),
tetapi semua pengguna tembakau akan memperoleh manfaat jika
berhenti merokok.
¾ Walaupun dalam jumlah kecil, penggunaan tembakau bisa merugikan.
Yang paling penting adalah untuk menguranginya pada keadaan di
bawah ini:
o Wanita hamil
o Anak dan remaja
o Orang-tua yang mempunyai anak kecil
o Pasien dengan penyakit yang sangat dipengaruhi oleh kebiasaan
merokok (penyakit saluran napas, penyakit jantung dan penyakit
pembuluh darah).

Penanganan:
¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa setiap penggunaan
tembakau dapat merugikan kesehatan. Berhenti merokok akan
meningkatkan kesehatan pada saat sekarang maupun di kemudian hari.

Bagi pasien yang ingin segera berhenti merokok:


¾ Tetapkan satu hari tanpa rokok dan stop total. Penelitian membuktikan
bahwa yang melakukan stop total lebih berhasil dari pada berhenti
secara bertahap.
¾ Diskusikan tentang situasi risiko tinggi untuk mulai merokok lagi
(misalnya bergaul dengan teman perokok).
¾ Buat rencana khusus untuk menghindari merokok lagi (misalnya,
bagaimana menolak tawaran merokok).
¾ Nasihati tentang cara mengatasi ketagihan tembakau (misalnya
relaksasi, latihan fisik, mengalihkan perhatian pada berbagai kegiatan,
teknik penatalaksanaan stres dan lain-lain).
¾ Identifikasi anggota keluarga atau teman yang mendukung untuk
berhenti merokok.

Bagi pasien yang bertujuan hanya mengurangi rokok:


¾ Bicarakan satu sasaran yang jelas untuk mengurangi merokok
(misalnya tidak lebih dari 5 batang rokok sehari).

23
DRAFT
¾ Diskusikan strategi untuk menghindari atau mengatasi situasi dengan
risiko tinggi (misalnya situasi sosial tertentu, atau kejadian yang
menyebabkan stres).
¾ Perkenalkan prosedur pantau-diri dan pola merokok yang terkendali
(misalnya membatasi waktu merokok, menunda merokok).

Bagi pasien yang belum mau berhenti merokok sekarang:


¾ Jangan bersikap menolak atau menyalahkan pasien.
¾ Tunjukkan dengan jelas efek terhadap kesehatan saat ini maupun di
kemudian hari, bila terus merokok.
¾ Buat perjanjian untuk mendiskusikan status kesehatan dan perihal
merokok.
¾ Program konseling kelompok, mungkin bermanfaat.

Medikasi:
¾ Preparat nikotin (misalnya Nikotinell) mungkin dapat mengurangi gejala
putus rokok.
¾ Akan lebih efektif bila disertai konseling untuk berhenti merokok.

3.3. SKIZOFRENIA & GANGGUAN PSIKOTIK KRONIK


LAIN (F20#)

Keluhan:
Pasien/keluarga mungkin datang dengan keluhan:
¾ Kesulitan berpikir dan berkonsentrasi.
¾ Laporan tentang mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya.
¾ Keyakinan yang aneh, misalnya memiliki kekuatan supra natural,
merasa dikejar-kejar.
¾ Keluhan fisik yang tidak biasa/aneh, misalnya merasa ada hewan atau
objek yang tak lazim di dalam tubuhnya.
¾ Problem atau pertanyaan yang berkaitan dengan antipsikotik.
¾ Mungkin mencari pertolongan karena apatis, penarikan diri, higiene atau
kebersihan yang buruk atau perilaku aneh.

Pedoman diagnostik:
Terdapat problem kronik dengan gambaran:
¾ Penarikan diri secara sosial
¾ Minat atau motivasi rendah, pengabaian diri
¾ Gangguan berpikir yang tampak dari pembicaraan yang tidak terangkai
atau aneh.

Episode periodik berupa:


¾ Agitasi atau kegelisahan.

24
DRAFT
¾ Perilaku aneh.
¾ Halusinasi, misalnya mendengar suara bisikan di telinga.
¾ Delusi/waham yaitu keyakinan yang salah yang tidak sesuai dengan
kenyataan, misalnya merasa mau diracuni oleh keluarga, menerima
pesan melalui televisi.

Penanganan
¾ Informasikan kepada keluarga bahwa perilaku aneh dan agitasi adalah
gejala penyakit jiwa, gejala dapat hilang timbul. Oleh karena itu keluarga
perlu mengantisipasinya dengan memberikan obat secara teratur dan
memeriksakan ke sarana kesehatan.
¾ Dorong pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam pekerjaan
dan kegiatan sehari-hari.
¾ Kurangi stres pada pasien dengan tidak berargumentasi terhadap
pikirannya yang psikotik dan hindari konfrontasi atau mengeritik.
¾ Pada saat gejala berat sebaiknya istirahat dan menghindari stres.
¾ Rujuk ke Psikosis Akut (F23) untuk saran penatalaksanaan keadaan
agitasi.

Medikasi:
¾ Berikan medikasi antipsikotik yang dimulai dengan dosis rendah dan
ditingkatkan secara bertahap. (misalnya Haloperidol 3 x 2-5 mg sehari
atau Chlorpromazine 3 x 100-200 mg sehari). Dosis harus serendah
mungkin untuk menghilangkan gejala, walaupun beberapa pasien
membutuhkan dosis yang lebih tinggi.
¾ Bagi pasien yang tidak patuh makan obat secara teratur, dapat
diberikan antipsikotik depot misalnya injeksi Haloperidol dekanoat atau
Modecate yang diberikan 1 X sebulan secara i.m.
¾ Beri tahu keluarga bahwa medikasi yang kontinu akan mengurangi
risiko kekambuhan. Pada umumnya antipsikotik harus dilanjutkan
sekurang-kurangnya 3 bulan sesudah suatu episode pertama
penyakitnya dan lebih lama sesudah episode berikutnya. Beberapa
pasien mungkin perlu minum obat jangka panjang, bahkan seumur
hidup.
¾ Beri tahu pasien dan keluarga tentang kemungkinan efek samping obat
(lihat daftar efek samping).

Konsultasi ke spesialis:
¾ Jika fasilitas tersedia, pertimbangkan untuk konsultasi bagi semua
kasus baru dengan gangguan psikotik untuk memastikan diagnosis dan
terapi yang sesuai.
¾ Terdapat depresi atau mania dengan gangguan psikotik, yang mungkin
membutuhkan terapi lain.
¾ Pertimbangkan konsultasi untuk kasus dengan efek samping motorik
yang berat.

25
DRAFT
3.4. GANGGUAN PSIKOTIK AKUT (F23)

Keluhan:
Pasien mungkin mengalami:
¾ Mendengar suara-suara
¾ Keyakinan atau ketakutan yang aneh/asing
¾ Kebingungan
¾ Was-was
Keluarga mungkin minta pertolongan karena perubahan perilaku, termasuk
perilaku aneh atau menakutkan (menarik diri, curiga atau mengancam).

Pedoman diagnostik:
Awitan/onset baru dari:
¾ Halusinasi (persepsi indera tanpa adanya rangsangan; misalnya
mendengar suara pada saat tak ada sumbernya).
¾ Waham (ide yang dipegang teguh yang nyata salah dan tidak dapat
diterima oleh kelompok sosial pasien; misalnya pasien percaya bahwa
mereka diracuni oleh tetangga, menerima pesan dari televisi, atau
diamati/diawasi oleh orang lain dengan suatu cara yang khas).
¾ Agitasi atau perilaku aneh (bizarre).
¾ Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi).
¾ Keadaan emosional yang labil dan ekstrem.
¾ Gejala timbul mendadak kurang dari 1 bulan

Penanganan:
¾ Informasikan kepada keluarga bahwa agitasi dan perilaku aneh adalah
gejala penyakit pasien; episode akut sering mempunyai prognosis yang
baik, tapi lama perjalanan penyakit sukar diramalkan; diperlukan
pengobatan berkesinambungan selama beberapa bulan sesudah gejala
hilang.
¾ Upayakan keamanan pasien dan mereka yang merawatnya:
- Keluarga atau teman harus mendampingi pasien.
- Penuhi kebutuhan dasar pasien (misalnya makan, minum dan
kebersihan diri).
- Hati-hati agar pasien tidak mengalami cedera.

¾ Kurangi stres dan stimulasi


- Jangan berargumentasi dengan pikiran psikotik. Anda mungkin tak
setuju dengan keyakinan pasien, tapi jangan coba untuk membantah
bahwa mereka salah.
- Hindari konfrontasi atau kritik kecuali bila perlu untuk menghindari
perilaku yang merugikan.
¾ Agitasi yang membahayakan pasien, keluarga dan masyarakat,
memerlukan hospitalisasi (rawat inap) atau pengawasan ketat di rumah

26
DRAFT
dan/atau tempat yang aman. Jika pasien menolak pengobatan, mungkin
diperlukan tindakan hukum.
¾ Dorong pasien agar melakukan kegiatan sehari-hari setelah gejala
membaik.

Medikasi:
¾ Antipsikotik akan mengurangi gejala psikotik (misalnya Haloperidol 3 x
2-5 mg sehari atau Chlorpromazine 3 x 100-200 mg sehari). Dosis harus
serendah mungkin, walaupun beberapa pasien membutuhkan dosis
yang lebih tinggi.
¾ Antiansietas juga dapat digunakan bersama dengan antipsikotik untuk
mengendalikan agitasi akut (misalnya Lorazepam 3 x 1-2 mg sehari).
¾ Lanjutkan pemberian antipsikotik sekurang-kurangnya 3 bulan setelah
gejala menghilang (lihat pedoman pemberian antipsikotik).

Monitor efek samping obat:


¾ Distonia atau spasme akut dapat ditanggulangi dengan suntikan
Benzodiazepin (Diazepam 10 mg i.m.) atau antiparkinson (Sulfas
Atropin 1-2 ampul i.m. atau Difenhidramin 2 ml i.m.)
¾ Akatisia (kegelisahan motorik berat) bisa ditanggulangi dengan
pengurangan dosis atau Beta-bloker.
¾ Gejala Parkinsonisme (tremor, akinesia) bisa ditanggulangi dengan
antiparkinson oral (misalnya triheksifenidil 2mg 1-3 kali sehari).

Konsultasi ke spesialis:
¾ Jika memungkinkan, pertimbangkan konsultasi untuk semua kasus baru
gangguan psikotik.
¾ Pada kasus dengan efek samping motorik yang berat atau timbul
demam, kekakuan, hipertensi, hentikan obat antipsikotik dan rujuk
pasien ke rumah sakit.

3.5. GANGGUAN BIPOLAR (F31)

Keluhan:
Pasien mungkin mengalami periode depresi, mania atau eksaserbasi
dengan pola seperti yang diuraikan di bawah ini.

Pedoman diagnostik:
Episode manik dengan gejala:
- Aktivitas dan tenaga bertambah.
- Bicara cepat.
- Berkurangnya kebutuhan tidur.
- Perhatian mudah beralih.
- Peningkatan suasana perasaan dan mudah tersinggung.
27
DRAFT
- Kehilangan hambatan.
- Merasa diri penting secara berlebihan.

Episode depresi dengan gejala:


- Suasana perasaan menurun atau sedih.
- Kehilangan minat atau kemampuan untuk merasa senang.

Gejala penyerta yang sering ditemukan:


- Gangguan tidur.
- Rasa bersalah atau rendah diri.
- Kelelahan atau kehilangan tenaga.
- Konsentrasi buruk.
- Gangguan nafsu makan.
- Pikiran atau tindakan bunuh diri.

Salah satu dari episode tersebut bisa sangat menonjol. Di antara kedua
episode tersebut bisa ditemukan suasana perasaan yang normal. Pada
kasus berat, pasien bisa mengalami halusinasi (mendengar suara atau
melihat sesuatu yang tak ada) atau waham (keyakinan yang salah) selama
episode mania atau depresi.

Penanganan:
¾ Informasikan kepada keluarga bahwa perubahan dalam suasana
perasaan dan perilaku adalah gejala dari penyakit. Tersedia pengobatan
yang efektif dan pengobatan jangka panjang bisa mencegah
kekambuhan. Jika tidak diobati, episode manik bisa menjadi berbahaya
terutama bila disertai dengan gejala psikotik. Episode manik sering kali
menjurus kepada kehilangan pekerjaan, problem hukum, problem
keuangan atau perilaku seksual yang berisiko tinggi.
¾ Selama depresi, tanyakan perihal bunuh diri:
- Apakah pasien ada pikiran tentang mati atau kematian.
- Apakah pasien ada rencana bunuh diri.
- Apakah ia pernah melakukan upaya yang serius untuk bunuh diri di
masa lampau.
- Apakah pasien yakin tidak akan bertindak atas dasar ide bunuh diri.
- Tanyakan juga risiko yang merugikan orang lain (lihat depresi –
F32#).
Mungkin diperlukan pengamatan ketat oleh keluarga/kerabat atau
teman.
¾ Selama periode manik:
- Hindari konfrontasi, kecuali perlu untuk mencegah tindakan
berbahaya/merugikan.
- Sarankan untuk berhati-hati terhadap perilaku impulsif atau
berbahaya.
- Sering kali diperlukan pengawasan yang ketat oleh anggota
keluarga.
28
DRAFT
- Jika agitasi atau perilaku kacau cukup berat, pertimbangkan
hospitalisasi (rawat inap).
¾ Selama periode depresi, rujuk ke pedoman penatalaksanaan depresi
(lihat F32#).

Medikasi:
¾ Jika pasien memperlihatkan agitasi, eksitasi atau perilaku kacau,
mungkin pada awalnya diperlukan antipsikotik (misalnya Haloperidol 3 x
2-5 mg sehari atau Chlorpromazine 3 x 100-200 mg sehari).
¾ Dosis harus serendah mungkin untuk menghilangkan gejala, walaupun
beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Jika timbul efek
samping ekstrapiramidal, berikan antiparkinson, misalnya Triheksifenidil
2-3 x 2 mg sehari. Penggunaan rutin tidak diperlukan.
¾ Benzodiazepin dapat juga digunakan bersamaan dengan antipsikotik
untuk mengendalikan agitasi akut (misalnya Lorazepam 4 x 1-2 mg
sehari).
¾ Setelah pasien dalam keadaan tenang, dapat diberikan Karbamazepin 3
X 200 mg sebagai stabilisator suasana perasaan (mood stabilizer)
¾ Medikasi antidepresan sering kali diperlukan selama periode depresi,
tapi bisa mempresipitasi mania apabila diberikan tersendiri.

Konsultasi ke spesialis:
Pertimbangkan konsultasi spesialistik:
¾ Jika ada risiko tinggi untuk bunuh diri atau perilaku kacau
¾ Jika gejala depresi/mania yang bermakna tetap berlanjut.

3.6. GANGGUAN DEPRESI (F32#)

Keluhan:
¾ Pasien mungkin semula mengemukakan satu atau lebih gejala fisik
(misalnya kelelahan atau rasa nyeri).
¾ Pemeriksaan selanjutnya ditemukan gejala depresi atau kehilangan
minat akan hal-hal yang menjadi kebiasaannya.
¾ Iritabilitas (cepat marah, cepat tersinggung) kadang-kadang merupakan
masalah yang dikemukakan.
¾ Khusus pada anak dan remaja sering depresi bermanifestasi dalam
bentuk gejala gangguan tingkah laku, menarik diri atau perilaku “acting
out” (misalnya sikap menentang, ngebut, mencari perkelahian dan
perilaku mencederai diri lainnya).
¾ Beberapa kelompok tertentu termasuk kelompok risiko tinggi, misalnya
mereka yang baru saja melahirkan atau yang mengalami stroke, mereka
yang menderita penyakit Parkinson atau sklerosis multipel.

29
DRAFT
Pedoman diagnostik:
¾ Suasana perasaan rendah atau sedih.
¾ Kehilangan minat/gairah atau kesenangan akan hal-hal yang menjadi
kebiasaannya.
¾ Sering kali ditemukan gejala penyerta berikut:
- Gangguan tidur (sulit/kebanyakan tidur).
- Rasa bersalah atau hilang kepercayaan diri.
- Kelelahan atau kehilangan tenaga atau penurunan libido.
- Agitasi atau perlambatan gerak atau pembicaraan.
- Gangguan nafsu makan (tidak nafsu atau makan berlebihan).
- Pikiran atau tindakan bunuh diri atau merasa lebih baik mati.
- Sulit konsentrasi.
- Sering kali disertai juga dengan gejala ansietas atau kegelisahan.
¾ Jika terdapat halusinasi atau waham, pertimbangkan adanya gangguan
depresi berat dengan ciri psikotik. Penatalaksanaannya merujuk ke
gangguan psikotik. Jika terdapat penggunaan zat atau alkohol yang
berat, rujuk ke gangguan penggunaan zat atau alkohol.
¾ Beberapa jenis medikasi dapat menimbulkan gejala depresi (misalnya
Beta-bloker, antihipertensi lain, H2 bloker, kontrasepsi oral dan
Kortikosteroid).

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa depresi adalah
penyakit yang lazim dan tersedia terapi yang efektif. Depresi bukan
merupakan kelemahan atau kemalasan, pasien berupaya keras untuk
mengatasi, tapi tidak berdaya.
¾ Tanyakan tentang risiko bunuh diri. Apakah pasien sering berpikir
tentang kematian atau mati. Apakah pasien mempunyai rencana bunuh
diri yang khas. Apakah ia telah membuat rencana yang serius untuk
percobaan bunuh diri di masa yang lalu. Apakah pasien bisa yakin untuk
tidak bertindak atas ide bunuh diri. Mungkin diperlukan pengawasan
yang ketat oleh keluarga dan teman, atau hospitalisasi (rawat inap).
Tanyakan tentang risiko mencederai orang lain.
¾ Rencanakan kegiatan jangka pendek yang menyenangkan pasien atau
yang membangkitkan kepercayaan diri.
¾ Dorong pasien untuk melawan pesimisme atau kritik diri yang
berlebihan, tidak bertindak atas dasar ide pesimistik (misalnya,
mengakhiri perkawinan, meninggalkan pekerjaan), dan tidak
memusatkan pada pikiran negatif atau bersalah.
¾ Identifikasi adanya stres sosial atau problem kehidupan yang mutakhir.
Fokuskan pada langkah kecil yang khas, yang dapat dilakukan oleh
pasien untuk mengurangi atau mengatasi problem dengan lebih baik.
Hindari keputusan yang besar atau perubahan pola hidup.
¾ Jika terdapat gejala fisik, bicarakan hubungan antara gejala fisik dengan
suasana perasaan (lihat gejala gangguan somatoform – F45).
30
DRAFT
¾ Jika sudah ada perbaikan, rencanakan bersama pasien tindakan yang
harus diambil jika terjadi kekambuhan.

Medikasi:
¾ Pertimbangkan pemberian antidepresan jika suasana perasaan sedih
atau kehilangan minat menonjol selama 2 minggu dan 4 atau lebih
gejala berikut ditemukan:
- kelelahan atau kehilangan tenaga,
- konsentrasi kurang,
- agitasi atau perlambatan gerak dan pembicaraan,
- gangguan tidur, khususnya terbangun dini hari dan tidak bisa tidur
kembali,
- pikiran tentang kematian atau bunuh diri,
- rasa bersalah atau menyalahkan diri,
- nafsu makan terganggu
¾ Pada kasus yang berat, pertimbangkan medikasi pada kunjungan
pertama.
¾ Pada kasus sedang, pertimbangkan medikasi pada kunjungan berikut,
jika konseling tidak menolong secara memadai.
¾ Pilihan medikasi:
- Jika pasien bereaksi baik terhadap obat tertentu di masa lampau,
gunakan obat itu lagi.
- Jika pasien usia lanjut atau sakit fisik, gunakan medikasi dengan
efek samping antikolinergik dan kardiovaskuler yang lebih ringan.
- Jika pasien cemas atau tidak bisa tidur, gunakan obat dengan efek
sedatif yang lebih kuat.
¾ Berikan antidepresan sampai mencapai dosis efektif (misalnya
Imipramin), dimulai dengan dosis 25-50 mg setiap malam dan dinaikkan
sampai 100-150 mg dalam dosis terbagi. Pada pasien usia lanjut atau
sakit fisik, berikan dosis yang lebih rendah atau menggunakan
antidepresan lain dengan efek samping yang minimal.
¾ Jelaskan kepada pasien bahwa medikasi harus diminum setiap hari,
bahwa perbaikan akan terjadi dalam 2-3 minggu sesudah medikasi
dimulai, dan mungkin timbul efek samping ringan, tapi biasanya
menghilang dalam 7-10 hari. Tekankan bahwa pasien harus
berkonsultasi dengan dokter sebelum menghentikan obat.
¾ Lanjutkan pemberian antidepresan sekurang-kurangnya 3 bulan
sesudah keadaan membaik.

Konsultasi ke spesialis:
jika pasien menunjukkan:
¾ Risiko bunuh diri atau berbahaya terhadap orang lain.
¾ Gejala psikotik.
¾ Depresi tetap bertahan sesudah tindakan pengobatan di atas.

31
DRAFT
¾ Kebutuhan akan psikoterapi yang lebih intensif (misalnya, terapi kognitif,
terapi interpersonal) yang mungkin bermanfaat sebagai terapi awal dan
mencegah kekambuhan.

3.7. GANGGUAN NEUROTIK

Gangguan neurotik terdiri dari:


3.7.1. Gangguan fobik (F40)
3.7.2. Gangguan panik (F41.0)
3.7.3. Gangguan ansietas menyeluruh (F41.1)
3.7.4. Gangguan campuran ansietas dan depresi (F41.2)
3.7.5. Gangguan Obsesif kompulsif (F42)
3.7.6. Gangguan penyesuaian (F43.2)
3.7.7. Gangguan somatoform (F45)

3.7.1. GANGGUAN FOBIK (F40)

Keluhan:
¾ Pasien mungkin menghindar atau membatasi aktivitas sebab rasa takut
yang timbul karena objek/situasi tertentu
¾ Kesulitan untuk bepergian seperti pergi ke pasar atau mengunjungi
orang lain.
¾ Kadang-kadang disertai gejala fisik (berdebar, napas pendek, asma).
Dengan anamnesis dapat terungkap rasa takut yang spesifik atau khas.

Pedoman diagnostik:
¾ Terdapat rasa takut yang sangat terhadap tempat, peristiwa, situasi atau
objek tertentu yang tidak beralasan. Pasien sering kali sama sekali
menghindari semua situasi ini.
¾ Situasi yang umum ditakuti antara lain:
- meninggalkan rumah;
- tempat-tempat terbuka;
- bicara di depan umum;
- keramaian atau tempat-tempat umum;
- bepergian dengan bis, mobil, kereta api atau pesawat terbang;
- peristiwa sosial
¾ Pasien mungkin tidak mampu meninggalkan rumah atau tinggal seorang
diri karena takut.
¾ Agorafobia (takut di tempat ramai) sering merupakan komplikasi dari
gangguan panik, sedangkan sosial fobia (takut menjadi pusat perhatian)
sering kali berkaitan dengan kepribadian menghindar.
32
DRAFT
¾ Jika yang menonjol adalah serangan ansietas, lihat Gangguan Panik –
F41.0 dan jika yang menonjol suasana perasaan menurun atau sedih,
lihat Gangguan Depresif – F32#.

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa fobia bisa diobati dan
menghindari situasi yang ditakuti akan menambah rasa takut.
¾ Dorong pasien agar melaksanakan metode mengatur pernapasan untuk
mengurangi gejala fisik dari rasa takut.
¾ Minta pasien membuat daftar semua situasi yang ditakuti dan
dihindarinya, yang tidak dialami oleh orang lain.
¾ Diskusikan cara-cara untuk menghadapi rasa takut yang berlebihan,
misalnya pasien mengingatkan dirinya, ”Saya merasa sedikit cemas
karena menghadapi orang banyak, perasaan ini akan berlalu dalam
beberapa menit”.
¾ Rencanakan serangkaian langkah tertentu yang memungkinkan pasien
menghadapi dan terbiasa dengan situasi yang ditakuti.
- Tentukan satu langkah kecil pertama menghadapi situasi yang
ditakuti, misalnya keluar rumah sebentar bersama seorang anggota
keluarga.
- Langkah ini harus dipraktikkan setiap hari selama 1 jam sampai tidak
menakutkan lagi.
- Jika situasi yang ditakutkan itu masih menyebabkan ansietas, pasien
harus mempraktikkan pernapasan yang teratur dan santai. Katakan
padanya bahwa panik akan berlalu dalam 30 menit. Pasien jangan
meninggalkan situasi yang ditakuti itu sebelum gejala panik hilang.
- Lanjutkan dengan langkah yang sedikit lebih sukar dan ulangi
prosedurnya (misalnya, melewati waktu yang lebih lama di luar
rumah).
- Jangan minum alkohol atau antiansietas paling kurang 4 jam
sebelum mempraktikkan langkah-langkah ini.
¾ Tentukan seorang teman atau anggota keluarga yang dapat menolong
mengatasi rasa takut. Kelompok tolong diri dapat membantu
menghadapi situasi yang ditakuti.
¾ Pasien harus menghindari penggunaan alkohol atau obat penenang
untuk mengatasi situasi yang ditakuti, tanpa petunjuk dokter.

Medikasi:
¾ Bila metode di atas tidak menolong, dapat diberikan antiansietas
(misalnya Diazepam 2-3 x 2-5 mg sehari). Penggunaan yang terus
menerus dapat menimbulkan ketergantungan, dan bila dihentikan gejala
akan muncul kembali.
¾ Bila terdapat depresi dapat diberikan antidepresan (misalnya Imipramin
2-3 X 25 -50 mg/hari).
¾ Beta-bloker dapat mengurangi gejala fisik.

33
DRAFT
Konsultasi ke spesialis:
¾ Pertimbangkan konsultasi spesialistik jika rasa takut yang mengganggu
itu (misalnya pasien tidak dapat meninggalkan rumah) menetap.
¾ Rujuk untuk psikoterapi perilaku (bila memungkinkan), bagi pasien yang
belum sembuh dengan terapi di atas.

3.7.2. GANGGUAN PANIK (F41.0)

Keluhan:
¾ Pasien datang dengan satu atau lebih gejala fisik (seperti nyeri dada,
pusing, napas pendek).
¾ Anamnesis lebih lanjut memperlihatkan gambaran berikut.

Pedoman diagnostik:
¾ Serangan panik atau rasa takut yang tak dapat dijelaskan muncul
secara mendadak, berkembang dengan cepat dan dapat berlangsung
hanya beberapa menit.
¾ Serangan itu sering muncul bersama dengan gejala fisik seperti
palpitasi, nyeri dada, rasa tercekik, rasa mual, pusing, perasaan bahwa
keadaan menjadi tidak realistik, atau rasa takut akan terjadinya bencana
pribadi (hilang kendali diri atau menjadi gila, serangan jantung, mati
mendadak).
¾ Satu serangan sering menimbulkan rasa takut akan ada serangan lain
dan penghindaran tempat-tempat serangan pernah terjadi. Pasien dapat
menghindari kegiatan yang dapat menghasilkan perasaan sama dengan
suatu serangan panik.
¾ Banyak kondisi medis dapat menyebabkan gejala yang sama dengan
serangan panik (aritmia, iskemia otak, penyakit jantung koroner,
tirotoksikosis). Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik harus dapat
menyingkirkan semua keadaan tersebut.

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa panik adalah suatu
gangguan yang lazim dan dapat diobati. Ansietas sering kali
menghasilkan sensasi fisik yang menakutkan. Nyeri dada, pusing atau
napas pendek, tidak selalu tanda suatu penyakit fisik. Ansietas panik
juga menyebabkan pikiran yang menakutkan (takut mati, perasaan akan
jadi gila atau hilang kendali). Semua itu akan berlalu bila ansietas
diatasi. Pemusatan perhatian kepada gejala fisik akan menambah rasa
takut. Seorang yang menghindari situasi tempat serangan panik terjadi
hanya akan memperkuat ansietasnya.
¾ Sarankan pasien untuk mengikuti langkah-langkah berikut jika serangan
panik timbul:
- Diam di tempat sampai serangan panik berlalu.
34
DRAFT
- Konsentrasikan diri untuk mengatasi ansietas, bukan pada gejala
fisik.
- Praktikkan pernapasan yang perlahan dan relaks. Bernapas terlalu
dalam atau terlalu cepat (hiperventilasi) dapat menyebabkan
beberapa gejala fisik dari gangguan panik. Pernapasan yang
terkendali akan mengurangi gejala fisik.
- Katakan pada dirimu bahwa ini adalah suatu serangan panik, dan
bahwa pikiran dan sensasi yang menakutkan akan segera berlalu.
Perhatikan waktu berlalunya dengan jam tangan anda. Rasanya
seperti lama walaupun hanya beberapa menit saja.
¾ Identifikasi rasa takut yang berlebihan yang timbul selama serangan
panik (misalnya takut akan serangan jantung).
¾ Diskusikan cara menghadapi rasa takut selama serangan panik ini,
misalnya mengingatkan diri sendiri: ”saya tidak mengalami serangan
jantung. Ini hanya serangan panik dan akan berlalu dalam beberapa
menit”.
¾ Kelompok tolong diri dapat membantu pasien mengatasi gejala dan rasa
takut.

Medikasi:
¾ Jika serangan sering dan berat atau pasien mengalami depresi, berikan
antidepresan (misalnya Imipramin 25 mg malam hari dan ditingkatkan
sampai 100-150 mg malam hari dalam 2 minggu). Bagi pasien dengan
serangan yang jarang dan terbatas, penggunaan medikasi antiansietas
jangka pendek bisa menolong (Lorazepam 0,5-1,0 mg 1 sampai 3 kali
sehari atau Alprazolam 0,25 – 1 mg 1 sampai 3 kali sehari).
Penggunaan yang terus menerus bisa menimbulkan ketergantungan
dan gejala panik akan timbul kembali bila dihentikan.
¾ Hindari pemeriksaan penunjang atau medikasi yang tidak perlu.

Konsultasi ke spesialis:
¾ Pertimbangkan konsultasi jika serangan berat masih berlanjut setelah
pengobatan di atas.
¾ Rujuk ke psikiater untuk psikoterapi, bagi pasien yang tidak membaik
dengan cara di atas.
¾ Umumnya panik menyebabkan gejala fisik. Hindari konsultasi medis
yang tidak perlu.

3.7.3. GANGGUAN ANSIETAS MENYELURUH (F41.1)

Keluhan:
¾ Mula-mula pasien memperlihatkan gejala fisik yang berkaitan dengan
ketegangan (misalnya sefalgia, jantung berdebar keras) atau dengan

35
DRAFT
insomnia. Anamnesis lebih lanjut akan menampilkan ciri khas ansietas
yang menonjol.

Pedoman diagnostik:
Selain ciri khas di atas terdapat pula:
¾ Ketegangan mental (cemas/bingung, rasa tegang atau gugup,
konsentrasi buruk).
¾ Ketegangan fisik (gelisah, sefalgia, tremor, tidak bisa santai).
¾ Pembangkitan gejala fisik (pusing, berkeringat, denyut jantung cepat
atau keras, mulut kering, nyeri perut).
Gejala bisa berlangsung berbulan-bulan dan sering muncul kembali. Sering
dicetuskan oleh peristiwa yang menegangkan pada mereka yang
cenderung khawatir secara kronik.

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa stres dan rasa
khawatir keduanya mempunyai efek fisik dan mental. Mempelajari
keterampilan untuk mengurangi efek stres (bukan medikasi sedatif)
merupakan pertolongan yang efektif.
¾ Mengenali, menghadapi dan menantang kekhawatiran yang berlebihan,
dapat mengurangi gejala ansietas, misalnya kekhawatiran yang
berlebihan muncul ketika anak gadisnya terlambat pulang 5 menit dari
sekolah, pasien mengkhawatirkan kemungkinan anaknya tersebut
mengalami kecelakaan.
¾ Diskusikan dengan pasien cara menghadapi kekhawatiran yang
berlebihan ini pada saat pemunculannya (misalnya, ketika pasien mulai
khawatir akan anaknya, ia dapat mengatakan kepada dirinya: “Saya
mulai terperangkap dalam kekhawatiran lagi. Anak saya hanya
terlambat beberapa menit saja dari sekolah dan segera akan tiba di
rumah. Saya tidak akan menelepon sekolahnya untuk mencari
informasi, kecuali ia terlambat 1 jam”).
¾ Dukung pasien untuk mempraktikkan metode relaksasi harian untuk
mengurangi gejala fisik dari ketegangan.
¾ Dorong pasien untuk mengikuti kegiatan dan latihan yang
menyenangkan, dan mengulangi kegiatan yang pernah menolong di
masa lalu.
¾ Latihan fisik yang teratur sering menolong.

Medikasi:
¾ Jika dengan konseling, gejala ansietas menetap, dapat diberikan
medikasi antiansietas (misalnya Diazepam 5 – 10 mg, malam hari) yang
digunakan tidak lebih dari 2 minggu. Penggunaan jangka panjang dapat
menimbulkan ketergantungan dan apabila dihentikan gejala cenderung
muncul kembali.
¾ Beta Bloker dapat menolong mengatasi gejala fisik.

36
DRAFT
¾ Bila terdapat juga gejala depresi, dapat diberi antidepresan (lihat
penggunaan obat antidepresan).

Konsultasi ke spesialis:
¾ Konsultasi spesialistik dilakukan jika ansietas berat berlangsung lebih
dari 3 bulan.

3.7.4. GANGGUAN CAMPURAN ANSIETAS DAN DEPRESI (F41.2)

Keluhan:
¾ Pasien memperlihatkan berbagai gejala ansietas dan depresi.
¾ Mula-mula mungkin ada satu atau lebih gejala fisik (misalnya kelelahan
dan rasa nyeri).
¾ Anamnesis lebih lanjut akan mengungkapkan perasaan depresi
dan/atau ansietas.

Pedoman diagnostik:
Suasana perasaan murung atau sedih.
¾ Kehilangan minat atau kesenangan.
¾ Ansietas dan kekhawatiran menonjol.
Gejala penyerta yang sering muncul adalah sebagai berikut:
¾ Gangguan tidur.
¾ Kelelahan atau kehilangan enersi.
¾ Gangguan berkonsentrasi.
¾ Gangguan nafsu makan.
¾ Mulut kering.
¾ Tegang dan gelisah.
¾ Tremor, palpitasi.
¾ Pusing.
¾ Pikiran atau tindakan bunuh diri.
¾ Libido menurun.

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa stres dan
kekhawatiran mempunyai banyak dampak terhadap fisik dan mental.
Problem ini bukan karena kelemahan atau kemalasan, tetapi
merupakan cara pasien mencoba untuk mengatasi stres tersebut.
¾ Upayakan agar pasien mempraktikkan metode relaksasi untuk
mengurangi gejala fisik dari ketegangan.
¾ Rencanakan aktivitas jangka pendek yang membuat pasien relaks,
menyenangkan atau menolong pasien membangkitkan rasa percaya
diri. Ulangi aktivitas yang menolong pasien di masa lalu.
¾ Jika ada gejala fisik, diskusikan hubungan antara gejala fisik dan distres
mental (lihat gangguan somatoform– F45)
37
DRAFT
¾ Metode pemecahan problem yang terstruktur bisa menolong pasien
mengatasi problem kehidupan atau stres yang menimbulkan gejala
ansietas.
• Temukan peristiwa yang mencetuskan kekhawatiran yang
berlebihan dan atasi dengan langkah-langkah praktis (misalnya
seorang wanita muda memperlihatkan kekhawatiran,
ketegangan, nausea dan insomnia. Gejala ini timbul sejak
anaknya didiagnosis mengidap asma. Ansietas memburuk ketika
anaknya mendapat serangan asma).
• Bicarakan apa yang akan dilakukan pasien untuk mengatasi
situasi tersebut.
• Kenali beberapa tindakan spesifik yang bisa dilakukan dalam
beberapa minggu mendatang, seperti:
ƒ Konsultasi dengan perawat/dokter/petugas kesehatan
untuk mempelajari perjalanan dan penanganan asma.
ƒ Diskusikan problem tersebut dengan orangtua lain dari
anak yang menderita asma.
ƒ Tulis rencana untuk mengatasi serangan asma.
¾ Tanyakan mengenai risiko bunuh diri. Apakah pasien sering memikirkan
tentang mati atau kematian. Adakah rencana spesifik untuk bunuh diri.
Pernahkah ia melakukan percobaan bunuh diri di masa lalu. Yakinkan
pasien bahwa ia tidak akan melaksanakan ide bunuh diri. Observasi
ketat oleh keluarga atau bila perlu rawat di rumah sakit.

Medikasi:
Pada kasus ringan:
¾ Medikasi merupakan komponen sekunder. Jika ditemukan gejala
depresi berat, dapat diberikan antidepresan (lihat Gangguan Depresif –
F32# untuk pedoman penggunaan antidepresan).

Konsultasi ke spesialis:
¾ Jika risiko bunuh diri berat atau bila perlu rawat di rumah sakit.
¾ Jika gejala tetap bertahan walaupun telah diterapi (rujuk ke
penatalaksanaan yang diberikan untuk Gangguan Depresif – F32# dan
Gangguan Ansietas Menyeluruh – F41.1).

3.7.5. GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF (F42)

Keluhan:
¾ Pasien mengeluh melakukan pekerjaan berulang-ulang dan tak kuasa
untuk mengendalikannya, walaupun mereka menyadari bahwa
pekerjaan itu tak ada gunanya.

38
DRAFT
Pedoman diagnostik:
¾ Obsesi adalah pikiran yang berulang-ulang yang tidak bisa dihindari
oleh pasien dan yang menimbulkan ansietas yang bermakna. Biasanya
pikiran tentang terkontaminasi dengan kuman, keraguan yang patologik,
kecemasan tentang gangguan somatik, impuls agresif atau seksual.
¾ Kompulsi adalah perilaku yang berulang-ulang yang tidak bisa dihindari,
untuk menetralisir atau mengurangi kecemasan akibat dari pikiran yang
obsesif tadi. Perilaku kompulsif yang biasa ditemukan adalah
memeriksa, mencuci, membersihkan, menghitung, menyuruh, bertanya
atau mengaku dosa berulang-ulang.
¾ Akan timbul ansietas apabila tidak melakukan perilaku yang berulang-
ulang tersebut.
¾ Menimbulkan dampak terhadap pekerjaan, pergaulan sosial dan
hubungan dalam keluarga.
¾ Gejala lain yang menyertai adalah rasa bersalah dan tak berdaya.

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa pikiran dan perilaku
yang berulang-ulang adalah gejala dari gangguan pasien dan bukan
dibuat-buat.
¾ Upayakan agar pasien melakukan metode relaksasi untuk mengurangi
gejala fisik dari ketegangan.
¾ Bila gejala ringan, dapat dilakukan terapi tingkah laku.

Medikasi:
¾ Untuk kasus yang lebih berat, dapat diberikan Clomipramine dengan
dosis 3 x 25-50 mg sehari atau Fluoxetine 1-2 x 10-20 mg sehari, mulai
dengan dosis kecil yang dinaikkan secara bertahap. Mungkin diperlukan
dosis yang lebih besar dibandingkan untuk gangguan depresi. Reaksi
klinik mungkin dicapai setelah pemberian 6 minggu atau lebih.

Konsultasi ke spesialis:
¾ Bila terdapat gangguan mental lainnya atau gejala pasien sangat berat
sehingga dia tak mampu bekerja atau melakukan kegiatan sehari-hari
atau bila timbul ide bunuh diri.
¾ Bila pasien membutuhkan psikoterapi.

3.7.6. GANGGUAN PENYESUAIAN (F43.2)

Keluhan:
¾ Pasien merasa tak berdaya, kewalahan atau tak mampu menyesuaikan
diri.
¾ Mungkin pula disertai gejala fisik yang berkaitan dengan stres seperti
insomnia, sakit kepala, nyeri perut, nyeri dada dan palpitasi.
39
DRAFT
Pedoman diagnostik:
¾ Merupakan reaksi akut terhadap peristiwa traumatik atau penuh stres
yang baru saja terjadi, atau preokupasi dengan peristiwa tersebut.
¾ Gejala mungkin secara primer bersifat somatik.
¾ Gejala lain meliputi:
- Suasana perasaan menurun atau sedih
- Ansietas
- Khawatir
- Merasa tak mampu menyesuaikan diri
¾ Reaksi akut biasanya berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa
minggu.
¾ Jika gejala yang menonjol bertahan lebih dari satu bulan,
pertimbangkan diagnosis lain yang sesuai.

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan pada pasien dan keluarga bahwa peristiwa stres sering
mempunyai efek mental dan fisik. Gejala yang berkaitan dengan stres
biasanya berlangsung hanya beberapa hari atau minggu.
¾ Dorong pasien untuk mengenali makna pribadi dari peristiwa tersebut.
¾ Lakukan pengkajian ulang dan perkuat langkah positif yang telah
diambil pasien untuk menghadapi stres tersebut.
¾ Identifikasi langkah yang bisa diambil pasien untuk memodifikasi
keadaan yang menimbulkan stres. Jika situasi tidak bisa diubah,
diskusikan strategi pemecahan problem.
¾ Identifikasi saudara, sahabat dan masyarakat yang mampu memberikan
dukungan.
¾ Istirahat jangka pendek dan menghindari stres, dapat membantu pasien.
¾ Dorong untuk kembali kepada kegiatan rutinnya dalam beberapa
minggu.

Medikasi:
¾ Kebanyakan reaksi stres akut akan teratasi tanpa menggunakan
medikasi. Namun bila gejala ansietas berat sekali, gunakan obat
antiansietas sampai 3 hari (misalnya Diazepam 3 x 2-5 mg sehari).
¾ Jika pasien mengalami insomnia berat, gunakan obat hipnotik sampai 3
hari (misalnya estazolam 1 mg setiap malam).

Konsultasi ke spesialis:
¾ Jika gejala berlangsung lebih dari 1 bulan, pertimbangkan untuk
merujuk.

40
DRAFT
3.7.7. GANGGUAN SOMATOFORM (F45)

Keluhan:
¾ Dapat timbul gejala fisik apa saja. Gejala bisa sangat bervariasi dan
dipengaruhi oleh latar belakang budaya.
¾ Keluhan mungkin tunggal atau multipel, dan bisa berubah dari waktu ke
waktu.

Pedoman diagnostik:
¾ Terdapat berbagai macam keluhan dan/atau gejala fisik yang tidak
dapat dijelaskan (diperlukan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
yang lengkap untuk menetapkan gangguan ini).
¾ Pasien datang berulang kali walaupun hasil pemeriksaan tidak
menunjukkan kelainan.
¾ Beberapa pasien mungkin hanya mengeluh dan ingin bebas dari
keluhan atau gejala fisiknya saja. Ada pula pasien yang mungkin
khawatir bahwa dirinya menderita suatu penyakit fisik dan mereka tidak
percaya bahwa tidak ditemukan kelainan fisik.
¾ Biasanya disertai gejala depresi dan ansietas.
¾ Jika ada keyakinan yang aneh (misalnya organ tubuhnya membusuk),
lihat Gangguan Psikotik Akut.

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa stres sering dapat
menimbulkan gejala fisik. Keluhan pasien adalah nyata, bukan bohong
atau rekayasa.
¾ Tanyakan tentang keyakinan pasien (apa yang menyebabkan gejala)
dan ketakutannya (apa yang ia takutkan akan terjadi).
¾ Yakinkan pasien (misalnya nyeri perut tidak berarti kanker). Sarankan
pasien untuk tidak memusatkan perhatian terhadap kekhawatiran
tentang penyakit.
¾ Diskusikan stres emosional yang ada ketika gejala mulai timbul.
¾ Metode relaksasi dapat membantu mengurangi gejala yang berkaitan
dengan ketegangan (nyeri kepala, nyeri tengkuk atau punggung).
¾ Dorong pasien untuk berolah raga dan aktivitas yang menyenangkan.
¾ Dorong pasien untuk kembali ke kegiatan sehari-hari walaupun
gejalanya belum hilang semua.
¾ Untuk pasien dengan keluhan yang lebih kronik, pertemuan yang
dijadwalkan secara teratur dapat mencegah kunjungan mendesak yang
lebih sering.

Medikasi:
¾ Hindari pemeriksaan diagnostik yang tidak perlu atau pemberian obat
baru untuk setiap gejala baru.

41
DRAFT
¾ Antidepresan (misalnya Imipramin, SSRI) dapat menolong pada
beberapa kasus (misalnya nyeri kepala, ”irritable bowel syndrome”,
”atypical chest pain”).

Konsultasi ke spesialis:
¾ Paling baik pasien tetap ditangani di pelayanan kesehatan dasar atau
dirujuk ke psikiater (bukan ahli lain) untuk mendapatkan psikoterapi,
walaupun pasien mungkin tidak senang dengan rujukan psikiatrik dan
mencari konsultasi medik tambahan ke mana saja.

3.8. GANGGUAN SEKSUAL PADA LAKI-LAKI (F52)

Keluhan:
Pasien pada umumnya enggan membicarakan problem seksual. Mereka
biasanya mengeluh adanya gejala fisik, suasana perasaan murung atau
problem perkawinan.

Pedoman diagnostik:
Gangguan seksual yang lazim terdapat pada laki-laki adalah:
¾ Ketidakmampuan untuk ereksi atau impotensi (tidak bisa ereksi atau
ereksi berakhir sebelum tercapainya hubungan seksual yang
memuaskan).
¾ Ejakulasi dini (ejakulasi terjadi sebelum tercapainya hubungan seksual
yang memuaskan).
¾ Tidak mampu mencapai orgasme atau ejakulasi yang tertunda
(ejakulasi tertunda lama atau malahan tidak terjadi ejakulasi, bahkan
baru terjadi setelah yang bersangkutan tidur).
¾ Gairah seksual yang rendah (biasanya baru dirasakan sebagai suatu
problem apabila pasangan tersebut menginginkan anak atau jika
pasangan wanitanya mempunyai gairah seksual yang lebih tinggi).
¾ Hal lain yang berpengaruh pada problem seksual adalah: gangguan
depresif, gangguan anxietas, problem hubungan perkawinan, gangguan
fisik (misalnya diabetes, hipertensi, sklerosis multipel, penggunaan
alkohol, tembakau dan medikasi tertentu).

Penatalaksanaan:
Gangguan ereksi (ketidakmampuan/kegagalan respon genital,
impotensi):
¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa gangguan ereksi
mempunyai banyak kemungkinan penyebab. Biasanya merupakan
respon yang temporer terhadap stres atau kehilangan rasa percaya diri.
Gangguan ini dapat diobati, khususnya jika masih mampu bereaksi
pada pagi hari.

42
DRAFT
¾ Sarankan pasien dan pasangannya untuk tidak melakukan hubungan
seksual selama 1 atau 2 minggu. Dorong mereka untuk melakukan
kontak fisik yang menyenangkan tanpa sanggama pada saat itu dan
secara bertahap kembali melakukan sanggama.
¾ Informasikan kepada mereka kemungkinan pengobatan secara fisik
dengan menggunakan cincin penis, peralatan vakum dan suntikan
intrakavernosa.

Ejakulasi dini:
¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa pengendalian
ejakulasi adalah mungkin dan bisa meningkatkan kepuasan seksual
bagi kedua pasangan.
¾ Yakinkan pasien bahwa ejakulasi dapat ditunda dengan mempelajari
pendekatan baru, yaitu teknik memencet (squeeze technique), atau
teknik berhenti-mulai (stop-start technique).
¾ Menunda ejakulasi dapat juga dilakukan dengan pemberian
Klomipramin atau SSRI (misalnya Fluoxetin).

Ketidakmampuan mencapai orgasme:


¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa keadaan ini
merupakan problem yang lebih sulit diatasi/diobati. Meskipun demikian
bila ejakulasi dapat dilakukan dengan cara lain selain melalui sanggama
(misalnya masturbasi), maka prognosis akan lebih baik.
¾ Anjurkan latihan seperti stimulasi pada penis dengan menggunakan
minyak. Untuk program kesuburan, pertimbangkan inseminasi buatan
dengan sperma suami.

Gairah seksual yang rendah:


¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa gairah seksual
yang rendah mempunyai banyak penyebab, termasuk kekurangan
hormon, penyakit fisik atau psikiatrik, stres dan problem hubungan antar
manusia.
¾ Anjurkan untuk melakukan relaksasi, mengurangi stres, komunikasi
secara terbuka, sikap asertif yang sesuai, dan kerja sama antara
pasangan.

Konsultasi ke spesialis:
Pertimbangkan untuk konsultasi, jika problem seksual berlangsung selama
lebih dari 3 bulan, walaupun segala upaya di atas telah dilakukan.

43
DRAFT
GANGGUAN SEKSUAL PADA WANITA (F52)

Keluhan:
Pasien pada umumnya enggan membicarakan problem seksual. Mereka
biasanya mengeluh justru keluhan fisik, suasana perasaan depresi, atau
problem perkawinan.

Pedoman diagnostik:
Gangguan seksual yang lazim pada wanita adalah:
¾ Gairah seksual yang rendah (biasanya baru menjadi problem jika
pasangan ini ingin punya anak, atau pasangan prianya mempunyai
kebutuhan seksual yang lebih besar).
¾ Vaginismus atau kontraksi otot vagina pada saat penetrasi (sering
dijumpai pada perkawinan yang tidak bahagia/memuaskan secara
seksual).
¾ Dispareunia (rasa nyeri pada vagina atau daerah pelvis pada saat
sanggama).
¾ Anorgasmia (tidak pernah mengalami orgasme atau klimaks).
¾ Problem dalam hubungan perkawinan, sering kali berpengaruh terhadap
hubungan seksual, terutama dalam hal gairah.
¾ Dispareunia juga disebabkan oleh infeksi vagina, infeksi pelvis dan lesi
pelvis lainnya (tumor atau kista).

Penatalaksanaan:

Gairah seksual rendah:


¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa gairah seksual
yang rendah mempunyai banyak penyebab, termasuk problem
perkawinan, trauma yang pernah dialami sebelumnya, penyakit fisik
maupun psikiatrik serta stres. Biasanya bersifat sementara.
¾ Bicarakan dengan pasien mengenai pendapatnya tentang hubungan
seksual.
¾ Tanyakan mengenai pengalaman seksual yang traumatik, dan sikap
negatif terhadap seks.
¾ Temui pasangan secara bersama untuk mencoba menurunkan harapan
suami, khususnya yang berkaitan dengan masalah seksual.
¾ Sarankan untuk merencanakan suatu aktivitas seksual pada hari
tertentu.

Vaginismus:
¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa vaginismus
adalah suatu bentuk spasme otot yang dapat diatasi dengan latihan
relaksasi. Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan
dalam (vagina).

44
DRAFT
¾ Sarankan latihan yang melibatkan suami dan pasien untuk mengetahui
titik-titik sensitif (zona erogenik) yang menimbulkan gairah seksual,
kemudian gunakan jari yang dimasukkan ke dalam vagina, agar liang
vagina melebar, yang disertai dengan relaksasi.

Dispareunia:
¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa ada banyak
faktor penyebab fisik, tetapi pada beberapa kasus tidak adanya
lubrikasi, dan ketegangan otot adalah faktor/penyebab utama.
¾ Relaksasi, permainan pendahuluan yang lebih lama dan penetrasi penis
secara hati-hati dapat mengatasi problem psikogenik.
¾ Disarankan merujuk ke ahli kandungan, jika upaya di atas tidak berhasil.

Anorgasmia:
¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa banyak wanita
yang tidak mampu mencapai orgasme pada saat sanggama, tetapi
dapat mencapainya melalui stimulasi klitoris dan hal tersebut
sebenarnya tidak berbeda dengan orgasme vaginal.
¾ Diskusikan sikap dan pendapat pasien.
¾ Dorong pasien untuk melakukan eksplorasi sendiri secara manual
(misalnya stimulasi pada alat kelamin/kemaluan).
¾ Bantu pasangan untuk berkomunikasi secara terbuka dan menurunkan
setiap harapan yang tidak realistik.

Konsultasi ke spesialis:
Jika problem seksual berlangsung lebih lama dari 3 bulan, walaupun segala
upaya di atas telah dilakukan.

3.9. RETARDASI MENTAL (F70)

Keluhan:
Pada anak:
¾ Kelambatan perkembangan: berjalan, berbicara, buang air kecil, buang
air besar.
¾ Kesulitan dalam menyelesaikan tugas sekolah sesuai dengan
kemampuan anak lain yang sebaya.
¾ Anak mengalami kesulitan belajar.
¾ Dapat juga disertai problem tingkah laku.

Pada remaja:
¾ Kesulitan bergaul dengan sebaya.
¾ Kadang-kadang disertai perilaku seksual yang tidak sesuai.

Pada dewasa:
45
DRAFT
¾ Kesulitan dalam melaksanakan tugas sehari-hari: misalnya memasak,
membersihkan rumah.
¾ Problem yang berkaitan dengan perkembangan kematangan sosial:
menikah, mencari pekerjaan, mengasuh anak.

Pedoman diagnostik:
¾ Perkembangan mental lambat atau tidak sempurna, yang timbul
sebelum usia 18 tahun dan mengakibatkan kesulitan belajar dan
problem penyesuaian sosial.
¾ Tingkat keparahan retardasi mental:
- Retardasi mental berat: pada umumnya telah dapat diketahui
sebelum usia 2 tahun, segala sesuatunya masih perlu dibantu,
kemampuannya hanya berbicara sederhana.
- Retardasi mental sedang: biasanya dapat diketahui pada usia 3-5
tahun, anak mampu menyelesaikan pekerjaan sederhana dengan
pengawasan, masih memerlukan bimbingan atau pengawasan
dalam melakukan tugas sehari-hari.
- Retardasi mental ringan: biasanya dapat diketahui pada waktu usia
sekolah, keterbatasan dalam menyelesaikan tugas sekolah, namun
mampu untuk hidup mandiri dan menyelesaikan pekerjaan
sederhana.
¾ Kondisi malnutrisi dan penyakit kronik dapat mengakibatkan kelambatan
perkembangan. Sebagian besar dari penyebab retardasi mental, tidak
bisa diobati. Penyebab retardasi mental yang lebih sering bisa diobati
adalah hipotiroidisme, keracunan timbal dan beberapa gangguan
metabolisme bawaan (misalnya fenilketonuria).

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan kepada keluarga bahwa pelatihan yang diberikan sedini
mungkin dapat membantu individu untuk menuju kemandirian dan
mampu bantu diri. Anak dengan retardasi mental, mampu menjalin
hubungan kasih sayang.
¾ Usahakan agar keluarga memberikan pujian. Beri kesempatan kepada
pasien untuk mencapai fungsi kehidupannya yang tertinggi dalam
kemampuannya belajar di sekolah, bekerja dan berkeluarga.
¾ Berikan dukungan dan simpati kepada keluarga karena mereka
merasakan beban yang sangat berat dalam merawat anak retardasi
mental.
¾ Sarankan kepada keluarga bahwa pelatihan akan sangat membantu
anak, namun kesembuhan tidak pernah terjadi.

Medikasi:
¾ Tidak ada pengobatan yang dapat meningkatkan fungsi mental, kecuali
pada kasus fisik tertentu atau gangguan psikiatrik.

46
DRAFT
¾ Retardasi mental dapat terjadi bersama dengan gangguan lainnya yang
memerlukan pengobatan medis (misalnya kejang, gangguan psikiatrik
dengan spastisitas seperti pada depresi).

Konsultasi ke spesialis:
¾ Pada waktu pertama kali mengetahui adanya retardasi mental,
pertimbangkan untuk merujuk kepada spesialis yang dapat membantu
membuat perencanaan pelatihan dan pendidikan.

3.10. GANGGUAN KESEHATAN JIWA ANAK DAN


REMAJA

3.10.1. GANGGUAN PERKEMBANGAN PERVASIF (F84)


(AUTISME PADA MASA KANAK)

Keluhan:
Pasien mungkin dibawa oleh keluarga karena perilaku anak aneh dan tidak
mau berinteraksi dengan orang lain.

Pedoman diagnostik:
Paling sedikit ada 3 hal dari yang berikut ini:
¾ Kecemasan yang mendadak dan berlebihan, tidak dapat ditenangkan
atau dihibur, bereaksi secara dahsyat terhadap peristiwa yang biasa
terjadi.
¾ Afek terbatas atau tidak wajar.
¾ Menolak perubahan lingkungan, atau selalu memaksa untuk
mengerjakan hal yang sama dengan cara yang sama setiap saat.
¾ Gerakan motorik janggal.
¾ Cara bicara tidak normal.
¾ Sulit kontak mata.
¾ Hiper/hiposensitif terhadap rangsang sensorik.
¾ Mutilasi diri: membenturkan kepala ke lantai/dinding, memukul diri
sendiri, menggigit diri sendiri.
¾ Keadaan ini sudah bisa dilihat sebelum usia 3 tahun.

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan kepada keluarga tentang diagnosis dan bahwa perilaku
anak tersebut akibat dari gangguan biologis di otak yang menyebabkan
kegagalan berkomunikasi dan keterampilan sosial (anak hidup dalam
dunianya sendiri).
¾ Minta orangtua agar melakukan diet bebas gluten (terigu) dan bebas
casein (susu sapi) serta mempraktikkan terapi perilaku setiap saat di
rumah dalam pengasuhan sehari-hari.
47
DRAFT
¾ Lakukan terapi perilaku agar pasien dapat berkontak mata dengan
pengasuh (untuk menarik anak keluar dari dunianya sendiri).
¾ Apabila terdapat perilaku agresif, hipersensitif dan stereotipik, dapat
diberikan antipsikotik dosis rendah (misalnya Risperidone 3 x 0,5 mg
sehari).

Konsultasi ke spesialis:
¾ Apabila memungkinkan segera berkonsultasi dengan psikiater dan
terapis perilaku.

3.10.2. GANGGUAN HIPERKINETIK DAN GANGGUAN


PEMUSATAN PERHATIAN (F90)

Keluhan:
¾ Pasien:
ƒ Tidak dapat duduk diam
ƒ Selalu bergerak.
ƒ Tidak dapat menunggu giliran.
ƒ Tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan orang lain.
ƒ Konsentrasi buruk.
¾ Beberapa anak yang lebih muda sering mengalami kegagalan dalam
menyelesaikan tugas sekolah.

Pedoman diagnostik:
¾ Sangat sulit memusatkan perhatian dalam waktu yang lama
(konsentrasi hanya sesaat, sering berganti-ganti aktivitas).
¾ Tidak bisa duduk diam, tubuh selalu bergerak secara abnormal (sering
terlihat di kelas atau saat makan).
¾ Impulsif (tidak sabar menunggu, atau bertindak tanpa berpikir).
¾ Kadang-kadang sulit didisiplinkan, prestasi di sekolah rendah,
cenderung mengalami kecelakaan.
¾ Kondisi tersebut terjadi pada hampir semua situasi (di rumah, sekolah
dan pada waktu bermain).
¾ Hindari membuat diagnosis terlalu awal. Aktivitas fisik yang sangat
berlebihan belum tentu abnormal.
¾ Perlu dipertimbangkan adanya gangguan fisik spesifik (epilepsi, sindrom
alkohol fetal, penyakit kelenjar tiroid), gangguan jiwa (autisme,
gangguan emosi menyeluruh).
¾ Tingkah laku hiperkinetik dapat menyebabkan atau disebabkan oleh
terjadinya problem orangtua dan anak. Penting dilakukan pemeriksaan
hubungan dalam keluarga.

48
DRAFT
Penatalaksanaan:
¾ Informasikan kepada keluarga bahwa perilaku hiperkinetik bukan
kesalahan anak. Hal ini disebabkan karena kegagalan anak
memusatkan perhatian dan pengendalian diri yang bersifat bawaan.
Hasil pengobatan menjadi lebih baik, bila orangtua dapat bersikap
tenang dan menerima keadaan ini. Anak hiperaktif sangat
membutuhkan bantuan untuk dapat bersikap tenang dan mampu
memusatkan perhatian. Beberapa anak dapat berlanjut mengalami
kesulitan sampai usia dewasa, namun kebanyakan dapat menyesuaikan
diri dengan lebih baik dengan bertambahnya usia.
¾ Dorong orangtua untuk memberikan umpan balik positif atau
penghargaan ketika anak mampu memusatkan perhatian dengan baik.
¾ Hindari pemberian hukuman, namun perlu menegakkan disiplin
sesegera mungkin agar lebih efektif.
¾ Anjurkan orangtua untuk membicarakan masalah anak bersama dengan
guru (jelaskan bahwa proses perbaikan anak tersebut tidak dapat
berlangsung dengan cepat, pemberian pujian akan dapat meningkatkan
kemampuan konsentrasi anak).
¾ Tekankan perlunya pengurangan hal yang mengganggu konsentrasi
anak (misalnya anak didudukkan di urutan paling depan di kelas).
¾ Aktivitas fisik dan olahraga dapat membantu untuk menyalurkan enersi
yang berlebihan.
¾ Dorong orangtua untuk membawa anaknya berkonsultasi ke konselor di
sekolah (bila ada).

Medikasi:
Untuk kasus yang berat, perlu diberikan psikostimulansia untuk
memperbaiki konsentrasi dan mengurangi aktivitas yang berlebihan
(misalnya Metilfenidat 15-45 mg/hari dibagi dalam 2 dosis: pagi dan siang).
Jika ada “tics” dapat diberikan Klonidin 25 – 50 mg/hari.

Konsultasi ke spesialis:
¾ Bila memungkinkan pertimbangkan konsultasi ke psikiater sebelum
memberikan obat, atau jika tidak ada perbaikan setelah cara tersebut di
atas.
¾ Jika tersedia, rujuk anak kepada terapis perilaku untuk memperbaiki
perhatian dan pengendalian diri.

3.10.3. GANGGUAN TINGKAH LAKU (F91#)

Keluhan:
¾ Tingkah laku melawan atau menentang, melanggar hak asasi orang
lain, atau melanggar peraturan atau norma yang berlaku.

49
DRAFT
¾ Para guru dan orangtua merasa kesulitan dan memerlukan bantuan
untuk menangani tingkah laku tersebut.

Pedoman diagnostik:
¾ Adanya pola tingkah laku agresif berulang dan menetap seperti:
berkelahi, tindak kekerasan, berbohong, mencuri, brutal, suka kabur
(melarikan diri) dari rumah, membual.
¾ Penetapan gangguan tingkah laku ini harus disesuaikan dengan umur
dan norma budaya setempat.
¾ Gangguan tingkah laku dapat berkaitan dengan adanya stres, baik di
rumah maupun di sekolah.
¾ Gangguan tingkah laku mungkin terjadi bersamaan dengan gejala
aktivitas yang berlebihan dan gangguan pemusatan perhatian yang
menonjol. Lihat gangguan hiperkinetik.

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan pada keluarga bahwa disiplin yang efektif harus jelas dan
dilaksanakan secara konsisten, namun tidak melukai perasaan anak
(tidak kasar). Hindari pemberian hukuman. Lebih baik memberi pujian
untuk perilaku yang positif.
¾ Tanyakan tentang alasan tingkah laku pasien yang menentang. Sedapat
mungkin usahakan untuk mengubah kondisi lingkungan anak menjadi
lebih baik.
¾ Dorong orangtua untuk memberikan umpan balik positif dan pujian
terhadap perilaku anak yang baik.
¾ Dorong orangtua untuk menerapkan disiplin secara konsisten. Buat
peraturan yang jelas dan batasan yang tegas tentang tingkah laku yang
buruk, serta memberitahukan kepada anak konsekuensi yang harus
ditanggungnya apabila ia melanggar peraturan tersebut. Orangtua harus
segera melaksanakan konsekuensi tersebut dan tidak boleh ditunda.
¾ Sarankan kepada orangtua untuk membicarakan cara mendisiplinkan
anak tersebut bersama dengan guru.
¾ Anggota keluarga, teman dan lingkungan dapat mendukung para
orangtua dalam melaksanakan disiplin secara konsisten.

Medikasi:
¾ Tidak ada medikasi atau pengobatan fisik untuk gangguan tingkah laku.
¾ Apabila gangguan tingkah laku akibat dari gangguan hiperkinetik, maka
kondisi ini dapat diobati.

Konsultasi ke spesialis:
¾ Pertimbangkan untuk merujuk pasien ke psikiater, apabila problem
tingkah laku tidak teratasi dengan cara tersebut di atas.

50
DRAFT
3.10.4. ENURESIS FUNGSIONAL (F98.8)

Keluhan:
¾ Mengompol di celana atau di tempat tidur secara berulang minimal 2 x
sebulan pada anak usia 5 tahun dan 1 x sebulan pada anak usia 6
tahun atau lebih.

Pedoman diagnostik:
¾ Terlambatnya kemampuan untuk mengendalikan buang air kecil
(catatan: mengompol pada anak usia kurang dari 5 tahun adalah
normal).

Buang air kecil:


¾ Biasanya involunter, walau kadang-kadang disengaja.
¾ Mengompol mungkin berlangsung sejak lahir atau didapat kemudian
setelah adanya periode tidak mengompol.
¾ Kadang-kadang terjadi bersamaan dengan gangguan emosional yang
lebih umum atau gangguan perilaku.
¾ Mungkin dimulai setelah kejadian traumatik atau menegangkan.
¾ Umumnya enuresis tidak disebabkan oleh gangguan fisik (enuresis
primer).

Penatalaksanaan:
¾ Lakukan pemeriksaan fisik yang teliti untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya gangguan fisik yang dapat menyebabkan mengompol (misalnya
gangguan neurologik “spina bivida”, pemberian obat diuretik atau
diabetes, gangguan kejang, struktur traktus urinarius yang abnormal,
infeksi traktus urinarius akut). Pemeriksaan meliputi pemeriksaan urine.
Jika buang air kecil sewaktu terjaga adalah normal dan hanya enuresis
yang menjadi problem, maka pemeriksaan fisik lebih lanjut tidak
diperlukan.
¾ Informasikan kepada keluarga bahwa mengompol tidak disengaja oleh
anak dan umumnya terjadi pada saat anak tidur. Hukuman dan omelan,
tidak akan menolong dan bahkan membuat anak bertambah stres.
¾ Libatkan anak dalam terapi. Bila memungkinkan anak harus
bertanggung jawab terhadap problem dan penanganannya (misalnya
mengganti baju atau sprei yang basah kena ompol).
¾ Anak disuruh mencatat di almanak saat dia tidak mengompol, beri
hadiah pujian dan dorong agar anak lebih berhasil.
¾ Tenangkan dan temani bila anak takut ke kamar mandi.
¾ Latih untuk meningkatkan pengendalian kandung kencing pada saat
bangun (misalnya menahan keinginan untuk kencing secara bertahap
yang semakin hari semakin lama. Latih untuk menghentikan kencing
pada saat setengah jalan).

51
DRAFT
Medikasi:
¾ Jika anak sangat dibutuhkan untuk tidak mengompol, dapat diberikan
Imipramin 25-50 mg 2 jam sebelum tidur.

Konsultasi ke spesialis:
Pertimbangkan konsultasi ke psikiater/psikolog atau ahli lain bila:
¾ Mengompol berkaitan dengan konflik keluarga yang berat atau adanya
gangguan emosional yang lebih berat.
¾ Pada kasus infeksi saluran kencing, ada inkontinensia yang menetap
pada siang hari atau adanya aliran kencing yang abnormal
¾ Tetap mengompol pada usia 10 tahun.

3.11. EPILEPSI (G40)

Keluhan:
¾ Kehilangan kesadaran atau perubahan kesadaran yang berulang kali.
¾ Bisa disertai kejang umum (dengan mulut berbusa dan mengompol)
atau dengan kejang fokal (sebagian tubuh saja) atau tanpa kejang sama
sekali melainkan seperti orang bengong saja.
¾ Kadang-kadang sebelum datang serangan terdapat gangguan persepsi
pancaindera seperti halusinasi (aura).

Pedoman Diagnostik:
¾ Serangan berulang atau episodik
¾ kejang umum, kejang fokal atau tanpa kejang,
¾ dengan kesadaran menurun atau kesadaran berubah
¾ bisa disertai aura
¾ bisa disertai dengan gejala fisik atau psikis

Jenis-jenisnya:
1. Epilepsi Grand mal: kejang umum, mulut berbusa, bisa ngompol
2. Epilepsi Petit-mal: Perubahan kesadaran sesaat (bengong)
3. Epilepsi fokal motor: kejang fokal pada otot
4. Epilepsi ekivalen (contoh sakit perut yang berulang)
5. Epilepsi Psikomotor: perubahan kesadaran disertai dengan gerakan
automatisme (seperti keluyuran, gerakan mengunyah berulang)

Penatalaksanaan:
¾ Informasikan kepada keluarga bahwa serangan ini dapat dicegah
dengan pengobatan yang teratur.
¾ Hindari tempat-tempat yang dapat membahayakan penderita seperti
dekat air, dekat api atau mesin yang berjalan atau sinar yang kelap-
kelip.
¾ Sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor.
52
DRAFT
¾ Epilepsi Grandmal: pada waktu serangan, kendorkan pakaiannya,
baringkan di tempat yang aman dan nyaman, miringkan kepalanya agar
busa dari mulutnya dapat keluar dengan mudah, sehingga tidak
menutup jalan napasnya. Pada saat kejang jangan memasukkan benda
keras ke dalam mulut atau berusaha menekan sendi untuk
menghentikan kejangnya. Biarkan sampai ia tersadar dengan
sendirinya, setelah itu berikan obat antiepilepsi seperti Fenobarbital
3X50-100 mg. Setelah 1 bulan bebas kejang, turunkan dosis secara
bertahap.

Medikasi:
¾ Epilepsi Grandmal: Fenobarbital 3 X 50-100 mg.
¾ Epilepsi Petit-mal: berikan obat seperti Asam Valproat (Depakot 3 X 1
tablet).
¾ Epilepsi Fokal motor: Clonazepam (Rivotril) 3X10 mg.
¾ Epilepsi Ekivalen: Depakot 3 X 1 tablet.
¾ Epilepsi Psikomotor: Karbamazepin 3 X 200 mg.

Konsultasi ke spesialis:
¾ Kasus-kasus yang tidak dapat diatasi dengan medikasi di atas,
sebaiknya dirujuk ke RS terdekat.

53
DRAFT
BAB IV
PEDOMAN PEMBERIAN PSIKOTROPIKA

4.1. ANTIPSIKOTIK
Antipsikotik digunakan untuk mengatasi gejala psikotik (misalnya gaduh
gelisah, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, proses pikir kacau).

Pasien psikotik yang agitatif, mengancam dan cenderung merusak dirinya


atau orang lain (biasanya pasien skizofrenia, maniakal atau penyalahgunaan
NAPZA) membutuhkan terapi yang efektif, aman dan mempunyai efek yang
cepat (segera). Biasanya dilakukan tranquilisasi cepat atau rapid
tranquilisation (RT), yaitu pemberian sejumlah antipsikotik dengan interval
waktu yang pendek untuk segera mengatasi keadaannya. Obat diberikan
secara parenteral, umumnya IM.

4.1.1. Prinsip umum tranquilisasi cepat


a. Telusuri riwayat penggunaan obat sebelumnya dan bila mungkin,
lakukan pemeriksaan fisik terlebih dulu. Hati-hati menggunakan
antipsikotik parenteral pada pasien dengan gangguan jantung dan usia
lanjut.
b. Dianjurkan menggunakan antipsikotik potensi tinggi, misalnya
Haloperidol IM.
c. Jangan menggunakan antikolinergik sebelum timbul efek samping
parkinsonisme, karena akan mengurangi efektivitas antipsikotik.
d. Awasi tekanan darah dan suhu tubuh, terutama pada awal penyuntikan.
e. Dapat dilakukan di rumah pasien dengan cara yang sangat hati-hati.
f. Untuk mengurangi terjadinya hipotensi akut, maka sebaiknya pasien
tetap berbaring setelah disuntik dan bila perlu difiksasi.
g. Pada pasien epilepsi yang tak diobati, sering terjadi kejang setelah
diberi antipsikotik.
h. Bila keadaan darurat sudah teratasi, segera dialihkan ke pemberian oral.

4.1.2. Pemilihan obat tranquilisasi cepat:


¾ Chlorpromazine 25 – 50 mg diberikan IM yang dalam, setiap 6 – 8 jam
sampai keadaan akut teratasi, kemudian segera ganti dengan obat per
oral. Untuk usia lanjut 25 mg setiap 8 jam.
¾ Haloperidol 5 mg IM, dapat diulangi 5 mg lagi setelah 6 jam.
¾ Kombinasi Haloperidol 5 mg, kemudian Diazepam 10 mg IM dengan
interval waktu 1 – 2 menit. Dengan kombinasi ini jarang dibutuhkan
suntikan kedua.

54
DRAFT
4.1.3. Antipsikotik oral yang ada di Indonesia:

4.1.3.1. Antipsikotik tipikal:


Efek: Antipsikotik tipikal adalah antipsikotik generasi pertama yang
memperbaiki gejala positif dari skizofrenia (gaduh gelisah, halusinasi,
waham, gangguan proses pikir), namun umumnya tidak memperbaiki
gejala negatif (afek atau suasana alam perasaan yang mendatar, menarik
diri dan apati atau tidak ada keinginan untuk berbuat).

Tabel 4-1. Gambaran obat antipsikotik oral tipikal

Jenis Dosis Dosis Efek Ekstra Anti Hipotensi


antipsikotik ekivalen mg/ hari sedasi piramidal kolinergik ortostatik
(mg)
Klorpromazin 100 200-800 +++ ++ ++ +++
(CPZ, Largactil,
Promactil)
Thioridazin 100 150-800 +++ + +++ +++
(Meleril)
Flufenazin 5 5-15 + +++ + +
(Anatensol)
Perfenazin 8 8-24 + +++ + +
(Trilafon)
Trifluoperazin 5 5-30 + +++ + +
(Stelazin, Trizin)
Haloperidol 2 2-20 + +++ + +
(Haldol,
Serenace,
Lodomer)

Interaksi dengan obat lain


Interaksi dengan obat lain dapat memperkuat atau melemahkan efek
antipsikotik tipikal.

55
DRAFT

Tabel 4-2. Interaksi antipsikotik tipikal dengan obat lain.

Interaksi dengan Efek interaksi


obat
Alkohol, CNS ↑ CNS depresan, ↑ ekstra piramidal
depresan
Aluminium yang ↓ Absorbsi di usus: ↓ efektivitas, berikan dengan
terdapat dalam interval waktu 1-2 jam
antasida
Antikolinergik ↓ Efektivitas antipsikotik, ↑ efek samping antikolinergik
Barbiturat ↑ Metabolisme antipsikotik: ↓ level dan efektivitas
antipsikotik dan ↓ barbiturat

Karbamazepin ↓ Level Haloperidol: ↓ efektivitas


Fluvoxamin ↓ metabolisme Haloperidol: ↑ level Haloperidol, gejala
ekstrapiramidal berat pernah dilaporkan
Lithium CPZ atau Haloperidol dapat ↑ disorientasi,
neurotoksisitas, dan ekstrapiramidal
Phenytoin ↑ Atau ↓ level Phenytoin, ↓ level Haloperidol
TCA (antidepresan CPZ atau Haloperidol dapat ↑ level TCA dan TCA juga
trisiklik) dapat ↑ level antipsikotik
Asam Valproat CPZ dapat ↑ level Asam Valproat
Propanolol ↑ level Propanolol dan CPZ dan dapat menyebabkan
hipotensi
Bromokriptin CPZ ↓ efektivitas Bromokriptin

Berhati-hati memberikan suntikan antipsikotik tipikal pada pasien jantung,


penyakit Parkinson, glaukoma, epilepsi, kanker payudara, gagal ginjal,
penyakit liver dan pasien dengan panas tinggi serta pasien hamil dan
menyusui.

Penderita depresi psikotik, membutuhkan pengobatan kombinasi antipsikotik


dengan antidepresan.

Gejala overdosis biasanya tampil dalam bentuk depresi CNS (somnolen,


tidur yang dalam, atau koma) dan hipotensi. Gejala overdosis dapat pula
tampil dalam bentuk agitasi/gelisah, konvulsi, panas tinggi, perubahan ECG
atau gejala extra piramidal. Bila terjadi overdosis obat distop dan sebaiknya

56
DRAFT
pasien dirawat di rumah sakit untuk memudahkan mendapat pemeriksaan
penunjang.

Pemberian dosis
• Dosis efektif sangat bervariasi dan dapat dilihat pada tabel 1.
• Gunakan dosis efektif yang terendah dan tingkatkan dosis secara
perlahan setiap minggu sampai ditemukan dosis efektif untuk
menghilangkan gejala psikotik. Biasanya membutuhkan waktu selama
6 minggu atau lebih untuk mendapatkan efek klinis yang optimal.
• Lanjutkan pemberian antipsikotik sekurang-kurangnya 3 bulan
sesudah gejala hilang. Bagi pasien kronis dibutuhkan pemberian
antipsikotik jangka panjang bahkan seumur hidup dengan dosis
minimal untuk mencegah kambuh. Pada pasien psikotik organik
pemberian obat dapat dihentikan bila gejala psikotik sudah hilang.
• Gunakan dosis terbagi dalam 2 – 3 kali sehari, untuk dosis
pemeliharaan dapat diberikan dosis tunggal.
• Obat antiansietas juga bisa digunakan bersama dengan antipsikotik
untuk mengendalikan agitasi akut (misalnya lorazepam 1-2 mg sampai
3 X sehari).
• Pada pasien usia lanjut, gunakan dosis 1/4 - 1/3 dosis dewasa.
• Kadang-kadang perlu memeriksa kadar obat dalam darah untuk
mengetahui kepatuhan makan obat, menghindari toksisitas dan
interaksi obat dengan obat lain (bila tersedia fasilitas).
• Monitor efek samping antipsikotik;
Distonia atau spasme akut dapat ditanggulangi dengan suntikan
Diazepam 10 mg atau obat antiparkinson (misalnya Diazepam
atau Difenhidramin atau Sulfas Atropin).
Akatisia (kegelisahan motorik berat), bisa ditanggulangi dengan
pengurangan dosis atau pemberian Beta blocker 3 X 10 mg.
Jangan berikan pada pasien asma bronkiale.
Gejala parkinsonisme (tremor, akinesia) dapat ditanggulangi
dengan antiparkinson oral (misalnya Triheksifenidil 2 mg 2 - 3
kali sehari).
Penggunaan antipsikotik merupakan kontra indikasi pada pasien yang
mengalami kerusakan hepar berat, hipotensi atau hipertensi berat,
depresi sumsum tulang dan diskrasia darah. Hati-hati penggunaan
antipsikotik pada kasus: peningkatan interval gelombang QT, penyakit
Parkinson, glaucoma, riwayat kejang, kanker payudara, gagal ginjal,
gagal hati, menderita panas tinggi.

Konsultasi spesialistik:
• Jika setelah 4 minggu pengobatan efektif, tidak ada perbaikan,
sebaiknya pasien dirujuk untuk pertimbangan pemberian obat lain.

57
DRAFT
• Pada kasus dengan efek samping motorik yang berat atau timbulnya
demam, kekakuan dan hipertensi, hentikan pemberian antipsikotik dan
rujuk pasien.

4.1.3.2. Antipsikotik atipikal

Efek: Antipsikotik atipikal adalah obat antipsikotik generasi kedua yang


mempunyai rumus kimia yang berbeda dengan antipsikotik tipikal.
Antipsikotik atipikal lebih aman dan lebih menguntungkan dari pada
antipsikotik tipikal karena:
• Pada dosis terapeutik, sangat minimal menimbulkan gejala ekstra
piramidal dan hiperprolaktinemia (prolaktin menyebabkan tidak
haid pada wanita dan timbulnya ginekomastia pada laki-laki).
• Dapat memperbaiki gejala positif dan negatif dari skizofrenia dan
lebih efektif mengobati pasien yang resisten.
• Sangat sedikit menimbulkan gangguan pada kognitif dan malah
mungkin memperbaiki kognitif.
• Oleh karena itu lebih dapat ditolerir oleh pasien.
• Perlu diwaspadai kemungkinan menimbulkan peningkatan kadar
gula darah dan peningkatan berat badan.

Tabel 4-3. Gambaran antipsikotik oral atipikal

Jenis Dosis Efek Ekstra Anti Hipotensi


antipsikotik mg/hari sedasi piramidal kolinergik ortostatik
Klozapin 300-900 +++ 0/+ +++ +++
(Clozaril, Dibagi 2-3
Syzoril) kali/hari
Olanzapin 5-20 ++ 0/+ +/++ 0/+
(Zyprexa) Dibagi 1-2
kali/hari
Quetiapin 150-600 ++ 0/+ 0/+ +
(Seroquel) Dibagi 2-3
kali/hari
Risperidon 1-6 + 0/+ 0/+ +
(Risperdal, Dibagi 2-3
Persidal, kali/hari
Zofredal)
Aripiprazol 10-30 mg/ 0 0/+ 0 0
(Abilify) hari dosis
tunggal
Zotepine 75-300 dibagi ++ 0/+ 0/+ 0
(Lodopin) 3 kali/hari

58
DRAFT
Interaksi dengan obat lain
Interaksi dengan obat lain dapat memperkuat atau melemahkan efek antipsikotik
atipikal.

Tabel 4-4. Interaksi antipsikotik atipikal dengan obat lain

Interaksi Efek interaksi


dengan obat
Simetidin ↓ Metabolisme Klozapin, ↑ level
Eritromisin ↓ Metabolisme Klozapin, Quetiapin, ↑ level
Ketokonazol ↓ Metabolisme Klozapin, ↑ level
Fenitoin, ↑ Metabolisme Klozapin, Olanzapin dan Quetiapin, ↓
Karbamazepin level, (risiko agranulositosis)
SSRI ↓ Metabolisme Klozapin, Olanzapin dan Quetiapin, ↑
level
Alkohol, CNS ↑ efek olanzapin (gunakan secara hati-hati)
depresan
Omeprazol ↑ Metabolisme olanzapin; ↓ level

3.1.4 Pemilihan antipsikotik oral:


¾ Tergantung kebutuhan pasien, misalnya pasien yang sulit tidur
diberikan obat dengan efek sedasi yang kuat, sedangkan pasien yang
butuh bekerja atau sekolah diberikan obat dengan efek sedasi yang
lemah.
¾ Tergantung juga dari faktor ekonomi. Antipsikotik atipikal pada
umumnya mempunyai efek samping yang ringan tapi harganya relatif
masih mahal.
¾ Efektivitas klinis antipsikotik, bersifat individual dan tergantung dari
berat dan lamanya sakit, kemampuan metabolisme hepar, fungsi
ginjal, status nutrisi, berat badan, adanya penyakit lain yang
menyertai, obat lain yang digunakan dan lain-lain. Bila tidak efektif
dengan salah satu jenis antipsikotik, dapat diganti dengan jenis lain
yang masih efektif.

3.2. ANTIDEPRESAN

Antidepresan efektif untuk gangguan depresi dan berbagai jenis gangguan


cemas. Antidepresan dapat digolongkan menjadi:
• Antidepresan trisiklik (TCA, misalnya: Amitriptilin, Imipramin,
Klomipramin.
59
DRAFT
• Antidepresan tetrasiklik (Mianserin, Maproptilin)
• SSRI atau Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (Paroxetin,
Fluoxetin, Fluvoxamin, Sertralin).
• Golongan lainnya (Mirtazapin, Trazodon, Stablon).

Perbedaan jenis antidepresan juga membedakan efektivitas, keamanan


dan efek samping. Oleh karena itu pemilihan antidepresan berdasarkan
beberapa kriteria, antara lain: tolerabilitas, reaksi obat sebelumnya, kondisi
medis yang menyertai, interaksi obat dan faktor harga yang sesuai dengan
kemampuan pasien.

3.2.1 . Antidepresan trisiklik (TCA)

Efek: Antidepresan trisiklik merupakan antidepresan generasi pertama


untuk mengatasi pasien depresi. Belakangan ini kedudukan antidepresan
trisiklik telah digeser oleh antidepresan baru karena ditolerir dengan lebih
baik dan faktor keamanan. Pemberian antidepresan trisiklik secara oral
diserap dengan baik dan level puncak dalam plasma dicapai setelah 2-6
jam, namun reaksi klinik optimum setelah 2-4 minggu pemberian.

Indikasi: Depresi berat termasuk depresi psikotik (kombinasi dengan


pemberian antipsikotik, depresi melankolik dan beberapa jenis ansietas.
Klomipramin banyak digunakan untuk gangguan obsesif kompulsif.
Penggunaan lainnya adalah untuk migren, sakit kepala, enuresis dan nyeri
kronik.

Efek samping: Sedasi, mulut kering, hipotensi ortostatik, dizziness,


konstipasi, takikardi, heart block. Indeks terapeutik sempit sehingga
berbahaya bila mengalami overdosis. Pemberian pada pasien usia lanjut
dan penderita kondisi medis lain khususnya penderita jantung harus
berhati-hati. Usia lanjut sangat sensitif terhadap efek samping berkaitan
dengan interaksi TCA dengan reseptor kolinergik dan alpha adrenergik
sehingga menyebabkan pasien jatuh dan patah tulang.

Cara pemberian: Mulai dengan dosis rendah yang ditingkatkan secara


bertahap setelah 7-10 hari tidak ada reaksi. Bila setelah 2 minggu masih
tidak ada reaksi, dosis boleh ditingkatkan lagi. Reaksi klinik mungkin
terlambat dan dicapai setelah 4 minggu pemberian. Pada usia lanjut dan
pasien dengan gagal ginjal dan hepar, berikan dalam dosis kecil dan titrasi
yang lebih bertahap untuk meminimalkan toksisitas. Penghentian obat
secara mendadak dapat menyebabkan fenomena rebound pada efek
samping kolinergik, oleh karena itu turunkan dosis secara bertahap
sebanyak 25-50 mg setiap 3-7 hari.

60
DRAFT

Tabel 4-5. Gambaran obat antidepresan trisiklik

Jenis obat Dosis mg/hari Anti Sedasi Hipotensi


kolinergik ortostatik
Amitriptilin 50-300 ++++ ++++ ++
(Laroxyl)
Klomipramin 25-250 +++ +++ ++
(Anafranil)
Imipramin (Tofranil) 30-300 ++ ++ +++
Tetrasiklik 50-225 ++ ++ +
Maproptilin
(Ludiomil),
Mianserin (Tolvon)

Tabel 4-6. Interaksi obat dengan TCA

Interaksi obat Efek interaksi


Alkohol ↑ kelemahan psikomotor
Antikolinergik TCA dapat ↑ efek antikolinergik
Antipsikotik tipikal CPZ atau Haloperidol dapat ↑ level TCA.
TCA juga dapat ↑ level antipsikotik
Barbiturat ↓ Level TCA, mungkin ↑ depresi pada CNS
Simetidin ↑ Level TCA, ↑ efek antikolinergik
Klonidin TCA mempunyai efek antagonis anti hipertensi, dapat
menyebabkan krisis hipotensi. Oleh karena itu hindari
penggunaan bersamaan
Haloperidol ↓ Metabolisme, ↑ level TCA, ↑ dan efek samping TCA
Kontrasepsi oral ↓ Metabolisme dan ↑ level TCA
Fenitoin TCA ↑ level phenytoin. Phenytoin dapat ↓ level TCA
SSRI ↓ Metabolisme TCA, ↑ level TCA dan efek samping
Amin Dapat berpotensiasi menyebabkan aritmia, hipertensi
Simpatomimetik dan takikardia bila digunakan bersama dengan TCA
Metilfenidat ↓ Metabolisme TCA, ↑ level TCA
CPZ ↓ Metabolisme TCA, ↑ level TCA, ↑ efek samping
antikolinergik. TCA juga ↑ level CPZ

61
DRAFT
3.2.2. SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)

Efek: SSRI sangat efektif digunakan untuk mengobati depresi dan


beberapa jenis gangguan cemas (misalnya gangguan obsesif kompulsif,
gangguan panik dan sosial fobia). SSRI juga efektif digunakan pada
komorbiditas depresi dengan gangguan fisik, misalnya penyakit jantung,
kejang dan trauma kepala, stroke, demensia, penyakit Parkinson, asma,
glaukoma dan kanker.
SSRI yang ada di Indonesia fluoxetin, paroxetin, fluvoxamin dan sertralin.
SSRI diserap baik dengan pemberian oral, level puncak dalam darah
setelah 6 jam. Penyerapan di usus tidak dipengaruhi oleh makanan.

Efek samping: Dizziness sementara, mengantuk, tremor, berkeringat, sakit


kepala, mulut kering, diare, mual, muntah, penurunan berat badan
(sementara), disfungsi seksual. SSRI kadang-kadang juga menyebabkan
efek samping cemas dan insomnia (fluoxetin), somnolen atau mengantuk
berat (paroxetin), diare (sertralin). Pada minggu pertama terapi dengan
SSRI, sering menimbulkan gejala cemas, gelisah, insomnia dan gangguan
pada pencernaan. Apabila tidak dijelaskan kepada pasien bahwa gejala
tersebut akan menghilang dengan berlalunya waktu, pasien sering kali
menghentikan obat. Pemberian Benzodiazepin sementara (misalnya
Alprazolam), dapat mengurangi lama dan beratnya gejala.

SSRI lebih aman dibandingkan dengan antidepresan TCA bila terjadi


overdosis. Penghentian obat secara mendadak dapat menimbulkan gejala
yang bersifat sementara, misalnya lemas, anggota gerak kesemutan,
dizziness dan lain-lain. Fluoxetin dapat menyebabkan hipoglikemia, oleh
karena itu pada pasien yang mendapat terapi insulin harus ada
penyesuaian dosis.

Cara pemberian: Mulai dengan dosis kecil yang ditingkatkan secara


bertahap setelah 2-3 minggu. Reaksi optimal didapatkan setelah 4-6
minggu. Pada pasien usia lanjut, disfungsi ginjal dan hepar, berikan dosis
rendah.

Fluoxetin: dimulai dengan dosis tunggal 10 mg di pagi hari. Reaksi


klinis setelah beberapa minggu pemberian. Dosis dapat ditingkatkan
secara bertahap setelah 2 minggu pemberian menjadi 20 mg, 40 mg
dan dosis maksimal adalah 60 mg. Untuk bulimia nervosa dosis awal 60
mg/hari.

Fluvoxamin : Dosis awal untuk gangguan obsesif-kompulsif adalah 50


mg/hari, dinaikkan secara bertahap 50 mg/hari setiap 4-7 hari, dosis
maksimum 300 mg/hari. Bila diperlukan dosis melebihi 100 mg/hari,

62
DRAFT
maka dosis dibagi dalam 2 kali pemberian untuk mengurangi efek
samping.

Paroxetin : Dosis awal untuk depresi adalah 20 mg dosis tunggal di


pagi hari. Bila reaksi kurang memadai setelah pemberian 2-3 minggu,
dosis dapat dinaikkan 10 mg/hari sampai dosis maksimum 50 mg/hari.
Dosis awal untuk gangguan panik 10 mg/hari, dosis tunggal di pagi hari,
ditingkatkan 10 mg/hari setiap minggu, dosis maksimal 40 mg/hari.
Dosis awal untuk gangguan obsesif kompulsif, dosis tunggal 20 mg di
pagi hari, ditingkatkan setiap minggu 10 mg/hari sampai dosis maksimal
60 mg/hari. Dosis awal untuk gangguan fobia sosial 20 mg/hari, dosis
tunggal di pagi hari, ditingkatkan 10 mg/hari setiap minggu sampai dosis
maksimal 60 mg/hari.

Sertralin : Dosis awal 50 mg/hari diberikan sebagai dosis tunggal di


pagi atau sore hari. Bila reaksi belum efektif setelah pemberian 1
minggu atau lebih, dosis dapat dinaikkan secara bertahap sampai dosis
maksimal 200 mg. Pada pasien usia lanjut atau gagal ginjal dan hepar,
mulai dengan dosis 25 mg di pagi hari.

Tabel 4-7. Gambaran obat antidepresan SSRI

Jenis obat Dosis Antikolinergik Sedasi Hipotensi


Mg/hari ortostatik
Paroxetin 20-50 0/+ 0/+ 0
Fluoxetin 20-60 0 0/+ 0
Sertralin 50-200 0 0/+ 0
Fluvoxamin 50-300 0 0/+ 0

3.2.2 . Jenis antidepresan lainnya

Mirtazapin

Efek: Mirtazapin efektif untuk mengatasi depresi, efektivitas lebih cepat bila
dibandingkan dengan antidepresan lain. Penggunaan Mirtazapin
bersamaan dengan CNS depresan (misalnya alkohol, Diazepam) dapat
menambah kelemahan psikomotor akibat interaksi farmakodinamik zat
tersebut.

Efek samping: Yang menonjol adalah sedasi (11 %), peningkatan nafsu
makan (15 %) dan peningkatan berat badan (10 – 15 %), kemungkinan
akan terjadi toleransi terhadap efek samping ini. Dalam uji coba juga
63
DRAFT
ditemukan efek samping antikolinergik, efek yang berkaitan dengan
serotonin (mual, muntah, agitasi, sakit kepala dan diare, efek antihistaminik,
disfungsi seksual dan efek terhadap jantung lebih ringan bila dibandingkan
dengan TCA). Dibandingkan dengan antidepresan SSRI, Mirtazapin lebih
banyak menyebabkan kenaikan berat badan, tapi efek terhadap mual,
muntah dan disfungsi seksual lebih kecil. Efek ekstra piramidal dan
hipotensi ortostatik jarang ditemukan. Dalam keadaan overdosis terjadi
somnolen, disorientasi dan takikardia, sedangkan kejang dan gangguan
pada jantung tidak ditemukan. Pada uji coba juga ditemukan efek
agranulositosis dan neutropenia berat (3 dari 2800 pasien). Keadaan ini
sembuh sempurna setelah pemberian obat dihentikan.

Cara pemberian: Dosis awal 15-30 mg/hari, ditingkatkan setelah 1-2


minggu dan dosis maksimal 45 mg/hari. Berbeda dengan antidepresan lain,
efek klinis segera tampak terutama perbaikan tidur dan ansietas. Pada usia
lanjut, dan gagal ginjal, dosis harus dikurangi.

Tabel 4-8. Interaksi obat dengan mirtazapine

Interaksi obat Efek interaksi


Alkohol ↑ Kelemahan psikomotor
Diazepam ↑ Kelemahan psikomotor

3.3. ANTI ANSIETAS (BENZODIAZEPIN)

Efek: Benzodiazepin mempunyai efek anxiolitik, hipnotik, relaksasi otot dan


antikonvulsan. Indikasi utama adalah untuk mengurangi ansietas (cemas)
dan insomnia. Benzodiazepin efektif untuk mengatasi insomnia jangka
pendek, namun penggunaannya dibatasi hanya untuk beberapa minggu saja.
Penggunaan untuk pasien ansietas, harus dinilai setiap 4-6 bulan apakah
masih membutuhkan obat. Benzodiazepin kurang efektif untuk mengatasi
depresi, bahkan untuk beberapa kasus malah mencetuskan atau
memperberat gejala depresi. Benzodiazepin injeksi diindikasikan terutama
untuk gejala putus alkohol akut, kejang, tetanus atau anestesi (misalnya
Klordiazepoxid, Diazepam dan Lorazepam). Benzodiazepin diserap baik
secara oral, level puncak dicapai 0,5-6 jam pemberian.

Obat yang menghambat metabolisme di hepar (misalnya Simetidin,


kontrasepsi oral, Disulfiram, Fluvoxamin, Isoniazid, Ketokonazol, Propanolol
dan Asam Valproat) dapat meningkatkan efek Benzodiazepin (misalnya
sedasi, dan melemahkan fungsi psikomotor). Benzodiazepin juga dapat

64
DRAFT
menyebabkan negatif palsu pemeriksaan glukosa urine, positif palsu test
kehamilan dan mempengaruhi pemeriksaan analisis steroid urine.

Efek samping: Benzodiazepin mempunyai safety margin yang luas, dan


sangat sedikit efek terhadap kardiovaskuler dan sistem pernapasan pada
dosis terapeutik ataupun overdosis. Efek samping yang biasa didapat adalah
sedasi dan dizziness terutama bila digunakan bersamaan dengan alkohol.
Rasa mengantuk (drowsiness) biasanya bersifat ringan dan sementara.
Untuk mengurangi ”terjatuh” pada usia lanjut, maka penaikan dosis harus
secara bertahap dan kurangi dosis apabila terjadi drowsiness, confuse
(kebingungan) dan ataksia. Efek samping lain yang jarang terjadi adalah
mual, konstipasi atau diare, perubahan libido, bradikardi atau takikardi,
gangguan penglihatan, pruritus dan panas. Rebound insomnia (insomnia
yang lebih berat dari sebelum terapi) dapat terjadi pada saat terapi
dihentikan.

Selama terapi jangka panjang, lakukan pemeriksaan untuk mendeteksi


gangguan fungsi liver dan neutropenia. Pemberian pada ibu hamil trimester
pertama dapat menyebabkan cacat (sumbing) pada bayi. Sebaiknya jangan
diberikan pada ibu menyusui.

Penggunaan Benzodiazepin 4-6 minggu atau lebih dapat menimbulkan


ketergantungan dan menyebabkan gejala putus zat bila dihentikan secara
mendadak. Gejala putus zat meliputi: ansietas, gejala seperti flu, gelisah,
berkeringat, insomnia, iritabilitas, tegang/keram otot dan anoreksia. Gejala
yang lebih berat adalah: confuse, depersonalisasi (merasa dirinya berubah),
halusinasi, gerakan atau persepsi yang abnormal dan psikosis. Untuk itu
dianjurkan pengurangan dosis secara bertahap selama 1-2 bulan.

Pasien depresi dengan kecenderungan bunuh diri dan mengalami ansietas,


beri obat hanya dalam jumlah sedikit. Walaupun overdosis fatal tidak pernah
ditemukan pada pemberian Benzodiazepin sendiri, namun dapat terjadi
apabila dikonsumsi bersamaan dengan zat lain, khususnya alkohol.
Beberapa jenis Benzodiazepin (misalnya Clonazepam, Diazepam,
Klorazepate) dapat mempunyai efek yang berlawanan dan meningkatkan
frekuensi kejang pada pasien epilepsi.

Cara pemberian: Dosis awal tergantung pada keadaan individu, dosis


ditingkatkan secara bertahap. Untuk gangguan ansietas, dibutuhkan dosis
harian dengan pemberian yang multipel, dapat pula diberikan dosis tunggal
dengan Klorazepate atau Clonazepam. Pada pasien usia lanjut berikan dosis
rendah yang ditingkatkan secara bertahap untuk mengurangi efek hipotensi.
Mungkin dosis tunggal sudah memadai.

65
DRAFT

Tabel 4-9. Gambaran obat benzodiazepin oral

Jenis obat Pemberian dosis Level maksimum


mg/hari dalam plasma (jam)
Alprazolam (Xanax) 0,75-4 1-2
Klordiazepoxid (Librium) 15-100 0,5-4
Clonazepam (Rivotril) 1,5-20 1-2
Klorazepat (Tranxene) 15-60 1-2
Diazepam (Valium) 4-40 0,5-2
Estazolam (Esilgan) 1-2 2
Lorazepam (Ativan) 2-4 1-6
Triazolam (Halcion) 0,125-0,5 0,5-2

Tabel 4-10. Interaksi obat dengan benzodiazepin

Jenis obat Efek interaksi


Alkohol, CNS ↑ CNS depresan
depresan
Antasida Dapat mempengaruhi kecepatan absorpsi. Beri jarak
waktu pemberian 1-2 jam
Fluvoxamin Menghambat metabolisme Alprazolam dan
Triazolam, ↑ level, ↓ eliminasi,
↑ CNS depresan
Kontrasepsi oral Dapat ↓ metabolisme Benzodiazepin
Digoxin ↑ Level serum Digoxin. Monitor serum Digoxin
Levodopa Benzodiazepin dapat ↓ efek levodopa
Antimikrobial makrolit ↓ clearance Triazolam
Fenitoin, Level antikonvulsan ↑. Perlu monitor
Karbamazepin
Probenesid Mempengaruhi metabolisme Benzodiazepin.
Mempercepat onset atau memperpanjang efek.
Ranitidin ↓ Absorbsi Diazepam di saluran cerna
Teofilin Merupakan antagonis efek sedatif dari
Benzodiazepin

66
DRAFT
BAB V.
POLA RUJUKAN

5.1. Batasan dan Pengertian

Rujukan adalah upaya pelimpahan tanggung jawab timbal balik secara vertikal
maupun horizontal dari tingkat pelayanan dasar kepada tingkat pelayanan rujukan
atau sebaliknya, sehingga gangguan jiwa memperoleh pelayanan yang lebih
sesuai dengan kebutuhan.

Pada umumnya gangguan kesehatan jiwa dapat dilayani di sarana pelayanan


kesehatan dasar. Pada kasus yang berat (yang membahayakan pasien atau
orang lain) yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, dapat dirujuk ke sarana
pelayanan rawat-inap. Begitu juga pasien yang sudah diberikan terapi secara
optimal namun belum ada kemajuan, atau pasien yang membutuhkan terapi yang
lebih mendalam (psikoterapi) dapat dirujuk kepada dokter spesialis kedokteran
jiwa (psikiater), psikolog atau pedagog.

Rujukan juga dapat dilakukan dengan cara konsultasi melalui media komunikasi
seperti surat, telepon, fax, e-mail kepada tenaga ahli terdekat. Sebaliknya rujukan
juga dilakukan terhadap pasien yang telah dirawat di pelayanan rawat-inap
kepada puskesmas untuk dilakukan perawatan lanjutan.

5.2. Pola Rujukan Berdasarkan Sistem Kesehatan


Nasional

Menurut Sistem Kesehatan Nasional, upaya rujukan pada dasarnya meliputi:


Rujukan Kesehatan
Upaya ini menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif, yang terdiri atas:
- Bantuan teknologi, misalnya buku-buku pedoman.
- Bantuan sarana, misalnya alat peraga, materi KIE.
- Bantuan operasional, misalnya bantuan pelaksanaan survei kesehatan
jiwa, konsultan kesehatan jiwa.

Rujukan Medik
Menitikberatkan pada upaya kuratif dan rehabilitatif, terdiri atas:
- Pelimpahan pasien jiwa rujukan.
- Pelimpahan pengetahuan dan keterampilan, misalnya kunjungan dokter
spesialis kedokteran jiwa ke rumah sakit yang belum memiliki tenaga
psikiater.
- Konsultasi dokter spesialis kedokteran jiwa ke puskesmas, dalam rangka
meningkatkan pengetahuan tenaga puskesmas dalam deteksi dini dan
67
DRAFT
penanganan kasus gangguan kesehatan jiwa yang dapat dilakukan di
puskesmas.
- Penempatan asisten ahli senior (residen).
- Alih pengetahuan dan keterampilan melalui pelatihan.
- Penyediaan obat obatan psikotropika, peralatan seperti TKL (terapi kejang
listrik).
- Penanggulangan masalah kesehatan jiwa spesifik.

Dengan makin banyaknya dokter di Puskesmas yang telah mendapatkan


pelatihan Penatalaksanaan Gangguan Jiwa yang telah terstandarisasi, maka
rujukan medik akan berkurang.

5.3. Jenjang Institusi Rujukan

Hirarki tingkat pelayanan rujukan kesehatan jiwa merupakan penjabaran dari


sistem rujukan kesehatan yang telah ada dan disesuaikan dengan pola
pembinaan upaya kesehatan jiwa yang telah berkembang hingga dewasa ini.
Dari tingkat individu dan keluarga/masyarakat, proses rujukan akan
memanfaatkan institusi-institusi sebagai berikut:

A. Institusi tingkat masyarakat


Kelompok Usia Lanjut Binaan, Paguyuban/Banjar/Klub atau sejenis.
Posyandu Usila/Karang Werdha/Nursing Home/Day Care.
Posyandu Balita.
Kelompok Dana Sehat /LKMD.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

B. Institusi pelayanan kesehatan tingkat dasar


1. Puskesmas.
2. Puskesmas pembantu.
3. Praktik Dokter/Klinik Swasta termasuk Klinik di Perusahaan

C. Institusi pelayanan Rujukan Tingkat Lanjutan


1. Balai Kesehatan Jiwa Masyarakat.
2. Rumah Sakit Kabupaten/Kota, yang biasanya adalah rumah sakit kelas D
atau C
3. Rumah sakit di tingkat provinsi, yaitu rumah sakit kelas A atau B
4. Rumah Sakit Jiwa dan RSKO

Mekanisme Rujukan
Ada 3 tiga aspek dalam pelaksanaan proses rujukan. Ketiga aspek tersebut harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:

68
DRAFT
1. Aspek unit yang merujuk
• Penderita dirujuk karena tidak dapat diatasi setempat.
• Pemeriksaan terhadap penderita memerlukan pemeriksaan penunjang
medis yang lebih lengkap
• Penderita setelah diobati memerlukan pengobatan/ perawatan di unit
pelayanan yang lebih mampu/ lengkap .

2. Unit penerima rujukan


• Mempunyai sarana dan prasarana yang dibutuhkan.

3. Tata cara pelaksanaan rujukan


• Pelaksanaan rujukan meliputi alur rujukan (lihat bagan alur rujukan) dan
tata cara administrasi rujukan
• Dalam hal administrasi rujukan, unit pengirim mencatat dalam register
rujukan, membuat surat rujukan dan memberikan penjelasan yang
diperlukan yang berkaitan dengan kasus yang dirujuk
• Unit penerima rujukan mencatat hasil pengobatan/ perawatan pada
kartu perawatan dan kartu catatan medik, mengembalikan kasus
rujukan kepada unit yang merujuk untuk kepentingan pembinaan/
pengawasan selanjutnya disertai laporan umpan balik, dan bila
diperlukan dapat merujuk lebih lanjut.

69
DRAFT
BAB VI
PEDOMAN PENCATATAN DAN PELAPORAN

6.1. TUJUAN
Pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas merupakan
suatu alat untuk memantau kegiatan pelayanan kesehatan jiwa, baik bagi
kepentingan pasien yang bersangkutan, maupun bagi petugas kesehatan yang
melayani serta pihak perencana dan penyusun kebijakan.

6.2. BATASAN OPERASIONAL


1. Pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas masih
menggunakan sistem yang beragam. Di antaranya ada yang masih
menggunakan SP2TP yaitu suatu sistem pencatatan dan pelaporan terpadu
di puskesmas yang tadinya seragam untuk seluruh Puskesmas di Indonesia,
namun tidak sedikit yang telah menggunakan ICD-10.

2. Diagnosis penyakit yang digunakan dalam Pedoman ini menggunakan ICD-


10. Pencatatan dan pelaporan di Rumah Sakit sebagian besar sudah
menggunakan ICD-10. Untuk melihat pelayanan kesehatan jiwa di suatu
daerah, sebaiknya pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan jiwa di
Puskesmas juga menggunakan ICD-10. Disamping itu kita juga dapat
menilai pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara lain di dunia. Khusus untuk penggolongan diagnosis
gangguan jiwa yang dilaporkan dalam pencatatan dan pelaporan ini ada 10
macam diagnosis seperti tercantum dibawah ini:

1. F00# Gangguan Mental organik, meliputi


Demensia (F00#)
Delirium (F05)
2. F10# Gangguan penggunaan NAPZA, meliputi
Gangguan penggunaan alkohol (F 10)
Gangguan penggunaan zat (F 11#)
Gangguan penggunaan tembakau (F17.1)
3. F20# Skizofrenia dan gangguan psikotik kronik lain
4. F23 Gangguan psikotik akut
5. F31 Gangguan bipolar
6. F32# Gangguan depresif
7. F40# Gangguan Neurotik
Gangguan fobik (F 40)

70
DRAFT
Gangguan panik (F 41.0)
Gangguan ansietas menyeluruh (F 41.1)
Gangguan campuran ansietas dan depresi (F 41.2)
Gangguan obsesif kompulsif (F 42)
Gangguan penyesuaian (F43.2), termasuk Gangguan Stres Pasca
Trauma
Gangguan Somatoform (F45)
8. F52 Gangguan seksual pada laki-laki dan wanita
9. F70 Retardasi mental
10. F80-90# Gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja
Gangguan perkembangan pervasif (F84)
Gangguan hiperkinetik (F90)
Gangguan tingkah laku (F91#)
Enuresis (F98.8)
11. G40# Epilepsi

3. Yang dimaksud dengan kasus baru (B) adalah kasus gangguan jiwa yang
pertama kali berobat ke Puskesmas.
4. Yang dimaksud dengan kasus lama (L) adalah kunjungan kedua dan
seterusnya dari kasus gangguan jiwa yang belum sembuh. Apabila penderita
itu ternyata belum sembuh dan berobat lagi pada tahun berikutnya, maka ia
diperhitungkan sebagai kasus baru (B) pada saat pertama kali datang pada
tahun itu dan kunjungan selanjutnya disebut kasus lama (L). Misalnya pak
Ali menderita gangguan depresi dan berobat secara teratur di Puskesmas
pada tahun 2005. Pada tahun 2006 pak Ali meneruskan berobat untuk
depresi yang ia derita. Saat pertama kali datang pada tahun 2006, pak Ali
disebut kasus baru (B), kunjungan selanjutnya disebut kasus lama (L).
5. Seorang pasien bisa tercatat di dalam dua kasus misalnya bila pasien
tersebut menderita sakit fisik seperti TBC disertai pula gangguan depresi,
maka pasien ini dicatat di dalam kedua diagnosis tersebut.

6.3. JENIS-JENIS

1. PENCATATAN
Pencatatan adalah cara yang dilakukan oleh petugas kesehatan untuk
mencatat data yang penting mengenai pelayanan tersebut dan selanjutnya
disimpan sebagai arsip di Puskesmas.
Terdapat 2 macam pencatatan dalam pelayanan kesehatan jiwa di
Puskesmas .
a) Kartu rawat jalan: untuk mencatat data mengenai pasien. Termasuk
pula kartu rawat jalan di luar gedung puskesmas.
b) Pencatatan harian rutin: untuk mencatat data pasien yang dikumpulkan
selama sehari.

71
DRAFT
2. PELAPORAN
Pelaporan adalah mekanisme yang digunakan oleh petugas kesehatan
untuk melaporkan kegiatan pelayanan yang dilakukannya kepada instansi
yang lebih tinggi (dalam hal ini dinas kesehatan kabupaten/kota).

XW

72
DRAFT
KEPUSTAKAAN

1. Charles B Nemeroff: Recognition and treatment of Psychiatric Disorders, A


Psychopharmacology Handbook for Primary Care. American Psychiatric
Press, Inc; special printing 2001.
2. Departemen Kesehatan RI: Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di
Puskesmas, 2004.
3. Departemen Kesehatan RI: Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, 2004.
4. Departemen Kesehatan RI: Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas
Umum, 1995.
5. Direktorat Kesehatan Jiwa, Dep.Kes.RI: PPDGJ (Pedoman Penggolongan
Diagnosis Gangguan Jiwa) III 1993.
6. Stephen Bazire: Psychotropic Drug Directory 2002. Bath Press UK.
7. WHO: Diagnostic and Management Guidelines for Mental Disorders in
Primary Care. Hogrefe & Huber Publishers, Toronto (1996).
8. WHO: World Healh Report, 2001.

73
PENCATATAN HARIAN (FORM A)
Pelayanan Kesehatan Jiwa di Puskesmas

Bulan : Tahun :

Nama Puskesmas: Kode :


Kecamatan/Kelurahan: Kabupaten/Kota:

No. Tanggal No Nama Umur Alamat L/P Kode Diagnosis B/L Terapi Askes/
Register (Desa) Fisik Mental Nama Obat Jumlah Rujukan Gakin/
Umum
LAPORAN BULANAN DATA KESAKITAN (FORM B)

Kabupaten :
Propinsi :
Puskesmas yang ada : Yang lapor :
Puskesmas pembantu yang ada : Yang lapor :

Jumlah Kasus dan Jumlah Kunjungan Kasus/ Golongan Umur


NO JENIS PENYAKIT 0-6 th 7-14 th 15-18 th 19-44 th 45 - 59 th 60 - 69 th 70 th/> Total

B L B L B L B L B L B L B L B L
F00# Gangguan Mental Organik
F10# Gangguan Penggunaan NAPZA
F20# Skizofrenia dan Gangguan Psikotik kronik lain
F23 Gangguan Psikotik Akut
F31 Gangguan Bipolar
F32# Gangguan Depresif
F40# Gangguan Neurotik
F70 Retardasi mental
F80-90# Gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja
G40# Epilepsi

B : Baru; L: Lama
Daftar Diagnosis Gangguan Jiwa di Puskesmas

F00# Gangguan Mental Organik


Demensia (F00#)
Delirium (F05)
F10# Gangguan Penggunaan NAPZA
Gangguan penggunaan Alkohol (F10)
Gangguan Penggunaan Zat (F 11#)
Gangguan Penggunaan Tembakau (F 17.1)
F20# Skizofrenia dan GangguanPsikotik kronik lain
F23 Gangguan psikotik akut
F31 Gangguan Bipolar
F32# Gangguan Depresif
F40# Gangguan Neurotik
Gangguan Fobik (F 40)
Gangguan Panik ( F 41.0)
Gangguan Ansietas Menyeluruh (F 41.1)
Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi (F 41.2)
Gangguan Obsesif Kompulsif (F 42)
Gangguan Penyesuaian (F 43.2)
Gangguan Somatoform (F 45)
F52 Gangguan seksual pada pria dan wanita
F80-90# Gangguan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja
Gangguan Perkembangan Pervasif (F 84)
Gangguan Hiperkinetik (F90)
Gangguan Tingkah Laku (F91#)
Enuresis (F98.8)
G 40# Epilepsi

Anda mungkin juga menyukai