Anda di halaman 1dari 97

http://arifin-muchamad.blogspot.co.

id/2013/11/laporan-
pendahuluan-fraktur-tibia.html
Laporan Pendahuluan Fraktur Tibia

A.Anatomi Fisioligi

1.Tibia (tulang kering)


Tulang ini termasuk tulang panjang, sehingga terdiri dari tiga bagian:
1. Epiphysis proximalis (ujung atas)
Bagian ini melebar secara transversal dan memiliki permukaan sendi superior pada tiap
condylus, yaitu condylus medial dan condylus lateral. Ditengah-tengahnya terdapat
suatu peninggian yang disebut eminenta intercondyloidea.
2. Diaphysis (corpus)
Pada penampang melintang merupakan segitiga dengan puncaknya menghadap ke
muka, sehingga corpus mempunyai tiga sisi yaitu margo anterior (di sebelah muka),
margo medialis (di sebelah medial) dan crista interossea (di sebelah lateral) yang
membatasi facies lateralis, facies posterior dan facies medialis.Facies medialis
langsung terdapat dibawah kulit dan margo anterior di sebelah proximal.
3. Epiphysis distalis (ujung bawah)
Ke arah medial bagian ini kuat menonjol dan disebut maleolus medialis (mata kaki).
Epiphysis distalis mempunyai tiga dataran sendi yaitu dataran sendi yang vertikal
(facies articularis melleolaris), dataran sendi yang horizontal (facies articularis inferior)
dan disebelah lateral terdapat cekungan sendi (incisura fibularis).
2. Fibula
Merupakan tulang yang panjang, langsing, terletak di sebelah lateral tibia. Epiphysis
proximalis membulat disebut capitulum fibulae. Ke arah proximal meruncing menjadi
apex. Pada capitulum terdapat dua dataran sendi yang disebut facies articularis capitulli
fibulae, untuk bersendi dengan tibia. Pada corpus terdapat empat buah crista yaitu,
crista lateralis, crista anterior, crista medialis dan crista interosssea. Datarannya ada
tiga buah yaitu facies lateralis, facies medialis dan facies posterior. Pada bagian distal
ke arah lateral membulat menjadi maleolus lateralis.

Fisiologi
Menurut Long, B.C, fungsi tulang secara umum yaitu :
1. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh.
2. Melindungi organ-organ tubuh (contoh:tengkorak melindungi otak)
3. Untuk pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan bergerak).
4. Merupakan gudang untuk menyimpan mineral (contoh kalsium dan posfor)
5. Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-sum tulang).
Menurut Price, Sylvia Anderson, Pertumbuhan dan metabolisme tulang dipengaruhi
oleh mineral dan hormon :
1. Kalsium dan posfor tulang mengandung 99 % kalsium tubuh dan 90 % posfor.
Konsentrasi kalsium dan posfor dipelihara hubungan terbalik, kalsitonin dan hormon
paratiroid bekerja untuk memelihara keseimbangan.
2. Kalsitonin diproduksi oleh kelenjar tiroid dimana juga tirokalsitonin yang memiliki efek
untuk mengurangi aktivitas osteoklast, untuk melihat peningkatan aktivitas osteoblast
dan yang terlama adalah mencegah pembentukan osteoklast yang baru.
3 Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Dalam jumlah besar vitamin D
dapat menyebabkan absorbsi tulang seperti yang terlihat dalam kadar hormon
paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D, hormon paratiroid tidak akan
menyebabkan absorbsi tulang sedang vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu
klasifikasi tulang dengan meningkatkan absorbsi kalsium dan posfat oleh usus halus.
4.Paratiroid Hormon, mempunyai efek langsung pada mineral tulang yang
menyebabkan kalsium dan posfat diabsorbsi dan bergerak melalui serum. Peningkatan
kadar paratiroid hormon secara perlahan-lahan menyebabkan peningkatan jumlah dan
aktivitas osteoklast sehingga terjadi demineralisasi. Peningkatan kadar kalsium serum
pda hiperparatiroidisme dapat menimbulkan pembentukan batu ginjal.
5.Growth Hormon (hormon pertumbuhan), disekresi oleh lobus anterior kelenjar pituitary
yang bertanggung jawab dalam peningkatan panjang tulang dan penentuan jumlah
matriks tulang yang dibentuk pada masa sebelum pubertas.
6.Gluikokortikoid, adrenal glukokortikoid mengatur metabolisme protein. Hormon ini
dapat meningkatkan atau menurunkan katabolisme untuk mengurangi atau
meningkatkan matriks organ tulang dan membantu dalam regulasi absorbsi kalsium dan
posfor dari usus kecil.
7.Estrogen menstimulasi aktifitas osteoblast. Penurunan estrogen setelah menopause
mengurangi aktifitas osteoblast yang menyebabkan penurunan matriks organ tulang.
Klasifikasi tulang berpengaruh pada osteoporosis yang terjadi pada wanita sebelum
usia 65 tahun namun matriks organiklah yang merupakan penyebab dari osteoporosis.

A.Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontiunitas tulang, retak atau patahnya tulang yang
utuh, yang biasanya di sebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang di
tentukan jenis dan luas trauma.(lukman 2007,hal 26)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan dan atau tulang
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Arif Mansjoer, 2000, hal 346).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
(Brunner & Suddath, 2002, hal 2357).
Patah batang tibia merupakan fraktur yang sering terjadi dibanding fraktur batang
tulang panjang lainnya. (Sjamjuhidajat & Wim de Jong, 2004, hal 886)
B.Etiologi
Fraktur disebabkan oleh :(Arif Muttaqin, 2008, hal 70)
a.Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang. Hal tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat komuniti dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
b.Trauma tidak langsung
Apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, trauma
tersebut disebut trauma tidak langsung. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap
utuh.
Fraktur juga dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak, dan kontraksi otot ekstrim. (Brunner & Suddart, 2002, hal 2357)
Fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebih oleh tulang
( lukman 2007,hal 26)
Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh :
1) Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang
2) Usia penderita
3) Kelenturan tulang
4) Jenis tulang
Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang yang rapuh karena osteoporosis atau tumor
biasanya menyebabkan patah tulang

C.Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi karena trauma / rudapaksa sehingga dapat menimbulkan luka
terbuka dan tertutup. Fraktur luka terbuka memudahkan mikroorganisme masuk
kedalam luka tersebut dan akan mengakibatkan terjadinya infeksi.
Pada fraktur dapat mengakibatkan terputusnya kontinuitas jaringan sendi, tulang
bahakan kulit pada fraktur terbuka sehingga merangsang nociseptor sekitar untuk
mengeluarkan histamin, bradikinin dan prostatglandin yang akan merangsang serabut
A-delta untuk menghantarkan rangsangan nyeri ke sum-sum tulang belakang,
kemudian dihantarkan oleh serabut-serabut saraf aferen yang masuk ke spinal melalu
“dorsal root” dan sinaps pada dorsal horn. Impuls-impuls nyeri menyeberangi sum-sum
belakang pada interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur spinal asendens,
yaitu spinothalamic tract (STT) dan spinoreticuler tract (SRT). STT merupakan sistem
yang diskriminatif dan membawa informasi mengenai sifat dan lokasi dari stimulus
kepada thalamus kemudian ke korteks untuk diinterpretasikan sebagai nyeri.
Nyeri bisa merangsang susunan syaraf otonom mengaktifasi norepinephrin, sarap
msimpatis terangsang untuk mengaktifasi RAS di hipothalamus mengaktifkan kerja
organ tubuh sehingga REM menurun menyebabkan gangguan tidur.
Akibat nyeri menimbulkan keterbatasan gerak (imobilisasi) disebabkan nyeri bertambah
bila digerakkan dan nyeri juga menyebabkan enggan untuk bergerak termasuk
toiletening, menyebabkan penumpukan faeses dalam colon. Colon mereabsorpsi cairan
faeses sehingga faeses menjadi kering dan keras dan timbul konstipasi.
Imobilisasi sendiri mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya dekubitus, yaitu
luka pada kulit akibat penekanan yang terlalu lama pada daerah bone promenence.
Perubahan struktur yang terjadi pada tubuh dan perasaan ancaman akan integritas
stubuh, merupakan stressor psikologis yang bisa menyebabkan kecemasan.
Terputusnya kontinuitas jaringan sendi atau tulang dapat mengakibatkan cedera neuro
vaskuler sehingga mengakibatkan oedema juga mengakibatkan perubahan pada
membran alveolar (kapiler) sehingga terjadi pembesaran paru kemudian terjadi
kerusakan pada pertukaran gas, sehingga timbul sesak nafas sebagai kompensasi
tubuh untk memenuhi kebutuhan oksigen.
Rudapaksa atau trauma berat Penyakit (Osteoporosis)

Fraktur

Adanya hubungan Luka terbuka
dengan dunia luar ↓
↓ Terputusnya kontinuitas jaringan
Organisme merugikan ↓
mudah masuk Nyeri saat digerakan
↓ dan keengganan bergerak Merangsang
Resikoinfeksi ↓ nociceptor
Kerusakan mobilitas fisik sekitar untuk
↓ mengeluarka
Mobilisasi sekret terganggu histamin,
↓ bradikinin,
Kerusakanpertukarangas prostaglandin

Nyeri
dihantarkan
melalui
Serabut A-delta
dan

Cedera vaskuler, Penekanan yang terlalu Tirah baring yang cukup Sumsum tulang
pembentukan trombus lama lama belakang
↓ ↓ ↓ ↓
Oedema Sirkulasi darah Bising usus menurun Serabut saraf
↓ terganggu ↓ aferen
DisfungsiNeurovaskuler ↓ Retensi faeces dalam ↓
Pemenuhan nutrisi dan colon Spinal melalui
O2ke jaringan menurun ↓ sinap
↓ ↓ Cairan faeces padadorsal
perubahan aliran darah Ischemia direabsorpsi oleh colon rootdan sinap
↓ ↓ ↓ padadorsal
Perubahan membran Nekrosis jaringan faeces kering horn
Alveolar (kapiler) ↓ ↓ ↓
↓ Dekubitus Konstipasi Spinal assenden
edema paru (STT/SRT)
↓ ↓

kerusakanpertukaran Ancaman integritas Thalamus
gas ↓ ↓
Stressor Kortek Serebri
↓ ↓
cemas TimbulNyeri

Merangsang
RAS di
Hipothalamus

REM Menururn

Terjaga
D.Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.
(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna
D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan
Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

E.Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddart (2002; 2358) Manifestasi klinis fraktur adalah
nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitus, pembengkakan
lokal, dan perubahan warna.
1.Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untum meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas
(terliahat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
ekstermitas yang normal. Ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melengkapi satu sama lain sampai 2,5-5cm (1-2 inchi).
4.Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji kreptus
dapat mengakibatkan kerusakan jaringan yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagi akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam
atau cedera.
F.Komplikasi
Brunner dan Suddarth (2002; 2365) membagi komplikasi fraktur kedalam empat
macam, antara lain :
1. Syok hipovolemik atau traumatik yang terjadi karena perdarahan dan kehilangan
cairan ekstra sel kejaringan yang rusak.
2. Sindrome emboli lemak (terjadi dalam 24 sampai 72 jam setelah cedera). Berasal
dari sumsum tulang karena perubahan tekanan dalam tulang yang fraktur mendorong
molekul-molekul lemak dari sumsum tulang masuk ke sistem sirkulasi darah ataupun
karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres.
3. Sindrom Kompartemen terjadi karena perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa diakibatkan karna:
a. Penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu
ketat atau gips atau balutan yang terlalu menjerat
b. Peningkatan isi kompartemen otot karena edema.
4. Tromboemboli, infeksi dan Koagulopati Intravaskuler Desiminata (KID)

G.Pemeriksaan Penunjang
a.Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
b.Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun
( pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
e.Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
(Doenges, 2000 : 762

H.Penatalaksanaan
Menurut Price, Sylvia Anderson, alih bahasa Peter Anugerah, (1994:1187), empat
konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur :
1. Rekognisi, menangani diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian
dibawa ke rumah sakit.
2. Reduksi, reposisi fragmen-fragmen fraktur semirip mungkin dengan keadaan letak
normal, usaha-usaha tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat
mungkin untuk kembali seperti letak asalnya.
3.Retensi, menyatakan metoda-metoda yang dilaksanakan untuk menahan fragmen-
fragmen tersebut selama penyembuhan.
4.Rehabilitasi, dimulai segera setelah dan sesudah dilakukan bersamaan pengobatan
fraktur, untuk menghindari atropi otot dan kontraktur sendi.

Penatalaksanaan klien dengan fraktur dapat dilakukan dengan cara :


1. Traksi
Yaitu penggunaan kekuatan penarikan pada bagian tubuh dengan memberikan beban
yang cukup untuk penarikan otot guna meminimalkan spasme otot, mengurangi dan
mempertahankan kesejajaran tubuh, untuk memobilisasi fraktur dan mengurangi
deformitas.
2. Fiksasi interna
Yaitu stabilisasi tulang yang patah yang telah direduksi dengan skrup, plate, paku dan
pin logam dalam pembedahan yang dilaksanakan dengan teknik aseptik.
3. Reduksi terbuka
Yaitu melakukan kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan fiksasi
dan pemanjangan tulang yang patah.
4. Gips
Adalah fiksasi eksterna yang sering dipakai terbuat dari plester ovaria, fiber dan plastik.

I.Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan tahap yang paling
enentukan bagi tahap berikutnya. Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan
data (Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid. 2009; 24).
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses yang berisikan status kesehatan klien dengan
menggunakan teknik anamnesis (autoanamnesa dan aloanamnesa) dan observasi.
a. Biodata Klien
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin perlu dikaji karena biasanya
laki-laki lebih rentan terhadap terjadinya fraktur akibat kecelakaan bermotor, pendidikan,
pekerjaan, agama, suku/bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian,
diagnosa medis, nomor medrek dan alamat.
2) Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur, pekerjaan, agama,
pendidikan, suku/bangsa, alamat, hubungan dengan klien.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama adalah alasan klien masuk rumah sakit yang dirasakan saat dilakukan
pengkajian yang ditulis dengan singkat dan jelas, dua atau tiga kata yang merupakan
keluhan yang membuat klien meminta bantuan pelayanan kesehatan.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan sampai dengan dibawa
ke rumah sakit dan pengembangan dari keluhan utama dengan menggunakan PQRST.
P (Provokative/Palliative), apa yang menyebabkan gejala bertambah berat dan apa
yang dapat mengurangi gejala.
Q (Quality/Quantity), bagaimana gejala dirasakan klien dan sejauh mana gejala
dirasakan.
R (Region/Radiation) dimana gejala dirasakan ? apakah menyebar? apa yang
dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala tersebut ?
S (Saferity/Scale), seberapa tingkat keparahan gejala dirasakan? Pada skala berapa?
T (Timing), berapa lama gejala dirasakan ? kapan tepatnya gejala mulai dirasakan,
apakah ada perbedaan intensitas gejala misalnya meningkat di malam hari.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya riwayat trauma, riwayat penyakit
tulang seperti osteoporosis, osteomalacia, osteomielitis, gout ataupun penyakit
metabolisme yang berhubungan dengan tulang seperti diabetes mellitus (lapar terus-
menerus, haus dan kencing terus–menerus), gangguan tiroid dan paratiroid.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluartga klien terdapat penyakit keturunan
ataupun penyakit menular dan penyakit-penyakit yang karena lingkungan yang kurang
sehat yang berdampak negatif pada kesehatan anggota keluarga termasuk klien.
c. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
terhadap berbagai sistem tubuh.
1) Keadaan Umum
Klien yang mengalami immobilisasi perlu dilihat dalam hal penampilan, postur tubuh,
kesadaran, gaya berjalan, kelemahan, kebersihan dirinya dan berat badannya.
2) Sistem Pernafasan
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan Cuping Hidung),
kesimetrisan dada dan pernafasan, suara nafas dan frekwensi nafas. Pengaturan
pergerakan pernafasan akan mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan
koordinasi otot. Ekspansi dada menjadi terbatas karena posisi berbaring akibatnya
ventilas paru menurun sehingga dapat menimbulkan atelektasis. Akumulasi sekret pada
saluran pernafasan mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi siliaris yang dapat
menyebabkan pembersihan jalan nafas yang tidak efektif. Kelemahan pada otot
pernafasan akan menimbulkan mekanisme batuk tidak efektif.
3) Sistem Kardiovaskuler
Warna konjungtiva pada fraktur, terutama fraktur terbuka akan terlihat pucat
dikarenakan banyaknya perdarahan yang keluar dari luka, terjadi peningkatan denyut
nadi karena pengaruh metabolik, endokrin dan mekanisme keadaaan yang
menghasilkan adrenergik sereta selain itu peningkatan denyut jantung dapat
diakibatkan pada klien immobilisasi. Orthostatik hipotensi biasa terjadi pada klien
immobilisasi karena kemampuan sistem syaraf otonom untuk mengatur jumlah darah
kurang. Rasa pusing saat bangun bahkan dapat terjadi pingsan, terdapat kelemahan
otot. Ada tidaknya peningkatan JVP (Jugular Vena Pressure), bunyi jantung serta
pengukuran tekanan darah. Pada daerah perifer ada tidaknya oedema dan warna pucat
atau sianosis.
4) Sistem Pencernaan
Keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, kemampuan menelan, peristaltik usus dan nafsu
makan. Pada klien fraktur dan dislokasi biasanya diindikasikan untuk mengurangi
pergerakan (immobilisasi) terutama pada daerah yang mengalami dislokasi hal ini dapat
mengakibatkan klien mengalami konstipasi.
5) Sistem Genitourinaria
Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang, palpasi vesika urinaria untuk
mengetahui penuh atau tidaknya, kaji alat genitourinaria bagian luar ada tidaknya
benjolan, lancar tidaknya pada saat klien miksi serta warna urine. Pada klien fraktur dan
dislokasi biasanya untuk sementara waktu jangan dulu turun dari tempat tidur, dimana
hal ini dapat mengakibatkan klien harus BAK ditempat tidur memaskai pispot sehingga
hal ini menambah terjadinya susah BAK karena klien tidak terbiasa dengan hal
tersebut.
6) Sistem Muskuloskeletal
Derajat Range Of Motion pergerakan sendi dari kepala sampai anggota gerak bawah,
ketidaknyamanan atau nyeri ketika bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan
observasi adanya luka pada otot akibat fraktur terbuka, tonus otot dan kekuatan otot.
Pada klien fraktur dan dislokasi dikaji ada tidaknya penurunan kekuatan, masa otot dan
atropi pada otot. Selain itu dapat juga ditemukan kontraktur dan kekakuan pada
persendian.
7) Sistem Integumen
Keadaan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit meliputi tekstur, kelembaban, turgor,
warna dan fungsi perabaan. Pada klien fraktur dan dislokasi yang immobilisasi dapat
terjadi iskemik dan nekrosis pada jaringan yang tertekan, hal ini dikarenakan aliran
darah terhambat sehingga penyediaan nutrisi dan oksigen menurun.
8) Sistem Persyarafan
Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial, fungsi sensorik dan motorik sertsa fungsi
refleks.
d. Pola Aktivitas Sehari-hari
1) Pola Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari dan kebiasaan makan-makanan yang mengandung
kalsium yang sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan tulang dan kebiasaan
minum klien sehari-hari, meliputi frekwensi, jenis, jumlah dan masalah yang dirasakan.
2) Pola Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien, apakah berpengaruh terhadap perubahan sistem
tubuhnya yang disebabkan oleh fraktur.
3) Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan klien tidur sehari-hari, apakah terjadi perubahan setelah mengalani fraktur.
4) Personal Hygiene
Kebiasaan mandi, cuci rambut, gosok gigi dan memotong kuku perlu dkaji sebelum
klien sakit dan setelah klien dirawat dirumah sakit.
5) Pola Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat ini dan kebiasaan klien
berolah raga sewaktu masih sehat.
e. Aspek Psiko Sosial Spiritual
1) Data Psikologis Pengkajian psikologis yang dilakukan pada klien dengan
fraktur pada dasarnya sama dengan pengkajian psikososial dengan gangguan sistem
lain yaitu mengenai konsep diri (gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan
identitas diri). Pada klien fraktur adanya perubahan yang kurang wajar dalam status
emosional, perubahan tingkah laku dan pola koping yang tidak efektif.
2) Data sosial
Pada data sosial yang dikaji adalah hubungan klien dengan keluarga dan hubungan
klien dengan petugas pelayanan kesehatan.
3) Data Spiritual
Perlu dikaji agama dan kepribadiannya, keyakinan dan harapan yang merupakan aspek
penting untuk penyembuhan penyakitnya.
f. Data Penunjang
Menurut Doengoes et. al (2002:762), pemeriksaaan diagnostik yang biasa
dilakukan pada pasien dengan fraktur:
1) Pemeriksaan rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
2) Computed Tomography (CT-SCAN).
Memperlihatkan fraktur dan dislokasi, dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak dan untuk mengetahui lokasi dan panjangnya patah tulang
didaerah yang sulit dievaluasi.
3) Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai terdapat kerusakan vaskuler.
4) Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin yang biasanya lebih rendah
karena perdarahan akibat trauma. Hematokrit mungkin meningkat atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh dari trauma multiple). Kreatinin
(trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal). Profil koagulasi
(perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel atau cedera hati).

2. Analisa Data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian dikelompokkan berdasarkan masalahnya
kemudian dianalisa dengan menggunakan tabel yang terdiri dari nomer, data yang
terdiri dari data subjektif dan objektif, etiologi dan masalah, sehingga menghasilkan
suatu kesimpulan berupa masalah keperawatan yang nantinya akan menjadi diagnosa
keperawatan.

Diagnosa Keperawatan
Doenges et.al (2000; 762-775) merumuskan delapan diagnosa keperawatan,
Brunner dan Suddarth (2002; 2363) merumuskan tiga diagnosa keperawatan yang
dapat terjadi pada fraktur tertutup dan Engram, Barbara (1999; 268-271) merumuskan
lima diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur.
Dari tiga pendapat tersebut dapat di simpulkan bahwa diagnosa keperawatan
yang mungkin muncul pada gangguan sistem muskuloskeletal dengan fraktur adalah:
1.Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera pada
jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan terpajannya dengan
lingkungan akibat fraktur terbuka, fiksasi pen eksternal.
4.Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi dan terpasangnya
alat fiksasi.
5.Risiko perubahan eliminasi : konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas
usus
6.Kerusakan pola istirahat dan tidur behubungan dengan nyeri
7. Depisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan pergerakan akibat fraktur.
8.Resiko disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan cedera vaskuler
9.Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru dan mobilisasi
sekret tidak adekuat
10. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan.

Perencanaan
Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan yang
dilaksanakan untuk menanggulangi masalah dengan diagnosa keperawatan yang telah
ditentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan pasien.
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera
pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi
Tupan : Nyeri hilang.
Tupen : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 hari di harapkan nyeri
berkurang, dengan kriteria :
a. Klien mengatakan nyeri berkurang.
b. Skala nyeri menjadi 2 dari skala nyeri 0-5
c. Tanda-tanda vital dalam batas normal ( TD = 120/80 mmHg; RR = 16-24
x/menit; N = 60-80 x/menit; S = 36,5-37,50 C).
d. Klien dapat melakukan teknik distraksi dan relaksasi yang tepat.
Rencana :
Tabel 2.4
Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera
pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi
Intervensi rasionalisasi
Pertahankan imobilisasi Menghilangkan nyeri dan
bagian yang sakit dengan mencegah kesalahan posisi
tirah baring, gips, pembebat, tulang/tegangan jaringan yang
traksi. cedera.
Tinggikan dan sokong Untuk meingkatkan aliran darah
ekstremitas yang mengalami balik vena, menurunkan edema,
luka/fraktkur. menurunkan nyeri.
Kaji tngkat nyeri klien Dengan menkaji tingkat nyeri klien
untuk keefektifan pengawasan
intervensi. Tingkat ansietas dapat
mempengaruhi persepsi/reaksi
Lakukan tekhnik distraksi terhadap nyeri.
dengan cara mengajak klien Dengan melakukan teknik distraksi
berbincang-bincang pada klien dengan cara berbincang-
bincang, dapat mengalihkan
Berikan alternatif tindakan perhatian klien tidak hanya tertuju
kenyamanan, contoh pijatan, pada nyeri.
pijatan punggung, perubahan Meningkatkan sirkulasi umum ;
posisi. msnurunkan area tekanan lokal dan
Lakukan dan awasi latihan kelelahan otot.
rentang gerak pasif/aktif.
Mempertahankan
Dorong klien untuk kekuatan/mobilitas otot yang sakit
menggunakan teknik dan memudahkan resolasi inflamasi
manajemen stres, contoh pada jaringan yang cedera.
relaksasi progresif, latihan Memfokuskan kembali perhatian,
napas dalam, imajinasi meningkatkan rasa kontrol, dan
visualisasi. Sentuhan dapat meningkatkan kemampuan
terapeutik. koping dalam manajemen nyeri,
yang mungkin menetap untuk
periode lebih lama.
Sumber: Doenges et. al. (2000, hal 765) Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
PerencanaanDan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler.


Tupan : Immobilisasi fisik tidak terjadi.
Tupen :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 hari diharapkan dapat
melakukan mobilitas fisik dengan bantuan minimal, denngan Kriteria hasil :
a.Klien mampu meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada paling tinggi.
b.Klien mampu mempertahankan posisi fungsional.
c.Klien mampu meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan/ mengkompensasi bagian
tubuh.
d.Klien mampu menunjukan kemampuannya.
Rencana :
Tabel 2.5
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler.

Intervensi Rasionalisasi
a. Lakukan rentang gerak aktif Mencegah/menurunkan insiden
pada anggota gerak sehat komplikasi kulit, menghindari spasme
sedikitnya 4 kali/hari otot, dan gerak aktif meningkatkan
kemandirian dalam pergerakkan
b. Lakukan latihan rentang gerak Gerak pasif dapat mencegah
pasif pada anggota gerak yang kontraktur, dan dengan cara disangga,
sakit dengan hati-hati, dan agar tidak terjadi pergeseran pada
sangga ekstrimitas yang fraktur. tulang yang fraktur
c. Ubah posisi setiap 2-4 jam
Melancarkan sirkulasi sehingga
mempercepat penyembuhan serta
mencegah/menurunkan insiden
d. Tingkatkan latihan gerak komplikasi kulit.
secara perlahan. d. Rentang grak secara bertahap
Hari kedua post op, klien bisa dimungkinkan tidak menyebabkan
duduk di tempat tidur dengan keterkejutan pada klien
nyaman
Hari ketiga post op, klien
bisa turun dari tempat tidur dan
jalan-jalan di sekitar dengan
tangan yang fraktur disangga
Sumber: Doenges et. al. (2000, hal 769) Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan
Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

3. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan terpajannya dengan


lingkungan akibat fraktur terbuka, fiksasi pen eksternal.
Tupan : Infeksi tidak terjadi.
Tupen : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 hari, diharapkan tanda-tanda
infeksi tidak terjadi, dengan Kriteria :
a. Tidak ditemukannya tanda – tanda infeksi.
b. Tanda vital terutama suhu tidak terjadi peningkatan atau dalam batas normal.
c. Leukosit normal (4.000 – 10.000)
Rencana :
Tabel 2.6
Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan terpajannya dengan
lingkungan akibat fraktur terbuka, fiksasi pen eksternal
Intervensi Rasional

O
b
s
e T
a
v n
a d
s a

p
u e
k r
a k
u i
n r
a
u a
k n
p
e g
ma
b n
e g
n r
e
u n
k .
a
n
b
u

k D
a
e p
p a
it t
asi, perubahan warna kulit, bau mengindikasikan timbulnya infeksi
drainage yang tidak enak/asam. lokal/nekrosis jaringan yang dapat
2. Kaji sisi pen/kulit, perhatikan menimbulkan adanya osteomeilitis.
keluhan peningkatan nyeri/rasa
terbakar atau adanya oedema, Dapat mencegah kontaminasi
eritema, drainage / bau tak enak. silang dan kemungkinan infeksi.
3. Berikan perawatan pen/kawat Kekuatan otot, spasme tonik otot
steril sesuai protokol dan latihan rahang dan disphagia menunjukan
mencuci tangan. adanya tetanus.
4. Kaji tonus otot, reflek tendon Adanya drainage purulen akan
dalam dan kemampuan untuk memerlukan kewaspadaan luka untuk
berbicara. mencegah kontaminasi silang.
Antibiotik spektrum luas dapat
5. Lakukan prosedur isolasi. digunakan secara propilaktip pada
mikroorganisme khusus.
Leukositosis biasanya ada dengan
6. Berikan obat sesuai dengan proses infeksi.
indikasi, contoh antibiotik IV/topikal.
7. Kolaborasi pemeriksaan
laboraorium, hitung darah lengkap.
Sumber: Doenges et. al. (2000, hal 765) Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

4.Resiko Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan Imobilisasi dan


Terpasangnya Alat Fiksasi.
Tupan : Integritas kulit terpelihara
Tupen : Setelah dilakukan perawatan selam 2 hari, diharapkan tanda-tanda dekubitus
tidak terjadi, dengan kriteia:
a. Tidak ada kemerahan pada daerah yang tertekan terutama bokong dan tumit
b. Tidak teraba panas pada daerah tertekan
c. Tidak terdapat lecet pada daerah tertekan
Tabel 2.7
Resiko Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan
Imobilisasi dan Terpasangnya Alat Fiksasi.

Intervensi Rasionalisasi
a. Kaji kulit untuk luka Memberikan informasi tentang
terbuka, benda asing, sirkulasi kulit dan masalah yang
kemerahan, perdarahan, mungkin disebabkan oleh alat
perubahan warna, kelabu, dan/atau pemasangan bebat atau
memutih. traksi, atau pembentukan edema
yang membutuhkan intervensi medik
lanjut.
b. Masase kulit dan Menurunkan tekanan konstan
penonjolan tulang. pada area yang peka da risik
Pertahankan tempat kering abrasi/kerusakan kulit
dan bebas kerutan.
Tempatkan bantalan
air/bantalan lain bawah
kiku/tumit sesuai inidikasi. Posisi yang tak tepat dapat
c. Kaji posisi bebat pada alat menyebabkan cedera
traksi kulit/kerusakan.

Dengan mobilisasi aktif maupun


d. Lakukan mobilisai aktif pasif sirkulasi darah pada daerah
maupun pasif. tertentu lancar dan penekanan-
penekanan pada daerah tertentu
tidak berlebihan
Sumber: Doengoes, et. al. (2000, hal 771). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

5. Kerusakan pola istirahat dan tidur behubungan dengan nyeri


Tupan : kerusakan pola istirahat teratasi
Tupen : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam Kebutuhan istirahat
tidur terpenuhi, dengan kriteria:
a. Tidur/istirahat diantara gangguan
b. Melaporkan peningkatan rasa sehat dan merasa dapat istirahat
Rencana:
Tabel .2.8
Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan Nyeri

Intervensi Rasionalisasi
Berikan makanan kecil, Meningkatkan relaksasi dengan
susu hangat sore hari perasaan mengantuk
Turunkan jumlah minum Menurunkan kebutuhan akan
sore hari, lakuikan berkemih bangun untuk pergi ke kamar mandi
sebelum tidur
Batasi masukan makanan Kafein dapat memperlambat klien
dan minuman mengandung untuk tidur dan memopengaruhi tidur
kafein tahap REM.

Nyeri meruhi kemampuan klien


Kolaborasi dalam untuk tidur, dsan sedatif obat yang
pemberian obat analgetik dan tepat untuk menuiingkatkan istiraht
sedatif

Sumber : Doengoes, et. al. (2000, hal 493, 385). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

6. Risiko perubahan eliminasi : konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas


usus
Tupan : BAB lancar
Tupen : Setelah dilakukan perawatan selama 2 hari diharapkan klien dapat BAB
dengan lancar dengan konsistensi lunak, dengan kriteria :
a. Klien dan keluarga mengetahui tentang jenis-jenis makanan yang dapat
dikonsumsi.
b. BAB lancar dan normal (1-2 x/hari) dengan warna kuning, konsistensi lembek dan
bau khas feces.
c. Tidak terjadi distensi pada abdomen
d. Hasil auskultasi peristaltik usus normal 4-12 x/menit
Rencana :
Tabel 2.9
Risiko perubahan eliminasi : konstipasi berhubungan dengan penurunan
motilitas usus

Intervensi Rasional
1. Melatih klien untuk Dengan tindakan tersebut akan
melakukan pergerakan yang meningkatkan ketegangan otot
melibatkan daerah abdomen abdomen yang membantu
seperti miring kanan dan miring peningkatan peristaltik sehingga
kiri. feses yang keluar lancar.

2. Berikan cairan yang adekuat.Dengan memberikan cairan akan


meningkatkan kandungan air dalam
feses sehingga BAB menjadi lancar.
3. Beri makanan yang tinggi Makanan tinggi serat akan
serat. menarik cairan dari lumen usus
sehingga feses menjadi lembek dan
mudah untuk dikeluarkan.
Sumber: Doenges et. al. (2000, hal 576) Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

7. Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan Keterbatasan Pergerakan Akibat


Fraktur
Tujuan : Kebutuhan perawatan diri terpenuhi
Tupen: setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam defisit perawatan diri teratasi,
dengan kriteria:
a. Mendemontrasikan teknik perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan
perawatan diri
b. Melakukan perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri
Rencana:
Tabel 2.10
Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan
Keterbatasan Pergerakan Akibat Fraktur

Intervensi Rasionalisasi
Beri informasi tentang Dengan memberikan informasi
pentingnya perawatan diri dapat menambah wawasan
bagi klien pengetahuan klien tentang cara
Bantu dan fasilitasi klien
perawatan diri yang benar
dalam melakukan personal Dengan menyediakan dan
higiene mendekatkan akan mendorong
kemandirian klien dalam hal
Jaga kebersihan pakaian melakukan aktivitas
dan alat tenun klien Pakaian yang bersih dan alat
Berikan lotion dan talk tenun yang kering dapat mencegah
setelah mandi terjadinya gatal.
Untuk meningkatkan rasa nyaman
klien dan dapat mencegah terjadinya
biang keringat
Sumber:Doengoes, et. al. (2000, hal 301). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan
Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

8. Resiko Disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan cedera vaskuler


Tupan : Perfusi jaringan adekuat
Tupen : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam diharapkan tidak ada
tanda-tanda penurunan perfusi jaringan, dengan kriteria :
a. Kesadaran kompos mentis
b. Tanda-tanda vital dalam batas normal ( TD = 120/80 mmHg; RR = 16-24 x/menit;
N = 60-80 x/menit; S = 36,5-37,50 C)
c. Akral hangat
Rencana:
Tabel 2.11
Resiko Disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan
cedera vaskuler
Intervensi Rasionalisasi
a. Lepaskan perhiasan dari Dapat membendung sirkulasi bila
ekstrimitas yang sakit terjad edema
b. Kaji aliran kapiler, warna Warna kulit putih menunjukkan
kulit, dan kehangatan distal gangguan arterial. Sianosis diduga
pada fraktur gangguan vena
Gangguan perasaan kebas,
kesemutan, peningkatan nyeri terjadi
c. Lakukan pengkajian bila sirkulasi pada saraf tidak
neuromuskular, perhatikan adekuat atau saraf rusak
perubahan fungsi
motor/sensor Faktor ini disebabkan atau
mengidentifikasikan tekanan
d. Kaji keluhan rasa terbakar mjaringan/iskemia, menimbulkan
dibawah gips kerusakan atau nekrosis
Alat traksi dapat menyebabkan
tekanan pada pembuluh darah/saraf,
e. Awasi posisi/lokasi cincin terutama pada aksila dan lipat paha.
penyokong bebat Dislokasi fraktur sendi
(khususnya lutut) dapat
f. Selidiki tanda iskemia menyebabkan kerusakan arteriyang
ekstrimitas tiba-tiba, contoh berdekatan, dengan akibata
peniurunan suhu kulit, dan hilangnya aliran darah ke distal
peningkatan nyeri] Meningkatkan sirkulasi dan
menurunkan pengumpulan darah
g. Dorong pasien untuk khususnya pada ekstrimitas bawah
melakukan ambulasi Terdapat peningkatan untuk
sesegera mungkin tromboplebitis dan emboli paru pada
pasien imobilisasi selama lima hari
h. Selidiki nyeri tekan, Perubahan tanda-tanda vital
pembengkakan pada dorso menunjukkan peningkatan sirkulasi
fleksi kaki.

i. Awasi tanda vital.


Sumber:Doengoes, et. al. (2000, hal 766). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan
Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

9. Ansietas berhubungan dengan Kurang pengetahuan


Tupan : Cemas hilang
Tupen : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam cemas berkurang,
dengan kriteria:
a. Klien tampak rileks
b. Melaporkan ansietas berkurang
Rencana:
Tabel 2.12
Ansietas berhubungan dengan
Kurang pengetahua

Intervensi Rasionalisasi
a. Jalin rasa percaya Rasa percaya dapat melahirkan
keterbukaan
b. Kaji ulang tingkat Dapat mengetahui derajat
kecemasan klien kecemasan klien sehingga
memudahkan intervensi selanjutnya
Beban kecemasan dapat
c. Berikan kesempatan berkurang dengan diekspresikan
mengekspresikan Dengan mengetahui penyakit,
perasaannya dimungkinkan klien akan merasa
d. Berikan penjelasan tenang
tentang penyakit yang
diderita Dimungkinkan dapat mengetahui
hal yang tidak diketahui
e. Berikan kesempatan
bertanya untuk
Sumber: Doengoes, et. al. (2000, hal 922) . Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

10. Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru dan mobilisasi
sekret tidak efektif
Tupan : pola nafas adequat
Tupen : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam tidak ditemukannya
tanda-tanda ketidak efektifan pola nafas, dengan kriteria:
a. Mempertahankanpola nafas adequat
b. Frekuensi nafas 12-24x/menit
c. Tidak adanya dispneu/sianosis
Rencana:
Tabel 2.13
Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
Edema paru dan mobilisasi sekret tidak efektif

Intervensi Rasionalisasi
a. Awasi frekuensi pernafasan Tarkifne, dispnea, dan
dan upayanya. Perhatikan perubahan dalam mental dan tanda
stridor, penggunaan otot dini insufisiensi pernafasan dan
bantu, retraksi, terjadinya mungkin hanya indikator terjadinya
sianosis sentral. emboli paru tahap awal
Perubahan dalam bunyi
b Auaskultasi bunyi nafas adventisius menunjukan terjadinya
perhatikan terjadinya ketidak komplikasi pernafasan
samaan Dapat mencegah terjadinya
emboli lemak, yang erat
c. Atasi jaringan cedera/tulang hubungannya dengan fraktur.
dengan lembut, khusunya Menungkatkan ventilasi alveolar
selama beberapa hari dan prfusi. Reposisi meningkatkan
pertama drimnage sekret dan menurunkan
kongesti pada area dependen.
d. Bantu dalam latihan nafas Hemodialisa dapat terjadi
dalam dengan emboli paru

e Observasi sputum untuk tanda


adanya darah
Sumber:Doengoes, et. al. (2000, hal 768) . Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam implementasi juga meliputi pengumpulan
data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan
tindakan dan menilai data yang baru (Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid. 2009; 89).
Menurut wilknison (2007; dalam Nurjanah, Intansari. 2010; 186) implementasi
yang bisa dilakukan oleh perawat terdiri
dari: do (melakukan),delegate (mendelegasikan) dan record (mencatat).

Evaluasi
Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid (2009; 94-96) menjelaskan bahwa evaluasi
adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang
diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
Evaluasi bertujuan untuk mengakhiri rencana tindakan keperawatan, memodifikasi
rencana tindakan keperawatan dan meneruskan rencana keperawatan.
Evaluasi terdiri dari evaluasi proses (formatif) dan evaluasi hasil (sumatif). Evaluasi
formatif adalah evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan, berorientasi pada
etiologi dan dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang telah ditentukan
berhasil. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan
secara paripurna, berorientasi pada masalah keperawatan, menjelaskan
keberhasikan/ketidak berhasilan, rekaputasi dan kesimpulan status kesehatan klien
sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

1.Doenges, Marilynn E. et.al. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman


Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

2.Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang


Imumpasue.

3.Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC

4.Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III. Jakarta :
EGC.

5.Arif Mutaqin.2008.Asuhan Keperawatan Sistem Muskuluskeltal

KONSEP DASAR
OPEN FRAKTUR TIBIA FIBULA (CRURIS)
1. Pengertian
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikena stress yang lebih
besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer Suzanne, C 2001).
 Jenis Fraktur
 Fraktur komplet :
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran
 Fraktur tidak komplet :
Patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
 Fraktur tertutup :
Fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
 Fraktur terbuka :
Fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang
 Greenstick :
Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak
 Transversal :
Fraktur sepanjang garis tengah tulang
 Kominutif :
Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
 Depresi :
Fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
 Kompresi :
Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
 Patologik :
Fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya
2. Etiologi
 Kekerasan langsung (Terkena pada bagian langsung trauma)
 Kekerasan tidak langsung (Terkena bukan pada bagian yang terkena trauma)
 Kekerasan akibat tarikan otot
 Trauma
 Gerakan pintir mendadak
 Kontraksi otot ekstrim
 Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma
 Benturan & cedera (jatuh, kecelakaan)
 Fraktur patofisiologi (oleh karena patogen, kelainan)
 Patah karena letih
3. Tanda Dan Gejala
 Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi, hematoma,
dan edema
 Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
 Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur
 Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
 Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
4. Patofisiologi ( Pathway )

5. Komplikasi
 Malunion : Tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya
 Delayed union : Proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih
lambat dari keadaan normal
 Non union : Tulang yang tidak menyambung kembali
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan fraktur menurut Brunner and Sudarth ( 1996 : 2360 ) dan www.medicastore
diantaranya sebagai berikut :
a) Reduksi Fraktur
 Reduksi tertutup, dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang keposisi semula dengan
manipulasi atau traksi manual.
 Reduksi terbuka, fraktur terbuka memerlukan reduksi terbuka dengan pendekatan bedah, fragmen
tulang direduksi, alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, skrup, plat, paku atau batangan
logam dapat digunakan untuk memperthankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
b) Traksi
Ada dua macam traksi yaitu traksi skelet dan kulit, Traksi kulit adalah traksi yang dipasang tidak
boleh melebihi toleransi kulit ( 2-3 kg beban tarikan ) dan untuk mengontrol spasme kulit dan
memberikan immobilisasi. Macam – macam traksi kulit diantaranya :
 Traksi Buck, adalah traksi kulit dimana tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya
diimmobilisasi parsial atau temporor yang diinginkan.
 Traksi Russell, dapat digunakan untuk fraktur pada plato tibia, menyokong fleksi pada
penggantung dan memberikan gaya tarikan horizontal melalui pita traksi dan balutan elastis
ketungkai bawah.
 Traksi skelet, dipasang langsung ketulang menggunakan pin metal atau kawat yang dimsukan
kedalam tulang disebelah distal garis fraktur, menghindari saraf, pembuluh darah, otot, tendon
sendi. Traksi skelet dipasang secara asepsis seperti pada pembedahan. Traksi skelet biasanya
menggunakan 7 – 12 kilogram umtuk mencapai efek terapi.
c) Immobilisasi Fraktur
Menurut Brunner and Suddarth fraktur direduksi fragmen tulang harus direduksi atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan, immobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi ekterna atau interna fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu,pin dan teknik gips atau fiksator eksterna
d) Pemasangan gips
Jenis – jenis gips diantaranya sebagai berikut :
 Lengan pendek, memanjang dari bawah siku sampai lipatan telapak tangan
 Lengan panjang, memanjang dari setinggi lipat ketiak sampai disebelah proksimal lipatan telapak
tangan
 Tungkai pendek, memanjang dari bawah lutut sampai dasar jari kaki
 Tungkai panjang, memanjang dari perbatasan sepertiga atas dan tengah paha sampai dasar jari
kaki
 Berjalan, gips panjang atau pendek yang di buat lebih kuat
 Tubuh, melingkar di batang tubuh
 Spika, melibatkan sebagian batang tubuh dan satu atau dua ekstremitas
 Spika bahu, jaket tubuh yang melingkar batang tubuh, bahu dan siku
 Spika panggul, melingkari batang tubuh dan satu ekstremitas bawah
e) Debridemen
Luka yang kemerahan biasanya terjadi pada tingkat regenerasi perbaikan jaringan yang lambat,
hal ini diperlukan sebagai perlindungan untuk mencegah kerusakan perbaikan jaringan. Luka
yang berwarna kuning adalah karakteristik utama dari zat cair atau semi cair “ slough ” yang
terkadang diberengi dengan drainasi purulen, mengirigasi luka menggunakan bahan balutan yang
dapat menyerap seperti impregnated nonadheren, balutan hidrogel, atau bahan lain yang dapat
menyerap, luka hitam adalah luka yang tertutup oleh jaringan nekrotik yang tebal atau eschar.
Luka hitam membutuhkan tindakan debridement (membuang jaringan yang nekrotik),
membuang jaringan yang nonviable dari luka harus dilakukan sebelum luka dapat disembuhkan.
 Debridemen mempunyai empat cara, yaitu :
Sharp : Scapel digunakan untuk memisahkan dan membuang
jaringan yang mati
 Mechanical : Dilakukan melalui gosokan kuat atau balutan basah yang
lembab
 Chemical : Enzim collagen
 Outolytic : Balutan mengandung moisture (lengas) seperti transparan film
Balutan/penutup luka Fungsi :
 Melindungi luka dari mekanikal injury
 Melindungi luka dari kontaminasi bakteri
 Mempertahankan High humidity luka
 Mempertahankan isolasi ternal
 Menyerap drainage atau membersihkan luka atau keduanya
 Mencegah hemoragik (digunakan sebagai balutan tekan atau dengan kain pembalut elastis)
 Mengimmobilisasi dan mencegah injury
Tipe Balutan tergantung pada :
 Lokasi ukuran maupun jenis lukanya
 Banyaknya eksudat
 Keadaan luka saat debridement atau adanya infeksi
 Kondisi luka berpengaruh pada frekuensi penggantian balutan, sulit atau mudah pada tindakan
pengantian balutan
Menurut Barbara C . Long ( 1996 : 357 ) penatalaksanaan fraktur terbuka diantaranya:
a) Debridemen luka untuk membersihkan kotoran, benda asing, jaringan yang lepas, dan tulang
yang nekrosis
b) Pemakaian toksoid tetanus
c) Culture jaringan dari luka
d) Kompres terbuka
e) Pengobatan dengan antibiotic
f) Pemantauan gejala osteomyelitis, tetanus, dan gas gangrene
g) Menutup luka setelah diketahui tidak ada infeksi
h) Immobilisasi yang patah
Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
b) Pemeriksaan jumlah darah lengkap
c) Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d) Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal

7. Data Fokus Pengkajian


a. Aktivitas/istirahat
Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena, keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap
kehilangan darah), tachikardi, penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera, cailary refil
melambat, pucat pada bagian yang terkena, ,masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
Kesemutan, deformitas, krepitasi, pemendekan, kelemahan
d. Kenyamanan
Nyeri tiba-tiba saat cidera, spasme/ kram otot
e. Keamanan
Laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna. pembengkakan local
Prioritas Keperawatan
a. Mencegah cedera tulang/ jaringan lanjut
b. Menghilangkan nyeri
c. Mencegah komplikasi
d. Membeikan informasi ttg kondisi dan kebutuhan pengobatan
Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jarinagan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
b. Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang
c. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan
Diagnosa Keperawatan & Intervensi
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jarinagan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
 Tujuan :
 Kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan
 Kriteria hasil:
 Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
 Mempertahankan posisi fungsinal
 Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
 Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
 Intervensi:
 Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
 Tinggikan ekstrimutas yang sakit
 Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
 Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak
 Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
 Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan
sesuai kebutuhan
 Awasi tekanan darah, nadi dengan melakukan aktivitas
 Ubah psisi secara periodic
 Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
b. Nyeri b.d spasme otot , pergeseran fragmen tulang
 Tujuan ;
 Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
 Kriteria hasil:
 Klien menyatajkan nyei berkurang
 Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
 Tekanan darah normal
 Tidak ada eningkatan nadi dan RR
 Intervensi:
 Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
 Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
 Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan
 Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
 Jelaskanprosedu sebelum memulai
 Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
 Dorong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi
visualisasi, sentuhan
 Observasi tanda-tanda vital
 Kolaborasi : pemberian analgetik
c. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan
 Tujuan:
 Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan
 Kriteria hasil:
 Penyembuhan luka sesuai waktu
 Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
 Intervensi:
 Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainage
 Monitor suhu tubuh
 Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
 Lakukan alih posisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
 Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
 Masage kulit sekitar akhir gips dengan alcohol
 Gunakan tempat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
 Kolaborasi emberian antibiotic

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer Suzanne, C 2001. Buku Ajar Medikal Bedah. Jakarta. EGC.

http://csohilait.wordpress.com/2013/10/20/askep-kasus-fraktur-terbuka-tibia-fibula/
Diakses pada tanggal 2 Maret 2014.

FRAKTUR

A. PENGERTIAN

 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka
sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka
organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai
stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).

 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur
terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat
disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan
kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2002).

 Fraktur adalah patahnya tulang, yang biasanya dialami hewan kecil akibat kecelakaan, terjatuh
dan luka (Bleby & Bishop, 2003).

 Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2005).

 Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan
oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

 Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).

B. KLASIFIKASI

Klasifikasi fraktur secara umum :

1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst).

2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:

a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks
tulang).

b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).

3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :

a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.

4. Berdasarkan posisi fragmen :

a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser
dan periosteum masih utuh.

b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi
fragmen

5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).

a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.

2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.

3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.

4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma
kompartement.

b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :

1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.

2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.

3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.

6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :

a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
meruakan akibat trauma angulasijuga.

c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma
rotasi.

d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke
arah permukaan lain.

e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya
pada tulang..

7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :

a. Tidak adanya dislokasi.

b. Adanya dislokasi

 At axim : membentuk sudut.

 At lotus : fragmen tulang berjauhan.

 At longitudinal : berjauhan memanjang.

 At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.

8. Berdasarkan posisi frakur

Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :

a. 1/3 proksimal

b. 1/3 medial

c. 1/3 distal

9. Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

10. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Gambar 1. Tipe Fraktur

C. ETIOLOGI

1. Trauma langsung/ direct trauma


Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya
benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).

2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma

Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada
pegelangan tangan.

3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/
ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.

4. Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

D. ANATOMI FISIOLOGI FRAKTUR

1. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari
embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses
ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat
penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima
kelompok berdasarkan bentuknya :

a. Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang
disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis
terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh,
yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena
akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang
dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang
padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun
remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon
pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang
panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang
suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi
sumsum tulang.

b. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy) dengan
suatu lapisan luar dari tulang yang padat.

c. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar
adalah tulang concellous.

d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.

e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan
dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).

Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri
atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi
dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun
atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan
terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear ( berinti
banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.

Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon


terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella.
Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut
kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang
terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).

Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum.


Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat
perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan
limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan
sel pembentuk tulang.

Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang
panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk
memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna Howship (cekungan
pada permukaan tulang).

Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 % endapan
garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan
kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium
dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam
menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan
organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang
meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi
(kemampuan menahan tekanan).

Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa


pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama
hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan jumlah
stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang
yaitu osteoblas.

Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon terhadap
berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama kali
dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam kalsium mulai
mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya.
Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang
sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang
menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran
mikroskopik di tulang.

Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian ion
kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap sebagai kalsium
yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan
interstisium, dan darah.

Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan


pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang
disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel
mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan
enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada
hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Setelah
selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi
daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang
telah melemah diganti dengan tulang baru yang lebih kuat.

Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang terus


menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas osteoblas
melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas
osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada
orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total
massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas
dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang
yang mengalami imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas
osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas
dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.

Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga dan stres
beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang secara
drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen,
testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan
pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya
kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang-
tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung
pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas
berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.

Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung


dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang penyerapan
kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi
tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar kalsium serum dengan
meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa
diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang.

Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol


oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak
tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat sebagai respons
terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas
dan merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah.
Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan
pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon
paratiroid pada osteoklas.

Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum


dengan menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi
ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal
bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang
dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum.
Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan osteoklas. Efek-efek ini
meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga menurunkan kadar kalsium serum.

2. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.

b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan lunak.

c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan).


d. Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema topoiesis).

e. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

E. PATOFISIOLOGI

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi
apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya

Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur

1. Faktor Ekstrinsik

Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu,
dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

2. Faktor Intrinsik

Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur
seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan
tulang.
F. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan


ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci
sebagai berikut:

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang


diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan
dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa
jam atau hari setelah cedera.

Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan
justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling
terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan
pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah
tersebut.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang
cedera.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
5. Pemeriksaan Darah Lengkap

Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah akibat
perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas,
Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan beban
kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cederah hati.

H. KOMPLIKASI

1. Komplikasi Awal

a. Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan
oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.

b. Kompartement Syndrom

Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang
sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah
yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup
rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan
yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang
terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan
tulang hasta (radius atau ulna).

c. Fat Embolism Syndrom


Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika
gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang
rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada
pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari
sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah,
marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.

d. Infeksi

System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

e. Avaskuler Nekrosis

Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis
avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai
fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari
sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi
dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia
keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting.
Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri
yang menetap pada saat menahan beban

f. Shock

Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

g. Osteomyelitis

Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa
exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam
tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi.
Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki
risiko osteomyelitis yang lebih besar
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama

a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)

Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.

b. Non union (tak menyatu)

Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang –

kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan
non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari
fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis..

c. Malunion

Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas, angulasi
atau pergeseran.

I. STADIUM PENYEMBUHAN FRAKTUR

Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara
ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:

1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma

Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler
baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler

Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari
periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah
osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah
tulang baru yg menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung
selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus

Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan
keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-
sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang
yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

4. Stadium Empat-Konsolidasi

Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan
pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa
diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling

Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau
tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih
tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya
dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
Gambar 9.Fase Penyembuhan Tulang

J. PENATALAKSANAAN MEDIS

Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :

1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.

Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka jaringan
disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat
penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang
fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.
 Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.

 Pemasangan gips

Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips yang ideal adalah
yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips
adalah :

o Immobilisasi dan penyangga fraktur

o Istirahatkan dan stabilisasi

o Koreksi deformitas

o Mengurangi aktifitas

o Membuat cetakan tubuh orthotik

Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah :


o Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan

o Gips patah tidak bisa digunakan

o Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien

o Jangan merusak / menekan gips

o Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk

o Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama

2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.

Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan
lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi
internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.

a. Penarikan (traksi) :

Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas
pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan
sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :

 Traksi manual

Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency
 Traksi mekanik, ada 2 macam :

o Traksi kulit (skin traction)

Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam
waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.

o Traksi skeletal

Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan
untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan
metal.

Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :

 Mengurangi nyeri akibat spasme otot

 Memperbaiki & mencegah deformitas

 Immobilisasi

 Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)

 Mengencangkan pada perlekatannya

Prinsip pemasangan traksi :

 Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik

 Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat agar reduksi dapat
dipertahankan

 Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus

 Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol

 Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai


b. Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada pecahan-
pecahan tulang.

Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin adalah
pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya
insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang
anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen
tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini
dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan paku.

Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :

 Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah

 Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada didekatnya

 Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai

 Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain

 Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus yang tanpa
komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir
normal selama penatalaksanaan dijalankan

1) FIKSASI INTERNA
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk fraktur lainnya kurang
cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi
mungkin tidak cukup kuat untuk mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika hasil pemeriksaan
radiologi memberi kesan bahwa jaringan lunak mengalami interposisi di antara ujung tulang
karena hal ini hampir selalu menyebabkan non-union.

Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan stabilitas longitudinal


serta kesejajaran (alignment) serta membuat penderita dápat dimobilisasi cukup cepat untuk
meninggalkan rumah sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur. Kerugian meliput anestesi,
trauma bedah tambahan dan risiko infeksi.

Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang tercepat dengan trauma yang minimal,
tetapi paling sesuai untuk fraktur transversal tanpa pemendekan. Comminuted fracture paling
baik dirawat dengan locking nail yang dapat mempertahankan panjang dan rotasi.

2) FIKSASI EKSTERNA
Bila fraktur yang dirawat dengan traksi stabil dan massa kalus terlihat pada
pemeriksaan radiologis, yang biasanya pada minggu ke enam, cast brace dapat dipasang.
Fraktur dengan intramedullary nail yang tidak memberi fiksasi yang rigid juga cocok untuk
tindakan ini.

3. Agar terjadi penyatuan tulang kembali

Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu
dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat gangguan dalam
penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang.

4. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula

Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Maka dari itu
diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.

K. PENGKAJIAN

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

1. Pengumpulan Data

a. Anamnesa
1) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

2) Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut
atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:

a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.

b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti
terbakar, berdenyut, atau menusuk.

c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan
fungsinya.

e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang

5) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik

6) Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat

7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak

b) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi
dan mobilitas klien.

c) Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu
pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.

d) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain

e) Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap

f) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)

g) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur

h) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya

i) Pola Penanggulangan Stress


Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.

j) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

b. Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk


mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

1) Gambaran Umum

Perlu menyebutkan:

a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.

(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.

(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.

b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

(1) Sistem Integumen

Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.

(2) Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
(3) Leher

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

(4) Muka

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.

(5) Mata

Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)

(6)Telinga

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.

(7) Hidung

Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

(8) Mulut dan Faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

(9) Thoraks

Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

(10) Paru

(a) Inspeksi

Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.

(b) Palpasi

Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

(c) Perkusi

Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi

Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

(11) Jantung

(a) Inspeksi

Tidak tampak iktus jantung.

(b) Palpasi

Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

(c) Auskultasi

Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

(12) Abdomen

(a) Inspeksi

Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

(b) Palpasi

Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

(c) Perkusi

Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

(d) Auskultasi

Peristaltik usus normal  20 kali/menit.

(13) Inguinal-Genetalia-Anus

Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler  5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

a) Look (inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).

(2) Cape au lait spot (birth mark).

(3) Fistulae.

(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.

(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).

(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

b) Feel (palpasi)

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral
(posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua
arah, baik pemeriksa maupun klien.

Yang perlu dicatat adalah:

(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time  Normal
> 3 detik

(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.

(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).

Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau
melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka
sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas


dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

2. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan


sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang
dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar
indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal
yang harus dibaca pada x-ray:

1) Bayangan jaringan lunak.

2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.

3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:

1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit
divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.

2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.

3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.


4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

b. Pemeriksaan Laboratorium

1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam
membentuk tulang.

3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

c. Pemeriksaan lain-lain

1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme


penyebab infeksi.

2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi
lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.

3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.

4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.

5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.

6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d
kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada
RENCANA KEPERAWATAN

DIANGOSA
NO
KEPERAWATAN DAN TUJUAN (NOC)
DX
KOLABORASI

1 Nyeri akut b/d spasmeNOC


otot, gerakan fragmen NIC
tulang, edema, cedera Pain Level,
jaringan lunak,
 Pain control, Pain Management
pemasangan traksi, Lakukan pengkajian nye
stress/ansietas, luka
 Comfort level karakteristik, durasi, frek
operasi.
Kriteria Hasil : Observasi reaksi nonverba

Mampu mengontrol nyeri Gunakan teknik komunika


(tahu
penyebab nyeri, mampu menggunakan nyeri pasien
tehnik nonfarmakologi untuk
Evaluasi pengalaman nye
mengurangi nyeri, mencari bantuan)
Evaluasi bersama pas
Melaporkan bahwa nyeri berkurang
ketidakefektifan kontrol n
dengan menggunakan manajemen nyeri
Bantu pasien dan keluarga
Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) Kurangi faktor presipitasi

Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri


Ajarkan tentang teknik no
berkurang
Evaluasi keefektifan kontr
Tanda vital dalam rentang normal
Tingkatkan istirahat

Kolaborasikan dengan do
tidak berhasil

Monitor penerimaan pasie


2 Gangguan pertukaran gasNOC : NIC :
b/d perubahan aliran
darah, emboli, perubahan  Respiratory Status : Gas exchange
membran alveolar/kapiler Airway Management
 Respiratory Status : ventilation Buka jalan nafas, guanaka
(interstisial, edema paru,
kongesti)  Vital Sign Status Posisikan pasien untuk me
Kriteria Hasil : Identifikasi pasien perluny
Mendemonstrasikan peningkatan
Pasang mayo bila perlu
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
Lakukan fisioterapi dada j
Memelihara kebersihan paru paru dan
bebas dari tanda tanda distress Keluarkan sekret dengan b
pernafasan
Auskultasi suara nafas, ca
Mendemonstrasikan batuk efektif dan
suara nafas yang bersih, tidak ada Lakukan suction pada may
sianosis dan dyspneu (mampuBerika bronkodilator bial p
mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dengan mudah, tidak ada Barikan pelembab udara
pursed lips)
Atur intake untuk cairan m
Tanda tanda vital dalam rentang normal
Monitor respirasi dan statu

Respiratory Monitoring
Monitor rata – rata, kedala

Catat pergerakan dad


tambahan, retraksi otot s

Monitor suara nafas, sepe

Monitor pola nafas : bra


cheyne stokes, biot

Monitor kelelahan otot dia

Auskultasi suara nafas, ca


dan suara tambahan

Tentukan kebutuhan suc


ronkhi pada jalan napas

auskultasi suara paru sete


3 Gangguan mobilitas fisikNOC : Latihan Kekuatan
b/d kerusakan rangka
neuromuskuler,  Joint Movement : Active
nyeri, Ajarkan dan berikan doro
terapi restriktif latihan secara rutin
 Mobility Level
(imobilisasi).
Latihan untuk ambula
 Self care : ADLs
Ajarkan teknik Ambulasi
 Transfer performance keluarga.
Kriteria Hasil : Sediakan alat bantu untuk
Klien meningkat dalam aktivitas fisik Beri penguatan positif u
Mengerti tujuan dari peningkatan aman.
mobilitas Latihan mobilisasi den
Memverbalisasikan perasaan dalamAjarkan pada klien & kel
meningkatkan kekuatan dancara berpindah dari kursi
kemampuan berpindah
Dorong klien melakukan l
Memperagakan penggunaan alat Bantu
untuk mobilisasi (walker) Ajarkan pada klien/ kelua

Latihan Keseimbangan

Ajarkan pada klien & ke


mandiri dan menjaga ke
aktivitas sehari hari.

Perbaikan Posisi Tubu

Ajarkan pada klien/ kelua


benar untuk menghindar

Kolaborasi ke ahli terapi fi

4 Gangguan integritas kulitNOC : NIC : Pressure Manage


b/d fraktur terbuka,
 Tissue Integrity
pemasangan traksi (pen, : Skin and MucousAnjurkan pasien untuk me
kawat, sekrup) Membranes
Hindari kerutan padaa tem
Kriteria Hasil :
Jaga kebersihan kulit agar
Integritas kulit yang baik bisa
dipertahankan Mobilisasi pasien (ubah po

Melaporkan adanya gangguan sensasiMonitor kulit akan adanya


atau nyeri pada daerah kulit yangOleskan lotion atau minya
mengalami gangguan Monitor aktivitas dan mob

Menunjukkan pemahaman dalam prosesMonitor status nutrisi pas


perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya sedera berulang Memandikan pasien deng

Mampumelindungi kulit dan


mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami

5 Risiko infeksi b/dNOC : NIC :


ketidakadekuatan
pertahanan  Immune Status
primer Infection Control (Kon
(kerusakan kulit, taruma  Risk control Bersihkan lingkungan sete
jaringan lunak, prosedur
invasif/traksi tulang) Pertahankan teknik isolas

Kriteria Hasil : Batasi pengunjung bila pe

Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi Instruksikan pada pengun
dan setelah berkunjung m
Menunjukkan kemampuan untuk
mencegah timbulnya infeksi Gunakan sabun antimikro

Jumlah leukosit dalam batas normal Cuci tangan setiap sebelu

Menunjukkan perilaku hidup sehat Gunakan baju, sarung tan

Pertahankan lingkungan a

Ganti letak IV perifer da


petunjuk umum

Gunakan kateter interm


kencing

Tingktkan intake nutrisi

Berikan terapi antibiotik b

Infection Protection (p

Monitor tanda dan gejala

Monitor hitung granulosit,

Monitor kerentanan terha

Batasi pengunjung
Saring pengunjung terhad

Partahankan teknik aspes

Pertahankan teknik isolas

Berikan perawatan kuliat

Inspeksi kulit dan memb


drainase

Ispeksi kondisi luka / insis

Dorong masukkan nutrisi

Dorong masukan cairan

Dorong istirahat

Instruksikan pasien untuk

Ajarkan pasien dan keluar

Ajarkan cara menghindari

Laporkan kecurigaan infek

Laporkan kultur positif

6 Kurang pengetahuanNOC : NIC :


tentang kondisi, prognosis
dan kebutuhan Kowlwdge : disease process Teaching : disease Pro
pengobatan b/d kurang Kowledge : health Behavior Berikan penilaian tentang
terpajan atau salah
penyakit yang spesifik
interpretasi terhadapKriteria Hasil :
informasi, keterbatasan Jelaskan patofisiologi d
kognitif, kurangPasien dan keluarga menyatakanberhubungan dengan an
akurat/lengkapnya pemahaman tentang penyakit, kondisi,
informasi yang ada prognosis dan program pengobatan Gambarkan tanda dan g
dengan cara yang tepat
Pasien dan keluarga mampu
melaksanakan prosedur yang dijelaskan Gambarkan proses penyak
secara benar
Identifikasi kemungkinan
Pasien dan keluarga mampu
menjelaskan kembali apa Sediakan informasi pada
yang
dijelaskan perawat/tim kesehatantepat
lainnya Hindari harapan yang koso
Sediakan bagi keluarga a
dengan cara yang tepat

Diskusikan perubahan ga
mencegah komplikasi di
pengontrolan penyakit

Diskusikan pilihan terapi a

Dukung pasien untuk m


opinion dengan cara yan

Eksplorasi kemungkinan
tepat

Rujuk pasien pada grup a


yang tepat

Instruksikan pasien men


pada pemberi perawatan

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta

Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC

Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di


Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper
Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika

Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Brunner and
Suddarth).
Macam-macam fraktur:
1. Fraktur komplit yaitu garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang, dan
fragmen tulang biasanya berubah tempat.
2. Fraktur incomplete yaitu fraktur yang melibatkan bagian potongan menyilang tulang. Salah
satu sis patah, yang lain, biasanya bengkak (Green stick).
3. Fraktur tertutup yaitu fraktur tidak meluas melewati kulit.
4. Fraktur terbuka (compound) yaitu fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana
potensial untuk terjadi infeksi.
5. Fraktur tranversal yaitu fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang.
– Fraktur oblik (miring) yaitu fraktur yang arahnya membentuk sudut melintasi tulang yang
bersangkutan biasanya tidak stabil dan sulit diatasi.
– Fraktur spiral diakibatkan terpilihnya ekstremitas fraktur.
– Fraktur comminuted fracture yaitu tulang terpisah menjadi bagian-bagian kecil.
1. Fraktur patalogic yaitu fraktur terjadi karena adanya penyakit tulang (seperti kanker,
osteoporosis) dengan tak ada trauma atau hanya minimal.

Proses Penyembuhan Tulang


1. Hematoma terjadi setelah fraktur dan bahkan bisa terjadi perdarahan. Fungsi dari hematom
tersebut untuk melindungi lokasi fraktur.
2. Proliferasi sel terjadi setelah injury sel-sel dan kapiler, baru secara bertahap mengganti lokasi
hematoma dan terjadi profilerasi fibrolast.
3. Pembentukan kalus terjadi 6-10 hari setelah injury dan terbentuk jaringan granulasi.
4. Pergeseran kalus terjadi pembentulan tulang melalui deposit calsium.
5. Pemadatan dan pembentukan tulang dimana terbentuk model tulang yang utuh.
2. Anatomi dan Fisiologi
Tulang tibia merupakan tulang besar dan utama pada tungkai bawah. Ia mempunyai kondilus besar
tempat berartikulasi. Pada sisi depan tulang hanya terbungkus kulit dan periosteum yang sangat nyeri
jika terbentur. Pada pangkal proksimal berartikulasi dengan tulang femur pada sendi lutut. Bagian
distal berbentuk agak pipih untuk berartikulasi dengan tulang tarsal. Pada tepi lateral perlekatan
dengan tulang fibula. Pada ujung medial terdapat mateulus medialis.
Tulang tibia merupakan tulang panjang dan kecil dengan kepala tumpul. Tulang fibula tidak
berartikulasi dengan tulang femur (tidak ikut sendi lutut) pada ujung distalnya terdapat mateulus
lateraris.
Pada daerah betis terdapat otot-otot seperti otot gastronemlus pada sisi belakang, otot soleus pada
sisi, otot long dan short peroneal, otot tibia anterior, tendo achiles, dan lain-lain. Tulang tibia bersama-
sama dengan otot-otot yang ada di sekitarnya berfungsi menyangga seluruh tubuh dari paha ke atas,
mengatur pergerakan untuk menjaga keseimbangan tubuh pada saat berdiri dan beraktivitas lain.
Disamping itu tulang tibia juga merupakan tempat deposit mineral (kalsium, fosfor) dan
hematopoiesis.

3. Etiologi
Penyebab paling umum fraktur tibia biasanya disebabkan oleh:
1. Pukulan/benturan langsung.
2. Jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi.
3. Gerakan memutar mendadak.
4. Kelemahan/kerapuhan struktur tulang akibat gangguan atau penyakit primer seperti
osteoporosis.

4. Patofisiologi
– Fraktur bawah lutut paling sering adalah fraktur tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan
langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi, atau gerakan memuntir yang keras. Fraktur tibia dan
fibula sering terjadi dalam kaitan satu sama lain. Pasien datang dengan nyeri deformitas, hematoma
yang jelas, dan edema berat. Seringkali fraktur ini melibatkan kerusakan jaringan lunak berat karena
jaringan subkutis di daerah ini sangat tipis.
– Fungsi saraf peroneus dikaji untuk dipakai sebagai data dasar. Jika fungsi saraf terganggu,
pasien tak akan mampu melakukan gerakan dorsofleksi ibu dari kaki dan mengalami gangguan
sensasi pada sela jari pertama dan kedua. Kerusakan arteri tibialis dikaji dengan menguji respons
pengisian kapiler. Gejalanya meliputi nyeri yang tak berkurang dengan obat dan bertambah bila
melakukan fleksi plantar, tegang dan nyeri tekan otot di sebelah lateral krista tibia, dan parestesia.
Fraktur dekat sendi dapat mengakibatkan komplikasi berupa hemartrosis dan keruskaan ligamen.
– Kebanyakan fraktur tibia tertutup ditangani dengan reduksi tertutup dan imobilisasi awal
dengan gips sepanjang tungkai. Reduksi harus relatif akurat dalam hal angulasi dan rotasinya. Ada
saat dimana sangat sulit mempertahankan reduksi, sehingga perlu dan dipertahankan dalam posisinya
dengan gips. Aktivitas akan mengurangi edema dan meningkatkan peredaran darah. Penyembuhan
fraktur memerlukan waktu 6 sampai 10 minggu.
– Fraktur terbuka atau komunitif dapat ditangani dengan traksi skelet, fiksasi interna dengan
batang, plat, atau naik atau fiksasi eksterna. Latihan kaki dan lutut harus didorong dalam batas alat
imobilisasi. Pembebanan berat badan dimulai sesuai resep, biasanya sekitar 4 sampai 6 minggu.
– Seperti pada fraktur ekstremitas bawah, tungkai harus ditinggikan untuk mengontrol edema.
Diperlukan evaluasi neurovaskuler berkesinambungan.
Click here to download pathway

5. Tanda dan Gejala


1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasikan.
2. Krepitus yaitu saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang.
3. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.
4. Tak mampu menggerakkan kaki karena adanya perubahan bentuk/ posisi berlebihan bila
dibandingkan dengan keadaan normal.

6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
2. Darah lengkap: menunjukan tingkat kehilangan darah (pemeriksaan Ht, Hb. Peningkatan sel
darah putih sebagai respons normal terhadap respon stress setelah trauma.
3. Masa pembekuan dan perdarahan
Persiapan pre operasi, biasanya normal jika tidak ada gangguan perdarahan.
1. Pemeriksaan urine
Sebagai evaluasi fungsi ginjal.
1. EKG: mendeteksi ada tidaknya kelainan pada jantung dan sebagai persiapan operasi.

7. Therapi
1. Gips untuk memberi immobilisasi, menyokong dan melindungi tulang selama proses
penyembuhan, mencegah/memperbaiki deformitas.
2. Traksi untuk mencapai aligment dengan memberi beban seminimal mungkin pada daerah
distal.
3. Prosedur operasi dengan oper reduction and internal fixation (ORIF). Dilakukan pembedahan
dan dipasang fiksasi internal untuk mempertahankan posisi tulang (misalnya: skrup, plat, pin,
kawat, paku). Alat ini bila dipasang di sisi maupun di dalam tulang, digunakan jenis yang sama
antra plate dan sekrup untuk menghindari terjadinya reaksi kimia.
4. Debridement dilakukan jika keadaan luka parah dan tidak beraturan untuk memperbaiki
keadaan jaringan lunak di sekitar fraktur.

8. Komplikasi
1. Shock hipovolemik karena perdarahan (kehilangan daerah eksternal maupun yang tidak
kelihatan).
2. Emboli lemak pada saat fraktur lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler.
3. Boneunion penyembuhan terlambat bila terdapat kerusakan jaringan yang luas yang dapat
terjadi karena infeksi.
4. Infeksi karena keadaan luka atau luka post pembedahan.
5. Kompartemen karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus
otot terlalu ketat.

C. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan.
– Kebiasaan beraktivitas tanpa pengamanan yang memadai.
– Adanya kegiatan yang berisiko cedera.
– Adanya riwayat penyakit yang bisa menyebabkan jatuh.
1. Pola nutrisi
– Adanya gangguan nafsu makan karena nyeri.
1. Pola eliminasi
– Obstipasi karena imobilitas.
1. Pola aktivitas dan latihan
– Ada riwayat jatuh/terbentuk ketika sedang beraktivitas atau kecelakaan lain.
– Tidak kuat berdiri/menahan beban.
– Ada perubahan bentuk atau pemendekan pada bagian betis/tungkai bawah.
1. Pola tidur istirahat
– Pola tidur berubah/terganggu karena adanya nyeri pada daerah cedera.
1. Pola persepsi kognitif
– Biasanya mengeluh nyeri hebat pada lokasi tungkai yang terkena.
– Mengeluh kesemutan atau baal pada lokasi tungkai yang terkena.
– Kurang pemahaman tentang keadaan luka dan prosedur tindakan.
1. Pola konsep diri dan persepsi diri
– Adanya ungkapan ketidakberdayaan karena keadaan cedera.
– Rasa kuatir dirinya tidak mampu beraktivitas seperti sebelumnya.
1. Pola hubungan peran
– Kecemasan akan tidak mampu menjalankan kewajiban memenuhi kebutuhan keluarga dan
melindungi.
– Merasa tak berdaya.
1. Pola seksual dan reproduksi
– Merasa khawatir tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap pasangan.
1. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
– Ekspresi wajah sedih.
– Tidak bergairah.
– Merasa tersaingi di rumah sakit.
1. Pola nilai kepercayaan
– Menganggap cedera adalah hukuman.

2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operatif:
1. Nyeri b.d patah tulang/spasus otot, edema, dan/atau kerusakan jaringan lunak.
2. Perubahan perfusi jaringan b.d menurunnya aliran darah akibat cedera.
3. Potensial infeksi b.d trauma tulang dan kerusakan jaringan lunak.
4. Kecemasan b.d nyeri, ketidakmampuan dan gangguan mobilitas.
5. Kurang pengetahuan tentang keadaan fraktur, pilihan tindakan.

Post Operatif:
1. Nyeri b.d prosedur operasi dan keadaan luka.
2. Gangguan mobilitas fisik b. perubahan status ekstremitas bawah sesudah operasi, nyeri dan
terapi modalitas fisik.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d bertambahnya kebutuhan metabolik,
penyembuhan tulang dan penyembuhan jaringan lunak.
4. Potensial komplikasi post operasi b.d intervensi pembedahan atau imobilitas.
5. Potensial infeksi b.d kerusakan integritas jaringan/kulit.
6. Kurang pengetahuan tentang perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatan
di rumah.

1. 3. Rencana Tindakan
Pre Operasi
1. Nyeri b.d prosedur operasi dan keadaan luka
HYD : Nyeri berkurang ditandai dengan :
– TTV dalam kertas normal : S = 36ºִ< 37ºc 3,P = 20x / menit, N=80 x/menit, TD =120 / 80
– Pasien mengatakan nyeri berkurang
– Nyeri dalam batas
Intervensi keperawatan:
1. Obsevasi TTV tiap 4 jam
R/ menunjukkan respon terhadap nyeri
1. Kaji keluhan nyeri
R/ untuk mengetahui intervensi berikutnya
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring
R/ menghilangkan rasa nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang
1. Latih tarik nafas dalam
R/ untuk mengurangi rasa nyeri
1. Kolahorasi dengan dokter untuk tindakan selanjutnya
R/ untuk mrnghilangkan nyeri
1. Perubahan Perfusi b.d menurunnya cairan darah akibat cedera
HYD : Perfusi terpenuhi ditandai dengan:
1. TTV dalam batas normal, S = 36-37oC, TD = 120/80, N=80 x/mnt, P=18 x/mnt
2. Kulit hangat dan kering
Intervensi Keperawatan:
1. Kaji TTV tiap 3-4 jam
R/ untuk menunjukkan respon perfusi
2. Lepaskan perhiasan dari ekstrimitas yang sakit
R/ Dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema
1. Kaji alirankapiler, warna kulit, dan kehangatan distal pada faktur
R/ Kembalinya warna harus cepat (3-5 detik), warna kulit putih menunjukkan gangguan arterial.
1. Awasi posisi / lokasi alat penyangga sementara
R/ Alat dapat menyebabkan tekanan pada pembuluh darah

1. Potensial infeksi b.d trauma tulang dan kerusakan jaringan lunak


HYD: Infeksi tidak terjadi ditandai dengan :
1. TTV dalam batas normal, S:36-37ºC
N=80x/mnt , P=18x/menit TD=120/80 mmHg
1. Kulit sekitar trauma tidak tampak prubahan mencolok
Intervensi Keperawatan:
1. Kaji TTV tiap 3-4 jam
R/ peningkatan suhu dapat menunjukkan proses infeksi
1. Pertahankan teknik antiaseptik
R/ meminimalkan kesempatan kontaminasi
1. Infeksi kulit adanya iritasi
R/ untuk mengetahui proses infeksi
1. Selidiki nyeri yang tiba – tiba/ keterbatasan gerakan dengan adanya edema local
R/ dapat mengindeifikasikan terjadinya infeksi
1. Laksanakan program medik untuk pemberian antibiotik
R/ antibiotik dapat mencegah proses infeksi dan mempercepat penyembuhan

1. Kecemasan b.d. nyeri, ketidakmampuan dan gangguan mobilitas


HYD : Cemas tidak terjadi ditandai dengan
1. Wajah tampak rileks
2. Pasien kooperatif dalam pengobatan
3. TTV dalam batas normal, S = 36 – 37oc, N = 80 x /mnt, P = 18 x / mnt, TD = 120 / 80
Intervensi Keperawatan:
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien
R/ untuk mengetahui intervensi yang akan diberikan
1. Diskusikaan setiap tindakan keperawatan yang dilakukan
R/ pasien mengerti dan kooperatif

Post Operasi
1. Nyeri b.d. tindakan operasi dan keadaan luka
HYD : nyeri berkurang sampai dengan hilang ditandai dengan :
1. Pasien tampak rileks
2. Mampu beradaptas dalam beraktivitas / tidur / istirahat
3. Pasien dapat menunjukkan ketrampilan relaksasi
4. Intensitas nyeri 1 – 2
Intervensi Keperawatan :
1. Kaji TTV dalam 3 – 4
R/ untuk mengetahui respons nyeri
1. Kaji tingkat rasa nyeri
R/ untuk mengetahui intervensi keperawatan yang akan dilakukan
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips / traksi
R/ menghilangkan rasa nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang
1. Tinggikan ekstremitas yang fraktur
R/ meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema dan menurunkan nyeri
1. Hindari penggunaan sprei/bantal plassik dibawah ekstremitas
R/ dapat meningkatkan ketidaknyamanan karena peningkatan produksi panas
1. Ajarkan teknik relaksasi
R/ untuk mengurangi rasa nyeri
1. Beri obat sesuai dengan intruksi dokter untuk pemberian analgetik
R/ untuk mengurangi rasa nyeri

1. Gangguan mobilitas pisik b.d perubahan status ektremitas bawah sesudah operasi, nyeri dan
terapi modalitas fisik
HYD : Meningkatkan/mempertahankan mobilitas fisik pada tingkat yang paling tinggi ditandai
dengan : pasien mau bergerak secara perlahan.
Intervensi keperawatan:
1. Kaji derajat mobilitas yang dapat dilakukan
R/ untuk mengindentifikasi rencana tindakan selanjutnya
1. Dorong partisipasi klien dalam aktivitas dengan rekreasi, missal : dengan menonton TV.
R/ memberi kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan fikiran
Kembali
1. Ajarkan pasien untuk bergerak aktif pada ekstremitas yang tidak sakit
R/ mempertahankan gerak sendi dan kekuatan otot
1. Bantu/ dorong untuk melakukan perawatan diri sendiri, misal : mencukur
R/ meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi darah
1. Awasi TD saat beraktivitas
R/ untuk mengindentifikasi keluhan pusing
1. Bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat
R/ untuk mempercepat proses penyembuhan dan adpatasi aktivitas yang dilakukan
1. Beri minum 2000 – 3000 liter / hari
R/ mempertahankan hidrasi kulit, menurunkan resiko infeksi urinarius
1. Batasi makanan yang mengandung gas, misal : kol
R/untuk mencegah konstipasi
1. Beri obot sesuai instruksi dokter untuk pemberian pencahar
R/untuk mencegah konstipasi

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d bertambahnya kebutuhan metabolik
penyembuhan tulang dan penyembuhan jaringan lunak
HYD: Nutrisi terpenuhi ditandai dengan :
1. BB naik 200 gram dalam 1 bulan
2. Pasien mengatakan badannya mengalami ppenambahan BB
3. Wajah tampak segar
Intervensi :
1. Berikan batu es, air, setelah mual hilang
R/ mempertahankan cairan aadekuaaaat mencegah dehidrasi
1. Anjurkan pasien untuk makan porsi kecil tapi sering
R/ untuk memenuhi nutrisi
1. Kolaaborasi dengan dokter untuk memberikan diet tinggi kalori, vitamin, protein
R/ nutrisi penting untuk penyembuhan

1. Potensial infeksi b.d kerusakan integritas jaringan kulit


HYD: Infeksi tidak terjadi ditandai dengan :
1. TTV dalam batas normal, S=36-37ºc, N=80x/mnt, P=18, TD= 120/80 mmHg.
2. Kulit sekitar trauma tidak kemerahan
Intevensi:
1. Kaji TTV dalam 1 – 4 jam
R/ indikator adanya infeksi
1. Kaji rasa nyeri mendadak
R/ untuk mengindentifikasi rasa nyeri dan proses infeksi
1. Kaji kulit akan adanya iritasi
R/ untuk mengetahui proses infeksi
1. Pertahankan teknik antiseptik
R/ untuk mencegah kontaminasi silang
1. Laksanakan program medik untuk pemberian antibiotik
R/ untuk mencegah infeksi dan mempercepat proses penyembuhan

1. Kurang pengetahuan tentang perubahan aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatan di
rumah.
HYD: Pasien dapat mengerti tentang aktivitas yang boleh dilakukan ditandai dengan :
1. Pasien tidak bertanya dengan pertanyaan yang sama pada perawat
2. Pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan
Intervensi :
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien
R/ untuk mengetahui rencana tindakan yang akan dilakukan
1. Diskusikan setiap tindakan keperawatan yang dilakukan
R/ pasien mengerti dan kooperatif
1. Libatkan keluarga dalam perawatan
R/ untuk membantu bekerjasama dalam proses perawatan

1. 4. Discharge Planning
1. Anjurkan pada pasien untuk check-up secara teratur di tempat pelayanan kesehatan.
2. Anjurkan pada pasien untuk makan makanan yang bergizi dan banyak mengandung
serat seperti: nasi ditambah lauk pauk dan susu.
3. Minum obat sesuai dengan instruksi dokter.
4. Saat berjalan gunakan tumpuan lebih banyak pada kaki yang tidak sakit.
5. Melatih ujung kaki untuk digerakan 1-3 kali dalam setengah jam.
6. Menjaga kebersihan luka dan segera laporkan ke tenaga kesehatan bila ada bau yang
tidak enak, ada rembesan darah keluar, demam tinggi.
7. Anjurkan untuk banyak minum 2-3 liter/hari.
8. Jelaskan penyebab dari fraktur, pengobatan dan komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth, Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC. 2002.
Doengus E. Marilynn, Mary Frances, Moorhouse, Alice, C. Geislet. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi
3. Jakarta: EGC. 1999.
Donna D. Ignatavicius, Marylin V.B. Medical Surgical Nursing: A Nursing Process
Approach.Pensylvania: WB. Saunders Company. 1991.
Lynda Juall Carpenito. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
Sylvia A. Price. Lorraine M. Wilson. Patofisiologi. Edisi 4. Jakarta: EGC. 1995.
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
OPEN FRAKTURE CRURIS
Defenisi
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui
kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi berupa infeksi. luka pada kulit
dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus
misalnya oleh peluru atau trauma langsung (chairuddin rasjad,2008).
Patah tulang terbuka adalah patah tulang dimana fragmen tulang yang bersangkutan sedang atau
pernah berhubungan dunia luar (PDT ortopedi,2008)
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi
pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang mendapatkan stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya (Brunner & Suddart, 2001).
Jenis fraktur
a) Berdasarkan sifat fraktur:
1. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
2. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
b) Berdasarkan kompli/tidak komplitnya fraktur:
1. Fraktur komplit : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
2. Fraktur tidak komplit: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
c) Berdasarkan bentuk garis patah & hubungan dengan mekanisme trauma:
1. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkok.
2. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
3. Oblik: fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil dibanding
transversal)
4. Spiral: arah garis patah spiral dan akibat dari trauma rotasi
5. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
6. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
7. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
8. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, penyakit paget,
metastasis tulang, tumor).
9. Tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.
ANATOMI FISIOLOGI
1. Patela ( Tempurung lutut )
Sebelah atas dan bawah dari kolumna femoralis terdapat taju yang disebut trokanter mayor dan
trokanter minor. Dibagian ujung berbentuk persendian lutut, terdapat dua buah tonjolan yang
disebut kondilus medialis dan kondilus lateralis. Diantara kedua kondilus ini terdapat lekukan tempat
letaknya tulang tempurung lutut ( patela ) yang disebut fosa kondilus
2. Tibia ( TI. Kering )
Bentuk lebih kecil, pada bagian pangkal melekat pada os fibula, pada bagian ujung membentuk
persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut os maleolus medialis, bagian
dari tibia meliputi :

1) Prosesus Interkondiloid
2) Fosa interkondoloid
3) Maleolus medialis
4) Tuberositas tibia fibula ( TI betis )
5) Maleolus lateralis
6) Prosesus stiloid
3. Tarsalia ( pergelangan kaki ) terdiri dari :
1) Talus
2) Kalkaneus
3) Navikular
4) Kunaiformi

Lateralis
Inter medialis

1. Vasodilatasi
2. Pengeluaran plasma
3. Infiltrasi sel darah putih

Etiologi
Menurut Oswari E (1993):
a. Kekerasan langsung: Terkena pada bagian langsung trauma
b. Kekerasan tidak langsung: Terkena bukan pada bagian yang terkena trauma
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Menurut Barbara C Long (1996):
a. Benturan & cedera (jatuh, kecelakaan)
b. Fraktur patofisiologi (oleh karena patogen, kelainan)
c. Patah karena letih
Patofisiologi

Fraktur

Periosteum, pembuluh darah
dan jaringan sekitarnya rusak

§ Perdarahan
§ Kerusakan jaringan di ujung tulang

Terbentuk hematom di canal medula

Jaringan mengalami nekrosis

Nekrosis merangsang terjadinya peradangan, ditandai :
Tahap penyembuhan tulang
1. Haematom :
o Dalam 24 jam mulai pembekuan darah dan haematom
o Setelah 24 jam suplay darah ke ujung fraktur meningkat
o Haematom ini mengelilingi fraktur dan tidak diabsorbsi selama penyembuhan tapi berubah dan
berkembang menjadi granulasi.
2. Proliferasi sel :
o Sel-sel dari lapisan dalam periosteum berproliferasi pada sekitar fraktur
o Sel ini menjadi prekusor dari osteoblast, osteogenesis berlangsung terus, lapisan fibrosa periosteum
melebihi tulang.
o Beberapa hari di periosteum meningkat dengan fase granulasi membentuk collar di ujung fraktur.
3. Pembentukan callus :
o Dalam 6-10 hari setelah fraktur, jaringan granulasi berubah dan terbentuk callus.
o Terbentuk kartilago dan matrik tulang berasal dari pembentukan callus.
o Callus menganyam massa tulang dan kartilago sehingga diameter tulang melebihi normal.
o Hal ini melindungi fragmen tulang tapi tidak memberikan kekuatan, sementara itu terus meluas
melebihi garis fraktur.
4. Ossification
o Callus yang menetap menjadi tulang kaku karena adanya penumpukan garam kalsium dan bersatu di
ujung tulang.
o Proses ossifikasi dimulai dari callus bagian luar, kemudian bagian dalam dan berakhir pada bagian
tengah
o Proses ini terjadi selama 3-10 minggu.
5. Consolidasi dan Remodelling
o Terbentuk tulang yang berasal dari callus dibentuk dari aktivitas osteoblast dan osteoklast.
VII.Manifestasi klinis
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan
edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
f. Peningkatan temperatur lokal
g. Kehilangan fungsi

VIII. Komplikasi
1. Umum :
o Shock
o Kerusakan organ
o Kerusakan saraf
o Emboli lemak
2. Dini:
o Cedera arteri
o Cedera kulit dan jaringan
o Cedera partement syndrom.
3. Lanjut :
o Staffnes (kaku sendi)
o Degenerasi sendi
o Penyembuhan tulang terganggu :
o Mal union
o Non union
o Delayed union
o Cross union

IX. Pemeriksaan penunjang


a. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
b. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
c. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
X. Penatalaksanaan
a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
b. Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
o Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
o Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
o Status neurovaskuler (misal: peredaran darah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau
o Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan
peredaran darah

B. KONSEP KEPARAWATAN
I. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
- Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek
batuk
- Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak
teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
- Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung
normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut

2. Pengkajian sekunder
a.Aktivitas/istirahat
z kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
z Keterbatasan mobilitas
d) Sirkulasi
z Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
z Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
z Tachikardi
z Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
z Cailary refil melambat
z Pucat pada bagian yang terkena
z Masa hematoma pada sisi cedera
e) Neurosensori
Kesemutan
Deformitas, krepitasi, pemendekan
Kelemahan

f) Kenyamanan
z nyeri tiba-tiba saat cidera
z spasme/ kram otot
g) Keamanan
z laserasi kulit
z perdarahan
z perubahan warna
z pembengkakan lokal
Smeltzer Suzanne, C 2001. Buku Ajar Medikal Bedah. Jakarta. EGC
Price Sylvia, A, 1994, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC
Subhan, 2002, Laporan Kasus Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Musculoskeletal di Ruang Bedah
F Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya, Universitas Airlangga, Surabaya.
Evelyn C . Pearce. Anatomi dan fisiolagi untuk paramedis . Jakarta : 1992

Laporan Pendahuluan Fraktur Tibia


HERMAN BAGUS LAPORAN PENDAHULUAN

Laporan Pendahuluan Fraktur Tibia - Pengertian Fraktur adalah terputusnya kontinuitas


tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur dapat terjadi jika tulang dikenai stress yang
lebih besar dari yang dapat diabsorbsi .

B. Etiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh
- Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, kontraksi otot ekstrim,
- Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh.
- Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis.
C. Patofisiologis
Jenis fraktur :
§ Fraktur komplit adalah patah pada selurh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran
§ Fraktur inkomplit, patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
§ Fraktur tertutup (fraktur simple), tidak menyebabkan robekan kulit.
§ Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks), merupakan fraktur dengan luka pada
kulit atau membrana mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka digradasi
menjadi : Grade I dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya dan sakit jelas,
Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif dan Grade III,
yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensi,
merupakan yang paling berat.
Penyembuhan/perbaikan fraktur :
Bila sebuah tulang patah, maka jaringan lunak sekitarnya juga rusak, periosteum
terpisah dari tulang dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk
pada daerah tersebut. Bekuan akan membentuk jaringan granulasi, dimana sel-sel
pembentuk tulang premitif (osteogenik) berdeferensiasi menjadi kondroblas dan
osteoblas. Kondroblas akan mensekresi fosfat yang akan merangsang deposisi kalsium.
Terbentuk lapisan tebal (kalus disekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan
meluas, bertemu dengan lapian kalus dari fragmen yang satunya dan menyatu. Fusi
dari kedua fragmen terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblas, yang
melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur.Persatuan (union) tulang
provisional ini akan menjalani transformasi metaplastikuntuk menjadi lebih kuat dan
lebih terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami re-modelling dimana osteoblas akan
membentuk tulang baru sementara osteoklas akan menyingkirkan bagian yanng rusak
sehingga akhirnya akan terbentuk tulang yang menyerupai keadaan tulang aslinya.
D. Manifestasi klinis
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan
eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas
normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cedera.
E. Komplikasi fraktur
- Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi
yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring
- Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
- Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
- Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang berlebihan
di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.
- Shock,
- Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor
resiko terjadinya emboli lemakada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun,
usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.
- Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada individu yang
imobiil dalm waktu yang lama karena trauma atau ketidak mampuan lazimnya
komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila
terjadi pada bedah ortopedil
- Infeksi
- Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau necrosis iskemia.
- Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf
simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri,
perubahan tropik dan vasomotor instability.
F. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium :
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering rendah
akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak
sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P meengikat di dalam darah.
Radiologi :
X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment.
Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi
struktur fraktur yang kompleks.
G. Penangganan fraktur
Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan pengembalian
fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
- Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka,
yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur
Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-
ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang direduksi. Alat
fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
- Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi atau di
pertahankan dalam posisi dan kesejajaranyang benar sampai terjadi penyatuan.
Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau inernal. Fiksasi eksternal
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator
eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai
inerna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur imobilisasi di butuhkan sesuai
lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu, intra trohanterik 10-12 minggu, batang 18
minggu dan supra kondiler 12-15 minggu.
- Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;
§ Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
§ Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan
§ Memantau status neurologi.
§ Mengontrol kecemasan dan nyeri
§ Latihan isometrik dan setting otot
§ Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
§ Kembali keaktivitas secara bertahap.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur :
- Imobilisasi fragmen tulang.
- Kontak frgmen tulang minimal.
- Asupan darah yang memadai.
- Nutrisi yang baik.
- Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.
- Hormon-hormon pertumbuhan tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.
- Potensial listrik pada patahan tulang.
H. Diagnosa keperawatan
§ Nyeri berhubungan dengan fraktur
§ Resiko terhadap cidera berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, tekanan dan
disuse
§ Kurang perawatan diri berhubungan dengan hilangnya kemampuan menjalankan
aktivitas.
§ Resiko infeksi berhubungan dengan trauma
§ Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan patah tulang

I. Perencanaan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Intervensi
Rasional

Nyeri akut
Resiko Cidera
Kurang perawatan diri
Resiko infeksi

Kerusakan mobilitas fisik


NOC outcome :
-Tingkatkan nyeri, kontrol nyeri, tingkat kenyamanan
-Efek distruptive
Clien outcome ;
-Skala nyeri menurun
-Klien merasa nyaman
-Kecukupan istirahat dan tidur.
-kemampuan aktivitas
NOC :
Status keselamatan Injuri fisik
Client outcome :
- Bebas dari cidera
- Pencegahan Cidera
NOC :
Perawatan diri : ADL
Client outcome:
- Pasien dapat melakukan aktivitas
- Kebersihan diri pasien terpenuhi
NOC :
- Status imun
- Kontrol infeksi
- Kontrol resiko
Client outcome:
- bebas tanda infeksi
- Sel darah putih dalam batas normal
NOC :
- Ambulasi :
- Tingkat mobilisasi
- Perawtan diri
Client outcome :
-Peningkatan aktivitas fisik

NIC :
1.Pain manajemen
- Kaji kondisi nyeri
- Observasi respon non verbal ketidaknyamanan.
- Gunakan kkomunikasi teraupetik
- Evaluasi pengalaman nyeri pasien
- Kontrol lingkungan.
- Meminimalkan faktor pencetus nyeri
- Ajarkan teknik non farmakologi
- Tingkatkan istirahat/tidur
- Pastikan pasien menerima analgetik
- Monitor pemberian analgesik.
2.Manajemen medikasi
- Tentukan obat yang ditentukan sesuai dengan order.
- Monitor efeksivitas pengobatan
- Monitor tanda-tanda toxisitas.
- Jelaskan pada pasien kerja dan efek obat.
- Ajarkan pasien memperhatikan aturan pengobatan.
3.Penkes proses penyakit
- Kaji tk. Pengetahuan pasien tentang Fraktur
- Jelaskan patofisiologi fraktur
- Jelaskan tanda, gejaa dan diskusikan terapi yang diberikan.
4.Manajemen Lingkungan
- Batasi pengunjung
- Pertahankan kebersihan tempat tidur.
- Atur posisi paien yang nyaman

NIC :
Memberikan posisi yang nyaman unuk Klien:
- Berikan posisi yang aman untuk pasien dengan meningkatkan obsevasi pasien, beri
pengaman tempat tidur
- Periksa sirkulasi periper dan status neurologi
- Menilai ROM pasien
- Menilai integritas kulit pasien.
- Libatkan banyak orang dalam memidahkan pasien, atur posisi

NIC :
Bantuan perawatan diri
- Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri
- Monitor kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian, toileting dan makan
- Beri bantuan sampai pasien mempunyai kemapuan untuk merawat diri
- Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
- Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuannya
- Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin

NIC :
1.Kontrol infeksi
- Batasi penginjung
- Pertahankan kebersihan lingkungan
- Ajarkan pasien teknik cuci tangan.
- Cuci tangna sebelum dan sesudah kontak dengan pasien.
- Gunakan teknik steril dalam perawtan luka.
- Kelola antibiotik sesuai order
- Pertahankankan intake nutrisi dan cairan.
- Jelaskan tandan dan gejala infeksi
2. Pencegahan infeksi
- Monitor tanda infeksi
- Monitor hasil Lab.
- Jelaskan pada pasien cara pencegahan infeksi
3. Monitor vital sign

NIC :
1.Terapi ambulasi
- Konsultasi dengan terapi untuk perencanaan ambulasi
- Latih pasien ROM sesuai kemampuan
- Ajarkan pasien berpindah tempat
- Monitor kemampuan ambulasi pasien
2. Pendidikan kesehatan
- Jelaskan pada pasien pentingnya ambulasi dini
- Jelaskan pada pasien tahap ambulasi

Manajemen nyeri yang diberikan diharapkan menekan stimulus/rangsangan terhadap


nyeri sehingga nyeri pasien berkurang.

Memberikan pengobatan akan menekan stimulasi terhadap nyeri sehingga nyeri


berkurang

Menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama dari pasien dan keluarga.

Menurunkan ketegangan otot dan memfkuskan kembali perhatian pasien

Bantuan perawatan diri dapat membantu klien dalam beraktivitas dan melatih pasien
untuk beraktivitas kembali.

Meminimalkan invasi mikroorganisme penyebab infeksi

Mencegah adanya infeksi lanjutan

Melatih latihan gerak ekstremitas pasien serta mencegah adanya kontraktur sendi dan
atropi otot

Daftar Pustaka
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta
Dep.Kres.RI 1995. Penerapan proses keperawatan pada klien dengan ganggua sistem
muskuloskletal. Pusat pendidikan tenaga kesehatan Dep.Kes.RI. Jakarta

Joanne C.Mc Closkey. 1996. Nursing intervention classification (NIC). Mosby year book.
St. Louis

Long. 1996. Perawatan medikal bedah. Yayasan ikatan alumni pendidikan keperawatan
Padjajaran. Bandung.

Marion Johnon,dkk. 2000. Nursing outcome classification (NOC). Mosby year book. St.
Louis

Marjory godon,dkk. 2000. Nursing diagnoses: Definition & classification 2001-2002.


NANDA

Prince, Wilson. 1995. Patofisiologi konsep klinis proses-prpses penyakit , edisi 4, buku 2.
EGC. Jakarta
SABTU, 22 JANUARI 2011

KLASIFIKASIDAN PENANGANAN OPEN FRAKTUR (GUSTILLO/ANDERSON}

KLASIFIKASI OPEN FRAKTUR (GUSTILLO/ANDERSON}

Grade I Patah tulang terbuka dengan luka < 1 cm, relatif bersih, kerusakan
jaringan lunak minimal, bentuk patahan simpel/transversal/oblik.

Grade II Patah tulang terbuka dengan luka > 1 cm, kerusakan jaringan lunak tidak
luas, bentuk patahan simpel.

Grade III Patah tulang terbuka dengan luka > 10 cm, kerusakan jaringan lunak
yang luas, kotor dan disertai kerusakan pembuluh darah dan saraf.

IIIA. Patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan luas, tapi masih bisa
menutupi patahan tulang waktu dilakukan perbaikan.

III B Patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan lunak hebat dan atau hilang
(soft tissue loss) sehingga tampak tulang (bone-exposs)

III C Patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh darah dan atau saraf yang
hebat

PENANGANAN OPEN FRAKTUR

Pembersihan luka

Luka kotor, bekuan darah dan material benda asing harsu dibuang dan dicuci
dengan air steril, dan lebih ideal dengan garam fisiologis.

Debridemen/pembuangan jaringan avital

a. Membuang benda asing

b. Membuang jaringan avital

Tujuan debridemen :

a. Mengurangi derajat terkontaminasi

b. Menciptakan luka yang bersih


Reposisi dan stabilisasi tulang

Reposisi dilakukan secara anatomis dan optimal untuk menghilangkan terjadinya


dead space dan penekanan tulang pada kulit, sehingga penutupan luka tidak
menjadi trgang. Fiksasi/stabilisasi dilakukan setelah reposisi untuk mempertahankan
kedudukan patahan tulang.

Penutupan luka

- Penutupan luka untuk patah tulang teruka tipe 1 dapat dilakukan dengan
penutupan secara primer

- Penutupan luka untuk patah tulang teruka tipe 2 dan 3 sebaiknya dibiarkan
terbuka dan memerlukan debridemen ulang bila ada tanda-tanda infeksi.

Pemberian antibiotika

- Pemberian antibiotiotika pada patah tulang bukanlah tindakan profilaksis,


tapi merupakan tindakan terapeutik

- Cephalosorin merupakan broad spectrum yang diberikan secara parenteral,


penambahan dengan aminoglikosida diindikasikan bila luka hebat (patah tulang tipe
3)

Pencegahan tetanus

>>

Diposkan oleh Riyan Wahyudo di 23.42

Anda mungkin juga menyukai