Anda di halaman 1dari 26

Ketoasidosis et causa Diabetes Melitus Tipe 1

Claudia Jessica
102012269
Kelompok : B6
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email : claudiajessica@ymail.com

Pendahuluan
Diabetik ketoasidosis merupakan salah satu komplikasi akut DM akibat defisiensi (absolut
maupun relative) hormon insulin yang tidak dikenal dan bila tidak mendapat pengobatan
segera akan menyebabkan kematian. Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering.
Pada keadaan infeksi kebutuhan tubuh akan insulin tiba-tiba meningkat. Infeksi yang biasa
dijumpai adalah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Ketoasidosis diabetikum merupakan
trias dari hiperglikemia, asidosis, dan ketosis yang terlihat terutama pada pasien dengan
diabetes tipe 1. Diabetik ketoasidosis paling sering terjadi pada pasien penderita diabetes tipe
1 (yang pada mulanya disebut insulin-dependent diabetes mellitus), akan tetapi
keterjadiannya pada pasien penderita diabetes tipe 2 (yang pada mulanya disebut non-insulin
dependent diabetes mellitus), terutama pasien kulit hitam yang gemuk adalah tidak sejarang
yang diduga. Penanganan pasien penderita diabetik ketoasidosis adalah dengan memperoleh
riwayat menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik sebagai upaya untuk
mengidentifikasi kemungkinan faktor faktor pemicu. Pengobatan utama terhadap kondisi ini
adalah rehidrasi awal (dengan menggunakan isotonic saline) dengan pergantian potassium
serta terapi insulin dosis rendah. Penggunaan bikarbonat tidak direkomendasikan pada
kebanyakan pasien. cerebral edema, sebagai salah satu dari komplikasi diabetik ketoasidosis
yang paling langsung, lebih umum terjadi pada anak anak dan anak remaja dibandingkan
pada orang dewasa.

1
Skenario 5
Seorang anak perempuan berusia 7 tahun dibawa ibunya ke UGD RS dengan keluhan lemas
sejak beberapa jam yang lalu. Keluhan disertai nyeri perut dan kadang- kadang muntah.
Menurut ibunya, pasien BAK sedikit sekali.

Rumusan Masalah Skenario 5


Anak perempuan berusia 7 tahun dibawa ibunya ke UGD RS dengan keluhan lemas sejak
beberapa jam lalu dan disertai nyeri perut serta kadang- kadang muntah.

Hipotesis Skenario 5
Anak perempuan tersebut diduga menderita ketoasidosis et causa diabetes melitus tipe 1.

Mind Map Skenario 5

Prognosis Epidemologi
Komplikasi
Pemeriksaan
Fisik

Pencegahan
RM
Anamnesis

Gejala Klinis
Working
Diagnose
Terapi

Pemeriksaan Differential
Diagnosis Diagnose
Penunjang

2
Isi Pembahasan

Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari
anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.
Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan
pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien
yang profesional dan optimal.1
Pada kasus skenario 1 dilakukan anamnesis secara allo-anamnesis, dan hal yang perlu
dilengkapi dan ditanyakan adalah:1
1) Identitas pasien
Melengkapi identitas nama, umur, jenis kelamin, tanggal lahir, lahir premature atau normal,
diagnose medis, dan tanggal medis.
2) Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasa sangat mengganggu saat ini. Keluhan utama yang
dialami anak tersebut adalah merasa lemas dan nyeri perut yang disertai muntah- muntah.
3) Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang.
Hal yang perlu ditanyakan:1
- Apakah terdapat mual, muntah dan nyeri di bagian perut?
- Apakah nyeri disertai dengan rasa cepat lelah?
- Apakah terdapat nyeri di kepala?
- Apakah penglihatan anak menjadi kabur?
- Apakah terdapat peningkatan frekuensi buang air kecil yang berleibih?
- Bagaimana intake cairan apakah sering timbul rasa haus serta keinginan untuk
minum air yang banyak?
- Bagaimana dengan nafsu makan apakah anak cepat lapar?
- Apakah terjadi penurunan berat badan yang cepat terhadap anak?
- Apakah dulu ibu anak memberi makanan padat yang terlalu dini kepada anak
(kemungkinan alergi)?
- Apakah terdapat pernafasan cepat dan dalam?

3
- Apakah terjadi penurunan kesadaran pada anak?
- Apakah nafas berbau seperti aseton?
- Apakah anak kekurangan cairan yang berat/ dehidrasi?
b. Riwayat penyakit dahulu.
- Apakah anak sering sakit pada masa bayi?
c) Riwayat penyakit keluarga.
- Apakah salah satu orang tua pernah menderida DM?
- Apakah ibu menderita preemplasia?
- Apakah bayi lahir dari ibu yang sudah berusia lanjut?
d) Riwayat Psikososial
- Bagaimana kegiatan anak sehari-hari baik di sekolah ataupun dirumah apakah
terganggu?

Pemeriksaan Fisik
 Tanda- tanda vital:
- Keadaan umum: sakit sedang
- Kesadaran: somnolen
- Tekanan darah: 80/ 50 mmHg
- Tekanan nadi: 120x/ menit
- Respiratory Rate: 40x/ menit, nafas cepat dan dalam
- Suhu tubuh: 37 derajat Celcius
- Turgor kulit: menurun
- Capillary Refil Test: 3 detik
 Inspeksi:1
- Keadaan umum pasien serta tanda khas dari pasien yang tampak saat datang
- Terlihat penurunan kesadaran dan nafas kussmaul
- Warna kulit dan kondisi kulit (kering, normal, lembab)
- Inspeksi thorak, abdomen, mukosa dan ekstrimitas apakah ada luka yang tidak
kunjung sembuh
 Palpasi:1
- Tes turgor kulit menurun pada bagian abdomen anak
- Tes capillary refill 3 detik

4
- Palpasi pada rongga thorak, abdomen sampai suprapubik untuk melihat apakah
terdapat rasa nyeri pada perabaan yang menandakan adanya inflamasi
 Perkusi:1
- Perkusi pada rongga dada untuk melihat adanya edema paru atau tanda-tanda
pneumonia
 Auskultasi:1
- Auskultasi pada rongga dada untuk melihat adanya edema paru atau tanda-tanda
pneumonia
- Auskultasi pada rongga dada dan jantung untuk menilai keadaan umum organ
paru dan jantung
- Auskultasi abdomen untuk mendengarkan bising usus
Berdasarkan skenario, kasus pada anak ini merupakan tindakan yang membutuhkan
penanganan segera. Oleh karena itu, pemeriksaan di atas yang sifatnya bukan untuk
menegakkan diagnosis segera dapat tidak dikerjakan dahulu. Pemeriksaan dilanjutkan apabila
pasien sudah mendapatkan terapi yang adekuat.

Pemeriksaan Penunjang
1. Glukosa: >250 mg / dL. Klinisi dapat melakukan tes glukosa dengan fingerstick sambil
menunggu hasil lab.2
2. Natrium: Hiperglikemia mengakibatkan efek osmotik sehingga air dari
ekstravaskuler ke ruang intravaskular. Untuk setiap kelebihan 100 mg / dL, tingkat
natrium serum diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat
natrium serum meningkat dengan jumlah yang sesuai.2
3. Kalium: kalium perlu diperiksa secara berkala, ketika asidosis kadar kalium normal
atau sedikit meningkat (3-5 mmol per liter). Ketika diberi pemberian insulin maka
kalium akan menurun. Insulin dapat diberikan jika kadar kalium di atas 3.3 mmol/L.
4. Bikarbonat: digunakan untuk mengukur anion gap. Sehingga dapat menentukan
derajat asidosis.
5. Sel darah lengkap (CBC) menghitung: sel darah putih (> 15 X 109/ L), ditandai pergeseran ke
kiri, mungkin infeksi yang mendasari KAD.2
6. Gas darah arteri (analisa gas darah): pH <7,3. Vena pH dapat digunakan
untuk mengulang pengukuran pH. pH vena pada pasien dengan DKA adalah 0,03

5
lebih rendah dari pH arteri. Karena perbedaan ini relatif dapat diandalkan dan tidak
signifikansi klinis, maka hampir tidak ada alasan untuk melakukan lebih
menyakitkan.2
7. Keton: positif
8. Beta hidroksibutirat: Serum atau hidroksibutirat beta kapiler dapat digunakan untuk
mengikuti tanggapan terhadap pengobatan. Tingkat lebih besar dari 0,5mmol / L
dianggap normal, dan tingkat 3 mmol / L berkorelasi dengan ketoasidosis
diabetikum.2
9. Urinalysis
Cari ketosis glycosuria dan urin. Gunakan ini untuk mendeteksi mendasari infeksi saluran
kencing. 2
9. Osmolalitas: Pasien dengan ketoasidosis diabetes yang berada dalam keadaan koma
biasanya memiliki osmolalitas> 330 mOsm / kg H2O. Jika osmolalitas kurang dari ini
pada pasien yang koma, mencari penyebab lain.2
10. Tingkat BUN meningkat: BUN adalah produk akhir dari metabolisme protein, dibuat
oleh hati, kadar normal BUN pada anak 5-15 mg/ dl.2

Working Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan maka pasien di
diagnosis menderita ketoasidosis diabetikum. Diagnosis kerja ditegakkan berdasarkan temuan
pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Data anamnesis yang
menjadi patokan adalah adanya gejala klasik diabetes melitus, yakni poliuria, polidipsi dan
polifagi serta keadaan pasien yang lemas dan penurunan berat badan. Berdasarkan anamnesis
juga tidak didapat keterangan bahwa sang pasien menderita diabetes sebelumnya. Hal ini
menambah kemungkinan timbul berbagai komplikasi dari diabetes tersebut yang disebabkan
oleh hiperglikemi dan kekurangan glukosa dalam sel.

6
Tabel 1. Kriteria pemeriksaan penunjang KAD dan HHNK.3

Anatomi Pankreas
Pankreas adalah kelenjar majemuk bertandan, strukturnya sangat mirip dengan kelenjar
ludah. Panjangnya kira-kira 15 cm, mulai dari duodenum sampai limpa dan dilukiskan
sebagai terdiri atas tiga bagian:4
1. Kepala pancreas yang paling lebar, terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan di
dalam lekukan duodenum, dan yang praktis melingkarinya.
2. Badan pancreas merupakan bagian utama pada organ itu dan letaknya di belakang
lambung dan di depan vertebra lumbalis pertama
3. Ekor pancreas adalah bagian yang runcing di sebelah kiri, dan yang sebenarnya
menyentuh limpa.

Fisiologi Pankreas
Fungsi endokrin tersebar di antara alveoli pancreas, terdapat kelompok-kelompok kecil sel
epitelium, yang jelas terpisah dan nyata. Kelompok-kelompok ini adalah pulau-plulau kecil
atau kepulauan Langerhans, yang bersama- sama membentuk organ endokrin. Persarafan
didapati dari saraf vagus dan persediaan darah dari saluran kapiler besar. Ada empat jenis sel
penghasil hormon yang teridentifikasi dalam pulau-pulau tersebut:4
 Sel alfa mensekresi glukagon, yang meningkatkan kadar gula darah.

7
Glukagon adalah hormon utama stadium pasca absorbtif pencernaan, yang terjadi
selama periode puasa diantara waktu makan. Fungsi hormon ini terutama adalah
katabolik. Secara umum, kerja glukagon berlawanan dengan fungsi insulin.
Sebagai contoh, glukagon bekerja sebagai antagonis insulin dengan menghambat
perpindahan glukosa ke dalam sel. Glukagon juga menstimulasi glukoneogenesis
hati dan menyebabkan penguraian simpanan energi selain glukosa. Glukagon
menstimulasi penguraian lemak dan pelepasan asam lemak bebas ke dalam aliran
darah, untuk digunakan sebagai sumber energi selain glukosa. Fungsi-fungsi
tersebut bekerja untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Pelepasan glukagon
oleh pankreas distimulasi oleh saraf simpatis.4

 Sel beta mensekresi insulin, yang menurunkan kadar gula darah.


Insulin menyediakan glukosa untuk sebagian besar sel tubuh, terutama unuk otot
dan adiposa, melalui peningkatan aliran glukosa yang melewati membran sel
dalam mekanisme carrier. Insulin memperbesar simpanan lemak dan protein
dalam tubuh. Insulin meningkatkan transpor asam amino dan asam lemak dari
darah ke dalam sel. Insulin meningkatkan sintesis protein dan lemak, serta
menurunkan katabolisme protein dan lemak. Insulin meningkatkan penggunaan
karbohidrat untuk energi. Insulin memfasilitasi penyimpanan glukosa dalam
bentuk glikogen pada otot rangka dan hati. Insulin memperbesar cadangan
glukosa berlebih dalam bentuk lemak pada jaringan adiposa. Peningkatan kadar
glukosa darah, misalnya setelah makan, akan menstimulasi sel beta untuk
memproduksi insulin. Insulin menyebabkan glukosa berdifusi ke dalam sel yang
akan memakainya sebagai energi, mengubahnya menjadi glikogen dalam hati,
atau menjadi lemak dalam jaringan adiposa. Jika kadar glukosa darah turun, laju
sekresi insulin juga menurun.4
 Sel delta mensekresi somatostatin, hormon yang menghasilkan hormon
pertumbuhan, yang menghambat sekresi glukagon dan insulin.4
 Sel F mensekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk fungsi
yang tidak jelas, yang dilepaskan setelah makan.4

8
Etiologi
Ketoasidosis diabetikum di dasarkan oleh adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin
yang nyata, yang dapat disebabkan oleh:5
- Insulin diberikan dengan dosis yang kurang.
- Keadaan sakit atau infeksi pada DM, contohnya : pneumonia, kolestisitis, iskemia usus dan
apendisitis.
Keadaan sakit dan infeksi akan menyertai resistensi insulin. Sebagai respon terhadap stres
fisik (atau emosional), terjadi peningkatan hormon – hormon ”stres” yaitu glukagon,
epinefrin, norepinefrin, kotrisol dan hormon pertumbuhan. Hormon – hormon ini akan
meningkatkan produksi glukosa oleh hati dan mengganggu penggunaan glukosa dalam
jaringan otot serta lemak dengan cara melawan kerja insulin. Jika kadar insulin tidak
meningkatkan dalam keadaan sakit atau infeksi, maka hipergikemia yang terjadi dapat
berlanjut menjadi ketoasidosis diabetik.

Faktor Resiko
Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih yang
mencakup antara 30% sampai 50% kasus. Penyakit medis lainnya yang dapat mencetuskan
KAD adalah penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli pulmonal dan infark miokard.
Beberapa obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat juga dapat menyebabkan KAD
atau KHH, diantaranya adalah: kortikosteroid, pentamidine, zat simpatomimetik, penyekat
alpha dan beta serta penggunaan diuretik berlebihan pada pasien lansia.5

Kondisi Pencetus Kasus (%)

Infeksi 19-56

Penyakit kardiovaskular 3-6

Insulin inadekuat/ stop 15-41

Diabetes awitan baru 10-22

Penyakit medis lainnya 10-12

9
Tidak diketahui 4-33

Tabel 2. Kondisi-kondisi pencetus KAD pada pasien diabetes mellitus5

Pada pasien-pasien muda dengan T1DM, permasalahan psikologis yang disertai dengan
gangguan pola makan dapat menjadi pemicu keadaan KAD pada kurang lebih 20% kasus.
Faktor- faktor yang dapat menyebabkan pasien menghentikan penggunaan insulin seperti
ketakutan peningkatan berat badan, ketakutan hipoglikemia, pemberontakan dari otoritas dan
stres akibat penyakit kronik juga dapat menjadi pemicu kejadian KAD.5

Epidemiologi
Insidens tahunan KAD pada pasien diabetes mellitus tipe 1 (T1DM) antara satu sampai lima
persen, berdasarkan beberapa studi yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat dan
nampaknya konstan dalam beberapa dekade terakhir di negara-negara barat. Namun demikian
studi epidemiologi terbaru memperkirakan insidens total nampaknya mengalami tren
meningkat, terutama disebabkan oleh karena peningkatan kasus diabetes mellitus tipe 2
(T2DM). Laju insidens tahunan KAD diperkirakan antara 4,6 sampai 8 per 1000 pasien
dengan diabetes. Sedangkan insidens T2DM sendiri di Indonesia, diperkirakan berkisar
antara 6-8% dari total penduduk.2

Patogenesis
1. Metabolisme glukosa dan lipid

Pada saat terjadi defisiensi insulin, peningkatan level glukagon, katekolamin dan kortisol
akan menstimulasi produksi glukosa hepatik melalui mekanisme peningkatan glikogenolisis
dan glukoneogenesis. Hiperkortisolemia akan menyebabkan peningkatan proteolisis,
sehingga menyediakan prekursor asam amino yang dibutuhkan untuk glukoneogenesis.
Insulin rendah dan konsentrasi katekolamin yang tinggi akan menurunkan uptake glukosa
oleh jaringan perifer. Kombinasi peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan
penggunaan glukosa perifer merupakan kelainan patogenesis utama yang menyebabkan
hiperglikemia baik pada KAD maupun KHH (Koma Hiperglikemia Hiperosmolar).
Hiperglikemia akan menyebabkan glikosuria, diuresis osmotik dan dehidrasi, yang akan
menyebabkan penurunan perfusi ginjal terutama pada KHH. Penurunan perfusi ginjal ini
lebih lanjut akan menurunkan bersihan glukosa oleh ginjal dan semakin memperberat

10
keadaan hiperglikemia.6

Gambar 1. Patogenesis KAD dan KHH, perhatikan perbedaan yang terletak pada defisiensi
insulin absolut dan relatif FFA (free fatty acid)6

Pada KAD, kadar insulin rendah yang dikombinasikan dengan peningkatan kadar
katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan akan mengaktivasi lipase sensitif hormon,
kemudian menyebabkan pemecahan trigliserida dan pelepasan asam lemak bebas. Asam
lemak bebas ini akan diubah oleh hati menjadi badan-badan keton yang dilepaskan ke dalam
sirkulasi. Proses ketogenesis distimulasi oleh peningkatan kadar glukagon, hormon ini akan
mengaktivasi palmitoiltransferase karnitin I, suatu enzim yang memampukan asam lemak
bebas dalam bentuk koenzim A untuk menembus membran mitokondria setelah diesterifikasi
menjadi karnitin. Pada pihak lain, esterifikasi diputarbalikkan oleh palmitoiltransferase
karnitin II untuk membentuk asil lemak koenzim A yang akan masuk ke dalam jalur beta-
oksidatif dan membentuk asetil koenzim A.6

Sebagian besar asetil koenzim A akan digunakan dalam sintesi asam beta-hidroksibutirat dan

11
asam asetoasetat, dua asam kuat relatif yang bertanggungj awab terhadap asidosis dalam
KAD. Asetoasetat diubah menjadi aseton melalui dekarboksilasi spontan non-enzimatik
secara linear tergantung kepada konsentrasinya. Asam beta-hidroksibutirat, asam asetoasetat
dan aseton difiltrasi oleh ginjal dan diekskresi secara parsial di urin. Oleh karena itu,
penurunan volume progresif menuju kepada penurunan laju filtrasi glomerular akan
menyebabkan retensi keton yang semakin besar. Ketiadaan ketosis pada KHH walaupun
disertai dengan defisiensi insulin masih menjadi misteri, hipotesis yang ada sekarang
menduga hal ini disebabkan oleh karena kadar asam lemak bebas yang lebih rendah, lebih
tingginya kadar insulin vena portal atau keduanya.6

Gambar 2. Mekanisme produksi badan keton. (a) Peningkatan lipolisis menghasilkan


produksis asetil KoA dari asam lemak, sebagai substrat sintesis badan keton oleh hati.
Defisiensi insulin menyebabkan penurunan utilisasi glkosa dan penurunan produksi
oksaloasetat. (b) Jumlah oksaloasetat yang tersedia untuk kondensasi dengan asetil KoA
berkurang; dan (c) menyebabkan asetil KoA digeser dari siklusi TCA dan (d) mengalami
kondensasi untuk membentuk asetoasetat diikuti reduksi menjadi beta-hidroksibutirat.6

12
Keseimbangan asam basa, cairan dan elektrolit

Asidosis pada KAD disebabkan oleh karena produksi asam beta-hidroksibutirat dan asam
asetoasetat berlebihan. Pada kadar pH fisiologis, kedua ketoasid ini mengalami disosiasi
sempurna dan kelebihan ion hidrogen akan diikat oleh bikarbonat, sehingga menyebabkan
penurunan kadar bikarbonat serum. Badan-badan keton oleh karenanya beredar dalam bentuk
anion, yang menyebabkan terjadinya asidosis gap anion sebagai karakteristik KAD. Gap
anion ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut [Na+ - (Cl- + HCO3-)], berdasarkan
rumus ini, gap anion normal adalah 12 (dengan deviasi standar 2) mmol/L. Pada KAD,
bikarbonat digantikan dengan asam beta- hidroksibutirat dan asam asetoasetat sehingga
jumlah konsentrasi bikarbonat dan klorida turun dan terjadi peningkatan gap anion.
Walaupun terjadi ekskresi ketoasid secara substansial di dalam urin, penurunan konsentrasi
bikarbonat serum dan peningkatan gap anion yang diamati pada KAD kurang lebih sama.

Pada keadaan-keadaan normal, kadar asam beta-hidroksibutirat lebih tinggi kurang lebih 2
sampai 3 kali lipat dari asam asetoasetat, hal ini disebabkan oleh karena perbedaan dari status
redoks mitokondria. Peningkatan status redok mitokondria, seperti yang terjadi pada KAD,
akan meningkatkan rasio asam beta-hidroksibutirat terhadap asam asetoasetat. Kesalahan
perkiraan jumlah keton dapat terjadi bila tidak dilakukan pengukuran terhadap asam beta-
hidroksibutirat.6

Asidosis metabolik akan menginduksi hiperventilasi melalui stimulasi kemoreseptor perifer


dan pusat pernapasan di batang otak, yang kemudian akan menurunkan tekanan parsial
karbon dioksida. Mekanisme ini akan mengkompensasi asidosis metabolik secara parsial.

Diuresis osmotik terinduksi hiperglikemia akan menyebabkan kehilangan cairan yang berat.
Kekurangan cairan total tubuh biasanya berada pada kisaran 5 sampai 7 liter pada KAD dan 7
sampai 12 liter pada KHH, keadaan ini mewakili kehilangan cairan sekitar 10% sampai 15%
dari berat badan. Diuresis osmotik ini diasosiasikan dengan kehilangan kadar elektrolit dalam
jumlah besar di dalam urin.

Defisit natrium klorida pada KAD dan KHH biasanya berkisar antara 5-13 mmol/kgBB untuk
natrium dan 3-7 mmol/kgBB untuk klorida. Awalnya peningkatan kadar glukosa terjadi pada
ruang ekstraselular, sehingga menyebabkan perpindahan air dari kompartemen intraselular ke

13
ekstraselular dan menginduksi dilusi konsentrasi natrium plasma. Selanjutnya, peningkatan
kadar glukosa lebih jauh akan menyebabkan diuresis osmotik dan menyebabkan kehilangan
air dan natrium di urin. Kehilangan air biasanya akan lebih banyak dibandingkan dengan
natrium, sehingga pada akhirnya jumlah kehilangan air intraselular dan ekstraselular akan
kurang lebih sama. Oleh karena adanya pergeseran air secara osmotik, konsentrasi natrium
plasma biasanya rendah atau normal pada KAD dan sedikit meningkat pada KHH, walaupun
terjadi kehilangan air secara hebat. Pada konteks ini, konsentrasi natrium plasma harus
dikoreksi untuk hiperglikemia dengan menambahkan 1,6 mmol pada hasil pemeriksaan
natrium, untuk setiap peningkatan glukosa sebesar 100 mg/dL di atas 100 mg/dL kadar
glukosa darah. Kadar natrium plasma juga dapat terlihat lebih rendah pada keadaan
hiperlipidemia berat.

Ketoasidosis diabetikum dan koma hiperglikemia hiperosmolar juga dikaitkan dengan


penurunan kadar kalium tubuh total, dengan rentang antara 3 sampai 15 mmol/kgBB.
Meskipun demikian, kadar kalium plasma dapat terlihat normal atau meningkat pada saat
pemeriksaan awal. Serupa dengan natrium, hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya
pergeseran air dan kalium dari ruang intraselular ke ruang ekstraselular. Pergeseran kalium
ini akan ditingkatkan lebih lanjut dengan adanya asidosis, proteolisis intraselular dan
insulinopenia. Deplesi kalium disebabkan oleh karena adanya kehilangan kalium hebat di
urin sebagai akibat diuresis osmotik dan kemudian peningkatan hantaran cairan dan natrium
ke situs sekresi kalium pada nefron distal.

Keadaan ini dapat dieksakserbasikan lebih lanjut oleh intake oral yang buruk, muntah dan
hiperaldosteronisme sekunder.

Fosfat, magnesium dan kalsium merupakan elemen lainnya yang diekskresikan secara
berlebihan di urin pada keadaan KAD dan KHH sebagai akibat dari diuresis osmotik.
Diperkirakan ketiga elemen tersebut turun antara 1-2 mmol/kgBB secara rata-rata.6

Gejala Klinik
Ketoasidosis diabetikum biasanya timbul dengan cepat, biasanya dalam rentang waktu <24
jam, sedangkan pada KHH tanda dan gejala timbul lebih perlahan dengan poliuria, polidipsia
dan penurunan berat badan menetap selama beberapa hari sebelum masuk rumah sakit.6

14
Pada pasien dengan KAD, nausea vomitus merupakan salah satu tanda dan gejala yang sering
diketemukan. Nyeri abdominal terkadang dapat diketemukan pada pasien dewasa (lebih
sering pada anak-anak) dan dapat menyerupai akut abdomen. Meskipun penyebabnya belum
dapat dipastikan, dehidrasi jaringan otot, penundaan pengosongan lambung dan ileus oleh
karena gangguan elektrolit serta asidosis metabolik telah diimplikasikan sebagai penyebab
dari nyeri abdominal. Asidosis, yang dapat merangsang pusat pernapasan medular, dapat
menyebabkan pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul).6

KAD timbul secara bertahap. Gejala- gejala seperti poliuria, polidipsia dan polifagia yang
khas sebagai bagian dari diabetes tak terkontrol nampaknya sudah timbul selama tiga sampai
empat minggu sebelumnya dan pada beberapa kasus dua bulan sebelum. Begitu pula dengan
penurunan berat badan yang bahkan telah timbul lebih lama lagi, yakni tiga sampai enam
bulan sebelum dengan rata-rata penurunan 13 kilogram. Patut diperhatikan gejala-gejala akut
yang timbul dalam waktu singkat, seperti nausea vomitus dan nyeri abdomen, di mana dapat
dijadikan sebagai peringatan untuk pasien bahwa dirinya sedang menuju ke arah KAD.6

Pemeriksaan fisis dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau napas seperti buah atau
pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi aseton melalui sistem respirasi dan
tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan turgor kulit, mukosa membran yang kering,
takikardia dan hipotensi. Status mental dapat bervariasi mulai dari kesadaran penuh sampai
letargi yang berat; meskipun demikian kurang dari 20% pasien KAD atau KHH yang
diperawatan dengan penurunan kesadaran.6

Pada KHH, obtundasi mental dan koma lebih sering diketemukan sebagai akibat dari
hiperosmolaritas pada sebagian besar pasien. Pada beberapa pasien KHH, tanda neurologis
fokal (hemiparesis atau hemianopsia) dan kejang dapat menjadi tanda klinis dominan.
Meskipun kejadian pencetus utama adalah infeksi, kebanyakan pasien datang dengan
normotermi atau hipotermi, oleh karena adanya vasodilatasi kulit atau ketersediaan substrat
energi yang rendah.6

Manifestasi Klinis Patofisiologi

Infeksi Hiperglikemia (gluconeogenesis)

15
Penurunan berat badan, kelemahan otot Pemecahan jaringan (lipolisis, ptoyrolisis)

Penglihatan kabur Perubahan osmotik di mata

Poliuria, nokturia, haus Diuresis osmotic

Hiperventilasi, nyeri abdomen, nausea, Ketogenesis menjadi ketoasidosis


vomitus

Tabel 3. Hubungan antara manifestasi klinis dengan patofisiologi KAD6

Differential Diagnosis
Namun terdapat diagnosis banding pada kasus ini, yaitu koma hiperosmolar hiperglikemik
non ketotik, asidosis metabolik, dan asidosis laktat. Koma hiperosmolar hiperglikemik non
ketotik (HHNK) adalah suatu keadaan hiperglikemik dalam darah dan ditandai juga dengan
peningkatan osmolalitas darah. Kondisi ini berbahaya karena dapat menyebabkan
menurunnya perfusi jaringan, oklusi dan intravaskular koagulasi. Untuk membedakan KAD
dan HHNK adalah dari gejala klinis adanya napas Kussmaul yang menandakan adanya
mekanisme kompensasi terhadap asidosis. Karena pada pasien dengan HHNK tidak terdapat
tanda-tanda dari asidosis, dan penelitian epidemiologi bahwa HHNK biasanya terjadi pada
orang tua di atas usia 60 tahun.3
Asidosis metabolik adalah asidosis yang terjadi karena penurunan dari HCO3 dalam
tubuh yang terutama disebabkan oleh diare berkepanjangan. Namun dapat disingkirkan dari
anamnesis bahwa pasien menderita diare dan ditemukannya benda keton dalam urin atau
serum. Asidosis laktat adalah asidosis yang terjadi karena penumpukan asam laktat dalam
tubuh yang berlebihan karena kondisi hipoksemia atau konsumsi obat-obatan seperti biguanid
dan etanol. Asidosis laktat dapat disingkirkan dari diagnosis kerja berdasarkan hasil
anamnesis yang tidak ditemukan tanda-tanda hipoksemia dan penggunaan obat-obatan yang
berkepanjangan serta hasil pemeriksaan penunjang.3

16
Hyperosmolar
Diabetic
non Asidosis
Sifat-sifat ketoacidosis
ketoticcoma laktat
(KAD)
(HONK)

Glukosa Tinggi Sangat tinggi Bervariasi


plasma

Ketone Ada Tidak ada Bervariasi


Asidosis Sedang/hebat Tidak ada Hebat
Dehidrasi Dominan Dominan Bervariasi
Hiperventilasi Ada Tidak ada Ada

Tabel 4. Sifat penting dari tiga bentuk dekompensasi (peruraian) metabolic pada diabetes.3

Penatalaksaan
Pasien anak dan remaja (<20 tahun)

Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravaskular dan ekstravaskular serta
perbaikan perfusi ginjal. Namun kebutuhan ekspansi volume vaskular harus diimbangkan
dengan risiko edema serebral yang dikaitkan terhadap pemberian cairan cepat. Cairan dalam
satu jam pertama harus salin isotonik (0,9%) dengan laju 10 sampai 20 ml/kgBB/jam. Pada
pasien dengan dehidrasi berat, protokol ini dapat diulang, namun re-ekspansi awal tidak
boleh melebihi 50 ml/kgBB dalam 4 jam pertama terapi. Terapi cairan lanjutan dihitung
untuk menggantikan defisit cairan secara seimbang dalam waktu 48 jam. Secara umum, NaCl
0,45 -0,9% (tergantung kadar natrium serum) dapat diberikan dengan laju 1,5 kali kebutuhan
maintenance 24 jam (kurang lebih 5 ml/kgBB/jam) dan akan memberikan rehidrasi yang
mulus dengan penurunan osmolalitas tidak melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam.7

Setelah fungsi ginjal terjaga dan kalium serum diketahui kadarnya, maka cairan infus harus
ditambahkan 20 – 30 mEq/L kalium (2/3 KCl atau kalium-asetat dan 1/3 KPO4). Segera
setelah kadar glukosa serum mencapai 250 mg/dL, cairan harus digantikan dengan dekstrosa

17
5% dan 0,45 – 0,75% NaCl dengan kalium sebagaimana digambarkan di atas. Terapi harus
disertai dengan pemantauan status mental untuk mendektsi secara cepat perubahan-perubahan
yang dapat mengindikasikan kelebihan cairan, dengan potensi menyebabkan edema serebral
simptomatik.7

Insulin

Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena kontinu merupakan
pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia (K+ <3,3 mEq/L) disingkirkan, bolus
insulin regular intravena 0,15 unit/kgBB diikuti dengan infus kontinu insulin regular 0,1
unit/kgBB/jam (5-7 unit/jam pada dewasa) harus diberikan. Insulin bolus inisial tidak
direkomendasikan untuk pasien anak dan remaja; infus insulin regular kontinu 0,1
unit/kgBB/jam dapat dimulai pada kelompok pasien ini. Insulin dosis rendah ini biasanya
dapat menurunkan kadar glukosa plasma dengan laju 50- 75 mg/dL/jam sama dengan
regimen insulin dosis lebih tinggi. Bila glukosa plasma tidak turun 50 mg/dL dari kadar awal
dalam 1 jam pertama, periksa status hidrasi; apabila memungkinkan infus insulin dapat
digandakan setiap jam sampai penurunan glukosa stabil antara 50-75 mg/dL.

Pada saat kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dL di KAD dan 300 mg/dL di KHH maka
dimungkinkan untuk menurunkan laju infus insulin menjadi 0,05-0,1 unit/kgBB/jam (3-6
unit/jam) dan ditambahkan dektrosa (5-10%) ke dalam cairan infus. Selanjutnya, laju
pemberian insulin atau konsentrasi dekstrosa perlu disesuaikan untuk mempertahakan kadar
glukosa di atas sampai asidosis di KAD atau perubahan kesadaran dan hiperosmolaritas di
KHH membaik.7

Ketonemia secara khas membutuhkan waktu lebih lama untuk membaik dibandingkan
dengan hiperglikemia. Pengukuran beta-hidroksibutirat langsung pada darah merupakan
metode yang disarankan untuk memantau KAD. Metode nitroprusida hanya mengukur asam
asetoasetat dan aseton serta tidak mengukur beta-hidroksibutirat yang merupakan asam keton
terkuat dan terbanyak. Selama terapi, beta-hidroksibutirat diubah menjadi asam asetoasetat,
sehingga dapat memberikan kesan ketoasidosis memburuk bila dilakukan penilaian dengan
metode nitroprusida. Oleh karena itu, penilaian keton serum atau urin dengan metode
nitroprusida jangan digunakan sebagai indikator respons terapi.7

18
Selama terapi untuk KAD atau KHH, sampel darah hendaknya diambil setiap 2-4 jam untuk
mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH vena serum (terutama
KAD). Secara umum, pemeriksaan analisa gas darah arterial tidak diperlukan, pH vena (yang
biasanya lebih rendah 0,03 unit dibandingkan pH arterial) dan gap anion dapat diikuti untuk
mengukur perbaikan asidosis. Pada KAD ringan, insulin regular baik diberikan subkutan
maupun intramuskular setiap jam, nampaknya sama efektif dengan insulin intravena untuk
menurunkan kadar glukosa dan badan keton. Pasien dengan KAD ringan pertama kali
disarankan menerima dosis “priming” insulin regular 0,4-0,6 unit/kgBB, separuh sebagai
bolus intravena dan separuh sebagai injeksi subkutan atau intravena. Setelah itu, injeksi
insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam secara subkutan ataupun intramuskular dapat diberikan.7

Kriteria perbaikan KAD diantaranya adalah: kadar glukosa <200 mg/dL, serum bikarbonat
≥18 mEq/L dan pH vena >7,3. Setelah KAD membaik, bila pasien masih dipuasakan maka
insulin dan penggantian cairan intravena ditambah suplementasi insulin regular subkutan
setiap 4 jam sesuai keperluan dapat diberikan. Pada pasien dewasa, suplementasi ini dapat
diberikan dengan kelipatan 5 unit insulin regular setiap peningkatan 50 mg/dL glukosa darah
di atas 150 mg/dL, dosis maksimal 20 unit untuk kadar glukosa ≥300 mg/dL.7

Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan menggunakan
kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah atau panjang sesuai keperluan
untuk mengendalikan kadar glukosa. Lanjutkan insulin intravena selama 1-2 jam setelah
regimen campuran terpisah dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat.
Penghentian tiba-tiba insulin intravena disertai dengan awitan tertunda insulin subkutan dapat
menyebabkan kendali yang memburuk; oleh karena itu tumpang tindih antara terapi insulin
intravena dan inisiasi insulin subkutan harus diadakan.

Pasien dengan riwayat diabetes sebelum dapat diberikan insulin dengan dosis yang mereka
terima sebelumnya sebelum awitan KAD atau KHH dan disesuaikan dengan kebutuhan
kendali. Pasien-pasien dengan diagnosis diabetes baru, dosis insulin inisial total berkisar
antara 0,5-1,0 unit/kgBB terbagi paling tidak dalam dua dosis dengan regimen yang
mencakup insulin kerja pendek dan panjang sampai dosis optimal dapat ditentukan. Pada
akhirnya, beberapa pasien T2DM dapat dipulangkan dengan antihiperglikemik oral dan terapi
diet pada saat pulang.7

19
Medikamentosa

Kalium

Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia ringan sedang dapat
terjadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin, koreksi asidosis dan ekspansi volume
menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium
dimulai apabila kadar kalium serum telah di bawah 5,5 mEq/L, dengan mengasumsikan
terdapat keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) untuk
setiap liter cairan infus mencukupi untuk mempertahankan kadar kalium serum antara 4-5
mEq/L. Pada keadaan tertentu, pasien KAD dapat datang dengan hipokalemia signifikan.
Pada kasus-kasus ini, penggantian kalium harus dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan
pemberian insulin ditunda sampai kadar kalium mencapai lebih dari 3,3 mEq/L dalam rangka
mencegah terjadinya aritmia atau henti jantung dan kelemahan otot pernapasan.7

Koreksi asidosis metabolik

Pada pasien anak, tidak ada penelitian acak terhadap subyek dengan pH<6,9. Bila pH tetap
<7,0 setelah hidrasi dalam satu jam pertama, nampaknya pemberian natrium bikarbonat 1-2
mEq/kg selama 1 jam dapat dibenarkan. Natrium bikarbonat ini dapat ditambahkan ke dalam
lauran NaCl dan kalium yang dibutuhkan untuk membuat larutan dengan kadar natrium tidak
melebihi 155 mEq/L. Terapi bikarbonat tidak dibutuhkan bila pH ≥7,0.7

Fosfat

Walaupun terdapat defisit fosfat tubuh total rata-rata 1 mmol/kgBB, namun fosfat serum
dapat normal ataupun meningkat saat presentasi. Konsentrasi fosfat menurun dengan terapi
insulin. Penelitian-penelitian acak prospektif gagal menunjukkan adanya keuntungan terapi
penggantian fosfat terhadap keluaran klinis KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat
menyebabkan hipokalsemia berat tanpa tanda-tanda tetani. Meskipun demikian, untuk
mengindari kelemahan jantung dan otot skeletal serta depresi pernapasan akibat
hipofosfatemia, terapi penggantian fosfat secara hati-hati dapat diindikasikan pada pasien
dengan disfungsi jantung, anemia atau depresi pernapasan dan pada pasien dengan
konsentrasi serum fosfat <1,0 mg/dL. Pada saat dibutuhkan, kalium fosfat 20-30 mEq/L

20
dapat ditambahkan ke dalam cairan pengganti.7

Komplikasi
1. Hipoglikemia dan hipokalemia

Sebelum penggunaan protokol insulin dosis rendah, kedua komplikasi ini dapat dijumpai
pada kurang lebih 25% pasien yang diterapi dengan insulin dosis tinggi. Kedua komplikasi
ini diturunkan secara drastis dengan digunakannya terapi insulin dosis rendah. Namun,
hipoglikemia tetap merupakan salah satu komplikasi potensial terapi yang insidensnya
kurang dilaporkan secara baik. Penggunaan cairan infus menggunakan dekstrosa pada saat
kadar glukosa mencapai 250 mg/dL pada KAD dengan diikuti penurunan laju dosis insulin
dapat menurunkan insidens hipoglikemia lebih lanjut. Serupa dengan hipoglikemia,
penambahan kalium pada cairan hidrasi dan pemantauan kadar kalium serum ketat selama
fase-fase awal KAD dan KHH dapat menurunkan insidens hipokalemia.7

2. Edema Serebral

Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD telah dikenal lebih dari 25
tahun. Penurunan ukurnan ventrikel lateral secara signifikan, melalu pemeriksaan eko-
ensefalogram, dapat ditemukan pada 9 dari 11 pasien KAD selama terapi. Meskipun
demikian, pada penelitian lainnya, sembilan anak dengan KAD diperbandingkan sebelum dan
sesudah terapi, dan disimpulkan bahwa pembengkakan otak biasanya dapat ditemukan pada
KAD bahkan sebelum terapi dimulai. Edema serebral simtomatik, yang jarang ditemukan
pada pasien KAD dan KHH dewasa, terutama ditemukan pada pasien anak dan lebih sering
lagi pada diabetes awitan pertama.

Tidak ada faktor tunggal yang diidentifikasikan dapat memprediksi kejadian edema serebral
pada pasien dewasa. Namun, suatu studi pada 61 anak dengan KAD dan serebral edema yang
dibandingkan dengan 355 kasus matching KAD tanpa edema serebral, menemukan bahwa
penurunan kadar CO2 arterial dan peningkatan kadar urea nitrogen darah merupakan salah
satu faktor risiko untuk edema serebral. Untuk kadar CO2 arterial ditemukan setiap
penurunan 7,8 mmHg PCO2 meningkatkan risiko edema serebral sebesar 3,4 kali (OR 3,4;
95% CI 1,9 – 6,3, p<0,001). Sedangkan untuk kadar urea nitrogen darah setiap penurunan
kadar sebesar 9 mg/dL meningkatkan risiko sebesar 1,7 kali (OR 1,7; 95% CI 1,2 – 2,5,

21
p=0,003).7

Suatu pengalaman lebih dari 20 tahun penanganan pasien KAD dengan edema serebral pada
sebuah rumah sakit Australia menyimpulkan langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah
KAD. Disarankan protokol yang menggunakan hidrasi lambat dengan cairan isotonik
direkomendasikan untuk menangani pasien dengan KAD. Beberapa studi lain juga
menemukan hubungan antara edema serebral dengan laju pemberian cairan yang tinggi,
terutama pada jam-jam pertama resusitasi cairan. Rekomendasi terkini adalah membatasi
pemberian cairan pada 4 jam pertama terapi dengan <50 ml/kgBB cairan isotonik.

3. Sindrom distres napas akut dewasa (adult respiratory distress syndrome)

Suatu komplikasi yang jarang ditemukan namun fatal adalah sindrom distres napas akut
dewasa (ARDS). Selama rehidrasi dengan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan koloid
osmotik awal dapat diturunkan sampai kadar subnormal. Perubahan ini disertai dengan
penurunan progresif tekanan oksigen parsial dan peningkatan gradien oksigen arterial
alveolar yang biasanya normal pada pasien dengan KAD saat presentasi. Pada beberapa
subset pasien keadaan ini dapat berkembang menjadi ARDS. Dengan meningkatkan tekanan
atrium kiri dan menurunkan tekanan koloid osmotik, infus kristaloid yang berlebihan dapat
menyebabkan pembentukan edema paru (bahkan dengan fungsi jantung yang normal). Pasien
dengan peningkatan gradien AaO2 atau yang mempunyai rales paru pada pemeriksaan fisis
dapat merupakan risiko untuk sindrom ini. Pemantauan PaO2 dengan oksimetri nadi dan
pemantauan gradien AaO2 dapat membantu pada penanganan pasien ini. Oleh karena infus
kristaloid dapat merupakan faktor utama, disarankan pada pasien-pasien ini diberikan infus
cairan lebih rendah dengan penambahan koloid untuk terapi hipotensi yang tidak responsif
dengan penggantian kristaloid.7

4. Asidosis metabolik hiperkloremik

Asidosis metabolik hiperkloremik dengan gap anion normal dapat ditemukan pada kurang
lebih 10% pasien KAD; meskipun demikian hampir semua pasien KAD akan mengalami
keadaan ini setelah resolusi ketonemia. Asidosis ini tidak mempunyai efek klinis buruk dan
biasanya akan membaik selama 24-48 jam dengan ekskresi ginjal yang baik. Derajat
keberatan hiperkloremia dapat diperberat dengan pemberian klorida berlebihan oleh karena

22
NaCl normal mengandung 154 mmol/L natrium dan klorida, 54 mmol/L lebih tinggi dari
kadar klorida serum sebesar 100 mmol/L.

Sebab lainnya dari asidosis hiperkloremik non gap anion adalah: kehilangan bikarbonat
potensial oleh karena ekskresi ketoanion sebagai garam natrium dan kalium; penurunan
availabilitas bikarbonat di tubulus proksimal, menyebabkan reabsorpsi klorida lebih besar;
penurunan kadar bikarbonat dan kapasitas dapar lainnya pada kompartemen-kompartemen
tubuh. Secara umum, asidosis metabolik hiperkloremik membaik sendirinya dengan reduksi
pemberian klorida dan pemberian cairan hidrasi secara hati-hati. Bikarbonat serum yang tidak
membaik dengan parameter metabolik lainnya harus dicurigai sebagai kebutuhan terapi
insulin lebih agresif dan pemeriksaan lanjutan.7

5. Trombosis vaskular

Banyak karakter pasien dengan KAD dan KHH mempredisposisi pasien terhadap trombosis,
seperti: dehidrasi dan kontraksi volume vaskular, keluaran jantung rendah, peningkatan
viskositas darah dan seringnya frekuensi aterosklerosis. Sebagai tambahan, beberapa
perubahan hemostatik dapat mengarahkan kepada trombosis. Komplikasi ini lebih sering
terjadi pada saat osmolalitas sangat tinggi. Heparin dosis rendah dapat dipertimbangkan
untuk profilaksis pada pasien dengan risiko tinggi trombosis, meskipun demikian belum ada
data yang mendukung keamanan dan efektivitasnya.7

Pencegahan

Dua faktor pencetus utama KAD adalah terapi insulin inadekuat (termasuk non-komplians)
dan infeksi. Pada sebagian besar kasus, kejadian-kejadian ini dapat dicegah dengan akses
yang lebih baik terhadap perawatan medis, termasuk edukasi pasien intensif dan komunikasi
efektif dengan penyedia layanan kesehatan selama kesakitan akut.

Target-target pencegahan pada krisis hiperglikemik yang dicetuskan baik oleh kesakitan akut
ataupun stres telah dibahas di atas. Target-target ini termasuk mengendalikan defisiensi
insulin, menurunkan sekresi hormon stres berlebihan, menghindari puasa berkepanjangan dan
mencegah dehidrasi berat. Oleh karena itu, suatu program edukasi harus mengulas
manajemen hari sakit dengan informasi spesifik pemberian insulin kerja pendek, target

23
glukosa darah selama sakit, cara- cara mengendalikan demam dan mengobati infeksi dan
inisiasi diet cair mudah cerna berisi karbohidrat dan garam. Paling penting adalah penekanan
kepada pasien untuk tidak menghentikan insulin dan segera mencari konsultasi ahli pada
awal masa sakit.

Gambar 3. Algoritme pengukuran kadar keton darah pada saat hari sakit dan kadar glukosa
darah di atas 250 mg/dl.7

Keberhasilan program seperti di atas bergantung kepada interaksi erat antara pasien dan
dokter serta pada tingkat keterlibatan pasien atau anggota keluarga dalam mencegah
diperlukannya rawat inap. Pasien/keluarga harus bersedia untuk mencatat glukosa darah,
keton urin, pemberian insulin, temperatur, laju napas dan nadi serta berat badan secara akurat.
Indikator perawatan rumah sakit termasuk: kehilangan berat badan >5%; laju napas >30
kali/menit; peningkatan glukosa darah refrakter; perubahan status mental; demam tak
terkendali; dan nausea vomitus tak terobati.

Selain isu edukasi seperti di atas, beberapa studi melaporkan bahwa salah satu penyebab
penting KAD pada pasien dengan T1DM adalah penghentian insulin (67%). Alasan untuk
penghentian insulin diantaranya adalah permasalahan ekonomi (50%), kehilangan nafsu

24
makan (21%), masalah prilaku (14%) atau rendahnya pengetahuan manajemen hari sakit
(14%). Oleh karena penyebab paling umum dari penghentian insulin adalah alasan ekonomi,
perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat dan akses pasien ke pengobatan adalah cara
terbaik untuk mengatasinya pada kelompok pasien ini.7

Prognosis

Prognosis dari ketoasidosis diabetik biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pada pasien
ini bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolarnya sendiri tetapi oleh penyakit yang
mendasar atau menyertainya. Angka kematian masih berkisar 30-50%. Di negara maju dapat
dikatakan penyebab kematian utama adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang
sangat tinggi. Di negara maju angka kematian dapat ditekan menjadi sekitar 12%.
Ketoasidosis diabetic sebesar 14% dari seluruh rumah sakit penerimaan pasien dengan
diabetes dan 16% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan diabetes. Angka kematian
keseluruhan adalah 2% atau kurang saat ini. Pada anak-anak muda berumur 10 tahun,
ketoasidosis diabetikum menyebabkan 70% kematian terkait diabetes.

Kesimpulan

Hipotesis diterima. Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi metabolik yang


ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut atau relative. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus
yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD
biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. Kurangnya
glukosa dalam sel mengakibatkan proses gluconeogenesis dan terbentuknya benda-benda
keton yang bersifat asam sehingga menyebabkan kondisi asidosis. Terapi utama pada KAD
adalah rehidrasi dan insulin serta dilakukan pemantauan terhadap kadar elektrolit, gula dan
status pasien untuk mencegah terjadinya komplikasi. Prognosis penyakit umumnya buruk jika
tidak ditangani segera dan tepat.

25
Daftar Pustaka
1. Charles, YM Bee. Point of care ketone testing: screening for diabetic ketoacidosis at
the emergency department. Singapore Journal Medicine: 2007.
2. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL. Harrison’s principals of internal medicine. USA:
The McGraw- Hill Inc; 2008.
3. Schwab, TM. Screening for ketonemia in patients with diabetic. Annal of Emergency
Medicine: 1999.
4. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: ECG; 2003.
5. English P, Williams G. Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus.
Liverpool: Postgrad Med; 2003.
6. TM, Wallace, Mathews. Recent advances in the monitoring and management of
diabetic ketoacidosis. QJ Med: 2004.
7. Kitabchi, AE. Management of hyperglycemic crises ini patients with diabetic.
University of Tennesse, Division of Endrocionology: January 2001.

26

Anda mungkin juga menyukai