Uji in vitro : Penelitian yang dilakukan pada tabung uji atau media kultur di laboratorium,
penelitian dilakukan di luar sistem tubuh,
Uji in vivo : penelitian yang dilakukan dalam sistem tubuh, memakai hewan coba, atau di suatu
sistem di dalam tubuh,
Bixin : Zat yang terkandung dalam selaput biji kesumba keling yang mengandung tanin, steroid,
terpenoid, flavonoid, dan zat pewarna
STEP 7
In vitro :
Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia
dilakukan mikroorganisme pada tidak hidup tetapi dalam lingkungan terkontrol,
misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan Petri
Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental
pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan
pada organ , jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau biomolekul
tingkat penyederhanaan sistem yang diteliti lebih besar , sehingga peneliti dapat fokus
pada sejumlah komponen. Sebagai contoh , identitas protein dari sistem kekebalan tubuh
( misalnya antibodi ) , dan mekanisme yang mengenali dan mengikat antigen asing akan
tetap sangat jelas jika tidak untuk penggunaan ekstensif kerja in vitro untuk mengisolasi
protein , mengidentifikasi sel-sel dan gen yang memproduksi mereka , mempelajari fisik
sifat interaksi mereka dengan antigen , dan mengidentifikasi bagaimana interaksi mereka
menyebabkan sinyal seluler yang mengaktifkan komponen lain dari sistem kekebalan
tubuh
Respon seluler adalah spesies - spesifik , lintas analisis - bermasalah spesies . Metode
baru spesies - sasaran yang sama - , studi multi- organ yang tersedia untuk memotong
hidup , pengujian lintas-spesies
kekurangan :
- Banyak percobaan biologi seluler dilakukan di luar organisme atau sel ; karena kondisi
pengujian mungkin tidak sesuai dengan kondisi di dalam organisme, ini dapat
mengakibatkan hasil yang tidak sesuai dengan situasi yang muncul dalam organisme
hidup. Akibatnya, hasil eksperimen tersebut sering dijelaskan dengan in vitro,
bertentangan dengan in vivo.
- Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara signifikan
dari yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh karena itu,
dalam studi in vitro biasanya diikuti oleh studi vivo.
Contohnya termasuk:
Kelebihan
Contoh :
In vivo :
Terletak di dalam tubuh manusia digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik
sadar atau teranestesi) dalam lingkungan yang terkendali
Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas harus
dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan
(mempengaruhi dosis)
harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non
rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia merupakan perpaduan
antara rodent dan non rodent.
kekurangan
Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
Mahal dan lama
Contoh :
- utk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD bukan Wistar
atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak shg pengamatan akan lbh
baik dg jumlah sample yg banyak.
- Utk uji painkiller digunakan mencit/mice jika utk menilai nyeri ringan yakni dengan
penyuntikan asam asetat glacial ke peritoneum mencit, tapi jika sasarannya nyeri tekanan
digunakan tikus bias Wistar atau SD, karena tikus akan dijepit ekornya atau telapak jarinya
dengan alat tertentu, sementara kalo nyeri berupa panas, digunakan boleh mencit atau tikus
krn hewan akan diletakkan di hot plate.
- Utk obat antihipertensi, digunakan kucing atau anjing teranestesi, krn system
kardiovaskulernya paling mirip dg manusia
- Utk obat antiinflamasi digunakan baik tikus yang disuntik karagenan di bawah kulitnya
shg melepuh atau telinga mencit disuntik croton oil, bahkan kaki tikus sering dipotong utk
menimbang udem yg terbentuk
- utk antipiretik/penurun panas, digunakan kelinci utk diukur suhu duburnya setelah
disuntik pyrogen
- Utk asam urat digunakan ayam/burung yg dikasih makan jus hati ayam (ayam makan
ayam) krn metabolisme asam urat pada manusia mirip dg yg terjadi dg biokimiawi di
keluarga burung.
- Uji stamina digunakan tikus atau mencit, krn tubuhnya kuat dan tahan di dalam air,
hewan diuji dg berenang dan lari di treadmill.
- Utk uji kanker, digunakan punggung tikus yg diimplan dg sel kanker, atau paru-paru
tikus setelah dipejankan benzo(a)pirena
Hasilnya berupa : efek farmakologi, dosis terapi ED50=dosis yang menghasilkan 50% efek
maksimum.
1. Vignais, Paulette M.; Pierre Vignais (2010). Discovering Life, Manufacturing Life: How
the experimental method shaped life sciences. Berlin: Springer. ISBN 90-481-3766-7 .
2. ^ Jacqueline Nairn; Price, Nicholas C. (2009). Exploring proteins: a student's guide to
experimental skills and methods. Oxford [Oxfordshire]: Oxford University
Press. ISBN 0-19-920570-1 .
3. ^ Sunshine, Geoffrey; Coico, Richard (2009). Immunology: a short course. Wiley-
Blackwell. ISBN 0-470-08158-9 .
4. ^ "Existing Non-animal Alternatives" . Source: AltTox.org . 8 September 2011.
cara mempertimbangkan pemilihan subjek uji pada penelitian in vitro dan in vivo, sebutkan
contohnya
Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria sebagai berikut:
Berat badan lebih kecil dari 1 kg
Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup banyak
Mudah dipegang dan dikendalikan
Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan)
Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium
Lama hidup relative singkat
Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press)
Prosedur pengujian dapat dibagi menjadi 4 tahapan kegiatan, yaitu pemilihan hewan uji,
pemberian perlakuan, pengamatan dan pelaporan.
1. Pemilihan Hewan Uji.
Paling tidak hal yang harus diperhatikan dalam memilih hewan uji, yaitu :
a. species dan strain hewan yang akan digunakan,
b. usia,
c. jenis kelamin dan
d. jumlahnya.
Species mamalia yang umum digunakan adalah tikus, mencit dan kelinci. Untuk
unggas digunakan embrio ayam (percobaan in ovo). Kemajuan teknik laboratorium yang
ada sekarang dan reaksi dari pemerhati hak binatang telah membuka kemungkinan
penggunaan hanya organ, jaringan atau sel saja menggantikan hewan uji (kultur organ
atau kultur sel melalui percobaan in vitro). Teknik ini sangat penting terutama dalam
upaya mengungkap mekanisme teratogenesis suatu agensia. Di Indonesa hewan uji yang
populer digunakan adalah mencit dan tikus, karena itu tulisan ini selanjutnya akan
membicarakan pengujian dengan menggunakan hewan uji tersebut.
Hewan betina yang digunakan adalah betina dara sedangkan untuk jantan dipilih
pejantan yang sudah terbukti baik fertilitasnya. Hewan dikawinkan di malam hari
dengan cara mencampur 1 jantan dengan 3 betina dalam satu kandang. Jika keesokan
harinya ditemukan adanya sumbat vagina (vaginal plug) atau adanya sperma di vagina
yang dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis apusan vagina, maka itu pertanda
perkawinan sudah berlangsung dan hari tersebut dtentukan sebagai hari ke nol
kebuntingan.
Jumlah hewan uji yang digunakan paling tidak sebanyak 20 ekor betina bunting untuk
tiap kelompok perlakuan. Karena kelompok perlakuan biasanya terdiri atas paling tidak
3 taraf dan 1 kelompok kontrol, maka jumlah hewan bunting yang dibutuhkan adalah 80
ekor.
2. Pemberian Perlakuan.
Untuk agensia berupa senyawa kimia, dosis tertinggi perlakuan sebaiknya tidak > 1000
mg/kg berat badan per hari dengan pemberian per oral atau subkutan, sedangkan untuk
agensia lain disesuaikan dengan besaran paparan yang mungkin diterima dari
lingkungan.
Dosis tertinggi sebaiknya lebih kecil dari angka LD-50 dan 2 kelompok dosis berikutnya
ditata dengan interval sama di bawah dosis tertinggi tadi (misalnya LD-50, 2/3 LD-50,
1/3 LD-50, dan kontrol).
Kelompok kontrol disesuaikan dengan percobaan. Aturan yang umum digunakan adalah
apabila agensia dilarutkan dengan suatu pelarut maka kepada kelompok kontrol
diberikan pelarut saja dengan cara pemberian yang persis sama dengan cara pemberian
pada kelompok perlakuan. Untuk kontrol positif dapat dipilih agensia-agensia yang
sudah dikenali memiliki efek teratogenik. Penggunaan kontrol positip adalah untuk
menilai kepekaan strain yang digunakan.
Cara pemberian perlakuan yang paling umum adalah pemberian per oral (pencekokan).
Cara lain dapat dipilih dengan pertimbangan khusus, seperti inhalasi, subkutan,
intraperitoneal atau intramuskuler. Pertimbangan utama dalam pemilihan cara-cara itu
adalah kemiripannya dengan cara masuk agensia toksis tadi ke dalam tubuh.
Durasi perlakuan disesuaikan dengan tujuan pengujian. Untuk pengujian toksisitas
perkembangan umum perlakuan dapat diberikan selama masa kebuntingan. Dapat juga
diberikan perlakuan tunggal 1 kali saja pada titik waktu spesifik jika yang akan diamati
adalah efek suatu agensia terhadap perkembangan organ tertentu.
Yang paling umum dilakukan adalah pemberian perlakuan dalam beberapa hari saja,
yaitu selama masa organogenesis (hari ke 6 hingga hari ke 15).
3. Pengamatan.
Meskipun pengujian ini disebut uji tokskologi perkembangan ruang lingkup pengamatan
tidaklah terbatas pada embrio yang sedang berkembang itu saja melainkan juga
mencakup beberapa bagian pengamatan terhadap induk.
Induk hewan coba diamati kondisi kesehatannya setiap hari dan hal-hal khusus seperti
adanya gejala keracunan atau kematian dicatat. Berat badan ditimbang paling tidak
sekali 3 hari. Data berat badan selain sebagai petunjuk efek toksik terhadap induk juga
digunakan untuk menentukan jumlah pemberian perlakuan (mg/kg berat badan). Hewan
coba dipelihara dengan baik selama kebuntingan dan selanjutnya dikurbankan 1 hari
sebelum melahirkan (tikus hari ke-20/21; mencit hari ke-19). Betina tidak dibiarkan
sampai melahirkan karena jika itu terjadi ia akan memakan anak-anaknya yang cacat.
Hewan uji dibedah caesar dengan membuat irisan di garis tengah ventral tubuh mulai
dari area bukaan genitalia hingga ke leher. Rongga perut dan rongga dada dibuka dan
organ dalam tubuh diamati. Uterus diangkat dan ditimbang bersama-sama dengan
embrio di dalamnya. Selanjutnya uterus ditempatkan di dalam cairan fisiologis, lalu
dibelah dan embrionya dilepas.
Pada saat ini juga status implantasi dipastikan: fetus yang berkembang penuh dan
merespon sentuhan dikategorikan fetus hidup; fetus yang berkembang penuh dan tidak
ada tanda-tanda autolisis tetapi tidak merespon sentuhan dikategorikan fetus mati;
implantasi yang menunjukkan adanya ciri-ciri fetus tetapi mengalami autolisis
digolongkan sebagai fetus yang diresorpsi pada tingkat lanjut (late resorption); implantasi
yang tidak menunjukkan adanya karakteristik fetus digolongkan pada fetus yang
mengalami resorpsi dini (early resorption). Selanjutnya ovarium diamati dan jumlah
corpora lutea dihitung. Jumlah corpora lutea umumnya bersesuaian dengan jumlah
implantasi karena corpora lutea adalah petunjuk folikel yang berovulasi dan berubah
menjadi badan hormonal yang berperan dalam mempertahankan kebuntingan.
Kehilangan sebelum implantasi dapat dihitung berdasarkan selisih antara jumlah
corpora lutea dengan jumlah implantasi.
Tanda-tanda keracunan induk diamati pada organ-organ visceral. Kelenjar timus diamati
ukuran, warna dan adanya tanda-tanda hemoragi. Pulmo diamati ukuran, warna dan
jumlah lobusnya, demikian juga hepar diamati ukuran, warna, tekstur dan jumlah
lobusnya. Lambung dibuka dengan sayatan sepanjang curvatura besar dan permukaan
mukosalnya diamati. Ginjal diamati bentuk, ukuran, warna dan kelainan yang mungkin
terlihat dari luar, dan selanjutnya dibelah untuk mengamati struktur internalnya. Tiap-
tiap kelainan dicatat dan sedapat mungkin didokumentasikan dengan fotografi dan
jaringan yang mengalami kelainan tersebut difiksasi dengan formalin atau larutan Bouin
dan diproses melalui metode parafin untuk pembuatan sediaan bagi pengamatan
histologis.
Pengamatan fetus dimulai dengan penimbangan berat badan. Penimbangan hendaknya
dilakukan ketika fetus masih segar (segera setelah uterus dibuka, sebelum fetus
difiksasi). Pengamatan malformasi dimulai dari daerah kepala. Pertama-tama
diperhatikan bentuk dan ukuran kepala serta adanya tanda-tanda gangguan penutupan
(closure defect). Di kepala harus terdapat 2 tonjolan mata (masih tertutup), 2 nares, 5
papila fascialis,dan 2 pinnae. Mulut dan bibir diamati ukuran, betuk dan adanya
gangguan perkembangan. Mulut dibuka untuk mengamati dan memastikan ada tidaknya
celah di langit-langit mulut (cleft palate). Kemudian aspek ventral dan dorsal tubuh
diamati apakah ada closure defect, dan dilanjutkan dengan pengamatan tungkai. Pada
tungkai diamati ukuran, kelengkapan ruas dan arah rotasi / fleksi bahu, siku, telapak
dan jemari. Jumlah jemari (masing-masing 5 depan dan 5 belakang) dihitung dan adanya
kelainan pada jumlah ukuran, fusi atau adanya selaput dicatat. Ekor juga diamati
keberadaan, ukuran dan pembengkokannya. Ekor selanjutnya diangkat dan jarak antara
bukaan anus dengan genitalia diperkirakan untuk penentuan jenis kelamin (jarak
tersebut sangat dekat pada betina dan jauh pada jantan). Selanjutnya kira-kira setengah
bagian dari jumlah fetus yang diperoleh difiksasi dengan alkohol 95 % dan setelah
beberapa hari dieviserasi dan dikuliti. Fiksasi dipertahankan hingga 2 mnggu, kemudian
fetus diwarnai dengan Alcian blue dan Alizarin Red S dan selanjutnya dibuat transparan
dalam gliserin. Dengan teknik ini dapat diamati secara langsung komponen tulang
(merah) dan kartilago (biru) fetus dan kelainannya. Pengamatan rangka meliputi adanya
hambatan atau percepatan penulangan, kelainan bentuk dan jumlah komponen rangka.
Rangka diamati mulai dari cranium, sternum, columna vertebralis, os pectoralis, os pelvis,
tulang-tulang tungkai dan terutama jemari. Jumlah komponen tulang telapak dan jemari
yang telah mengalami penulangan dihitung. Kelainan struktur komponen rangka yang
sering teramati adalah hambatan osifikasi, penambahan atau pengurangan jumlah
costae, centrum vertebra berbentuk kupu-kupu, costae menggelombang, fusi rusuk, fusi
vertebra, tungkai pekuk dan lain-lain
Cara pemilihan
Mencit
Bila dibutuhkan hewan coba dalam jumlah banyak, misalnya pada evaluasi terhadap toksisitas
akut dan kemampuan karsinogenik, maka hewan yang paling sesuai untuk itu adalah mencit.
Kekurangannya adalah kesulitan memperoleh darah dalam jumlah yang cukup untuk rangkaian
pemeriksaan hematologi.
Tikus
Tikus tampaknya merupakan spesies ideal untuk uji toksikologi karena berat badannya dapat
mencapai 500 gram sehingga lebih mudah dipegang, dikendalikan atau dapt diambil darahnya
dalam jumlah yang relative besar.
Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan
lainnya, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat
bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga mempermudah proses pencekokan perlakuan
menggunakan sonde lambung, dan tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan
Mangkoewidjojo 1988).
Selain itu, tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus menjadi bagian
badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme perlindungan lain adalah
tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Sirois
2005).
Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu yang biasa digunakan
sebagai hewan percobaan yaitu (Malole dan Pramono 1989) :
- galur Sprague dawley berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari
badannya,
- galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek, dan
- galur Long evans yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala
dan tubuh bagian depan.
Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis kelamin jantan
berumur kurang lebih 2 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina tidak
digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa,
sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil
penelitian (Kesenja 2005). Tikus putih galur ini mempunyai daya tahan terhadap penyakit dan
cukup agresif dibandingkan dengan galur lainnya (Harkness dan Wagner 1983).
Anjing
Anjing dengan bulu pendek dan berat sekitar 12 kg paling sesuai untuk uji toksikologi. Umur
paling baik dipakai adalah 14-16 minggu, sementara dibutuhkan 4 minggu untuk adaptasi
dengan lingkungan yang baru.
Primata
Pengguanaan kera lebih menguntungkan dibandingkan pemakaian hewan-hewan lain, terutama
dalam hal berat badan dan postur tubuhnya yang menyerupai manusia. Postur seperti ini
memungkinkan untuk mencatat observasi penting terutama bila neurophaty perifer merupakan
manifestasi toksik. Kerugiannya perlu banyak hewan yang dibutuhkan untuk uji fertilitas karena
produktivitasnya rendah.
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press) dan
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56395/Bab%20II%20Tinjaua
n%20Pustaka.pdf?sequence=4
Menurut Prof. Dr. Sugiyono dalam bukunya “Metode Penelitian Pendidikan” tahun 2010,
beliau membagi desain penelitian ekperimen kedalam 3 bentuk yakni pre-experimental
design, true experimental design, dan quasy experimental design.
1. Pre-experimental design
Desain ini dikatakan sebagai pre-experimental design karena belum merupakan
eksperimen sungguh-sungguh karena masih terdapat variabel luar yang ikut
berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen. Rancangan ini berguna untuk
mendapatkan informasi awal terhadap pertanyaan yang ada dalam penelitian. Bentuk Pre-
Experimental Designs ini ada beberapa macam antara lain :
Dalam suatu kegiatan administrasi atau manajemen misalnya, sering tidak mungkin
menggunakan sebagian para karyawannya untuk eksperimen dan sebagian tidak. Sebagian
menggunakan prosedur kerja baru yang lain tidak. Oleh karena itu, untuk mengatasi
kesulitan dalam menentukan kelompok kontrol dalam penelitian, maka dikembangkan
desain Quasi Experimental. Desain eksperimen model ini diantarnya sebagai berikut:
c. Conterbalanced Design
Desain ini semua kelompok menerima semua perlakuan, hanya dalam urutan
perlakuan yang berbeda-beda, dan dilakukan secara random.
4. Factorial Design
• Desain Faktorial selalu melibatkan dua atau lebih variabel bebas (sekurang-kurangnya satu
yang dimanipulasi). Desain faktorial secara mendasar menghasilkan ketelitian desain true-
eksperimental dan membolehkan penyelidikan terhadap dua atau lebih variabel, secara
individual dan dalam interaksi satu sama lain. Tujuan dari desain ini adalah untuk
menentukan apakah efek suatu variabel eksperimental dapat digeneralisasikan lewat semua
level dari suatu variabel kontrol atau apakah efek suatu variabel eksperimen tersebut khusus
untuk level khusus dari variabel kontrol, selain itu juga dapat digunakan untuk
menunjukkan hubungan yang tidak dapat dilakukan oleh desain eksperimental variabel
tunggal.
DAFTAR PUSTAKA
• Danim, S. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.
• Faisal, S. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan.Surabaya: Usaha Nasional
• Fuchan, A. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
• Solso, R. L MacLin, M. K, O. H. (2005). Cognitive Psychologi. New York. Pearson
• Sugiyono, Dr. 2010. Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Penerbit Alfabeta
• Sukardi, 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
faktor-faktor dari subjek uji yang berpengaruh dalam penelitian in vivo dan in vitro
- in situ: memasukkan obat dalam hewan dilihat dalam suatu sistem. misal obat
antidoare diamati pada pergerakan usus
In silico
- Studi in silico adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk menemukan obat
baru.
- Penemuan obat dengan skrining maya
- Diantaranya yaitu HKSA dan studi docking. Beberapa metode biasa digunakan
untuk simulasi docking, yaitu pengamatan visualisasi berdasarkan interaksi
ligand dan protein. Hal yang sering diamati adalahbesarnya energi ikatan dan
adanya ikatan hidrogen antara ligand dan protein.
- Upaya telah dilakukan untuk membangun model komputer dari perilaku selular
. Sebagai contoh, pada tahun 2007 para peneliti mengembangkan model silico
tuberkulosis untuk membantu dalam penemuan obat , dengan manfaat utama
menjadi lebih cepat dari real time tingkat pertumbuhan simulasi ,
memungkinkan fenomena yang menarik untuk diamati dalam beberapa menit
bukan bulan
parameter yang di ukur dalam penelitian in vitro dan in vivo
Menilai keamanan obat, obat tradisional bahan kimia sebagai makanan atau suplemen
Menilai potensi suatu obat, obat tradisional untuk efektifitas farmakologi tertentu.
http://lppt.ugm.ac.id/berita-200-uji-farmakologi-dan-uji-toksisitas.html
alah satu syarat agar suatu calon obat dapat dipakai dalam praktek kedokteran dan pelayanan
kesehatan formal (fitofarmaka) adalah jika bahan baku tersebut terbukti aman dan memberikan
manfaat klinik. Untuk membuktikan keamanan dan manfaat ini, maka telah dikembangkan
perangkat pengujian secara ilmiah yang mencakup :
1. Uji farmakologi (pembuktian efek atau pengaruh obat),
2. Uji toksikologi (pembuktian syarat keamanan obat secara formal), dan
3. Uji klinik (manfaat pencegahan dan penyembuhan penyakit atau gejala penyakit).
Pengujian bahan obat dimaksud agar obat-obat yang dipakai dalam praktek klinik pada manusia
dapat dipertanggung jawabkan khasiat, manfaat, serta keamanannya secara ilmiah.
Uji Farmakologi
Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini diperoleh
informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan profil farmakokinetik (meliputi absorpsi, distribusi,
metabolisme dan eliminasi obat) calon obat. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari
mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-
hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat.
Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada
manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula
obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia.
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan
pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji
antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji
antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji
dapat dilakukan secara in vitro.
Uji Toksisitas
Uji toksisitas akut sangat penting untuk mengukur dan mengevaluasi karakteristik toksik dari suatu
bahan kimia. Uji ini dapat menyediakan informasi tentang bahaya kesehatan manusia yang berasal
dari bahan kimia yang terpapar dalam tubuh pada waktu pendek melalui jalur oral. Data uji akut
juga dapat menjadi dasar klasifikasi dan pelabelan suatu bahan kimia.
Toksisitas akut didefinisikan sebagai kejadian keracunan akibat pemaparan bahan toksik dalam
waktu singkat, yang biasanya dihitung dengan menggunakan nilai LC 50 atau LD50. Nilai ini
didapatkan melalui proses statistik dan berfungsi mengukur angka relatif toksisitas akut bahan
kimia.
Toksisitas akut dari bahan kimia lingkungan dapat ditetapkan secara eksperimen menggunakan
spesies tertentu seperti mamalia, bangsa unggas, ikan, hewan invertebrata, tumbuhan vaskuler dan
alga. Uji toksisitas akut dapat menggunakan beberapa hewan mamalia, namun yang dianjurkan
untuk uji LD50 diantaranya tikus, mencit dan kelinci. Di samping pengamatan terhadap gejala klinis
dan uji LD50 , bisa dilakukan juga pengujian terhadap organ gastrium, duodenum dan ginjal untuk
melihat gambaran histopatologinya. Gambaran histopatologi ini bisa diambil dari organ hewan uji
kemudian didokumentasikan menggunakan kamera mikroskop.
Uji toksisitas kronis diperlukan jika uji toksisitas akut tidak menghasilkan efek, maka bukan berarti
toksikan tidak bersifat toksik. Oleh karena itu perlu uji kronis.Percobaan ini dilakukan dengan
memberikan dosis tertentu bahan kimia terhadap hewan percobaan melalui penelanan atau inhalasi
terhadap bahan kimia yang sedang diuji selama masa hidupnya. Untuk mencit dapat memakan
waktu hingga 2 tahun sedangkan untuk tikus sedikit lebih singkat.
Maksud dari uji kronik (seumur hidup), untuk menentukan apakah bahan kimia dapat
menimbulkan setiap efek kesehatan yang mungkin memerlukan waktu yang lama untuk
menimbulkan suatu efek seperti kanker, atau paparan jangka panjang terhadap bahan kimia
menimbulkan efek kesehatan pada organ seperti ginjal.
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka
selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh
komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.
zat aktif selain bixin yang dapat ditemukan dalam tanaman Kesumba Keling (Bixa orellana L.)
berdasarkan golongannya
Tahapan uji in vitro dan in vivo
Virtual Screenings
- Target Selection
- Data Mining (Chemical space of over 1060 conceivable compounds)
- Screening of Libraries of Compounds Virtually
- lead optimization
- Prediction of Structure-Activity Relationships
• In Vitro Bioassays
- In Vitro: In experimental situation outside the organisms. Biological or chemical work done
in the test tube( in vitro is Latin for “in glass”) rather than in living systems
- Examples include antifungal, antibacterial, organ-based assays, cellular assays, etc
Secondary Bioassays
In Vivo Bioassays
Animal-based Assays/Preclinical Studies
Pre-Clinical Trials
Clinical Trials