Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis

yang sangat luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Manfaat

dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan

cukup banyak, maka penggunaan kortikosteroid dibatasi. Dalam bidang

dermatologi, kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering diberikan

kepada pasien.1,2 Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang

dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan

tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh.3,4

Secara klinik, umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan

besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Berbagai jenis kortikosteroid

sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk mengurangi aktivitas

mineralokortikoidnya dan meningkatkan aktivitas antiinflamasinya, misalnya

deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat dan efek

retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol. Berdasarkan cara

penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan

kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di kulit

pada tempat tertentu dan merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk

para ahli kulit dengan menyediakan banyak pilihan efek pengobatan yang

diinginkan, diantaranya termasuk melembabkan kulit, melicinkan, atau

mendinginkan area yang dirawat. 3,4,5

1
Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid

adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena khasiat inilah

kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi. Dibidang

dermatologi pada umumnya lebih ditekankan sebagai obat antialergi. Terapi

dengan obat ini bukan merupakan terapi kausal melainkan terapi pengendalian

atau paliatif saja, kecuali pada insufisiensi korteks adrenal. Sejak kortikosteroid

digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita.

Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat,

misalnya dermatitis, penyakit berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian,

misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan dengan

kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens-Jhonson yang berat dan nekrolisis

epidermal toksik.2,3,6

Pengobatan berbagai penyakit kulit dengan menggunakan kortikosteroid

sudah menjadi kegiatan sehari-hari di setiap poliklinik penyakit kulit. Sejak salap

hidrokortison asetat pertama kali dilaporkan penggunaannya oleh Sulzberger pada

tahun 1952, perkembangan pengobatan dengan kortikosteroid berjalan dengan

pesat. Semakin maju ilmu pengetahuan semakin banyak pula ditemukan berbagai

jenis kortikosteroid yang dapat digunakan dengan berbagai keunggulan dan efek

samping yang semakin sedikit. Hal ini berkat kemajuan dalam pengetahuan

mengenai mekanisme kerja serta pemahaman patogenesis berbagai penyakit,

khususnya mengenai peradangan kulit. Dengan berbagai kemajuan ini, pemakaian

kortikosteroid menjadi semakin rasional dan efektif.7

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan

di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon

adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis.

Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya

tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan

pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar

elektrolit darah, serta tingkah laku.8

Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan

medulla, sedangkan bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu

fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata mempunyai peran yang lebih

besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona fasikulata menghasilkan 2 jenis

hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan

glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap

penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinya nyata,

sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau

tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang

merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik,

misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason.3,9

Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek

utamanya terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek

retensi Na dan deplesi K, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan

3
glikogen hepar sangat kecil. Oleh karena itu mineralokortikoid jarang

digunakan dalam terapi. Prototip dari golongan ini adalah

desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-

inflamasi yang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol, meskipun demikian

sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena

efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.4,5,9

2.2. Rumus Bangun Kortikosteroid


Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus bangun

siklopentanoperhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi

label A – D (Gambar 1). Modifikasi dari struktur cincin dan struktur luar

akan mengakibatkan perubahan pada efektivitas dari steroid tersebut. Atom

karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10 dan 13 atau sebagai

rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid termasuk

glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3

cincin heksana dan 1 cincin pentana.2,3,9,10

Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal

dari plasma. Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang

kemudian dengan bantuan enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid

dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon.

Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal

dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian

ACTH.9

2.3. Klasifikasi Kortikosteroid

4
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas

biologis yang menonjol darinya, yakni:

1. Glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi

dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula

menurunkan kinerja eosinofil.


2. Mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar

elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal.


Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua

yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.1,3,9

2.4. Kortikosteroid Sistemik


2.4.1 Farmakokinetik

Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus

disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk

beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak

cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan

biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Berikut adalah

tabel yang menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma

kortikosteroid terpenting pada manusia.1,9

Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam

satu hari yaitu sebelum sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam

hari sebelum tidur. Pada pagi hari kadar kortisol yang paling tinggi

dibandingkan waktu lainnya yang membuat orang menjadi lebih semangat

dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang ssehat pengeluaran kortisol

5
mengikuti kurva dimana dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar

kortisol hingga kadar terendah yaitu pada pukul 11 malam dibuktikan

dengan seseorang yang dapat beristirahat dengan cukup.5,7

Tabel 1. Konsep farmakologi kortokosteroid sistemik

Jenis KS Dosis ekuivalen Potensi Potensi WPP WPB (jam)


(mg) GK MK (menit)
Masa kerja singkat
Kortison 25 0,8 2+ 30-90 8-12
Kortisol 20 1 2+ 60-120 8-12
Masa kerja sedang
Prednison 5 4 1+ 60 24-36
Metilprednosolon 4 5 0 180 24-36
Triamsinolon 4 5 0 78-188 24-36
Masa kerja panjang
Deksametason 0,75 20-30 0 100-300 36-54
Keterangan: KS=Kortikosteroid sistemik; GK=Glukokortikoid; MK=Mineralo-
kortikoid; WPP= waktu paruh plasma; WPB= waktu paruh biologis.
Dikutip dari kepustakaan no.2

2.4.2 Mekanisme Kerja

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis

protein. Molekul hormon memasuki jaringan melalui membran plasma

secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor

steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak menuju

nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi

transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini

merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan,

misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis

protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas

6
hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat

atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek

katabolik.1,3,8

Gambar 1. Gambaran mekanisme kerja kortikosteroid


Dikutip dari kepustakaan no.3

Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid

alami. Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek

fisiologis, termasuk regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler,

7
pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat

oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif

yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen

(sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap

hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein dalam

sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-2

(CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10%

terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel

target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh

dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid

sintetis seperti dexametason terikat dengan albumin dalam jumlah besar

dibandingkan CBG.1

Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90

menit, waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat

farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres,

hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa

perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah

menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor

mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur kimia sangat

mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga

mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison

adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk

aktifnya dalam tubuh.1

8
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan

timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau

alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini

yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat

radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat

manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan

fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini

karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi

leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap

cytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan

glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai

dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang

mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian

interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada

pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian

dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi

neutrofil meningkat, sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil

dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi

maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan

neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam

darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah,

sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.1

9
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan

sel penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi

terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut

terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan

membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a,

interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen. Selain efeknya

terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi

dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin,leukotrien dan platelet-

activating factor. 1

2.4.3 Penggunaan Klinik

Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak

digunakan adalah prednison karena telah lama digunakan dan harganya

murah. Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednison

dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. Kortikosteroid yang

memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada pemberian

long term (lebih daripada sebulan). Pada penyakit berat dan sukar

menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom Stevens-

Jhonson harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara

intravena. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan

diganti dengan tablet prednison.6

Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi

penggunanya. Rata-rata dosis yang dapat menyebabkan gangguan mental

adalah 60 mg/hari, sedangkan dosis dibawah 30 mg/hari tidak bersifat

10
buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang sebelumnya

memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan

kortikosteroid sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan mental

sedangkan 80% tidak.1,7

2.4.4 Dosis Dan Mekanisme Pemberian

Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi,

oral, intramuskular, intravena. Pemilihan preparat yang digunakan

tergantung dengan keparahan penyakit. Pada suatu penyakit dimana

kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada alopesia areata,

kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja

yang panjang. Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang

sehari. Initial dose yang dugunakan untuk mengontrol penyakit rata-rata

dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang

dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis

yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap

pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya

sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari

seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang

rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari

prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat

digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun

hirsustisme.5

11
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila

telah mengalami perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar

penyakitnya tidak mengalami eksaserbasi, tidak terjadi supresi korteks

kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks

kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi terjadi

kalau dosis prednison meebihi 5 mg per hari dan kalau lebih dari sebulan.

Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan

demam ringan yang jarang melebihi 39ºC. 6

Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3

sampai 4 minggu perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan

untuk mencari dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal.

Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis tunggal menjadi

dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk

mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat

diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena

kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian

dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh.

Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih

diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis

pada hari pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan.

Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang

seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah

12
bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis

fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.6

Tabel 2. Dosis inisial kortikosteroid sistemik untuk dewasa pada


dermatosis:
Macam kortikosteroid dan
Nama penyakit
dosisnya sehari
Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
SJS berat dan NET Deksametason 6x5 mg
Eritrodermia Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Reaksi lepra Prednison 3x10 mg
DLE Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg
Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg
Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa Prednison 4x10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg
Dikutip dari kepustakaan no.1 dan 6

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa

menurut pengalaman, tidak bersifat mutlak karena bergantung pada

respons penderita. Dosis untuk anak disesuaikan dengan berat badan /

umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak perbaikan, dosis

ditingkatkan sampai ada perbaikan.6

2.4.5 Monitor Pengobatan

Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan

kortikosteroid untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah

riwayat personal dan keluarga dengan perhatian khusus kepada penderita

yang memiliki predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma

13
dan penyakit yang terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan darah

dan berat badan harus tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka

lama perlu dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas

tulang spinal dengan menggunakan computed tomography (CT), dual-

photon absorptiometry, atau dual-energy x ray absorptiometry (DEXA).2

Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan

evaluasi diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri,

polidipsi, nyeri abdomen, demam, gangguan tidur dan efek psikologi.

Penggunaan glukokortikoid dosis besar mempunyai kemungkinan

terjadinya efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan

tekanan darah tetap selalu di monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah

puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap diukur dengan regular. Pemeriksaan

tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang menggumpal. Selain itu,

pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan terjadinya katarak dan

glaukoma.2

Tabel 3. Hal-hal yang perlu di monitor selama penggunaan


glukokortikoid jangka panjang
No. Efek samping Monitor
1. Hipertensi Tekanan darah
2. Berat badan meningkat Berat badan
3. Reaktivasi infeksi PPD, (12 hari setelah pemakaian
prednison)
4. Abnormalitas metabolik Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita
diabetes dan hiperlipidemia)
Densitas tulang
5. Osteoporosis

14
6. Mata
Katarak Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai
Glaukoma 12 bulan)
Tekanan intraokular (saat bulan
pertama dan ke enam)
7. Ulkus peptik Pertimbangkan pengunaan antagonis
H2 atau proton pump inhibitor
8. Supresi kelenjar adrenal Dosis tunggal di pagi hari, periksa
serum kortisol pada jam 8 pagi
sebelum tapering off.

Dikutip dari kepustakaan no.2

2.4.6 Efek Samping

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan

indikasi klinis yang sangat luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar

tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka

dalam penggunaannya dibatasi.6

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan

wanita saat menopause. Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang

terdiri atas muka bulan, buffalo hump, penebalan lemak supraklavikula,

obesitas sentral, striae atrofise, purpura, dermatosis akneformis dan

hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi, nyeri kepala,

psedudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis, flushing, vertigo,

hepatomegali dan keadaan aterosklerosis dipercepat. Pada anak

memperlambat pertumbuhan.6

15
Tabel 4. Efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.

No. Tempat Macam efek samping


1. Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi
gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis,
ileitis regional, kolitis ulseratif.
2. Otot Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
3. SSP Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,
mudah tersinggung, psikosis, paranoid,
hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu
makan bertambah.
4. Tulang Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis,
fraktur tulang panjang.
5. Kulit Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis
akneiformis, purpura, telangiektasis.
6. Mata Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
7. Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
8. Pembuluh darah Kenaikan tekanan darah
9. Kelenjar adrenal Atrofi, tidak bisa melawan stres
bagian kortek
10. Metabolisme Kehilangan protein (efek katabolik),
protein, KH dan hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffalo
lemak hump, perlemakan hati.
11. Elektrolit Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,
tetani, aritmia kor)
12. Sistem immunitas Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan
herpes simplek, keganasan dapat timbul.
Dikutip dari kepustakaan no.1

a. Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik

Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau

kurang, efek samping yang serius jarang. Namun masalah yang mungkin

timbul berikut:

 Gangguan tidur

 Meningkatkan nafsu makan

 Meningkatkan berat badan

 Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi

16
Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan

singkat dari kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus

peptik, diabetes dan nekrosis aseptik yang pinggul.1,5

b. Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama



Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan

steroid, maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit kortisol,

yang dihasilkan dari kelenjar di bawah otak-hypopituitary-adrenal

(HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah steroids

dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti

infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.1



Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang

tua, orang-orang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien

dengan diabetes atau masalah paru-paru. Osteoporosis dapat

menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul bersama

dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20%

dari pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal

ini diperkirakan hingga 50% dari pasien dengan kortikosteroid oral

akan mengalami patah tulang.1,3



Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar

ketinggalan jika steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).1,3



Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.1

Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi

pinggul).1

17

Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).1

Kenaikan lemak darah (trigliserida).1,3

Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal

obesity.3

Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah,

meningkatkan berat badan dan gagal jantung.1,3



Kegoyahan dan tremor.3

Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan

intraocular) dan katarak subcapsular posterior.3



Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan

energi, kegembiraan, delirium atau depresi.1



Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.1

Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi

diresepkan (misalnya tuberkulosis).1



Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-

inflamasi.1

Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan,

sakit kepala, nyeri otot dan sendi dan depresi.1,3

Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi

mutlak dan relatif. Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh

diberikan pada keadaan infeksi jamur yang sistemik, herpes simpleks

keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat intravena.

Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan

18
alasan sebagai life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan

monitor yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberculosis aktif, gagal

jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified derivative,

glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis,

kehamilan.10

19
BAB III

KESIMPULAN

Kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering diberikan

kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang

dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Kortikosteroid terbagi kepada dua golongan

utama yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.1,2,3,4

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein

yang mana terjadi induksi sintesis protein yang merupakan perantara efek

fisiologis steroid. Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai

gambaran dasar dan sepanjang penyembuhan luka serta mengurangi akses dari

sejumlah limfosit ke daerah inflamasi yaitu di daerah yang menghasilkan

vasokontriksi.1,3,6,8

Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang

tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya harus dibatasi. Oleh

karena itu, sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid untuk mengurangi

potensi terjadinya efek samping perlu ditanyakan mengenai riwayat personal dan

keluarga dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi

diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang terpengaruh

dengan pengobatan steroid.1,3

20

Anda mungkin juga menyukai